Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, 1960-1992

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada masa kolonial di Simalungun tahun 1907 terdiri atas 7 kerajaan yaitu
Kerajaan Panei, Kerajaan Dolog Silou, Kerajaan Silimakuta, Kerajaan Purba,
Kerajaan Raya, Kerajaan Siantar dan Kerajaan Tanah Jawa. Masing-masing luas
wilayah swapraja Simalungun adalah

Panei 47.400 hektar, Dolog Silou 35.160

hektar, Silimakuta 25.000 hektar, Purba 23.270 hektar, Raya 58.900 hektar, Siantar
93.510 hektar, dan Tanah Jawa 158.140 hektar.1 Kerajaan Tanah Jawa dipimpin oleh
marga Sinaga dengan wilayah bagian Timur perbatasan dengan Kabupaten Asahan
sampai kepegunungan Simanuk-manuk terus ke Laut Tawar (pinggiran Danau Toba)
sekitar daerah Panahatan Parapat.2
Kerajaan Tanah Jawa dulunya terletak di Pematang Tanah Jawa dan saat ini
menjadi Desa Pekan Tanah Jawa di Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun
Provinsi Sumatera Utara. Tujuh Kerajaan Simalungun bersifat tradisonal yang
terdapat di Simalungun dapat takluk kepada Belanda, namun sistem kemasyarakatan
yang sudah dijalankan tidak segera dihapus dan bahkan memanfaatkan hal tersebut
demi kepentingan oleh kolonial sendiri. Masuknya kekuasaan Kolonial di


1

J. Tideman, Simalungun, Pematangsiantar : Media Group, 2012, hlm. 2.

2

Jahutar Damanik, Raja SangNaualuh, Medan : Medio, 1981, hlm 7.

Universitas Sumatera Utara

Simalungun membawa dampak perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial serta
dapat dilihat dari dibangunnya sejumlah kantor meliputi kantor pengadilan, rumahsakit, dan sekolah. Didukung lagi dengan potensi tanah yang terdapat di wilayah
Simalungun terkhusus di daerah Simalungun Bawah yakni kerajaan Tanah Jawa dan
kerajaan Siantar merupakan daerah yang sangat subur sehingga cocok dibuka untuk
perkebunan. Dengan dibukanya perkebunan ini akan membutuhkan banyak tenaga
kerja, maka didatangkan para migran ke wilayah ini baik Suku Jawa dari luar
Sumatera dan Suku Batak Toba dari Tapanuli Utara, serta suku-suku yang lainnya3.
Berbeda dengan suku yang lain, Suku Batak Toba sengaja di datangkan ke wilayah
ini untuk solusi dalam persoalan pangan.

Banyaknya jumlah buruh perkebunan memaksa pengusaha perkebunan
menyediakan beras dalam jumlah yang besar bagi buruh perkebunan, sehingga
dibukalah persawahan di Simalungun. Melihat sikap penduduk asli Simalungun yang
kurang dalam pemenuhan kebutuhan onderneming dan lebih menyukai lahan kering,
akibatnya Belanda mendatangkan orang Toba untuk tinggal menetap dan membuka
persawahan baru. Banyaknya para migrasi yang mengalir ke wilayah Tanah Jawa
mengakibatkan mayoritas penduduk Tanah Jawa adalah dominan dari suku
pendatang. Warga Batak Toba sudah hampir mendiami sebahagian besar wilayah
Simalungun. Migrasi itu terjadi didorong oleh berbagai faktor yakni yang pertama
dari pihak kolonial Belanda yang sengaja mendatangkan Batak Toba ke wilayah ini
3

Suku Mandailing, Minang (Padang) dan Cina.

Universitas Sumatera Utara

dalam persoalan pangan, tidak lepas dengan daya tarik yang dibuat oleh pihak
kolonial Belanda. Pemerintah memberikan jabatan kepada bagi yang berhasil
membawa beberapa keluarga pindah ke wilayah ini dengan jabatan kepala rodi
diberikan kepada mereka yang berhasil membawa 5 kepala keluarga, pangulu dengan

membawa 7 kepala keluarga, dan raja ihutan dengan membawa 50 kepala keluarga.4
Yang kedua dari orang batak toba sendiri untuk mencari lapangan kerja baru
mengingat tanah yang terdapat di daerah asal (Tapanuli Utara) kurang produktif
dibandingkan dengan kesuburan tanah di wilayah Simalungun terutama dalam
bercocok tanam. Yang ketiga dari pihak missionaris yang berusaha mengabarkan Injil
ke wilayah Simalungun dengan memanfaatkan tenaga putera Tapanuli Utara 5. Pada
abad 19 sudah banyak masyarakat Simalungun yang menganut agama Islam, yakni
daerah Siantar (Tuan SangNaualuh sudah masuk agama Islam), Tanah Jawa, Tanjung
Kasau. Hal ini sangat mencemaskan pemerintah kolonial Belanda karena semakin
meluasnya penetrasi

