Peradaban Islam di Kudus. pdf

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI KUDUS
(ABAD XV – ABAD XX)

Makalah
Disusun sebagai tugas mata kuliah
SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
Dosen Pengampu: Dr. Darori Amin, M. Ag

Oleh:
Ahmat Roes (1400018064)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

A. Pendahuluan
Salah satu ciri masyarakat yang memiliki kemajuan adalah diciptakannya
peradaban yang menjadi lambang kemajuan sebuah masyarakat. Masyarakat
islam, sebagaimana tercatat dalam sejarah adalah satu-satunya masyarakat yang
berhasil membangun manusia dan peradabannya di wilayah yang didudukinya.

Misalnya, Madinah yang sebelumnya bernama Yasrib (daerah di Arab yang
dinisbatkan pada pendirinya yang bernama Yasrib bin Laudh bin ‘Amliq bin
Syam bin Nuh a.s) setelah Rasulullah menempati daerah tersebut, dibangunlah
sebuah negara dengan menerapkan prinsip pluralisme etnis, suku, dan
kepercayaan (agama). Negara inilah yang menjadi contoh umat saat ini dalam
hal penegakan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.
Setelah melalui proses yang panjang, sampailah agama Islam ke penjuru
dunia, termasuk ke Nusantara. Terlepas dari perbedaan para sejarawan tentang
waktu datangnya islam di Nusantara, hal yang pasti, bahwa islam yang dibawa
oleh para penyebar agama Islam di seluruh Dunia bermuara pada ajaran dan
semangat untuk menyebarkan agama islam yang diajarkan oleh Nabi. Dengan
demikian, semangat ekspansi memperkenalkan agama Islam telah dimulai sejak
Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallama diangkat menjadi Rasul dan selalu
diteruskan oleh pengikutnya sampai akhir zaman.
Perjuangan menyebarkan agama yang diajarkan Rasulullah, diteruskan
oleh para penyebar agama Islam di Jawa. Mengingat pulau Jawa saat itu masih
kental dengan tradisi mistik, maka dilakukan sinergi antara mistik Jawa dengan
mistik Islam (tasawuf). Di sisi lain, pulau Jawa saat itu masih menganut agama
Hindu dan Budha, maka digunakanlah lambang-lambang kedua agama dalam
arsitektur Islam. Penggunaan lambang-lambang tersebut, salah satunya tampak

dalam arsitektur masjid al Aqsha, Kudus. Masjid tersebut menggunakan menara
dan gapura yang merupakan ciri khas agama Hindu, dan tempat wudhu pancuran
yang melambangkan agama Budha sebagai penghormatan atas para pendahulu,
sekaligus sebagai daya tarik agar islam mudah dikenal dan mendapat tempat
dalam masyarakat setempat.
Sejak agama Islam disebarkan ke Kudus oleh Ja’far Shadiq (sunan
Kudus) dimulailah peradaban Islam di Kudus Kulon. Ciri khas peradaban islam

1

yang dibangun oleh sunan Kudus antara lain; menghormati penganut agama
Hindu dan Budha, aktif dalam politik dan membangun kemapanan ekonomi.
Mengingat makalah ini merupakan historiografi peradaban, maka perlu
dilakukan pembatasan terhadap pembahasan, agar didapatkan hasil penelitian
yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dimaksudkan untuk memberikan batasan pada
penelitian, agar tercipta sebuah penelitian yang sistematis dan ilmiah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini akan membahas beberapa
masalah berikut:

1. Bagaimana Sunan Kudus membangun peradaban islam di Kudus?
2. Bagaimana perkembangan Islam di Kudus pada masa kolonial?
3. Bagaimana perlawanan muslim Kudus terhadap hegemoni politik
Belanda dan hegemoni ekonomi cina-jawa di Kudus?
C. Pembahasan
Makalah ini akan membahas beberapa hal pokok terkait peradaban Islam
di Kudus sesuai berdasarkan periodisasi; masa Sunan Kudus (Abad XV), dan
masa kolonial (Abad XVI – XX). Lebih lanjut, akan menyoroti perlawanan
muslim Kudus terhadap kekuatan politik dan ekonomi yang dikuasai oleh
penjajah.
1. Peradaban Islam pada Masa Sunan Kudus
Struktur masyarakat Kudus pada abad ke lima belas terdiri dari
penganut agama Hindu-Budha, dan penganut agama kepercayaan dari ajaran
kejawen kuno. Dalam perkembangan agama Islam di Indonesia, Kudus
merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang bersejarah. Ini Nampak dari
peninggalan-peninggalan yang ada seperti Menara Mesjid Kudus, Mesjid
Madureksan, Mesjid Bubar, dan lainnya. Perkembangan satu agama di mana
pun, akan terpengaruh oleh kebudayaan yang ada pada waktu itu. Demikian
juga ketika agama islam berkembang di daerah Kudus dan sekitarnya, Islam
terpengaruh oleh berbagai kebudayaan dan agama sebelumnya. Bagi

