BAB IV LAPORAN PENELITIAN A. Orientasi Kancah Penelitian - DINAMIKA COPING STRESS IBU YANG MEMILIKI ANAK ADHD - Unika Repository

BAB IV LAPORAN PENELITIAN A. Orientasi Kancah Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami

  dinamika coping stress seorang ibu yang memiliki anak ADHD. Langkah awal yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian adalah menentukan kancah penelitian, hal ini dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data dan informasi secara langsung sesuai dengan kebutuhan penelitian.

  Pada proses pencarian subjek, peneliti sempat mencari subjek ke beberapa sekolah luar biasa dan tempat terapi serta bertanya ke orang- orang mengenai subjek yang dibutuhkan peneliti. Peneliti menemui tiga subjek yang sesuai dengan kriteria, yaitu T yang dijadikan sebagai subjek pertama, ER yang dijadikan sebagai subjek kedua dan S yang dijadikan sebagai subjek ketiga. Penelitian dilanjutkan dengan meminta ijin kepada ketiga subjek untuk menjadi subjek pada penelitian ini, kemudian meminta para subjek untuk menandatangani informed consent dan melakukan observasi serta wawancara terhadap subjek.

  Kancah penelitian merupakan kediaman subjek dan tempat beraktivitas subjek. Satu orang subjek berdomisili di Cirebon, sedangkan subjek yang lainnya berdomisili di Semarang. Tempat yang digunakan peneliti untuk melakukan wawancara adalah tempat tinggal subjek yang pertama yang berada di daerah Samadikun kota Cirebon, tempat tinggal tempat tinggal subjek yang ketiga berada di Jangli kota Semarang. Tempat subjek melakukan aktivitas diluar tempat tinggal pun dijadikan sebagai kancah penelitian, yaitu sekolah dan perguruan tinggi.

  Peneliti sempat melakukan observasi ketika subjek melakukan aktivitas di luar rumah. Aktivitas subjek yang pertama yang diikuti oleh peneliti adalah ketika mengantar dan menemani anaknya bersekolah. Aktivitas subjek yang kedua adalah ketika subjek mengajar di salah satu perguruan tinggi, sedangkan aktivitas subjek ketiga adalah ketika menjemput anak subjek di sekolah.

B. Persiapan Penelitian

Dalam penelitian “dinamika coping stress seorang ibu yang memiliki anak ADHD” ada beberapa tahap persiapan yang perlu

  dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian. Pertama, peneliti menentukan kriteria subjek yang akan dilibatkan dalam penelitian ini. Kriteria subjek ditentukan berdasarkan tujuan penelitian dan observasi lapangan yang dilakukan di awal penelitian. Kriteria subjek yang ditetapkan adalah seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak dengan gangguan ADHD yang sudah didiagnosis oleh psikolog, memiliki pekerjaan dan tidak memiliki pengasuh anak.

  Setelah menentukan kriteria subjek penelitian, persiapan yang dilakukan selanjutnya adalah mencari subjek yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Peneliti menemukan tiga subjek yang sesuai dengan kriteria dan peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti untuk dijadikan sebagai subjek penelitian, melakukan wawancara dan observasi dalam kegiatan yang dilakukan subjek. Kemudian masing- masing subjek menandatangani informed consent yang menunjukkan kesediaan para subjek untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

  Setelah itu peneliti menyusun pedoman wawancara. Pedoman tersebut disusun berdasarkan tema yang akan diungkap dalam penelitian.

  Setelah pedoman wawancara dibuat, peneliti menyiapkan sarana yang dibutuhkan dalam penelitian seperti alat merekam (handphone) dan alat tulis untuk mencatat (kertas dan bolpoin).

C. Pelaksanaan Penelitian

  Metode pengambilan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Pada setiap pertemuan pertama dengan subjek, peneliti selalu melakukan building rapport, kemudian peneliti langsung melakukan wawancara terkait dengan penelitian.

  Pengumpulan data mulai dilaksanakan pada akhir April 2017 sampai akhir Agustus 2017. Waktu dan tempat pengambilan data ditetapkan berdasarkan diskusi antara peneliti dan subjek penelitian. Banyaknya pertemuan dengan subjek dilakukan sesuai kebutuhan pelengkapan data. Berikut adalah rekap waktu dan tempat pelaksaan penelitian :

Tabel 4.1. Jadwal Pertemuan dengan Subjek

  No Inisial Tanggal Waktu Lokasi (perkiraan)

  1. TS I: 24 April 2017 18.00-19.00 Rumah subjek

  II: 26 April 2017 17.15-19.00 Rumah Subjek

  2. ER I: 30 Mei 2017 9.30-10.30 Tempat kerja subjek

  3. S I: 27 Agustus 18.30-20.30 Rumah Subjek 2017 Peneliti juga melakukan triangulasi dengan orang terdekat subjek.

  Berikut adalah rekap waktu dan tempat pelaksanaan triangulasi yang dilakukan oleh peneliti :

Tabel 4.2 Jadwal Pertemuan Triangulasi

  

No Inisial Triangulasi Tanggal Tempat

  1. S Teman dekat

  1 Mei 2017 Rumah subjek

  2. A Suami

  20 Juli 2017 Rumah subjek

  3. M Anak

  27 Agustus 2017 Rumah Subjek D.

Hasil Pengumpulan Data 1. Subjek 1 a. Identitas

  Nama : T Umur : 44 tahun Alamat : Jalan Samadikun Cirebon Pendidikan : SMP

  Pekerjaan : ibu rumah tangga dan pemulung Nama anak : J Umur : 9 tahun Kelas : 3 SD Sekolah : SLB Anak ke-2 dari 2 bersaudara b.

Hasil Observasi dan Wawancara 1) Hasil Observasi

  Pada hari Senin, 24 April 2017 peneliti melakukan wawancara di rumah subjek. Peneliti sampai di rumah subjek sekitar pukul 18.00. Rumah subjek terletak di kampung nelayan dimana sebagian besar penghuninya bekerja sebagai nelayan atau anak buah kapal, rumah subjek terletak di ujung dari kampung tersebut, rumah subjek tidaklah besar dan agak kumuh, di bagian depan rumah subjek terdapat banyak sekali rumput liar dan di samping rumahnya terdapat kali yang cukup besar. Setelah sampai di rumah subjek, peneliti di sambut dengan ramah, dan kebetulan subjek baru pulang bekerja.

