Peranan Perempuan Peduli Pedila Medan Dalam Mendampingi Pekerja Seks Komersial Di Losmen Sinabung Medan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perdagangan perempuan merupakan bisnis global yang sangat laris dan
mengalami pertumbuhan yang cepat. Industri ini dapat menghasilkan lebih dari enam miliar
dolar pertahun. Hasrat dan kesenangan atas tubuh perempuan dan anak dibingkai ,dibentuk,
diperdagangkan dan dimodifikasikan melalui jejaring politik-ekonomi global khususnya
dikaitkan dengan turisme internasional.
Di Indonesia, asal-usul pelacuran modern dapat ditelusuri kembali hingga kemasa
kerajaan-kerajaan jawa dimana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian
pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa
berdiri ditahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan
Kesunanan Yogyakarta. Raja mempunyai kekuasaan penuh.”Seluruh yang ada di atas tanah
Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun dan segala sesuatunya
adalah milik raja”. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir
yang dimilikinya. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang
terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah seperti ini
masih merupakan legenda sampai saat ini (Hull,1997:1-2).
Terdapat 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai sumber wanita
pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang,

Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan
Lamongan di Jawa Timur (Koentjoro,2004:98). Sistem feodal tidak sepenuhnya
menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti yang kita kenal dalam
masyarakat medern saat ini, tapi apa yang dilakukan pada masa itu telah membentuk landasan
1

Universitas Sumatera Utara

bagi perkembagan industri seks yang ada sekarang ini. Bentuk industri seks yang lebih
terorganisir berkembang lebih pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut
terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang di laksanakan untuk
memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa (Hull,1997:3).
Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia,
karena telah menempatkan diri mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara sosial,
tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu
da sosial. Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang selama pendudukan Jepang
antara 1941-1945. Wanita yang telah bekerja sebagai wanita penghibur dikumpulkan dan
setelah menjalani pemeriksaan kesehatan,sebagian dari mereka di tempatkan di rumah-rumah
bordil untuk melayani para prajurut Jepang, sementara lainnya tetap beroperasi ditempat
biasanya (Hull,1997:4).

Pada masa pendudukan jepang, banyak perempuan dewasa dan anak-anak sekolah
yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia pelacuran. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan
dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota kota besar di Indonesia lainnya kepada
sejumlah pelajar perempuan. Banyak calon yang berparas menarik dan cerdas yang berasal
dari kalangan atas untuk mencoba tawaran dari pihak Jepang ini. Kondisi para perempuan
pekerja seks selama masa penjajahan Belanda berbeda apabila dibandingkan dengan kondisi
kelompok yang sama pada masa panjajahan Jepang (Hull,1997:13).
Perempuan yang menjadi pelacur pada kedua masa penjajahan, unumnya lebih
menyukai kehidupan yang lebih tentram pada masa penjajahan Belanda, karena pada masa itu
banyak “ sinyo” yang memberi mereka hadiah berupa pakaian, uang, dan perhiasan dan
bahkan ada yang menyediakan tempat tinggal. Sebaliknya, berdasarkan ingatan mereka, pada
masa perang dan pendudukan Jepang, pekerjaan mereka terasa sulit. Mereka menuduh para
pejabat dan prajurit Jepang sangat kasar dan kikir (Hull,1997:15).
2

Universitas Sumatera Utara

Pernyataan ini merupakan pernyataan dan reaksi dari para wanita yang menyatakan
dirinya sebagai kaum profesional yang menjalani pekerjaan dan mencari kehidupan sebagai
pelacur pada dua periode penjajahan yang berbeda, dan bukan sebagai budak seks yang

terperangkap di barak-barak penampungan atau terpaksa berkerja si rumah bordil selama
masa penjajahan Jepang. Harus di asumsikan bahwa kegiatan prostitusi tetap di cela
masyarakat baik selama masa damai dan masa perang, dan pada periode penjajahan maupun
merdeka. Contoh kecil perilaku moralistik yang dimuat dalam surat kabar, telah
dipublikasikan menjelang berakhirnnya masa kolonialisme, ditulis oleh pejabat senior
Belanda di Batavia (Hull,1997:15).
Salah satu bahaya yang dihadapi masyarakat timbul sebagai akibat dari penundaan
perkawinan dimana akan mempengaruhi perilaku para laki- laki muda yang berupaya untuk
melakukan uji coba kemampuan seksualitasnya dengan para pelacur. Kenyataanya, adalah
biasa diantara kaum intelektual muda untuk tidak hanya menunda masa perkawinannya tetapi
juga hidup bersama dengan wanita yag bekerja aktif sebagai PSK. Artinya penundaan masa
perkawinan terhambat dan terancam oleh penularan penyakit kelamin. Sebaliknya untuk
kelompok masyrakat kelas bawah yang umumnya melaksanakan perkawina diusia muda
secara terus menerus berproduksi dengan angka peningkatan kelahiran yag cepat dan sangat
kecil kemungkinannya untuk dipengaruhi oleh faktor-faktor penularan penyakit kelamin. Dan
hal ini lah yang berulang yang terjadi pada masyarakat di era yang modern ini.
Kondisi tersebut dapat diidentifikasikan melalui nilai-nilai perempuan sebagai barang
dagangan yang diperjual-belikan untuk memenuhi tuntutan nafsu lelaki dan untuk
menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran. Perkembangan zaman dewasa ini, telah
merubah standarisasi kehidupan manusia. Kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi

dan urbanisasi menyebabkan kesulitan beradaptasi dan menyebabkan kebingungan,
kecemasan, dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang
3

Universitas Sumatera Utara

tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola
tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum atau berbuat semau sendiri demi
kepentingan pribadi.
Adat istiadat dan kebudayaan mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional
terhadap tingkah laku anggota masyarakat. Sehingga tingkah laku yang dianggap tidak cocok
melanggar norma dan adat-istiadat atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum
dianggap sebagai masalah sosial (Kartono, 2005:2). Salah satu bentuk penyimpangan norma
(penyakit masyarakat) yang dianggap sebagai masalah sosial adalah prostitusi, yang
mempunyai sejarah yang panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh normanorma perkawinan) dan tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua negara di dunia.
W.A. Berger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie menulis
defenisi bahwa Prostitusi merupakan gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri,
melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Ini menunjukkan bahwa
Pelacuran atau prostitusi adalah peristiwa penjualan diri dengan menjualbelikan badan,
kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu dengan imbalan

atau bayaran. PSK sangat erat kaitannya dengan seks bebas. Sekarang seringkali ditemukan
seks bebas pada remaja yang disebabkan beberapa faktor seperti kemiskinan, tekanan dari
diri sendiri maupun pasangan, adanya kebutuhan badaniah, rasa penasaran ataupun
pelampiasan diri.
Kita dapat melihat bahwa alasan penting yang melatarbelakangi adalah kemiskinan
yang sering bersifat struktural. Badan Pusat Statistik mencatat penduduk miskin Indonesia
pada september 2013 mencapai 28,55 juta orang (11,47 %) atau meningkat 0,48 juta orang
dibandingkan dengan penduduk miskin pada maret 2013 tercatat 28,07 juta orang (11,37%).
Khusunya Badan Pusat Statistik kota Medan mencatat jumlah penduduk kota medan tahun

4

Universitas Sumatera Utara

2013 sekitar 2.121.053 jiwa dan Keluarga (KK) yang terjebak di bawah garis kemiskinan
32.804 KK (7,13%) sekitar 143.037 jiwa (BPS online : 2014)
Struktur kebijakan tidak memihak kepada kaum yang lemah sehingga yang miskin
semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Memburuknya kemiskinan pada wanita, baik
akibat status yang rendah ataupun penurunan kondisi perekonomian global, berpengaruh
terhadap meningkatnya pelacuran. Strategi pembangunan secara umum yang diberlakukan

pemerintah dapat diharapkan akan mempengaruhi aktivitas pelacuran secara tidak langsung,
melalui dampak implementasinya pada sisi permintaan dan penawaran akan layanan-layanan.
Bisa saja kesenjangan pendapatan seperti halnya kemiskinan telah melahirkan pelacuran
dimana para laki-laki pelanggannya biasanya adalah mereka yang berasal dari kelompok
menengah, sedangkan para pelacur potensial ini adalah para perempuan yang berasal dari
kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Selain itu kesenjangan pendapatan antar daerah
telah menjadi penyebabnya. Namun, terkonsentrasi pendapatan terbesar ditangan segelintir
konglomerat raksasa dan pencari keuntungan yang punya koneksi politik kuat telah
merugikan kehidupan sebagian masyarakat. Maka proses pembangunan yang sedang berjalan
di Indonesia dewasa ini tidak dapat diharapkan banyak untuk membantu mengurangi
keterlibatan wanita dalam dunia pelacuran.
Selain kemiskinan salah faktor pendorong yang membuat seseorang menjadi PSK
adalah tidak tersedianya lapangan kerja khusus nya bagi wanita muda dan tua. Akhirnya
mereka memilih jalan instant untuk memperoleh pundi-pundi uang yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Penawaran tenaga kerja baik di sektor industri seks
‘formal’ maupun ‘informal’ meningkat karena ketidakmampuan sektor ekonomi formal
membayar imbalan jasa (gaji) yang memadai kepada para pekerja-terutama pekerja wanita.
Contohnya, sejumlah pekerja kelas bawah dalam industri tekstil, garmen, rokok, elektronik

