BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja 1. Pengertian Stres Kerja - PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL REKAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL INTERNAL TERHADAP STRES KERJA PERAWAT RSUD SLEMAN - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja

1. Pengertian Stres Kerja

  Kesehatan (health) diartikan sebagai keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani), sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Penyakit merupakan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologis dan psikofisiologis pada seseorang. Stres merupakan faktor psikologis penting yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan (Depkes RI, 2017).

  Berbagai bentuk permasalahan dan kekuatiran lazim dihadapi oleh individu yang akan menciptakan ketegangan, mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang. Semakin kompleknya permasalahan hidup dan semakin bertambahnya populasi manusia telah meningkatkan peluang seseorang terkena stres. Stres merupakan salah satu gangguan psikologis, oleh karena itu antara stres dan kesehatan fisik dapat saling mempengaruhi. Stres bisa menyebabkan menurunnya kondisi fisik, sebaliknya penurunan kondisi fisik pun bisa menyebabkan stres. Setiap manusia tentu ingin hidupnya sehat secara fisik dan psikologis, sehingga dua aspek kesehatan ini perlu diperhatikan secara bersamaan agar setiap individu tidak menjadi individu yang sakit (Handoko, 2014).

  Hans Selye (1974) dalam Fevre et al (2006) menggolongkan stres menjadi dua (2) jenis, yaitu:

a. Eustress: Terjadi ketika ada kesenjangan antara apa yang dimiliki dan apa

  yang diinginkan, tujuannya tidak terlalu jauh dari jangkauan, tapi individu dapat menangani kesenjangan ini. Eustress mendorong tantangan dan motivasi karena tujuannya sudah di depan mata. Eustress ditandai dengan harapan dan keterlibatan aktif. Eustress memiliki korelasi positif bermakna dengan kepuasan hidup dan harapan.

  b. Distress: lawan dari eustress. Distress adalah keadaan tidak menyenangkan ketika seseorang tidak mampu beradaptasi sepenuhnya terhadap stressor dan stres yang dihasilkannya menunjukkan perilaku maladaptif. Hal ini dapat terlihat dengan adanya berbagai fenomena, seperti interaksi sosial yang tidak pantas (misalnya, agresif, pasif, atau penarikan diri). Dalam penelitian ini yang diteliti adalah distress stres kerja.

  Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang (Handoko, 2014 ). Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya, sebagai hasilnya pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Stress dapat juga membantu atau fungsional, tetapi juga dapat berperan salah atau merusak prestasi kerja. Secara sederhana hal ini berarti bahwa stress mempunyai potensi untuk mendorong atau dialami oleh karyawan tersebut. Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi proses berpikir, emosi, dan kondisi seseorang, hasilnya stres yang terlalu berlebihan dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan dan pada akhirnya akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya.

  Spielberger (Handoyo, 2001) mendefinisikan stres sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari dalam atau luar diri seseorang. Stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja tampak dari gejala antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan.

  Gibson (2006) menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang.

  Stress kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses pikir, dan kondisi seorang karyawan. Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan dan pada diri karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka (Rivai, 2009).

  Menurut Robbins (2008) stress kerja diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam bekerja, untuk mencapai kesempatan kerja tersebut terdapat batasan atau penghalang. Suatu kondisi dinamis seorang individu dalam pekerjaannya dihadapkan pada peluang, tuntutan atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan hasilnya di pandang tidak pasti dan penting. Stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerja yang mengubah fisik maupun psikis yang baik menjadi menurun atau buruk. Ini menunjukkan bahwa stres kerja merupakan tuntutan

  .

  pekerjaan yang tidak diimbangi oleh kemampuan karyawan Sebaliknya, stres kerja merupakan peluang bila stres menawarkan perubahan kearah lebih baik.

  Stres kerja bisa bernilai positif bila mendapatkan manfaat stres untuk perubahan, meninggikan mutu kerja, kepuasan kerja.