  Subjek langsung mempersilahkan peneliti untuk duduk di teras luar rumah. Pada saat itu subjek memakai pakaian santai, yaitu kaos oblong berwarna merah dan celana pendek kain berwarna putih. Subjek memiliki kulit sawo matang, postur tubuh yang tinggi dan kurus serta panjang rambut sedada.

  Pada saat wawancara berlangsung, subjek menjawab tanda kecemasan atau bosan, sedangkan saat wawancara berlangsung anak subjek bermain dengan orang tua peneliti.

  Subjek tinggal bersama anaknya yang mengalami ADHD, suaminya sudah meninggal dan subjek tinggal terpisah dengan orang tuanya. Anak subjek yang berumur 9 tahun kerap kali menghampiri subjek dan senyum-senyum terhadap peneliti kemudian kembali berlarian disekitar pekarangan rumah. Subjek juga memiliki peliharaan burung dara berwarna hitam keabu-abuan yang seringkali dimainkan oleh anak subjek.

  Pada pukul 19.00 peneliti berpamit untuk pulang.

  Pada hari Rabu, 26 April 2017 peneliti kembali ke rumah subjek pada pukul 17.15 untuk melakukan wawancara yang kedua. Saat itu subjek baru pulang bekerja masih menggunakan kerudung berwarna krem, baju berwarna merah muda dan celana panjang hitam, peneliti disambut dengan ramah seperti biasanya dan dipersilahkan duduk di teras rumahnya. Pada pertemuan kali ini subjek menjawab beberapa pertanyaan dengan nada sedih dan mata berkaca-kaca terutama saat mengingat keadaan suami dan anaknya saat dulu, namun untuk pertanyaan selain itu subjek dapat menjawabnya dengan tegas. Anak subjek, J bermain di pekarangan depan rumah, sesekali masuk ke rumah kemudian keluar lagi. Pada pukul 19.00 peneliti berpamitan untuk pulang. a) Demografi

  Subjek merupakan seorang ibu yang berumur 44 tahun dan memiliki dua orang anak laki-laki, anaknya yang pertama berumur 20 tahun dan anaknya yang kedua berumur 9 tahun dan mengalami ADHD. Subjek sudah menjadi single

  parent sejak beberapa tahun lalu karena suaminya sudah

  meninggal dan anaknya yang pertama sudah tidak tinggal serumah karena pindah ke Bogor. Anaknya yang pertama adalah hasil pernikahan dengan suami yang sebelumnya. Hubungan antara anak-anaknya kurang baik, dikarenakan anaknya yang pertama tidak dapat menerima kondisi adiknya yang mengalami ADHD. Subjek juga tinggal terpisah dengan orang tuanya. Suami subjek dulu adalah seorang pensiunan tentara

  Subjek merupakan seorang wanita yang bekerja sebagai pemulung di Cirebon, subjek juga seorang ibu rumah tangga dan menjadi tulang punggung keluarganya. Kegiatan subjek sehari-hari adalah saat pagi mengantar dan menemani anaknya ke sekolah menggunakan sepeda, pada siang hari ia pulang bersama anaknya ke rumah untuk berganti baju kemudian mengajak anaknya mencari botol-botol atau plastik-plastik bekas dari satu tempat ke tempat yang lain untuk kemudian dijual, jika subjek sudah selesai mencari subjek mengajak anaknya untuk bermain layang-layang. Pendidikan yang rendah membuat subjek kesulitan dalam mencari pekerjaan.

  b)

Riwayat Anak dan Usaha Yang Pernah Dilakukan

  Sejak usia satu hingga usia lima tahun, T mengatakan bahwa anaknya sering mengalami kejang-kejang. Saat usia lima tahun, T pun merasa anaknya sangat bandel, tidak bisa diam, dan selalu memegang barang yang baginya menarik. T merasa mulai kewalahan, anaknya tidak bisa disuruh tidur dan masih tidak bisa berbicara secara jelas, hanya mampu mengucapkan beberapa penggalan-penggalan kata saja. T mulai khawatir akan kondisi si anak dan mengajaknya ke dokter anak, dan dokter mendiagnosa anaknya mengalami

  speech delay, si anak kemudian diberikan terapi-terapi untuk

  mengatasi speech delay nya, si anak disuruh untuk berteriak- teriak dan loncat-loncat.

  Ibu T pun mulai sering stres karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk terapi yang pada akhirnya ia menghentikan terapi si anak. Di sisi lain juga perilaku si anak semakin tidak bisa dikontrol, contohnya ketika si ibu sedang tidur, belum lama si anak sudah pergi keluar rumah, si anak juga sangat suka memanjat, sangat sulit untuk diam dan membuat ibu T sangat lelah. Di sekolah pun si anak sering kali berlari-larian, bahkan jika ibu T lengah sedikit, si anak membahayakan. Ibu T mengira anaknya berperilaku seperti itu karena ada yang diinginkan oleh si anak (mainan atau makanan) namun tidak mengatakannya sehingga jadi “bandel”, namun ketika ibu mencoba untuk memenuhi keinginan si anak, perilakunya tidak berubah, tetap “bandel”.

  Si anak pernah mengikuti tes yang diselenggarakan oleh sekolahnya, tes yang dilakukan oleh psikolog untuk mendiagnosa anak-anak di SLBN Cirebon saat itu, dan dinyatakan bahwa J, anaknya, mengalami hiperaktif. Namun ibu T tidak pernah membawa anaknya untuk terapi hiperaktif karena keterbatasan biaya.

  c)

Dukungan Dari Orang Lain dan Dampak Terhadap

  Hubungan Sosial T tidak pernah membayangkan bahwa anaknya yang kedua ternyata mengalami gangguan ADHD, kurangnya pengalaman dan informasi yang membuatnya cukup kesulitan pada awalnya. Di sisi lain sekarang T adalah seorang single parent. Hal tersebut yang terkadang membuatnya merasa bebannya bertambah karena tidak adanya dukungan dari pasangannya.

