Analisis Kasus Atas Putusan Mahkamah Agung No. 189 Pk Pdt 2009 Tentang Keabsahan Kepemilikan Dan Peralihan Hak Atas Tanah Chapter III V
BAB III
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA
GUGATAN PENGGUGAT DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 189 PK/PDT/2009
A.
Kewenangan Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Dalam Penerbitan Sertipikat Pengganti
Dalam penyelenggaraan negara, setiap tindakan pemerintah atau kebijakan
pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan.
Begitu
juga
tindakan
pemerintah
atau
kebijakan
pemerintah dalam bidang pertanahan harus didasarkan pada Peraturan PerundangUndangan. Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut, merupakan landasan konstitusional
yang memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemerintahan dalam bidang
pertanahan. Rumusan Pasal tersebut, mengandung arti bahwa kewenangan
mengelola dan mengatur tanah dalam bidang hukum publik dalam hukum
pemerintahan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Menurut Philipus M.
Hadjon sebagaimana yang dikutip oleh Yudhi Setiawan menjelaskan “Kekuasaan
hukum terkait dengan wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam
hukum administrasi pemerintahan, kekuasaan hukum menunjuk kepada
64
Universitas Sumatera Utara
wewenang Pemerintah Pusat dan diatur dalam norma pemerintahan”. 59 Hal
tersebut berarti bahwa tindakan pemerintah harus didasarkan pada kewenangan
yang sah yang memiliki dasar hukum. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logis
dan yuridis dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka diundangkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2
mengatur bahwa:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil
dan makmur.
Merujuk Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dapat diketahui
bahwa terdapat 3 (tiga) fungsi utama keagrariaan yang harus dijalankan oleh
negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, yaitu:
1. Mengatur dan Menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
59
Lihat Pendapat Philipus M. Hadjon dalam Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan,
Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing, Malang, selanjutnya disebut Yudhi Setiawan (II), h. 10.
Universitas Sumatera Utara
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. 60
Sehingga dengan wewenang yang bersumber pada hak negara untuk
menguasai tanah harus dipergunakan untuk:
a) Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b) Membahagiakan dan mensejahterakan rakyat;
c) Memerdekakan rakyat dari berbagai tekanan hidup; dan
d) Memantapkan kedaulatan, keadilan dan kemakmuran di kalangan
masyarakat luas. 61
Menurut Sjachran Basah sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun
menyatakan bahwa, “Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan landasan
hukum yang memungkinkan administrasi negara melaksanakan tugas, fungsi dan
wewenang di bidang pertanahan”. 62 Hal tersebut berarti bahwa diaturnya hak
menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung makna bahwa negara sebagai
tingkat tertinggi yang memiliki kewenangan dalam bidang pertanahan, dimana
negaralah yang memiliki kewenangan dan berhak mengatur penguasaan,
peruntukan, pemanfaatan dan penguasaan tanah, sehingga kewenangan negara ini
merupakan suatu kewenangan asli atau yang disebut dengan kewenangan yang
diperoleh secara atribusi yang lansung bersumber pada Pasal 33 ayat (3) yaitu
60
Adrian Sutedi, 2006, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan serta berbagai
permasalahan, BP. Cipta Jaya, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi (III), h. 12
61
Lihat Pendapat Sjachran Basah dalam SF. Marbun, et. al, 2001, Dimensi-Dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 371
62
Ibid, h. 364
Universitas Sumatera Utara
memberikan kewenangan tersebut kepada penyelenggara pemerintahan untuk
mengatur penguasaan, peruntukkan dan pemanfaatan tanah.
Jadi dalam rangka pelaksanaan kewenangan dalam bidang pertanahan
tersebut, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk suatu Lembaga
Pemerintahan non Departemen yaitu Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga
pemerintahan yang mengurusi dan menangani bidang pertanahan. Dengan kata
lain bahwa segala urusan dibidang pertanahan menjadi wewenang Badan
Pertanahan Nasional yang dipimpin oleh seorang kepala, dan ini berarti adanya
suatu penyerahan wewenang dari Presiden kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional untuk menangani urusan dalam bidang pertanahan. Sehingga ketentuan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dijadikan landasan
bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang di bidang
pertanahan, sehingga dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988,
tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Pasal 2 Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 menetapkan bahwa:
Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan baik berdasarkan UndangUndang Pokok Agaria maupun peraturan Perundang-Undangan lain yang
meliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah,
pengurusan hak-hak tanah pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lainlain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Presiden.
Selanjutnya dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan
Nasional, maka dibentuklah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Presiden sebagai pemegang dan
Universitas Sumatera Utara
penyelenggara pemerintahan memiliki kedudukan sebagai delegated legislator
yaitu yang berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960,
membentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan nasional dengan menciptakan wewenang-wewenang
pemerintah dalam bidang pertanahan. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya
Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk
menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. 63 Namun
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, tidak menjelaskan secara tegas tentang wewenang
Badan Pertanahan Nasional, tetapi peraturan tersebut menguraikan hal-hal yang
berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional menentukan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan;
f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g. pengaturan dan penetapan hak -hak atas tanah;
h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus;
63
Arie Sukanti Hutagalung, 2008, Kewenangan pemerintah di Bidang Pertanahan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 88.
Universitas Sumatera Utara
i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k. kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;
m. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan;
o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;
u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang –undangan
yang berlaku.
Berdasarkan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional seperti yang
diuraikan diatas, terlihat bahwa Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas dan
fungsi yang bersifat administratif yaitu merumuskan kebijakan pertanahan baik
yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, Badan Pertanahan
Nasional merupakan lembaga pemerintah Non Departemen yang bertugas untuk
membantu presiden dalam pengelolaan keadminstrasian dibidang pertanahan yang
meliputi : pengaturan penggunaan tanah, penguasaan tanah, pemilikan tanah dan
pemanfaatan tanah, pengukuran tanah, pendaftaran tanah, pegkajian dan
Universitas Sumatera Utara
penanganan sengketa dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah-masalah
pertanahan.
Dalam rumusan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional tersebut,
secara
tersirat
memuat
wewenang
Badan
Pertanahan
Nasional
untuk
mengeluarkan berbagai peraturan dalam bidang pertanahan yang bersifat
mengatur yang diperoleh secara pendelegasian wewenang. Jadi dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional merupakan badan pemerintah dalam tingkat pusat
yang
diberikan
wewenang,
tugas,
fungsi
dan
tanggungjawab
untuk
menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang pertanahan.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional
di daerah, sebagai instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional membentuk
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan dibentuknya Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi
Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 yang
menetapkan bahwa “Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang
selanjutnya dalam peraturan ini disebut Kanwil BPN, adalah instansi vertikal
Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada dibawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan nasional”. Selanjutnya Pasal 1
ayat (2) menetapkan bahwa “Kanwil BPN dipimpin oleh seorang Kepala”.
Universitas Sumatera Utara
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas untuk
melaksanakan fungsi dan tugas Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang
bersangkutan. Dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, menetapkan bahwa:
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Kanwil BPN mempunyai fungsi:
a. penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka
pelaksanaan tugas pertanahan;
b. pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan
pemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataan
pertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat; serta
pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkungan
Provinsi;
d. pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;
e. pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional
(SIMTANAS) di Provinsi;
f. pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;
g. pengkoordinasian pengembangan sumberdaya manusia pertanahan;
h. pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan
prasarana, perundang-undangan serta pelayanan pertanahan;
Berdasarkan uraian diatas, maka terlihat adanya pelimpahan kewenangan
dari Presiden kepada Badan Pertanahan Nasional untuk menangani bidang
pertanahan yang selanjutnya adanya pelimpahan wewenang kepada Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan sebagian tugas dan
fungsi Badan Pertanahan Nasional di Provinsi.
Dalam rangka menerbitkan sertipikat pengganti, Pemerintah dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tindakan-tindakan hukum dalam
penyelesaian kasus pertanahan salah satunya yaitu tindakan hukum berupa
Penerbitan Sertipikat pengganti, sebagaimana yang diatur dalam pasal 57
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penerbitan Sertipikat
Universitas Sumatera Utara
Pengganti. Pada dasarnya sertipikat pengganti diterbitkan sebagai pengganti
sertipikat hak atas tanah yang telah mengalami kerusakan ataupun hilang atau
sertipikat yang masih menggunakan blangko lama yang dikeluarkan oleh Menteri
Dalam Negeri ataupun sertipikat aslinya tidak diserahkan pemilik hak kepada
pemilik hak yang baru pada saat lelang eksekusi terjadi.
Dalam melakukan penerbitan sertipikat pengganti karena hilang, maka
menurut pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hal-hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Permohonan penggantian sertifikat yang hilang harus disertai pernyataan di
bawah sumpah dari yang bersangkutan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan
atau Pejabat yang ditunjuk mengenai hilangnya sertifikat hak yang
bersangkutan;
b. Sebelum dilakukan penerbitan sertifikat pengganti, dilakukan pengumuman 1
(satu) kali dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon;
Pihak lain dapat mengajukan keberatan atas penerbitan sertifikat pengganti
dalam jangka waktu 30 hari dihitung sejak hari pengumuman.
B.
Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara
1. Kasus Posisi
Sebelum menganalisis putusan yang menjadi dasar pertimbangan majelis
hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009, terlebih dahulu dijelaskan
Universitas Sumatera Utara
mengenai posisi (aquo) meliputi deskripsi terhadap para pihak, kronologis kasus,
gugatannya, eksepsi, putusan hakim, dan pertimbangan hakim.
a. Para Pihak
Dalam kasus ini pihak yang berperkara ialah ASTUTI BUDI UTAMI yang
diwakili oleh kuasanya DIFLA WIYANI, SH dan kawan-kawan yang disebut juga
sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi / Pembantah /
Pembanding dengan Ny. SITI MASKAYAH dan H. HERU SETIA BUDI yang
disebut juga sebagai Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para Termohon
Kasasi/Terbantah dan Turut Terbantah/Terbanding dan Turut Terbanding.
b. Kronologis Kasus
Salah satu contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 189 PK/PDT/2009. Dalam putusan tersebut duduk perkaranya adalah bahwa
pada awal tahun 2000 Bapak dan Ibu Moeljono Soebandi berniat menjual
sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya dengan sertipikat hak milik
No. 897 yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, seluas 728 M2 dan
salah satu peminatnya adalah Bapak Heru Setia Budi, yang pada akhirnya antara
Bapak Moeljono Soebandi dan Bapak Heru Setia Budi sepakat untuk melakukan
perjanjian jual beli. Kemudian kedua belah pihak dimaksud menghadap Notaris
BRAy. Mahyastoety Notonagoro, SH., selanjutnya dibuatkan Perjanjian Jual Beli
No. 16, tanggal 3 Agustus 2000 dan Perjanjian No. 17, tanggal 3 Agustus 2000
tentang cara pembayaran. Bahwa setelah 1 bulan penandatanganan kedua akta
dimaksud ternyata tidak ada realisasi pembayaran sesuai perjanjian dimaksud
maka Bapak Moeljono Soebandi bermaksud membatalkan perjanjian tersebut,
Universitas Sumatera Utara
kemudian oleh Bapak Heru Setia Budi meminta Bapak Moeljono Soebandi untuk
menandatangani Surat Kuasa untuk pengambilan Sertipikat.