  Stres kerja (dalam kontek distress) meyebabkan perasaan tertekan yang dialami oleh karyawan dalam menghadapi pekerjaannya. Sesuatu yang terlihat sebagai ancaman baik nyata maupun imajinasi, perasaan takut atau marah. Perasaan ini dapat muncul berupa sikap yang pesimis, tidak puas, produktivitas rendah dan sering tidak masuk bekerja. Emosi, sikap dan perilaku yang mempengaruhi stres dapat menimbulkan masalah kesehatan, namun ketegangan dapat dengan mudah muncul akibat kejenuhan yang timbul dari beban kerja yang berlebihan. Setiap pekerjaan memiliki tingkat tantangan dan kesulitan yang berbeda-beda. Manajemen stres kerja yang efektif akan dapat mempertahankan rasa pengendalian diri dalam lingkungan kerja, sehingga beberapa urusan akan

  Nursalam (2003) menjelaskan bahwa profesi perawat merupakan salah satu profesi yang sangat beresiko mengalami stres kerja. Pelayanan keperawatan merupakan subsistem dari pelayanan kesehatan yang saling keterkaitan dengan beberapa subsistem seperti pelayanan medis, dan pelayanan kesehatan lain, dalam upaya penyembuhan pasien. Bentuk pelayanan profesional keperawatan berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Perawat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun rujukan yang melaksanakan pelayanan kesehatan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.

  Stres kerja yang dialami perawat akan berdampak kepada kinerjanya dan mempengaruhi mutu pelayanan asuhan keperawatan pada pasien. Stres kerja perawat dapat terjadi apabila perawat dalam bertugas mendapatkan beban kerja yang melebihi kemampuannya sehingga perawat tersebut tidak mampu memenuhi atau menyelesaikan tugasnya, maka perawat tersebut dikatakan mengalami stres kerja. Menurut Swedarma (dalam Fitria, 2006) kurangnya kapasitas perawat dibandingkan jumlah pasien menyebabkan perawat akan mengalami kelelahan dalam bekerja karena kebutuhan pasien terhadap asuhan keperawatan lebih besar dari standar kemampuan perawat. Hal tersebut dibenarkan dengan hasil penelitian juga Ree dan Cooper (dalam Suryanita, 2001) yang menyatakan bahwa perawat memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibanding dengan anggota medis lainnya.

  Berdasarkan uraian diatas penulis cenderung mengikuti pendapat Robbin yang menjelaskan bahwa stres kerja pada perawat adalah suatu kondisi tekanan yang mempengaruhi keadaan fisik, psikis dan perilaku perawat yang berasal dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka dalam menjalankan pelayanan asuhan keperawatan.

2. Gejala-Gejala Stres kerja

  Robbins (2008) mengemukakan bahwa terdapat tiga (3) kategori umum gejala stres kerja, yaitu: a. Gejala fisiological : sakit perut, detak jantung meningkat dan sesak nafas, tekanan darah meningkat, sakit/ pusing kepala.

  b. Gejala psikological: kecemasan, ketegangan, kebosanan, ketidakpuasan dalam bekerja, irritabilitas/ mudah tersinggung.

  c. Gejala behavior / perilaku: menunda-nunda pekerjaan, meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok, melakukan sabotase dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang tidak wajar sebagi perilaku menarik diri, tingkat absensi/ ketidakhadiran meningkat dan performa kerja menurun, gelisah dan mengalami gangguan tidur, berbicara cepat.

  Situasi yang menekan pekerja dan menyebabkan stres kerja dapat menimbulkan respons pada subjek, perilaku, kognitif, fisiologis menurut Cox (dalam Gibson, 2000) yaitu: a. Respons pada subjek, meliputi kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi, keletihan, frustrasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup,dan merasa kesepian.

  b. Respons pada perilaku, meliputi kecenderungan mendapat kecelakaan, alkoholik, penyalahgunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, dan tertawa gugup.

  c. Respons pada kognitif, meliputi ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, konsentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat peka tehadap kritik,dan rintangan mental.

  d. Respons pada fisiologis, misalnya meningkatnya kadar gula, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut, berkeringat, membesarnya pupil mata,dan tubuh panas dingin. Menurut Luthans (2006) dampak stres kerja pada karyawan adalah sebagai berikut: a. Masalah kesehatan fisik diantaranya adalah masalah sistem kekebalan

  tubuh, masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, masalah sistem musculoskeletal, seperti sakit kepala dan sakit punggung, masalah sistem gastrointestinal, seperti diare dan sembelit.

