Keberhasilan di Afrika Selatan Mendapatkan

Keberhasilan Afrika Selatan Mendapatkan Hak Istimewa Menjadi Tuan
Rumah Piala Dunia 2010 (1999-2004)
O.K. Fachru Hidayat dan Edy Prasetyono
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Depok, 16424, Indonesia
E-mail: fachruok@gmail.com

Abstrak
Soft power merupakan komponen dari power yang berbeda dengan hard power. Ketika hard power menggaris
bawahi pentingnya keberadaan kekuatan militer dan ekonomi, soft power lebih mengutamakan pada potensipotensi masyarakat, budaya, dan olahraga. Dalam panggung internasional saat ini, soft power telah banyak
mendapat sorotan dari berbagai negara, seperti pergelaran Mega Sporting Events (MSE). Dari sudut pandang ini,
pergelaran MSE menjadi perlu untuk dilihat dari sisi pengejawantahan soft power. Pergelaran Piala Dunia 2010
di Afrika Selatan sebagai salah satu MSE terbersar di dunia menjadi menarik untuk diteliti mengingat pertama
kalinya perhelatan ini di Afrika. Dengan mengkaji dari konsep soft power dapat dilihat dalam penelitian ini
bahwa komponen soft power Afrika Selatan yang dominan dalam menghasilkan Piala Dunia 2010 adalah lobby
politik, interaksi kepentingan dan solidaritas Afrika yang diusung oleh Afrika Selatan dengan gaung ‘Afrikanis.’

Kata kunci: Soft power, Pop culture, Sepakbola, Afrika Selatan, Mega Sporting Events, Piala Dunia Sepakbola,
FIFA

The Success of South Africa to Become The Host of FIFA World Cup 2010

Abstract
Soft power is one of power components besides hard power. While hard power mainly highlight about military
and economic power, soft power mainly argue about the importance of people, culture, and sports instead. In
current international stage, many international actors see the importance of soft power, which may be seen by
the hosting Mega Sporting Events (MSE). Through this perspective, MSE could be seen as a conduct of soft
power. World Cup 2010, as one of the biggest MSE, and become appealing to be examined since it was the first
time the event took place in Africa. By examining elements of soft power, this research leads to the main
components of soft power that successfully brought World Cup 2010 to South Africa: political lobby, mutual
interest interaction, and African solidarity which sounded by South Africa with the term ‘Africanist’.

Key words: Soft power, Pop culture, Football, South Africa, Mega Sporting Events, World Cup, FIFA

Pendahuluan
Pesatnya perkembangan dunia internasional setelah Perang Dingin membawa
dunia internasional mengenal dua konsepsi power baru yang dinilai cukup signifikan
untuk dimiliki dan dikembangkan oleh negara. Setelah pentingnya hard power dalam

bentuk kekuatan militer pada masa sebelum Perang Dingin, dan setelah Perang Dingin
kekuatan ekonomi mendominasi permasalahan dalam dunia internasional, masifnya
globalisasi saat ini pada periodenya membawa peranan penting bagi soft power yang

menjadi cukup dominan menentukan dan mendukung dua kekuatan terdahulu. Soft
power yang dimiliki suatu negara, pada dasarnya bergantung pada tiga sumber utama,
yakni: budaya (di mana setiap orang memiliki ketertarikan terhadapnya), nilai-nilai
politis/ political values (ketika orang merasakannya, baik itu di dalam maupun luar
negeri), dan terakhir kebijakan luar negeri (ketika orang melihatnya sebagai suatu
legitimasi dan mempunyai otoritas moral).1 Nye juga menjelaskan sumber-sumber soft
power adalah kebijakan luar negeri, politik dan nilai-nilai domestik, high culture, dan
pop culture.2 Keempat sumber ini dapat dieksploitasi secara parsial, kombinasi,
maupun secara utuh guna memaksimalkan segala potensi yang dimiliki oleh negara.
Dalam keempat sumber soft power, penelitian ini akan mencoba memahami lebih
dalammenelisik lebih dalam pada aspek kebijakan luar negeri dengan eksploitasi sumber
pop culture yang dimiliki oleh negara. Pop culture sendiri, menurut Nye, merupakan
hiburan publik yang memiliki sumber paling luas dari empat sumber utama soft
power.,3 Pop culture dapat dimana setiap negara bisa dieksploitasi oleh mengeksploitasi nilainilai universal menjadi sebuah sajian yang dapat diterima seluruh dunia.
Salah satu bentuk pop culture adalah olahraga. Signifikansi proporsi olahraga
dalam kehidupan modern ditunjukkan oleh posisi olahraga sebagai bagian daridapat dilihat
sebagai suatu analisis budaya dapat dengan mudah diterima. Olahraga memenuhi aspek
untuk disebut sebagai pop culture karena, mengandung makna dan nilai budaya melalui
partisipasi, kompetisi dan menonton dapat yang membentuk jati diri masing-masing
individu kita maupun kolektif.4

Dalam hubungan antara olahraga, nasionalisme, dan budaya dapat dilihat dari
enam tema besar, yaitu, pertama, olahraga bukan hanya membantu mempererat
identitas lokal, tetapi juga identitas nasional. Kedua, kegiatan olahraga menyediakan
alat kontrol emosi yang aman bagi orang maupun bangsa yang frustasi (olahraga
1 Joseph S. Nye, Jr, ““Soft Power”,” dalam Foreign Policy, No. Autumn80, no., 80 (1990):, hal. 153.
2 IbidIbid,., Joseph S. Nye, Jr.Ibid.
3 Joseph S. Nye, Jr, Public Diplomacy and Soft Power.Ibid,. Joseph S. Nye, Public Diplomasy and Soft
Power.Joseph S. Nye, Jr, Public Diplomacy and Soft Power, diakses dari
http://ann.sagepub.com/content/616/1/94.full.pdf pada tanggal 23 April 2013 pukul 19.20 WIB.
4Annette Muller, “Women in sport and society,” dalam ed.The International of Sport in the Twentieth
Century ed. James Riordan dan Arnd Kruger (London dan New York: Taylor & Francis e-Library, 2004),
hal. 146.

adalah subsitusi bagi kegiatan politik). Ketiga, olahraga adalah arena bagi negara yang
ingin menunjukkan jati dirinya dan memainkan peran dalam hubungan internasional.
Keempat, perkembangan olahraga dibentuk oleh aspek-aspek dalam masyarakat dan
negara, dan sebaliknya, seperti bias kultural dan kelas yang ada di masyarakat.
Kelima, olahraga seringkali memperkuat romantisme kelompok pekerja dan
memungkinkan terjadinya mobilisasi sosial. Keenam, sebagai bentuk dari budaya
politik, olahraga membantu memperkuat persatuan nasional.5 Peranan olahraga