  Suaminya pergi meninggalkan T karena sakit yang diderita sudah tidak mampu membuatnya bertahan untuk hidup, maka T harus berjuang sendirian mengurus J. Anaknya yang pertama sudah pergi ke Bogor, T menduga Awalnya anaknya yang pertama sering mengontak T untuk menemuinya di Bogor, namun semakin lama anaknya semakin tidak bisa dikontak, handphone nya sering tidak aktif.

  Apabila T sedang tidak mencari rongsok, T mengaku cukup sering pergi ke rumah orang tuanya setelah anaknya selesai mengaji. T merasa orang tua, kakak dan adik-adiknya mendukung T ketika mengetahui T memiliki anak dengan gangguan. Ketika T berlaku kasar terhadap anaknya karena kesal, pasti keluarganya menasehati T untuk tidak melakukan hal tersebut lagi, menyadarkan T bahwa memang anaknya begitu dan harus diterima karena itu pemberian Tuhan.

  Tidak dipungkiri pihak keluarga pasti pernah kesal dan menyalahkan T karena memiliki anak seperti J, namun mereka tetap mendukung apapun keadaannya. T merasa bersyukur karena memiliki keluarga yang mendukung dirinya, sehingga T tidak merasa patah semangat, justru mereka menjadi alasan T untuk tetap kuat dan menjaga anaknya dengan baik.

  Tidak adanya dukungan dari lingkungannya (tetangga) juga awalnya menjadi beban pikiran tersendiri baginya, orang-orang di lingkungannya kerap mencemooh karena T memiliki anak yang “berbeda”, anaknya sering kali dicemooh juga oleh orang-orang di lingkungannya, mereka menyebabkan anaknya tumbuh dengan kondisi demikian, namun semakin kesini T tidak mempedulikan kata-kata mereka. J juga jarang bermain dengan anak tetangga yang lain, dikarenakan kurangnya kepedulian dari tetangga.

T mengaku lebih sering “sendiri” dan menghabiskan waktu di luar rumah. Sejak pagi T sudah mengantar dan

  menemani anaknya hingga siang, kemudian pulang lalu pergi mengaji, kemudian ia menghabiskan waktu dengan mencari rongsok atau pergi ke rumah orang tuanya, malam hari barulah ia pulang ke rumah, sehingga waktu untuk bertemu dengan tetangga cenderung minim. T pun mengaku tidak dekat dengan tetangga yang manapun, dapat dikatakan juga T tidak pernah bercerita kepada tetangganya mengenai permasalahan anaknya.

  Hubungan T justru lebih dekat dengan ibu-ibu yang ada di sekolah J yang sudah dianggap seperti teman baik.

  Apabila T sedang memiliki beban pikiran, T lebih sering bercerita kepada teman-temannya itu, berkeluh kesah mengenai kondisi si anak dan kondisi ekonominya serta meminta pendapat untuk meringankan bebannya. T mengaku bersyukur karena mereka semua mendukung dan justru saling menguatkan, mengingatkan bahwa anak mereka adalah titipan Tuhan bagaimanapun kondisinya, sehingga T tidak merasa anaknya “berbeda”. T merasa cukup dikuatkan kondisi kehidupannya saat ini. T juga mengaku mendapatkan bantuan dari teman-temannya, contohnya ketika T diberikan sepeda agar tidak lagi jalan kaki apabila ingin mengantar anaknya ke sekolah, J juga seringkali diberikan jajan karena kondisi T yang tidak mempunyai uang untuk membelikan anaknya jajanan. Di sekolah juga J memiliki banyak teman dan sering bermain saat jam istirahat sekolah.

  d)

Primary Appraisal

  T awalnya tidak menyangka bahwa perkembangan J, anaknya, tidak sama dengan kakaknya dan anak-anak yang lain. Awalnya T merasa takut apabila J akan memiliki kondisi seperti sekarang ini sampai dewasa nanti, namun dibalik ketakutannya, T pun berharap bahwa J dapat membawa keberkahan baginya dan keluarganya. T juga berharap anaknya dapat menjadi anak yang pintar seperti pada umumnya orang tua berharap kepada anak-anaknya, T mengharapkan yang terbaik bagi anaknya.

  Di sisi lain T termasuk orang yang taat beragama, T menjalankan ibadah shalat bersama anaknya, ia pun mengikutkan anaknya ke “sekolah ngaji” di masjid dekat rumahnya, agar anaknya tetap menjadi anak yang sholeh sesuai harapannya, T tetap berpikiran bahwa anaknya dapat seperti anak normal lainnya, itulah yang membuat T melibatkan anaknya dalam kegiatan-kegiatan seperti anak diajarkan untuk sepenuhnya berserah kepada Tuhan, oleh karena itu T menerima J apapun kondisinya.

  Ketika J didiagnosa hiperaktif, awalnya T mengaku merasa minder. Menurutnya kondisi anaknya saat lahir sangat sehat, sekalipun terlahir prematur, namun T tidak menyangka anaknya akan mengalami tumbuh kembang yang seperti ini. T sering mengintropeksi perlakuan yang pernah dilakukan oleh dirinya dan suami yang sekiranya bisa menyakiti orang lain dan menyebabkan anaknya seperti ini. Namun T mengatakan bahwa dirinya sangat menerima J, menurut T kalau dirinya tidak menerima si anak lalu siapa lagi yang akan menerima

  e) Secondary Appraisal

  Perasaan T sangat sulit untuk dideskripsikan, T sedih, kecewa, marah terhadap keadaannya sendiri, dimana T harus mengurus suaminya yang sakit dan anak yang hiperaktif hingga pada akhirnya suaminya meninggal dan T harus menjadi tulang punggung keluarga demi mengurus J. Namun T tetap pantang menyerah dan semangat menghadapinya, T berusaha jangan sampai ia sakit dan

  “tidak ada”, sehingga ia harus tetap semangat menjalani kehidupannya dengan kondisi yang sebenarnya tidak ia harapkan, namun T tetap menjalani dan menerimanya dengan ikhlas.