  b. Masalah Psikologis antara lain yaitu tingkat stres tinggi mungkin disertai

  dengan kemarahan, kecemasan, depresi, gelisah, cepat marah, tegang, dan adalah pada tindakan agresif, seperti sabotase, agresi antar pribadi, permusuhan, dan keluhan. Jenis masalah psikologis tersebut relevan dengan kinerja yang buruk, penghargaan diri yang rendah, benci pada pengawasan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, dan ketidakpuasan kerja.

  c. Masalah perilaku, perilaku langsung yang menyertai tingkat stres yang

  tinggi mencakup makan sedikit atau perubahan makan berlebihan, tidak

dapat tidur, merokok dan minum, dan penyalahgunaan obat-obatan.

  Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas penulis cenderung mengikuti

pendapat Robbin bahwa gejala stres kerja meliputi gejala fisiological, gejala

psikological, gejala behavior / perilaku. Gejala fisiological : sakit perut, detak

  jantung meningkat dan sesak nafas, tekanan darah meningkat, sakit kepala, serangan jantung. Gejala psikological: kecemasan, ketegangan, kebosanan, ketidakpuasan dalam bekerja, irritabilitas. Gejala behavior / perilaku: menunda- nunda pekerjaan, meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok, melakukan sabotase dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang tidak wajar sebagi perilaku menarik diri, tingkat absensi meningkat dan performansi kerja menurun, gelisah dan mengalami gangguan tidur, berbicara cepat.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja

  Stres kerja tidak selalu membuahkan hasil yang buruk dalam kehidupan eustress yang merupakan kekuatan positif. Stres kerja diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Semakin tinggi dorongan untuk berprestasi, makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Demikian pula sebaliknya stres kerja dapat menimbulkan efek yang negative yaitu stres kerja dapat berkembang menjadikan tenaga kerja sakit, baik fisik maupun mental sehingga tidak dapat bekerja lagi secara optimal (Sunyoto, 2001).

  Individu adalah unik dan berbeda-beda ketika merespon stres kerja. Perbedaan individu dalam menghadapi stres kerja menurut Robbin (2008) sekurang-kurangnya memiliki lima (5) variabel: persepsi, pengalaman kerja,

  dukungan social, ruang (lokus) kendali, keefektifan diri.

  a. Persepsi dan penafsiran terhadap stres mempengaruhi respon negative atau positif yang terjadi. Karyawan dengan pengalaman kerja lebih banyak cenderung mudah menyesuaikan diri dan lebih sedikit stres.

  b. Dukungan social rekan kerja/ hubungan kolegial rekan kerja dapat sebagai pereda, mengurangi dampak negative stres.

  c. Ruang (lokus) kendali internal sebagai atribut kepribadian mengendalikan tujuan akhir mereka sendiri, dan berpengaruh besar pada hasil positif, bisa mengendalikan peristiwa.

  d. Keefektifan diri setiap individu dalam melakukan pengelolaan setiap tantangan, masalah yang dihadapi dalam bekerja mempengaruhi dampak stres kerja. Individu yang mampu malukukan pengendalian atas suatu situasi sehingga langkah kerja, urutan kerja, pengambilan keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas dan kendali jadwal mampu mengurangi dampak negative stres kerja.

  Robbin (2008) menjelaskan ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres yaitu :

  1. Faktor Lingkungan.

  Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stress bagi karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan-perubahan baru terhadap teknologi yang berkembang sangat cepat akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.

  2. Faktor Organisasi.

  Setiap organisasi dapat memiliki beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure

  dan organizational leadership. Pengertian dari masing-masing faktor

  organisasi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Role Demands

  Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut.

  b. Interpersonal Demands Tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi.

  Hubungan yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat, sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.

  c. Organizational Structure

  Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi lam organisasi.

  d. Organizational Leadership

  Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group, Robbins, dibagi dua yaitu yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja.

  Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting.

  3. Faktor Individu.

  Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.

  Pendapat lain dari Gibson (2006) menyatakan bahwa penyebab stres kerja ada 4 (empat) yaitu: a. Lingkungan fisik

  Penyebab stres kerja dari lingkungan fisik berupa cahaya, suara, suhu, dan udara terpolusi.