Bahwa dalam hal ini ternyata Bapak Heru Setia Budi tidak juga
mengembalikan Sertipikat tersebut dan sempat membuat Surat Pernyataan
tertanggal 27 April 2001 di Kantor Notaris dimaksud yang pada pokoknya yang
bersangkutan akan mengembalikan Sertipikat dimaksud dalam waktu 2 minggu
saja dan berjanji bilamana lebih dari 2 minggu Bapak Heru Setia Budi akan
memberikan jaminan rumah yang senilai dengan Sertipikat tersebut. Namun hal
itu juga tidak dapat direalisasikan oleh Bapak Heru Setia Budi. Kemudian setelah
berkali-kali Bapak Moeljono Soebandi meminta Sertipikat dimaksud kepada
Bapak Heru Setia Budi tidak berhasil bahkan belakangan tidak dapat dijumpai
lagi, Bapak Moeljono Soebandi melapor ke Kepolisian dan juga BPN Jakarta
Selatan. Kemudian oleh BPN telah dilakukan prosedur menurut hukum yang
mana telah diumumkan/diberitakan melalui surat kabar harian selama dua kali
berturut-turut. Dan setelah 2 bulan lamanya semenjak pengumuman dari surat
kabar sebagaimana dimaksud sebagaimana pada bantahan tersebut di atas,
ternyata tidak ada pihak yang menyerahkan Sertipikat dimaksud, maka oleh BPN
dikeluarkan Sertipikat baru sebagai pengganti SHM No. 6036.
Setelah sertipikat baru terbit, maka Bapak Moeljono Soebandi menjual
tanah beserta bangunan rumah diatasnya dengan Sertipikat Hak Milik No. 6036
kepada Ibu Astuti Budi Utami dengan jual beli dan dilakukan dihadapan Notaris
E. Betty Budiyanti Moesigit, SH dengan Akte Jual Beli No. 09/2003, tertanggal
Universitas Sumatera Utara
26 Februari 2003. Dengan beralihnya tanah berikut bangunan rumah di atasnya,
maka Ibu Astuti Budi Utami menempati tanah berikut bangunan rumah tersebut.
Disisi lain, berdasarkan sertipikat hak milik No. 897 mengenai tanah dan
bangunan yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, seluas 728 M2, Bapak
H. Heru Setia Budi adalah pemegang sertipikat hak milik tersebut melakukan
perjanjian pengakuan hutang kepada Ny. Siti Maskayah dengan
akta yang
dibuatnya yakni Akta Perjanjian Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan
No. 51 tanggal 30 Agustus 2000, berisi tentang pengakuan hutang sejumlah
1.000.000.000 dan apabila Bapak H. Heru Setia Budi wanprestasi terhadap isi
akta tersebut, maka Bapak Heru Setia Budi bersedia mengalihkan jaminan
sertipikat tersebut kepada Ny. Siti Maskayah. Namun setelah batas waktu yang
ditentukan, Bapak Heru Setia Budi tidak dapat membayar hutang tersebut,
sehingga Bapak Heru Setia Budi mengalihkan Sertipikat tersebut kepada Ny. Siti
Maskayah. Sehingga beralihnya sertipikat hak milik No. 897 yang terletak di Jl.
Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, seluas 728 M2 kepada Ny. Siti Maskayah maka
Ny. Siti Maskayah ingin menguasai tanah berikut bangunan tersebut tetapi tanah
dan bangunan rumah tersebut sudah ditempati oleh
Ny. Astuti Budi Utami,
sehingga Ny. Siti Maskayah melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan terhadap Ny. Astuti Budi Utami dengan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan No. 15/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel yang dimenangkan oleh Ny.
Siti Maskayah.
Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Ny. Siti
Maskayah, maka Ny. Astuti Budi Utami melakukan banding ke Pengadilan Tinggi
Universitas Sumatera Utara
Jakarta terhadap Ny. Siti Maskayah serta Bapak H. Heru Setia Budi dan banding
tersebut menguatkan Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
Putusan No. 56/PDT/2005.PT.DKI tertanggal 28 Maret 2005.
Selanjutnya Ny. Astuti Budi Utami melakukan kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia terhadap Ny. Siti Maskayah serta Bapak H. Heru Setia
Budi dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut
berdasarkan Putusan No. 2510 K/Pdt/2006.
Selanjutnya Ny. Astuti Budi Utami melakukan upaya hukum terakhir
melalui Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap
Ny. Siti Maskayah serta Bapak H. Heru Setia Budi. Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 189 PK/Pdt/2009 yang menolak
Peninjauan Kembali dari Ny. Astuti Budi Utami tersebut.
c. Dasar Gugatan
Dasar Penggugat mengajukan gugatan dalam perkara ini antara lain
adalah:
Bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali
dahulu Pemohon Kasasi / Pembantah / Pembanding telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung No. 2510
K/PDT/2006, tanggal 12 Desember 2007 yang telah berkekuatan hukum tetap,
dalam perkaranya melawan para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para
Termohon Kasasi / Terbantah dan Turut Terbantah / Terbanding dan Turut
Terbanding dengan posita perkara sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Bahwa
atas
Penetapan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.
31/Pdt.G/2002/PN. Jaksel, tanggal 29 Oktober 2003 tentang Sita Eksekusi atas
sebidang tanah beserta bangunan rumah yang berdiri di atasnya milik klien kami
yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, Kelurahan Cilandak, Kecamatan
Cilandak, Jakarta Selatan, yang amar putusannya sebagai berikut :
-
Menetapkan, mengabulkan permohonan tersebut di atas, memerintahkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, agar Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dengan dibantu 2 (dua) orang saksi yang diatur dalam Pasal
197 HIR untuk melakukan Sita Eksekusi atas sebidang tanah berikut bangunan
rumah yang berdiri di atasnya yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT.
02/04, Kelurahan Cilandak, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Sertipikat
HM No. 987/Cilandak, seluas 728M2. Penetapan tersebut baru diketahui oleh
Pembantah setelah Petugas Juru Sita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mendatangi Pembantah untuk melaksanakan Penetapan dimaksud :
Bahwa pada dasarnya Pembantah memperoleh hak atas tanah dan bangunan
seluas 728 M2 yang dikenal umum sebagai Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04,
Kelurahan Cilandak, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, adalah dengan jual
beli yang sah dan dilindungi oleh undang-undang dan telah dilakukan dihadapan
Notaris E. Betty Budiyanti Moesigit, SH yang dituangkan kedalam Akte Jual Beli
No. 09/2003, tertanggal 26 Februari 2003 (Bukti P.1)
Bahwa Pembantah telah memberi penjelasan kepada Petugas Juru Sita
dimaksud, bahwa yang dikenal umum sebagai Jalan Lebak Bulus II/21, RT.
02/04, Kelurahan Cilandak, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan adalah milik
Universitas Sumatera Utara
Pembantah atas nama Astuti Budi Utami dengan Sertipikat HM No. 6036 seluas
728 M2 (Bukti P.2)
Bahwa baru diketahui oleh Pembantah dari keterangan yang diberikan
Bapak Moeljono Soebandi sebagai Penjual tentang Sertipikat HM No.
897/Cilandak a.n. Ny. Moeljono Soebandi adalah sudah diblokir dan dinyatakan
hilang serta sudah dilaporkan ke Kepolisian dan juga BPN Jakarta Selatan.
Kemudian oleh BPN telah dilakukan prosedur menurut hukum yang mana telah
diumumkan/diberitakan melalui surat kabar harian selama 2 (dua) kali berturutturut.
Bahwa pada mulanya menurut keterangan Bapak Moeljono Soebandi,
pada awal tahun 2000 Bapak dan Ibu Moeljono Soebandi berniat menjual
sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya di Jl. Lebak Bulus II/21, RT.
02/04, seluas 728 M2 dimaksud dan salah seorang peminatnya adalah Turut
Terbantah, yang akhirnya antara Bapak Moeljono Soebandi dan Turut Terbantah
sepakat untuk melakukan perjanjian jual beli. Kemudian kedua belahpihak
dimaksud menghadap Notaris BRAy. Mahyastoety Notonagoro, SH.,selanjutnya
dibuatkan Perjanjian Jual Beli No. 16, tanggal 3 Agustus 2000 (Bukti P. 3) dan
Perjanjian No. 17, tanggal 3 Agustus 2000 tentang cara pembayaran (Bukti P. 4).
Bahwa setelah 1 bulan penandatanganan kedua akta dimaksud
ternyatatidak ada realisasi pembayaran sesuai perjanjian dimaksud maka Bapak
Moeljono Soebandi bermaksud membatalkan perjanjian tersebut, kemudian
olehTurut
Terbantah
meminta
Bapak
Moeljono
Soebandi
untuk
menandatanganiSurat Kuasa untuk pengambilan Sertipikat (Bukti P. 5).
Universitas Sumatera Utara
Bahwa Turut Terbantah tidak juga mengembalikan Sertipikat tersebut
dansempat membuat Surat Pernyataan tertanggal 27 April 2001 di Kantor Notaris
dimaksud yang pada pokoknya yang bersangkutan akan mengembalikanSertipikat
dimaksud dalam waktu 2 minggu saja dan berjanji bilamana lebih dari2 minggu
Bapak Heru Setia Budi akan memberikan jaminan rumah yang senilaidengan
Sertipikat tersebut (Bukti P. 6). Namun hal itu juga tidak dapat direalisasikan oleh
Turut Terbantah.
Bahwa
setelah
berkali-kali
Bapak
Moeljono
Soebandi
meminta
Sertipikatdimaksud kepada Turut Terbantah tidak berhasil bahkan belakangan
tidak dapatdijumpai lagi.
Bahwa setelah 2 (dua) bulan lamanya semenjak pengumuman dari surat
kabar sebagaimana dimaksud sebagaimana pada bantahan tersebut di atas,
ternyatatidak ada pihak yang menyerahkan Sertipikat dimaksud, maka oleh
BPNdikeluarkan Sertipikat baru sebagai pengganti, dengan demikianSertipikat
HM dengan No. 897 tersebut telah dinyatakan batal demi hukum.
Bahwa dengan demikian transaksi jual beli sebidang tanah beserta
bangunan rumah sebagaimana dimaksud pada bantahan tersebut di atas telah
benar dan sah. Dan klien kami sebagai Pembantah patut dilindungi haknya karena
melakukan jual beli dengan itikad baik.
