PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI LIBERAL 1955-1959

PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI LIBERAL 1955-1959 MAKALAH

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Pendidikan Sejarah

  Disusun oleh: Florianus Nelson Marius Sedik 071314014 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI LIBERAL 1955-1959 MAKALAH

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Pendidikan Sejarah

  Disusun oleh: Florianus Nelson Marius Sedik 071314014 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  MOTTO “Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karuni untuk mengajar, baiklah kita mengajar” (Roma 12:7)

  “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang

  bodoh menghina hikmat dan didikan” (Amsal 1:7) “Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak, dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi” ( Jawaharlal Nehru )

  

PERSEMBAHAN

  Dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati kupersembahkan Skripsi ini Kepada:

  ™ Tuhan Allah Bapaku, Tuhan Yesus Kristus ™ Kedua orangtuaku bapak Gabino Sedik dan ibu Martina Fatemyang selalu mendoakandan mendukungku sampai perjalanan hidupku saat ini ™ Kakak-kakak dan adik-adikku yang selalu mendukung diriku dalam segala hal.

  ™ Teman-teman seperjuangan Pendidikan Sejarah angakatan 2007, khusunya kepada mas Damas, mas Suryo, mas Jaka, mas Andri, mas Buditerima kasih atas bantuan dan kerjasama kalian selama ini. ™ Para pendidikku yang tiada pernah bosan selalu mengajar dan membimbingku. ™ Semua sahabat dan orang-orang yang telah Mengisi perjalanan kehidupanku. Terima kasih kuucapkan atas gegala kebaikan dan kebahagiaan yang telah kalian berikan kepadaku hingga saat ini. Semoga akan selalu menjadi kenangan yang terindah. Thank’s For All

  

ABSTRAK

PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN

DEMOKRASI LIBERAL 1955-1959

  Florianus Nelson Marius Sedik Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta 2012

  Penulisan ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis tiga pokok permasalahan, yaitu: 1) Proses pembentukan Badan Konstituante, 2) Peran Badan Konstituante, 3) Pembubaran Badan Kontituante

  Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penulisan sejarah yang mencakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi dengan pendekatan sosial politik dan ditulis secara deskriptif analitis.

  Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: 1) Proses pembentukan Badan Konstituante melalui pemilihan umum tanggal 15 Desember 1955 masa Pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harharap. Pemilihan umum ini menghasilkan 514 Anggota Konstituante yang bertugas menyusun undang-undang dasar baru menggantikan UUD 1945 sesuai dengan Konstitusi 1950. Setelah terpilih 514 maka pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 1956 Anggota Kontituante dilantik langsung oleh Presiden Sukarno. 2) Badan Konstituante mulai bekerja pada bulan November 1956 dan berakhir pada tanggal 5 Juli 1959.

  Pada masa kerja tersebut, Badan Konstituante berhasil menyepakati hal-hal yang penting tentang dasar negara dan HAM dan demokrasi. 3) Pada awal tahun 1959 Badan Konstituante mengalami masa reses yang disebabkan oleh beberapa hal: kegagalan dalam membentuk undang-undang dasar baru, kekuatan politik Angkatan Darat, dan dominasi Presiden Ir. Sukarno. Dengan macetnya Sidang Konstituante membuat Presiden mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan tentang pembubaran Badan Konstituante.

  

ABSTRACT

THE ROLE OF CONSTITUENCY COUNCIL IN THE PERIOD OF

LIBERAL DEMOCRACY GOVERNMENT 1955-1959

Florianus Nelson Marius Sedik

  

Sanata Dharma University

Yogyakarta

2012

   

  The purposes of this paper writing were to describe and to analyze three main problems: 1) Establishment process of Constituency Council, 2) the role of Constituency Council, 3) dissolution of Constituency Council.

  This paper used historical writing method which compromises five stages namely title formulation, data gathering, verification, interpretation and historiography with social politic approach and written in analytically description.

  The paper found result that: 1) Establishment process of Constituency

  th

  Council was through general election in 15 December 1955 in the period of Burharuddin Harharap cabinet governance. The general election got 514 Constituency members who were in charge in arranging the new constitution to replace 1945 constitution according to 1950 constitution. After the election, all the

  th

  elected members were inaugurated by President Sukarno in heroes day, 10

  th

  November 1956. 2) Constituency Council was active from November 1956 to 5 July 1959. During the time, Constituency Council succeeded in taking the deals for crucial issues that democration and human right. 3) In the beginning of 1959, Constituency Council faced the recess caused by some reasons: the failure in arranging the new constitution, political power of the army, and President Sukarno domination. The stuck of Constituency Session enforced the President to

  th publish Decree in 5 July 1959 about the dissolution of Constituency Council.

     

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN

  

DEMOKRASI LIBERAL 1955-1959”. Makalah ini disusun untuk memenuhi

  salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

  Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari batuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

  1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.

  3. Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, M. M; selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan makalah ini.

  4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

  5. Seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan pelayanan dan membantu penulis dalam memperoleh sumber penulisan makalah ini.