  Tekanan individual sebagai penyebab stres kerja terdiri dari: 1). Konflik peran

  Stressor atau penyebab stres yang meningkat ketika seseorang menerima pesan - pesan yang tidak cocok berkenaan dengan perilaku peran yang sesuai. Misalnya adanya tekanan untuk bergaul dengan baik bersama orang - orang yang tidak cocok.

  2). Peran ganda Untuk dapat bekerja dengan baik, para pekerja memerlukan informasi tertentu mengenai apakah mereka diharapkan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Peran ganda adalah tidak adanya pengertian dari seseorang tentang hak, hak khusus dan kewajiban- kewajiban dalam mengerjakan suatu pekerjaan. 3). Beban kerja berlebih Ada dua tipe beban berlebih yaitu kuantitatif dan kualitatif.

  Memiliki terlalu banyak sesuatu untuk dikerjakan atau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan merupakan beban berlebih yang bersifat kuantitatif. Beban berlebih kualitatif terjadi jika individu merasa tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka atau standar penampilan yang dituntut terlalu tinggi.

  4). Tidak adanya control Suatu stresor besar yang dialami banyak pekerja adalah tidak urutan kerja, pengambilan keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas dan kendali jadwal merupakan hal yang penting.

  5). Tanggung jawab Setiap macam tanggung jawab bisa menjadi beban bagi seseorang, namun tipe kepribadaian seseorang yang berbeda dalam menerima tanggung jawab dapat menghasilkan dampak yang berbeda-beda ketika menghadapi stresor.

  6). Kondisi kerja.

  Situasi lingkungan pekerjaan baik fisik maupun psikologis sangat berpengaruh dengan ketenangan dan kenyamanan bekerja.

  c. Kelompok Keefektifan setiap organisasi dipengaruhi oleh sifat hubungan diantara kelompok. Karakteristik kelompok menjadi stresor yang kuat bagi beberapa individu. Ketidakpercayaan dari mitra pekerja secara positif berkaitan dengan peran ganda yang tinggi, yang membawa pada kesenjangan komunikasi diantara orang- orang dan kepuasan kerja yang rendah. Atau dengan kata lain adanya hubungan yang buruk dengan kawan, atasan, dan bawahan.

  d. Organisasional Adanya desain struktur organisasi yang jelek, politik yang jelek dan tidak adanya kebijakan khusus.

  Berdasarkan uraian di atas penulis cendrung mengikuti pendapat Robbin timbulnya stres kerja yaitu factor lingkungan, organisasi, individu. Perbedaan dalam menghadapi stres kerja memiliki lima (5) variabel yaitu persepsi, pengalaman kerja, dukungan sosial, locus of control dan keefektifan diri. Variabel bebas penelitian ini menggunakan variabel dukungan sosial rekan kerja yang meliputi gejala fisiologis, psikologis, perilaku dan locus of control internal yang meliputi faktor kemampuan dan usaha. Variabel dukungan sosial rekan kerja dipilih karena dukungan sosial rekan kerja penulis anggap mewakili faktor ekternal dalam diri individu yang mempengaruhi stres kerja, sedangkan variabel

  

locus of control internal dipilih karena sebagia faktor internal yang mempengaruhi

  stres kerja. Pemilihan variabel dukungan sosial rekan kerja ini diperkuat dengan penelitian Musyaddat (2017) bahwa dukungan sosial memiliki pengaruh negative dan signifikan dengan stres kerja. Pemilihan variabel locus of control internal diperkuat dengan hasil penelitian Karimi (2011) yang menjelaskan bahwa locus of

  

control adalah sebagai factor yang efektif dan berpengaruh menurunkan stres

kerja.

B. Dukungan Sosial Rekan Kerja

1. Pengertian

  Dukungan Sosial menurut Pierce et al. (dalam Lane, 2004) sebagai transaksi sosial yang dirasakan oleh penerima, dimaksudkan untuk memfasilitasi penanggulangan terhadap hal tertentu dalam kehidupan sehari-hari salah satunya adalah dalam menanggulangi stres. Secara lebih sederhana dukungan sosial dapat didifinisikan sebagai bantuan yang diterima melalui hubungan interpersonal.