Bahwa sejak Pegawai Pengadilan (Juru Sita) datang ke rumah Pembantah,
maka para tetangga banyak bertanya-tanya dan mengambil pemikiran yang negatif
terhadap keluarga Pembantah, sehingga Pembantah dan anggota keluarga merasa
malu akibatnya karena sulit untuk menerangkan permasalahan yang sebenarnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Dasar Pertimbangan Hakim
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
Kehakiman, pertimbangan hukum adalah pemikiran pemikiran atau pendapat
hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat
meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang di periksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Dalam sebuah putusan bagian pertimbangan adalah bagian yang dimulai
dengan tentang pertimbangan hukumnya atau tentang hukumnya yang memuat: 64
1. Gambaran tentang bagaimana hakim mengkualifisir, yaitu mencari dan
menemukan hukum yang harus diterapkan pada suatu fakta dan kejadian
yang diajukan.
2. Penilaian hakim tentang fakta-fakta yang diajukan.
3. Pertimbangan hakim secara kronologis dan rinci setiap item, baik dari
pihak penggugat maupun tergugat.
4. Dasar hukum yang digunakan hakim dalam menilai fakta dan memutus
perkara, hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu
juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
64
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Cet VI, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, 2005, hal. 263-264.
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila
pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung. 65
Dasar pertimbangan majelis hakim terhadap peninjauan kembali
penggugat adalah :
1. Bahwa yang dipermasalahkan adalah keabsahan SHM (Sertipikat Hak Milik)
No. 6036/Cilandak apakah benar sebagai pengganti SHM 897/Cilandak. Ada
2 (dua) transaksi terhadap Ny. Nelly Moeljono yaitu terhadap Pemohon
PK/Pembantah dan terhadap Termohon PK II.
2. Bahwa SHM 6036 Cilandak adalah cacat hukum karena SHM 897/Cilandak
telah dialihkan dengan akte 16 dan ditambah akta 17. Oleh pemilik SHM 897
akan dicabut. Kemudian direkayasa SHM itu seolah-olah hilang, lapor ke
Polisi dan minta dibuatkan SHM yang baru yaitu SHM 6036/Cilandak.
3. Dengan dasar jual beli Ny. Nelly Moeljono Soebandi dengan Pemohon PK
tidak sah karena transaksi semula belum dibatalkan.
4. Bahwa dalam SHM 6036/Cilandak pun tidak menyebut pengganti SHM
semula No. 897 yang dianggap hilang.
5. Jika pemohon PK benar secara fisik menguasai objek perkara, mengapa tidak
mengikutsertakan Ny. Nelly selaku penjual, dan Bank Niaga sebagai pihak
yang berkeepentingan memberi kredit dengan jaminan SHM 6036/Cilandak
tersebut.
65
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004, hal.140.
Universitas Sumatera Utara
6. Novum yang diajukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan dengan alasan
sebagai berikut :
-
PK I pengaduan/Laporan Polisi tidak relevan, tidak ada sangkut paut
-
PK II putusan PN tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK III pembatalan akte no. 16 dan 17 dalam tidak lanjut putusan PN
-
PK IV tidak menyangkut nama Pemohon PK
-
PK V pernyataan N.T. Moeljono akan mencabut berhubung dengan
Turut Terbantah
-
PK VI tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK VII Sertipikat hak tanggungan seluruhnya dengan SHM 6036,
tidak menyangkut pihak perkara.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh ASTUTI BUDI UTAMI tersebut adalah
tidak beralasan sehingga harus ditolak.
Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung/Pembaca III, Prof. Dr.
Valerine J.L. Kriekhoff, SH, MA, berpendapat lain dengan bahwa alasan-alasan
PK tersebut khususnya novum PK II dan IV dapat dibenarkan dengan
pertimbangan sebagai berikut :
-
Judex Juris/Judex Facti telah tidak cermat dalam menerapkan hukum
pembuktian, karena berdasarkan bukti P-4 dan P-6 dikukuhkan dengan
novum PK II (putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap) yaitu
Termohon PK II telah wanprestasi dan Akta No. 16-17 terkait dengan
penjualan tanah obyek terletak di Jalan Lebak Bulus II/21 telah dibatalkan
Universitas Sumatera Utara
Catatan : bukti TPK II adalah putusan perdata yang sudah berkekuatan
hukum tetap.
-
Mengenai keberadaan Sertipikat Hak Milik No. 6036 sebagai pengganti
dari Sertipikat Hak Milik No. 897 menurut saksi Terbantah (Ibu Fande W,
SH dan BPN) bahwa Sertipikat Hak Milik No. 897 telah dicoret dan
eksistensi Sertipikat Hak Milik No. 6036 diperkuat dengan novum PK IV
yaitu putusan peradilan TUN yang sudah berkekuatan hukum tetap, bahwa
Sertipikat Hak Milik No. 6036 belum pernah dibatalkan.
C. Analisis Hukum Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim
Setelah kasus tersebut dideskripsikan selanjutnya akan dilakukan analisis
hukum dengan memberikan argumentasi-argumentasi hukum (legal reasoring)
terhadap kasus tersebut khususnya mengenai dasar pertimbangan Hakim tentang
keabsahan kepemilikan tanah.
Pokok penting dalam pertimbangan hakim ialah tentang bukti baru yang
diajukan oleh Pemohon PK yaitu :
1. Bahwa yang dipermasalahkan adalah keabsahan SHM (Sertipikat Hak
Milik) No. 6036/Cilandak apakah benar sebagai pengganti SHM
897/Cilandak. Ada 2 (dua) transaksi terhadap Ny. Nelly Moeljono yaitu
terhadap Pemohon PK/Pembantah dan terhadap Termohon PK II.
2. Bahwa SHM 6036 Cilandak adalah cacat hukum karena SHM
897/Cilandak telah dialihkan dengan akte 16 dan ditambah akta 17. Oleh
pemilik SHM 897 akan dicabut. Kemudian direkayasa SHM itu seolah-
Universitas Sumatera Utara
olah hilang, lapor ke Polisi dan minta dibuatkan SHM yang baru yaitu
SHM 6036/Cilandak.
3. Dengan dasar jual beli Ny. Nelly Moeljono Soebandi dengan Pemohon PK
tidak sah karena transaksi semula belum dibatalkan.
4. Bahwa dalam SHM 6036/Cilandak pun tidak menyebut pengganti SHM
semula No. 897 yang dianggap hilang.
5. Jika pemohon PK benar secara fisik menguasai objek perkara, mengapa
tidak mengikutsertakan Ny. Nelly selaku penjual, dan Bank Niaga sebagai
pihak yang berkeepentingan memberi kredit dengan jaminan SHM
6036/Cilandak tersebut.
Peninjauan
kembali
merupakan
upaya
hukum
luar
biasa
yang
dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan Pengadilan
tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi, di mana kesalahan
atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara. Menyadari kemungkinan adanya kesalahan
atau kekeliruan tersebut, maka Undang-Undang memberikan kesempatan dan
sarana bagi para pencari keadilan untuk memperoleh keadilan sesuai dengan
tahapan hukum acara yang berlaku.
Pemeriksaan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 66
s/d 77 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No.5 Tahun 2004
jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009, sedangkan dalam perkara pidana diatur
dalam Pasal 263 s/d 269 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara
Universitas Sumatera Utara
pidana. Baik permohonan/permintaan peninjauan kembali yang diatur dalam
perkara perdata maupun yang diatur dalam perkara pidana, hanya dapat diajukan 1
(satu) kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang 14
Tahun 1985 dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981. Hal ini
dipertegas lagi dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali.
Menurut ketentuan Pasal 67 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009,
permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut :
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut.
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
Universitas Sumatera Utara
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,
atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata;
Dalam hal ini dasar pertimbangan hakim tersebut telah sesuai dengan
kaidah hukum yang berlaku karena novum yang diajukan Pemohon PK tidak
dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut :
-
PK I pengaduan/Laporan Polisi tidak relevan, tidak ada sangkut paut
-
PK II putusan PN tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK III pembatalan akte no. 16 dan 17 dalam tidak lanjut putusan PN
-
PK IV tidak menyangkut nama Pemohon PK
-
PK V pernyataan N.T. Moeljono akan mencabut berhubung dengan Turut
Terbantah
-
PK VI tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK VII Sertipikat hak tanggungan seluruhnya dengan SHM 6036, tidak
menyangkut pihak perkara.
Sehingga sudah sepatutnya hakim menolak semua peninjauan kembali yang
diajukan oleh pemohon PK tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
AKIBAT HUKUM PERDATA PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009
A.
Akibat Hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan
yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. 66
Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari
segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek
hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu
oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat
hukum. 67
Putusan Majelis Hakim pada Gugatan nomor 189 PK/PDT/2009 ialah
menolak permohonan peninjauan kembali karena tidak beralasan menurut hukum
sehingga harus ditolak.
Akibat hukum dari putusan tersebut Majelis hakim memutuskan untuk
menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh ASTUTI BUDI UTAMI, dengan
menyatakan bahwa SHM No. 6036/Cilandak adalah cacat hukum, karena SHM
897/Cilandak telah dialihkan dengan akta 16 dan ditambah akta 17 oleh pemilik
66
67
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 295
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Pustaka setia, 1999, hal. 71
87
Universitas Sumatera Utara
SHM 897/Cilandak sehingga SHM itu seolah-olah hilang, kemudian dilapor ke
Polisi dan minta dibuatkan SHM yang baru yaitu SHM 6036/Cilandak. Dengan
demikian sertifikat SHM No. 6036/Cilandak tersebut dibatalkan.
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatigade) dapat dijumpai baik dalam
hukum perdata maupun pidana. Kedua konsep perbuatan melawan hukum tersebut
memperlihatkan perbedaan dan persamaan antara lain yaitu: 68
1. Perbuatan melawan hukum perdata:
a. Perbuatan melawan hukum perdata dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan individu
b. Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum perdata adalah meniadakan
kerugian dari pihak yang dirugikan
2. Perbuatan melawan hukum pidana
a. Perbuatan hukum pidana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
masyarakat umum.
b. Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum pidana adalah pemidanaan
dari individu yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat umum karena
adanya tindak pidana yang dilakukan.
Dari perbuatan melawan hukum tersebut diatas dapat dilihat bahwa
Nyonya Nelly Moeljono Soebandi ini telah melakukan perbuatan melawan hukum
yaitu dengan membuat laporan kehilangan untuk penerbitan sertipikat baru tetapi
dengan rekayasa atau memberikan keterangan yang tidak benar seolah-olah
sertipikat tersebut hilang kenyataannya sertipikat hak milik Nomor 897/Cilandak
68
Rosa Agustina, Ringkasan Disertasi Perbuatan Melawan Hukum, Program Doktor
Universitas Indonesia, hal 15
Universitas Sumatera Utara
tersebut telah dialihkan kepada Tuan Heru Setia Budi dengan Nomor akta 16 dan
17.
Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum
antara lain: 69
1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan
2. Ganti rugi dalam bentuk natural atau dikembalikan dalam keadaan semula
3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum
4. Melarang dilakukannya perbuatan hukum.
Kasus pemilikan sertipikat ganda ini tentu salah satu dari sertipikat
tersebut adalah palsu, dimana dalam perbuatan melawan hukum memiliki tanah
secara tidak sah dengan memalsukan sertipikat tanah dengan pemilikan tidak sah
atau hanya penguasaan secara tidak sah sangat bergantung pada tindakan dan
situasi sekeliling pelaksanaan perbuatan tersebut, akan tetapi, sering kali ada
beberapa faktor dominan dalam tindakan pelaku yag dapat dipertimbangkan,
faktor dominan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah pelaku beritikad baik
2. Sejauh mana kerusakan terhadap benda milik orang lain tersebut
3. Sejauh mana dominasi penguasaan pelaku atas benda orang lain tersebut.
4. Sejauh mana kerugian material dan ketidaknyamanan terhadap korban. 70
69
70
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal 40
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal.
58
Universitas Sumatera Utara
B.
Akibat Hukum Perdata Terhadap Para Pihak
Sertipikat ganda diterbitkan karena kelalaian atau kurang telitinya Badan
Pertanahan Nasional dalam hal melakukan pendaftaran hak atas tanah sehingga
menimbul dampak terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah. Keberadaan
sertipikat ganda mengakibatkan tidak terciptanya kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi pemegang sah hak atas tanah, diterbitkannya sertipikat
ganda dapat menimbulkan anatara lain : terjadi kekacauan pemilikan, terjadi
sengketa hukum, terjadi ketidakpsatian hukum, terjadi tindak pidana atas
pemakain sertipikat yang palsu yang merugikan pemilik sertipikat asli maupun
pihak lainnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap sertipikat hak atas tanah. 71
Sertipikat ganda jelas membawa akibat ketidakpastian hukum pemegang
hak-hak atas tanah yang sangat tidak diharapkan dalam pelaksanaan pendaftaran
tanah. Untuk mencegah terjadinya sertipikat ganda tidak ada jalan lain selain
mengoptimalkan administrasi pertanahan dan pembuatan peta pendaftaran tanah.
Hal ini harus dilakukan untuk mencegah terjadinya sertipikat ganda.Dengan
adanya peta pendaftaran tanah dan administrasi pertanahan yang baik, kesalahan
batas dapat diketahui sedini mungkin. 72
Namun apabila terjadi sertipikat ganda, maka harus ada pembatalan dari
salah satu pihak dengan memeriksa dokumen pendukung. Hal ini bisa
berlangsung lama, apalagi jika terjadi gugatan sertipikat ke pengadilan, untuk
meminta pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan. Terjadinya sertipikat
ganda merupakan salah satu akibat adanya tumpang tindih dalam penerbitan hak
71
72
Utoyo Sutopo, Op.cit, hal. 7
Adrian Sutedi. Op.cit, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
atas tanah yang disebut cacat hukum administrasi. Sebagaimana terdapat dalam
pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9
tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah dan hak
pengelolaan.
Lahirnya sertipikat ganda, tidak lepas dari tindakan pejabat Kantor
Pertanahan, seperti membatalkan sebuat sertipikat yang lama dan menerbitkan
yang baru untuk dan atas nama orang lain tanpa sepengetahuan pemilik yang
namanya tercantum dalam sertipikat tanah yang lama. Bahkan penerbitan
sertipikat yang baru dilakukan oleh pejabat Kantor Pertanahan tanpa prosedur
hukum. 73 Dalam pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa :
“setiap orang berhak ataspengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Dalam pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
disebutkan bahwa salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu
bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Pemegang hak yang dimaksud adalah baik
pemegang hak yang memperoleh hak tersebut melalui permohonan hak melalui
prosedur pendaftaran tanah pertama kali maupun pemegang hak yang memperoleh
hak tersebut karena melakukan perbuatan hukum.
73
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
Sanksi Perdata yang diterapkan oleh Kantor Pertanahan akibat ketidak
telitian dan ketidak cermatan dalam melakukan dan memeriksa data fisik, data
yuridis dikenakan sanksi 1365 dan 1366 KUHperdata yang menyebutkan:
Pasal 1365 ”tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”
Pasal 1366 “setiap orang bertangung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Sebagaimaman diketahui bahwa Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan
adanya unsur kesalahan (schuld) terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Dan
sudah merupakan tafsiran umum dalam ilmu hukum bahwa unsur kesalahan
tersebut dianggap ada jika memenuhi salah satu diantara 3 (tiga) syarat sebagai
berikut:
1. Ada unsur kesengajaan, atau
2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond)
Dalam hal ini dapat diperkiran juga bahwa bisa saja para pihak membuat,
mendaftarkan atau menerbitkan sertipikat tersebut
dengan unsur kesengajaan
dimana derajat kesalahnnya lebih tinggi. Jika seseorang dengan segaja merugikan
orang lain (baik untuk kepentingannya sendiri atau bukan), berarti dia telah
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut dalam arti yang sangat
serius ketimbang dilakukannya hanya sekedar kelalaian belaka. 74
Unsur kesengajaan tersebut dianggap eksis dalam suatu tindakan manakala
memenuhi elemen-elemen sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran (state of mind)untuk melakukan.
2. Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi, bukan hanya adanya perbuatan
saja.
3. Kesadaran
untuk
melakukan,
bukan
hanya
untuk
menimbulkan
konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan
tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.
Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika terdapat “maksud” (intent)
dari pihak pelakunya. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara istilah”maksud”
dengan “motif”. Dengan istilah “maksud” diartikan sebagai suatu keinginan untuk
menghasilkan suatu akibat tertentu. Jika menerbitkan sertipikat ganda dalam suatu
objek tanah akan menimbulkan suatu kerugian ataupun keuntungan bagi para
pihak mendaftarakan atau menerbitkan sertipikat tersebut, tentu perbuatan tersebut
mempunyai maksud, akan tetapi motif dari menerbitkan sertipikat ganda tersebut
bisa bermacam-macam misalnya sebagai tindakan balas dendam, protes,
menghukum, membela diri dan lain-lain.
Dalam hubungan dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindakan
kesengajaan tersebut “rasa keadilan” memintakan agar hukum lebih memihak
kepada korban dari tindakan tersebut, sehingga dalam hal ini.Hukum lebih
74
Munir Fuady, Op.cit, hal. 45-46
Universitas Sumatera Utara
menerima pendekatan yang “objektif”. Artinya, hukum lebih melihat kepada
akibat dari tindakan tersebut kepada para korban, dari pada melihat apa maksud
yang sesungguhnya dari si pelaku, meskipun masih dengan tetap mensyaratkan
adanya unsur kesengajaan tersebut. Dengan kesengajaan, ada niat dalam hati dari
pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban, atau paling tidak
dapat mengetahui secara pasti bahwa akibat dari perbuatannya tersebut akan
terjadi. Akan tetapi, dalam kesengajaan tidak ada niat dalam hati dari pihak pelaku
untuk menimbulkan kerugian, bahkan mungkin ada keinginannya untuk
mencegah terjadinya kerugian tersebut.
Pengunaan pendekatan yang “objektif” terhadap akibat dari perbuatan
kesengajaan tersebut, membawa konsekuensi-konsekuensi yuridis sebagai berikut:
1. Maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum yang lain
dari yang terjadi.
Meskipun maksud yang sebenarnya adalah melakukan sesuatu perbuatan yang
sebenarnya termasuk juga perbuatan melawan hukum, tetapi kemudian yang
terjadi adalah perbuatan melawan hukum yang lain, amka pelaku secara
hukum bertanggung jawab. Juga terhadap perbuatan melawan hukum yang
lain tersebut.
2. Maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap
orang lain, bukan terhadap korban.
Demikian juga halnya jika pelaku sebenarnya bermaksud untuk melakukan
perbuatan melawan hukum terhadap seseorang, tetapi ternyata yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
korban adalah orang lain lagi, maka oleh hukum pelaku dianggap bertanggung
jawab juga terhadap korban (orang lain) tersebut.
3. Tidak perlu punya maksud untuk merugikan atau maksud yang bermusuhan.
Dalam hal pelaku melakukan sesuatu perbuatan tanpa maksud untuk
merugikan korban, bahkan tanpa maksud yang bermusuhan, oleh hukum tetap
dianggap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena perbuatan
melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan.
4. Tidak punya maksud, tetapi tahu pasti bahwa akibat tertentu akan terjadi.
Adakalanya seseorang pelaku perbuatan melawan hukum melakukan sesuatu
perbuatan tanpa maksud untuk merugikan pihak korban, tetapi akibatnya
korban benar-benar dirugikan, dan pelaku tahu pasti atau patut sekali menduga
bahwa akibat tersebut akan terjadi karena perbuatannya itu. Maka dalam hal
ini, dengan menggunakan doktrin “kepastian yang substansial” (substansial
certainty rule), pelaku dianggap telah dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum. Kepastian yang substansial di sini dimaksudkan adalah
bahwa pelaku mengetahui dengan pasti atau dengan substansial pasti (patut
sekali menduga) bahwa tindakannya itu akan membawa akibat tertentu kepada
pihak lain.
Sanksi administratif yang membuat efek jera Kepala Kantor Pertanahan
yang telah terbukti salah dalam menerbitkan sertipikat ganda dapat dijatuihi
sanksi administratif yang paling berat ialah pemberhentian dari jabatan. Ancaman
sanksi pemberhentian dari jabatan sebagai Kepala Kantor Pertanahan akan selalu
Universitas Sumatera Utara
berhati-hati dalam menerbitkan sertipikat tanah. 75 Kesalahan data fisik mauapun
data yuridis dalam pendaftaran tanah akan menghilangkan unsur kepastian hukum
hak atas tanah, sehingga para pihak yang berhak atas tanah itu akan dirugikan.
Kesalahan juga akan berakibat terjadinya informasi yang salah di BPN sebagai
alat kelengkapan negara yang akibatnya juga berarti menciptakan administrasi
pertanahan yang tidak tertib.
Dalam hal ini dapat dianggap Kepala Badan Pertanahan melakukan suatu
kelalaian ataupun ketidak hati-hatian dalam menerbitkan sertipikat. Dalam ilmu
hukum diajarkan bahwa agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian,
h
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA
GUGATAN PENGGUGAT DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 189 PK/PDT/2009
A.