  6. Kedua orangtua penulis yang telah memberikan dorongan spiritual dan material, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma, serta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................. vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................. vii

ABSTRAK ..................................................................................................... viii

ABTRACT ..................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii

  BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................ 5 D. Sistematika Penulisan .......................................................................... 6 BAB II PROSES PEMBENTUKAN BADAN KONSTITUANTE ................ 8 A. Lahirnya Badan Konstituante .............................................................. 8 B. Struktur Organisasi Badan Konstituante ............................................. 12 BAB III PERAN BADAN KONSTITUANTE................................................ 19 A. Penegasan Komitmen Terhadap Demokrasi ........................................ 20 B. Penegasan Komitmen Terhadap HAM ................................................ 22 C. Pengakuan Atas Masalah Kekuasaan. .................................................. 26 BAB IV PEMBUBARAN BADAN KONSTITUANTE ................................. 30 A. Kegagalan Badan Konstituante Membentuk Undang-Undang Dasar Baru...... ...................................................................................... 30 B. Bangkitnya Angkatan Darat Dalam Politik Negara ............................. 34

  BAB V KESIMPULAN .................................................................................. 44 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 47 LAMPIRAN .................................................................................................... 49

  

DAFTAR LAMPIRAN

SILABUS .........................................................................................................

  48 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN .......................................

  51 HASIL PEMILU 1955 .....................................................................................

  63 DAFTAR GAMBAR

  

 

Partai Peserta Pemilu 1955...............................................................................

  67 Gedung Pertemuan Badan Konstituante ..........................................................

  67 Isi Dekrit Presiden 1955 ...................................................................................

  68 Suasana Dekrit Presiden 1955 .........................................................................

  68  

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konstitusi merupakan suatu hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis ditaati dan dipatuhi sekelompok orang di daerah tertentu. Hukum dasar yang tertulis disebut sebagai undang-undang, sedangkan yang

  tidak tertulis disebut konvensi yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan- aturan penyelenggaraan negara. Menurut Suharizal, secara sederhana mendefinisikan konstitusi sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur pokok-pokok struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan termasuk hal kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga itu. Salah satu konstitusi yang dimaksud

  1 dalam definisi tersebut adalah UUD 1945.

  Pentingnya UUD 1945 tidak lepas dari funginya sebagai suatu konstitusi, seperti pembatas sekaligus pengawas terhadap keuasaan politik, sebagai control kekuasaan dari penguasa, memberikan batasan-batasan bagi para pengusa dalam menjalankan kekusaannya. Oleh karena itu, UUD 1945 adalah konstitusi modern diidentikkan dengan masalah pembatasan kekuasaan serta perlindungan hak-hak warga negara.

  Dalam kesejarahannya, UUD 1945 ini dirancang dalam suasana ketergesa-gesaan. Kabar takluknya balantera Jepang pada Jenderal Dougglas Mac Arthur amat mendadak dan tak terduga. Mau tidak mau, para bapak bangsa (founding father) dipaksa berburu dengan waktu untuk mengisi

  2 kekosongan kekuasaan serta mengantisipasi kembalinya kolonial Belanda.

  Karena dikepung oleh situasi politik yang muncul akibat berkobarnya Perang Pasifik, Perdebatan tentang materi UUD 1945 belum menghasilkan kesepakatan final tentang beberapa masalah mendasar ketika harus disahkan.

  Namun, para pendiri itu menyepakati untuk mensahkan lebih dulu UUD 1945 sebagai UUD sementara untuk kemudian, setelah merdeka kelak segera dibuat UUD yang lebih permanen dan bagus. Dalam rentang waktu yang amat singkat itulah, disusun rancangan UUD 1945. Satu konstitusi darurat yang hanya bertugas mengantarkan gagasan (kemerdekaan) Indonesia masuk ke realitas konkrit bernegara.

  Rumusan UUD 1945 yang ada saat ini merupakan hasil rancangan BPUPKI atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan Dokuritsu Junbi Cosakai yang beranggotakan 21 orang dan diketuai oleh Radjiman Widiodiningrat.

  3 Naskahnya dikerjakan mulai dari tanggat 29 Mei sampai 16 Juni 1945. Jadi,

  hanya memakan waktu selam 40 hari setelah dikurangi hari libur. Kemudian rancangan itu diajukan ke PPKI dan diperiksa ulang. Dalam sidang pembahasasam, terlontar beberapa usulan penyempurnaan. Akhirnya, setelah melalui perdebatan, maka dicapai persetujuan untuk diadakan beberapa perubahan dan tambahan atas rancangan UUD yang diajukan BPUPKI. 2 Perubahan pertama pada kalimat Mukadimah. Rumusan kalimat yang diambil

Malian, Sobirin, Gagasan Perluna Konstitusi Baru Pengganti , Yogyakarta ,UII Press, 2001, hal. dari piagam Jakarta,”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan, kemudian pasal 4 yang semula hanya terdiri dari satu ayat, ditambah satu ayat lagi yang berbunyi, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD” dan, juga dalam pasal ini semula tertulis,” wakil presiden di tetapkan dua orang” diganti menjadi “satu Wakil Presiden”.Juga pada Pasal 6 ayat 1, kalimat yang semula masyarakat presiden harus orang Islam dicoret.Diganti menjadi,” Presiden adalah orang Indonesia asli”dan kata “mengabdi” dalam pasal 9

  4 diubah menjadi “berbakti”.

  Usulan mengenai materi perubahan UUD baru muncul justru saat menjelang berakhirnya sidang PPKI yang membahas pengesahan UUD 1945.

  Pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, Ketua Ir. Soekarno meningatkan masalah tersebut, kemudian forum sidang menyetujui untuk diatur dalam pasal tersendiri dan materinya disusun oleh Soepomo. Tak kurang dari anggota Dewantara, Ketua Soekarno serta anggota Soebarjo turut memberi tanggapan atas rumusan Soepomo, pada pukul 13.45 waktu setempat, sidang menyetujui teks UUD.

  Dalam pidato penutupan, Presiden Ir. Soekarno menegaskan bahwa UUD ini bersifat sementara dan, “Nanti kalau kita bernegara didalam suasana yang lebih tenteran, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan

  5

  lebih sempurna.” Dari pidato ini jelas bahwa UUD sejak semula memang dipandang belum baik dan masih harus diperbaiki setelah keadaan memungkinkan. Pandangan Soekarno bahwa UUD 1945 perlu diterima untuk sementara, dan itu tak dapat dibantah sedikit pun oleh angota-anggota PPKI yang lain, tertuang didalam UUD 1945 itu sendiri yakni didalam aturan tambahan. Aturan tambahan jelas memuat sikap PPKI bahwa UUD 1945 adalah UUD interim dan karenanya PPKI memerintahkan agar setelah perang pasifik UUD itu dibicarakan lagi untuk kemuadian ditetapkan oleh MPR.

  Pada gerak pelaksanaanya konstitusi (UUD 1945) banyak mengalami perubahan mengikuti perubahan sistem politik negara Indonesia. Perubahan tersebut terjadi pada masa konstitusi RIS yang berlaku dari 27 Desember 1949- 17 Agustus 1950. Pada masa ini sistem pemerintahan yang sebelumnya republik presidensil berubah menjadi republik parlementer (perwakilan).

  Namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi perubahan dalam sistem kontitusi yang menganut pada UUDS 1950. Pada masa inilah dibentuklah badan kontituante yang bertujuan untuk membentuk undang-undang baru. Upaya yang dilakukan sidang Dewan Konstituante hingga tahun 1959 juga belum berhasil menyusun satu undang-undang baru yang lebih lengkap dan sempurna. Solusinya, UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 menjadi hokum dasar dalam

  Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesejarahan konstitusi ini, jelas mengakibatkan banyak dampak politis Indonesi pada masa itu

B. Rumusan Masalah

  Untuk dapat memahami penulisan ini, dengan berdasarkan latar belakang masalah dan judul di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana proses pembentukan Badan Konstituante?

  2. Bagaimana peran Badan Konstituante pada masa pemerintahan Demokrasi Liberal?

  3. Mengapa Badan Konstituante dibubarkan? C.

   Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalh ini bertujuan untuk: a. Mendeskripsikan pembentukan awal Badan Konstituante

  b. Mengalisis peran Badan Konstituante pada masa Demokrasi Liberal

  c. Mendeskripsikan tentang pembubaran Badan Kontituante 2.

   Manfaat Penulisan

  Manfaat Penulisan Makalah ini adalah:

  a. Bagi Universitas Sanata Dharma Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma perguruan tinggi dapat melengkapi dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan sejarah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati sejarah di lingkungan Universitas Sanata Dharma.

  b. Bagi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai sejarah Nasional Indonesia, lebih khususnya tentang Peran Badan Konstituante Pada Masa Pemerintahan

  Demokrasi Liberal 1955-1959, diharapkan dapat menjadi bahan pelengkap dalam pembelajaran sejarah.

  c. Bagi Pembaca Makalah ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari dan mendalami tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai Peran Badan Konstituante Pada Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal 1955-1959.

  d. Bagi Penulis Sebagai tolak ukur kemampuan penulis untuk meneliti, menganalisa, membaca sumber-sumber sejarah, dan merekonstruksikan menjadi suatu karya sejarah dan menambah wawasan tentang sejarah Indonesia khususnya tentang Peran Badan Konstituante Pada Masa

  Pemerintahan Demokrasi Liberal 1955-1959.

D. Sistematika Penulisan

  Penulisan makalah tentang Peran Badan Konstituante Pada Masa

  Pemerintahan Demokrasi Liberal 1955-1959. mempunyai sistematika

  Bab I Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

  Bab II Bab ini menyajikan tentang proses awal pembentukan Badan Konstituante Bab III Bab ini menyajikan tentang peran Badan Konstituante yang berhasil meyepakati beberapa hala seperti dasar negara dan HAM

  Bab IV Bab ini menyajikan tentang pembubaran Badan Konstituante Bab V Bab ini menyajikan kesimpulan dari pembahasan BAB I, BAB II, BAB III, dan BAB IV.

BAB II PROSES PEMBENTUKAN BADAN KONSTITUANTE A. Lahirnya Badan Kostituante Badan Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan

  untuk membentuk undang-undang dasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan, bahwa Badan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tertera pasal- pasal yang berkaitan dengan badan yang disebut Konstituante itu. Berikut dikutip pasal-pasal yang berkaitan dengan kedudukan, susunan, keanggotaan, dan kewenangan badan tersebut antara lain (terlampir).

  Kelahiran Badan Konstituante juga dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950 itu berpredikat sementara, hal ini tertera dalam konsiderans “Menimbang” dari undang-undang dimaksud. Oleh karena itu perlu adanya suatu badan yang

  6 menggarap dan menyusun undang-undang dasar yang tetap.