menjadi sangat luas bagi negara dan dunia internasional. Olahraga dapat digunakan
sebagai alat propaganda, alat politik serta alat penguasaan ekonomi (melalui
industrialisasi olahraga).
Selanjutnya, salah satu bentuk dari penggunaan kebijakan luar negeri dengan
pendekatan soft power adalah melalui diplomasi publik. Diplomasi publik dapat
diartikan sebagai usaha resmi dari pemerintahan suatu negara untuk membentuk
lingkungan komunikasi di luar negeri, di mana kebijakan luar negerinya dijalankan,
dengan tujuan mengurangi kesalahpahaman dan mispersepsi yang dapat menyulitkan
hubungan negaranya dengan negara-negara lain.6 Dalam berbagai bentuk diplomasi
publik, pergelaran budaya dan olahraga secara besar-besaran merupakan salah satu
pilihan diplomasi publik yang dapat digunakan negara, meskipun dirasakan beberapa
pihak sebagai kebijakan yang tidak pro-development. Salah satu pergelaran budaya
olahraga masif yang dikenal cukup luas dalam dunia internasional adalah MegaSporting Events (MSE).
Awalnya

hanya

negara

maju


yang

tampak

tertarik

dan

mampu

menyelenggarakan MSE, namun dewasa ini banyak negara berkembang yang juga
turut berperan dalam proses bidding dan penyelenggaraan MSE.7 Hal-hal yang
menyebabkan negara berkembang ikut andil dalam MSE dijelaskan Black dan Van der
Westhuizen, yaitu potensi keuntungan dan pendanaan dari MSE telah menjadi strategi
yang populer bagi pemerintah, perusahaan dan dunia iklan di seluruh dunia., yang
Pemerintah beranggapan bahwa keuntungan pembangunan, politik, dan sosial-budaya

5 Grant Jarvie dan Irene Reid, “Sport in South Africa,” dalam The International of Sport in the
Twentieth Century ed. James Riordan dan Arnd Kruger ed. (London dan New York: Taylor & Francis eLibrary, 2004), hal. 243.

6 Hans N Tuch,, “Communicating wWith the Worldd,” (New York: St. Martin Ppress 1990), hal. 7.
7 Scarlett Cornelissen, “Sport Mega-Events in Africa: processes, impacts and prospects,” dalam Tourism
and Hospitality Planning & Development 1, no.1, (2004), hal. 2.

yang besar akan didapatkan, di sisi lainan dengan mudahnya mengabaikan biaya dan
resiko yang akan dirasakan.8
Potensi pembangunan dari penyelenggaraan MSE menarik banyak perhatian,
mulai dari pembangunan olahraga lokal, proses pembangunan sosial dan ekonomi yang
dibawa MSE, potensi akumulasi modal, pembangunan infrastruktur, peningkatan
kualitas pariwisata, pembangunan sumber daya manusia (penciptaan lapangan
pekerjaan dan regenerasi masyarakat perkotaan), hingga keuntungan yang instan dari
pariwisata, cinderamatamerchandise, dan penjualan tiket. Selain keuntungan ekonomi
yang

didapatkan,

Roche

berpendapat


bahwa

potensi

dari

MSE

untuk

merepresentasikan dan membangun citra dari negara untuk mendapatkan pengakuan
dalam hubungannya dengan negara lain dan di dunia internasional. Negara juga
mempresentasikan tradisi dan komunitas nasional termasuk keadaan masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang (kemajuan nasional, potensi, dan tujuan)., Hhal-hal ini
bukan hanya untuk pencitraan terhadap negara lain, tetapi juga masyarakat
internasional.9
Selain penggunaan MSE sebagai diplomasi publik, olahraga acapkali digunakan
negara untuk melakukan diplomasi. Kunjungan tim tenis meja Amerika Serikat (AS) ke
Beijing pada tahun 1971 adalah sebuah pencapaian high proile, low politic yang memicu
keterbukaan publik AS terhadap China. “Ping-pong diplomacy” ini menjadi sangat penting

bagi rangkaian kunjungan Presiden Nixon ke Beijing dan mempererat hubungan Sino-US.10
Hubungan lain yang juga meredakan ketegangan antar negara adalah hubungan China-Korea
pada awal medio 1990an, partisipasi dari kedua negara pada perhelatan yang diadakan di
kedua negara menunjukkan keinginan baik untuk bekerjasama dan meningkatkan kerjasama
ekonomi. Keputusan China untuk ikut pada Asian Games 1986 dan Olimpiade 1988 sangat
diapresiasi oleh pemerintah Korea Selatan dan menjadikan perhelatan sebagai the most wellattended. Korea Selatan pun membalasnya dengan membantu sepenuhnya penyelenggaraan
Asian Games 1990 di Beijing. Korea Selatan mengirimkan delegasi tingkat tinggi yang
merupakan kolega terdekat Presiden Chun dan menyediakan 15juta dollar untuk periklanan
8 Black dan Van Der Westhuizen, “The Allure of Global Games for Semi-Peripheral Polities: A Research
Agenda,” dalam (Third World Quarterly 25, no.7: (2004),), hal. 1205.
9 Maurice Roche, “Mega-Events & Modernity – Olympics and Expos in the Growth of Global Culturee,”
(London: Routledge, Taylor and Francis Group, 2000), d.ikutip dalam Black dan Van Der Westhuizen, “The
Allure of Global Games for Semi-Peripheral Polities: A Research Agenda,” dalam Third World Quarterly 25,
no.7 (2004), 1205.

10 Victor D. Cha, “Japan-Korea Relations: The World Cup and Sports Diplomacy,” diakses pada tanggal 5 Juli,
http://csis.org/files/media/csis/pubs/0202qjapan_korea.pdf.

dan memberikan berbagai donasi untuk membantu Beijing menyukseskan Asian games
1990.11

Perkembangan di atas menunjukkan bahwa olahraga telah menjadi bagian penting
dari hubungan internasional. Levermore menjelaskan hubungan antara olahraga dan
hubungan internasional, dimana olahraga dapat banyak menjelaskan tentang
hubungan internasional. Hubungan antara olahraga dan hubungan internasional dapat
dilihat dari modernisasi yang membawa industrialisasi menjadikan olahraga salah satu bagian
penting dari ekonomi politik internasional. Tim olahraga menjadi korporasi internasional
dengan hak tersendiri, industri hiburan dan judi yang berkembang di seluruh dunia, dan
pencarian bakat dan persebaran media di negara-negara berkembang. Jasa ini membawa
olahraga menjadi salah satu sektor yang dominan dalam kapitalisme internasional. 12 Selain
keterkaitannya dengan ekonomi politik internasional, olahraga juga berkaitan dengan
pembentukan identitas, penggunaan sebagai alat diplomasi yang efektif sejak tahun 1930-an,
dan menjelaskan sistem internasional yang berlaku, maupun keadaan sosial yang terjadi di
suatu negara.13
Banyak negara yang mengalami berbagai masalah internal kemudian berpengaruh
pada hubungan luar negerinya, khususnya olahraga. Afrika Selatan yang dikeluarkan dari
badan olahraga internasional, komunitas internasional dan olahragra internasional
karena kasus apartheid menjadikan pemerintahnya merespon dengan kebijakankebijakannyaberbagai kebijakan..14 Dalam konteks ini, Afrika Selatan merupakan negara
Afrika yang sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan MSE. Afrika Selatan kemudian
menjadi negara pertama di Benua Afrika yang menyelenggarakan MSE (Piala Dunia
2010) sebagai bagian dari upayanya untuk mencoba untuk memperbaiki citranyanya dalam

dunia internasional. Afrika Selatan yang menjadi penyelenggara Piala Dunia 2010 (PD
2010) dengan status masih negara berkembang menjadi menarik karenamengharuskan
Afrika Selatan banyak melakukan pembangunan yang sangat signifikan guna
memenuhi syarat-syarat yang diajukan FIFA. Afrika Selatan mempunyai perhatian
yang lebih kepada MSE, hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan Piala Dunia Rugby
11 Ibid.
12 Christoper Hill, “Prologue,” dalam ed. Levermore, & Budd, (eds.), Sport and International Relations – An
Emerging Relationship (New York: Routeledge, 2004), hal. xX.
13 Peter J. Beck, “For World Footballing Honours: England versus Italy, 1933, 1934 and 1939,” dalam ed. J.A.
Mangan (ed.), Europe, Sport, World: Shaping Global Society – European Sports History Review 3 (London:
Frank Cass, 2001), 279.
14 Roger Levermore, dan Adrian & Budd, (eds.), , Sport and International Relations – An Emerging
Relationship, (New York: Routeledge, 2004), x..

