Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Mandailing di Padang Lawas : Kajian Semiotik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan
2.1.1 Semiotik
Secara etimologi semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semion yang
berarti tanda. Jika dilihat dari kata asalnya maka semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tentang tanda. Ilmu ini menganggap bahwa masyarakat dan
kebudayaan adalah tanda yang mempunyai arti.
Pokok perhatian semiotik adalah tanda. Tanda itu sendiri diartikan sebagai
sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama tanda harus diamati,
dalam arti tanda itu harus bisa ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada
sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili, dan menyajikan.
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Semiotik memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifier)
dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu
yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh
penanda itu sendiri.
Haliday (1992:16) mengatakan “semiotik mulanya muncul dari konsep
tanda yang berhubungan dengan istilah semion (penanda) dan semianomenon
(penanda) yang digunakan dalam ilmu Yunani kuno”.

Sudjiman (1978:3) mengatakan “semiotik mulanya dari konsep tanda,
istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani semion yang berarti tanda-tanda

Universitas Sumatera Utara

terdapat di mana-mana, kata adalah tanda, demikian juga gerak, isyarat, bendera,
dan sebagainya”.
Saussure (1974-17) mengatakan bahwa tanda memiliki tiga aspek yaitu :
1. Aspek itu sendiri
2. Aspek material dan tanda itu, aspek material ini dapat berupa bunyi, tautan
huruf menjadi kata, gambar warna dan atribut-atribut lainnya ini disebut
dengan signifier
3. Konsep, konsep ini sangat berperan dalam mengkontruksikan makna suatu
denotatum atau objek yang disebut dengan signified.
Tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Sesuatu itu dapat
berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Yang dapat menjadi
tanda bukan hanya bahasa, melainkan berbagai hal yang dapat melingkupi
kehidupan di sekitar kita. Tanda dapat berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra,
lukisan dan patung.
Dari beberapa pendapat di atas yang menjelaskan tentang pengertian

semiotik penulis mengambil kesimpulan bahwa semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tentang tanda-tanda dan mengkaji tentang makna yang terkandung
dalam sebuah tanda di mana tanda-tanda ini dianggap sebagai fenomena sosial
dan hubungan antara masyarakat dan kebudayaan.
Semiotik juga mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensikonvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Tanda sangat
berperan dalam kehidupan manusia di mana setiap manusia menggunakan tandatanda atau lambang-lambang untuk berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat
dan merepresentasikan kehidupannya dengan kebudayaannya dalam kehidupan
sehari-hari.

2.1.2 Sekilas Upacara Adat Perkawinan Mandailing
Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Mandailing dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni:

Universitas Sumatera Utara

a.

Sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat

b.


Perkawinan tanpa persetujuan orangtua yang disebut dengan marlojong

a. Sepengetahuan Keluarga (dipabuat)
Dalam adat-istiadat perkawinan pada masyarakat Mandailing istilah
dipabuat, yaitu perkawinan yang dilaksanakan dengan mendapat persetujuan dari
kedua belah pihak. perkawinan ini juga sering disebut dengan istilah perkawinan
manjujur yang dilaksanakan dengan melalui semua tahapan yang ada dalam adat
perkawinan masyarakat Madailing.
Jujur maksudnya untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga
wanita atas hilangnya seorang anggota keluarganya yang masuk menjadi anggota
keluarga suami. Pada dasarnya benda yang akan diberikan sebagai jujur adalah
berupa Sere atau mas kawin dan istilah menyerahkan uang jujur itu disebut
manulak sere yang berarti untuk masa sekarang sebagai bantuan untuk
melengkapi keperluan pihak gadis untuk barang bawaannya ataupun untuk
tambahan biaya pesta. Dalam proses manulak sere maka pihak laki-laki membawa
batang boban yang telah disepakati sebelumnya kerumah pihak perempuan.
Perkawinan pada masyarakat Mandailing bersifat eksogami patriarchat
yang artinya dimana setelah perkawinan pihak wanita meninggalkan keluarganya
dan masuk ke dalam keluarga suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga

dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti marga
bapaknya. Idealnya perkawinan adat masyarakat Mandailing adalah antara anak
namboru dengan boru tulangnya.
b. Tanpa Persetujuan Orangtua (marlojong)

Universitas Sumatera Utara

Istilah “kawin lari” dalam masyarakat Mandailing disebut dengan
marlojong. Berdasarkan etimologinya, kata marlojong berasal dari awalan mar
yang berarti ‘ber’ lalu melekat pada kata lojong yang berarti ‘lari’. Jadi, kata
marlojong berarti ‘berlari’. Kemudian kata marlojong berkembang artinya
menjadi ‘kawin lari’. Menurut masyarakat Mandailing, marlojong ‘kawin lari’ ini
merupakan satu perkawinan yang dapat diterima dalam adat-istiadat. Perkawinan
marlojong