  Proses pembentukan badan konstituante dalam kesejarahanya tidak lepas dari pidato Ir. Soekarno dalam membela rancangan UUD 1945 dihadapan BPUPKI pada tahun 1945, ia menyatakan “Undang-undang dasar yang dibuat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurana”. Pidato ini kemudian ditegaskan lagi manifesto politik pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1945 sebagai tindak lanjut Maklumat no. X, maka pemilihan umum bagi pemerintah konstitusional secara eksplisit menyatakan “Sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa kita, cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat dari pemilihan itu pemerintah akan berganti dan undang-undang dasar akan disempurnakan menurut kehendak rakyat kita yang terbanyak”.

  Sehingga untuk itu, pemilihan umum ditetapkan dengan pengumuman pemerintah tanggal 3 November 1945 dan pada mulanya akan diselenggarakan bulan Januari 1946 oleh Kabinet Sjahrir pertama, tetapi terpaksa ditunda berulang kali karena kekacauan akibat revolusi fisik yang

  7 berkepanjangan pada masa mempertahankan kemerdekaan,.

  Dalam periode sesudah Desember 1945, pemilu untuk membentuk Konstituante dan badan perwakilan menjadi bagian penting dari program kerja setiap cabinet. Hal ini kemudian berlanjut pada masa Kabinet Hatta (1949-1950) yang ingin membentuk badan konstituante yang berwenang menentukan bentuk negara, yaitu antara negara federasi dan negara kesatuan. Tetapi, rencana itu didahului oleh perkembangan-perkembangan konkret pada pembentukan negara kesatuan. Selama Kabinet Wilopo (PNI) 1952- 1953, rancangan undang-undang pemilu yang diajukan kepada parlemen 25 November 1952. Rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintahan ini disahkan pada tanggal 1 April 1953 dengan beberapa perubahan dan berlaku sebagai undang-undang mulanya direncanakan pada tanggal 4 April 1953. Namun terjadi perubahan pada undung-undang terutama ketentuan yang mengatur mekanisme pemilihan dan pemungutan suara dengan teknik pemilihan yang sesuai dengan kondisi nyata yang berlaku di Indonesia. Pendaftaran pemilu dimulai pada bulan Mei 1954 dan selesai pada bulan November 1954, dengan mencetak 43.104. 464 orang yang mempunyai hak pilih.

  Pemilihan umum pertama tahun 1955 diselenggarakan masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu ini berlangsung dua periode, untuk periode pertama berlangsung pada tanggal 29 september 1955 bertujuan membentuk badan perwakilan dan untuk periode kedua berlansung pada tanggal 15 Desember 1955 bertujuan membentuk Badan Konstituante. Jumlah kursi dewan perwakilan yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

  Pemilu untuk anggota Badan Konstituante dilakukan tanggal 15 tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan, maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.

  Hasil pemilihan umum 1955 sebagai berikut: Hasil pemilihan umum 1955 untuk Anggota DPR (enam besar):

  1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

  2. Masyumi

  3. Nahdlatul Ulama (NU)

  4. Partai Komunis Indonesia (PKI)

  5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

  8

  6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Terpilihnya 520 anggota Konstituante langsung diikuti oleh pelantikannya pada tanggal 10 November 1956 oleh Presiden Ir. Soekarno.

  Pada saat pelantikan Presiden mengingatkan dengan pesan-pesannya penting yaitu:

  1. Saya meminta saudara-saudara sebagai anggota-anggota Konstituante menjadi penyambung lidah yang setia daripada 80-85 juta rakyat Indonesia yang sedang berevolusi dan pahlawan rakyat yang telah berkorban dan mati, yang tiap-tiap tahun pada tanggal 10 November kita peringati

  2. Saya meminta supaya anggota Konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera menetapakan suatu”Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”, yang sesuai dengan jiwa, watak dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri…..”

  3. Saya minta janganlah Konstituante dijadikan tempat berdebat bertele-tele, suatu medan pertempuran bagi partai-partai atau pemimpin-pemimpin politik”.

  Pesan tersebut disampaikan Presiden kepada anggota Konstituante untuk selekas-lekasnya dan segera diganti dengan undang-undang yang baru

  9 dasarkan pada ketentuna pasa 134 UUDS.

B. Struktur Organisasi Badan Konstituante.

  Terbentuknya Badan Konstituante UUD 1950 tidak mengatur struktur organisasi Konstituante, tetapi Pasal 136 menetapkan bahwa semua pasal dalam UUD 1950 tentang DPR dapat diterapkan pada Konstituante. Ini menyiratkan makna bahwa Badan Konstituante sendiri dapat memilih ketua dan wakil ketua berdasarkan Pasal 62 UUD 1950 tentang DPR, dan lebih lanjut, badan ini dapat menetapkan Peraturan Tata Tertib berdasarkan Pasal 76 tentang DPR. Ini berarti bahwa sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, Konstituante sungguh-sungguh bebas dalam ketetapan-ketetapannya yang ada untuk menentukan struktur organisasi, kepemimpinan, aparat serta PTTK (Penjelasan Tata Tertib Konstituante). Untuk maksud itu, Badan Konstitnante membicarakan soa-soal tersebut dan sidang plenonya yang pertama pada tahun 1956, termasuk membicarakan prosedur untuk memilih pemimpin, yang kemudian disusul dengan acara pemilihan. Kemudian, Badan Konstituante membahas dan menyusun PTTK, menentukan struktur organisasi pembagian ke hak-hak dan tanggung jawab anggota, penyusunan dan perubahan agenda, serta proses pemungutan suara. Dengan demikian, Konstituante sekaligus juga menggariskan ketidaktergantungannya pada pemerintah dalam penyusunan undang-undang dasar baru.

