Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 439 K Pid 2010 Atas Tuduhan Penipuan Yang Dilakukan Oleh Oknum Notaris Chapter III V

46

BAB III
PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PUTUSAN
NO. 439 K/PID/2010 ATAS TUDUHAN PENIPUAN YANG
DILAKUKAN OLEH NOTARIS
A. Kasus Posisi
Dalam perkara kasus penipuan yang melibatkan oknum Notaris BN
sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Dumai Nomor 126/Pid/B/2009/PN.DUM
tanggal 04 Agustus 2009, dimana terdakwa Notaris BN oleh Jaksa Penuntut Umum
dituntut bersalah melakukan tindak pidana Secara bersama-sama melakukan penipuan
sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUHPidana jo. pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHPidana.
Pengadilan

Negeri

Dumai

menjatuhkan


putusannya

dengan

Nomor

126/Pid/B/2009/PN.DUM tanggal 4 Agustus 2009 yang amar putusannya
menyatakan bahwa terdakwa BN telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan

tindak pidana secara bersama-sama melakukan penipuan, dan

menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
Dalam tingkat

banding,

Pengadilan


Tinggi

Pekanbaru

menjatuhkan

putusannya dengan Nomor 376/PID/2009/PTR tanggal 23 Nopember 2009 yang amar
putusannya menyatakan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Dumai Nomor
126/Pid.B/2009/PN.DUM tangga 14 Agustus 2009 sekedar mengenai lamanya pidana
yang dijatuhkan kepada Terdakwa BN yaitu menghukum Terdakwa BN oleh karena
46

Universitas Sumatera Utara

47

itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, menetapkan agar Terdakwa ditahan,
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Dumai tersebut untuk selebihnya,
menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan
yang untuk tingkat banding sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
putusannya Nomor 439 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli 2010 menolak kasasi dari
terdakwa BN, sehingga dengan demikian menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
Dumai dan Pengadilan Tinggi Pekan Baru.
Mengenai kronologis kasus penipuan yang melibatkan Notaris BN dapat
diuraikan sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 08 Juni 2003 bertempat di kantor Notaris BN di Dumai,
BN bersama ICHK menawarkan tanah kepada AWL alias KH dan SN dengan cara
BN meyakinkan kepada para calon pembeli bahwa saksi ICHK sudah mendapat Surat
Kuasa Jual Beli dari pemilik tanah yang bernama BS, di mana BN menunjukkan
sesuatu Surat Akta dan mengatakan surat tersebut adalah Surat Kuasa menjual tanah
dari pemilik tanah atas nama BS serta tanah tersebut tidak ada masalah dan Terdakwa
BN juga mengatakan kepada para saksi AWL alias KH dan SN “Bahwa saksi ICHK
telah mendapat Surat Kuasa Jual Beli dari BS dan dengan surat tersebut saksi ICHK
telah punya wewenang menurut hukum, di mana untuk pemecahan sertifikat dan
balik nama langsung akan saya urus”, atas penjelasan BN tersebut maka saksi AWL
alias KH dan SN percaya sehingga disepakati harga tanah Rp. 400.000,- (empat ratus
ribu rupiah)/M2 dengan ukuran tanah 110 M x 65 M dan dibuat pengikatan jual beli

Universitas Sumatera Utara


48

antara saksi ICHK selaku penjual dengan saksi AWL selaku pembeli dan pada waktu
itu disepakati saksi AWL membayar persekot sebesar Rp.150.000.000 , - (seratus
lima puluh juta rupiah) atas kesepakatan tersebut saksi AWL mentransfer uang
persekot tersebut ke rekening atas nama WT (anak kandung saksi ICHK) dengan
dengan bukti kwitansi tertanggal 08 Juni 2003, pembuatan kwitansi pembayaran
tersebut disaksikan oleh Terdakwa BN;
Pada bulan Juli 2003 Terdakwa BN menelepon saksi AWL yang mengatakan
bahwa Terdakwa BN bersama saksi ICHK mau berangkat ke Jakarta membawa Akta
Jual Beli Tanah tersebut untuk ditandatangani BS dan Terdakwa BN meminta uang
pembayaran tanah guna pengurusan surat-surat ke Jakarta sehingga saksi AWL pada
tanggal 21 Juli 2003 membayar kepada saksi ICHK sebesar Rp.250.000.000, - (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dengan kwitansi tertanggal 21 Juli 2003;
Pada tanggal 29 Juli 2003 Terdakwa BN menelepon saksi AWL dan
memberitahukan bahwa Akta Jual Beli sudah ditanda-tangani oleh BS dan
selanjutnya saksi AWL, saksi ASG dan saksi SN ke kantor Notaris BN di Dumai di
mana pada hari itu juga saksi ICHK bersama BN sudah ada di kantor Notaris tersebut
dan


sesuai

kesepakatan

saksi

AWL

dan

kawan-kawan

harus

membayar

Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah), sesampainya di kantor
Notaris tersebut Terdakwa BN membacakan Akta Notaris Nomor 58 tanggal 29 Juli
2003 pada bagian Surat Kuasa Jual saja dari pemilik tanah BS kepada saksi ICHK di

hadapan saksi AWL dan kawan-kawan sedangkan maksud dari Akta Notaris Nomor
58 tanggal 29 Juli 2003 tersebut tidak dijelaskan oleh Terdakwa BN kepada saksi

Universitas Sumatera Utara

49

AWL, ASG dan SN, dan Terdakwa menyodorkan 4 Akta Jual Beli nomor, tanggal
dan tahun yang masih kosong yang telah ditandatangani oleh BS dan juga persetujuan
isterinya (saksi RT) untuk ditanda-tangani oleh saksi AWL dan kawan-kawan
sehingga saksi AWL menanyakan kepada Terdakwa BN, “Apakah ini sudah tidak ada
masalah pak apa surat kuasa pengikatan jual dan pengikatan jual belinya tidak ada
masalah” dan di jawab oleh Terdakwa BN “Tidak ada masalah surat-suratnya sudah
cukup kuat di mana pengurusan Sertifikat Hak Milik hingga balik nama saya
langsung mengurusnya jadi tidak perlu ragu dan kalau mau bayar pelunasan juga
sudah boleh” atas penjelasan Terdakwa tersebut maka pada tanggal 01 Agustus 2003
saksi AWL mentransfer uang pembayaran tanah tersebut ke rekening WT (anak
kandung saksi ICHK) sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah)
selanjutnya saksi AWL langsung menuju kantor Notaris BN di mana saksi ICHK
telah mempersiapkan kwitansi tanda terima uang tertanggal 01 Agustus 2003.