penduduk Kudus sifat animisme dan dinamisme ini tampaknya tidak
berubah, malah bertambah dengan timbulnya suatu akulturasi (kultur baru
2

dari beberapa kultur). Misalnya pada upacara Buka Luwur (penggantian
kelambu makam) baik sunan Kudus, maupun Sunan Muria. Orang datang
berbondong-bondong

dengan

berbagai

maksud,

ada

yang

ingin


mendapatkan sobek kain Luwur untuk dijadikan jimat, atau ada pula
mengharap mendapatkan sebungkus nasi. Nasi ini dikeringkan, lalu
ditaburkan di pesawahan agar subur tanah wereng dan sebagainya.
Ketika Islam masuk ke Kudus, banyak unsur Hindu yang masuk ke
dalam Islam. Dari segi arsitektur misalnya, tampak pada bangunan mesjid
Kudus dan bangunan-bangunan lain di kompleks mesjid Kudus. Seperti atap
tampang bertingkat tiga yang menutupi mesjid, bangunan gapura yang
mengelilingi atau terdapat pada tembok penutup kompleks, yang semuanya
mirip dengan pola arsitektur Hindu seperti pada bangunan-bangunan suci di
Bali. Kemudian unsur tradisi tampak pada tembok keliling dengan pintu
gerbang pada kompleks mesjid, merupakan warisan tradisi seni bangunan
pola Jawa-Hindu
Tempat wudhu di Mesjid Kudus yang mempunyai delapan kran air,
juga mengingatkan kita pada nilai filosofi kepercayaan Agama Budha.
Bahwa manusia, jika ingin sukses harus melalui delapan jalur kebenaran
yang disebut Astasanghikamarga, yaitu: pengetahuan, keputusan, perkataan,
perbuatan, cara penghidupan, daya usaha, meditasi, dan kontemplasi.
Membincang tentang peradaban Islam di Kudus, tentu tidak akan
terlepas dari peninggalan peradaban Islam masa lampau, salah satu
peninggalan tersebut adalah Masjid al Aqsha. Masjid tersebut terletak di

Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Masjid Kudus berada di
tengah pemukiman penduduk dan terletak di tanah datar. Batas yang memisahkan masjid dengan lingkungan sekitarnya adalah di sebelah utara,
selatan, dan barat berbatasan dengan pemukiman penduduk,sedangkan di
sebelah timur berbatasan dengan jalan raya. Untuk memasuki halaman
Masjid Kudus harus melewati dua gapura utama yang berbentuk candi
bentar.
Bentuk menara masjid al Aqsha mengingatkan akan bentuk candi
corak Jawa Timur. Regol-regol serta gapura bentar yang terdapat di halaman

3

depan, serambi, dan dalam masjid mengingatkan kepada corak kesenian
klasik di Jawa Timur. Di atas mihrab terdapat inskripsi berhuruf Arab yang
telah usang yang artinya kira-kira masjid didirikan oleh Ja’far Shodiq dalam
tahun 1549.1 Berikut inkripsi tersebut:
Bismilahi ar rahman ar rahiim. Aqaama bina al masjid al aqshaa wal
balad al quds khaliifatu haadza ad dahr habru Muhammad yasytari …