  Dalam menyusun PTTK, Badan Konstituante menentukan organ- organnya sebagai berikut: Sidang pleno, Pemimpin (ketua dan wakil-wakil ketua), Panitia Persiapan Konstitusi, Komisi-komisi konstitusi, Panitia Musyawarah, Panitia Rumah Tangga,) panitia-panitia lain (sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 40 (2) PTT dan Sekretariat.

1. Sidang Pleno Konstituante

  Sidang Pleno Konstituante merupakan badan tertinggi Konstituante yang membuat keputusan mengenai rancangan undang-undang dasar dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Aparat-aparat lain hanya merupakan bagian dari sidang pleno dan berada di bawahnya. Sidang ini harus diadakan sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun dan harus diadakan apabila dianggap peroleh Panitia Persiapan Konstitusi, atau atas permintaan tertulis dari sekurang-kurangnya sepersepuluh dari jumlah anggotanya. Sidang pleno harus dinyatakan terbuka untuk umat kecuali sekurang- kurangnya 20 orang anggota. Semua keputusan; kecuali yang dibuat dalam sidang tertutup harus diambil secara terbuka. Agenda sidang pleno ditetapkan oleh Panitia Persiapan Konstitusi tanpa mengurangi hak sidang pleno untuk mengubahnya. Setiap usul untuk mengubah agenda, baik waktu, topik pembicaraan, atau penambahan topik-topik baru, harus diajukan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh sekurang- kurangnya 20 oranganggota dan kemudian diserahkan kepada ketua selambat-lambatnya dua hari sebelum, agenda tersebut dinyatakan berlaku.

2. Kepemimpinan Konstituante Konstituante dipimpin oleh ketua dengan lima orang wakil ketua.

  Mereka dipilih dari anggota Konstituante dalam rapat terbuka yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua, pertiga dari jumlah anggota Konstituante dan disahkan oleh Presiden. Sebelum pemilihan dan pengesahan ketua, sidang akan diketuai oleh anggota yang tertua. Ketua menjalankan tugas- tugas berikut: (1) merencanakan, mengatur, dan memimpin pekerjaan Konstituante, (2) menjalankan Anggaran Dasar, (3) memimpin sidang-sidang dan menjaga ketertibannya, (4) memberi izin kepada anggota untuk berbicara, (5) menyimpulkan soal-soal yang diajukan oleh anggota dan menyimpulkan keputusan-keputusan yang diambil oleh siding, (6) memberi kesempatan yang layak bagi anggota untuk berbicara tanpa gangguan, (7) mengumumkan hasil-hasil siding, dan

  Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman, Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI), dan Hidajat, Ratu Aminah (IPKI) dipilih sebagai wakil-wakil ketua oleh sidang pleno yang berlangsung dari

  10 tanggal 19 hingga 22 November 1956.

3. Panitia Persiapan Konstitusi

  Salah satu,organ penting dalam Konstituante adalah Panitia Persiapan Konstitusi (PPK) yang mewakili semua golongan dan aliran pemikiran yang terdapat di dalam Konstituante. Panitia tersebut dibentuk menurut peraturan-peraturan berikut. Setiap golongan atau aliran, yang mempunyai satu hingga tiga orang anggota berhak menunjuk seorang wakil, setiap golongan yang mempunyai empat hingga enam anggota berhak menunjuk dua orang wakil; dan seterusnya: Panitia Persiapan Konstitusi: dibentuk pada tanggal 14 Februari 1957, anggotanya terdiri dari 184 wakil dari berbagai fraksi yang mencerminkan berbagai; golongan atau aliran dalam Konstituante. Ketua dan wakil-wakil ketua juga menjadi anggota- anggota panitia ini. Tugas panitia persiapan ini ialah: (1) mempersiapkan rancangan undang- undang dasar dengan cara mengumpulkan bahan yang diperoleh dari pembahasan dalam sidang- sidang panitia dan dalam sidang-sidang pleno dan menyusunnya kembali serta mengajukannya,kembali ke sidang pleno untuk keputusan lebih lanjut, (2) mengajukan semua pendapat yang berkaitan dengan undang- undang dasar kepada sidang pleno dan (3) menyiapkan agenda untuk sidang pleno yang dapat diubah oleh sidang tersebut.

  Posisi strategisnya sebagai "dapur" Konstituante diperkuat pada tahun 4,958 dengan, diubahnya Pasal 51 Anggaran Dasar yang memungkinkan Panitia Persiapan Konstituante mengambil keputusan berdasarkan mayoritas dua-pertiga dari jumlah anggotanya. Dengan demikian, panitia tersebut berfungsi sebagai penyaring untuk soal-soal yang akan didiskusikan oleh sidang pleno dan bahkan berfungsi sebagai perancang pasal-pasal konstitusi daripada sebelumnya yang hanya terbatas pada mendaftarkan dan meneruskan pendapat. Sejak itu hanya usul-usul yang disetujui oleh sekurang-kurangnya setengah dari jumlah anggotanya yang dapat diteruskan, kepada sidang pleno. Sidang panitia ini ditutup untuk umum tetapi terbuka bagi anggota Konstituante yang bukan anggota panitia itu sendiri Pekerjaan Panitia Persiapan Konstitusi dilaporkan kepada sidang pleno.