ini

dilaksanakan

tanpa


sepengetahuan/persetujuan

orang

tua

perempuan.
Ada juga yang menyebut marlojong ini dengan dua istilah lain yaitu
mambaen rohana dan marlojong takko-takko mata. Istilah mambaen rohana
terdiri atas dua kata. Pertama, kata mambaen yang berasal dari kata baen yang
berarti ‘buat’ dengan mendapat awalan mam yang berarti ‘ber’. Kedua, kata
rohana pula yang berasal dari kata roha yang berarti ‘hati’ dan akhiran na yang
berarti ‘–nya’. Jadi, ungkapan mambaen rohana berarti ‘berbuat hatinya’ yang
mengandung pengertian ‘menurutkan kata hatinya’. Istilah marlojong takko-takko
mata pula berasal dari kata marlojong ‘berlari’, takko-takko yang berarti ‘curicuri’ dan mata yang juga berarti ‘mata’. Sehingga istilah marlojong takko-takko
mata ini berarti ‘berlari curi-curi mata’. Kemudian dalam perkembangannya, arti
istilah marlojong takko-takko mata ini berubah menjadi ‘mencuri, tetapi
dilihat/diketahui’.
Maksudnya, marlojong ‘kawin lari’ seperti ini disetujui sebagian keluarga

dan sebagian lagi kurang menyetujuinya. Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ ini
dilakukan oleh seorang pemuda, yang disebut dengan bayo, dengan membawa
seorang anak gadis, yang disebut dengan boru, ke rumah orang tua/famili pihak

Universitas Sumatera Utara

laki-laki tanpa diketahui oleh orang tua perempuan. Secara umum, orang tua
pihak perempuan kurang menyetujui perkawinan seperti ini karena adanya
perbedaan status sosial. Namun marlojong ‘kawin lari’ ini dapat juga terjadi
karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat
istiadat.
Kalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
(1) Memberi tanda abit partading atau abit partinggal ‘kain pertinggal’.
Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna
hitam, dan di bawah tempat tidur. Tanda ini disebut juga dengan na balun
di amak ‘yang bergulung di tikar’.
(2) Membuat tanda patobang roha ‘menuakan hati’. Caranya, si anak gadis
menulis surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia
benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si

laki-laki dan alamat yang ditujunya.
(3) Meninggalkan tanda pandok-dok ‘pemberitahuan’. Tanda ini berupa uang,
kain sarung, dan surat.yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar
tidur si gadis. Kata dok berarti ‘kata’. Jadi, pandok-dok mempunyai arti
‘berkata-kata; pemberitahuan’.
Barang-barang tersebut di atas sebagai tanda untuk memberitahukan orang
tua bahwa si gadis sudah pergi marlojong ‘kawin lari’. Orang tua si gadis dengan
melihat tanda yang ada di kamar tidur, telah mengetahui bahwa anak gadisnya
pergi mambaen rohana ‘menurutkan kata hatinya’. Lalu ketika mau marlojong
itu, si anak gadis harus bersiap-siap membawa teman. Fungsi temannya ini adalah

Universitas Sumatera Utara

sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani ‘penemani; orang yang
menjadi teman si anak gadis ketika marlojong’.
Perkawinan marlojong ini sebenarnya merupakan perkawinan yang kurang
disukai masyarakat Mandailing. Namun sebab keadaan yang memaksa dan tidak
bisa terhindarkan, perkawinan marlojong ini pun banyak pula sekarang
dipergunakan oleh muda-mudi di Padang Lawas.
Jadi, marlojong ‘kawin lari’ ini sebenarnya merupakan jalan pintas

terakhir yang dilakukan seorang pemuda karena adanya hambatan serta rintangan
yang terjadi, terutama karena kekurangsetujuan dari pihak orang tua dan keluarga
si anak gadis terhadap si pemuda tersebut.

2.2

Teori yang Digunakan
Teori berasal dari bahasa Yunani theoria yang berarti kebetulan alam atau
realita.

Teori

diartikan

sebagai

kumpulan

konsep


yang

telah

teruji

keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam
penelitian. Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar
untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan
landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam skripsi ini akan
terjawab. Teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori semiotik
yang dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure.
Saussure (Sobur, 2003:12) mengatakan semiotik merupakan sebuah ilmu
yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat. Sebuah tanda tidak
hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan

Universitas Sumatera Utara

konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan
sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.

Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Saussure (1857-1913). Dalam teori
ini semiotik dibagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier), Penanda dilihat
sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud benda, sedangkan
petanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilainilai yang terkandung di dalam upacara adat tersebut. Menurut Saussure, tanda
terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar yang disebut signified atau petanda.
Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi: penanda atau petanda: signifier
atau signified. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tanda bahasa yang konkrit,
kedua unsur diatas tidak boleh dilepaskan. Suatu penanda tanpa petanda tidak
berarti apa-apa dan karena tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda tidak
mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang
ditandakan itu termasuk tanda itu sendiri, dengan demikian merupakan faktor
linguistik. Penanda atau petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi pada sehelai
kertas, Saussure (Sobur, 2003:46). Meskipun antara penanda atau petanda tampak
sebagai identitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai
komponen tanda.
Indaham tungkus (dalam upacara adat perkawinan)

Kebesaran hati
(petanda)


(penanda)

Universitas Sumatera Utara

Teori yang dikemukakan oleh Saussure sesuai dengan objek penelitian
yang penulis teliti. Tanda yang dimaksud oleh Saussure merupakan indahan
tungkus yang digunakan dalam upacara adat perkawinan, sedangkan kebesaran
hati merupakan petanda dari indahan tungkus. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure
untuk menganalis tanda dan makna dalam upacara adat perkawinan pada
masyarakat Mandailing.

Universitas Sumatera Utara