Perbedaan Retinal Nerve Fiber Layer Thickness Dengan Optical Coherence Tomography Pada Pasien Tuberkulosis Sebelum Dan Susudah Mendapat Etambutol Di Rsup.H. Adam Malik Medan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di
sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis (M.TB). Bakteri TB
paru menyebar melalui percikan dahak yang dibatukkan (droplet nuclei).
Walaupun dapat mengenai berbagai organ tubuh, namun bagian terbesar
(80-90%) mengenai organ paru. (American Thoracic Society, 2000
;Depkes RI,2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI.
2005).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menginfeksi jutaan orang
di dunia. Pada tahun 2003 ,terdapat 1997 kasus baru dilaporkan di
singapura. Insidensi di asia tenggara sama bahkan lebih tinggi dari
singapura dan menjadi salah satu masalah kesehatan.TB menjadi
penyebab kematian utama sampai tahun 1946 ketika streptomisin di
temukan. Sejak saat itu banyak obat yang digunakan untuk mengobati TB
( Su-Ann lim,2006). Etambutol telah di gunakan untuk mengobati TB sejak
tahun 1960. Gangguan penglihatan yang potensial mulai di perlihatkan
semenjak obat ini diperkenalkan. (Su-Ann lim,2006;Choi SY,Hwang
JM1997).
TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia,pada tahun
2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah sebagai penderita baru
dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya.Sebagian besar penderita
Universitas Sumatera Utara
TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan
penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia
(Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI. 2005).
Program nasional penangulangan TB paru di Indonesia sesuai
dengan rekomendasi internasional mengunakan obat anti TB paru (OAT),
berupa
kombinasi
Etambutol
15-20
mg/kgBB/hari,
Isoniasid
5-10
mg/kgBB/hari, Rifampisin10-20 mg/kgBB/hari. Obat-obat itu diberikan
selama 6-8 bulan. Dalam kurun waktu tersebut ,obat-obata dapat
memberikan efek samping yang bervariasi di berbagai organ tubuh
termasuk mata (Depkes 2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan
klinik Departement kesehatan RI. 2005). Berdasarkan penelitian Sutton
dan Beattie melaporkan bahwa penderita TB yang diberikan terapi
kombinasi
memperlihatkan
efek
samping
neuropati
optik
setelah
pemberian etambutol sedangkan isoniasid hanya memberikan efek
idiosinkrasi. (Peng KS, 2005)
Etambutol hidroklorida adalah salah satu dari agen lini pertama
pengobatan tuberkulosis. Organ yang dapat terkena toksisitas dari
etambutol adalah mata. Efek pada mata yang paling serius adalah optik
neuritis dan demielinisasi dari saraf optik. Manifestasi yang paling awal
dari keterlibatan mata adalah gangguan pada penglihatan warna terutama
warna merah dan hijau.(protanop dan deuteranopi).( Katzung Betram
G,1997)
Universitas Sumatera Utara
Etambutol merupakan satu obat yang sering berhubungan dengan
neuropati optik toksik. Neuropati optik yang terjadi adalah tergantung pada
dosis dan lamanya pemakaian. Kehilangan penglihatan tidak langsung
terjadi sampai pasien telah memakai obat sedikitnya 2 bulan, tapi gejala
umumnya nampak antara 4 bulan sampai satu tahun,onset ini bisa lebih
cepat jika pasien mempunyai penyakit ginjal karena hal ini akan
mengakibatkan penurunan ekskresi obat sehingga level serum meningkat.
Pasien yang menerima dosis 25 mg/kg/hr atau lebih sangat rentan
terhadap kehilangan penglihatan (Zafar,Aftab, 2008). Kumar, melaporkan
toksisitas etambutol, sebesar 42,2 % mengalami pebaikan tajam
penglihatan 6/60 dalam kurun waktu 10-12 bulan setelah pemberian
etambutol dihentikan dan terjadi progresivitas neuropati optik dengan
kerusakan
tajam
penglihatan
permanen
sebesar
42,2%.
Robert
melaporkan bahwa pemberian etambutol 15 mg/kgBB/hari menyebabkan
nuropati optik sebesar 1,6% kasus. Bila diberikan dengan dosis 25
mg/kgBB/hari menyebabkan neuropati optik pada 2,48 % kasus.
(Chatterjee VKK dkk, 1986). Roussos melaporkan, bila etambutol
diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB/hari selama 4-8 bulan terapi dapat
menimbulkan neuropati optik sebanyak 2% kasus ( Chatterjee VKK,1986).
Dari 822 dilaporkan secara langsung reaksi dari etambutol pada
mata oleh the National Registry of Drug-Induced Ocular Side Effect
(Portland, Oregon) dan WHO (World Health Organization) (Uppsala,
Sweden), dimana ditemukan 55 kasus neuropati optik ( 24 pria,31 wanita).