1995, mengikuti bidding Piala Dunia Sepakb Bola 2006, Piala Dunia Kriket 2003, Piala
Dunia Golf Wanita pada tahun 2004, dan berbagai perhelatan yang bertujuan untuk
membangun citra politik Afrika pada umumnya dan Afrika Selatan khususnya.15
Tinjauan Teoritik
Perkembangan dunia internasional yang membawa pergeseran kekuataan membawa
economic power dan soft power menjadi suatu hal yang sangat penting. Konsep soft power

adalah konsep yang diperkenalkan oleh Joseph S. Nye pada tahun 1990. Joseph Nye
mendefinisikan soft power sebagai kemampuan untuk mendapatkan yang yang diinginkan
dengan cara memunculkan ketertarikan (attraction) dibandingkan dengan menggunakan
melakukan paksaan (coercion) atau bayaran (payments). 16 Contohnya adalah suatu negara
dapat menggunakan olahraga sebagai sarana untuk mempromosikan warisan budaya,
sejarah, menjalin komunikasi dalam sebuah perbedaan, sehingga memunculkan daya
tarik tersendiri, karena olahraga merupakan bahasa yang mudah dipahami.17
Soft power yang dimiliki oleh suatu negara, pada dasarnya bergantung pada tiga
sumber utama, yakni: budaya (di mana setiap orang memiliki ketertarikan
terhadapnya), nilai-nilai politis/ political values (ketika orang merasakannya, baik itu di
dalam maupun luar negeri), dan terakhir kebijakan luar negeri (ketika orang
melihatnya sebagai suatu legitimasi dan mempunyai otoritas moral). 18 Budaya adalah
kumpulan nilai-nilai dan kebiasaan (praktek) yang mempunyai arti bagi sebuah
masyarakat. Budaya memiliki banyak manifestasi, dan dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu high culture, seperti sastra, seni, dan pendidikan yang biasa ditujukan
bagi kalangan elit; dan popular culture yang diperuntukkan bagi masyarakat secara
umum (massal). Apabila budaya suatu negara memiliki nilai universal serta
mempromosikan values dan interest yang dibagi bersama, maka budaya tersebut dapat
meningkatkan desired outcomes-nya karena daya tarik yang tercipta.19
Joseph S. Nye juga menjelaskan dalam tulisannya “Public Diplomacy and Soft
Power” akan betapa pentingnya diplomasi publik dalam hubungan internasional
15 Scarlett Cornelissen dan Kamilla Swart, “The 2010 Football World Cup as a political construct: the
challenge of making good on an African promise ,” (Blacwell Publishing Ltd: 2006), 112.
16 Joseph S. Nye, Jr, “Soft Power,” er,” dalam Foreign Policy, No. 80, 1990, hal.1 153.
17 Joseph S. Nye, Jr, “Sports as Cultural Diplomacy”, Diakses daridiakses pada 5 Mei 2013,
http://www.hks.harvard.edu/news-events/publications/insight/international/joseph-nye .,
18IbidIbid,.. Nye Joseph S. Nye, Jr; “Soft Power,.” 155.”..
19 IbidIbid.,.. Nye.

sekarang ini.20 Nye melengkapi konsep diplomasi publik dengan menyebutkan ada tiga
dimensi

dalam diplomasi publik. Dimensi pertama adalah membangun komunikasi

secara rutin, yang menjelaskan dari kebijakan domestik maupun luar negeri suatu
negara. Dimensi kedua adalah membangun sebuah komunikasi

strategis, dimana

suatu tema khusus terus menerus dipromosikan negara kepada publik.
terahkir

adalah membangun hubungan jangka panjang

Dimensi

dengan individu-individu

penting lewat program-program seperti beasiswa, pertukaran pelajar, budaya, atau
tenaga ahli, pelatihan, seminar, dan sebagainya.21
Kemampuan soft power untuk mempengaruhi untuk melakukan apa yang diinginkan
melalui hal-hal yang atraktif dari pada menggunakan pemaksaan atau pembayaran. Soft
power suatu negara bersandar pada sumber kebudayaan, nilai-nilai, dan kebijakankebijakannya. Diplomasi publik telah mempunyai catatan panjang dalam melakukan
promosi terhadap soft power suatu negara dan memegang peranan penting dalam
kemenangan AS pada Perang Dingin. Menurut Nye diplomasi publik dibangun dari soft
power yang bersumber dari kebudayaan (tempat dimana itu menarik orang lain), nilainilai politik (ketika kehidupan mereka di negara sendiri dan luar negeri), dan
kebijakan luar negeri (ketika mereka terlihat sebagai leigitimasi dan mempunyai
otoritas moral). Soft power bukan serta-merta berupa pengaruh, namun ia salah satu
sumber dari pengaruh, karena pengaruh bisa jadi berupa hard power yang berbentuk
ancaman dan bayaran.
Tabel 1Tab. Soft Power Sources, Referees, and Receivers

Sources of Soft Power

Referees

for

Foreign policies

Legitimacy
Governments,

Credibility

of

Soft

Power
media, Foreign governments

nongovernmental
(NGOs),

or Receivers

organizations and publics
intergovernmental

organizations (IGOs)
Domestic values and Media, NGOs, IGOs

Foreign governments

policies
High culture

and publics
Foreign governments

Governments, NGOs, IGOs

20 Joseph S. Nye, Jr, Public Diplomacy and Soft Power, diakses pada 5 Mei 2013,dari
http://ann.sagepub.com/content/616/1/94.full.pdf.,
21 IbidIbid., ,., Joseph S. Nye, Jr. (2008), hal. 94-98..

Pop culture

and publics
Foreign publics

Media, markets

Sumber: Joseph S. Nye, Jr, Public Diplomacy and Soft Power, diakses dari
http://ann.sagepub.com/content/616/1/94.full.pdf.