(tidak terbaca) izzan fi jannah al khuldi … qurban min arr ahman bi balad
al Quds … (tidak terbaca) … ansya-a haadza al masjid al manar … (tidak

terbaca) al musammaa bi al aqshaa khaliifatu Allahi fi al ardlii … al ‘ulya
wa al mujtahid as sayyid al ‘arif al kamil al fadhil al maksus bi ‘inaayati …
al qaadli Ja’far ash Shadiq … sa nah sittin wa khamsiina wa tis’im miatin
mina al hijrah an nabawiyyah wa shalallahu ‘ala sayyidinaa Muhammadin
wa ashhaabihii ajma’iin”.
Menara Kudus merupakan bangunan kuno hasil dari akulturasi antara
kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam, bahkan unsur kebudayaan asli.
Unsur Islam yang tampak adalah ornamen yang serba sederhana. Sedangkan
unsur Indonesia asli tampak pada hiasan tumpalnya. Motif hiasan tumpal
sudah ada sejak zaman pra sejarah di Indonesia. Bagian puncak menara
berupa ruangan mirip pendopo berlantaikan papan. Ruangan ini ditopang
oleh empat buah tiang kayu yang bertumpu masuk pada lantai papan yang
berlapis. Di antara dua tiang sebelah timur sekarang dipasang hiasan arloji
yang cukup besar. Pada salah satu tiang terdapat inskripsi yang ditulis
dengan huruf dan bahasa Jawa yang berbunyi “ Gapura rusak ewahing
jagad” yang berarti 1609 S/ 1685 M.2

Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam di sekitar
daerah Kudus. la juga terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama,
terutama dalam ilmu tauhid, usul fiqih, hadits, sastra, dan ilmu fiqih. Oleh

sebab itu beliau digelari waliyyul ilmi (orang yang sangat ahli dalam ilmu
agama). Menurut riwayat, beliau juga termasuk salah seorang pujangga

1

http://simbi.kemenag.go.id/simas/index.php/arsip/c/1/Masjid-Menara-Kudus, diakses pada
23 November 2014
2
Ibid.,

4

yang mengarang cerita-cerita pendek yang berisi filsafat serta berjiwa
agama.3
Berdasarkan fakta sejarah tentang perjuangan Sunan Kudus, dapat
diketahui bahwa Sunan Kudus membangun peradaban Islam dengan
menggunakan metode; pertama , pendekatan kepada massa dengan jalan;
membiarkan adat-istiadat

lama


yang sulit

diubah, menghindarkan

konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama Islam, dan
mendorong terciptanya tradisi yang baik tanpa harus menggurui. Kedua ,
merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena
dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat. Ketiga,
merangkul masyarakat penganut agama Budha dengan mendirikan Padasan
tempat berwudhu dengan pancuran delapan yang diberi arca kepala Kebo
Gumarang di atasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan
berlipat delapan”.4
Peradaban Islam di kudus tidak dapat terlepas dari metode pengajaran
dan penggalian terhadap sumber agama. Sunan Kudus selain tabahhur
dalam tataran ushul dan fiqh, beliau juga ahli dalam bidang Tafsir-Hadits.
Bukti paling nyata pembenturan beliau dengan penafsiran Quran dan Hadits
adalah semangat pluralisme beliau dalam melarang penyembelihan sapi.
Keadaan sosial masyarakat Kudus yang pada saat itu didominasi oleh agama
Hindu-Budha, ditambah konflik kesultanan Islam Demak dan Kalinyamat

(Jepara), mempengaruhi para walisanga cenderung berpolitis dan akulturatif
dalam menafsiri Quran dan Hadits.
Pesantren (halaqah) yang diasuh oleh Sunan Kudus mengajarkan tiga
mata pelajaran pokok: Quran-Hadits, Fiqh, dan Sufi (Tasawuf). Metode
pengajaran yang beliau pakai masih sederhana dan tradisional; bandongan,
dan sorogan. Murid dari Sunan Kudus berasal dari berbagai kalangan. Baik
dari kalangan sudra maupun ningrat. Sehingga dalam menyampaikan ajaran
islam, beliau Sunan Kudus berupaya mengkontektualisasikan penafsiran
Quran-Hadits sesuai jamannya, dan sesuai kondisi perubahan (transisi)
Hindu-Budha ke Islam.
3
4

Ibid.,
Raden Fatah. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2009.hlm.198-199