  T tidak memungkiri bahwa sebagai manusia ia pernah kepada siapa sehingga T hanya bisa menerima kondisi kehidupannya dengan ikhlas, dan berharap anaknya bisa membawa berkah bagi keluarganya. Melihat kondisi anaknya yang seperti ini, lalu perekonomiannya yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari membuat T sangat stres menghadapinya. Namun T merasa sangat yakin bahwa ia mampu menghadapi dan menjalani kestresan dan kesusahannya, T pun merasa bahwa anaknya adalah sebagai pengobat bagi dirinya. T mengaku walaupun anaknya tumbuh dengan kondisi yang seperti ini namun J tetap bisa menjadi pengobat hati bagi T, karena T tidak bisa membayangkan apabila ia tidak memiliki J, di satu sisi anaknya yang pertama sudah pergi meninggalkannya.

  Untuk meminimalisir stresnya, T biasanya mengajak anaknya pergi ke lapangan depan untuk melihat balapan burung dara yang menurutnya dapat mengalihkan beban pikirannya, setelah itu T pulang dengan J lalu mengambil waktu untuk tidur (distraction), karena T yakin anaknya pasti sudah sangat lelah sehingga mudah untuk tidur, agar esok pagi siap untuk menjalani aktivitas seperti biasanya. Selain itu, T mencoba coping stress yang lainnya seperti menghubungi teman-temannya lewat handphone, lalu bercerita mengenai permasalahannya atau hanya sekedar mengobrol (assistance seeking), obrolan bersama teman- temannya dirasa dapat membuat T tertawa lagi dan melupakan beban pikirannya (humor).

  T selalu memiliki cara untuk menghadapi stressornya, sehingga T memiliki kepercayaan diri lebih untuk dapat mengatasi stressornya, namun tindakan cara-cara yang T lakukan terkadang tidak didukung dengan materi yang dimiliki, contohnya saja apabila T ingin menghubungi teman-temannya namun tidak memiliki cukup pulsa, biasanya T hanya bisa miscall teman-temannya dan berharap mereka dapat menghubungi kembali. Selain itu apabila ia tidak memiliki pulsa yang cukup, biasanya T mengajak anaknya untuk ke depan melihat burung.

  T juga merasa tidak semua lingkungan sosialnya mendukung, T mengaku tetangganya tidak dapat mendukung dirinya dikala susah sehingga lebih banyak menjaga jarak, beruntungnya T memiliki teman-teman yang dapat mendukung dirinya baik secara emosional maupun finansial. T mengaku teman-temannya dapat diandalkan ketika T memiliki masalah entah masalah anak maupun perekonomian, dan hal ini membuat T merasa lebih mampu menghadapi stressornya. Contohnya jika T sedang merasa stres, teman-temannya biasa mengundang T untuk hadir ke rumah mereka lalu diajak makan berasama. Biasanya saat masih diperjalanan saja beban pikiran T sudah hilang karena sehingga T tidak jadi hadir. Melihat orang tidak mampu yang tinggal di pinggir jalan juga membuat T merasa sangat bersyukur karena masih memiliki tempat tinggal sekalipun dengan kondisi kehidupan yang begini, karena hal itu akhirnya T bersemangat lagi untuk menjalani hidup bersama anaknya. T mengaku bahwa dengan mengajak anaknya jalan- jalan dapat membuat dirinya merasa tentram, dan mampu mengurangi stress yang dimilikinya.

  Menurut T, stressornya tidak hanya berasal dari si anak, namun dari hal lain seperti halnya perekonomian. T merasa pendapatannya melalui mencari dan menjual barang rongsok tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari , T tidak mampu membeli beras, tidak bisa membelikan jajan untuk anaknya , yang pada akhirnya ia terpaksa meminta sekaleng beras ke orang tuanya. Stressor lainnya adalah ketika si anak melihat teman-temannya memiliki mainan baru, contohnya sepatu roda, pasti J juga minta dibelikan sepatu roda. Ketidakmampuan T memenuhi keinginan si anak menjadi salah satu stressor tersendiri bagi dirinya, karena menurut T apabila anaknya tidak mendapatkan yang diinginkannya, pasti anaknya mengalami demam tinggi hingga kejang. Untuk menghindari hal tersebut, apabila di lingkungan tempat tinggal T sedang ada “musim” sebuah mainan, T menjauhkan anaknya dari hal itu f) Reappraisal

  Setelah melakukan primary dan secondary appraisal, subjek T mengakumulasi semua informasi yang T dapat dari kedua penilaian tersebut, mengenai seberapa mengancam

  stressor yang harus dihadapi, keyakinan yang dimiliki T

  dalam menghadapi stressor untuk jangka panjang, kemudian sumber-sumber yang dimiliki T seperti waktu, tenaga, dukungan sosial, problem solving skill, dan kurangnya materi yang dimiliki. T juga memikirkan pilihan-pilihan coping yang biasa dilakukan selama ini untuk mengurangi stres yang dimiliki seperti memarahi anak, tidur, pergi jalan-jalan. Hal ini yang akhirnya akan menentukan final appraisal yang akan dilakukan oleh T.

  g)

Final Appraisal

  T mengaku cara yang biasa digunakannya untuk menghilangkan stres adalah mengikuti keinginan anaknya, T merasa sebenarnya mengikuti J dapat mengurangi rasa stresnya, T merasa lebih enjoy. Contohnya, T mengatakan bahwa anaknya suka sekali bermain layang-layang, maka T mengajak anaknya untuk bermain layang-layang di lapangan CUDP (Cirebon Urban Development Project) yang besar, disana T bisa bermain layang-layang bersama anaknya, berlari bersama, dan juga sekaligus T bisa mencari barang rongsok karena disana cukup banyak orang yang datang, sehingga T merasa ia bisa mengurangi stres dengan bermain bersama anaknya sekaligus mencari penghasilan tambahan.