Kewenangan Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Dalam Penerbitan Sertipikat Pengganti
Dalam penyelenggaraan negara, setiap tindakan pemerintah atau kebijakan
pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam Peraturan
Perundang-Undangan.
Begitu
juga
tindakan
pemerintah
atau
kebijakan
pemerintah dalam bidang pertanahan harus didasarkan pada Peraturan PerundangUndangan. Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut, merupakan landasan konstitusional
yang memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemerintahan dalam bidang
pertanahan. Rumusan Pasal tersebut, mengandung arti bahwa kewenangan
mengelola dan mengatur tanah dalam bidang hukum publik dalam hukum
pemerintahan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Menurut Philipus M.
Hadjon sebagaimana yang dikutip oleh Yudhi Setiawan menjelaskan “Kekuasaan
hukum terkait dengan wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam
hukum administrasi pemerintahan, kekuasaan hukum menunjuk kepada
64
Universitas Sumatera Utara
wewenang Pemerintah Pusat dan diatur dalam norma pemerintahan”. 59 Hal
tersebut berarti bahwa tindakan pemerintah harus didasarkan pada kewenangan
yang sah yang memiliki dasar hukum. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logis
dan yuridis dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka diundangkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2
mengatur bahwa:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil
dan makmur.
Merujuk Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dapat diketahui
bahwa terdapat 3 (tiga) fungsi utama keagrariaan yang harus dijalankan oleh
negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, yaitu:
1. Mengatur dan Menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
59
Lihat Pendapat Philipus M. Hadjon dalam Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan,
Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing, Malang, selanjutnya disebut Yudhi Setiawan (II), h. 10.
Universitas Sumatera Utara
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. 60
Sehingga dengan wewenang yang bersumber pada hak negara untuk
menguasai tanah harus dipergunakan untuk:
a) Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b) Membahagiakan dan mensejahterakan rakyat;
c) Memerdekakan rakyat dari berbagai tekanan hidup; dan
d) Memantapkan kedaulatan, keadilan dan kemakmuran di kalangan
masyarakat luas. 61
Menurut Sjachran Basah sebagaimana yang dikutip oleh SF. Marbun
menyatakan bahwa, “Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan landasan
hukum yang memungkinkan administrasi negara melaksanakan tugas, fungsi dan
wewenang di bidang pertanahan”. 62 Hal tersebut berarti bahwa diaturnya hak
menguasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung makna bahwa negara sebagai
tingkat tertinggi yang memiliki kewenangan dalam bidang pertanahan, dimana
negaralah yang memiliki kewenangan dan berhak mengatur penguasaan,
peruntukan, pemanfaatan dan penguasaan tanah, sehingga kewenangan negara ini
merupakan suatu kewenangan asli atau yang disebut dengan kewenangan yang
diperoleh secara atribusi yang lansung bersumber pada Pasal 33 ayat (3) yaitu
60
Adrian Sutedi, 2006, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan serta berbagai
permasalahan, BP. Cipta Jaya, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi (III), h. 12
61
Lihat Pendapat Sjachran Basah dalam SF. Marbun, et. al, 2001, Dimensi-Dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 371
62
Ibid, h. 364
Universitas Sumatera Utara
memberikan kewenangan tersebut kepada penyelenggara pemerintahan untuk
mengatur penguasaan, peruntukkan dan pemanfaatan tanah.
Jadi dalam rangka pelaksanaan kewenangan dalam bidang pertanahan
tersebut, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk suatu Lembaga
Pemerintahan non Departemen yaitu Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga
pemerintahan yang mengurusi dan menangani bidang pertanahan. Dengan kata
lain bahwa segala urusan dibidang pertanahan menjadi wewenang Badan
Pertanahan Nasional yang dipimpin oleh seorang kepala, dan ini berarti adanya
suatu penyerahan wewenang dari Presiden kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional untuk menangani urusan dalam bidang pertanahan. Sehingga ketentuan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dijadikan landasan
bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang di bidang
pertanahan, sehingga dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988,
tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Pasal 2 Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 menetapkan bahwa:
Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan baik berdasarkan UndangUndang Pokok Agaria maupun peraturan Perundang-Undangan lain yang
meliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah,
pengurusan hak-hak tanah pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lainlain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Presiden.
Selanjutnya dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan
Nasional, maka dibentuklah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Presiden sebagai pemegang dan
Universitas Sumatera Utara
penyelenggara pemerintahan memiliki kedudukan sebagai delegated legislator
yaitu yang berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960,
membentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan nasional dengan menciptakan wewenang-wewenang
pemerintah dalam bidang pertanahan. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya
Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk
menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. 63 Namun
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, tidak menjelaskan secara tegas tentang wewenang
Badan Pertanahan Nasional, tetapi peraturan tersebut menguraikan hal-hal yang
berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional menentukan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan;
f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g. pengaturan dan penetapan hak -hak atas tanah;
h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus;
63
Arie Sukanti Hutagalung, 2008, Kewenangan pemerintah di Bidang Pertanahan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 88.
Universitas Sumatera Utara
i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k. kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;
m. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan;
o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;
u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang –undangan
yang berlaku.
Berdasarkan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional seperti yang
diuraikan diatas, terlihat bahwa Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas dan
fungsi yang bersifat administratif yaitu merumuskan kebijakan pertanahan baik
yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara, Badan Pertanahan
Nasional merupakan lembaga pemerintah Non Departemen yang bertugas untuk
membantu presiden dalam pengelolaan keadminstrasian dibidang pertanahan yang
meliputi : pengaturan penggunaan tanah, penguasaan tanah, pemilikan tanah dan
pemanfaatan tanah, pengukuran tanah, pendaftaran tanah, pegkajian dan
Universitas Sumatera Utara
penanganan sengketa dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah-masalah
pertanahan.
Dalam rumusan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional tersebut,
secara
tersirat
memuat
wewenang
Badan
Pertanahan
Nasional
untuk
mengeluarkan berbagai peraturan dalam bidang pertanahan yang bersifat
mengatur yang diperoleh secara pendelegasian wewenang. Jadi dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional merupakan badan pemerintah dalam tingkat pusat
yang
diberikan
wewenang,
tugas,
fungsi
dan
tanggungjawab
untuk
menyelenggarakan pemerintahan dalam bidang pertanahan.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional
di daerah, sebagai instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional membentuk
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 28 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan dibentuknya Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi
Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Dalam Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 yang
menetapkan bahwa “Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang
selanjutnya dalam peraturan ini disebut Kanwil BPN, adalah instansi vertikal
Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada dibawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan nasional”. Selanjutnya Pasal 1
ayat (2) menetapkan bahwa “Kanwil BPN dipimpin oleh seorang Kepala”.
Universitas Sumatera Utara
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memiliki tugas untuk
melaksanakan fungsi dan tugas Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang
bersangkutan. Dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, menetapkan bahwa:
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Kanwil BPN mempunyai fungsi:
a. penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka
pelaksanaan tugas pertanahan;
b. pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan
pemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataan
pertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat; serta
pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkungan
Provinsi;
d. pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;
e. pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional
(SIMTANAS) di Provinsi;
f. pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;
g. pengkoordinasian pengembangan sumberdaya manusia pertanahan;
h. pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan
prasarana, perundang-undangan serta pelayanan pertanahan;
Berdasarkan uraian diatas, maka terlihat adanya pelimpahan kewenangan
dari Presiden kepada Badan Pertanahan Nasional untuk menangani bidang
pertanahan yang selanjutnya adanya pelimpahan wewenang kepada Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan sebagian tugas dan
fungsi Badan Pertanahan Nasional di Provinsi.
Dalam rangka menerbitkan sertipikat pengganti, Pemerintah dalam hal ini
Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tindakan-tindakan hukum dalam
penyelesaian kasus pertanahan salah satunya yaitu tindakan hukum berupa
Penerbitan Sertipikat pengganti, sebagaimana yang diatur dalam pasal 57
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penerbitan Sertipikat
Universitas Sumatera Utara
Pengganti. Pada dasarnya sertipikat pengganti diterbitkan sebagai pengganti
sertipikat hak atas tanah yang telah mengalami kerusakan ataupun hilang atau
sertipikat yang masih menggunakan blangko lama yang dikeluarkan oleh Menteri
Dalam Negeri ataupun sertipikat aslinya tidak diserahkan pemilik hak kepada
pemilik hak yang baru pada saat lelang eksekusi terjadi.
Dalam melakukan penerbitan sertipikat pengganti karena hilang, maka
menurut pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hal-hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Permohonan penggantian sertifikat yang hilang harus disertai pernyataan di
bawah sumpah dari yang bersangkutan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan
atau Pejabat yang ditunjuk mengenai hilangnya sertifikat hak yang
bersangkutan;
b. Sebelum dilakukan penerbitan sertifikat pengganti, dilakukan pengumuman 1
(satu) kali dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon;
Pihak lain dapat mengajukan keberatan atas penerbitan sertifikat pengganti
dalam jangka waktu 30 hari dihitung sejak hari pengumuman.
B.
Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara
1. Kasus Posisi
Sebelum menganalisis putusan yang menjadi dasar pertimbangan majelis
hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 189 PK/PDT/2009, terlebih dahulu dijelaskan
Universitas Sumatera Utara
mengenai posisi (aquo) meliputi deskripsi terhadap para pihak, kronologis kasus,
gugatannya, eksepsi, putusan hakim, dan pertimbangan hakim.
a. Para Pihak
Dalam kasus ini pihak yang berperkara ialah ASTUTI BUDI UTAMI yang
diwakili oleh kuasanya DIFLA WIYANI, SH dan kawan-kawan yang disebut juga
sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi / Pembantah /
Pembanding dengan Ny. SITI MASKAYAH dan H. HERU SETIA BUDI yang
disebut juga sebagai Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para Termohon
Kasasi/Terbantah dan Turut Terbantah/Terbanding dan Turut Terbanding.
b. Kronologis Kasus
Salah satu contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 189 PK/PDT/2009. Dalam putusan tersebut duduk perkaranya adalah bahwa
pada awal tahun 2000 Bapak dan Ibu Moeljono Soebandi berniat menjual
sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya dengan sertipikat hak milik
No. 897 yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, seluas 728 M2 dan
salah satu peminatnya adalah Bapak Heru Setia Budi, yang pada akhirnya antara
Bapak Moeljono Soebandi dan Bapak Heru Setia Budi sepakat untuk melakukan
perjanjian jual beli. Kemudian kedua belah pihak dimaksud menghadap Notaris
BRAy. Mahyastoety Notonagoro, SH., selanjutnya dibuatkan Perjanjian Jual Beli
No. 16, tanggal 3 Agustus 2000 dan Perjanjian No. 17, tanggal 3 Agustus 2000
tentang cara pembayaran. Bahwa setelah 1 bulan penandatanganan kedua akta
dimaksud ternyata tidak ada realisasi pembayaran sesuai perjanjian dimaksud
maka Bapak Moeljono Soebandi bermaksud membatalkan perjanjian tersebut,
Universitas Sumatera Utara
kemudian oleh Bapak Heru Setia Budi meminta Bapak Moeljono Soebandi untuk
menandatangani Surat Kuasa untuk pengambilan Sertipikat.