  Veiel dan Baumann (dalam Lane, 2004) menyatakan bahwa dukungan sosial (social support) didefinisikan dan diukur dari dua perspektif, yaitu

  .

  dukungan struktural dan dukungan fungsional Struktural konsep dukungan sosial menaruh perhatian terhadap kelekatan sosial individu. Lebih khusus, Thoits (dalam Lane, 2004) berpendapat bahwa definisi struktural dukungan sosial mengacu pada kumpulan individu yang terikat terhadap satu sama lain, terhadap banyaknya hubungan yang dimiliki dan frekuensi komunikasi dengan individu dari beragam jaringan. Pembahasan mengenai komposisi jaringan sosial individu menjadi pusat perhatian dan tidak mengikutsertakan evaluasi secara individual. Komposisi jaringan sosial individu dapat berupa ukuran jaringan, operasionalisasi anggota jaringan (bagaimana individu saling mengenal) melalui nama dan frekuensi komunikasi. Seiring perkembangannya, para peneliti mengembangkan pendapat lain untuk memahami dukungan sosial, yaitu dukungan fungsional. Hal tersebut disebabkan definisi dukungan fungsional tidak hanya memperhatikan eksisitensi hubungan antar individu, tetapi juga memperhatikan maksud (untuk tujuan apa) hubungan tersebut terjadi.

  Definisi fungsional dukungan sosial merujuk pada adanya indikasi bahwa individu menjalankan sebuah fungsi untuk mendukung seseorang. Lebih jelasnya, Cobb (dalam Lane, 2004) mendefinisikan dukungan sosial sebagai persepsi individual bahwa individu dicintai, dihargai, diakui sebagai aset dalam jaringan. individu dalam hubungan interpersonal, definisi fungsional dukungan sosial mengukur dua sisi, yaitu: perceived social support, yaitu ketersediaan dukungan yang dirasakan individu saat membutuhkan dan received social support, yaitu dukungan aktual atau yang diterima individu pada saat itu (Lane, 2004).

  Pierce (dalam Kail and Cavanaug, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang- orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Gottlieb (dalam Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.

  Sarafino (2008) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya, dukungan sosial ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umunya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.

  Dukungan sosial selain bisa memberikan manfaat juga bisa menimbulkan efek negative terhadap orang yang diberikan dukungan sosial. Dalam Sarafino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain : a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu.

  Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

  b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

  c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

  d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

  Setiap individu membutuhkan penguatan dari luar untuk mampu bertahan dan menjalankan tuntutan profesinya. Seorang perawat membutuhkan dukungan dari rekan kerja dan atasan (dukungan sosial rekan kerja) supaya hasrat yang tinggi terhadap profesi mampu dikeluarkan dalam bentuk perilaku nyata yang selaras dengan nilai dan tuntutan profesi (komitmen karier). Greenglass dkk. (dalam Lane, 2004) memberi penguatan bahwa dukungan dari rekan kerja merupakan dukungan yang lebih efektif karena pekerja memiliki komunikasi yang lebih intens dengan rekan kerja di tempat kerja. Dukungan sosial rekan kerja

  

(coworker support) dapat sebagai bantuan emosional dan instrumental yang

  diperoleh individu dari hubungan interpersonal dengan rekan kerja. Serangkaian mengenai dukungan sosial rekan kerja yaitu perasaan positif yang dirasakan oleh individu karena hadirnya satu atau lebih rekan kerja yang bersikap peduli/ care, bersedia mendengarkan dengan simpatik saat individu mengalami masalah, dan peduli terhadap perkembangan individu dalam profesi (dukungan emosional), serta perasaan positif yang dirasakan oleh individu karena memperoleh bantuan (secara fisik) atau mendapat sesuatu (benda fisik) dari rekan kerja sehingga dapat meringankan masalah ataupun membantu untuk berkembang dalam pekerjaan (dukungan instrumental).