4. Komisi-Komisi Konstitusi

  Dalam menjalankan tugasnya, Panitia Persiapan Konstitusi diberi wewenang untuk membentuk komisi-komisi konstitusi dari para

  .

  anggotanya dengan tugas-tugas, tertentu menurut peraturan yang ditentukan oleh panitia dan disahkan sidang pleno Konstuante. Jumlah komisi seperti ini tidak ditentukan; komisi-komisi tersebut dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Setiap komisi konstitusi terdiri atas sekurang- atau golongan dan dari mereka dipilih seorang ketua serta seorang rappoteur (juru bicara).

  5. Panitia Musyawarah

  Panitia Musyawarah terdiri atas ketua Konstituante sebagai anggota sekaligus ketua panitia wakil-wakil ketua Konstituante dan antara 13 hingga 17, anggota Konstituani lainnya-yang mewakili berbagai golongan dan aliran serta diangkat oleh Panitia Persiapa Konstitusi. Badan penting ini antara lain bertugas merencanakan jadwal dan agenda sidang-sidang pleno Konstituante untuk diserahkan kepada dan disetujui oleh Panitia Persiapan Konstitusi mempersiapkan agenda untuk Panitia Persiapan Konstitusi yang dapat mengubah agenda, tersebut dan mengajukan usul kepada ketua Konstituante apabila dianggap perlu atau diminta oleh, ketua Panitia Musyawarah tidak memerlukan kuorum untuk memulai sidang tetapi hanya dapat mengambil keputusan berdasarkan mayoritas dua pertiga apabila lebih, dari setengah jumlah anggotanya hadir Panitia Musyawarah Konstitusi ini penting karena tugasnya miliputi koordinasi kegiatan dan usul serta penyelesaian masalah yang timbul dalam sidang- sidang pleno dalam Panitia Persiapan Konstitusi dan dalam komisi-komisi konstitusi.

  6. Panitia-Panitia Lain

  Sekurang-kurangnya tiga panitia tambahan terbentuk: 1 Panitia perumus, 2 Panitia Redaksi dan 3 Panitia Istilah. Selama sidang-sidang dari pembahasan tentang masalah tertentu, untuk menyusun konsep bagi keptuusan yang akan diambil oleh sidang pleno, dan untuk merumuskan pembagian fungsi badan-badan Konstituante. Berbeda dengan Panitia Perumusan dan Panitia Redaksi yang hanya bersifat sementara. Panitia Istilah merupakan panitia tetap, panitia ini terdiri atas seorang ketua, wakil ketua, seorang sekretaris dan enam anggota yang diangkat atau dipilih dari anggota-anggota panitia persiapan konstitusi.

BAB III PERAN BADAN KOSNTITUANTE PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL Setelah dilantik Presiden Soekarno, Badan Konstituante yang

  beranggotakan 514 orang itu langsung bersidang. Pada masa persidangan pertama, bulan November hingga Desember 1956 ini, Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditetapkan sebagai Ketua, didampingi lima Wakil Ketua, masing- masing Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi, Fatchurrahman Kafrawi dari Nahdlatul Ulama (NU), Johannes Leimena dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Hidajat Ratu Aminah dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

  Selanjutnya, dimulailah diskusi mengenai Peraturan Tata-tertib yang mencakup organisasi Konstituante dan cara-cara kerjanya. Peraturan Tata-tertib ini kemudian ditetapkan dalam sidang di semester pertama tahun 1957. Pada masa persidangan ke dua tahun 1957, ada dua masalah yang diperdebatkan di Konstituante, yakni pokok-pokok permasalahan yang akan dimasukkan ke dalam Undang-undang baru (20 Mei-7 Juni) dan sistematika undang-undang dasar tersebut (11-13 Juni). Dalam kedua perdebatan ini, terdapat dua pokok pembahasan yang dianggap paling penting, yakni soal Dasar Negara dan hak azasi

  11 manusia.

  Selama dua setengah tahun masa kerjanya, Konstituante telah peran penting mencapai keputusan mengenai hal-hal penting yang berkaitan dengan cita-cita pembentukan negara konstitusional. Peran Badan Konstituante tersebut akan di bawah ini:

A. Penegasan Komitmen Terhadap Demokrasi

  Seluruh usaha Konstituante mulai dari perumusan prosedur dan pemilihan kepemimpinannya, penyusunan peraturan tata-tertib, penyusunan agenda, perdebatan dan keputusan, hingga pemungutan suara terakhir terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 merupakan perwujudan demokrasi yang sesungguhnya, kebebasan berbicara yang utuh, serta tekad yang mendasar untuk membentuk pemerintahan konstitusional yang menjiwai sebagian besar anggotanya. Perkembangan menuju pemerin- tahan yang lebih konstitusional telah dimulai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Sesudah maklumat itu, telah diambil langkah-langkah penuh kesadaran menuju pelaksanaan cita-cita kebebasan ke dalam yang menghasilkan pembentukan pemerintah yang konstitusional, termasuk pertanggungjawaban kepada rakyat dan pembatasan kekuasaan pemerintah. Pemerintahan konstitusional ini bertahan hingga penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada akhir tahun 1949, pada saat- saat yang sangat sulit, ketika Angkatan Bersenjata Belanda berusaha menghancurkan Republik. Sesudah itu, diselenggarakan pemilihan umum untuk membentuk Parlemen dan Konstituante. Konstituante itu sendiri sebagai badan yang beranggotakan lebih dari 500 wakil rakyat Indonesia yang dipilih dalam pemilihan umum yang bebas membuktikan bahwa demo-