Dalam penelitian ini, dari empat sumber utama soft power, peneliti akan
menggunakan satu sumber utama sebagai pisau analisa, yaitu kebijakan luar negeri.
pPenjabaran keempat sumber utama sebagai investasi dari negara dijabarkan dalam
pembahasan. Analisa akan bertumpu pada aktor-aktor yang berperan menghasilkan
suatu kebijakan luar negeri yang bersumber dari keempat sumber utama. Berdasarkan tiga
dimensi diplomasi publik yang dijelaskan oleh Nye, penelitian ini akan lebih fokus pada
dimensi kedua diplomasi publik, yaitu membangun sebuah komunikasi strategis, dimana
suatu tema khusus terus menerus dipromosikan negara kepada publik. Keberadaan MSE
dapat dilihat sebagai sebuah kegiatan diplomasi publik dimensi kedua.
Dalam pencapaian kepentingan nasional, setiap negara memiliki pendekatannya
masing-masing. Ada pendekatan hard power dan juga pendekatan melalui soft power
dan mengedepankan pendekatan kultural.22 Salah bentuk dari penggunaan instrumen
dengan pendekatan soft power adalah melalui diplomasi publik. Diplomasi publik dapat
diartikan sebagai usaha resmi dari pemerintahan suatu negara untuk membentuk
lingkungan komunikasi di luar negeri, di mana kebijakan luar negeri nya dijalankan,
dengan tujuan mengurangi kesalahpahaman dan mispersepsi yang dapat menyulitkan
hubungan negaranya dengan negara-negara lain.

23

Melalui peningkatan aktivitas

diplomasi publik, pemerintah suatu negara berharap bahwa upaya diplomasi akan
berjalan lebih efektif dan memberikan dampak yang lebih luas dan besar pada
masyarakat internasional. Di samping itu, pemerintah pun berharap keterlibatan
publik dapat membuka jalan bagi negosiasi yang dilakukan wakil -– wakil pemerintah,
sekaligus dapat memberikan masukan dengan cara pandang yang berbeda dalam
memandang suatu masalah.24
Istilah diplomasi publik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1965 oleh
Edmund Gullion dalam Fletcher School of Law and Diplomacy di Tuffs University.
Melalui diplomasi publik ini, opini publik dapat berperan dalam rangkauntuk
mendukung kebijakan negara. Tidak hanya itu, publikdalam hal ini juga dapat
22 Christopher Hill, ”. The Cchanging Ppoltics of Fforeign Aaffairs (New York: Palgrave Macmillan,
2003), hal. 135.
23 Hans N Tuch, “Communicating With the world, 7..d (New York: St. Martin press 1990), hal. 7.
24Loc.cit, Benny Susetyo PR.

membantu mempengaruhimemengaruhi opini masyarakat negara-negara lainnya
mengenai negaranya.25 Salah satu alasan dari adanya keterlibatan publik ini
didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah dianggap tidak selalu dapat menjawab
berbagai tantangan dalam isu-isu diplomasi yang kini semakin kompleks terlebih sifat
khas yang melekat dari pemerintah adalah sangat kaku (rigid). Dalam artikel Foreign
Policy tahun 2002,26 Mark Leonard menjabarkan empat tujuan diplomasi publik di
abad ke 21, yaitu:
1. Meningkatakan rasa keakraban, mengubah image atau pandangan
mereka mengenai suatu negara.
2. Meningkatkan rasa apresiasi, menciptakan pandangan atau persepsi
baik/positif dengan membuat masyarakat melihat suatu isu dari sudut
pandang negara tersebut.
3. Meningkatkan hubungan dengan suatu negara, dalam hal ini mengenai
pendidikan, pariwisata, atau budaya-budaya dari negara tersebut yang
dapat diadopsi dan bisa dipahami.
4. MempengaruhiMemengaruhi sikap masyarakat, meningkatkan dukungan
masyarakat terhadap posisi suatu negara.
Berbeda dengan diplomasi konvensional yang identik dengan pola government to
government,

diplomasi publik lebih mengarah kepada government to people. atau

bahkan people to people. Diplomasi publik bukan semata-mata hanya aktor publik yang
menjalankan proses diplomasi, aktor publik ini tetap merupakan bagian atau
setidaknya tetap di fasilitasi oleh negara. Tiga pilar penting dalam diplomasi publik
adalah informasi, pendidikan, budaya.
Dalam konsep diplomasi publik ini, aktor yang digunakan dalam analisa adalah negara
dan INGO. Negara masih sebagai aktor utama dimana sesuai dengan definisi dari Hans
N Tuch ada usaha resmi dari negara, dengan target seluas-luasnmya. Untuk
kepentingan penelitian, target dengan masyarakat seluar-luasnya, pemerintah negara lain,
dan INGO menjadi alat analisa mendukung konsep soft power yang lebih umum. Lebih
spesifik dalam olahraga dan sepakbola dalam analisa, berikut penjabaran diplomasi

25 Daniell S. Papp, “Contemporary International Relations, Frameworks for Understanding ,
(United States of America: Allyn and Bacon, 1997), hallm. 442-443.
26 Kirsten Bound, “et al. Cultural Diplomacy (London: Demos, 2007), hallm. 23.

olahraga menurut Stuart Murray yang merupakan berada dalam payung besar
diplomasi publik.
Menurut Stuart Murray, diplomasi olahraga berada di bawah payung luas
diplomasi publik dimana aktivitas diplomasi dan representasi dari negara ikut
berperan oleh orang-orang olahraga. Kegiatan ini melibatkan dan merupakan
representasi dari kegiatan diplomasi suatu negara
yang merupakan perwakilan dari suatu negara.

yang dilakukan oleh atlit-atlitnya
Kegiatan ini pun masih difasilitasi

oleh negara dengan menggunakan atau mengirimkan atlit-atlitnya ke negara
tujuannya. Kegiatan ini dilakukan pada umumnya dengan melakukan acara olahraga
bersama untuk menjalin komunikasi yang baik, saling bertukar informasi, dan tidak
hanya itu tapi sebagai sarana untuk menciptakan pencitraan yang baik bagi suatu
negara dan membentuk persepsi atau opini publik untuk kepentingan nasional suatu
negara. Saat diplomasi tradisional dilakukan sebagai sarana untuk mencapai kebijakan
luar negeri suatu negara, diplomasi olahraga hadir bahkan untuk melengkapi aktivitas
diplomasi tradisional dan mencapai kebijakan luar negeri suatu negara. 27
Stuart Murray dalam tulisannya melihat ada beberapa alasan mengapa
olahraga dapat menjadi bagian dari diplomasi dan memiliki pengaruh dalam hubungan
antar negara.28 Pertama, terjadi perubahan dalam dunia diplomasi untuk dapat
beradaptasi dan bereksperimen. Salah satunya adalah dengan menggunakan olahraga.
Penggunaan olahraga dalam diplomasi secara tidak langsung menjadi sarana kebijakan
luar negeri suatu negara, dan dapat menjadi sarana yang efektif dalam
mempengaruhimemengaruhi opini publik, karena olahraga merupakan kegiatan yang
digemari oleh seluruh masyarakat.
Kedua, Olahraga dapat meningkatkan dialog atau komunikasi antar individu dan
sarana integrasi dalam komunitas yang multikultural. Olahraga dapat membangun
pengalaman antar etnis dan mengembangkan kepercayaan kepada orang lain. Apakah
dapat beKkerja sama di sisi yang sama atau dalamdan persaingan sengit terhadap satu
sama lain dalam, olahraga dapat mengajarkan untuk saling menghormati tanpa
berpikir mengenai ras, warna kulit, agama, atau karakteristik yang berbeda satu sama
lain.