  Selain itu T sudah mencoba melakukan berbagai

  

coping stress , dan T juga mencari coping yang lain seperti

  memasak bersama anaknya, karena anaknya memiliki hobi makan maka T merasa anaknya pun bisa diajak masak bersama, dan hal tersebut dianggapnya mampu untuk menghilangkan beban pikiran. T merasa strategi-strategi

  

coping yang dilakukannya dirasa mampu untuk

  menghilangkan stresnya, namun belum efektif karena stres yang dimiliki T bisa timbul lagi. T menceritakan bahwa ia pernah mencoba beberapa strategi coping yang dirasa cukup mampu meminimalisir stresnya, namun ketika T sedang kelelahan atau kesal, T bisa memukul anaknya lagi. T merasa stresnya bisa muncul kembali apabila dirinya tidak dapat mengontrol diri, oleh karena itu T memutuskan untuk tidak memikirkan keadaannya yang seperti sekarang ini, T cukup hanya menerimanya saja.

  Menurut T, stressornya tidak hanya berasal dari si anak, namun dari hal lain seperti halnya perekonomian. T merasa pendapatannya melalui mencari dan menjual barang rongsok tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari , T tidak mampu membeli beras, tidak bisa membelikan jajan untuk anaknya , yang pada akhirnya ia lainnya adalah ketika si anak melihat teman-temannya memiliki mainan baru, contohnya sepatu roda, pasti J juga minta dibelikan sepatu roda. Ketidakmampuan T memenuhi keinginan si anak menjadi salah satu stressor tersendiri bagi dirinya, karena menurut T apabila anaknya tidak mendapatkan yang diinginkannya, pasti anaknya mengalami demam tinggi hingga kejang. Untuk menghindari hal tersebut, apabila di lingkungan tempat tinggal T sedang ada “musim” sebuah mainan, T menjauhkan anaknya dari hal itu agar tidak terulang lagi.

  3)

Hasil Triangulasi

  T adalah orang yang kuat, suka mengobrol dengan teman-temannya, saling sharing, dan suka bercanda. T adalah seorang ibu yang bekerja keras demi mengatasi permasalahannya, seorang yang tetap menerima dengan pasrah atas kondisi anaknya, dan seorang yang tidak mudah menyerah terhadap tantangan hidup. Hubungannya dengan teman- temannya bisa dikatakan sangat baik, sosok seorang anak yang dekat dengan orang tua dan saudara-saudaranya, sekalipun saudara-saudaranya kurang dapat membantu namun mereka tetap berhubungan baik.

  Masalah yang dihadapi subjek T adalah kondisi anak dan masalah ekonomi yang sering kali menghambatnya untuk memenuhi kebutuhan anak dan dirinya sendiri. Kondisi anak anak sakit dan butuh makan, sedangkan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga harus bergantung pada bantuan orang lain.

  Usaha-usaha yang dilakukan T adalah terus bekerja dan mendampingi anaknya, bercerita kepada teman-teman dan meminta pendapat mereka, usaha-usaha dan dukungan dari orang terdekatlah yang dapat membuat T tetap tegar menghadapi stressor-stressor yang ada. 4)

  Analisis Kasus Subjek 1 Subjek pertama dalam penelitian ini adalah T, seorang

  single parent berusia 44 tahun yang memiliki dua orang anak

  dengan suami yang berbeda. Anak yang pertama adalah K, anak kedua yang mengalami hiperaktif adalah J berusia 9 tahun. Hubungannya dengan J dekat, karena sekarang mereka hanya tinggal berdua. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu, dan anaknya yang pertama pergi ke Bogor untuk melanjutkan hidup, T juga tinggal terpisah dengan orang tua dan saudara-saudaranya.

  Awalnya T menyadari bahwa ada yang berbeda dari J, sejak bayi masa perkembangannya terlambat, sejak usia satu tahun J sering mengalami kejang-kejang, hingga anaknya menginjak usia lima tahun, J mengalami hiperaktif, sangat sulit diatur, suka berlari-larian, loncat-loncat, dan tidak bisa diam. Di sisi lain, sejak kecil J juga mengalami speech delay yang dengan orang-orang. J sudah pernah diterapi untuk speech

  

delay nya, ada perubahan namun tidak signifikan, T pun

  menyekolahkan J di SLBN kota Cirebon. Karena keterbatasan biaya, terapinya pun hanya berjalan satu tahun kemudian diberhentikan.

  Hubungan T dengan keluarganya pun dekat, T sering mengajak J pergi ke rumah orang tuanya mengendarai sepeda, bertemu dengan orang tua dan saudara-saudara kandungnya membuat T merasa senang karena merekalah yang mendorong T untuk tetap bersemangat menjalani kondisi kehidupannya saat ini. Hubungannya dengan teman-temannya juga baik dan dekat, karena teman-temannya dapat memahami kondisi T yang mempunyai anak seperti J, teman-temannya kerap mengundang T ke rumah mereka untuk makan bersama, mereka juga sering menjadi tempat bercerita saat T sedang stres, dan mereka pun memperlakukan J dengan baik seperti sesekali memberi jajanan. Di sisi lain, hubungan T dengan tetangga-tetangganya kurang baik, menurut subjek, pandangan tetangganya terhadap kondisi T bisa dikatakan kurang baik.

  Maka dari itu, T pun tidak ambil pusing akan hal tersebut, T lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, dan pulang hanya untuk beristirahat dan makan, T jarang bersosialisasi dengan tetangga-tetangganya karena mereka sering mencemooh kondisi J. Hal ini cukup berpengaruh pada lingkungan rumah J jarang bermain dengan anak tetangga di sekitarnya berbeda halnya dengan di lingkungan sekolah, dimana J lebih sering bermain dengan teman-teman sekolahnya saat jam istirahat.

  Penilaian subjek T terhadap stressor bisa dikatakan positif, pada awalnya T merasa minder saat mengetahui anaknya “berbeda” apalagi ini adalah pengalaman pertamanya, namun T tetap berharap anaknya akan menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu (wishful thinking) maka dari itu T tetap mengajak J melakukan kegiatan-kegiatan seperti anak normal pada umumnya, J diajari sholat, sekolah mengaji, bermain, memasak dan lainnya. Selama ini subjek T memang mengalami stres yang berat dan T tidak tahu kapan akan stres ini akan selesai, keyakinan yang dimiliki membuatnya begitu kuat, pasrah dan menerima kondisi anaknya dengan ikhlas sepenuhnya, hal ini dilandaskan atas pemikiran T bahwa kalau bukan subjek sendiri yang menerima anaknya lalu siapa lagi, maka seiring berjalannya waktu T akhirnya dapat menerima anaknya secara utuh.