Bahwa dalam hal ini ternyata Bapak Heru Setia Budi tidak juga
mengembalikan Sertipikat tersebut dan sempat membuat Surat Pernyataan
tertanggal 27 April 2001 di Kantor Notaris dimaksud yang pada pokoknya yang
bersangkutan akan mengembalikan Sertipikat dimaksud dalam waktu 2 minggu
saja dan berjanji bilamana lebih dari 2 minggu Bapak Heru Setia Budi akan
memberikan jaminan rumah yang senilai dengan Sertipikat tersebut. Namun hal
itu juga tidak dapat direalisasikan oleh Bapak Heru Setia Budi. Kemudian setelah
berkali-kali Bapak Moeljono Soebandi meminta Sertipikat dimaksud kepada
Bapak Heru Setia Budi tidak berhasil bahkan belakangan tidak dapat dijumpai
lagi, Bapak Moeljono Soebandi melapor ke Kepolisian dan juga BPN Jakarta
Selatan. Kemudian oleh BPN telah dilakukan prosedur menurut hukum yang
mana telah diumumkan/diberitakan melalui surat kabar harian selama dua kali
berturut-turut. Dan setelah 2 bulan lamanya semenjak pengumuman dari surat
kabar sebagaimana dimaksud sebagaimana pada bantahan tersebut di atas,
ternyata tidak ada pihak yang menyerahkan Sertipikat dimaksud, maka oleh BPN
dikeluarkan Sertipikat baru sebagai pengganti SHM No. 6036.
Setelah sertipikat baru terbit, maka Bapak Moeljono Soebandi menjual
tanah beserta bangunan rumah diatasnya dengan Sertipikat Hak Milik No. 6036
kepada Ibu Astuti Budi Utami dengan jual beli dan dilakukan dihadapan Notaris
E. Betty Budiyanti Moesigit, SH dengan Akte Jual Beli No. 09/2003, tertanggal
Universitas Sumatera Utara
26 Februari 2003. Dengan beralihnya tanah berikut bangunan rumah di atasnya,
maka Ibu Astuti Budi Utami menempati tanah berikut bangunan rumah tersebut.
Disisi lain, berdasarkan sertipikat hak milik No. 897 mengenai tanah dan
bangunan yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, seluas 728 M2, Bapak
H. Heru Setia Budi adalah pemegang sertipikat hak milik tersebut melakukan
perjanjian pengakuan hutang kepada Ny. Siti Maskayah dengan
akta yang
dibuatnya yakni Akta Perjanjian Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan
No. 51 tanggal 30 Agustus 2000, berisi tentang pengakuan hutang sejumlah
1.000.000.000 dan apabila Bapak H. Heru Setia Budi wanprestasi terhadap isi
akta tersebut, maka Bapak Heru Setia Budi bersedia mengalihkan jaminan
sertipikat tersebut kepada Ny. Siti Maskayah. Namun setelah batas waktu yang
ditentukan, Bapak Heru Setia Budi tidak dapat membayar hutang tersebut,
sehingga Bapak Heru Setia Budi mengalihkan Sertipikat tersebut kepada Ny. Siti
Maskayah. Sehingga beralihnya sertipikat hak milik No. 897 yang terletak di Jl.
Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, seluas 728 M2 kepada Ny. Siti Maskayah maka
Ny. Siti Maskayah ingin menguasai tanah berikut bangunan tersebut tetapi tanah
dan bangunan rumah tersebut sudah ditempati oleh
Ny. Astuti Budi Utami,
sehingga Ny. Siti Maskayah melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan terhadap Ny. Astuti Budi Utami dengan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan No. 15/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel yang dimenangkan oleh Ny.
Siti Maskayah.
Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Ny. Siti
Maskayah, maka Ny. Astuti Budi Utami melakukan banding ke Pengadilan Tinggi
Universitas Sumatera Utara
Jakarta terhadap Ny. Siti Maskayah serta Bapak H. Heru Setia Budi dan banding
tersebut menguatkan Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan
Putusan No. 56/PDT/2005.PT.DKI tertanggal 28 Maret 2005.
Selanjutnya Ny. Astuti Budi Utami melakukan kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia terhadap Ny. Siti Maskayah serta Bapak H. Heru Setia
Budi dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut
berdasarkan Putusan No. 2510 K/Pdt/2006.
Selanjutnya Ny. Astuti Budi Utami melakukan upaya hukum terakhir
melalui Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap
Ny. Siti Maskayah serta Bapak H. Heru Setia Budi. Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 189 PK/Pdt/2009 yang menolak
Peninjauan Kembali dari Ny. Astuti Budi Utami tersebut.
c. Dasar Gugatan
Dasar Penggugat mengajukan gugatan dalam perkara ini antara lain
adalah:
Bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali
dahulu Pemohon Kasasi / Pembantah / Pembanding telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung No. 2510
K/PDT/2006, tanggal 12 Desember 2007 yang telah berkekuatan hukum tetap,
dalam perkaranya melawan para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para
Termohon Kasasi / Terbantah dan Turut Terbantah / Terbanding dan Turut
Terbanding dengan posita perkara sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Bahwa
atas
Penetapan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.
31/Pdt.G/2002/PN. Jaksel, tanggal 29 Oktober 2003 tentang Sita Eksekusi atas
sebidang tanah beserta bangunan rumah yang berdiri di atasnya milik klien kami
yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04, Kelurahan Cilandak, Kecamatan
Cilandak, Jakarta Selatan, yang amar putusannya sebagai berikut :
-
Menetapkan, mengabulkan permohonan tersebut di atas, memerintahkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, agar Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dengan dibantu 2 (dua) orang saksi yang diatur dalam Pasal
197 HIR untuk melakukan Sita Eksekusi atas sebidang tanah berikut bangunan
rumah yang berdiri di atasnya yang terletak di Jl. Lebak Bulus II/21, RT.
02/04, Kelurahan Cilandak, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Sertipikat
HM No. 987/Cilandak, seluas 728M2. Penetapan tersebut baru diketahui oleh
Pembantah setelah Petugas Juru Sita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mendatangi Pembantah untuk melaksanakan Penetapan dimaksud :
Bahwa pada dasarnya Pembantah memperoleh hak atas tanah dan bangunan
seluas 728 M2 yang dikenal umum sebagai Jl. Lebak Bulus II/21, RT. 02/04,
Kelurahan Cilandak, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, adalah dengan jual
beli yang sah dan dilindungi oleh undang-undang dan telah dilakukan dihadapan
Notaris E. Betty Budiyanti Moesigit, SH yang dituangkan kedalam Akte Jual Beli
No. 09/2003, tertanggal 26 Februari 2003 (Bukti P.1)
Bahwa Pembantah telah memberi penjelasan kepada Petugas Juru Sita
dimaksud, bahwa yang dikenal umum sebagai Jalan Lebak Bulus II/21, RT.
02/04, Kelurahan Cilandak, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan adalah milik
Universitas Sumatera Utara
Pembantah atas nama Astuti Budi Utami dengan Sertipikat HM No. 6036 seluas
728 M2 (Bukti P.2)
Bahwa baru diketahui oleh Pembantah dari keterangan yang diberikan
Bapak Moeljono Soebandi sebagai Penjual tentang Sertipikat HM No.
897/Cilandak a.n. Ny. Moeljono Soebandi adalah sudah diblokir dan dinyatakan
hilang serta sudah dilaporkan ke Kepolisian dan juga BPN Jakarta Selatan.
Kemudian oleh BPN telah dilakukan prosedur menurut hukum yang mana telah
diumumkan/diberitakan melalui surat kabar harian selama 2 (dua) kali berturutturut.
Bahwa pada mulanya menurut keterangan Bapak Moeljono Soebandi,
pada awal tahun 2000 Bapak dan Ibu Moeljono Soebandi berniat menjual
sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya di Jl. Lebak Bulus II/21, RT.
02/04, seluas 728 M2 dimaksud dan salah seorang peminatnya adalah Turut
Terbantah, yang akhirnya antara Bapak Moeljono Soebandi dan Turut Terbantah
sepakat untuk melakukan perjanjian jual beli. Kemudian kedua belahpihak
dimaksud menghadap Notaris BRAy. Mahyastoety Notonagoro, SH.,selanjutnya
dibuatkan Perjanjian Jual Beli No. 16, tanggal 3 Agustus 2000 (Bukti P. 3) dan
Perjanjian No. 17, tanggal 3 Agustus 2000 tentang cara pembayaran (Bukti P. 4).
Bahwa setelah 1 bulan penandatanganan kedua akta dimaksud
ternyatatidak ada realisasi pembayaran sesuai perjanjian dimaksud maka Bapak
Moeljono Soebandi bermaksud membatalkan perjanjian tersebut, kemudian
olehTurut
Terbantah
meminta
Bapak
Moeljono
Soebandi
untuk
menandatanganiSurat Kuasa untuk pengambilan Sertipikat (Bukti P. 5).
Universitas Sumatera Utara
Bahwa Turut Terbantah tidak juga mengembalikan Sertipikat tersebut
dansempat membuat Surat Pernyataan tertanggal 27 April 2001 di Kantor Notaris
dimaksud yang pada pokoknya yang bersangkutan akan mengembalikanSertipikat
dimaksud dalam waktu 2 minggu saja dan berjanji bilamana lebih dari2 minggu
Bapak Heru Setia Budi akan memberikan jaminan rumah yang senilaidengan
Sertipikat tersebut (Bukti P. 6). Namun hal itu juga tidak dapat direalisasikan oleh
Turut Terbantah.
Bahwa
setelah
berkali-kali
Bapak
Moeljono
Soebandi
meminta
Sertipikatdimaksud kepada Turut Terbantah tidak berhasil bahkan belakangan
tidak dapatdijumpai lagi.
Bahwa setelah 2 (dua) bulan lamanya semenjak pengumuman dari surat
kabar sebagaimana dimaksud sebagaimana pada bantahan tersebut di atas,
ternyatatidak ada pihak yang menyerahkan Sertipikat dimaksud, maka oleh
BPNdikeluarkan Sertipikat baru sebagai pengganti, dengan demikianSertipikat
HM dengan No. 897 tersebut telah dinyatakan batal demi hukum.
Bahwa dengan demikian transaksi jual beli sebidang tanah beserta
bangunan rumah sebagaimana dimaksud pada bantahan tersebut di atas telah
benar dan sah. Dan klien kami sebagai Pembantah patut dilindungi haknya karena
melakukan jual beli dengan itikad baik.