Islam atas Simalungun yang akan mempersulit ambisi

kolonialisme, serta badan penyebaran Injil Kristen juga takut kalau perembesan Islam
yang makin kuat akan mempersulit upaya mereka untuk mengkristenkan daerah yang
masih banyak menganut agama suku.6

4

Batara Sangti, Sejarah Batak, Balige : Karl Sianipar Company, 1977, hlm. 180.


5

J. Tideman, Simalungun, op.cit, hlm. 161.

6

Andri Ersada Tarigan, Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen: Peranannya Dalam
Pelestarian Budaya Simalungun Dan Penyebaran Agama Kristen (1928-1942), Medan : Skripsi
Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, hlm 24.

Universitas Sumatera Utara

Migrasi yang dilakukan Batak Toba juga sebagai cara mewujudkan misi budaya
yang melekat pada diri orang Batak Toba yaitu Hagabeon, Hasangapon dan
Hamoraon. Proses migrasi Batak Toba juga tidak terjadi secara serempak, tetapi
mereka meninggalkan kampung halamannya secara bertahap. 7 Dalam masyarakat
agraris, tanah merupakan produksi yang sangat penting. Begitu juga dalam sisitem
nilai Batak Toba tradisonal jika memiliki tanah terutama persawahan memberi status
yang tinggi bagi mereka. Tanah merupakan salah satu alat untuk mencapai sangap

(wibawa sosial). Semakin besar jumlah tanah yang dimiliki oleh suatu keluarga maka
akan sangap atau wibawa sosialnya akan tinggi di dalam masyarakat tersebut.
Sementara pengolahan persawahan merupakan sumber kehidupan utama di daerah
asal (Toba). Orang hanya bisa mengolah sawah di lembah atau di muara sungai. Di
sini (Toba) memang tanah di pakai secara optimal, karena jumlah penduduk semakin
bertambah (orang Toba suka dengan keluarga besar) maka pada suatu ketika harus
dicari lahan baru. Orang Batak Toba menggunakan kesempatan ini untuk menduduki
dan mengolah tanah-tanah kosong di Tanah Jawa dan melihat penduduk Tanah Jawa
dapat dikatakan tergolong sedikit serta memiliki wilayah yang subur. Tidak terlepas
dari itu, mengingat bahwa Suku Batak Toba adalah sebagai masyarakat pendatang
mereka juga harus menyesuaikan diri dengan kondisi fisik maupun kondisi sosial di
tempat mereka yang baru, yang sudah tentu suasananya akan berbeda dibandingkan
dengan tempat asal mereka. Faktor inilah kemudian yang melahirkan budaya dinamis

7

O.H.S. Purba dan Elvis F Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak) : sebab, motif dan
akibat perpindahan penduduk dari Dataran Tinggi Toba, Medan : Monora, 1997, hlm 21.

Universitas Sumatera Utara


bagi orang Tapanuli yakni merantau (mangaranto) dengan meninggalkan tanah
kelahiran untuk pergi ke daerah lain.
Di Tanah Jawa mereka membuka hutan dan mengolah rawa-rawa menjadi areal
pertanian dan persawahan. Jalan-jalan dibuka disepanjang saluran air utama dan
untuk menghubungkan antarkampung. Mereka membuka hutan dan mendirikan
rumah-rumah sederhana dan membuka juma (lahan), dengan semakin bertambahnya
penduduk yang datang, mereka kemudian membangun perkampungan di sekitar
perladangannya. Disamping itu, dengan adanya perkebunan di daerah Tanah Jawa
yang sekaligus juga menjadi kesempatan bagi orang Batak Toba terdidik
mendapatkan pekerjaan di daerah itu. Sementara untuk mengusahakan swasembada
pangan, pihak Belanda justru memfasilitasi usaha pertanian orang Batak Toba
dulunya dengan membuka irigasi seperti di Juma Saba yang telah dibangun tali air
permanen pada tahun 1910.8
Migrasi Batak Toba tahun 1917 sudah mencapai 11.250 orang, tahun 1919 sudah
mencapai 12.840, tahun 1920 sudah mencapai 12.4% (21.823 orang) dan tahun 1930,
jumlah penduduk Batak Toba yang sudah bermukim di onderafdeling Simalungun
sudah mencapai 45.603 orang, dari seluruh penduduk Simalungun. 9

Besarnya


migrasi Suku Batak Toba dan Suku Jawa menjadikan mereka penduduk yang
dominan di wilayah Tanah Jawa.