Pada tanggal 05 Agustus 2003 saksi ICHK menelepon saksi AWL dan
memberitahukan bahwa pemecahan sertifikat induk menjadi 5 (lima) sertifikat dan
sedang diproses di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga perlu uang sebesar
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan saksi langsung mentransfer ke rekening
atas nama WT selanjutnya saksi AWL langsung ke kantor Notaris BN dan BN sudah
menunggu di kantor tersebut serta saksi Iwan CHK sudah mempersiapkan kwitansi
tanda terima uang sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
Pada tanggal 22 Agustus 2003 sesuai kesepakatan saksi AWL harus
membayar pelunasan sebesar Rp.910.000.000,- (sembilan ratus sepuluh juta rupiah)

Universitas Sumatera Utara

50

maka saksi AWL bersama saksi SN ke kantor Notaris BN, pada saat itu saksi AWL
bertanya kepada Terdakwa BN, ”Apakah pemecahan 5 (lima) Sertifikat sudah
selesai” dan di jawab oleh Terdakwa ”Sudah hampir selesai karena Akta Jual Beli
sudah ditanda tangani” maka atas penjelasan Terdakwa BN tersebut saksi AWL
langsung melakukan pelunasan dengan mentransfer ke rekening WT (anak kandung
ICHK) sebesar Rp.910.000.000,- (sembilan ratus sepuluh juta rupiah) dan pada saat

pembayaran terakhir saksi AWL meminta dibuatkan Bukti Keseluruhan Uang yang
sudah diterima oleh saksi ICHK atas pembelian tanah tersebut, maka dibuat kwitansi
tertanggal 22 Agustus 2003 yang berisi sudah diterima dari KH uang sejumlah
Rp.2.860.000.000,- (dua milyar delapan ratus enam puluh juta rupiah) untuk
pembayaran sebidang tanah dengan ukuran 110 M x 65 M di Jalan Kelakap Tujuh
yang menerima saksi ICHK yang diketahui oleh Terdakwa BN;
Setelah saksi AWL dan kawan-kawan melunasi pembayaran tanah tersebut
pada tanggal 22 Agustus 2003 di mana Terdakwa BN menjanjikan akan
menyelesaikan pengurusan surat-surat tanah milik saksi AWL, dan kawan- kawan
tersebut 1 (satu) bulan setelah di lakukan pembayaran lunas oleh saksi AWL, dan
kawan-kawan kepada saksi ICHK namun sampai saat ini saksi AWL dan kawankawan tidak mendapatkan tanah yang dijanjikan oleh Terdakwa BN tersebut;
Akibat perbuatan Terdakwa BN bersama saksi ICHK tersebut maka saksi
AWL dan kawan-kawan mengalami kerugian sebesar Rp.2.860.000.000,- (dua milyar
delapan ratus enam puluh juta rupiah);

Universitas Sumatera Utara

51

Berdasarkan uraian di atas, perkara ini bermula dari jual beli tanah pada tahun

2003, dimana ICHK sebagai penerima kuasa jual dari BS menjual tanah kepada AWL
dan kawan-kawan, namun setelah harga disepakati dan dibayar saksi AWL dan
kawan-kawan ke rekening WT (anak kandung ICHK), ternyata uang hasil penjualan
tanahnya tidak diserahkan kepada BS sebagai pemilik tanah. Dalam kasus penipuan
yang melibatkan seorang Notaris tersebut di atas, tampak bahwa permasalahan
penipuan yang diajukan oleh AWL bermula ketika ICHK tidak membayarkan
sejumlah uang kepada pemilik tanah yang menyebabkan pihak pemilik tanah menarik
kembali sertipikat hak atas tanahnya yang berakibat proses balik nama ke atas nama
pembeli AWL dan kawan-kawan terhenti dan tidak dapat diproses sampai selesai oleh
Notaris BN. Jadi permasalahan timbul bukan pada prosedur atau pembuatan aktanya
namun pada tindakan penggelapan atau penipuan yang dilakukan ICHK. Seharusnya
seorang Notaris yang menjalankan jabatan Notaris tidak dapat dihukum karena
melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/kehendak dari pihak-pihak yang
menghendaki perbuatan hukum yang dituangkan ke dalam akta otentik, namun dalam
kasus dugaan penipuan tersebut Notaris BN ditarik sebagai pihak yang turut serta
melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, karena dalam pelaksanaan
perjanjian terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang menyebabkan tidak
terlaksananya apa yang disepakati para pihak.
B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Pemohon Kasasi

I/Jaksa/Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

52

Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi ) tidak salah menerapkan hukum dalam
amar putusannya, karena dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut tidak
melakukan kekeliruan dengan alasan judex facti (Pengadilan Tinggi) tersebut telah
mempelajari dengan seksama berkas perkara dan turunan resmi putusan judex facti
(Pengadilan Negeri) dan Terdakwa juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam
perkara ini sebagaimana yang telah dituangkan dalam surat tuntutan Pemohon Kasasi
II/Jaksa/Penuntut Umum tertanggal 18 Mei 2009.
Menimbang,

bahwa

atas

alasan-alasan


tersebut

Mahkamah

Agung

berpendapat bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti
(Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum yaitu telah mempertimbangkan
hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) f
KUHAP.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung tersebut, tampak bahwa alasanalasan yang diajukan Pemohon Kasasi I/Jaksa/Penuntut Umum bahwa pengadilan
tinggi tidak salah menerapkan hukum dalam amar putusannya karena dalam
memeriksa dan mengadili perkara tersebut tidak melakukan kekeliruan dengan alasan
judex facti (Pengadilan Tinggi) tersebut telah mempelajari dengan seksama berkas
perkara dan turunan resmi putusan judex facti (Pengadilan Negeri) dan Terdakwa
juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam perkara ini, menurut Mahkamah
Agung alasan yang benar dalam putusan pemidanaan harus memuat pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai

Universitas Sumatera Utara

53

keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHP.
Menimbang bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
I/Terdakwa pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum
yaitu mengenai fakta-fakta di persidangan.57
a. Judex facti (Pengadilan Tinggi) tidak mempertimbangkan dissenting opinion
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dumai, Penerapan Hukum Pasal 378
KUHPidana jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana adalah keliru yaitu mengenai
unsur barang siapa, unsur dengan maksud untuk menguntungkan dari sendiri
dan orang lain, unsur secara melawan hukum dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau
supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang.
b. Bahwa unsur-unsur tersebut di atas tidak terbukti, yaitu mengenai Pasal 55
ayat (1) KUHP mengenai unsur yang melakukan, menyuruh melakukan, dan
yang turut serta melakukan perbuatan, judex facti tidak dapat menunjukkan
keterkaitan langsung dan tidak dapat menentukan jenis pelakunya dan
menghubungkan dengan teori-teori, ilmu pengetahuan hukum, doktrin dan
lainnya.

57

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli
2010, hlm.15.

Universitas Sumatera Utara

54

c. Bahwa pada putusan Pengadilan Negeri Dumai No.125/Pid.B/2009/PN.Dum,
Ketua Majelis Hakim juga melakukan dissenting opinion, di mana penerapan
hukum dalam putusan tersebut bukanlah Pasal 378 jo. Pasal 22 ayat (1) KUHP
tetapi seharusnya Pasal 372 KUHPidana, dengan pertimbangan bahwa jual
beli tidak terjadi karena Terdakwa ICHK tidak membayar semua uang
penjualan tanah tersebut kepada pemilik tanah (BS) melainkan dipergunakan
oleh Terdakwa ICHK untuk bisnis CPO di Jakarta.
d. Penerapan unsur Pasal 55 ayat (1) KUHPidana harus ada 2 pelaku. Selain itu
dalam perkara ini jika dicermati, dakwaan Jaksa dan tuntutan Jaksa tidak
relevan sebab Jaksa tidak dapat menemukan fakta kapan Pemohon Kasasi
I/Terdakwa “menawarkan” tanah kepada AWL dan kawan-kawan, bahwa
tidak ditemukan fakta adanya kebersamaan niat untuk mewujudkan suatu
delik sebagaimana unsur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP tersebut, semua
ucapan Pemohon Kasasi I/Terdakwa mengenai kuasa dikatakan setelah kuasa
ditanda tangani para pihak setelah Pemohon Kasasi I/Terdakwa pulang dari
Jakarta, yaitu pada saat AWL dan kawan-kawan mau melakukan pembayaran
ke-III sebesar Rp.1.500.000.000,-, bukan pada saat pertama kali ada
pertemuan di kantor BN Pemohon Kasasi I/Terdakwa, oleh karena itu unsur
tersebut di atas tidak terbukti.
e. Keterangan pengunjung sidang, bahwa setelah membaca salinan putusan
judex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) tersebut ternyata ada
keterangan saksi-saksi yang tidak dimuat dalam salinan putusan, karenanya

Universitas Sumatera Utara

55

untuk menjadi bukti dan pertimbangan Hakim kasasi, bersama ini dilampirkan
keterangan para pengunjung sidang yang kiranya dapat menjadi pertimbangan
Majelis Hakim Kasasi, oleh karena itu keterangan para pengunjung tersebut
merupakan keterangan saksi di persidangan yang didengar oleh para
pengunjung sidang baik dari warga masyarakat, Notaris dan Wartawan. Hal
ini menunjukkan ada perbedaan beberapa keterangan penting dari para saksi
yang tidak dimuat dan menjadi pertimbangan Hakim Anggota, sehingga
membohongi publik.
2. Bahwa judex facti telah keliru dan salah menerapkan hukum, karena telah
melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.58
a. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) dalam pertimbangan hukumnya hanya
merupakan pertimbangan hukum yang mengambil alih pertimbangan hukum
judex facti (Pengadilan Negeri).
b. Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 28 ayat (1) menyatakan Hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Ayat (2) dalam mempertimbangkan berat ringannya
pidana, Hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari Pemohon
Kasasi I/Terdakwa.

58

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli
2010, hlm.23.

Universitas Sumatera Utara

56

c. Bahwa dalam memberikan pertimbangan, judex facti tidak secara obyektif
menggali

dan

mempertimbangkan

fakta-fakta

di

persidangan

yang

menguntungkan Pemohon Kasasi I/Terdakwa.
d. Keterangan saksi AWL, AS, dan SN secara tegasmenyatakan bahwa yang
merugikan mereka adaIah ICHK, mereka juga menyatakan bahwa yang
menipu mereka adalah ICHK, bukan Pemohon Kasasi I/Terdakwa, keterangan
saksi tersebut dijadikan dasar pertimbangan Ketua Majelis Hakim dalam
dissenting opinion.
e. Judex facti sama sekali tidak mempertimbangkan fakta/latar belakang
Pemohon Kasasi I/Terdakwa baik sebagai jabatan Notaris/PPAT, sebagai
Ketua salah satu Ketua Partai di Dumai, terutama sebagai Ketua Paguyuban
Masyarakat Batak di Dumai, yang dalam kiprahnya senantiasa mendorong
paguyuban untuk berperilaku sebagai warga negara yang baik.
f. Pertimbangan judex facti bertentangan dengan sumpah seorang Hakim, yang
menyatakan ”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi
kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
UUD 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut UUD 1945 serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
g. Majelis Hakim tidak mempertimbangan secara adil fakta yuridis di
persidangan, karena judex facti tidak menggali dan menggunakan fakta-fakta
yang terungkap di persidangan secara obyektif yang diperoleh di persidangan:

Universitas Sumatera Utara

57

1) Mengenai jumlah uang yang katanya dipakai oleh Pemohon Kasasi
I/Terdakwa sebesar Rp.25.000.000,-.
2) Keterangan tersebut diberikan oleh Terdakwa ICHK (Terdakwa II) dan
anaknya WT (saksi), ditolak oleh Pemohon Kasasi I/Terdakwa dan hanya
meminta Rp.5.000.000,- untuk mengurus/membayar PBB.
3) Fakta bahwa Terdakwa Iwan CHK dan anaknya WT telah bersekongkol
untuk menggunakan/menggelapkan uang milik AWL dan kawan-kawan
serta dengan sengaja tidak membayar lunas harga tanah kepada
pemiliknya BS/RT, sehingga AWL dan kawan-kawan tidak bisa memiliki
tanah yang dibelinya.
4) Fakta bahwa Pemohon Kasasi I/Terdakwa sama sekali tidak secara
bersama-sama dengan ICHK menipu atau menggelapkan uang milik AWL
dan kawan-kawan, dengan kata lain seandainya Pemohon Kasasi
I/Terdakwa secara bersama-sama dengan Terdakwa bersekongkol untuk
menipu dan menggelapkan uang milik AWL dan kawan-kawan maka pasti
Pemohon Kasasi I/Terdakwa akan mendapatkan bagian lebih besar dari
jumlah Rp.2.680.000.000,- yang tidak disetorkan kepada BS/RS.
5) Fakta-fakta tersebut di atas yang tidak dijadikan pertimbangan judex facti
membuktikan bahwa Pemohon Kasasi I/Terdakwa tidak secara sah dan
meyakinkan melakukan perbuatan pidana yang didakwakan padanya.

Universitas Sumatera Utara

58

3. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum,
karena telah melanggar asas hukum Lex Specialis Derogat Lex Generalis:59
a. Bahwa pertimbangan judex facti selain bertentangan dengan asas hukum juga
bertentangan fakta-fakta di persidangan. Redaksional dalam pertimbangan
yang menyatakan :
1) ”Bayar saja kepada ICHK karena ICHK sudah menerima kuasa dari
pemilik tanah yaitu BS dan surat kuasa sudah cukup kuat.”
Pernyataan tersebut telah sesuai dengan fakta bahwa Pemohon Kasasi
I/Terdakwa dalam jabatannya selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2) ”Tanah di Kelakap Tujuh Kelurahan Ratu Sima Kecamatan Dumai Barat
Kota Dumai tidak ada masalah, sedangkan surat kuasa dari BS kepada
ICHK untuk menjualkan tanahnya sudah sangat kuat”
Fakta bahwa pernyataan tersebut selain mempertegas posisi Pemohon
Kasasi I/Terdakwa dalam jabatan selaku Notaris/PPAT juga sesuai dengan
fakta di persidangan bahwa memang benar tanah yang akan dibeli AWL
dan kawan-kawan tidak ada masalah. Ada Sertifikat Nomor 391,
kemudian AWL dan kawan-kawan selaku calon pembeli telah melakukan
survei melihat tanahnya, tanpa melibatkan Pemohon Kasasi I/Terdakwa.
Pemohon Kasasi I/Terdakwa juga tidak pernah terlibat dalam pembicaraan
dan tawar menawar harga tanah. Pada saat terjadi pembicaraan antara

59

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli
2010, hlm.25.

Universitas Sumatera Utara

59

Pemohon Kasasi I/Terdakwa dengan AWL dan kawan-kawan seperti
dikutip di atas, Pemohon Kasasi I/Terdakwa dalam posisi sebagai PPAT
menjelaskan tentang kondisi tanah sesuai dengan fakta bahwa memang
ada Sertifikat Nomor 391 terdaftar di kantor BPN.
b. Dengan adanya dakwaan perbuatan pidana penipuan atas diri Pemohon Kasasi
I/Terdakwa, maka judex facti telah melanggar asas hukum Lex Specialis di
atas. Bukan menerapkan asas hukum yang berlaku umum :
1) Bahwa ketika melayani pembuatan akta-akta Pemohon Kasasi I/Terdakwa
berkewajiban menerangkan fakta-fakta sehubungan dengan status tanah
tersebut, sesuai dengan jabatannya yang sah sebagai pejabat umum atau
PPAT, yang ditunjuk oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional tanggal 31 Agustus 1998 Nomor 14-XI-1998 dan
Menteri

Kehakiman

tanggal

24

Februari

1999

Nomor

C.463.HT.03.01.TH.1999 sehingga dengan demikian segala tindakan
Pemohon Kasasi I/Terdakwa dalam memberikan pelayanan pada pihak
yang minta dibuatkan akta-akta otentik adalah perbuatan Pemohon Kasasi
I/Terdakwa dalam jabatannya sesuai dengan hak dan kewajibannya, jadi
bukan tindakan di luar jabatan sebagai Notaris/PPAT.
2) Bahwa dalam menjalankan tugas dan jabatan serta wewenang sebagai
PPAT tersebut, Pemohon Kasasi I/Terdakwa terikat oleh ketentuanketentuan hukum khusus (lex specialis) yaitu semua peraturan
perundangan Agraria, yang diantaranya adalah Peraturan Pemerintah (PP)

Universitas Sumatera Utara

60

Nomor 10 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang PPAT dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
BPHTB. Demikianlah karena segala hak dan kewajiban Pemohon Kasasi
I/Terdakwa selaku PPAT sudah diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum
khusus, maka tidak dibenarkan hukum perkara ini diselesaikan
berdasarkan KUHP (lex specialis) sesuai dengan asas “Lex Specialis
Derogat Lex Generalis”
4. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru salah menerapkan hukum,
karena telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana :60
a. Judex facti dalam memberikan pertimbangan tidak mempertimbangkan semua
alat bukti yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi yang menguntungkan
Pemohon Kasasi I/Terdakwa.
b. Keterangan saksi-saksi AWL, AS, SN, dan ICHK sendiri secara tegas
menerangkan bahwa yang merugikan dan yang menipu mereka adalah ICHK.
c. Yang membujuk beli tanah tersebut adalah ICHK, mereka sendiri yang
berunding dan melakukan survey tanah tersebut tanpa ada campur tangan
sedikitpun dari Pemohon Kasasi I/Terdakwa. Mereka sendiri yang berunding
tentang harga tanah dengan ICHK.

60

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli
2010, hlm.27.