Bahwa sejak Pegawai Pengadilan (Juru Sita) datang ke rumah Pembantah,
maka para tetangga banyak bertanya-tanya dan mengambil pemikiran yang negatif
terhadap keluarga Pembantah, sehingga Pembantah dan anggota keluarga merasa
malu akibatnya karena sulit untuk menerangkan permasalahan yang sebenarnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Dasar Pertimbangan Hakim
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
Kehakiman, pertimbangan hukum adalah pemikiran pemikiran atau pendapat
hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat
meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang di periksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Dalam sebuah putusan bagian pertimbangan adalah bagian yang dimulai
dengan tentang pertimbangan hukumnya atau tentang hukumnya yang memuat: 64
1. Gambaran tentang bagaimana hakim mengkualifisir, yaitu mencari dan
menemukan hukum yang harus diterapkan pada suatu fakta dan kejadian
yang diajukan.
2. Penilaian hakim tentang fakta-fakta yang diajukan.
3. Pertimbangan hakim secara kronologis dan rinci setiap item, baik dari
pihak penggugat maupun tergugat.
4. Dasar hukum yang digunakan hakim dalam menilai fakta dan memutus
perkara, hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu
juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
64
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Cet VI, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, 2005, hal. 263-264.
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila
pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung. 65
Dasar pertimbangan majelis hakim terhadap peninjauan kembali
penggugat adalah :
1. Bahwa yang dipermasalahkan adalah keabsahan SHM (Sertipikat Hak Milik)
No. 6036/Cilandak apakah benar sebagai pengganti SHM 897/Cilandak. Ada
2 (dua) transaksi terhadap Ny. Nelly Moeljono yaitu terhadap Pemohon
PK/Pembantah dan terhadap Termohon PK II.
2. Bahwa SHM 6036 Cilandak adalah cacat hukum karena SHM 897/Cilandak
telah dialihkan dengan akte 16 dan ditambah akta 17. Oleh pemilik SHM 897
akan dicabut. Kemudian direkayasa SHM itu seolah-olah hilang, lapor ke
Polisi dan minta dibuatkan SHM yang baru yaitu SHM 6036/Cilandak.
3. Dengan dasar jual beli Ny. Nelly Moeljono Soebandi dengan Pemohon PK
tidak sah karena transaksi semula belum dibatalkan.
4. Bahwa dalam SHM 6036/Cilandak pun tidak menyebut pengganti SHM
semula No. 897 yang dianggap hilang.
5. Jika pemohon PK benar secara fisik menguasai objek perkara, mengapa tidak
mengikutsertakan Ny. Nelly selaku penjual, dan Bank Niaga sebagai pihak
yang berkeepentingan memberi kredit dengan jaminan SHM 6036/Cilandak
tersebut.
65
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004, hal.140.
Universitas Sumatera Utara
6. Novum yang diajukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan dengan alasan
sebagai berikut :
-
PK I pengaduan/Laporan Polisi tidak relevan, tidak ada sangkut paut
-
PK II putusan PN tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK III pembatalan akte no. 16 dan 17 dalam tidak lanjut putusan PN
-
PK IV tidak menyangkut nama Pemohon PK
-
PK V pernyataan N.T. Moeljono akan mencabut berhubung dengan
Turut Terbantah
-
PK VI tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK VII Sertipikat hak tanggungan seluruhnya dengan SHM 6036,
tidak menyangkut pihak perkara.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh ASTUTI BUDI UTAMI tersebut adalah
tidak beralasan sehingga harus ditolak.
Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung/Pembaca III, Prof. Dr.
Valerine J.L. Kriekhoff, SH, MA, berpendapat lain dengan bahwa alasan-alasan
PK tersebut khususnya novum PK II dan IV dapat dibenarkan dengan
pertimbangan sebagai berikut :
-
Judex Juris/Judex Facti telah tidak cermat dalam menerapkan hukum
pembuktian, karena berdasarkan bukti P-4 dan P-6 dikukuhkan dengan
novum PK II (putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap) yaitu
Termohon PK II telah wanprestasi dan Akta No. 16-17 terkait dengan
penjualan tanah obyek terletak di Jalan Lebak Bulus II/21 telah dibatalkan
Universitas Sumatera Utara
Catatan : bukti TPK II adalah putusan perdata yang sudah berkekuatan
hukum tetap.
-
Mengenai keberadaan Sertipikat Hak Milik No. 6036 sebagai pengganti
dari Sertipikat Hak Milik No. 897 menurut saksi Terbantah (Ibu Fande W,
SH dan BPN) bahwa Sertipikat Hak Milik No. 897 telah dicoret dan
eksistensi Sertipikat Hak Milik No. 6036 diperkuat dengan novum PK IV
yaitu putusan peradilan TUN yang sudah berkekuatan hukum tetap, bahwa
Sertipikat Hak Milik No. 6036 belum pernah dibatalkan.
C. Analisis Hukum Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim
Setelah kasus tersebut dideskripsikan selanjutnya akan dilakukan analisis
hukum dengan memberikan argumentasi-argumentasi hukum (legal reasoring)
terhadap kasus tersebut khususnya mengenai dasar pertimbangan Hakim tentang
keabsahan kepemilikan tanah.
Pokok penting dalam pertimbangan hakim ialah tentang bukti baru yang
diajukan oleh Pemohon PK yaitu :
1. Bahwa yang dipermasalahkan adalah keabsahan SHM (Sertipikat Hak
Milik) No. 6036/Cilandak apakah benar sebagai pengganti SHM
897/Cilandak. Ada 2 (dua) transaksi terhadap Ny. Nelly Moeljono yaitu
terhadap Pemohon PK/Pembantah dan terhadap Termohon PK II.
2. Bahwa SHM 6036 Cilandak adalah cacat hukum karena SHM
897/Cilandak telah dialihkan dengan akte 16 dan ditambah akta 17. Oleh
pemilik SHM 897 akan dicabut. Kemudian direkayasa SHM itu seolah-
Universitas Sumatera Utara
olah hilang, lapor ke Polisi dan minta dibuatkan SHM yang baru yaitu
SHM 6036/Cilandak.
3. Dengan dasar jual beli Ny. Nelly Moeljono Soebandi dengan Pemohon PK
tidak sah karena transaksi semula belum dibatalkan.
4. Bahwa dalam SHM 6036/Cilandak pun tidak menyebut pengganti SHM
semula No. 897 yang dianggap hilang.
5. Jika pemohon PK benar secara fisik menguasai objek perkara, mengapa
tidak mengikutsertakan Ny. Nelly selaku penjual, dan Bank Niaga sebagai
pihak yang berkeepentingan memberi kredit dengan jaminan SHM
6036/Cilandak tersebut.
Peninjauan
kembali
merupakan
upaya
hukum
luar
biasa
yang
dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan Pengadilan
tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi, di mana kesalahan
atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara. Menyadari kemungkinan adanya kesalahan
atau kekeliruan tersebut, maka Undang-Undang memberikan kesempatan dan
sarana bagi para pencari keadilan untuk memperoleh keadilan sesuai dengan
tahapan hukum acara yang berlaku.
Pemeriksaan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 66
s/d 77 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No.5 Tahun 2004
jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009, sedangkan dalam perkara pidana diatur
dalam Pasal 263 s/d 269 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara
Universitas Sumatera Utara
pidana. Baik permohonan/permintaan peninjauan kembali yang diatur dalam
perkara perdata maupun yang diatur dalam perkara pidana, hanya dapat diajukan 1
(satu) kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang 14
Tahun 1985 dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981. Hal ini
dipertegas lagi dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali.
Menurut ketentuan Pasal 67 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009,
permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut :
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut.
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
Universitas Sumatera Utara
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,
atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata;
Dalam hal ini dasar pertimbangan hakim tersebut telah sesuai dengan
kaidah hukum yang berlaku karena novum yang diajukan Pemohon PK tidak
dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut :
-
PK I pengaduan/Laporan Polisi tidak relevan, tidak ada sangkut paut
-
PK II putusan PN tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK III pembatalan akte no. 16 dan 17 dalam tidak lanjut putusan PN
-
PK IV tidak menyangkut nama Pemohon PK
-
PK V pernyataan N.T. Moeljono akan mencabut berhubung dengan Turut
Terbantah
-
PK VI tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
-
PK VII Sertipikat hak tanggungan seluruhnya dengan SHM 6036, tidak
menyangkut pihak perkara.
Sehingga sudah sepatutnya hakim menolak semua peninjauan kembali yang
diajukan oleh pemohon PK tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
AKIBAT HUKUM PERDATA PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NO. 189 PK/PDT/2009
A.
Akibat Hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 189 PK/PDT/2009
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan
yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. 66
Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari
segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek
hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu
oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat
hukum. 67
Putusan Majelis Hakim pada Gugatan nomor 189 PK/PDT/2009 ialah
menolak permohonan peninjauan kembali karena tidak beralasan menurut hukum
sehingga harus ditolak.
Akibat hukum dari putusan tersebut Majelis hakim memutuskan untuk
menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh ASTUTI BUDI UTAMI, dengan
menyatakan bahwa SHM No. 6036/Cilandak adalah cacat hukum, karena SHM
897/Cilandak telah dialihkan dengan akta 16 dan ditambah akta 17 oleh pemilik
66
67
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 295
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Pustaka setia, 1999, hal. 71
87
Universitas Sumatera Utara
SHM 897/Cilandak sehingga SHM itu seolah-olah hilang, kemudian dilapor ke
Polisi dan minta dibuatkan SHM yang baru yaitu SHM 6036/Cilandak. Dengan
demikian sertifikat SHM No. 6036/Cilandak tersebut dibatalkan.
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatigade) dapat dijumpai baik dalam
hukum perdata maupun pidana. Kedua konsep perbuatan melawan hukum tersebut
memperlihatkan perbedaan dan persamaan antara lain yaitu: 68
1. Perbuatan melawan hukum perdata:
a. Perbuatan melawan hukum perdata dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan individu
b. Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum perdata adalah meniadakan
kerugian dari pihak yang dirugikan
2. Perbuatan melawan hukum pidana
a. Perbuatan hukum pidana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
masyarakat umum.
b. Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum pidana adalah pemidanaan
dari individu yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat umum karena
adanya tindak pidana yang dilakukan.