Ketiga, seluruh masyrakat dunia telah lelah melihat bagaimana tindak-tindak

27 Stuart Murray, ”Sports-Diplomacy: a hybrid of two halves,” diakses pada 6 Mei 2013, dari
http://www.culturaldiplomacy.org/culturaldiplomacynews/content/articles/participantpapers/2011symposium/Sports-Diplomacy-a-hybrid-of-two-halves--Dr-StuartMurray.pdfhttp://www.culturaldiplomacy.org/culturaldiplomacynews/content/articles/participantpapers/2011symposium/Sports-Diplomacy-a-hybrid-of-two-halves--Dr-Stuart-Murray.pdf.
28 Ibid.Loc.cit,.

kekerasan yang telah terjadi. Masyarakat dunia lebih menyukai pendekatanpendekatan yang lebih halus atau soft power, seperti olahraga. Di masa modern seperti
ini, olahraga, budaya dan diplomasi dapat menjadi kekuatan tersendiri sebagai alat
kebijakan luar negeri suatu negara.

“Sports can be a powerful medium to reach out and build relationships…across cultural
and ethnic divides, with a positive message of shared values: values such as mutual
respect, tolerance, compassion, discipline, equality of opportunity and the rule of law. In
many ways, sports can be a more effective foreign policy resource than the carrot or the
stick.”29
Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana Afrika Selatan cenderung menggunakan
diplomasi publik dan olahraga dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini dibuktikan dengan
penyelenggaraan Piala Dunia (MSE) yang merupakan salah satu alat yang sangat efektif
untuk melakukan diplomasi publik.
Metode Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan Afrika Selatan berhasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010., Meskipun
keinginan Afrika Selatan untuk menyelenggarakan Piala Dunia telah diperlihatkannya
sejak 1999, namun Afrika Selatan baru berhasil dalam bidding kedua yang diikutinya
pada tahun 2004.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan bersifat eksplanatif yang
berupaya memberikan penjelasan terhadap sebuah kasus.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan bersifat eksplanatif yang
berupaya memberikan penjelasan terhadap sebuah kasus. Terdapat sejumlah definisi diajukan
mengenai penelitian kualitatif. Menurut Hennink, Inge Hutter, dan Ajay Bailey, “In broad
terms, qualitative research is an approach that allows you to examine people’s experiences in
detail, by using a specific set of research methods such as in-depth interviews, focus group
discussions, observation, content analysis, visual methods, and life histories or

29Loc,. Cit Ibid..

biographies.”30 Sedangkan menurut Creswell, “qualitative research begins with assumptions,
a worldview, the possible use of theoretical lens, and the study of research problems
inquiring into the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem.” 31
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan dari buku, jurnal ilmiah,
artikel baik di media cetak maupun elektronik, dan laporan (report) dari lembaga
resmi pemerintah maupun non-pemerintah. Data-data kualitatif yang dikumpulkan
kemudian dianalisa untuk kemudian ditarik kesimpulan secara deduktifinduktif.

Gambar 1. Model Analisis

-Soft
power
-Diploma
si Publik

Pemerinta
h
-FIFA

Piala
Dunia
2010

Sumber: Gambar olahan penulis

Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: Pencapaian Afrika
Selatan dalam mendapatkan hak istimewa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 adalah
komponen-komponen dari soft power dan gencarnya diplomasi publik yang dilakukan Afrika
Selatan. Komponen-komponen tersebut meliputi lobby politik, interaksi kepentingan dan visi
Afrikanis yang digaungkan Afrika Selatan.
Gambar 2. Komponen Soft Power Afrika Selatan

30 Monique Hennink, Inge Hutter, dan Ajay Bailey, “Qualitative Research Methods,” (London: SAGE
Publications, 2011), hal. 9.
31 John Creswell, “Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Fice Approaches,” edisi ke-2
(Thousand Oaks: SAGE Publications Inc., 2007), hal. 37.

Interaksi
Kepentinga
n
Lobby
Politik

Solidaritas
Afrika

Piala
Dunia
2010
Sumber: Gambar olahan penulis

Pasca-demokratisasi yang dialami oleh Afrika Selatan, keterbukaan dan pembenahan
dilakukan. Banyaknya dukungan yang didapatkan dari berbagai pihak membawa keuntungan
pembentukan citra yang baru dengan maksimal. Akses Afrika Selatan terhadap rehabilitasi
hubungan politik, ekonomi, sosial, dan budaya pun berada pada titik maksimal. Hal ini
menjadikan lobby politik Afrika Selatan pun semakin maksimal, khususnya untuk dapat
menyelenggarakan MSE pertama di Benua Hitam. Kemampuan ini tidak didapatkan dengan
cuma-cuma, Afrika Selatan terus membangun ekonomi, keadaan politik, dan citra Afrika
Selatan baru setelah apartheid. Selain itu, ketokohan yang mendunia dimiliki oleh pemimpin
setelah masa apartheid, Nelson ‘Madiba’ Mandela mendatangkan banyak keuntungan bagi
Afrika Selatan. Kepercayaan akan pembangunan ekonomi dapat dicapai dengan stabilitas,
dan stabilitas dapat dicapai dengan demokrasi menjadi bangunan dasar Afrika Selatan baru
dibawah kepemimpinan ANC. Nelson Mandela telah memberikan banyak peranannya dari
keempat sumber utama soft power, mulai dari kebijakan luar negeri, nilai-nilai domestik
(politik), high culture, pop culture. Nelson Mandela merupakan salah satu tokoh Afrika
Selatan yang menjadi tokoh Afrika yang akhirnya mendunia. Mandela menjadi Presiden
pertama yang meletakkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.
Dengan modal yang cukup guna meningkatkan posisi tawar, Afrika Selatan leluasa
melakukan lobby politik untuk dapat menghadirkan Piala Dunia Sepak bola di Benua Afrika.
Lobby politik dilakukan oleh Afrika Selatan, maupun setiap tokoh-tokoh yang bersinar di
dunia internasional seperti Nelson Mandela, Thabo Mbeki, Danny Jordan, dan Irvin Khosa.
Tidak hanya itu, tokoh sepakbola internasional seperti George Weah, Samuel Eto’o, Michel
Platini dari UEFA, Sepp Blatter dan Joao Havelange dari FIFA, maupun negara sahabat
seperti Kanselir Jerman, Gerhard Schroder dan Presiden Brasil. Tokoh-tokoh internasional
yang dominan dalam dunia internasional ikut berperan dalam memberikan dukungan kepada
Afrika Selatan untuk menghasilkan Piala Dunia 2010. Dukungan dan galangan internasional