Universitas Sumatera Utara

61

d. Adalah fakta bahwa pada saat AWL dan kawan-kawan datang menyampaikan
niatnya untuk meminta dibuatkan akta-akta dihadapan Pemohon Kasasi
I/Terdakwa selaku Notaris/PPAT, belum terjadi perbuatan pidana, oleh karena
itu perbuatan atau peristiwa pidana terjadi pada saat atau setelah ICHK terima
pembayaran tanah dari AWL atas nama kawan-kawannya, ICHK tidak
membayar lunas harga tanah tersebut kepada pemilik tanah BS/RT. Dengan
tidak dilunasinya sisa harga tanah sebesar Rp.1.500.000.000,- maka proses
jual beli yang telah dikuasakan kepada Terdakwa ICHK dibatalkan dan
sertifikat tanahnya diambil lagi oleh BS/RT, hal ini sesuai dengan Akta
Nomor 58 tanggal 29 Juli 2003, dengan dibatalkannya jual beli dan
diambilnya sertifikat tersebut maka AWL dan kawan-kawan tidak dapat
menandatangani Akta Jual Beli yang telah dipersiapkan oleh Pemohon Kasasi
I/Terdakwa, dan tidak memiliki tanah tersebut akibatnya mereka mengalami
kerugian.
e. Oleh karenanya baik peristiwa pidana maupun akibat yang ditimbulkannya
bukan karena perbuatan Pemohon Kasasi I/Terdakwa tetapi merupakan
perbuatan yang disengaja oleh Terdakwa ICHK, oleh karena itu pertimbangan
judex facti bertentangan atau melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 (KUHAP):
1) Pasal 185 ayat (1): ”keterangan saksi sebagai alat bukti sah apa yang ia
nyatakan dalam persidangan”,

Universitas Sumatera Utara

62

2) Pasal 185 ayat (6) : ”Dalam menilai kebenaran seorang saksi, Hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a) Persesuaian antara saksi yang satu dengan saksi yang lain;
b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
3) Pasal 188 KUHAP ayat (3) : ”Penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim
dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Oleh karena itu judex facti tidak secara cermat memeriksa semua alat bukti dan
keterangan saksi-saksi yang diperoleh di persidangan, dan hanya mengambil
keterangan saksi-saksi sebagian yang diperoleh dari Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) saksi di Kepolisian yang dibacakan di persidangan sehingga sangat
merugikan Pemohon Kasasi I/Terdakwa.
5. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum,
karena dalam pertimbangan hukumnya hanya mengambil alih pertimbangan judex
facti (Pengadilan Negeri):61
a. Bahwa pada putusan perkara Nomor 376/PID/2009/PTR menyatakan bahwa
”...pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri) tersebut diambil alih oleh
dan dijadikan sebagai pertimbangan judex facti (Pengadilan Tinggi) sendiri
dalam memutus perkara ini ”... dan seterusnya.

61

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli
2010, hlm.29.

Universitas Sumatera Utara

63

b. Bahwa oleh karenanya Pemohon Kasasi I/Terdakwa akan menanggapi
pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri) 2 (dua) Hakim Anggota dalam
menjatuhkan putusan perkara a quo, sehubungan dengan hal-hal tersebut,
mohon Majelis Hakim Kasasi berkenan mengadili sendiri dan memutus
perkara ini, dengan alasan bahwa Pemohon Kasasi I/Terdakwa atas putusan
dan pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri) dalam perkara a quo adalah
sebagai berikut :
1) Bahwa pertimbangan hukum Ketua Majelis Hakim disampaikan sebagai
pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dengan Hakim Anggota adalah
tepat dan benar, beralasan hukum serta didukung bukti-bukti yang sah
yang diperoleh dari persidangan.
2) Bahwa Pembanding mengambil alih pertimbangan pertimbangan Ketua
Majelis Hakim tersebut sebagai alasan/keberatan dalam memori banding
ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari memori banding
Pembanding.
Menimbang,

bahwa

atas

alasan-alasan

tersebut

Mahkamah

Agung

berpendapat:
1. Mengenai alasan ke- 1:
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti (Pengadilan
Tinggi) tidak salah menerapkan hukum yaitu telah mempertimbangan hal-hal
yang relevan secara yuridis dengan benar yaitu penipuan yang dilakukan oleh
Pemohon Kasasi I/Terdakwa dan menimbulkan kerugian bagi AWL dan kawan-

Universitas Sumatera Utara

64

kawan sebesar Rp.2.860.000.000,- (dua milyar delapan ratus enam puluh juta
rupiah) merupakan perbuatan pidana.
2. Mengenai alasan- alasan ke- 2 dan ke- 5:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena alasan-alasan
tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang
suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya
berkenaan dengan tidak di terapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum
tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981.
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon
Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa ditolak, maka biaya perkara pada tingkat
kasasi ini dibebankan kepada Terdakwa.
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan
lain yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

65

Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa judex facti
(Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum yaitu telah mempertimbangkan
hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) f
KUHAP, dan telah mempertimbangan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan
benar yaitu penipuan yang dilakukan oleh terdakwa BN dan menimbulkan kerugian
bagi AWL dan kawan-kawan sebesar Rp.2.860.000.000,- (dua milyar delapan ratus
enam puluh juta rupiah) merupakan suatu perbuatan pidana.
Bahwa alasan-alasan yang diajukan pemohon kasasi mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu
tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu
peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau
apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan
apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981).62
Bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata,
putusan judex facti (Pengadilan Tinggi Riau di Pekanbaru) dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari
para Pemohon Kasasi, Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak,

62

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 429 K/Pid/2010 tanggal 20 Juli
2010, hlm.62.