5


Universitas Sumatera Utara

dimana sebagian dari pekerja tersebut adalah perempuan muda tidak cukup menghasilkan
uang untuk menutupi biaya hidupnya sendiri apalagi harus menopang keluarga lainnya.
Pekerja wanita dibayar lebih rendah daripada perkerja laki-laki pada kelompok usia
dan pendidikan yang sama. Hasil studi Bank Dunia ini mendukung temuan ILO (International
Labor Office) (White 2012) bahwa tenaga kerja perempuan dalam industri manufaktur
menerima gaji yang sangat rendah, tetapi mempunyai jam kerja yang panjang dan
menghadapi masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi. Tenaga kerja pada semua
jenis jabatan yang hanya menghasilkan pendapatan lebih rendah mempunyai potensi lebih
besar untuk mencari pendapatan tambahan nseks pada sore hari dengan maksud mencari
tambahan pendapatan.
Faktor lainnya yang mendorong seorang perempuan memutuskan untuk menjadi
seorang PSK adalah faktor kekerasan seksual maupun fisik da psikis yang di alami pada
perempuan yang berumah tangga atau perempuan yang di bawah umur. Hal ini di buktikan
dengan data yang oleh lembaga lembaga yang berkecimpung pada isu perempuan. Salah satu
lembaga tersebut adalah Komisi Nasional perlindungan Perempuan. Komnas perlindungan
perempuan mencatat pada tahun 2013 terjadi sekitaa 279.769 kasus, jika di bandingkan
dengan tahun 2012 terjadi peningkatan sebanyak 63.608 kasus. Kekerasan perempuan

tersebut mayoritas berbentuk kasus kekerasan seksual. Melihat jumlah perempuan yang
mengalami kekerasan seks ini di perlukan kebijakan yang harus di lakukan pemerintah,
kebijakan tersebut mencakup sistem penghukuman bagi pelaku dan rehabilitasi pada korban.
Saat ini masih banyak korban kekerasan seksual yang mengalami trauma dan tidak mampu
melaporkan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya kepada penegak hukum.
Keengganan dan ketidakmampuan ini lebih banyak karena stigma di masyarakat, perempuan
dianggap sebagai pihak yag bersalah.

6

Universitas Sumatera Utara

Menurut data Komnas perlindungan perempuan kekerasan terhadap perempuan terjadi
diranah domestik hingga ruang publik,kekerasan seksual dalam rumah tangga sekitar 26%
dan kekerasan seksual dalam ruang publik sekitar 56%. Banyak contoh kasus kekerasan
perempuan salah satu nya adalah seorang laki laki (suami) yang menjual perempuan (istrinya)
kepada germo untuk di jajahkan, penyebab terjadi kasus ini adalah lagi lagi karena terhimpit
ekonomi. Dan ketiga faktor ini akan saling berkorelasi untuk menjerumuskan perempuan
menjadi seorang PSK (http/www.kabar3.com/news/2014/03/kekerasan-seksual-mencapai279769-kasus, Diakses tanggal 30 april 2014 pukul 23.00).
Peranan pemerintah untuk memperhatikan para PSK sangatlah penting. Pemerintahlah

yang paling berperan aktif dalam hal ini, walaupun tidak terlepas juga kerjasama dari pihak
swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Melihat persoalan yang dihadapi para pekerja seks
yang ingin bertobat namun terpaksa terjun ke dunia pelacuran karena keadaan ekonominya
yang sangat minim, maka pemerintah harus lebih serius dalam melihat hal ini. Salah satu
program yang dilakukan pemerintah dan pihak swasta ataupun lembaga swadaya masyarakat
adalah program pendampingan.
Pendampingan sebagai suatu strategi yang umum digunakan oleh pemerintah dan
lembaga non profit dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas dari sumber daya manusia,
sehingga mampu mengindentifikasikan dirinya sebagai bagian dari permasalahan yang
dialami dan berupaya untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.
Kemampuan sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh keberdayaan dirinya sendiri.
Kaitannya

denganPSK,

sebagai

satu

komunitas


lokalisasi

dan

memiliki

berbagaimacam karakteristik ketergantungan yang bervariasi terhadap satu dengan
yanglainnya,

berbagai

ketidakmampuanmengatasi

potensi-potensi
masalahnya

yang

sendiri,


dimiliki

akhirnya

tertimbun

banyak

oleh

mengakibatkan

7

Universitas Sumatera Utara

ketidaktahuanterhadap

resiko

pekerjaan

yang

dilakukan.