5

Pada waktu tersebut, Kudus adalah kota yang berpengaruh dalam
sejarah munculnya kesultanan Demak. Konflik para raja yang memayungi

sejarah tanah Jawa; seperti konflik Arya Panangsang dan Sunan Prawata,
sumpah Ratu Kalinyamat karena pembunuhan suaminya Sunan Hadlirin
oleh Arya Panangsang, sehingga pada akhirnya mengaitkan nama Jaka
Tingkir (Sultan Kediri), secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan dan
metodologi penafsiran Sunan Kudus, yang bisa disebut-sebut sebagai tokoh
paling berpengaruh dalam pembentukan Kesultanan Demak. Untuk
diketahui, Arya Panangsang, Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat, Raden
Fatah, dan Jaka Tingkir adalah murid Sunan Kudus sendiri.
Secara sederhana, transformasi Tafsir-Hadits yang dilakukan Sunan
Kudus adalah kategori dirayah, dengan mengambil pendekatan ulama salaf
dalam memahami hadits, dan penafsiran politis, dikarenakan Sunan Kudus
adalah tokoh sentral selain Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga dalam
menciptakan khilafah islamiah di tanah Jawa, khususnya Kesultanan di
Gelagah Wangi (yang selanjutnya disebut Demak), yang tentu saja ruh
politik menjadi pertimbangan utama pernafsiran Sunan Kudus.
Hal penting yang perlu dicatat dalam sejarah peradaban Islam di
Kudus,

bahwa

Sunan

Kudus,

menggunakan

strukturalisme

dalam

mengembangkan dan menyebarkan agama Islam. Hal ini didasarkan pada
objek dakwah yang dilaksanakan oleh Sunan Kudus lebih kepada para
priyayi dan tokoh masyarakat. Strukturalisme perjuangan Islam yang
digunakan oleh Sunan Kudus, sepertinya telah tergerus oleh arus Zaman.
Sebagaimana yang teramati, para tokoh agama di Kudus masa kini, lebih
memilih mendirikan lembaga pendidikan dan mendidik murid sebagai calon
penerus perjuangan sunan Kudus, dari pada terlibat praktis dalam birokrasi
maupun legislasi.
2. Peradaban Islam di Kudus pada Masa Kolonial
Masa kolonial, ditandai dengan penguasaan Belanda atas Nusantara.
Pada masa ini, Belanda menerapkan politik yang terkenal dengan devide et
impera . Penerapan politik tersebut sejak diangkatnya Snouck Hurgronje

6

sebagai penasehat urusan Arab dan Pribumi.5 Sebelumnya, politik Belanda
tidak siap menghadapi kekuatan komunitas Islam. Hal ini terbukti dengan
ketidakmampuan Belanda dalam menghadapi peperangan Diponegoro
(1825-1830), dan perang aceh (1871-1921).6
Nusantara setelah datangnya C.S. Hurgronje memasuki zaman yang
disebut dengan politik Islam. Analisa tentang Islam di Nusantara telah
memformulasikan politik Islam. Agaknya dengan menerapkan politik
Islamnya, ia telah berhasil dalam memahami dan menguasai penduduk yang
sebagian besar beragama islam. Kehadirannya telah memasuki babak baru
dalam penjajahan Belanda atas muslim Nusantara.7
Islam Nusantara dalam pandangan Belanda tidak lagi dipandang
sebagai kekuatan agama, melainkan juga kekuatan sosial-politik. Meskipun
keislaman Nusantara tidak murni, tetap saja muslim Nusantara menganggap
bahwa mereka telah melaksanakan agama dengan baik. Sehingga, upaya
yang dilakukan oleh Belanda maupun Barat untuk mengkristenkan
Nusantara tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan dapat dikatakan
mengalami kegagalan.8
Islam Nusantara dalam pandangan Belanda adalah Islam yang damai,
namun, tidak menutup kemungkinan timbulnya perlawanan melawan
kolonialisme. Islam yang ditakutkan oleh Belanda, bukanlah Islam sebagai
agama, melainkan Islam yang terwujudkan dalam doktrin Politik. Belanda
harus menerapkan perlawanan terhadap politik Islam, seperti memenjarakan
tokoh politik Islam. Artinya dalam hal politik, Belanda bersikap tegas
terhadap politik Islam. Sedangkan dalam kemasyarakatan, Belanda memilih
sikap untuk membantu kelancarannya, seperti membangun sarana
transportasi, dan sebagainya. 9
Politik yang dilaksanakan oleh Belanda lebih fokus pada pemberian
kebebasan bagi muslim Nusantara untuk melaksanakan ibadah, karena
5