  Saat suaminya masih hidup, T mengalami stres yang cukup berat dan perasaan yang campur aduk dimana T harus mengurus suaminya yang sedang sakit dan anaknya J, tidak adanya biaya menambah beban pikiran T hingga akhirnya suaminya meninggal. Perasaan sedih dan marah saat itu ada problema kehidupan, T mengatakan bahwa entah bagaimanapun caranya dirinya harus tetap bertahan demi anaknya. Dengan melihat J yang dimilikinya sekarang, ia merasa yakin mampu menghadapi stressor-stressor yang ada dan menjalani kehidupan dengan ikhlas, karena melihat anaknya dapat mengobati hatinya, dan jika tanpa anak T merasa keadaannya akan semakin lebih buruk.

  Saat mengetahui anaknya mengalami gangguan hiperaktif, T sempat menyalahkan dirinya dan/atau suaminya, T berpikir bahwa mungkin ada kesalahan yang pernah dirinya lakukan di masa lalu yang menyebabkan anaknya demikian (self-critism), namun lama kelamaan pemikiran itu hilang. Untuk mengurangi stres yang dialaminya, T sering mengajak anaknya ke lapangan untuk melihat balapan burung (distraction), kemudian jika sudah kelelahan T dan anaknya akan pulang dan tidur. Hal ini T lakukan agar dirinya bisa sejenak melupakan beban pikiran yang ada. Selain itu T juga mencoba strategi coping yang lain, T akan menghubungi teman-temannya lewat handphone atau bertemu langsung disekolah untuk bercerita mengenai permasalahan dan meminta pendapat mereka (assistance seeking), atau bercerita hal-hal yang menarik yang membuat subjek T tertawa sehingga bebannya dapat hilang untuk sementara (humor).

  T merasa dari segi waktu dan tenaga sangat mendukung tidak dapat mendukung untuk beberapa strategi dilakukan seperti menghubungi teman-temannya atau membelikan yang anaknya inginkan.

  Adanya stressor lain juga menghambat keinginan untuk melakukan strategi coping yang lain. Stressor lainnya adalah masalah ekonomi. Permasalahan ini sudah cukup lama dialami oleh T, terutama sejak suaminya sakit, T harus menjadi tulang punggung keluarga. Pekerjaannya sebagai penjual rongsok tidak dapat menutup pengeluaran untuk kebutuhan sehari- harinya, untuk makan pun T mengaku kesulitan, jika tidak memiliki beras dirinya pasti ke rumah orang tuanya untuk meminta sekaleng beras, hanya untuk dirinya dan anaknya. T mengaku penjualan barang rongsok tidak semudah mengumpulkan sehari lalu dijual, T harus menunggu beberapa hari baru kemudian bisa dijual, yang pendapatannya pun tidak seberapa. Contoh lain ketika anaknya menginginkan suatu barang yang dimiliki teman-temannya, terkadang karena harganya begitu mahal T tidak mampu membelikannya, yang menyebabkan anaknya jatuh sakit. Beruntungnya, di sekolah ada teman-teman yang membantunya memberikan sejumlah uang yang bisa T gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari- harinya.

  Alasan yang membuat T memilih beberapa strategi

  

coping diatas adalah karena dengan melakukan itu semua, dimilikinya. Strategi-strategi coping diatas yang biasa dilakukan oleh T menjadi salah satu alasan subjek T akan menggunakan strategi-strategi tersebut lagi untuk kedepannya.

  T merasa bersyukur karena orang-orang disekelilingnya mendukung strategi coping yang T lakukan, contohnya T suka jalan-jalan karena dengan berjalan-jalan dirinya menemukan hal-hal yang membuat bebannya hilang, dan teman-temannya kerap mengundang T dan anaknya ke rumah mereka untuk makan bersama. Dukungan yang datang kepada T adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keputusannya dalam menentukan strategi coping yang akan digunakan.

  T mengaku pernah melakukan pergantian coping, seperti mengajak anaknya untuk bermain layang-layang dan memasak bersama (distraction), strategi-strategi tersebut dapat dikatakan mampu menghilangkan stresnya namun tidak untuk selamanya. T mengatakan bahwa untuk kedepannya lebih memilih untuk tidak memikirkan permasalahannya, karena jika dipikir secara terus menerus justru akan membuat dirinya stres (denial). Saat T merasa bahwa strategi yang digunakan tidak efektif, T tidak merasakan dampak terhadap fisiologisnya, namun berdampak pada munculnya kembali stres pada dirinya sewaktu-waktu.

  5) Intensitas Tema

  Tabel 4.3 Intensitas Tema Subjek I

  Tema Koding Intensitas

  • hal yang baru SB

  Stressor

  • Prediksi terhadap stressor PS Pengaruh kepercayaan +++ KM
    • Penerimaan terhadap stressor PTS
    • Perasaan negatif PN
    • Emotion focused coping EFC
    • Problem focused coping PFC Sumber materi, tenaga, waktu, MTW +

  problem solving skill, social skill ,

  dukunga sosial mendukung

  • Stressor lain SL
    • Komitmen/keyakinan menghadapi KS

  stressor

  • Faktor pendukung penentuan coping FP (materi, tenaga, waktu) Dukungan sosial +++ DS
    • Faktor kepribadian FK

  • Pergantian coping PC
  • Efektivitas strategi coping EC Keterangan:

  : Intensitas rendah + : Intensitas sedang ++ : Intensitas tinggi +++

Secondary Appraisal

  1. Adanya stres berat, perasaan marah, jengkel, kecewa dan sedih

Primary Appraisal

  2. Sangat yakin mampu mengatasi

  1. Stressor adalah hal yang

Final Appraisal 2

  stressor baru

  Adanya penyusunan dan pergantian

  3. Sumber waktu dan tenaga/fisik Subjek 2

  2. Prediksi anak menjadi Reappraisal 

New

  strategi coping yang lain  mengajak mendukung tindakan coping,

   lebih baik

  

Appraisal

  anak bermain layangan, memasak materi kurang mendukung.