Oleh

karena

itu

kegiatanpendampingan sebagai upaya strategis sangat menarik untuk dikembangkankepada
wanita PSK di lokalisasi. Keterlibatan PSK sebagaidampingan yang membutuhkan
pengetahuan dan informasi tentang resiko daripekerjaannya, sangat dipengaruhi oleh tenaga
pendamping (Outreach worker) dilapangan yang berperan sebagai fasilitator, komunikator
dan dimanisator.
Selain Pemerintah yang telah fokus dalam pendampingan PSK, ada pihak lain yang
juga berperan dalam pendampingan PSK yaitu Lembaga swadaya masyarakat. Dan salah satu
lembaga swadaya masyarakat yang melakukan program pendampingan terhadap PSK adalah
lembaga Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M). Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M)
berdiri pada tanggal 21 April 2012 yang diinisiasi oleh 3 (tiga) orang, satu ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS dan 2 OHIDHA (Orang Yang Hidup Dengan HIV/AIDS) yang mana dua
diantaranya adalah mantan pekerja seks. Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) memandang
bahwa kehadiran PSK bukanlah hasil pilihan pribadi ataupun berkaitan dengan moral
seseorang, namun keberadaan perempuan pada dunia pelacuran merupakan korban dari
industri seks yang membutuhkan tubuh perempuan dan anak sebagai barang yang
didagangkan.
Dalam menangani masalah PSK, Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) melakukan
program pendampingan dan penjangkauan. Program pendampingan ini dengan cara
memberikan motivasi kesadaran diri dari unsur luar pribadi PSK sehingga melalui
pendampingan ini dampingan dapat mengembangkan potensi dalam dirinya menjadi manusia
utuh, menumbuhkan rasa kesetiakawanan pada sesama PSK dan akhirnya memampukan diri
untuk berperan dalam lingkungan masyarakat. Dengan cara ini, Perempuan Peduli Pedila
Medan (P3M) secara perlahan-lahan menarik para PSK agar segera bertobat dan
meninggalkan pekerjaan haramnya tersebut. P3M juga memberikan solusi bahkan tawaran
8

Universitas Sumatera Utara

pekerjaan yang tepat kepada si PSK sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki si
PSK. Sampai saat ini ada 42 wilayah dampingan P3M di kota Medan. Salah satu wilayah
yang menjadi fokus dampingan P3M adalah Losmen Sinabung yang berlokasi di Jl. Rupat
Sambu Medan.
Losmen Sinabung adalah satu dari tujuh losmen di Sambu yang dijadikan tempat
lokalisasi pelacuran. Jumlah PSK yang ada di Losmen Sinabung sampai saat ini adalah 24
orang yang terdiri dari beragam usia mulai dari 17 tahun hingga 40 tahun, dan rata-rata telah
berkeluarga. Ada empat bentuk program pendampingan yang dilakukan Perempuan Peduli
Pedila Medan di Losmen Sinabung yaitu Outreach Kondom, Pelayanan Klinik VCT
(Voluntary Counseling and Testing), Konseling Trauma Seksual CBT , Pemberian Pelatihan
Keterampilan . Keempat program pendampingan ini dilakukan untuk meminimalisir hal-hal
terburuk yang terjadi pada PSK seperti HIV/AIDS, IMS, dan lain-lain.
Beranjak dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai “Peranan Perempuan Peduli Pedila Medan Dalam
Mendampingi Pekerja Seks Komersial Di Losmen Sinabung Medan.”

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, masalah penelitian
dirumuskan sebagai berikut “bagaimanakah peranan Perempuan Peduli Pedila Medan dalam
mendampingi Pekerja Seks Komersial di Losmen Sinabung”.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Peranan

Perempuan Peduli Pedila dalam mendampingi Pekerja Seks Komersial di Losmen Sinabung.
9

Universitas Sumatera Utara

1.3.2

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
a. Bagi penulis, dapat mempertajam kemampuan menulis dalam penulisan karya
ilmiah, menambah pengetahuan dan mengasa kemampuan berpikir penulis dalam
menyikapi dan menganalisis permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat,
khususnya permasalahan PSK.
b. Bagi fakultas, dapat memberikan sumbagan yang positif dalam rangka
pengembagan konsep-konsep dan teori-teori keilmuan mengenai permasalahan
sosial PSK yang dikembangkan oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
khusunya, serta dapat bermanfaat.
c. Bagi praktisi, dapat menambah wawasan mengenai permasalahan PSK dan
mampu memberikan masukan terhadap upaya penanganan sehingga PSK tidak
kehilagan haknya dan mampu menjalin kembali keberfungsian sosialnya dan
dapat mengembalikan kepercayaan dirinya di tengah-tengah masyarakat.

10

Universitas Sumatera Utara

1.4. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam 6 bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakag masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematikan penulisan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini menguraikan secara teoritis variabel-variabel yang diteliti,
kerangka pemikiran, defenisi konsep, dan defenisi operasional.

BAB III

METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian,
populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis
mengadakan penelitian.

BAB V

ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan
analisisnya.

BAB VI

PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitin yang dilakukan.
11

Universitas Sumatera Utara