8
9

Batara Sangti, op.cit, hlm. 179.
J Tideman, op.cit, hlm 158.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum tahun 1960 terdapat gejolak di wilayah Simalungun. Pada maret 1942
kolonial Belanda menyerah kepada Jepang.10 Simalungun dijadikan sebuah gunseibu
(kabupaten)

yang

membawahi


huku

gunco

(kecamatan).

11

Jepang

tidak

menghapuskan sistem pemerintahan kerajaan dan Raja-raja masih tetap berkuasa,
namun berada dalam pengawasan militer Jepang. Pada tahun 1945 dengan
dicetuskannya proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kebenarannya disampaikan
oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan di Sumatera Timur. Rakyat yang sudah
mendengar

hal


tersebut

semakin

terbakar

semangatnya

untuk

melakukan

kemerdekaan di daerahnya. Terutama bagi kaum muda yang masuk dalam militer
Jepang yang disebut Heiho yang berfungsi sebagai tentara pembantu pasukan Jepang
dan sebagai lasykar rakyat yang memiliki kemampuan untuk bertempur di lapangan.
Tokoh-tokoh politik, lasykar rakyat dan organisasi menyerukan kepada rakyat untuk
berjuang melawan yang dianggap musuh-musuh Republik. Pada Maret 1946 terjadi
Revolusi Sosial 12 di Simalungun, Kerajaan-kerajaan yang sudah berdiri lama di
Simalungun menjadi sasaran utama dan hancur dalam beberapa hari saja. Pada
tanggal 19 Januari 1948 Simalungun masuk dalam NST dan pada tahun 1950 NST


10

Anthony J.S Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996,

hlm. 15.
11

Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia,
Mei 2001, hal. 46 .
12

Moerdiono, dkk, Denyut Nadi Revolusi Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1997, hlm. 4. Pengertian Revolusi Sosial terdapat dalam dua persepsi yakni persepsi pertama bahwa
revolusi akan berwujud perubahan cepat dan mendasar dalam berbagai bidang, namun agar tetap
bersifat konstruktif revolusi harus tetap dikendalikan oleh akal sehat dan kepala dingin dan persepsi
kedua bahwa revolusi sungguh-sungguh akan bersifat revolusioner, ia harus merupakan suatu
penjungkirbalikan dan pendobrakan segala nilai lama sampai ke akar-akarnya.

Universitas Sumatera Utara


(termasuk Simalungun) masuk ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Hancurnya kerajaan di Simalungun dan masuknya wilayah Simalungun
dalam NKRI membawa dampak terhadap Suku Batak Toba yang banyak melakukan
migrasi ke berbagai daerah terutama Simalungun Bawah (Tanah Jawa) areal
persawahan yang cocok untuk bertani. Pada tahun 1960 dengan ditetapkannya
U.U.P.A.No.5 (Undang-undang Pokok Agraria) tentang “tidak ada lagi tanah
Swapraja” tidak menurunkan niat migrasi batak toba ke Tanah Jawa.
Dengan demikian penelitian ini akan membicarakan tentang Suku Batak Toba
di Tanah Jawa Kabupaten Simalungun 1960-1992. Dalam masalah ini yang akan
dibahas adalah kedatangan (migrasi) Batak Toba serta perkembangannya. Penelitian
ini dimulai tahun 1960 didasarkan pada banyaknya Suku Batak Toba melakukan
perpindahan ke Kecamatan Tanah Jawa meskipun telah ditetapkan U.U.P.A.No.5
Tahun 1960 dimana tidak ada lagi tanah Swapraja. Maksudnya bahwa untuk
mendapatkan tanah di wilayah Tanah Jawa tidak seperti semasa Kerajaan Tanah Jawa
dengan membuka hutan dan rawa-rawa untuk dijadikan lahan pertanian dan dianggap
menjadi miliknya melainkan mereka harus membeli tanah kepada masyarakat yang
tinggal di wilayah tersebut. Sementara itu, tahun 1992 adalah berkurangnya luas
wilayah dari kecamatan Tanah Jawa yang terbagi ke wilayah Hutabayu Raja (hasil
pemekaran kecamatan dari Kecamatan Tanah Jawa). Berdasarkan uraian di atas,
maka penelitian ini akan diberi judul “Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah
Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara 1960-1992”.