  3. Kepercayaan

  • + (distraction) dan tidak memikirkan

  4. Memiliki sumber problem mempengaruhi dalam kondisi diri sendiri (denial) solving skill, social skill, dan menghadapi stressor social support yang mendukung

  4. Menerima anak

  5. Emotion focused coping: seutuhnya distraction, positive reappraisal, emotional discharge, resigned acceptance, increased activity, praying, wishful thinking, self

  critism, seeking meaning Faktor Internal

  • Faktor Eksternal
    • Adanya materi, tenaga, dan

  6. Problem focused coping: planfull

  • Coping yang biasa dilakukan waktu yang mempengaruhi

  problem solving, direct action,  memukul anak, memarahi, assistance seeking pemilihan strategi coping tidur, bercerita pada teman, yang baru pergi menonton balap burung,

  • adanya dukungan dari jalan-jalan, pergi kerumah keluarga dan teman-teman teman, meminta bantuan
  • Stressor lain: permasalahan keluarga ekonomi, anak yang per
  • Memiliki kepribadian yang tidak bisa dikontak, suami terbuka meninggal

  80 Melakukan

  Tidak Skema 3. Dinamika Coping Stress T

  Strategi Coping Efektif Nama : ER Umur : 45 tahun Alamat :Kampung Pentul Tinjomoyo, Banyumanik,

  Semarang Pendidikan : S2 Pekerjaan : Dosen dan ibu rumah tangga Nama anak : A (dipanggil I) Umur : 9 tahun Kelas : 2 SD Sekolah : Sekolah inklusi Anak ke 1 dari 2 bersaudara b.

Hasil Observasi dan Wawancara 1) Hasil Observasi

  Pada hari Selasa tanggal 30 Mei 2017, peneliti menemui subjek ER untuk melakukan wawancara pertama di tempat bekerjanya. Subjek bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Semarang. Pada hari itu peneliti datang lebih awal untuk mempersiapkan diri, selagi menunggu subjek selesai mengajar. Ketika subjek datang, peneliti langsung dipersilahkan masuk ke dalam ruangannya dan melakukan wawancara. Ruangan saat itu kosong, dan meja subjek terlihat rapi. Wawancara diawali pada pukul 09.30, dan beberapa kali ada mahasiswa dan dosen yang memasuki ruangan namun tidak mengganggu wawancara.

  Subjek terlihat mengenakan pakaian berkerah berwarna coklat, celana berwarna krem dan bersepatu. Subjek memiliki postur tubuh yang agak kurus, tidak terlalu tinggi dan rambut yang panjangnya hanya seleher. Selama proses wawancara subjek dapat menjawab pertanyaan dengan baik, dengan memberikan penjelasan yang cukup panjang dan terkadang disertai contoh, subjek dapat memberikan jawaban yang cukup tegas dan cepat. Pada pukul 10.30 peneliti pamit untuk pulang, karena subjek pun harus kembali mengajar.

  Pada hari Kamis tanggal 20 Juli 2017, peneliti kembali bertemu dengan subjek dan suaminya untuk melakukan wawancara triangulasi. Pukul 14.05 peneliti sampai di rumah subjek dan langsung disambut dengan ramah, kemudian subjek dipersilahkan masuk. Subjek menggunakan baju terusan berwarna biru muda, sedangkan suaminya menggunakan kaos kerah abu-abu dan celana kain hitam. Di dalam rumah pun ada anak subjek yang perempuan, kemudian peneliti mengobrol sebentar dengan si anak, anaknya pun duduk bersama dengan kami dan bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Setelah itu peneliti melakukan wawancara sebentar terhadap subjek dan suaminya, kemudian pada pukul 15.00 peneliti pamit untuk pulang. a)

Demografi

  Subjek ER adalah seorang ibu, istri sekaligus pekerja. ER berumur 45 tahun, bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Semarang, selain itu subjek juga menjadi seorang ibu dari dua orang anak yang bernama I dan T. I berumur 9 tahun sedangkan T berumur 5 tahun, I adalah anak perempuan pertama yang mengalami ADHD sedangkan anaknya yang kedua, laki-laki, mengalami speech delay. Kesehariannya, ER mengajar sebagai dosen sejak pagi sampai sore, kemudian pulang ke rumah untuk mengurusi anak-anak dan suaminya.

  ER beruntung memiliki seorang suami yang mendukungnya setiap hari, bisa dikatakan ER dan suaminya memiliki hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Suaminya bekerja sebagai penerjemah yang membuka usahanya di rumah mereka. Suaminya membuka usahanya di rumah dengan tujuan agar dapat menjaga anak- anaknya terutama saat ER sedang bekerja karena mereka tidak memiliki pengasuh anak.

  Hubungan ER dengan anak-anaknya pun dapat dikatakan baik, ER mau terus berjuang untuk I, mau terus mengajari dan mengusahakan yang terbaik, dengan T pun ER banyak bercanda dan mempercayakannya untuk mengenai permasalahan anak-anaknya, ER kerap meminta pendapat kepada teman-temannya. Terhadap tetangganya, ER kurang bisa terbuka karena merasa mereka belum tentu mengerti apa yang dihadapi oleh ER.

  b)

Riwayat Anak dan Usaha yang Telah Dilakukan

  ER menceritakan awalnya I belum bisa berbicara pada umur dua tahun, kemudian ketika ada rekan kerja yang menanyakan mengenai kondisi I, ER pun menceritakannya dan dianjurkan untuk segera diperiksakan. ER pun merasa anaknya masih baik-baik saja karena ER berpikir mungkin sebentar lagi anaknya bisa berbicara. Namun tidak ada hasil apapun, dan sejak itu ER menyadari bahwa anaknya mengalami speech delay lalu ER segera mengajak anaknya untuk terapi bicara sejak umur dua tahun, banyak terapi yang sudah dilakukan yang akhirnya membuahkan hasil, namun permasalahan lain pun muncul dalam waktu yang singkat. Banyaknya pengalaman yang ER dapatkan dari klien-kliennya yang mengalami ADHD, dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh anaknya, membuat ER menyimpulkan bahwa anaknya pun mengalami ADHD.