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda , Jakarta, LP3ES, 1985, hlm.116
A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985, hlm.53
7
Aqib Suminto, Op.Cit. hlm.2
8
H.J. Brenda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Terj. Daniel Dhakidae, Jakarta, Pustaka
Jaya, 1980, hlm.41
9
Taufik Abdullah, Snouck Hurgronje Memberikan Satu-Satunya Formulasi tentang Politik
Islam, dalam A. Adaby Darban, Snouck Hurgronje dan Islam di Indonesia , Yogyakarta, tt., tp. Hlm.19
6

7

menurut mereka, Islam akan bereaksi keras jika mereka merasa dihalangi
dan diatur oleh penganut agama lain. Sehingga segala urusan keagamaan
pada masa ini diserahkan oleh pemimpin kelompok agama. Namun, Belanda
juga mengkhawatirkan adanya pengaruh luar, yang mengobarkan semangat
perang melawan kolonialisme, sehingga, untuk hal ibadah haji, Belanda
mengawasi dan memperketat peraturan, bahkan melarang pelaksanaan
Haji.10
Salah satu bentuk penerapan politik islam belanda di Kudus adalah
dengan membangun sungai gelis (kali gelis) untuk membuat Kudus kulon
dan Kudus wetan. Kudus kulon terdiri dari masyarakat yang religius, yang
memiliki kekuatan sosial ekonomi yang tinggi di banding wilayah lain di
Kudus. Pusatnya berada di seputar menara yang saat itu dipimpin oleh nama
besar Kyai Haji Raden (KHR) Asnawi, beliau adalah keturunan ke-14 dari
Sunan Kudus, dan dzurriyah ke-5 dari Syekh Mutamakkin, Kajen,
Margoyoso, Pati. Beliau belajar hingga ke Mekkah, Saudi Arabia, dan
sepulang dari sana beliau mengisi pengajian kitab Shahih Bukhori di Masjid
al Aqsa, menara Kudus. Atas kedermawanan Kyai Abdullah Faqih, Langgar
Dalem, Kudus, beliau diberi tanah wakaf oleh Kyai Faqih untuk mendirikan
pesantren di Bendan.
Berbeda dengan Kudus kulon, saat itu kudus wetan didominasi oleh
pendatang yang terdiri dari masyarakat cina dan beberapa jawa pendatang.
Kudus wetan sengaja disetting oleh Belanda, dalam rangka menghindari
konfrontasi dengan kekuatan islam di Kudus Kulon dan sekaligus
menerapkan politik devide et impera, yaitu agar kelompok wetan menjadi
pesaing bagi kelompok kulon. Perlawanan tersebut sangat tampak dalam
kegiatan ekonomi dan politik. Sehingga pada saat itu, ekonomi kelompok
kulon mengalami kemerosotan.
Pada waktu itu masyarakat Kudus termasuk kota di bagian Jawa yang
merasakan pahitnya penjajahan Belanda. Secara mayoritas, islam adalah
agama dominan. Tapi toleransi beragama masih terasa dengan masih adanya
penduduk
10

Tionghoa

yang

masih

meyakin

dan

melaksanakan

M. Nasir, Kapita Selekta , Bandung, NV.W. Van Hoeve, 1954, hlm. 157-158

8

kepercayaannya di kota Kudus. Contoh paling real dari toleransi itu adalah
masih berdirinya Klenteng di timur menara kudus (masjid al Aqsa).
KHR. Asnawi mengajarkan ilmu agama Islam di pesantren tersebut
untuk kalangan masyarakat sekitar hingga luar Kudus. Dari tangan beliau,
muncullah nama-nama Kyai yang berjasa dalam pengembangan TafsirHadits di Kudus untuk menyebarkan Islam yang berwawasan revolusi dan
ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Disebut-sebut sebagai tokoh yang berangkat