  12 krasi sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia. Sukarno sering disebut sebagai sumber otoritatif dari tuduhan bahwa demokrasi seperti yang dijalankan di negara-negara Barat tidak sesuai untuk Indonesia. Tetapi sebenarnya antara 1945 dan 1956 Sukarno mendukung pemerintahan berdasarkan sistem multipartai yang bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (Komite Nasional Indonesia Pusat). Pada tahun 1952 Presiden bertahan melawan tekanan dari pimpinan militer untuk membubarkan Parlemen. Memang benar bahwa pada tahun 1956 ia mulai mengucapkan keraguan terhadap pemerintahan parlementer, sesudah pemilihan umum gagal membentuk pemerintahan yang stabil. Akan tetapi, dalam pidatonya pada pelantikan Konstituante tanggal 10 November 1956, ia memuji Konstituante sebagai lembaga yang dipilih oleh rakyat untuk merumuskan undang-undang dasar yang definitif, dengan menyatakan bahwa semua undang-undang dasar yang selama itu dimiliki Indonesia bukan hasil pertimbangan antara anggota-anggota Konstituante yang dipilih rakyat, karena prasyarat bagi negara yang demokratis dan berdasarkan hukum ialah undang-undang dasar yang dibentuk oleh rakyat sendiri. Tetapi, sesudah mengakui wewenang Konstituante dan nilai demokrasi yang amat tinggi, ia berkata: “pada waktu-waktu sepuluh tahun atau dua puluh yang akan datang, maka tentu dapat mengoper demokrasi-liberal dari dunia Barat”…Untuk saat ini pemakaian demokrasi oleh golongan yang kuat harus dibatas. Ini berarti bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi yang menjaga jangan ada eksploitasi oleh golongan terhadap golongan lain. Ini berarti bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi

  Di sini Sukarno tidak berpegang pada pendapat bahwa demokrasi seperti yang terdapat di negara-negara Barat secara hakiki tidak cocok bagi kepribadian Indonesia. Tetapi, dalam tahun 1950-an ia melihat bahwa di bawah demokrasi seperti itu ada kemungkinan bahwa golongan yang kuat akan mengambil keuntungan dari kelemahan golongan lain dengan memerasnya. Karena itu, ia mendesak supaya golongan yang lebih kuat diberi batasan-batasan sementara dan emansipasi golongan yang lemah diberi prioritas utama. Pada tahun 1956 ia memperkirakan bahwa pada tahun 1966 atau 1976 golongan lemah ini akan cukup terbebaskan sehingga mampu mencegah terjadinya pemerasan terhadap diri mereka; dengan demikian, pada tahapan itu, demokrasi seperti yang berlaku di negaranegara modern di seluruh dunia akan cocok-bagi rakyat Indonesia Namun, pelaksanaan pemikiran Sukarno mengenai pola negara integralistik menghalangi emansipasi golongan yang lemah, dan hanya memperkuat golongan yang berkuasa, bertentangan dengan slogan-slogan mengenai keadilan sosial dan konstitusionalisme.

B. Penegasan Komitmen Terhadap HAM

  Konstituante melakukan pembahasan mengenai mengenai HAM empat kali. Diskusi pertama berlangsung dalam sidang pleno tanggal 20 Mei hingga

  13 Juni 1958 bersama dengan diskusi mengenai materi yang akan dimasukan ke dalam UUD. Diskusi kedua berlangsung di dalam Panitia Persiapan Konstusi dan Subkomisi HAM yang dibentuk oleh Panitia persiapan

  21 Agustus 1957 dengan tugas menyelengggarakan diskusi awal tentang HAM. Subkomisi ini mengadakan beberapa rapat antara tanggal 21 Agustus dan 2 September 1957.

  Pada tanggal 4 November 1957 mendiskusikan dibentuk Panitia Perumus untuk menyimpulkan hasil perdebatan tentang HAM dan merumuskan rancangan keputusan tentaug HAM yang akan diambil oleh sidang pleno. Laporan Panitia Perumus disampaikan pada tanggal 19 Agustus 1958. Laporan ini berisi 88 perumusan yang menyangkut 24 hak asasi yang berasal dari daftar I; 18 hak warga negara; 13 hak tambahan yang belum diputuskan apakah akan dimasukkan sebagai hak asasi manusia atau hak warga negara; hak yang masih diperdebatkan; hak yang dihilangkan atau digabung dengan hak lainnya. Untuk tiap kategori ini juga diusulkan prosedur terbaik supaya dapat diambil keputusan.

  Pada laporan tersebut akhirnya terdaftar 14 desideratum (hal yang diperlukan namun belum ada) dan persoalan HAM tambahan yang muncul dalam sidang pleno dan belum disebutkan di dalam keempat daftar hak yang semula disusun Panitia Persiapan Konstitusi untuk dipertimbangkan di dalam Konstituante. Desiderata tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hak jaminan kesehatan.