  Ketika diajak berbicara, anaknya sering kali tidak menatap lawan bicaranya dan tidak suka menonton TV, akhirnya ER membawa anaknya untuk terapi konsentrasi. mengalami speech delay karena mereka tidak bisa konsentrasi memperhatikan orang lain berbicara, sehingga kurang mampu menirukan dan menerapkannya, dan itulah yang dialami oleh I. Banyak usaha yang dilakukan oleh ER terhadap I, mulai dari obat-obatan dari dokter, terapi oksigen di dalam tabung (hyperboric), terapi pijat sampai sekarang melakukan fisioterapi di Talitakum, dan semua usaha tersebut sedikit demi sedikit membuahkan hasil seiring berjalannya waktu.

  c)

Dukungan Dari Orang Lain dan Dampak Terhadap

  Hubungan Sosial ER memiliki banyak peran yang seringkali membuat dirinya mengalami stress, selain menjadi seorang ibu dari kedua anaknya, ER juga adalah seorang istri dan pekerja. ER merasa beruntung karena memiliki suami yang sangat mendukung dirinya dalam menghadapi situasi-situasi sulit seperti ini. Suaminya membuka usahanya di rumah agar tetap dapat menjaga kedua anaknya terutama I. ER pun mengakui bahwa dirinya dapat menerima kondisi anaknya baru setahun terakhir, selama ini ER selalu mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap I, dan karena itulah ER seringkali mengalami emosi ketika berhadapan dengan I, di saat seperti itulah suaminya selalu meminta ER untuk sabar dan menerima kondisi si anak. ER mengaku suaminya emosi, contohnya ketika ER emosi saat mengajari I, suaminya menyuruh untuk disudahi saja belajarnya dari pada menimbulkan kemarahan yang lebih besar lagi.

  Tidak hanya suami, anaknya yang kedua pun seringkali meminta ibunya untuk bersabar apabila ibunya sudah mulai marah karena kondisi I, ER merasa beruntung memiliki T karena ia berharap bahwa T dapat menjaga kakaknya saat tidak ada orang. Seringkali ER meminta T untuk menjaga dan melindungi si kakak. Hal-hal tersebut yang membuat ER sadar bahwa keluarga kecilnya mendukung dirinya untuk menghadapi I dalam situasi apapun.

  Tidak seperti keluarganya, ER merasa lingkungan rumahnya (tetangga) tidak dapat mengerti kondisinya, ER selalu “mengurung” anaknya I di dalam rumah karena I suka hilang apabila sudah di luar rumah apalagi di lingkungannya banyak anak kecil, ER memperbolehkan anak-anak lain untuk main ke rumah asal bukan anaknya yang keluar rumah. ER tidak memiliki pengasuh anak untuk menjaga anaknya sehingga ER menjaga anaknya dengan cara ditaruh di dalam rumah, namun para tetangga selalu menyuruh ER untuk membiarkan anaknya keluar rumah dan menjamin anaknya tidak akan hilang apabila bermain dengan anak-anak yang lain, tetangganya merasa I kurang sosialisasi karena ER tidak memperbolehkan I bermain sendirian di luar rumah.

  Tetangganya pun tidak mengetahui kondisi I yang sebenarnya, ER merasa tidak perlu menjelaskan mengenai kondisi I karena mereka orang awam yang belum tentu mengerti apabila dijelaskan, ER mengajak anaknya keluar apabila ada undangan pernikahan tetangga atau acara PKK, sehingga dapat dikatakan bahwa ER memiliki hubungan yang kurang dekat dengan para tetangganya.

  Hal ini pun ER alami dalam hubungannya dengan kedua orang tuanya terutama almarhum ayahnya. Dulu sebelum ayahnya meninggal, ayah ER adalah seorang akademisi, sehingga apabila ayahnya bertemu dengan I seringkali ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan akademis, namun I tidak dapat menjawab sehingga ayahnya men- cap bahwa I “kurang” dan karena sikap ayahnya itulah yang membuat ER sakit hati. Di sisi lain, I juga sering dibandingkan dengan sepupu-sepupunya yang dianggap “lebih pintar”, hal itulah yang membuat ER terbawa untuk membandingkan anaknya dengan keponakan-keponakannya yang lain. Hubungan ER dengan sang ibu bisa dikatakan baik, karena apabila ER sedang ada masalah dengan anak, ER lebih banyak bercerita dan mencurahkan isi hatinya terhadap si ibu bukan suami.

  Hubungan ER dengan guru-guru di sekolah I yang seringkali membuat ER stres. ER merasa sekolah I sekarang adalah sekolah inklusi namun para tenaga pendidiknya tidak dapat menangani anak ABK, dan cenderung sering komplain terhadap ER. Di sisi lain,

  shadow teacher yang digunakan oleh ER pun kurang dapat

  mengenali karakteristik anaknya, mungkin hal itu dipicu oleh shadow teacher yang bukan berasal dari mahasiswa fakultas psikologi, sehingga membuat shadow teacher kurang dapat mengenali kebiasaan dan kepribadian anaknya.

  Hubungan ER dengan teman-teman kerjanya dapat dikatakan sangat baik, ER mengaku bahwa teman- temannya mengetahui kondisi I sejak bayi, mulai dari masuk ICU dua kali hingga mengetahui bahwa ER tidak lagi dapat meneruskan pekerjaannya di tempat lain dikarenakan kondisi anaknya yang membutuhkan perhatian lebih. Teman-teman ER pun sering membantu ER, mulai dari mendengarkan keluh kesah ER, sampai merekomendasikan tempat terapi dan sekolah bagi I. ER pun merasa teman-temannya selalu mendukung ER dalam menghadapi anaknya.

  d) Primary Appraisal

  ER awalnya merasa sangat stres karena banyaknya oleh guru di sekolah terhadap ER bahwa mereka tidak dapat menangani I sehingga membutuhkan shadow

  

teacher . Beban pikiran yang ditambah dari tempat ER

  bekerja, dan stressor dari anaknya sendiri terutama ketika diajari sesuatu yang membuat ER merasa emosi, karena ER susah menebak kapan mood I sedang bagus untuk belajar dan tidak. Sulitnya mengatur dan mengajari anaknya tidak membuat ER memandang pesimis terhadap masa depan si anak.