Dosis rata-rata 1032 mg/hari (berat subjek tidak diperoleh,tapi dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini kisaran terapeutik 15 mg/kgBB/hari, diperkirakan 70 kg atau
sekitar 155 lbs) dengan durasi terjadinya neuropati optik dalam kurun
waktu 235 hari. Dilaporkan insidensi neuritis retrobulbar berhubungan
dengan etambutol 50% dari pasien dengan dosis 60-100 mg/kgBB/hari,
18% dengan pemberian > 35 m/kgBB/hari, 5-6 % dengan 25 mg/kgBB/hari
dan < 1% dengan 15 m/kgBB/hari dari etambutol HCL untuk pemakian
lebih dari 2 bulan. Tidak ada “dosis aman” untuk pemberian ethambutol
yang telah dilaporkan. Pemberian dengan dosis kecil dari 12,3
mg/kgBB/hari di observasi toksisitasnya. (Su-Ann lim,2006; Kwok A ,2006;
TB end Chest service, 2006;Rick FW, 2009)
Neuropati optik akibat etambutol memberikan keluhan gangguan
tajam penglihatan, gangguan lapang pandangan antara lain skotoma
sentral, perifer dan defek bitemporal serta buta warna merah-hijau (redgreen dyschromatopsia). Pemeriksaan tajam penglihatan, buta warna dan
lapang pandangan merupakan pemeriksaan fungsi penglihatan secara
subjektif. Pemeriksaan fungsi penglihatan secara objektif dilakukan
dengan
pemeriksaan
visual
evoked
potensial
(VEP).(
Su-Ann
lim,2006;Carrs RE,Henkind P,1962;Yiannikas C dkk,1983)
1.2.
Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness sebelum
dan
sesudah
pemakaian
etambutol
pada
pasien
tuberkulosisdi
RS.H.Adam Malik Medan?
Universitas Sumatera Utara
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan retinal nerve fiber layer thickness
sebelum dan sesudah pemberian etambutol pada pasien tuberkulosis di
RS.H.Adam Malik Medan
1.3.2. Tujuan Khusus
•
Untuk mendeteksi sedini mungkin pengaruh pemakaian etambutol
pada mata dan pada retinal nerve fiber layer thickness
untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut seperti neuritis optik
•
pada pasien tuberkulosis di RS. H.Adam Malik Medan
Memberikan
penjelasan
pada
pasien
bahwa
penggunaan
etambutol dalam terapi tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan
penglihatan.
1.4.
Manfaat Penelitian
•
Dengan penelitian ini di harapkan adanya kerjasama dari bagian
paru dan mata untuk skrining kelainan mata akibat terapi
•
etambutol
Penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai informasi
untuk penelitian selanjutnya
1.5.
Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness disebabkan
pemberian etambutol pada pasien tuberculosis
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit menular kronis yang di
sebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis (M.TB). Bakteri TB
paru menyebar melalui percikan dahak yang dibatukkan (droplet nuclei).
Walaupun dapat mengenai berbagai organ tubuh, namun bagian terbesar
(80-90%) mengenai organ paru. (American Thoracic Society, 2000
;Depkes RI,2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI.
2005).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menginfeksi jutaan orang
di dunia. Pada tahun 2003 ,terdapat 1997 kasus baru dilaporkan di
singapura. Insidensi di asia tenggara sama bahkan lebih tinggi dari
singapura dan menjadi salah satu masalah kesehatan.TB menjadi
penyebab kematian utama sampai tahun 1946 ketika streptomisin di
temukan. Sejak saat itu banyak obat yang digunakan untuk mengobati TB
( Su-Ann lim,2006). Etambutol telah di gunakan untuk mengobati TB sejak
tahun 1960. Gangguan penglihatan yang potensial mulai di perlihatkan
semenjak obat ini diperkenalkan. (Su-Ann lim,2006;Choi SY,Hwang
JM1997).
TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia,pada tahun
2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah sebagai penderita baru
dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya.Sebagian besar penderita
Universitas Sumatera Utara
TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan
penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia
(Direktorat Bina farmasi Komunitas dan klinik Depkes RI. 2005).
Program nasional penangulangan TB paru di Indonesia sesuai
dengan rekomendasi internasional mengunakan obat anti TB paru (OAT),
berupa
kombinasi
Etambutol
15-20
mg/kgBB/hari,
Isoniasid
5-10
mg/kgBB/hari, Rifampisin10-20 mg/kgBB/hari. Obat-obat itu diberikan
selama 6-8 bulan. Dalam kurun waktu tersebut ,obat-obata dapat
memberikan efek samping yang bervariasi di berbagai organ tubuh
termasuk mata (Depkes 2005; Direktorat Bina farmasi Komunitas dan
klinik Departement kesehatan RI. 2005). Berdasarkan penelitian Sutton
dan Beattie melaporkan bahwa penderita TB yang diberikan terapi
kombinasi
memperlihatkan
efek
samping
neuropati
optik
setelah
pemberian etambutol sedangkan isoniasid hanya memberikan efek
idiosinkrasi. (Peng KS, 2005)
Etambutol hidroklorida adalah salah satu dari agen lini pertama
pengobatan tuberkulosis. Organ yang dapat terkena toksisitas dari
etambutol adalah mata. Efek pada mata yang paling serius adalah optik
neuritis dan demielinisasi dari saraf optik. Manifestasi yang paling awal
dari keterlibatan mata adalah gangguan pada penglihatan warna terutama
warna merah dan hijau.(protanop dan deuteranopi).( Katzung Betram
G,1997)
Universitas Sumatera Utara
Etambutol merupakan satu obat yang sering berhubungan dengan
neuropati optik toksik. Neuropati optik yang terjadi adalah tergantung pada
dosis dan lamanya pemakaian. Kehilangan penglihatan tidak langsung
terjadi sampai pasien telah memakai obat sedikitnya 2 bulan, tapi gejala
umumnya nampak antara 4 bulan sampai satu tahun,onset ini bisa lebih
cepat jika pasien mempunyai penyakit ginjal karena hal ini akan
mengakibatkan penurunan ekskresi obat sehingga level serum meningkat.