ke Surabaya membidani secara langsung lahirnya organisasi Nahdlotul
Ulama (NU), penafsiran dan metodologi Hadits KHR. Asnawi adalah
berorientasi Ke-NU-an, revolutif, dan kecenderungan fiqh. Sebab beliau
cenderung fiqhiyah, adalah karena ilmu yang beliau terima dari Mekkah
cenderung beraliran tekstualis, berpusat di Mekkah, Madinah dan Hijaz,
dengan menampilkan Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn
Hanbal sebagai tokoh-tokoh garda depan. Yang tampak dari karakter
tradisionalnya aliran tekstualis yang beliau KHR. Asnawi pelajari adalah
dimana masyarakat Mekkah, Madinah, dan Hijaz lebih cenderung tertutup
rapat dan jarang, bahkan tidak terjadi pergolakan politik.
Improvisasi penafsiran KHR. Asnawi nampak lebih jelas dalam
keikutsertaannya bersama tokoh pergerakan revolusi seperti K. Agus Salim,
dan HOS. Cokroaminoto, sampai-sampai nama KHR. Asnawi terdengar di
kancah internasional yang disegani ulama Timur-Tengah sekaliber Sayid
Husen Beik. Dari murid-murid beliau, Tafsir-Hadits disebarkan dan
berkembang menjadi berkecenderungan aswaja, revolusi, dan hijazi. Faktor
penyebab sosialnya adalah pengukuhan akidah ahlu sunnah wa al-jama’ah
sekaligus latar belakang revolusi kemerdekaan atas Belanda di tanah Jawa.
Berdasarkan fakta sejarah, Belanda terlalu meremehkan kemampuan
Islam di Kudus yang sebenarnya dapat membahayakan posisi Belanda.
Politik pecah belahnya terhadap islam sebagai ajaran yang dijadikan sebagai
landasan dalam politik Belanda secara keseluruhannya adalah dangkal,
meskipun tampak masuk akal. Islam yang dipisahkan dari politik oleh
Belanda, ternyata hanya terjadi pada masa kemunduran Islam. Hal ini
terbukti pada masa bangkitnya Islam di Indonesia, salah satu tokoh muslim

9

Kudus yang bernama KHR Asnawi bergabung dengan organisasi Islam
bermula dari Sarekat Dagang Islam, dan menjadi tokoh utama dalam komite
hijaz yang kemudian menjadi NO (Nahdlatul Oelama).11 Dengan
bergabungnya tokoh dari Kudus tersebut, kekuatan islam di Indonesia
secara umum dan Kudus secara khusus mulai mengkhawatirkan Belanda.
Seluruh gerakan westernisasi dan kristenisasi dapat dibendung melalui
lembaga-lembaga dan organisasi hasil bentukan tokoh-tokoh Islam.
3. Perlawanan muslim Kudus terhadap Hegemoni Politik dan Ekonomi
Perlu dicatat bahwa pada awal Islam disebarkan, tidak terlepas dari
jasa orang Cina yang paling dikenal diantaranya adalah Zeng He.
Berdasarkan berita dari Haji Ma Huan, sekretaris dan juru bahasa Zenghe. Ia
mengikuti perjalan Ceng Ho (sebutan Zeng he) pada tahun 1413, 1421, dan
1431. Berita tersebut mencatat bahwa pada abad 15 telah terdapat Cina
muslim yang tinggal di Pantai utara Jawa termasuk Kudus, Demak, Lasem,
dan Semarang. Mereka adalah suku Konghu yang berasal dari propinsi
Guandong. Hal yang penting diketahui bahwa suku Konghu adalah perajin
kayu dan batu atau mahir dalam kesenian ukir dan pahat. Tercatat nama
The Ling Sing (sahabat atau guru Sunan Kudus) dan Su Ging An (ayah The
Ling Sing), mereka berdualah Cina Muslim yang memiliki pengaruh
terhadap bangunan ukir Masjid al Aqsha. 12
Belanda pada saat menjajah Indonesia secara umum, lebih spesifik
saat menjajah Kudus, selalu berusaha melemahkan kekuatan politik muslim
Kudus dengan mencegah masyarakat yang tidak dapat dikontrol oleh
Belanda untuk menduduki jabatan penting. Sehingga Belanda hanya
memberikan jabatan bagi masyarakat Kudus yang telah memperoleh
pendidikan politik dari Belanda, sehingga relatif lebih mudah dikontrol.
Belanda melemahkan masyarakat Kudus dengan memanfaatkan kaum
tionghoa (keturunan Cina) untuk menguasai ekonomi Kudus. Kelompok
Cina di Kudus dapat dikelompokkan menjadi dua; muslim cina yang
menghuni di sekitar Kudus kulon, dan cina non muslim yang menghuni di
11