Universitas Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah
Masyarakat Tanah Jawa adalah dominan suku pendatang. Berdasarkan latar
belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, untuk mempermudah penulis dalam
melakukan penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalah yang dibahas, maka
pokok permasalahan akan dibahas sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi Kecamatan Tanah Jawa sebelum bermigrasinya suku
Batak Toba tahun 1960?
2. Bagaimana latar belakang migrasi suku Batak Toba ke Kecamatan Tanah
Jawa Kabupaten Simalungun tahun 1960-1992?
3. Apa pengaruh yang diakibatkan dengan bermigrasinya suku Batak Toba di
Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun 1960-1992?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penulisan yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang
dicapai. Pada dasarnya penulisan ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.

Menganalisis kondisi Kecamatan Tanah Jawa sebelum bermigrasinya
suku Batak Toba tahun 1960.

2.

Menganalisis latar belakang yang menjadi alasan bermigrasinya
masyarakat batak toba ke Tanah Jawa.

Universitas Sumatera Utara

3.

Untuk mengetahui pengaruh yang diakibatkan dari proses migrasi Batak
Toba bagi masyarakat asli (Simalungun) dan masyarakat pendatang
(Batak Toba).
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk dapat memberikan gambaran yang jelas tentang terjadinya migrasi
Batak Toba ke Tanah Jawa.
2. Memberikan informasi mengenai proses dan dampak mangaranto orang
Batak Toba.
3. Menambah literatur dalam penulisan sejarah guna membuka ruang
penulisan sejarah lainnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Kepustakaan yang terkait dengan penelitian ini yang dapat dijadikan sebagai
referensi adalah Rudolf Purba, JE.Saragih (at.al.), dalam bukunya berjudul
“Peradaban Simalungun : Intisari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia
Pertama Tahun 1964”, 2011, menjelaskan bahwa banyaknya suku pendatang yang
bermigrasi memaksakan untuk membuat kebijakan dalam pembagian tanah pertanian.
Pembagian tanah Swapraja berdasarkan hukum adat hak menguasai tanah adalah
sesuatu hak menguasai yang sesuai dengan konversi. Setelah swapraja dihapuskan
(1950), konversi menjadi hak milik begitu juga dengan di wilayah Tanah Jawa.
Masyarakat yang tinggal di Tanah Jawa lebih menghargai tanahnya dari pada yang

Universitas Sumatera Utara

tinggal di Dolok Silou, sehingga tanah yang diusahakan di Tanah Jawa dalam
pertanian tersebut diakui sebagai hak milik perseorangan. Buku ini sangat membantu
dan bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui pembagian tanah pertanian di wilayah
Kecamatan Tanah Jawa.
Karya lain adalah Juandaha Raya P. Dasuha dan Martin Lukito Sinaga, dalam
bukunya yang berjudul “TOLE! DEN TIMORLANDEN DAS EVANGELIUM! :
Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003”
(2003) menjelaskan bahwa ketika pemerintahan kolonial Belanda berkuasa,
Simalungun menjadi wilayah swapraja dan adanya struktur sosial-ekonomi modern
melalui onderneming/perkebunan asing yang menyebabkan banyaknya para migran
masuk ke wilayah ini dan bertambah sesak dunia orang Simalungun. Banyaknya para
migran mengakibatkan adanya penyerapan kebudayaan dan sistem kehidupan
pendatang oleh suku Simalungun. Terutama pada kehadiran RMG dan para pekabar
Injil HKBP datang dengan kehidupan kulturnya, karena pendidikan yang telah
mereka tempuh dan memberi kemajuan (Hamajuan) Injil dan pendidikan kepada
orang Simalungun. Suku Simalungun mulai mendengar Injil dengan sungguhsungguh, menjadi kristen dan menerjemahkan berita sukacita itu kedalam bahasa
Simalungun.

Terlebih

lagi

ketika

GKPS

berdiri

sendiri

dan

lepas

dari

HKBPSimalungun. Buku ini sangat bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui
perkembangan agama (pekabaran Injil) di wilayah Simalungun.