Dari perbuatan melawan hukum tersebut diatas dapat dilihat bahwa
Nyonya Nelly Moeljono Soebandi ini telah melakukan perbuatan melawan hukum
yaitu dengan membuat laporan kehilangan untuk penerbitan sertipikat baru tetapi
dengan rekayasa atau memberikan keterangan yang tidak benar seolah-olah
sertipikat tersebut hilang kenyataannya sertipikat hak milik Nomor 897/Cilandak
68
Rosa Agustina, Ringkasan Disertasi Perbuatan Melawan Hukum, Program Doktor
Universitas Indonesia, hal 15
Universitas Sumatera Utara
tersebut telah dialihkan kepada Tuan Heru Setia Budi dengan Nomor akta 16 dan
17.
Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum
antara lain: 69
1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan
2. Ganti rugi dalam bentuk natural atau dikembalikan dalam keadaan semula
3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum
4. Melarang dilakukannya perbuatan hukum.
Kasus pemilikan sertipikat ganda ini tentu salah satu dari sertipikat
tersebut adalah palsu, dimana dalam perbuatan melawan hukum memiliki tanah
secara tidak sah dengan memalsukan sertipikat tanah dengan pemilikan tidak sah
atau hanya penguasaan secara tidak sah sangat bergantung pada tindakan dan
situasi sekeliling pelaksanaan perbuatan tersebut, akan tetapi, sering kali ada
beberapa faktor dominan dalam tindakan pelaku yag dapat dipertimbangkan,
faktor dominan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah pelaku beritikad baik
2. Sejauh mana kerusakan terhadap benda milik orang lain tersebut
3. Sejauh mana dominasi penguasaan pelaku atas benda orang lain tersebut.
4. Sejauh mana kerugian material dan ketidaknyamanan terhadap korban. 70
69
70
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal 40
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal.
58
Universitas Sumatera Utara
B.
Akibat Hukum Perdata Terhadap Para Pihak
Sertipikat ganda diterbitkan karena kelalaian atau kurang telitinya Badan
Pertanahan Nasional dalam hal melakukan pendaftaran hak atas tanah sehingga
menimbul dampak terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah. Keberadaan
sertipikat ganda mengakibatkan tidak terciptanya kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi pemegang sah hak atas tanah, diterbitkannya sertipikat
ganda dapat menimbulkan anatara lain : terjadi kekacauan pemilikan, terjadi
sengketa hukum, terjadi ketidakpsatian hukum, terjadi tindak pidana atas
pemakain sertipikat yang palsu yang merugikan pemilik sertipikat asli maupun
pihak lainnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap sertipikat hak atas tanah. 71
Sertipikat ganda jelas membawa akibat ketidakpastian hukum pemegang
hak-hak atas tanah yang sangat tidak diharapkan dalam pelaksanaan pendaftaran
tanah. Untuk mencegah terjadinya sertipikat ganda tidak ada jalan lain selain
mengoptimalkan administrasi pertanahan dan pembuatan peta pendaftaran tanah.
Hal ini harus dilakukan untuk mencegah terjadinya sertipikat ganda.Dengan
adanya peta pendaftaran tanah dan administrasi pertanahan yang baik, kesalahan
batas dapat diketahui sedini mungkin. 72
Namun apabila terjadi sertipikat ganda, maka harus ada pembatalan dari
salah satu pihak dengan memeriksa dokumen pendukung. Hal ini bisa
berlangsung lama, apalagi jika terjadi gugatan sertipikat ke pengadilan, untuk
meminta pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan. Terjadinya sertipikat
ganda merupakan salah satu akibat adanya tumpang tindih dalam penerbitan hak
71
72
Utoyo Sutopo, Op.cit, hal. 7
Adrian Sutedi. Op.cit, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
atas tanah yang disebut cacat hukum administrasi. Sebagaimana terdapat dalam
pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9
tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah dan hak
pengelolaan.
Lahirnya sertipikat ganda, tidak lepas dari tindakan pejabat Kantor
Pertanahan, seperti membatalkan sebuat sertipikat yang lama dan menerbitkan
yang baru untuk dan atas nama orang lain tanpa sepengetahuan pemilik yang
namanya tercantum dalam sertipikat tanah yang lama. Bahkan penerbitan
sertipikat yang baru dilakukan oleh pejabat Kantor Pertanahan tanpa prosedur
hukum. 73 Dalam pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa :
“setiap orang berhak ataspengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Dalam pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
disebutkan bahwa salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu
bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Pemegang hak yang dimaksud adalah baik
pemegang hak yang memperoleh hak tersebut melalui permohonan hak melalui
prosedur pendaftaran tanah pertama kali maupun pemegang hak yang memperoleh
hak tersebut karena melakukan perbuatan hukum.
73
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
Sanksi Perdata yang diterapkan oleh Kantor Pertanahan akibat ketidak
telitian dan ketidak cermatan dalam melakukan dan memeriksa data fisik, data
yuridis dikenakan sanksi 1365 dan 1366 KUHperdata yang menyebutkan:
Pasal 1365 ”tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”
Pasal 1366 “setiap orang bertangung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Sebagaimaman diketahui bahwa Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan
adanya unsur kesalahan (schuld) terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Dan
sudah merupakan tafsiran umum dalam ilmu hukum bahwa unsur kesalahan
tersebut dianggap ada jika memenuhi salah satu diantara 3 (tiga) syarat sebagai
berikut:
1. Ada unsur kesengajaan, atau
2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond)
Dalam hal ini dapat diperkiran juga bahwa bisa saja para pihak membuat,
mendaftarkan atau menerbitkan sertipikat tersebut
dengan unsur kesengajaan
dimana derajat kesalahnnya lebih tinggi. Jika seseorang dengan segaja merugikan
orang lain (baik untuk kepentingannya sendiri atau bukan), berarti dia telah
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut dalam arti yang sangat
serius ketimbang dilakukannya hanya sekedar kelalaian belaka. 74
Unsur kesengajaan tersebut dianggap eksis dalam suatu tindakan manakala
memenuhi elemen-elemen sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran (state of mind)untuk melakukan.
2. Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi, bukan hanya adanya perbuatan
saja.
3. Kesadaran
untuk
melakukan,
bukan
hanya
untuk
menimbulkan
konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan
tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.
Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika terdapat “maksud” (intent)
dari pihak pelakunya. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara istilah”maksud”
dengan “motif”. Dengan istilah “maksud” diartikan sebagai suatu keinginan untuk
menghasilkan suatu akibat tertentu. Jika menerbitkan sertipikat ganda dalam suatu
objek tanah akan menimbulkan suatu kerugian ataupun keuntungan bagi para
pihak mendaftarakan atau menerbitkan sertipikat tersebut, tentu perbuatan tersebut
mempunyai maksud, akan tetapi motif dari menerbitkan sertipikat ganda tersebut
bisa bermacam-macam misalnya sebagai tindakan balas dendam, protes,
menghukum, membela diri dan lain-lain.
Dalam hubungan dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindakan
kesengajaan tersebut “rasa keadilan” memintakan agar hukum lebih memihak
kepada korban dari tindakan tersebut, sehingga dalam hal ini.Hukum lebih
74
Munir Fuady, Op.cit, hal. 45-46
Universitas Sumatera Utara
menerima pendekatan yang “objektif”. Artinya, hukum lebih melihat kepada
akibat dari tindakan tersebut kepada para korban, dari pada melihat apa maksud
yang sesungguhnya dari si pelaku, meskipun masih dengan tetap mensyaratkan
adanya unsur kesengajaan tersebut. Dengan kesengajaan, ada niat dalam hati dari
pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban, atau paling tidak
dapat mengetahui secara pasti bahwa akibat dari perbuatannya tersebut akan
terjadi. Akan tetapi, dalam kesengajaan tidak ada niat dalam hati dari pihak pelaku
untuk menimbulkan kerugian, bahkan mungkin ada keinginannya untuk
mencegah terjadinya kerugian tersebut.
Pengunaan pendekatan yang “objektif” terhadap akibat dari perbuatan
kesengajaan tersebut, membawa konsekuensi-konsekuensi yuridis sebagai berikut:
1. Maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum yang lain
dari yang terjadi.
Meskipun maksud yang sebenarnya adalah melakukan sesuatu perbuatan yang
sebenarnya termasuk juga perbuatan melawan hukum, tetapi kemudian yang
terjadi adalah perbuatan melawan hukum yang lain, amka pelaku secara
hukum bertanggung jawab. Juga terhadap perbuatan melawan hukum yang
lain tersebut.
2. Maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap
orang lain, bukan terhadap korban.
Demikian juga halnya jika pelaku sebenarnya bermaksud untuk melakukan
perbuatan melawan hukum terhadap seseorang, tetapi ternyata yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
korban adalah orang lain lagi, maka oleh hukum pelaku dianggap bertanggung
jawab juga terhadap korban (orang lain) tersebut.
3. Tidak perlu punya maksud untuk merugikan atau maksud yang bermusuhan.
Dalam hal pelaku melakukan sesuatu perbuatan tanpa maksud untuk
merugikan korban, bahkan tanpa maksud yang bermusuhan, oleh hukum tetap
dianggap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena perbuatan
melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan.
4. Tidak punya maksud, tetapi tahu pasti bahwa akibat tertentu akan terjadi.
Adakalanya seseorang pelaku perbuatan melawan hukum melakukan sesuatu
perbuatan tanpa maksud untuk merugikan pihak korban, tetapi akibatnya
korban benar-benar dirugikan, dan pelaku tahu pasti atau patut sekali menduga
bahwa akibat tersebut akan terjadi karena perbuatannya itu. Maka dalam hal
ini, dengan menggunakan doktrin “kepastian yang substansial” (substansial
certainty rule), pelaku dianggap telah dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum. Kepastian yang substansial di sini dimaksudkan adalah
bahwa pelaku mengetahui dengan pasti atau dengan substansial pasti (patut
sekali menduga) bahwa tindakannya itu akan membawa akibat tertentu kepada
pihak lain.
Sanksi administratif yang membuat efek jera Kepala Kantor Pertanahan
yang telah terbukti salah dalam menerbitkan sertipikat ganda dapat dijatuihi
sanksi administratif yang paling berat ialah pemberhentian dari jabatan. Ancaman
sanksi pemberhentian dari jabatan sebagai Kepala Kantor Pertanahan akan selalu
Universitas Sumatera Utara
berhati-hati dalam menerbitkan sertipikat tanah. 75 Kesalahan data fisik mauapun
data yuridis dalam pendaftaran tanah akan menghilangkan unsur kepastian hukum
hak atas tanah, sehingga para pihak yang berhak atas tanah itu akan dirugikan.
Kesalahan juga akan berakibat terjadinya informasi yang salah di BPN sebagai
alat kelengkapan negara yang akibatnya juga berarti menciptakan administrasi
pertanahan yang tidak tertib.
Dalam hal ini dapat dianggap Kepala Badan Pertanahan melakukan suatu
kelalaian ataupun ketidak hati-hatian dalam menerbitkan sertipikat. Dalam ilmu
hukum diajarkan bahwa agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian,
h