  Untuk menangani tugas dan mengurangi beban kerja perawat dalam bekerja diperlukan dukungan sosial dari berbagai unsur. Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial, di mana individu berada di dalamnya, yang memberikan beberapa dukungan seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dan dukungan emosional sehingga individu merasa nyaman (Luthans, 2006). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan emosi yang berbentuk dorongan membesarkan hati, memberikan ungkapan penghargaan, dukungan material serta memberikan informasi yang dapat memberikan sebuah solusi atas masalah yang dihadapi. Dukungan sosial dari rekan kerja, (atasan, teman kerja, tim kerja) dapat berupa persahabatan, menciptakan situasi tolong-menolong, dan kerja sama yang menyenangkan (Sunyoto, 2012).

  Berdasarkan uraian di atas dapat penulis cenderung mengikuti pendapat Sarafino bahwa dukungan sosial rekan kerja adalah dukungan atau bantuan yang diterima dan berasal dari rekan kerja. Bentuk dukungan ini dapat berupa infomasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai.

2. Aspek - Aspek Dukungan Sosial

  Dukungan sosial merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya (Sarafino, 2006). Dukungan sosial diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa berasal dari siapa saja, keluarga, pasangan (suami/istri), teman, maupun rekan kerja. Kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima individu dari dukungan sosial akan dapat melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya (Taylor, 2003).

  Dukungan Sosial dapat dipahami melalui sudut pandang sumber ‟ ‟ dukungan . Dukungan Sosial (terutama dalam konteks dunia kerja) dapat dipahami berdasarkan dua sumber dukungan yaitu Work Support merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari dalam (internal) dunia kerja, yaitu: dukungan dari atasan (Supervisor Support) dan dukungan dari rekan kerja (Coworker Support) dan Non-Work Support merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari luar (eksternal) dunia kerja, seperti: dukungan dari keluarga, teman, dan sebagainya (Lane, 2004)

  Dukungan sosial adalah sebagai seseorang untuk menunjukkan atau memberikan kasih sayang, perhatian, penghargaan atau bantuan kepada orang lain. Aspek–aspek dukungan sosial nenurut Sarafino (2008), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu: a. Dukungan emosional (emotional support).

  Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta.

  b. Dukungan penghargaan (esteem support).

  Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain, seperti misalnya perbandingan dengan orang- orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. Hal seperti ini dapat menambah penghargaan diri. Individu melalui interaksi dengan orang lain, akan dapat mengevaluasi dan mempertegas dan perilaku orang lain sehingga dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan sosial akan sangat berguna ketika individu mengalami stres bekerja karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.

  c. Dukungan instrumental (instrumental support).

  Dukungan instrumental paling sederhana, mencakup bantuan langsung yang dapat berupa jasa, waktu, atau uang. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau pemberian pekerjaan saat individu mengalami stres. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya.

  d. Dukungan informasi (informational support).

  Dukungan informasi mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres.

  Misalnya individu mendapatkan informasi dari dokter tentang bagaimana mencegah penyakitnya kambuh lagi

  .

  e. Dukungan jaringan sosial (companionship support) Dukungan jaringan sosial mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok, dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota- anggotanya dapat saling berbagi, misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi .

  Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Menurut Cohen dan Syme (1985), terdapat empat aspek dukungan sosial, yaitu: a. Dukungan emosional.

  Dukungan ini terdiri dari empati, cinta, dan kepercayaan yang di dalamnya terdapat pengertian, rasa percaya, penghargaan dan keterbukaan.

  b. Dukungan informative.

  Berupa informasi, nasehat, dan petunjuk yang diberikan untuk menambah pengetahuan seseorang dalam mencari jalan keluar pemecahan masalah.

  c. Dukungan instrumental.

  Seperti penyediaan sarana yang dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai dalam bentuk materi, pemberian kesempatan waktu, pekerjaan, peluang serta modifikasi lingkungan.

  d. Dukungan jaringan sosial berupa penilaian positif, berupa pemberian penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, memberi umpan balik mengenai hasil atau prestasi, penghargaan dan kritik yang membangun. Berdasarkan uraian diatas penulis cenderung mengikuti pendapat dari

  Sarafino bahwa dukungan sosial terdiri dari aspek-aspek: dukungan emosional

  

(emotional support), dukungan penghargaan (esteem support), dukungan

  instrumental (instrumental support), dukungan informasi (informational support), dukungan jaringan sosial (companionship support) yang berasal dari rekan kerja/ orang-orang yang berhubungan dengan lingkup kerja.