A. Mukti Ali, Alam Fikiran Islam Modern di Indonesia , Yogyakarta, NIDA, 1971, hlm.5
Sumanto al Qurthuby, Arus Cina Islam Jawa , Yogyakarta, Inspeal Ahimsakarya Press,
2003, hlm.138
12

10

sekitar kota baru, yang berada di kawasan pemerintahan Belanda. Non
muslim cina inilah yang dimanfaatkan oleh belanda melalui VOC.
Kekayaan alam Kudus dijual melalui kaum pecinan Kudus, dan mereka
mendapatkan fasilitas dan mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan
belanda di Kudus.
Monopoli ekonomi dengan memanfaatkan kaum Cina Kudus dengan
penempatan kaum tionghua sebagai masyarakat pedagang, pesaing
masyarakat Kudus Kulon. Sekaligus mereka mendapatkan fasilitas dari
Belanda ini menimbulkan friksi dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan,
penerapan monopoli ekonomi memperlemah kekuatan ekonomi masyarakat
Kudus yang semula dikuasai oleh kaum santri Kudus Kulon. Kecurigaan
kaum Pribumi terhadap etnis tionghoa ini akhirnya melahirkan pergolakan
anti Tionghoa yang dimulai tahun 1913 dan berujung pada pembantaian
terhadap etnis tersebut pada tahun 1918.13
Persaingan ekonomi antara pribumi dan etnis tionghoa sangat tampak
dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan di pasar kliwon. Sehingga, atas
inisiatif tokoh-tokoh di Kudus, diadakanlah tradisi dandangan sebagai event
yang lebih menguntungkan masyarakat pribumi. Pelaksanaannya sengaja
ditempatkan di Kudus Kulon agar masyarakat Tionghoa tidak terlibat dalam
event ini. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan

masyarakat pribumi terhadap kekuasaan Belanda yang berkoalisi dengan
etnis tionghoa.
Perlawanan kaum pribumi juga diupayakan melalui industri rokok,
yang dipelopori oleh Haji Djamasri.14 Rokok buatan Djamasri inilah yang
selanjutnya disebut rokok kretek.15 Lahirnya industri rokok di Kudus
diperkirakan terjadi pada rentang tahun 1870-1880.16 Mark Hanusz
mengambarkan tumbuhnya industri rokok krerek di Kudus muncul antara
tahun 1870-1880 dengan dipelopori oleh H. Jamahri (Djamasri). Industri
13
14

hlm.60

Jousiri Hasbullah, Kapok Jadi Nonpri, dalam Kompas, 23 Juni 1998
Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik, dan Agama: Industri Rokok Kudus, 1982,

15

Onghokham dan Budiman, Rokok Kretek Lintasan Sejarah, Kudus, PT Djarum, 1987,
hlm.105-106
16
Ibid., hlm.107-108