ini memberikan dampak bagi kepercayaan yang terus meningkat pada kemampuan Afrika
Selatan dalam menyelenggarakan perhelatan yang acap kali diselenggarakan oleh negara
maju.
Komponen soft power lain yang dominan dalam menghasilkan Piala Dunia 2010
adalah interaksi kepentingan. Afrika Selatan berhasil mengakomodasi berbagai kepentingan
guna memaksimalkan peranan berbagai pihak untuk menghadirkan Piala Dunia pertama di
Benua Afrika. Interaksi kepentingan seperti bantuan kepada Mali untuk menyelenggarakan
Piala Afrika 2002. Afrika Selatan menyediakan bantuan kepada negara Afrika Barat ini
dengan berbagai sektor, yaitu, sumberdaya manusia, bantuan keuangan, kemampuan teknis
penyelenggaran, fasilitas komunikasi, hingga transportasi (melalui South African Airways).
Selanjutnya, pada Piala Afrika 2008, Afrika Selatan juga membantu Ghana dalam perhelatan
ini. Afrika Selatan kerap menggerakkan Bangsa Afrika dengan visi Afrikanis yang
diusungnya.
Interaksi kepentingan lain adalah Afrika Selatan mengakomodasi representasi dari
negara tetangga Mozambique, Swaziland dan Lesotho yang bertindak sebagai anggota komite
dalam struktur resmi LOC Piala Dunia 2010 dalam sektor keramahan. Dalam struktur ini juga
termasuk representasi dari pemerintah provinsi yang berbatasan langsung dengan ketiga
negara tersebut. Negara lain seperti Botswana, Namibia, dan Angola (yang menggunakan
Bahasa Portugis) juga tetap mendapatkan informasi penting dalam proses perencanaan karena
mereka juga akan mendapatkan keuntungan ekonomi dari perhelatan ini. Pada bulan April
2009 Mozambique mendapatkan kontrak US$75 juta untuk merenovasi Mozambique
International Airport yang akan digunakan pada Piala Dunia 2010. Dengan solidaritas yang
baik, negara-negara juga bersatu dalam Southern African Power Pool (Mozambique,
Republik Demokratik Kongo, dan Zambia) yang dikerahkan untuk menyediakan pasokan
listrik darurat dan transmisi tambahan untuk memastikan Afrika Setalan tidak mengalami
kekurangan suplai energi pada penyelenggaraan Piala Dunia.32
Komponen terakhir adalah visi Afrikanis yang diusung Afika Selatan sebagai landasan
kebijakan luar negerinya berhasil membangkitkan solidaritas Afrika yang juga berperan
sebagai sumber soft power dari high culture. Pernyataan Thabo Mbeki dalam Kick Off
Workshop Piala Dunia 2010 di Cape Town 24 Oktober 2006, “Setiap hari, sebagai Orang
Afrika, kita berbicara akan kebutuhan untuk menghargai jati diri dari setiap manusia dan
menyebarkan nilai-nilai universal dari Ubuntu (kebaikan hati dan solidaritas kemanusiaan).”33
32 Sifiso Mxolisi Ndlovu, “Sport as cultural diplomacy: the 2010 FIFA World Cup in South Africa’s foreign
policy.”
33 M. Gevisser, Thabo Mbeki: The Dream Deferred.

Selanjutnya Mbeki menjelaskan, “saya harus berasumsi bahwa kita berbicara sesuai dengan
siapa kita, dengan pentingnya penyebaran dan pemahaman mengenai ubuntu, karena
pengalaman penyiksaan kemanusiaan nyata kita rasakan, sangat bertentangan dengan kita,
dan sangat berbekas dalam ingatan kita masing-masing.” 34 Selanjutnya, Afrika Selatan
mengajak FIFA, Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF), komunitas olahraga internasional, dan
sahabat Afrika untuk menyediakan bantuan apapun untuk Afrika Selatan dan persiapan untuk
Piala Dunia 2010. AU juga megajak negara anggotanya untuk membentuk program nasional
dan identifikasi duta olahraga AU untuk membantu implementasi International Year of
African Football, Sport for All, dan program 2010 FIFA World Cup Legacy. Pada Januari
2007, pertemuan kepala negara dan pemerintahan AU meluncurkan 2007 sebagai
International Year of African Football untuk memperkuat solidaritas dengan Afrika Selatan
dalam penyelenggaraan Piala Dunia 2010.
Selain pembangunan dan investasi soft power, Afrika Selatan juga didukung oleh
berbagai jaringan dan kedekatan yang dimiliki dan dipelihara dengan baik. Hal ini
mendukung hipotesa kedua penelitian ini yaitu dukungan faktor eksternal, FIFA yang
berperan aktif memastikan dan cukup menentukan keberhasilan Afrika Selatan mendapatkan
hak istimewa ini. Kedekatan historis yang dimiliki Afrika Selatan dengan FIFA sejak awal
bergabungnya negara-negara baru merdeka di FIFA membawa konstelasi politik baru di
FIFA. Adanya keinginan untuk perubahan dari negara baru yang menjadi mayoritas.
Kesempatan ini memberikan ruang untuk munculnya blok baru yang dominan dan sampai
sekarang memimpin FIFA. Pernyataan Presiden FIFA yang dikutip di awal secara eksplisit
menerangkan bahwa perubahan kebijakan penetuan Piala Dunia menjadi rotasi dan bidding
merupakan kepentingan Afrika, dan kebijakan ini bertujuan untuk kepentingan Afrika Selatan
(yang pada proses bidding Piala Dunia 2006 kalah oleh Jerman).
Para pemimpin FIFA sejak reformasi yang diusung oleh negara-negara baru (Asia dan
Afrika) kerap melakukan lobby politik untuk kepentingan Afrika Selatan, khususnya Sepp
Blatter. Interaksi kepentingan juga terjadi pada pemungutan suara yang dilakukan untuk
pemilihan presiden FIFA antara Afrika Selatan dan FIFA (Sepp Blatter), kesuksesan Joao
Havelange dan penerusnya Sepp Blatter sangat berkaitan dengan keberhasilan Afrika Selatan
berhasil mendapatkan hak istimewa penyelenggaraan Piala Dunia 2010.
Pembahasan

34 Thabo Mbeki, “2010 FIFA World Cup South Africa Kick-Off Workshop,” diakses pada 25 September 2013,
www.SA2010.gov.za/en/node/433