  2. Hak untuk menikah menurut agama masing-masing.

  3. Jaminan atas berlakunya hak dasar.

  4. Jaminan terhadap anak-anak dan orang tua.

  6. Hak atas Pasal 16 dan 25 Deklarasi Universal HAM 149

  7. Jiwa Undang-Undang Dasar 1950 Pasal 28 (3) (hak buruh mendapat upah yang layak).

  8. Hak dasar yang muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan ekonomi terpimpin.

  9. Hak dan kewajiban bagi orang asing yang ingin menjadi warga negara.

  10. Peninjauan asas domain yang menjadi altibat dari politik penjajahan untuk dijadikan sumber pemberian erfpacht cultures.

  11. Hak-hak pemeliharaan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.

  12. Persoalan pembatasan pelaksanaan hak asasi dalam keadaan perang dan darurat perang.

  13. Hak memilih dan dipilih.

  13 14. Kebebasan pers.

  Sayangnya, hak-hak tersebut tidak dibahas lebih lanjut, juga tidak diajukan untuk diputuskan dengan pemungutan suara atau dikembalikan kepada Panitia Persiapan Konstitusi untuk dibuat perumusan akhirnya. Oleh karena itu, hak-hak tersebut harus diinterpretasikan sebagai pernyataan dari pandangan umum yang kuat yang muncul dalam Badan Konstituante bahwa semua hak itu harus diakui.

  Dalam pembahasan mengenai laporan ini partai-partai umumnya menyatakan penghargaan mereka dan menerimanya sebagai laporan pendaftaran. Tetapi, ada beberapa anggota yang menyesal karena usul mereka tidak dimasukkan. Sjafiuddin (Penyaluran) mengusulkan hak untuk tidak kehilangan kewarganegaraan dan meminta supaya "hak warga negara untuk dapat menuntut pelanggaran seseorang pejabat atau petugas terhadap hak-hak kewarganegaraannya" ditambahkan pada hak untuk menerima ganti rugi karena penangkapan yang melanggar hukum (butir 23 pada Daftar I). Ia juga menginginkan tambahan , mengenai sanksi yang manusiawi dan hak warga

  14 negara untuk menarik wakil-wakil mereka .

  Yahya Yacub (PKI) menyarankan supaya Panitia Perumus menyusun daftar hak yang diusulkan untuk dicabut selama perdebatan. Fraksinya mengusulkan supaya usul-usul berikut ini dicoret dari kelompok hak-hak yang dipersoalkan: larangan bagi perempuan untuk bersuami lebih dari seorang; larangan propaganda antiagama; hak milik sebagai anugerah dari Tuhan; milik umum sebagai hal yang suci dan tak dapat diganggu gugat: pemikiran Islam bahwa hak milik merupakan anugerah dari Tuhan yang mempunyai fungsi sosial demi keselamatan manusia dan masyarakat: nilai yang amat tinggi yang diberikan oleh agama Islam pada upaya dan pengorbanan kaum buruh: hak pengusaha untuk menutup perusahaan dan memecat buruh. Da Costa (Partai Katolik) mengulangi pandangan fraksinya supaya ketentuan Islam menjadi agama resmi negara dan ketentuan mengenai "hak untuk menaati hukum Islam" dihapuskan dari kelompok hak yang masih dipersoalkan. Ia juga menegaskan tuntutan fraksinya supaya hak berdemonstrasi dan mogok dipindahkan dari kategori hak yang masih dipersoalkan ke kategori hak-hak dasar warga negara. Asmara Hadi (GPPS) juga menunjuk pada dua hal yang tidak ada dalam laporan, yakni hak atas hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati.

C. Pengakuan Atas Masalah Kekuasaan

  Pada tahun 1945, selama perdebatan sekitar undang-undang:dasar di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, para pemimpin Indonesia cenderung mengidealisasikan negara Indonesia yang baru terbentuk itu dan terlalu meremehkan masalah kekuasaan. Mereka tidak membayangkan perlunya membatasi kekuasaan pemerintah atau menjamin HAM untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, meskipun baik Hatta telah mengingatkan.

  Namun, sesudah pengalaman 14 tahun di dalam negara sendiri; sebagian besar anggota Konstituante - terutama dalam perdebatan pada tahun 1958 mengenai HAM dan pada 1959 tentang kembali ke UUD 1945 - menunjukkan bahwa mereka sudah memahami sepenuhnya bahwa kekuasaan pemerintahan perlu dibatasi. Mayoritas anggota Konstituante menyadari bahwa kekuasaan negara harus dibatasi oleh HAM dan oleh the rule of law. dan bahma pemerintah harus mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaannya. Pada tahun 1959, Pemerintah menyetujui tuntutan Konstituante supaya amandemen pada UUD 1945 yang membatasi kekuasaan pemerintah dimasukkan ke dalam Piagam Bandung dan supaya-piagam ini diakui mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ketentuan-ketentuan

  Segala pembatasan, segala peinyataan hak, segala perincian tugas negara di dalam Undang-Undang Dasar tidak lain daripada kata-kata kosong jikalau ... tidak didukung oleh kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak menipakan pemyataan serta penjelmaan daripada apa yang hidup di dalam

  15 masyarakat sendiri .