11

rokok memasuki masa awal kejayaan pada masa Nitisemito pada 1906 dan
pada 1908 rokok kreteknya resmi terdaftar dengan merk “Tjap Bal Tiga”.17
Perlawanan yang dilakukan oleh pribumi juga dilakukan melalui
ideology dan fisolosofi. Kudus, kota dengan bermacam aktivitas industrinya
tidak melupakan aspek religiusnya. Hal ini sangat mudah dijumpai di
Kudus, seperti di pasar dan kawasan pabrik rokok. Pagi buta warga kudus
sudah memulai aktifitas dunianya, mencari nafkah. Saat senja melambai di
ufuk barat, aktifitas pun berubah seketika. Lalu lalang warga memenuhi
tempat ibadah, majlis taklim, pengajian merupakan pemandangan lumrah di
Kudus. Artinya, denyut kehidupan warga Kudus memasuki alam akhirat.
Ilustrasi tersebut bukan hendak menggambarkan pemisahan yang
tajam dengan pencitraan yang simbolik, melainkan hendak menjelaskan
adanya sinergi antara kehidupan dunia dan akhirat di Kudus. Rutinitas
menjaga keseimbangan dua kehidupan itu mengkristal pada satu konsepsi
pola laku warga Kudus,yaitu ngaji dan dagang (Ji-gang). Jigang adalah
filosofi laku orang Kudus. Orang Kudus benar-benar menjalaninya. Bahkan
menjadi salah satu syarat kultural bagi pengantin laki-laki jika ingin
menikahi seorang perempuan Kudus, harus bisa ngaji dan berdagang.
Akar jigang barangkali dapat kita telusuri dari tradisi keilmuan yang
telah mengakar di Kudus dan gelora industrialisasi yang telah lama
bercokol. Istilah ngaji dalam legenda ketokohan Sunan Kudus Raden
Dja’far Shadiq merupakan suata hal yang istimewa. Sunan Kudus
dikalangan Walisongo dikenal sebagai waliyulilmi (wali yang sangat
pintar). Gelar ini menunjukkan geliat keilmuan yang telah lama
terpancangkan di Kudus. Di sini ngaji bermakna ilmu.
Cerita tutur yang beredar di masyarakat menunjukkan hal demikian,
bahwa tradisi keilmuan di Kudus sangat tinggi. Misalnya, sabda Sunan
Kudus yang terkenal,“Kudus bakul ora kulak”, yang artinya Kudus adalah
gudang ilmu. Bakul bermakna gudang. Maka, jika boleh dikaitkan dengan
realitas kekinian, Kudus menjadi kota penting dalam referensi pendidikan.
Kudus mampu menyedot warga daerah dan kota-kota sekitar untuk
17

Mark Hanusz (Kretek,The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, 2003),

hal. 77.

12

menuntut ilmu di sana. Kudus menjadi bakul dalam artian rujukan
masyarakat melabuhkan anaknya untuk bersekolah.
D. Penutup
Tradisi keilmuan (ngaji) setelah masa Sunan Kudus, terus dikembangkan
oleh tokoh agama di Kudus yang dikenal secara nasional, semisal KHR. Asnawi,
KH. Turaichan Adjhuri, KH. Makmun, KH. Arwani Amin, KH. Hisyam Hayat,
sampai yang masih hidup KH. Sya’roni Ahmadi. Keberadaan mereka
menyuburkan tradisi keilmuan dengan mengadakan majlis-majlis ilmu agama.
Para tokoh tersebut semasa hidupnya selalu menyemaikan konsepsi ngaji dalam
kesehariannya. Gelombang inilah yang meneguhkan spirit ngaji menjadi laku
hidup orang Kudus. Inilah akar konsep ngaji yang merupakan laku kultural
orang Kudus. Konsep dagang barangkali muncul seiring gelombang industrial
menggelora di Kudus. Industri rokoklah yang menjadi denyut awal
industrialisasi di Kudus, bahkan bertahan sampai sekarang dan terus berjaya.
Demikian, semoga bermanfaat.

13

DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Ali, Alam Fikiran Islam Modern di Indonesia , Yogyakarta, NIDA, 1971
A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda , Jakarta, LP3ES, 1985
H.J. Brenda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit , Terj. Daniel Dhakidae, Jakarta,
Pustaka Jaya, 1980
Jousiri Hasbullah, Kapok Jadi Nonpri, dalam Kompas, 23 Juni 1998
Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik, dan Agama: Industri Rokok Kudus ,
1982
M. Nasir, Kapita Selekta , Bandung, NV.W. Van Hoeve, 1954
Mark Hanusz Kretek,The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes,
2003
Onghokham dan Budiman, Rokok Kretek Lintasan Sejarah , Kudus, PT Djarum, 1987
Raden Fatah. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2009
Sumanto al Qurthuby, Arus Cina Islam Jawa , Yogyakarta, Inspeal Ahimsakarya
Press, 2003
Taufik Abdullah, Snouck Hurgronje Memberikan Satu-Satunya Formulasi tentang
Politik Islam, dalam A. Adaby Darban, Snouck Hurgronje dan Islam di
Indonesia , Yogyakarta, tt., tp,

http://simbi.kemenag.go.id/simas/index.php/arsip/c/1/Masjid-Menara-Kudus.

14