3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial

  Sarason (1990) berpendapat bahwa dukungan sosial mencakup dua hal yaitu: a. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia, merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang diandalkan saat individu membutuhkan bantuan

  (pendekatan berdasarkan kuantitas).

  b. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima, berkaitan dengan persespi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas).

  Dukungan sosial jika dikaitkan dengan dukungan dari rekan kerja yang merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya stres kerja menurut Santrock (2008) meliputi : dukungan kerluarga, yaitu merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan seseorang; dukungan teman bergaul/ teman kerja , yaitu orang yang bergaul membutuhkan suatu dorongan moral dari teman yang ada disekitarnya; dukungan masyarakat, yaitu masyarakat yang mendukung, menerima dan menyukai serta mengerti kelebihan dan kekurangan individu. Dukungan sosial yang diterima individu akan mempengaruhi cara individu dalam mengatasi masalah, bahkan akan menimbulkan perasaan positif. Dukungan positif dapat mengurangi stres dalam bekerja dan sebagai sumber pendukung untuk menyesuaikan diri terhadapa perubahan yang dialami.

  Faktor yang mempengaruhi dukungan sosial menurut Cohen (2013) adalah sebagai berikut: a. Pemberi dukungan.

  Pemberi dukungan merupakan orang-orang yang memiliki arti penting dalam pencapaian hidup sehari-hari. Dukungan yang diterima melalui sumber yang sama akan lebih memiliki arti yang lebih kuat dan mendalam dibandingkan yang berasal dari sumber yang beda. Tingkat dukungan yang dirasakan oleh seseorang merupakan persepsi tentang jumlah dukungan yang tersedia dari orang lain. Kehadiran orang-orang terdekat dalam kehidupan seorang individu seringkali membuatnya merasa nyaman, merasa disayangi, dan dihargai oleh orang lain. Semakin dekat hubungan seseorang pemberi dukungan sosial maka bersumber dari keluarga, rekan kerja / atasan, teman sebaya, dan masyarakat di lingkungan sekitar b. Jenis dukungan.

  Jenis dukungan yang diterima akan memiliki arti bila dukungan itu bermanfaat . dan sesuai dengan situasi yang ada Situasi yang sama belum tentu membutuhkan jenis dukungan yang sama seperti pada waktu sebelumnya.

  Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima jika dukungan sosial yang diberikan sesuai kondisi penerima dukungan sosial.

  c. Penerimaan dukungan.

  Karakteristik atau ciri-ciri penerimaan dukungan seperti: kepribadian, kebiasaan dan peran sosial akan menentukan keefektifan dukungan. Perbedaan kepribadian yang unik dari setiap individu penerima dukungan sosial perlu diperhatikan untuk memberikan dukungan sosial. Proses yang terjadi dalam dukungan dipengaruhi oleh kemampuan penerimaan dukungan.

  d. Permasalahan yang dihadapi.

  Dukungan sosial yang tepat dipengaruhi oleh kesesuaian antara jenis dukungan yang diberikan dan masalah yang ada. Konteks dukungan sosial yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan jenis dukungan yang sesuai dapat berpengaruh besar terhadap kemampuan individu ketika menghadapi masalah.

  e. Waktu pemberian dukungan.

  Dukungan sosial akan optimal disatu situasi tetapi akan menjadi tidak optimal dalam situasi lain. Waktu ketika menerima dukungan sosial, dan situasi akan berbeda jika terlambat dukungan sosial diberikan, sehingga ketepatan waktu sangat penting menjadi pertimbangan dalam memberikan dukungan sosial dan lamanya dukungan sosial yang diberikan akan menentukan manfaat dukungan sosial yang dihasilkan. Lamanya pemberian dukungan tergantung pada kapasitas yaitu kemampuan dari pemberi dukungan untuk memberi dukungan atau menambah dukungan yang ditawarkan selama suatu periode tertentu.

  Berdasarkan uraian di atas penulis cenderung menggunakan pendapat Cohen bahwa factor–faktor yang mempengaruhi dukungan sosial antara lain: pemberi dukungan, jenis dukungan, penerimaan dukungan, permasalahan yang dihadapi dan waktu pemberian dukungan.