Universitas Sumatera Utara

66

karena alasan-alasan sebagaimana diuraikan diatas yang diajukan baik oleh pemohon
kasasi I maupun pemohon kasasi II tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung.
Akhirnya Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi II Jaksa/ Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Dumai tersebut.
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I /Terdakwa BN tersebut,
membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
C. Analisa Kasus
Berdasarkan uraian diatas tampak bahwa Jaksa Penuntut Umum mengajukan
terdakwa BN dalam persidangan perkara tersebut sesuai dengan surat dakwaan
No.Reg.Perk.PDM-30/Dumai/03/09, dengan dakwaan kesatu, melanggar Pasal 378
KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dakwaan kedua, melanggar Pasal 372
KUHP Jo. pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Dalam perkara tersebut jelas JPU tidak
yakin dan terkesan ragu-ragu dalam membuat surat tuntutan tersebut. Terbukti dari
surat dakwaan yang dibuat secara alternatif, dimana baik dakwaan primair maupun
dakwaan subsidair, JPU menerapkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana berbunyi, “Dihukum sebagai orang yang
melakukan perbuatan pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau
turut melakukan perbuatan itu.” Maka pertanyaannya adalah alat bukti apakah yang
dipergunakan untuk mengkualifikasikan unsur-unsur: Siapa yang melakukan, Siapa
yang menyuruh melakukan, dan Siapa yang turut serta melakukan perbuatan itu.
Unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 55 ayat (1) ke 1 tersebut tidak diuraikan

Universitas Sumatera Utara

67

dalam surat tuntutan. JPU tidak berhasil membuktikan unsur-unsur pasal 55 ayat (1)
ke 1 tersebut dalam persidangan. Dengan kata lain memang benar bahwa unsur-unsur
pasal 55 (1) ke 1 tersebut tidak terbukti dipersidangan. JPU hanya menguraikan
tentang unsur-unsur Pasal 378 KUHP dan tidak mampu menghubungkan dengan
unsur-unsur Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana, seolah-olah tuntutan bersifat tunggal.
Seharusnya Majelis Hakim dalam putusannya mempertimbangkan fakta-fakta
atau keterangan saksi-saksi yaitu keterangan dari saudara saksi ICHK, RT dan AWL
yang secara bersama menerangkan di persidangan, bahwa kesepakatan jual beli baik
mengenai obyek tanah maupun mengenai harga tanah serta sistem pembayaran adalah
kesepakatan antara penjual dan pembeli yang disepakati di luar kantor Notaris BN.
Bahkan saksi Iwan CHK menyatakan bahwa apabila terjadi permasalahan
dikemudian hari, Iwan CHK siap bertanggungjawab sepenuhnya.
Keterangan saksi dibawah sumpah yaitu saksi ICHK, saksi AWL, ASG, RT
dan saksi BD secara tegas dan menyatakan bahwa para penjual dan pembeli sepakat
jual beli tanah tersebut baik mengenai obyek tanah yang terletak di Jalan Kelakap
Tujuh Dumai seluas 1,8 hektar dengan harga Rp 4.750.000.000 dengan tiga kali
pembayaran yaitu pertama setelah akta ditandatangani sebesar Rp 2.400.000.000,
kemudian 6 bulan setelah itu sebesar Rp 100 juta dan 6 bulan setelah itu sebesar Rp
1.350.000.000 (keterangan saksi RT didalam persidangan).
Kesepakatan dilakukan oleh pihak pembeli dan penjual sebelum datang ke
kantor Notaris BN, sedangkan pembayaran harga tanah tersebut ditransfer oleh WT
(anak dari ICHK) kepada RT selaku pejual tanah tersebut, hal mana terbukti dari akta

Universitas Sumatera Utara

68

Jual Beli No 58 dan No 59, dengan demikian tidak ada tindakan dari terdakwa BN
yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain, bahkan pembayaran jasa seorang
Notaris BN yang membuat akta-akta tersebut sampai saat ini belum dibayar. Oleh
karena itu unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain tidak
terbukti.
Berdasarkan uraian dari 10 (sepuluh) orang saksi-saksi dalam persidangan
yaitu saksi AWL, ASG, AB, WT, SN, HN, SLM, RT dan ICHK menerangkan bahwa
terdakwa BN tidak pernah melakukan penipuan dan penggelapan kepada AWL dan
kawan-kawan, baik secara bersama-sama maupun sediri-sendiri. Bahwa jual beli
tanah yang terletak di jalan Kelakap Tujuh Dumai antara BS (RT) sebagai penjual
dan AWL sebagai pembeli adalah atas kesepakatan bersama (Kedua belah Pihak), hal
mana dapat terlihat dari harga tanah, obyek tanah, dan sistem pembayaran dilakukan
oleh penjual dan pembeli tanpa bujuk rayu terdakwa BN dan tanpa tekanan dan
paksaan dari siapapun.
Oleh karena itu seharusnya Mahkamah Agung dalam putusannya harus lebih
menitikberatkan bagi tercapainya rasa keadilan, walaupun Mahkamah Agung hanya
berwenang menilai secara formil apakah judex pacti telah melaksanakan ketentuan
hukum yang berlaku atau tidak, namun apabila dalam fakta-fakta di persidangan
Mahkamah Agung melihat bahwa secara materiil rasa keadilan telah terlanggar,
seharusnya berani mengambil tindakan hukum berupa putusan yang lebih memenuhi
rasa keadilan.

Universitas Sumatera Utara

69

Seorang Notaris yang menjalankan jabatan Notaris seharusnya tidak dapat
dihukum berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut undang-undang yaitu
melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/kehendak dari pihak-pihak yang
menghendaki perbuatan hukum yang dituangkan ke dalam akta otentik, dalam kasus
tersebut Notaris BN akhirnya ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau
membantu melakukan suatu tindak pidana, padahal timbulnya perbuatan penipuan
tersebut sebenarnya secara jelas dalam uraian saksi-saksi dipersidangan dilakukan
oleh ICHK karena tindak pidana tersebut terjadi dalam pelaksanaan perjanjian ketika
timbul wanprestasi oleh salah satu pihak, yaitu penerima kuasa jual, ICHK, yang
tidak menyetorkan hasil penjualan tanah tersebut kepada BS, sehingga BS sebagai
pemilik tanah tidak mau menyerahkan sertipikat hak atas tanahnya untuk diproses
balik namanya ke atas nama pembeli oleh Notaris BN.
Dari uraian kasus tersebut tampak bahwa tindakan penggelapan dana hasil
penjualan dilakukan pasca pelaksanaan jual beli yang dilakukan dihadapan Notaris
BN, hanya saja dalam pelaksanaannya ternyata penerima kuasa, ICHK, yang
melakukan tindakan penggelapan tidak menyetorkan hasil penjual hak atas tanah
tersebut pada pemiliknya yaitu BS, sehingga menimbulkan kerugian pada pihak AWL
yang akhirnya membuat pihak AWL menuntut ICHK dan Notaris BN atas tindak
pidana penipuan.
Apabila syarat-syarat formal pembuatan suatu akta otentik telah dilakukan
oleh seorang Notaris, maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dimintai tanggung
jawab sebagai pelaku yang turut serta melakukan tindak pidana penipuan. Namun