Menilik sepak terjang Afrika Selatan dan kaitannya dengan olahraga internasional
cukup menarik, mulai dari tahun 1964 Afrika Selatan dihukum tidak dapat beraktivitas
sampai waktu yang tidak ditentukan oleh FIFA, dan pada tahun 1974 negara ini resmi
dikeluarkan oleh FIFA dari organisasinya.35 Selain perlawanan universal terhadap apartheid,
manajemen sepakbola absurd yang dibentuk apartheid telah menyerang dan mempermalukan
FIFA. Pada tahun 1963 Afrika Selatan mengumumkan akan mengirimkan tim kulit putih
untuk Piala Dunia 1966 di Inggris dan tim kulit hitam pada tahun 1970. 36 Pengasingan dan
pengucilan yang dilakukan FIFA terhadap Afrika Selatan merupakan bagian dari kampanye
global menolak apartheid yang bertujuan untuk isolasi sepenuhnya terhadap aktivitas Afrika
Selatan. Bersama dengan isolasi diplomatik negara dan komersil, Afrika Selatan juga
dikeluarkan dari keikutsertaan perhelatan akbar olahraga internasional dan keangotaannya.
Selama kampanye pengajuan Piala Dunia, Thabo Mbeki mengelu-elukan FIFA dalam
perlawanan terhadap apartheid. Dalam pidatonya kepada FIFA, Mbeki menyampaikan,
“terima kasih FIFA untuk apa yang telah kalian lakukan untuk membantu kami mencapai
kebebasan!”37
Perubahan yang terjadi dan inklusi Afrika Selatan terhadap komunitas internasional
dengan cepat membuka pintu kepada olahraga Afrika Selatan. Bahkan, olahraga menjadi
salah satu yang berubah dengan sangat cepat dalam penerimaan dan masuk kembalinya
Afrika Selatan ke organisasi dan komunitas olahraga internasional. Pada tahun 1992 tim
nasional kriket Afrika Selatan telah bermain dalam Piala Dunia Kriket di Australia, dan tim
nasional sepakbola Afrika Selatan (Bafana Bafana) bermain dalam laga internasionalnya di
kandang.38 Partisipasi Afrika Selatan dalam Olimpiade Barcelona 1992 adalah sebuah
penerimaan simbolik yang sangat penting. Dengan menerima Afrika Selatan kembali ke
komunitas Olimpiade, dunia menyadari bahwa negara ini telah diterima lagi ke dalam
komunitas internasional. Pentingnya olahraga bagi kebijakan luar negeri Afrika Selatan
berlanjut dan memberikan hasil yang luar biasa. Badan sepakbola internasional, FIFA, juga
dengan tangan terbuka menerima kembalinya Afrika Selatan dengan manajemen yang multi
ras dan inklusif kembali masuk ke dalam rangking FIFA. Keanggotaan FIFA sama artinya
mempunyai potensi yang besar untuk menyelenggarakan Piala Dunia bagi Afrika Selatan.
35 Edward Griffith, Bidding for Glory (Johannesburg: Jonathan Ball Publisher Ltd., 2000), 78.
36 Mail & Guardian, “Eye on the ball? Or: eyes on the brands?” diakses pada tanggal 4 April 2013,
http://archive.mg.co.za/MGArchive/FrameSet.asp?Src=Adv
37 Thabo Mbeki, Presentasi dalam bidding Piala Dunia 2010 Afrika Selatan di FIFA, diakses pada 6 April
2013, http://www.info.gov.za
38 Edward Griffith, Bidding for Glory, 16-17.

Pada bulan Oktober 1997, Afrika Selatan secara resmi menyatakan intensi untuk mengikuti
bidding Piala Dunia 2006.39
Afrika Selatan yang menjadi penyelenggara Piala Dunia 2010 (PD 2010) dengan
status masih negara berkembang menjadi menarik karena Afrika Selatan banyak melakukan
pembangunan guna memenuhi syarat-syarat yang diajukan FIFA. Afrika Selatan mempunyai
perhatian yang lebih kepada MSE, hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan Piala Dunia
Rugby 1995, mengikuti bidding Piala Dunia Sepak Bola 2006, Piala Dunia Kriket 2003, Piala
Dunia Golf Wanita pada tahun 2004, dan berbagai perhelatan yang bertujuan untuk
membangun citra politik Afrika pada umumnya dan Afrika Selatan khususnya.40
Gambar 3. Kegiatan Diplomasi Publik Afrika Selatan
Piala Dunia Rugby 1995
Bidding Piala Dunia 2006
Bidding Olimpiade 2004
Piala Dunia Kriket 2003
Piala Dunia Golf 2004
Sumber: Gambar olahan Penulis

Afrika Selatan merupakan negara Afrika yang sangat erat kaitannya dengan
penyelenggaraan MSE. Afrika Selatan bukan tanpa modal dan persiapan apa-apa dalam
menjadi penyelenggara Piala Dunia Sepakbola yang merupakan tujuan utamanya. Afrika
Selatan telah sukses menyelenggarakan Piala Dunia Rugby 1995 menjadikan pergerakan
aktivitas yang kian berlanjut untuk menyelenggarakan MSE sebagai ambisi dan tujuan. Hal
ini didukung oleh efek pertunjukkan yang membawa kepercayadirian kepada negara yang
mempunyai kapasitas besar dalam melaksanakan perhelatan internasional dan keuntungan
bukan uang yang didapatkan Afrika Selatan setelah menyelenggarakan Piala Dunia Rugby
1995. Diselenggarakan Afrika Selatan berhasil menyelenggarakan Piala Dunia Rugby pada
39 Ibid., 81.
40 Cornelissen dan Swart, The 2010 Football World Cup as a political construct: the challenge of making
good on an African promise, 112.

masa-masa transisi demokratisasi dan menjadi juara dalam turnamen tersebut. Hal ini
memberikan dampak terhadap persatuan masyarakat yang masih terpisah karena masalah ras.
Hal ini juga menjelaskan tujuan politik (pembentukan bangsa nasional) yang dibawa oleh
Piala Dunia Rugby 1995.41
Pemerintah Afrika Selatan melihat penyelenggaraan MSE sebagai instrumen utama
dalam membantu proyek pembangunan identitas nasional. Selain itu, pemerintah Afrika
Selatan melihat ini sebagai katalisator ekonomi dan pembangunan. Secara retorika, proses
bidding yang dilakukan Afrika Selatan untuk dapat menyelenggarakan MSE digunakan untuk
menyampaikan pesan penting kepada masyarakat Afrika Selatan, maupun dunia internasional
mengenai masyarakat Afrika Selatan baru yang biasa disebut dengan African Renaissance. Di
samping itu, kenyataan bahwa penyelenggaraan MSE membantu masyarakat Afrika Selatan
masih terkotak-kotakan ras mencapai tahap rekonsiliasi.
Negara berkembang mulai mengikuti kompetisi penyelenggaraan MSE yang selama
ini didominasi oleh negara maju. Negara berkembang menggunakan MSE untuk tujuan luar
negeri dan kebijakan politiknya yang berarti mengirimkan pesan tertentu kepada komunitas
internasional. Selain itu, MSE juga digunakan sebagai mekanisme untuk memberikan
kompetensi dari kekurangan sumber kekuatan dan pengaruh di dunia internasional. Dalam
berbagai MSE yang diselenggarakan di Malaysia, China, dan Afrika Selatan dapat dimengerti
bahwa tujuan dari negara-negara ini adalah untuk berhasil mencapai tujuan-tujuan kebijakan
luar negeri, seperti peningkatan citra dan profiliasi selain untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi semata dari penyelenggaraan MSE.42
Tabel 2. Penyelenggaran Piala Dunia Sepakbola
Tahun Penyelenggaraan
Piala Dunia 1930
Piala Dunia 1934
Piala Dunia 1938
Piala Dunia 1950
Piala Dunia 1954
Piala Dunia 1958
Piala Dunia 1962
Piala Dunia 1966
Piala Dunia 1970
Piala Dunia 1974
Piala Dunia 1978
Piala Dunia 1982
Piala Dunia 1986
Piala Dunia 1990
Piala Dunia 1994
41 Ibid.
42 Ibid.