Pasien yang menerima dosis 25 mg/kg/hr atau lebih sangat rentan
terhadap kehilangan penglihatan (Zafar,Aftab, 2008). Kumar, melaporkan
toksisitas etambutol, sebesar 42,2 % mengalami pebaikan tajam
penglihatan 6/60 dalam kurun waktu 10-12 bulan setelah pemberian
etambutol dihentikan dan terjadi progresivitas neuropati optik dengan
kerusakan
tajam
penglihatan
permanen
sebesar
42,2%.
Robert
melaporkan bahwa pemberian etambutol 15 mg/kgBB/hari menyebabkan
nuropati optik sebesar 1,6% kasus. Bila diberikan dengan dosis 25
mg/kgBB/hari menyebabkan neuropati optik pada 2,48 % kasus.
(Chatterjee VKK dkk, 1986). Roussos melaporkan, bila etambutol
diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB/hari selama 4-8 bulan terapi dapat
menimbulkan neuropati optik sebanyak 2% kasus ( Chatterjee VKK,1986).
Dari 822 dilaporkan secara langsung reaksi dari etambutol pada
mata oleh the National Registry of Drug-Induced Ocular Side Effect
(Portland, Oregon) dan WHO (World Health Organization) (Uppsala,
Sweden), dimana ditemukan 55 kasus neuropati optik ( 24 pria,31 wanita).
Dosis rata-rata 1032 mg/hari (berat subjek tidak diperoleh,tapi dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini kisaran terapeutik 15 mg/kgBB/hari, diperkirakan 70 kg atau
sekitar 155 lbs) dengan durasi terjadinya neuropati optik dalam kurun
waktu 235 hari. Dilaporkan insidensi neuritis retrobulbar berhubungan
dengan etambutol 50% dari pasien dengan dosis 60-100 mg/kgBB/hari,
18% dengan pemberian > 35 m/kgBB/hari, 5-6 % dengan 25 mg/kgBB/hari
dan < 1% dengan 15 m/kgBB/hari dari etambutol HCL untuk pemakian
lebih dari 2 bulan. Tidak ada “dosis aman” untuk pemberian ethambutol
yang telah dilaporkan. Pemberian dengan dosis kecil dari 12,3
mg/kgBB/hari di observasi toksisitasnya. (Su-Ann lim,2006; Kwok A ,2006;
TB end Chest service, 2006;Rick FW, 2009)
Neuropati optik akibat etambutol memberikan keluhan gangguan
tajam penglihatan, gangguan lapang pandangan antara lain skotoma
sentral, perifer dan defek bitemporal serta buta warna merah-hijau (redgreen dyschromatopsia). Pemeriksaan tajam penglihatan, buta warna dan
lapang pandangan merupakan pemeriksaan fungsi penglihatan secara
subjektif. Pemeriksaan fungsi penglihatan secara objektif dilakukan
dengan
pemeriksaan
visual
evoked
potensial
(VEP).(
Su-Ann
lim,2006;Carrs RE,Henkind P,1962;Yiannikas C dkk,1983)
1.2.
Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness sebelum
dan
sesudah
pemakaian
etambutol
pada
pasien
tuberkulosisdi
RS.H.Adam Malik Medan?
Universitas Sumatera Utara
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan retinal nerve fiber layer thickness
sebelum dan sesudah pemberian etambutol pada pasien tuberkulosis di
RS.H.Adam Malik Medan
1.3.2. Tujuan Khusus
•
Untuk mendeteksi sedini mungkin pengaruh pemakaian etambutol
pada mata dan pada retinal nerve fiber layer thickness
untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut seperti neuritis optik
•
pada pasien tuberkulosis di RS. H.Adam Malik Medan
Memberikan
penjelasan
pada
pasien
bahwa
penggunaan
etambutol dalam terapi tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan
penglihatan.
1.4.
Manfaat Penelitian
•
Dengan penelitian ini di harapkan adanya kerjasama dari bagian
paru dan mata untuk skrining kelainan mata akibat terapi
•
etambutol
Penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai informasi
untuk penelitian selanjutnya
1.5.
Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan retinal nerve fiber layer thickness disebabkan
pemberian etambutol pada pasien tuberculosis
Universitas Sumatera Utara