Universitas Sumatera Utara

70

apabila terbukti bahwa Notaris tersebut telah lalai dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pejabat umum serta telah melanggar ketentuan kode etik Notaris sehingga
menimbulkan kerugian terhadap klien-nya dan masyarakat terkait, apalagi seorang
Notaris yang secara sengaja (culpa) atau khilaf (alpa) bersama-sama para
penghadap/para pihak untuk membuat suatu akta yang sejak awal diniatkan untuk
melakukan tindak pidana maka Notaris yang bersangkutan seharusnya dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut secara pidana.

Universitas Sumatera Utara

71

BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS ATAS TUDUHAN
TINDAK PIDANA PENIPUAN DALAM MENJALANKAN
TUGAS DAN KEWENANGANNYA

A. Tugas Jabatan Notaris Dan Akta Notaris
1. Tugas Jabatan Notaris
Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada
masa Romawi Kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius atau notarius.
Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat Pidato Raja. Istilah
notaris diambil dari nama pengabdinya, Notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel
bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer.63 Notaris adalah salah satu
cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia. Sekitar abad ke 5, Notaris dianggap
sebagai pejabat istana.
Di Italia utara sebagai daerah perdagangan utama pada abad ke 11-12, dikenal
Latijnse Notariat,64 yaitu orang yang diangkat oleh penguasa umum, dengan tujuan
melayani kepentingan masyarakat umum, dan boleh mendapatkan honorarium atas
jasanya dari masyarakat umum. Latijnse notariat ini murni berasal dari Italia Utara,
bukan sebagai pengaruh hukum Romawi Kuno.
Pada zaman Italia Utara dikenal 4 istilah Notaris:
a.

Notarii: pejabat istana melakukan pekerjaan administratif;

63

Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta: Raja
Grafindo Perasada, 1993), hlm.13
64
GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm.3.

71

Universitas Sumatera Utara

72

b. Tabeliones: sekelompok orang yang melakukan pekerjaan tulis menulis, mereka
tidak diangkat oleh pemerintah/kekaisaran untuk melakukan sesuatu formalitas
yang di tentukan oleh undang-undang;
c. Tabularii: pegawai negeri, ditugaskan untuk memelihara pembukuan keuangan
kota dan diberi kewenangan untuk membuat akta; Ketiganya belum membentuk
sebuah bentuk akta otentik,
d. Notaris: pejabat yang membuat akta otentik.
Pada tahun 1888, dalam rangka peringatan 8 abad berdirinya Universitas
Bologna, diterbitkanlah buku Formularium Tabellionum oleh Irnerius. Berturut-turut
seratus tahun kemudian ditebitkan Summa Artis Notariae oleh Rantero dari Perugia,
kemudian pada abad ke 13 buku dengan judul yang sama diterbitkan oleh Rolandinus
Passegeri. Ronaldinus Passegeri kemudian juga menerbitkan Flos Tamentorum.
Buku-buku tersebut menjelaskan definisi Notaris, fungsi, kewenangan dan
kewajiban-kewajibannya.
Pada abad ke 14, profesi Notaris mengalami kemunduran dikarenakan
penjualan jabatan notaris oleh penguasa demi uang sehingga ketidaksiapan Notaris
dadakan tersebut mengakibatkan kerugian kepada masyarakat banyak. Sementara itu,
pada abad ke 13 kebutuhan atas profesi Notaris telah sampai di Perancis.65 Pada 6
oktober tahun 1791, pertama kali diundangkan undang-undang di bidang notariat,
yang hanya mengenal 1 macam Notaris. Pada tanggal 16 maret tahun 1803 diganti
dengan Ventosewet yang memperkenalkan pelembagaan notaris yang bertujuan
65

Ibid., hlm.11.

Universitas Sumatera Utara

73

memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat umum. Pada
waktu itu Perancis menjajah Belanda dan dengan dua buah dekrit Kaisar, masingmasing tanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 Ventosewet dinyatakan
berlaku di seluruh negeri Belanda, dan setelah Belanda lepas dari penjajahan
Perancis, Belanda mengadaptasi Ventosewet dari Perancis dan menamainya
Notariswet. Pada saat itu penjajahan pemerintah kolonial Belanda telah dimulai di
Indonesia. Dan sesuai dengan asas konkordasi, undang-undang itu juga berlaku di
Hindia Belanda/ Indonesia.66 Notaris pertama yang diangkat di Indonesia adalah
Melchior Kelchem, sekretaris dari College van Schenpenen di jakarta pada tanggal 27
Agustus 1620.67 Selanjutnya berturut turut diangkat beberapa notaris lainnya, yang
kebanyakan adalah keturunan Belanda atau golongan timur asing.
Pada tanggal 26 januari 1860 diundangkanlah Notaris Reglement yang
selanjutnya dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Ord. Stbl. 1860
No. 3, mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860). Reglement atau ketentuan ini bisa dibilang
adalah kopian dari Notariswet yang berlaku di Belanda.68 Peraturan jabatan notaris
terdiri dari 66 pasal. Peraturan jabatan notaris ini masih berlaku sampai dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Undang-Undang Jabatan Notaris).
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, terjadi kekosongan
pejabat notaris dikarenakan mereka memilih untuk pulang ke negeri Belanda. Untuk
66

Soegondo Notodisoerjo, Op.Cit., hlm.12
Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.1
68
Ibid., hlm.21
67

Universitas Sumatera Utara

74

mengisi kekosongan ini, pemerintah menyelenggarakan kursus-kursus bagi warga
negara Indonesia yang memiliki pengalaman di bidang hukum (biasanya wakil
notaris). Jadi, walaupun tidak berpredikat sarjana hukum saat itu, mereka mengisi
kekosongan pejabat notaris di Indonesia. Pada tahun 1999, dikeluarkan sebuah
Peraturan Pemerintah Nomor 60 yang menyatakan bahwa semua pendidikan
kespesialisasian, D2, D3 tidak dikelola oleh Universitas melainkan masuk dalam
lingkungan organisasi profesinya, sehingga terjadi tarik menarik antara lembaga
Universitas dengan organisasi profesi untuk menjadi penyelenggara dari pendidikan
notariat ini. Kemudian pada tahun 2000 keluar putusan dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan yang mengubah program studi spesialis notaris menjadi program
magister yang bersifat keilmuan, dengan gelar akhir Magister Kenotariatan.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik,
sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.
Dengan demikian Notaris berperan melaksanakan sebagian tugas negara dalam
bidang hukum keperdataan, dan kepada Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat
Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.69
Ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (P.J.N) juncto Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Jabatan Notaris, tidak hanya memberikan pengertian tentang
Notaris, tetapi juga memberikan penjelasan mengenai tugas jabatan Notaris. Tugas
jabatan Notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

69

GHS. Lumban Tobing, Op.Cit., hlm.31

Universitas Sumatera Utara

75

Jabatan Notaris dapat disimpulkan dari kalimat Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.70
2. Kewenangan Notaris
Kewenangan Notaris dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta
itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Notaris berwenang pula :
1. Mengesahkan tandan tangan dan menetapakan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7. Membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.71
Sebagai pejabat umum, Notaris mempunyai wewenang, yaitu:72
1. Notaris mempunyai wewenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya;
70
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I, (Jakarta : PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2000), hlm.159
71
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 15
72
GHS. Lumban Tobing, Op.Cit., hlm.49

Universitas Sumatera Utara

76

Wewenang Notaris di sini, berkaitan dengan ketentuan bahwa tidak setiap pejabat
umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat
membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat;
Wewenang Notaris di sini, berkaitan dengan ketentuan bahwa Notaris tidak
berwenang untuk akta yang diperuntukan bagi kepentingan setiap orang, tetapi
kepada orang tertentu yang berkepentingan dalam pembuatan akta otentik.
Contohnya di dalam Pasal 20 ayat (1) P.J.N juncto Pasal 52 ayat (1) UndangUndang Jabatan Notaris: Notaris tidak diperbolehkan membuat akta yang
diperuntukkan bagi Notaris sendiri (untuk diri sendiri), isterinya, keluarganya
sedarah atau keluarga semenda dari Notaris itu dalam garis lurus tanpa
pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai dengan derajat ke-tiga,
baik secara pribadi maupun melalui kuasa, bertindak sebagai pihak. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang tidak memihak dan
penyalahgunaan jabatan;
3. Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat;
Setiap Notaris telah ditentukan wilayah atau daerah hukumnya (wilayah kerja)
dan hanya di dalam wilayah hukum yang ditentukan, Notaris berwenang untuk
membuat akta otentik. Apabila akta otentik itu dibuat oleh Notaris di luar wilayah
kerjanya, maka akta otentik adalah tidak sah;

Universitas Sumatera Utara

77

4. Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Wewenang Notaris di sini dihubungkan dengan kapan seorang Notaris berwenang
membuat akta otentik, dan ini berhubungan dengan pengangkatan seseorang
sebagai Notaris. Dengan kata lain, Notaris hanya diperbolehkan membuat akta
otentik, apabila ia sudah mempunyai wewenang untuk menjalankan tugas
jabatannya. 73
Apabila salah satu persyaratan tersebut di atas tidak dipenuhi, maka akta yang
dibuatnya adalah tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang
dibuat di bawah tangan, jika akta itu ditanda tangani oleh para pihak yang hadir
(penghadap). Disamping itu, jika terdapat alasan yang cukup, Notaris yang
bersangkutan wajib membayar biaya, ganti kerugian dan bunga kepada yang
berkepentingan. Suatu akta adalah otentik bukan karena penetapan undang-undang,
akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.74
3. Akta Notaris
Akta secara umum dapat diartikan sebagai surat ijazah atau surat keterangan
(atau pengakuan dan lain sebagainya) yang disaksikan atau disahkan oleh salah suatu
badan pemerintah (atau Notaris).75 Surat akta juga memiliki pengertian sebagai suatu
tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa,

73
74

Ibid., hlm.140
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3, (Jakarta: Erlangga, 1983),

hlm.50.
75

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan Keenambelas, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), hlm.26.

Universitas Sumatera Utara

78

karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.76 Akta juga dapat dikatakan sebagai
surat yang dibubuhi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sengaja oleh para pihak, yang dapat
digunakan sebagai alat pembuktian.77
Dengan demikian akta dapat juga dikatakan sebagai suatu tulisan yang
ditandatangani oleh pembuat surat itu. Penandatanganan ini memberikan arti bahwa
orang yang menandatanganinya terikat atas isi surat yang ditandatanganinya tersebut.
Akta, seperti yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Pasal 1865 dan Pasal
1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dari ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi
unsur-unsur, sebagai berikut:
a. dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
b. dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum;
c. dibuat oleh pegawai umum yang berwenang untuk membuat akta tersebut; dan
d. dibuat di wilayah kewenangan pegawai umum tersebut.
Sementara itu dalam Pasal 1 P.J.N juncto Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, akta otentik atau akta Notaris adalah
akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata acara yang
ditetapkan oleh Undang-Undang ini.
76

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan xxx, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm.178.
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia: Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta:
Prenhallindo, 2001), hlm.249.
77

Universitas Sumatera Utara

79

Akan tetapi apabila suatu akta telah memenuhi keseluruhan syarat
keotentitasannya seperti yang dimaksud oleh Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Pasal 1 (P.J.N) juncto Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan
Notaris, isi dari materi akta itu, terutama akta otentik para pihak (akta partij)
bertentangan dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta tersebut
menjadi batal demi hukum. Batal demi hukumnya akta tersebut karena tidak
terpenuhinya syarat obyektif perikatan yaitu causa yang halal.
Selain akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris, akta otentik juga
dapat