Negara Penyelenggara
Uruguay
Italia
Prancis
Brasil
Swiss
Swedia
Chili
Inggris
Meksiko
Jerman Barat
Argentina
Spanyol
Meksiko
Italia
Amerika Serikat

Juara
Uruguay
Italia
Italia
Uruguay
Jerman Barat
Brasil
Brasil
Inggris
Brazil
Jerman Barat
Argentina
Italia
Argentina
Jerman Barat
Brasil

Piala Dunia 1998
Piala Dunia 2002
Piala Dunia 2006
Piala Dunia 2010

Prancis
Korea Selatan- Jepang
Jerman
Afrika Selatan

Prancis
Brasil
Italia
Spanyol

Sumber: “Piala Dunia yang telah berlangsung,” diakses pada 8 Desember 2013,
http://www.fifa.com/worldcup/archive/index.html

Selain usaha yang dilakukan Afrika Selatan sendiri, perkembangan olahraga,
khususnya sepakbola sebagai pop culture dalam perkembangan dunia internasional penting
untuk dibahas. Selanjutnya, tata kelola serta kedekatan Afrika Selatan dengan FIFA sebagai
organisasi pengelola utama sepakbola dunia juga menjadi bahasan penelitian. Olahraga telah
membentuk dan menciptakan stabilitas sosial dan identitas politik dewasa ini yang
berkembang sangat pesat dan tidak dapat diprediksi.43 Olahraga memobilisasi emosi kolektif
dan acap kali berubah menjadi atau bahkan mengalihkan konflik sosial. Para pelaku olahraga
juga muncul di berbagai film populer, seri televisi, dan berbagai bentuk siaran lainnya yang
menarik jutaan, bahkan milliaran penonton dari segala penjuru dunia. Olahraga telah menjadi
bagian penting dari industri hiburan global. Dalam beberapa tahun terakhir, hiburan olahraga
dari lanskap budaya ini membawa ketertarikan dan legitimasi sebagai subyek yang penting
bagi penelitian intelektual.
Perhelatan olahraga telah menjadi program paling banyak ditonton di dunia. Pada
Piala Dunia 2006 yang diadakan di Jerman, setidaknya tiga puluh milliar penduduk dunia
menyaksikan perhelatan akbar ini, dengan lebih dari dua milliar populasi dunia menonton
pertandingan final.44 Sementara itu, pada Piala Dunia 2010, FIFA menyatakan enam puluh
empat pertandingan yang dilakukan oleh tiga puluh dua negara menghasilkan tiga milliar
penonton, atau 46,4% dari seluruh populasi dunia.45 Suatu hal yang dapat dicermati lebih
lanjut adalah rekor yang dipecahkan oleh Olimpiade Beijing yang mengubah jumlah
penonton perhelatan ini di dunia. Ketika penonton global dapat menyaksikan Olimpiade
Beijing melalui internet untuk pertama kalinya, hal ini berhasil meningkatkan secara
signifikan jumlah penonton global bukan hanya dari penonton televisi konvensional. 46 Kedua
perhelatan olahraga ini memberikan perubahan yang berarti pada komersialisasi olahraga
menjadi sebuah hiburan yang menarik dan menjual.
43 Ibid., 16.
44 FIFA, “Legacy Report,” diakses pada tanggal 19 Desember 2013
http://www.fifa.com/mm/document/afsocial/environment/01/57/12/66/2006fwcgreengoallegacyreport_en.pdf
45 Associated Press, “FIFA: At least 1 billion saw Cup final,” diakses pada tanggal 18 November 2013 dari
http://espn.go.com/sports/soccer/news/_/id/6758280/least-1-billion-saw-part-2010-world-cup-final
46 Andrei S. Markovits & Lars Rensmann, Gaming the World: How Sports are Reshaping Global Politics and
Culture, 15.

Perubahan terhadap olahraga juga membawa sepakbola menjadi sebuah olahraga yang
sangat berpengaruh, khususnya dengan adanya Piala Dunia Sepakbola yang merupakan salah
satu perhelatan olahraga terbesar di dunia. Tak dapat dibantah bahwa Ronaldinho pada masa
kejayaannya adalah tokoh Brasil yang sangat terkenal, begitu juga dengan Zidane, salah satu
orang Prancis yang paling terkenal, Franz “Kaizer” Beckenbauer satu-satunya orang Jerman
yang popularitasnya menyaingi Hitler. David Beckham, berada dalam jajaran selebritas
terpopuler di Inggris dan superstar global yang tidak dapat disangkal merupakan tokoh
berpengaruh di dunia hiburan. Keempatnya adalah para pemain sepakbola yang
menggunakan bahasa universal, olahraga dan menjadi role model budaya global, simbol dari
perkembangan budaya dan pasar olahraga yang terus berkembang ke seluruh penjuru dunia.47
Tata kelola sepakbola dunia juga bertambah rumit. Szymanski dan Kuypers mencatat
bahwa sepakbola bukan hanya sebuah permainan, melainkan juga bisnis besar dengan uang
berputar di seluruh dunia sekitar 150 milliar poundsterling. Berada diantara peperangan dan
ekonomi, sepakbola menjadi gabungan dari kompetisi dengan tujuan meraih kemenangan dan
di lain pihak kerjasama dan pertukaran di dalam liga dan piala yang membutuhkan
pengaturan dan peraturan yang terus diperbaharui.48
Pada awal tahun 1990an, tata kelola sepakbola dunia mulai dipengaruhi oleh
masuknya aktor-aktor dari sektor privat yang mencari pengaruh melalui berkembang
pesatnya pendapatan dan kekayaan. Contoh yang dapat diambil pada tingkat klub adalah dua
puluh klub elit Inggris keluar dari badan reprentasi yang sudah ada sebelumnya (The
Football League) dan menciptakan badan pengelolaan tersendiri, The Premier League.49
Dengan perubahan tata kelola ini, klub-klub Inggris dapat melakukan negosiasi pemisahan
hak siar penayangan pertandingan dan pada musim 2000/2001, klub-klub ini mendapatkan
263 juta poundsterling (lebih dari 93% total hak siar penayangan). 50 Sepakbola kemudian
dipengaruhi oleh bisnis dan mengalami industrialisasi dengan perputaran uang yang luar
biasa dalam berbagai kompetisinya. Masuknya bisnis dan kepentingan ekonomi ke dalam
sepakbola juga menjadikan sepakbola sangat menarik dan membawa milliaran penonton di
seluruh penjuru dunia. Hal ini membawa sepakbola menjadi bagian dari industri hiburan
global. Olahraga yang bersifat subsitusi kegiatan politik mampu memuaskan penggemarnya
dengan kemudahan mengakses informasi dan menyaksikan pertandingan-pertandingan
47 Ibid., 6.
48 S. Szymanski dan T. Kuypers, Winners and Losers: The Business Strategy of Football (London: Viking,
1999).
49 Ibid., 114.
50 Ibid.

terbaik di dunia. Selanjutnya olahraga (khususnya sepakbola) juga dapat menjadi salah satu
pop culture yang ada di dunia dengan terpenuhinya kepentingan politik, hiburan, dan
ekonomi.
Kepentingan budaya dan perubahan budaya menjadi pop culture dalam hal sepakbola
adalah adanya makna budaya dalam sepakbola yang dapat dibuktikan dengan partisipasi,
kompetisi, dan penonton yang membantu untuk membentuk budaya kita, baik secara
individu, maupun kolektif. Selain itu, sama halnya dengan pop culture yang lain, sepakbola
juga sangat terpeng