Universitas Sumatera Utara

Karya lain adalah O. H. S. Purba dan Elvis F. Purba, dalam bukunya yang
berjudul “Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak) Sebab, Motif, dan Akibat
Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba”(1997) menjelaskan bahwa orang
Batak Toba pada mulanya berdiam di sekitar danau Toba. Bagi orang Batak Toba,
tanah merupakan salah satu faktor produksi yang paling penting dan sumber
penghasilan utama. Begitu pula adat- istiadat berhubungan erat dangan tanah dan
usaha pertanian tersebut. Akibatnya lahan pertanian sudah mulai terasa sempit
disebabkan peningkatan jumlah penduduk. Penyebaran etnis Batak Toba ke luar
daerah Tapanuli Utara melebihi jumlah penduduk yang ada di daerah asal.
Pertambahan penduduk yang pesat di Tapanuli menimbulkan tekanan terhadap lahan
pertanian dan perkampungan. Lahan yang semakin sempit dan kurang subur menjadi
salah satu alasan mengapa orang Batak Toba berpindah. Selain itu keluarga- keluarga
muda yang baru berumah- tangga (Manjae) mendorong penduduk mendirikan rumahrumah baru dan bahkan membuka kampung baru. Kampung baru yang telah di buka
menciptakan perpencaran dan jauh dari kampung induknya. Mereka mulai menyebar
ke daerah yang lebih jauh di luar batas budaya sendiri Inilah yang disebut dengan
Marserak. Seiring dengan perkembangan zaman, Marserak mengandung pengertian
yang luas. Selain dari menyebar (perpindahan dari kampung halaman keluar wilayah
budaya sendiri), marserak memiliki arti mobilitas sosial dan ekonomi, pendidikan.
Kemajuan zaman yang berkembang dan kebutuhan manusia yang semakin banyak
menyebabkan pola hidup penduduk harus disesuaikan dengan perkembangan zaman

Universitas Sumatera Utara

tersebut. Oleh karena itu, buku ini sangat bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui
penyebaran orang Batak Toba keluar daerah Tapanuli Utara.
1.5 Metode Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merekonstruksi sejarah dan
menghasilkan sebuah karya sejarah yang bernilai ilmiah, sehingga tahapan demi
tahapan harus dilalui untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Untuk itu dalam
merekonstruksi masa lampau pada objek yang ditulis tersebut dipakai metode sejarah
dengan mempergunakan sumber sejarah sebagai bahan penelitian. Metode sejarah
adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa
lampau.13
Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, yaitu mengumpulkan
sumber-sumber yang sesuai dan mendukung objek yang ditulis. Dalam hal ini dengan
menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan/ studi literatur) dan
field research (penelitian lapangan/ studi lapangan). Penelitian kepustakaan dilakukan
dengan mengumpulkan buku-buku, skripsi, maupun karya-karya tulis ilmiah lainnya
yang telah pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang
sedang dikaji. Adapun, penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara terutama pada informan-informan yang dianggap mampu untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, baik informan yang

13

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Susanto, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986, hlm 32.

Universitas Sumatera Utara

beretnis Batak Toba sendiri maupun informan yang ber-etnis non Batak Toba di
daerah yang ditulis tersebut.
Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik
dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari keaslian sumber
tersebut baik dari segi substansial (isi), yakni dengan cara menganalisa sejumlah
sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan orang
Batak Toba, kritik ini disebut dengan kritik intern. Disamping itu juga dilakukan
kritik eksternal merupakan kritik yang mencari kebenaran sumber pustaka yang
diambil oleh peneliti maupun fakta yang diperoleh dari wawancara yang dilakukan
dengan informan.
Tahapan selanjutnya setelah melakukan kritik terhadap data yang diperoleh
adalah tahap Interpretasi, merupakan tahap untuk menafsirkan fakta lalu
membandingkannya untuk diceritakan kembali. Pada tahap ini subjektivitas penulis
harus dihilangkan paling tidak dikurangi agar analisis menjadi lebih akurat. Sehingga
fakta sejarah yang didapat bersifat objektif.
Selanjutnya adalah historigrafi atau penulisan sejarah merupakan tahap akhir
dari seluruh rangkaian dari metode penelitian sejarah. Dari tahapan-tahapan
sebelumnya maka akan diakhiri dengan penulisan fakta-fakta secara kronologis dan
dituangkan dalam bentuk Skripsi.

Universitas Sumatera Utara