C. Locus of control Internal

1. Pengertian

  Pada dasarnya teori locus of control membahas tentang lokasi kontrol dalam kepribadian seseorang dalam hubungannya dengan lingkungannya.

  Dalam teorinya, Rotter lebih menekankan pada faktor kognitif, terutama persepsi sebagai pengarah tingkah laku. Teori tersebut menerangkan pula bagaiamana tingkah laku dikendalikan dan diarahkan melalui fungsi kognitif. Rotter mengungkapkan adanya perbedaan mendasar dari penghayatan subjektif menjelaskan mengenai pusat kendali dan pusat pengarahan dari setiap perilakunya. Skala locus of control bersifat kontinum, dalam artian adakalanya seseorang mempunyai kecenderungan internal locus of control dan adakalanya kecenderungan locus of control eksternal. Hal ini ditentukan oleh kondisi yang mempengaruhi perubahan-perubahan keyakinan internal/ eksternal locus of control (Robbin, 2008).

  Internal locus of control adalah individu-individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa yang terjadi pada diri mereka.

  Orang yang cenderung memiliki internal locus of control lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever. Seseorang yang memiliki tipe internal (internal locus of control) adalah orang yang berkeyakinan bahwa dirinya merupakan penguasa atas nasib dirinya.

  Orang-orang tersebut melihat dirinya merupakan poin dari nasib dirinya sendiri yang akan menentukan kehidupannya (Robbins, 2008). Yusuf (2004) mengatakan bahwa internal locus of control adalah dimensi kepribadian tentang keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh faktor internal berasal dari dirinya sendiri.

  Menurut Rotter (dalam Mearsn 2009), individu dengan internal locus of

  

control adalah kemampuan individu dalam menentukan kejadian dalam hidup

  yang berfokus usaha pada dirinya sendiri. Kemampuan, seseorang yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki .

  Munandar (2011) mengatakan bahwa orang yang berorientasi internal

  

(internal locus of control) percaya bahwa keputusan dan tindakan pribadi

  mempengaruhi hasil. Individu dengan kontrol diri yang tinggi akan melihat bahwa ia mempunyai aspek kemampuan mengontrol perilakunya . Individu dengan

  

locus of control internal yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang terjadi

  dalam hidup tergantung pada diri sendiri, memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari aspek usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/ mengharapkan bantuan orang lain. Karyawan dengan internal locus of control memiliki sifat lebih mandiri dan lebih ulet serta memiliki daya tahan yang lebih kuat terutama dalam menghadapi kegagalan. Hal inilah yang menyebabkan seorang karyawan dengan internal locus of control lebih mampu menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan yang memiliki internal locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stresor kerja.

  Berdasarkan uraian di atas penulis cendrung mengikuti pendapat Rotter bahwa Locus of control Internal adalah dimensi kepribadian tentang keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh faktor internal (berasal dari dirinya sendiri).

  Karakteristik internal locus of control adalah pada aspek kemampuan dan

2. Aspek-aspek Locus Of Control Internal

  Spector (2001) menyatakan bahwa karakteristik orang yang memiliki

  

internal locus of control adalah: menggantungkan diri pada ketrampilan (skill),

  kemampuan diri (ability) dan usaha (effort), memiliki dorongan untuk berhasil dan prestasi sangat kuat, berusaha keras meraih apa yang diinginkan secara efektif, mengambil peran aktif dalam mengatur, mengarahkan diri dan bertanggung jawab menentukan faktor penguat yang akan diterimanya.

  Individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib atau peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya berada di bawah kontrol dirinya dikatakan sebagai individu yang memiliki internal locus of control (Kreitner dan Kinichi, 2015). Robbins (2008) mengatakan bahwa orang-orang internal secara lebih aktif mencari informasi sebelum mengambil keputusan, lebih termotivasi untuk berprestasi dan lebih siap untuk menghadapi kegagalan. Setiap dimensi locus of control mempunyai karakteristik yang khas. Internal locus of control memiliki ciri-ciri, yaitu: suka bekerja keras. memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin, selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil.