Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, 1960-1992

(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Makdin Sirait

Umur : 80 Tahun

Pekerjaan : Petani Alamat : Tanah Jawa

2. Nama : Edison Simanjuntak

Umur : 55 Tahun

Pekerjaan : Petani Alamat : Silakkidir 3. Nama : Jayas Siallagan

Umur : 63 Tahun

Pekerjaan : Petani dan Mantan Kepala Desa Simanindo Samosir Alamat : Samosir

4. Nama : Roma Uli Simajuntak

Umur : 65 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Bangun Putih

5. Nama : Tama Uli Butar-Butar

Umur : 90 Tahun

Pekerjaan : -

Alamat : Kampung Karo

6. Nama : Tiodor Napitupulu

Umur : 57 Tahun

Pekerjaan : Petani Alamat : Silakkidir


(2)

7. Nama : Karni Manurung

Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Petani Alamat : Tanah Jawa 8. Nama : Rojakat Sitompul

Umur : 58 Tahun

Pekerjaan : Petani Alamat : Pahae

9. Nama : Andi Samosir

Umur : 55 Tahun

Pekerjaan : PNS

Alamat : Tanah Jawa 10.Nama : Marulak Sitinjak

Umur : 56 Tahun

Pekerjaan : Kepala Desa Alamat : Silakkidir


(3)

(4)

(Sumber : Perpustakaan Tengku Lukhman Sinar)


(5)

(6)

(7)

(Padi yang berusia 1bulan sesudah ditanam dan pengairan untuk dialiri ke tiap petak sawah)


(8)

(Petani perempuan yang sedang menanam padi di salah satu pemilik petak sawah yang terdapat di Kecamatan Tanah Jawa)

(Bentuk budaya Suku Batak Toba dan Batak Simalungun yakni memberikan Ulos


(9)

(10)

DAFTAR PUSTAKA

ANRI, Simeloengoen 1933.

BPS, Kabupaten Simalungun Dalam Angka 1983.

BPS, Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 1985.

BPS Kabupaten Simalungun, Kecamatan Tanah Jawa Dalam Angka 1992.

Chatib, Nazief, dkk, Sejarah Daerah Sumatera Utara, Medan : Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1976/1977, 31 Desember 1976.

Damanik, Jahutar, Raja SangNaualuh, Medan : Medio, 1981.

Edisaputra, Simalungun Jogjanya Sumatera, Medan : Up. Bina Satria 45, 1978. Gottschalk Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986. Isjwara F, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1980.

Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, jakarta : Djambatan, 1997.

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1987.

Madya Alip Bin Rahim dan Beny Octofryana Yousca Marpaung, Kampung Etnik Jawa Pendatang di Kota Medan, Sebagai Aspirasi Masyarakat Penghuninya, Medan : Suryaputra Panca Mandiri, 2009.


(11)

Moerdiono, (at all), Denyut Nadi Revolusi Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Naim, Mochtar, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Proyek pengembangan Permuseuman Sumatera Utara Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Monografi Kebudayaan Suku Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun, Medan, 1980/1981.

Purba, Elvis F dan O.H.S. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak) : sebab, motif dan akibat perpindahan penduduk dari dataran tinggi toba, Medan : Monora, 1997.

Purba, M,D, Adat Perkawinan Simalungun, Medan : M.D. Purba, 1985.

Purba, M.D, Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun, Medan : M.D Purba, 1986. Purba, Rudolf,(at.all), Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan

Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964, Pematangsiantar : Komite Penerbit Buku Simalungun (KPBS), 2011.

Rahmanta, Ekonomi Pertanian, Medan : USU Press, 2014.

Reid, Anthony J.S, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige : Karl Sianipar Company, 1977.

Silitonga, Chrisman,(at all), Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994, Jakarta : Perhepi, 1995.


(12)

Simanjuntak, Bungaran Antonius, Pemikiran Tentang Batak : Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Simanjuntak Bungaran Antonius, Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Sinaga, Martin Lukito, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil, Yogyakarta : PT Lkis Pelangi Aksara, 2004.

Sinaga, Martin Lukito dan Juandaha Raya P. Dasuha, TOLE! DEN TIMORLANDEN DAS EVANGELLIUM : Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun 2 September 1903-2003, P. Siantar : Kolportase GKPS, 2003. Skripsi Andri Ersada Tarigan, Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen: Peranannya

Dalam Pelestarian Budaya Simalungun Dan Penyebaran Agama Kristen (1928-1942).

Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosia; Politik Abad XIII-XX , Jakarta : Yayasan Komunitas Bambu, 2004.

Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, Mei 2001.

Tideman, J, Simalungun, Pematangsiantar : Media Group, 2012. Sumber Internet :

Girsangvision.blogspot.com “J Tideman, Simeloengoen : Het Land Der Timoer -Bataks (I-Gambaran Geografi), www.simeloengoen.com, 24 November 2015.


(13)

BAB III

Latar Belakang Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa

Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera utara 1960-1992

3.1 Migrasi

Migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Dalam migrasi terdapat unsur-unsur pokok, yakni meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, serta merantau adalah lembaga sosial yang membudaya.44 Penduduk sebagai pelaku terhadap peristiwa migrasi dalam hal ini adalah Suku Batak Toba. Perpindahan dilakukan dalam mencari lahan untuk padi-sawah yang dekat dengan jalur irigasi yang telah dibangun pemerintah Belanda secara meluas di tanah Simalungun (Tanah Jawa, Siantar dan Pane). Pada tahun 1903-1904 orang toba masuk ke Simalungun lewat Tiga Ras.45 Antara tahun 1960-1966 hampir 250.000 orang toba telah bermigrasi meninggalkan kampung halamannya.

Suku Batak Toba disebut juga masyarakat agraris, dalam masyarakat agraris tanah merupakan faktor produksi yang penting. Suku Batak Toba atau masyarakat agraris sering pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, terkhusus ke daerah yang

44

Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 3.

45


(14)

jarang penduduknya serta memiliki lahan kosong yang luas dan tidak sedikit juga ke daerah yang ramai penduduknya yang tentu saja daerah yang dituju memiliki nilai lebih. Perpindahan yang di lakukan oleh Suku Batak Toba tergolong sukses, hal ini dapat di lihat dari perubahan yang terjadi di daerah Kecamatan Tanah Jawa. Misalnya dalam bidang pertanian di daerah ini yang semakin jauh membaik dibandingkan dengan sebelum kedatangan Suku Batak Toba.46 Proses perpindahan yang dilakukan pada saat itu tidaklah semudah yang kita bayangkan seperti sekarang ini, serta adanya beberapa faktor yang memaksakan itu harus terjadi, mendorong dan mempercepat perpindahan mereka ke daerah lain baik faktor pendorong dan penarik baik dari daerah asal maupun daerah yang dituju. Dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan itu terjadi, yakni :

1. Faktor pendorong dari daerah asal a. Faktor Geografis

Letak geografis suatu daerah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya yang tinggal di daerah itu, sama halnya dengan masyarakat orang Batak Toba yang secara geografis mempengaruhi kehidupan orang Batak Toba dengan segala sistem kehidupannya. Dilihat secara geografis Kabupaten Tapanuli

Utara terletak pada 1˚-20¹- 2º4¹LU dan 98º 10¹ -99º 35¹ BT47 dengan luas daerah

46

Sebelum kedatangan Batak Toba ke wilayah Tanah Jawa, pertanian padi masih jauh tertinggal dan yang di usahakan lebih dominan adalah jagung. Pertanian jagung juga kurang bagus dan hasilnya tidak memuaskan. Namun setelah kedatangan batak toba banyak yang beralih dari pertanian jagung ke pertanian padi. (wawancara dengan Bapak Edison Simanjuntak)

47


(15)

11.625,41 Km². Daerah asal (Tapanuli Utara) sebagian besar daerahnya berupa dataran tinggi dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung jajaran Bukit Barisan yang berada pada 300-1500 m diatas permukaan laut (dpl), serta topografi48 bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol sampai dengan di atas 40% yang permukaan tanah banyak bergunung dan berlembah-lembah yang menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanian dan juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana pengairan.49 Unsur ketinggian dan kemiringan lahan turut menentukan budidaya tanaman. Dengan posisi letak berada di punggung jajaran Bukit Barisan, Tapanuli Utara kurang beruntung karena merupakan hulu sungai-sungai yang bermuara ke Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatera Utara serta Danau Toba. Secara lambat laun terjadi pengikisan lapisan dan humus tanah sehingga daerah ini relatif kurang subur, yang menyebabkan dampak negatif terhadap pertanian yang pada gilirannya mendorong penduduk, terutama para petani pindah dan menyebar ke berbagai daerah. Walaupun pada awalnya keterbatasan sektor pertanian dan kesulitan ekonomi sebagai faktor pendorong, namun kesuksesan yang ingin dicapai ditentukan oleh hal yang lebih kompleks yaitu nilai-nilai tradisional yang dianut oleh orang Batak Toba. Perpindahan orang Batak Toba ke daerah lain

dikenal dengan nama “Marserak” (menyebar).

48

Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk didalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng.

49


(16)

Selain topografi dan kesuburan lahan yang kurang mendukung pertanian, pengaruh iklim50 juga turut menentukan berhasil tidaknya panen. Musim yang tidak menentu, seperti di daerah Humbang dan Samosir mengakibatkan penderitaan petani karena padi atau tanaman palawija lainnya menjadi layu dan akhirnya mati. Kesulitan di bidang pertanian terus berlangsung. Hutan semakin gundul dan sumber air pun semakin berkurang. Kesulitan air semakin terasa sejak Belanda melakukan pembalakan hutan, sehingga sumber air untuk persawahan sangat kurang. Akibatnya banyak persawahan yang berubah menjadi perladangan.

Tahun 1961 misalnya Samosir mengalami goncangan hebat, hampir 1 tahun terjadi musim kemarau yang memaksa masyarakat mengalihkan tanaman padi menjadi kacang dan bawang.51 Pada waktu itu bahaya kelaparan mulai mengancam jiwa penduduk sehingga ke luar daerah secara spontan dan meminta untuk dipindahkan. Situasi kehidupan sangat menyedihkan, akibatnya banyak penduduk dari Samosir bekerja diluar daerahnya sebagai tenaga kerja musiman. Banyak suami yang meninggalkan isteri dan anak-anaknya didesa untuk berdagang keliling (marjajo), tetapi banyak juga yang pindah dengan tujuan mencari lahan pertanian. Daerah migrasi yang dituju biasanya daerah persawahan yang lebih baik dan subur seperti daerah Dairi dan Simalungun.

50

Pengertian iklim adalah suatu keadaan rata-rata cuaca di suatu wilayah dalam jangka waktu yang relatif cukup lama.

51


(17)

b. Faktor Sosial dan Demografi

Dalam kehidupan keseharian masyarakat Batak Toba, memiliki prinsip yang menjadi dasar pemikiran mereka adalah lulu anak lulu tano yang berarti suka akan anak suka akan tanah (semakin banyak anak/keturunan maka akan dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka). Bagi masyarakat Batak Toba, tanah sangat memegang peranan penting karena norma-norma ditujukan kepada sistem pertanahan, seperti halnya dalam adat, dalihan na tolu52 dan harajaon53.

Tujuan budaya Batak Toba adalah untuk mewujudkan 3H yakni

Hasangapon, Hagabeon dan Hamoraon. Setiap orang mendambakan banyak anak, tanah untuk pertanian dan ternak. Akan tetapi, tanah yang tandus dan iklim yang kurang baik menyebabkan penentuan dari jenis tanaman dan hasil panen yang diterima tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin bertambah. Kemungkinan pembukaan areal pertanian terutama persawahan baru di daerah sendiri semakin berkurang dan muncullah para petani-petani yang haus akan lahan yang subur dan luas. Keterbatasan di daerah sendiri menyebabkan

52

Dalihan natolu berfungsi dalam mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis berlaku fungsi dalihan natolu. Dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

53

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain.


(18)

mereka keluar dari Tapanuli Utara. Sebagian dari petani pindah ke daerah lain seperti ke daerah Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.54 Jarak dan kebiasaan di daerah asal turut menentukan pilihan ke daerah mana akan pindah. Penduduk yang pindah dari Toba Holbung, Silindung dan Samosir tidak sedikit memilih ke daerah Tanah Jawa untuk meneruskan pola pertanian sawah dari kampung halamannya dan sebagian besar memilih menetap dan tinggal di daerah pertanian. Migrasi yang terjadi ternyata banyak kaum muda bukan hanya kaum tua saja, khususnya bagi kaum tani, keterbatasan lahan pertanian akibat faktor fisik Geografis, iklim, ekologi dan tanah-tanah adat tidak menutup kemungkinan bahwa bagi anak sulung (siahaan) dan anak bungsu (Siampudan) untuk meninggalkan kampung halamannya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa tanah sangat memegang peranan penting dalam adat Batak Toba, sebagai sumber mencari penghidupan melalui pembukaan lahan pertanian untuk menghidupi anggota keluarga dan keturunan yang akan datang serta untuk menggapai ke-kepalaan, sebagaimana terkandung dalam ungkapan lulu anak lulu tano. Setiap keluarga muda yang sudah mandiri (manjae) secara tidak langsung didorong untuk membangun kampung-kampung baru. Pemberian sebidang tanah kepada anak yang telah bekeluarga dalam bentuk tanah (panjaean), menyebabkan semakin banyak rumah tangga petani yang memiliki dan menguasai lahan yang sempit. Melihat sifat dasar orang Batak yang rindu berkawan (sihol mardongan),

54


(19)

memperbesar arus perpindahan dari satu kampung mengikuti teman sekampung yang pindah terlebih dulu ke daerah lain. Teman atau saudara yang sudah pindah akan memberi kabar kekampung halaman, hal ini menyebabkan penduduk yang berada dikampung halaman ikut melakukan perpindahan karena lahan yang lebih subur didaerah lain dan keinginan dapat lebih maju seperti temannya.55

c. Faktor Budaya

Faktor budaya juga dapat dianggap sebagai faktor dalam bermigrasi/berpindah. Seperti dalam misi atau konsep budaya Suku Batak Toba

yaitu 3h “hasangapon (kedudukan sosial), hamoraon (keberhasilan dalam aspek materi dan pengetahuan) dan hagabeon (kebahagiaan, kesejahteraan dan memiliki banyak keturunan)”. Disamping dari konsep 3H ini yang paling utama adalah kerendahan hati (haserepon) akan tetapi hal ini sangat jarang diutarakan sebagai salah satu ukuran keberhasilan di masyarakat Batak Toba. Dalam konsep

hamoran seseorang dianggap kaya adalah jika mampu memberi kepada orang lain, karena dengan kemampuannya untuk memberi maka dia adalah seorang kaya berarti ada yang lebih dia berikan kepada orang lain. Ukuran kehormatan (hasangapon) juga tidak selalu sejalan dengan posisi/jabatan seseorang di dalam masyarakat. Kehormatan seseorang adalah hasil dari perjalanan panjang yang dibangun melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya sebagai dari sistem nilai yang ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Kalau seseorang memiliki

55


(20)

haserepon, tentu kehormatan ini akan dicapai. Banyak contoh yang menunjukkan orang-orang yang dihormati dalam lingkungannya walaupun jabatan/posisinya tidak tinggi, sebaliknya banyak juga orang-orang yang sudah memiliki kedudukan/posisi yang cukup terhormat, tetapi tidak dihormati didalam lingkungannya. Demikian juga dengan ukuran hagabeon, banyaknya keturunan adalah salah satu cara untuk mencapai 2 keberhasilan di atas yaitu hamoraon dan

hasangapon. Juga dengan adanya keturunan, diharapkan nama seseorang akan diabadikan melalui keturunan-keturunannya. Akan tetapi melihat kondisi dan keterbatasan lahan pertanian dan adat yang melingkupinya (hagabeon

banyaknya keturunan) menyebabkan pertambahan penduduk yang menjadi tekanan terhadap lahan pertanian dan sekaligus terjadinya kemiskinan pada masyarakat. Rumah penduduk masih sederhana, kesehatan tidak terjamin dan tidak sedikit penduduk yang memakan ubi sebagai makanan utama. Seyogianya setiap orang tidak ingin hidup dalam kemiskinan, mereka akan selalu berupaya untuk meraih kekayaan materi dan ingin dihormati seperti misi dalam budaya Batak Toba yakni hamoraon dan hasangapon. Akan tetapi, sektor pertanian sebagai sumber utama mencari nafkah tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin beraneka, dan dipersulit lagi dari pertambahan penduduk sedangkan luas areal pertanian relatif tetap. Dapat dikatakan bahwa ketidakcukupan lahan pertanian untuk menjamin kelangsungan hidup anggota keluarga mendorong masyarakat mencari perluasan lahan pertanian ke daerah lain. Banyak daerah di Tapanuli Utara mengalami kesusahan akibat tanahnya


(21)

yang tidak subur dan juga hujan turun dengan tidak teratur. Hujan yang tidak turun hampir setahun di Samosir memaksa sekitar 50.000 penduduknya keluar antara tahun 1961-1965.56 Sesudah pengakuan kedaulatan (1950), Tapanuli memandang ke pusat dan mengharapkan adanya perhatian, sedikitnya hanya sekedar dapat mengembalikan keadaan normal hasil perkebunan mereka. Perdagangan kemenyan terus merosot sekitar 6,5 juta pertahun, tetapi naiknya harga kopra dan karet menyebabkan perhatian pemerintah lebih fokus pada kedua komoditi tersebut dan kemenyan tidak dipandang lagi sebagai kepentingan nasional. Kesulitan-kesulitan ekonomi terus berlangsung. 57 Karena tekanan ekonomi semakin besar dan kemungkinan untuk meningkatkan kesejahteraan lebih besar di daerah lain petani-petani pun keluar dari kampungnya.

Situasi seperti ini mau tidak mau akan mendorong mereka untuk pindah ke daerah lain agar dapat berdiri dikaki sendiri (manjae) untuk menghidupi keluarganya dan ingin lebih sejahtera dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Biasanya sebagian besar Suku Batak Toba sekali meninggalkan kampung halamannya biasanya mereka tidak kembali lagi ke kampung asalnya, jika seandainya gagal di daerah yang baru ditempatinya maka akan memilih lebih baik pindah ke daerah lain lagi daripada harus kekampung halaman yang asli. Mereka akan pulang pada hari-hari besar seperti Hari Natal dan Tahun Baru

56Wawancara

dengan Bapak Jayas Siallagan, 20 November 2015.

57


(22)

ataupun pada saat ada yang terjadi dan memaksa mereka pulang dan hanya beberapa hari saja dan setelah itu akan kembali ke tanah perantauannya. Selain itu ada juga yang bekerja musiman, ada beberapa kasus untuk sebagian masyarakat Samosir yang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk bekerja di berbagai daerah yang hanya bersifat sementara. Kelompok ini disebut dengan mangombo (bekerja hanya untuk menerima gaji). Selanjutnya secara periodik mereka kembali ke kampung halamannya. Hal itu terjadi hingga tahun 1980-an.58

Di daerah asal kegiatan petani dan industri rumah tangga adalah kegiatan utama perekonomian. Pada umunya pekerjaan kaum lelaki tidak dapat dielakkan, seperti membajak sawah, mengangkut padi pulang, mengerjakan pekerjaan pengairan, pekerjaan bangun-membangun dan ketika sawah masih banyak belum selesai kaum lelaki kebanyakan bekerja di sawah.59 Para petani bergotong-royong dari satu tahap ke tahap berikutnya sampai akhirnya padi yang dipanen itu sampai di rumah dan sistem upah jarang terjadi. Ketika tanah tidak bertambah luas lagi dan perbandingan tanah akan pertumbuhan penduduk tidak sanggup lagi untuk menjaga kelangsungan hidup, secara pasti banyak kaum laki-laki memilih untuk bermigrasi dan wanita (istri) yang ditinggal lalu mengurus pengolahan tanah yang di daerah asal. Banyaknya kaum lelaki bermigrasi tidak

58Wawancara

dengan Marulak Sitinjak, 23 November 2015. 59


(23)

cukup lagi untuk melakukan pekerjaan secara gotong-royong sehingga sistem upah muncul. Namun, sistem non-upah dengan gotong-royong tidak hilang begitu saja hingga sekarang sebahagian dari masyarakat (Desa Pahae Julu) masih menerapkan sistem tersebut.60

Masyarakat yang pindah tidak hanya mencari lahan yang luas untuk pertanian saja, ada juga yang mencari pekerjaan diluar sektor pertanian, serta sesalu menerapkan budayanya. Yang menjadi alasan terjadinya migrasi ke daerah lain dilihat dari segi faktor budaya dan bisa juga disebut sebagai faktor ekonomi dalam Suku Batak Toba adalah adanya tekanan terhadap ekonomi keluarga, kurangnya lahan sawah untuk dikelola, mencari pekerjaan yang lebih baik diluar sektor pertanian, sering mengalami gagal panen dalam bertani, tidak ingin selalu tergantung pada orangtua dan tentu saja untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dari sebelumnya di daerah asal.61

d. Faktor adanya Pembukaan Jaringan Jalan

Suatu hal yang menguntungkan bagi Suku Batak Toba, bahwa sejak zaman sebelum kemerdekaan jaringan jalan-jalan raya telah mencapai sampai daerah ke pelosok-pelosok yang menjadi prasarana menghubungkan dan

60Wawancara

dengan Rojakat Sitompul, 20 Agustus 2015.

61


(24)

memperkenalkan Suku Batak dengan dunia luar. 62 Jaringan jalan yang menghubungkannya adalah jalan darat. Perpindahan penduduk dari Tapanuli Utara ke daerah sekitarnya, seperti ke Simalungun dan Dairi ditempuh dalam beberapa hari perjalanan dan menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam migrasi dulu karena kondisi jalanan masih sederhana dan luasnya setapak. Dimana transportasi masih sangat susah dijumpai. Pada zaman penjajahan, pembangunan jalan-jalan Negara, Provinsi, Kabupaten dan Desa dibangun secara gotong-royong, rodi atau kerja paksa. Tahap demi tahap jalan dikerikil hingga seperti yang banyak dilihat dewasa ini.

Pada tahun selanjutnya jalan-jalan yang lebih besar dibangun untuk menghubungkan ke daerah luar. Terlebih lagi semenjak masuknya pengaruh kolonial Belanda di tanah batak pembangunan jalan dipercepat untuk tujuannya memperluas wilayah jajahannya. Dimulai dari daerah jajahannya kemudian daerah yang hendak ditujunya dalam memperluas kekuasaannya. Pada masa kolonial Belanda jaringan jalan di daerah Sumatera Utara sudah agak memadai. Pembukaan jalan-jalan dari daerah pedalaman diikuti oleh pembangunan jalan besar, jalan berastagi dan kabanjahe di dataran tinggi karo dan jalan melalui Simalungun ke Danau Toba yang terus ke selatan ke Tapanuli dan Sibolga yang merupakan urat nadi utama jaringan jalan. Dengan adanya jaringan jalan ini dapat mempercepat tersebarnya informasi dari satu daerah ke daerah lain.

62

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1997, hlm. 94.


(25)

Dengan terbetiknya berita dari para Missionaris tentang adanya kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini mencoba mengadu nasib dan mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak. Dan rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea. Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Parapat, Tiga


(26)

Dolok menuju Pematang Siantar, Tanah Jawa.63 Dengan dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain semakin tampak.

Pembangunan jalan di sekitar Danau Toba (Pangururan-Tele) memberi kemudahan bagi penduduk Batak Toba meninggalkan kampung halamannya menuju daerah lain seperti Simalungun dan Dairi. Sedangkan perbatasan wilayah Siantar dan Tanah Jawa terjadi perbaikan besar pertama dalam jaringan jalan kotapraja dibuka pada tahun 1918 dengan membangun jembatan beton lengkap di jalan marihat dan meninggikan jalan ini. Hal serupa juga dilakukan pada tahun berikutnya dengan jalan menuju sekolah, disini juga dibangun sebuah jembatan beton yang dibangun di atas Bah Bolon dan jalan setempat dinaikkan setinggi 3 meter. Pengerasan jalan raya dimulai secepatnya. Lahan pasar seluruhnya diperkeras dengan pedas.

2. Faktor penarik dari daerah tujuan

Bagi Suku Batak Toba misi budayanya yakni hamoraon, hasangapon dan

hagabeon adalah tujuan utamanya. Untuk menggapai itu semua harus dilakukan dengan usaha dan kerja keras. Melihat daerah asal yang topografinya bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol sampai dengan di atas 40% yang permukaan tanah yang banyak bergunung dan berlembah-lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanian

63


(27)

dan juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana pengairan, akan sulit untuk mencapai misi budaya tersebut. Sehingga banyak masyarakat memilih untuk pindah ke daerah lain yang memiliki nilai lebih dibanding daerah asal yang tentu saja sebagai faktor penarik dari daerah yang dituju.

Perpindahan penduduk dari desa ke desa atau dari daerah pertanian ke daerah pertanian pada umumnya dilakukan oleh para petani. Ketiadaan lahan atau karena lahan yang dapat diusahai dikampung asal semakin sempit, mendorong mereka mencari lahan yang lebih luas dan lebih subur di luar Tapanuli dengan harapan dapat memberikan pendapatan yang lebih besar. Suku Batak Toba banyak memilih pindah ke wilayah Simalungun dan lebih dominannya berada di wilayah Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun karena memiliki lahan yang luas dan subur yang cocok untuk pertanian ditambah lagi setelah kerajaan tradisional Tanah Jawa dihapuskan. Suku Batak Toba mempunyai keahlian tersendiri dalam hal bertani dan ini dijadikan bekal untuk membangun persawahan. Sesuai dengan keahlian mereka dibidang persawahan, di daerah baru mereka membuka lahan-lahan yang cocok untuk persawahan. Salah satu cara yang ditempuh adalah mengubah hutan menjadi persawahan dengan membuka tali air dari sungai yang terdekat. Kesuburan lahan jelas akan mempengaruhi tingkat produktivitas sehingga hasil yang diperoleh akan lebih besar dan dengan didorong iklim dan irigasi yang memungkinkan panen dua kali atau lebih.


(28)

Dari lahan yang lebih luas dan lebih subur diharapkan keadaan ekonomi mereka akan lebih baik dibandingkan dengan daerah yang ditinggalkan dan keadaan sosial ekonomi orangtuanya. Alasan pindah dari daerah asal ke daerah yang dituju adalah adanya lahan pertanian yang luas, daerah yang lebih subur, keadaan ekonomi lebih baik, dan daerah yang memungkinkan untuk memiliki tanah sendiri.

Selain dari daerah yang subur, faktor yang menyebabkan kedatangan Suku Batak Toba ke Kecamatan Tanah Jawa adalah adanya perkawinan antara masyarakat yang tinggal di daerah Tapanuli utara dengan masyarakat Kecamatan Tanah Jawa. Dalam adat Batak Toba, jika puteri/wanita (dari Tapanuli Utara) menikah dengan laki-laki dari Tanah Jawa maka kemungkinan besar akan tinggal di daerah si laki-laki, serta nanti jika ditanya asal daerah kepada anaknya maka otomatis adalah daerah dari orangtua laki-laki (Tanah Jawa).

Kemudian juga dengan adanya penempatan Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Tanah Jawa. Terlebih pada tahun 1960-an masyarakat yang mendapat pendidikan banyak yang mengalihkan perhatiannya kepada intansi pemerintahan yang dianggap dapat mengubah status sosial.64 Banyak Suku Batak Toba yang pindah atau penempatannya di Kecamatan Tanah Jawa, karena banyaknya tenaga

64

Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hlm 263.


(29)

pendidik yang dibutuhkan dan inilah yang menarik perhatian dari Suku Batak Toba melakukan perpindahan ke Tanah Jawa.

3.2 Interaksi Batak Toba

Suku Batak Toba adalah suku pendatang di wilayah kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera utara. Banyaknya migrasi Suku Batak Toba ke wilayah ini menjadikan mereka masyarakat yang dominan. Kedatangan Suku Batak Toba ke wilayah Tanah Jawa memberikan dampak yang positif baik dalam bidang pertanian dan pemerintahan yang semakin memiliki kemajuan. Dari beberapa daerah yang menjadi tempat mereka tinggal, mereka dapat berbaur dengan suku asli (Simalungun), suku jawa, suku karo, mandailing serta sesama Suku Batak Toba yang datang dari berbagai daerah.

Awalnya kedatangan Batak Toba ke wilayah ini mengakibatkan perpecahan antara Batak Toba dan Simalungun. Dimana Batak Toba termasuk suku yang istimewa yang diperlakukan oleh kolonial Belanda, walaupun masih terdapat sistem perbudakan di sebagian masyarakat Batak Toba. Mengingat bahwa masyarakat Batak Toba adalah suku yang sengaja di datangkan oleh Belanda dalam mengatasi persoalan pangan karena terbatasnya sumber-sumber beras dan masyarakat yang sudah mendapat pendidikan di daerah asal dapat bekerja di dalam pemerintahan. Hal ini mendapat kecemburuan sosial dari


(30)

masyarakat asli (Simalungun).65 Sehingga sebagian dari masyarakat Simalungun berniat bisa masuk dan bekerja di pemerintahan agar masyarakatnya tidak semakin tersisih. Akan tetapi tidak semua masyarakat berpandangan seperti itu, sebagian masyarakat memilih mundur ke daerah yang sekarang disebut dengan Simalungun Atas melihat gerak Batak Toba yang cepat dan agresif, suara yang keras. Kecemburuan sosial tersebut tidak bertahan lama, suku pendatang (baik Suku Batak Toba, Suku Mandailing dan Batak Karo) berusaha berbaur dengan suku asli yang sudah lama di daerah tersebut. Bagaimanapun juga mereka adalah pendatang yang ingin meningkatkan taraf hidupnya. 66 Terlebih lagi suku pendatang dan suku asli mempunyai kemiripan budaya, arti bahasa, akan tetapi logat bicara yang berbeda. Datangnya Suku Batak Toba menjadikan pertanian semakin membaik dan Suku Simalungun semakin mengerti bagaimana sistem bertani di sawah sehingga mereka tidak hanya mengusahakan sistem perladangan saja.

Dikalangan Suku Batak ada beberapa pengertian yang menyatakan kesatuan teritorial di dalam masyarakat desa ialah huta, kuta,. Huta (bahasa toba dan simalungun) biasanya merupakan kesatuan yang dihuni oleh keluarga yang asal satu klen. Kuta (bahasa karo) biasanya lebih besar dari Huta dan terdiri dari

65

Di hati orang Simalungun ada perasaan dikalahkan akibat pola penanaman padi sawah yang lebih efektif dari orang toba, ditambah mereka merasa dikuasai akibat penetrasi agresif dari kelompok pendatang yang nota bene lebih dulu mengenal huruf dan maju akibat pengkristenan yang mereka alami. (Martin Lukito Sinaga, op.cit, hlm 63)

66


(31)

penduduk yang asal dari beberapa klen yang berbeda-beda. Pada orang Karo, Toba, Simalungun dan Mandailing, tiap-tiap desa mempunyai sebuah balai desa sebagai tempat dilakukan sidang-sidang pengadilan dan sidang lain (balai kerapatan).67

Dalam Suku Batak Karo dan Batak Simalungun ada perbedaan antara golongan yang merupakan keturunan dari para pendiri huta, dengan golongan yang merupakan keturunan dari penduduk kuta. Golongan para pendidri kuta ialah para merga taneh yang memiliki tanah yang paling luas, sedangkan golongan lainnya biasanya hanya memiliki tanah yang sekedar cukup untuk hidup (terbatas). Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah ini adalah bermata pencaharian bercocok tanam. Dalam bercocok tanam baik diladang maupun disawah, orang perempuan batak mengambil peranan yang bisa dikatakan penting, sedangkan laki-laki mengerjakan tahap-tahap seperti membersihkan, menyiapkan saluran-saluran air (irigasi), membajak.

Kebersamaan masyarakat batak di daerah ini sangat baik, mereka sama-sama mengenal sistem gotong-royong dalam bercocok tanam. Dalam bahasa Karo disebut raron, bahasa Toba disebut marsiurupan/marsiadap ari dan bahasa Simalungun disebut dengan marsiurupan/marharoan/sapangambei manoktok hitei. Mereka bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Disamping bercocok tanam, peternakan juga merupakan mata

67


(32)

pencarian pada orang batak umumnya. Biasanya mereka memelihara kerbau, sapi, babi68, kambing, ayam, dan bebek. Kerbau dalam masyarakat batak keseluruhan banyak dibutuhkan sebagai binatang penghela dan untuk upacara adat, sedangkan babi banyak dimakan, tetapi juga dalam adat (jika tidak mampu membeli kerbau). Sedangkan sapi, kambing, ayam dan bebek dijual untuk menambah pundi-pundi keluarga.

68

Babi adalah ternak yang dijadikan makanan utama dalam adat Batak Toba disamping ternak kerbau serta upacara keagamaan (sering ditemui dalam acara pembaptisan atau disebut dengan


(33)

BAB IV

Pengaruh Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten

Simalungun 1960-1992

4.1 Pertanian

Migrasi sebagai suatu proses perpindahan penduduk mengalami peningkatan yang cukup berarti pada beberapa dasawarsa belakangan ini, terutama di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Peningkatan arus migrasi ini terutama terjadi dari desa menuju kota atau dari desa ke desa. Dilihat dari sebab terjadinya, pada dasarnya migrasi timbul karena adanya perbedaan kondisi alam dan kondisi sosial ekonomi antara daerah yang satu dengan yang lain serta dari berbagai pihak lain seperti agama (Mission) dan politik. Terbatasnya sumber daya alam dan lapangan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi menjadi faktor dominan bagi penduduk untuk meninggalkan daerah asal.69

Namun dalam masyarakat Batak Toba yang bermigrasi dan tinggal di kecamatan Tanah Jawa sebagian besar bekerja di sektor pertanian70. Sejalan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi, masyarakat atau para petani tidak tinggal berdiam diri di daerah pertanian yang sempit dengan berbagai kendala, tetapi mereka

69

Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosia; Politik Abad XIII-XX , Jakarta : Yayasan Komunitas Bambu, 2004, hlm. 34.

70

Kegiatan bertani adalah kegiatan yang sudah dilakukan sudah sangat lama dan masyarakat batak toba telah memiliki ketrampilan dan sudah menguasainya.


(34)

banyak yang pindah untuk melanjutkan pola pertanian dengan teknologi pertanian yang dibawa dari kampung halamannya ke daerah yang dituju.71 Seperti yang telah disebutkan di atas salah satu suku yang melakukan ini adalah suku batak toba, sehingga bisa dikatakan sangat banyak ditemukan orang-orang Batak Toba tinggal di daerah persawahan.

Datangnya Suku Batak Toba ke wilayah ini tidak begitu saja mendapat lahan yang langsung bisa dikerjakan, mereka harus membuka lahannya sendiri untuk dikerjai.72 Tanah yang terdapat di Kecamatan Tanah Jawa ini adalah dulunya disebut tanah Kerajaan Tanah Jawa, namun masyarakat lebih mengenal tanah itu milik Tuan Kaliamsyah (salah satu anggota Kerajaan di kerajaan Tanah Jawa). Tuan Kaliamsyah memberikan atau membiarkan lahan itu untuk dikerjai dan menjadi milik masyarakat itu sendiri. 73 Sama seperti halnya yang tertera di dalam Zelfbestuursbesluit Simalungun. Dalam ZELFBESTUURSBESLUIT ddo. 8 Juni 1933 No. 12 goedgekeurd door den Gouverneur der Ooskust van Sumatra ddo. 26 Juni 1933 tentang Peratoeran Sawah Simeloengen 1933 bahwa Peratoeran memakai tanah dan mengenakan hasil air (Oepah Radja ni Bondar) dari semoea sawah2 jang digenangi air dalam bahagian Irrigatie jang ada di Simeloengen, dalam Fatsal 1 disebutkan

“Peratoeran oemoem” : Baik kepada pendoedoek negeri disini ataupoen pendoedoek

71

Chrisman Silitonga, dkk, Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994, Jakarta : Perhepi, 1995. Hlm 34.

72

J Tideman, op.cit, hlm 222.

73


(35)

negeri lain jang datang ke Simeloengoen boleh diberi tanah2 boeat dipakai

toeroen-toemoeroen, dan Fatsal 2 disebutkan “Lebar tanah jang akan diberikan” : Boeat

seseorang (seroemah) tanah itoe diberikan boeat didjadikan sawah tidak boleh lebih dari 1 H A. Lebarnja dibagian Irrigatie jang baroe diboeka.74

Namun setelah Simalungun masuk dalam NKRI, pernyataan diatas tidak diberlakukan lagi. Semenjak berlakunya U.U.P.A No.5 Tahun 1960 ditentukan bahwa tanah-tanah swapraja yang tadinya hanya terdapat hak mengusahakan, dengan sendirinya di konversi menjadi milik pribadi.75 Sedangkan Suku Batak Toba yang datang kemudian untuk mendapatkan lahan pertanian harus membeli tanah untuk diusahakan, yang mana harga tanah dihitung berdasarkan harga perkaleng Padi. Tahun 1970 Jika ingin membeli tanah dengan luas 0,5 Ha maka harus membayar 1.500 kaleng padi dengan harga Rp. 1000,00 /kaleng padi dan harga perkaleng padi ini bervariasi tergantung yang menjual tanah tersebut.76 Namun ada juga masyarakat yang datang tidak memiliki tanah yang kesehariannya sebagai petani dapat mengelola tanah yang dipercayakan padanya atau sering disebut dengan menyewa kepada

74

ANRI, Simeloengoen 1933, hlm. 34.

75

Rudolf Purba, (at.all), Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964, Pematangsiantar : Komite Penerbit Buku Simalungun (KPBS), 2011, hlm. 346.

76


(36)

pemilik tanah yang kaya dengan sistem bagi hasil (artinya orang mengelola tanah yang bukan miliknya, harus membagi setengah dari hasil panennya).77

Dapat dilihat secara umum, Suku Batak Toba yang berpindah dan bekerja dalam kelompok pegawai dan petani yang mengusahai lahan pertanian yang luas mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kaum tani yang mengusahai lahan sempit. 78 Sebaliknya petani-petani berlahan sempit mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak-anaknya hanya tamat SLTP.

Demikian juga dengan lahan pertanian yang sempit dengan tanaman monokultur. Di satu pihak petani-petani merasa bahwa tingkat pendapatan mereka lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya dahulu karena di daerah yang baru dapat panen dua kali atau lebih, tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan kesehariannya, jelas bahwa hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih produktif. Di berbagai desa, terdapat petani-petani Batak Toba mengusahai sampai 0,5 Ha, sikap seperti itu nampak jelas. Nampaknya mereka kurang tanggap terhadap perubahan dan hanya berpegang pada apa yang tampak

77

Beny Octofryana Yousca Marpaung dan Madya Alip Bin Rahim, Kampung Etnik Jawa Pendatang di Kota Medan, Sebagai Aspirasi Masyarakat Penghuninya, Medan : Suryaputra Panca Mandiri, 2009, hlm 24.

78


(37)

dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan, tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi, yang berkembang dengan lebih cepat. Namun sebagian kecil dari mereka ada yang telah menjual tanah yang dibelinya atau tanah yang dibukanya dahulu (kepentingan mereka) bahkan ada pula yang menjadi petani penyewa dan pada akhirnya ada yang pindah ke daerah lain seperti Riau. Salah satu sub suku yang banyak melakukan migrasi ke berbagai daerah adalah Suku Batak Toba. Suku Batak Toba bisa di jumpai di berbagai daerah di Indonesia. Karena tidak ingin tinggal di desa dan ingin berkembang, ada yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan atau Papua. Para perantau batak toba ini tidak hanya bekerja sebagai petani dan biasanya mempunyai tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan berpengaruh pada pendapatan keluarga. Masa depan anak-anaknya pun semakin mendapat prioritas. Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar sektor pertanian. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya mobilitas tenaga kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian antara lain adalah konversi lahan pertanian ke lahan industri, perubahan teknologi dan hubungan kerja di sektor pertanian, dan faktor lain yang merupakan faktor pendorong keluarnya tenaga kerja pertanian ke


(38)

sektor lain.79 Sedangkan di beberapa daerah yang dekat dengan jalan raya petani-petani yang memiliki lahan yang luas, biasanya memiliki hidup dalam tingkat sosial ekonomi yang lebih baik.

Berbeda halnya dengan daerah Tapanuli, seperti di daerah Tapanuli Tengah, Suku Batak Toba pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian dan nelayan. Sampai sekarang hanya sebagian kecil masyarakatnya yang bekerja sebagai pegawai dan pedagang. Memang tidak semua desa-desanya termasuk dalam kelompok miskin dan tidak semua petani di sana sebagai pemilik lahan pertanian yang diusahainya. Oleh karena pendapatan mereka tidak sepenuhnya digantungkan terhadap hasil pertanian maka banyak penduduk yang bekerja rangkap seperti petani, penangkap ikan, pedagang atau pegawai. Oleh karena minimnya pendapatan masyarakat di Tapanuli, Suku Batak Toba awalnya lebih dominan pergi ke luar Tapanuli (salah satunya adalah Kabupaten Simalungun).

Dari data sensus tahun 1983 yang telah dilakukan bahwa jumlah rumah tangga Suku Batak Toba yang bekerja dalam pertanian (padi) sangat banyak di Kecamatan Tanah Jawa mencapai luas panen 12.583 ha, jumlah produksi 66.855 ton dan rata-rata per Ha nya adalah 5,31 ton/ha.80 Hal ini menunjukkan potensi pertanian sangat besar, dan perlu perhatian yang lebih dari semua kalangan, karena tenaga atau sumber daya manusia yang tersedia cukup banyak. Selain sumber daya manusia yang memadai di Kecamatan Tanah Jawa, sumber daya alam juga merupakan faktor yang mendukung

79

Chrisman Silitonga, dkk, op,cit. Hlm 34.

80


(39)

peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sumber daya alam yang dimiliki daerah Kecamatan Tanah Jawa antara lain: air (sebagai sarana irigasi/pengairan),

tumbuhan (hutan, pertanian, perkebunan) dan tanah (lahan

pertanian/perkebunan/perikanan). Sehingga Simalungun menjadi lumbung padi dan beras terbanyak di Sumatera Utara dan daerah paling banyak adalah kecamatan Tanah Jawa dan Kecamatan Bandar. Akan tetapi dari sensus pertanian yang dilakukan oleh departemen pertanian, yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1985

– 1992 telah terjadi penyusutan lahan pertanian di Simalungun. Penyusutan lahan tersebut disebabkan oleh proses konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian, sehingga total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta ha. Konversi lahan juga terjadi dari lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian komoditi atau tanaman keras. Hal ini pun terjadi di Kecamatan Tanah Jawa khususnya dan daerah Kabupaten Simalungun pada umumnya. Jumlah luas tanah pertanian di wilayah kecamatan ini dapat dilihat dalam tabel 4.1.


(40)

Tabel 4.1 : Luas Panen, Produksi, dan Rata-rata Produksi Padi Sawah Pada Tahun 1992.

No Desa/Kelurahan Luas Panen

(Ha)

Produksi Padi (Ton)

Rata-rata Produksi (Ton/Ha)

1 Tangga batu 600 4900 5,9

2 Buntu turunan 800 4720 5,9

3 Seribu asih 1500 7500 6,0

4 Tonduhan 115 701 5,1

5 Panombean marjanji 900 4580 5,4

6 Jawa tongah 760 3912 5,2

7 Maligas tongah 1000 5000 6,0

8 Marubun jaya 1200 7.030 6,3

9 Totap majawa 356 2350 5,6

10 Bah jambi II 1100 6.530 6,2

11 Balimbingan 180 1008 5,6

12 Pem. Tanah jawa 112 672 5,0

13 Tanjung pasir 422 2043 5,5

14 Muara mulia 1002 5012 5,1

15 Bosar galugur 1062 5278 5,1

16 Baja dolok 448 2378 6,2

17 Pagar jambi 25 150 5,0

Jumlah 11.682 63.764 95,1


(41)

4.2 Agama

Jauh sebelum datangnya pengaruh dari agama Islam dan Kristen, masyarakat Simalungun sudah memiliki kepercayaan sendiri yang sering disebut dengan agama suku. Agama suku adalah suatu kepercayaan akan makhluk-makhluk gaib yang biasanya berdiam di tempat-tempat keramat seperti yang dipercayai berada di pohon keramat (terutama di wilayah Bandar). Disamping itu juga masyarakat Simalungun percaya dengan namanya Naibata yakni menguasai dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Masyarakat Simalungun sangat percaya dan mengilhami filosofi yang telah diajarkan turun-temurun dan sampai sekarang masih dijalankan, yakni

Habonaran do Bona (kebenaran adalah pangkal segala sesuatu.81

Pada tahun 1891 Kerajaan Tanah Jawa takluk kepada pemerintah kolonial Belanda. Melihat penyebaran agama Islam mengalami kemajuan di wilayah Simalungun serta raja simalungun (raja siantar dan kaum aristokrat Tanah Jawa) menganut agama Islam yang menyebabkan rakyatnya ikut untuk memeluk agama tersebut. Sehigga pemerintah kolonial belanda meminta untuk melakukan pengkristenan di daerah Simalungun.82 Di dalam penyebaran Injil ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga RMG (Rheinische Mission Gesellchaft) namun juga oleh Suku Batak Toba 83 yang datang ke wilayah ini. Jika zending di Tapanuli bisa

81

Martin Lukito Sinaga, op.cit, hlm 37.

82

Nazief Chatib, dkk, op.cit, hlm 127.

83

Perpindahan batak toba ke simalungun dianggap missioner sebagai sarana untuk memberi teladan hidup Kristiani bagi penduduk setempat dan mendukung perpindahan petani-petani batak toba karena di dalam benaknya setiap orang yang sudah menganut agama kristen akan tetap mengamalkan


(42)

diterima masyarakat dan menjadikan agama mayoritas dalam Suku Batak Toba, namun berbeda halnya dalam penyebaran injil di wilayah Simalungun. Dimana masyarakatnya masih tertutup dan susah untuk berbaur dengan suku pendatang serta bahasa yang digunakan dalam Mission ini adalah bahasa batak toba84, sehingga sulit diterima oleh suku asli Simalungun dan tidak sedikit menghadapi tantangan. Namun lambat laun, atas upaya usaha dan kekuatan zending dalam pengkristenan masyarakat dapat berkembang diseluruh Simalungun. Tahun-tahun berikutnya, jumlah Suku Batak Toba yang sudah beragama kristen makin membanjiri Simalungun Bawah, khususnya di perkebunan daerah.85 Para Mission juga melakukan usaha yakni dengan membangun sekolah untuk mendidik para pemuda. Zending memusatkan kegiatannya di bidang pendidikan dan perawatan kesehatan penduduk.86 Pendirian sekolah ternyata cukup mendapat respon yang positif dari masyarakat setempat. Tujuan dengan dibangunnya sekolah ini adalah untuk mendidik anak-anak agar bisa membaca dan mengalami kemajuan, tetapi tetap dalam misi awalnya dengan mengajarkan agama yang benar dan ini dianggap sebagai sarana yang dipandang sangat efektif untuk mengabarkan Injil. Awalnya dalam pengabaran Injil yang dilakukan oleh para Mission dibangun Gereja yang disebut dengan nama HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Sampai pada akhir tahun 1952 masyarakat Kristen

84

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah penyebaran injil di simalungun dengan menggunakan bahasa batak toba yang tidak dimengerti oleh masyarakat simalungun.

85

Juandaha Raya P. Purba, op.cit, hlm 154.

86

J Tideman, op.cit, hlm 230 ( pendirian sekolah ini pada awalnya hanya berupa sekolah sederhana dan kebanyakan sekolah memiliki tiga atau empat kelas.


(43)

Toba dan Kristen Simalungun bergabung lebih kurang sampai setengah abad lamanya dalam nama organisasi gereja HKBP dan terhitung mulai tanggal 22 Januari 1953 Kristen Simalungun terlepas dari HKBP dan menjadi dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) tanpa nama Batak lagi yang dibawah pimpinan Ephorus pertama Jaulung Wismark Saragih (JWS).87 Suku Batak Toba yang bermigrasi harus bisa menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru tanpa kehilangan identitasnya sendiri. Mereka membangun perkampungannya di daerah perantauan atas dasar hubungan keluarga atau tempat asal yang sama. Mereka membangun Gereja di wilayah perkampungannya sebab mereka Kristen. Mereka memegang adatnya dan mereka selalu menggunakan bahasa Toba di antara mereka. Tetapi dari pihak lain orang Toba harus menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Mereka tinggal di antara orang Islam dan suku lain. Maka mereka harus juga memperhatikan kelompok yang lain. Di Kecamatan Tanah Jawa kehidupan beragama bisa dikatakan dengan damai, saling menghargai dan hingga saat ini tidak terdengar konflik yang disebabkan oleh agama.88 Banyaknya masyarakat yang mempercayai agama dapat dilihat dalam BAB II.

87

Sebelum menjadi Ephorus pertama dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Jaulung Wismark Saragih (JWS) adalah tadinya dalam HKBP sebagai wakil Ephorus buat gereja-gereja simalungun. ( Batara Sangti, op.cit, hlm 188.)

88


(44)

4.3 Pendidikan

Sebelum kedatangan Batak Toba ke wilayah Kecamatan Tanah Jawa, pendidikan di daerah ini belum begitu dipentingkan. Karena masyarakat hanya tahu bahwa kekuasaan tertinggi dipegang oleh kerajaan yang memerintah pada masa itu. Akan tetapi setelah masuknya pengaruh pemerintah kolonial Belanda, Zending dan banyaknya suku pendatang dari suku batak toba, Pendidikan mulai dikembangkan. Suku Batak Toba telah lebih dahulu mendapat pendidikan barat dibandingkan dengan suku Simalungun. Bagaimana Suku Batak Toba bisa mendapat pendidikan barat? Sebelum Belanda menjajah tanah Batak sebagai suatu daerah yang dikuasai secara administratif dan sebelum para penginjil asing datang untuk menginjil orang Batak, pendidikan masih bersifat asli pribumi89.

Unsur pendukung kurikulum asli pribumi yaitu pengetahuan praktis yang menyangkut keamanan dan pertahanan, yang dipercaya dalam hal ini adalah guru90. Orang yang sekaligus menjadi sumber kekuatan tersebut dinamakan guru atau datu

(untuk kelahiran dinamakan sibaso, untuk arsitektur dinamakan pande jabu, irigasi dinamakan pande-aek). Pendidikan asli pribumi tersebut memiliki mata pelajaran yang erat kaitannya dengan keyakinan kepercayaan, yaitu cara pemujaan arwah nenek moyang. Namun setelah Belanda berkuasa di tanah Batak, terjadilah perkembangan

89

Pendidikan asli pribumi adalah mengutamakan pengetahuan praktis sesuai dengan kebutuhan dan lingkungannya, misalnya bercocok tanam, berkebun, menangkap dan memelihara ikan serta ternak lainnya, mengenal musim dan kerumahtanggaan.

90

Guru yang dapat dipercayai persediaan senjata ampuh untuk menyerang maupun bertahan dan menyembuhkan berupa mantera, tabas ataupun Doa-Doa mistik.


(45)

pendidikan secara pesat.91 Sistem pendidikan asli pribumi tadi mulai terdesak oleh sistem pendidikan baru yang diperkenalkan oleh para Missionaris Jerman. Dengan dikecapnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh orang eropa, Suku Batak Toba mulai memberanikan diri untuk keluar dari daerahnya ditambah lagi dengan kondisi lahan yang akan diusahakan semakin semakin sempit. Suku Batak Toba sebagian besar memilih untuk keluar atau bermigrasi ke wilayah Simalungun setelah mendengar akan wilayah simalungun serta dengan penduduknya yang masih bisa dikatakan tergolong sedikit.

Perpindahan Suku Batak Toba ke Simalungun memiliki tujuan salah satunya adalah Zending. Dalam melaksanakan tujuan dari Zending (penyebaran Injil) ini untuk menarik perhatian masyarakat Simalungun yang masih tergolong sangat tradisional maka didirikan sekolah (pendidikan). Dalam menjalankan tugas ini bukan berarti tidak ada masalah atau tantangan, bahkan dalam menjalankan tujuannya para missionaris harus mendekati penguasa yang terdapat di daerah itu kemudian mendekati para masyarakat tersebut. Peranan RMG cukup besar dalam pendidikan. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang awalnya buta huruf bisa membaca dan mengerti maksud dari tujuan mereka, serta untuk membendung penyebaran Islam yang sangat cepat. Sehingga dikenal sekarang bahwa bidang pendidikan di Simalungun dilakukan oleh zending baik orang eropa maupun orang pribumi yang

91

Bungaran Antonius Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak : Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hlm. 276.


(46)

secara tepat bisa diminta bantuannya untuk mengarahkan perkembangan generasi mendatang ke jalan yang lebih baik.

Pendidikan di wilayah ini semakin berkembang dan dengan masuknya Simalungun dalam NKRI pada tahun 1950 pendidikan semakin membaik dengan program pemerintah yang memaksimalkan agar masyarakat tidak buta huruf lagi. Perpindahan orang-orang yang berpendidikan lebih menonjol setelah tahun 1950-an.92 Banyaknya Suku Batak Toba yang bermigrasi kewilayah kecamatan Tanah Jawa baik yang telah mendapatkan pendidikan maupun yang tidak mendapatkan pendidikan, sangat berpengaruh. Dimana disatu sisi masyarakat batak toba yang telah mendapatkan pendidikan mengalihkan perhatiannya mencari pekerjaan yang lebih baik karena dengan pendidikannya itu mereka berhak keluar dari lingkaran kemiskinan. Setiap orang yang berpendidikan berlomba-lomba menjadi pekerja di instansi pemerintahan, bank dan bekerja sebagai guru sekaligus untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik di bidang-bidang lainnya yang menyebabkan lebih banyak diisi oleh orang-orang Batak Toba dibandingkan dengan penduduk setempat.

Mereka memandang bahwa pendidikan menjadi suatu jalur mobilitas sosial untuk mendapatkan pangkat (mewujudkan misi budaya Batak Toba yakni

Hasangapon). Sedangkan Suku Batak Toba yang datang dan bekerja sebagai petani bisa mengajarkan bagaimana sistem pertanian yang harus dilakukan. Melihat banyaknya suku pendatang (Suku Batak Toba) banyak yang duduk dibangku

92


(47)

pemerintahan dengan pendidikan yang mereka dapat, membuat masyarakat Simalungun ingin lebih berkembang dan mendapatkan pendidikan93. Masyarakat Simalungun semakin banyak yang mendapat pendidikan dengan didirikannya sekolah-sekolah baik sekolah Negri/Inpres maupun sekolah swasta. Oleh karena pendidikan adalah sarana untuk mencapai kedudukan yang lebih baik, maka belajar di sekolah adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui walaupun tidak gampang. Disetiap sekolah yang didirikan harus terdapat Guru yang mengajar. Guru pada tahun 1983 di Kecamatan Tanah Jawa sekolah Negeri/Inpres sudah terdapat Kepala Sekolah 136 orang, Guru Kelas 712 orang, Guru Agama 186 orang, Guru Orkes 24 orang, sekolah yang bersubsidi terdapat 38 orang, sekolah swasta terdapat 13 orang dan jumlah murid seluruhnya adalah 27.397 orang. Sedangkan pada tahun 1985 Guru SD Negri/Inpres sudah terdapat 1.072 orang, Guru SD swasta terdapat 55 orang dan jumlah murid seluruhnya adalah 28.026 orang.94 Pada tahun 1992 jumlah murid SD dan banyaknya SD, SMP, SMTA dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3.

93

Pentingnya arti pendidikan disebabkan oleh kenyataan bahwa sistem pendidikan yang ada tidak ditujukan untuk mampu berdiri di atsa kaki sendiri, tapi lebih ditujukan untuk mempersiapkan diri untuk menjadi pegawai negeri. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam birokrasi pemerintahan semakin tinggi pulalah statusnya dalam masyarakat.

94


(48)

Tabel 4.2 : Banyaknya SD, SLTP SMA di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun tahun 1992.95

No Desa /

Kelurahan

SD SLTP SLTA Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta

1 Tangga Batu 7 - - - -

2 Buntu Turunan 6 - - 1 - -

3 Saribu Asih 4 - - - - -

4 P. Marjanji 5 - - - - -

5 Jawa Tongah 4 - - - - -

6 Tonduhan 3 - - - - -

7 Maligas Tongah 4 1 - 1 - -

8 Marubun Jaya 5 - - 1 - -

9 Totap Majawa 4 - - - - -

10 Bah Jambi II 3 - - - - -

11 Balimbingan 9 - 2 4 1 3

12 Pematang Tanah Jawa

3 - - - - -

13 Tanjung Pasir 4 - - 1 - -

14 Muara Mulia 4 - - - - -

15 Bosar Galugur 5 - - - - -

16 Baja Dolok 4 - - - - -

17 Pagar Jambi 2 - - - - -

Jumlah 77 1 2 8 1 3

Sumber : Depdikbudcam Tanah Jawa

95


(49)

Tabel 4.3 Banyaknya Murid SD di Kecamatan Tanah Jawa, kabupaten Simalungun pada tahun 1992.96

No Desa / Kelurahan K E L A S

I II III IV V VI

1 Tangga Batu 213 217 113 185 168 162

2 Buntu Turunan 214 212 225 200 193 222

3 Saribu Asih 117 92 96 92 97 94

4 Tonduhan 114 117 95 103 103 115

5 P. Marjanji 13I 124 101 108 121 117

6 Jawa Tongah 114 81 86 74 86 88

7 Maligas Tongah 131 108 105 111 115 118

8 Marubun Jaya 215 207 196 215 198 193

9 Totap Majawa 132 128 113 153 135 123

10 Bah Jambi II 100 108 91 96 96 81

11 Balimbingan 214 214 197 201 228 206

12 Pematang Tanah Jawa 119 101 98 341 94 96

13 Tanjung Pasir 67 64 68 83 79 75

14 Muara Mulia 85 53 57 54 56 48

15 Bosar Galugur 109 95 90 96 91 89

16 Baja Dolok 115 114 115 106 106 124

17 Pagar Jambi 51 43 57 40 42 43

Jumlah 2205 2038 1993 2012 2008 1996

Sumber : Kecamatan Tanah Jawa

96


(50)

Dengan meningkatnya pendidikan memudahkan mendapatkan informasi dan komunikasi di berbagai daerah baik regional da nasional, serta adanya kesadaran akan harkat dan martabat sebagai suatu bangsa dan semakin terbinanya rasa kemampuan untuk mengatur, mengawasi dan mengendalikan diri sendiri juga dalam perkumpulan (organisasi). Semangat menuntut ilmu ini diteruskan sampai sekarang karena karena kesempatan luas yang diberikan dalam bidang pendidikan kepada setiap orang semenjak zaman kemerdekaan sudah menarik orang dari kabupaten atau nagari-nagari lain (desa/kelurahan) untuk menjadi pegawai.97

4.4 Politik

Masuknya kolonial Belanda dan kekristenan ke Tapanuli membawa berbagai perubahan di kalangan Suku Batak Toba. Walaupun mereka mempunyai tujuan yang berbeda tetapi kerjasama antara mereka juga ada. Salah satu diantaranya pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah zending dan kemudahan-kemudahan serta dorongan bagi orang batak toba meninggalkan kampung halamannya sesuai dengan misi mereka.98 Suku Batak Toba sudah dapat ditemui di wilayah Simalungun semenjak masih berdirinya kerajaan-kerajaan di simalungun terutama di Kerajaan Tanah Jawa. Batak Toba datang ke Tanah Jawa sejak dibukanya perkebunan oleh kolonial Belanda serta adanya penyebaran Injil yang dilakukan para Mission. Suku batak toba yang terdapat di Tanah Jawa berasal dari tanah batak yakni dari Tapanuli Utara.

97

Mochtar Naim, op.cit, hlm 274.

98


(51)

Tujuan utama Suku Batak Toba melakukan perpindahan ke Kecamatan Tanah Jawa adalah mencari nafkah untuk menambah penghasilan rumah tangga mereka. Perpindahan penduduk dari pusat negeri toba (Tapanuli Utara) terjadi secara besar-besaran, baik diwaktu penjajahan Belanda maupun setelah Indonesia Merdeka yang merupakan suatu kemauan yang tak dapat dielakkan dan ditantang oleh siapapun juga. Kedatangan Suku Batak Toba ke Simalungun bisa dikatakan tidak sia-sia, karena Simalungun di awal abad ke-20 sudah merupakan penghasil beras.

Sesudah kemerdekaan hingga dewasa ini telah terjadi banyak perubahan di kalangan Suku Batak Toba (termasuk subetnik Batak yang lain). Hal ini berhubungan dengan tingkat kemajuan pendidikan, jangkauan mobilitas dan migrasi, jenis pekerjaan atau profesi. Jabatan-jabatan modern yang ditawarkan sering dapat diraih oleh orang Batak Toba. Jabatan-jabatan tersebut memberikan kesempatan kepada mereka untuk memimpin dan menjadi pemimpin. Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka terdahulu. Suku Batak Toba yang berada di Tanah Jawa, menempati hampir semua daerah yang ada di wilayah ini dan banyak menempati posisi strategis sebagai pejabat, pegawai pemerintah, pedagang, politikus dan rohaniawan. Salah satu sebagai dampak atau pengaruh dari perpindahan


(52)

penduduk dari Tapanuli Utara ke Tanah Jawa adalah dalam bidang politik. Politik adalah kekuasaan.99

Dalam Suku Batak Toba, orang mencari kekuasaan bukan karena pertimbangan ekonomi, tetapi karena pertimbangan kehormatan. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar orang batak itu tidak mau disuruh melainkan harus menyuruh. Weber menyatakan bahwa didalam kekuasaan terdapat kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, walaupun orang lain melakukan penolakan.100 Bagi Suku Batak Toba, kekuasaan sangatlah penting. Melihat bahwa tidak seimbangnya jumlah suku pendatang dengan suku asli Simalungun yang ada di Tanah Jawa mengakibatkan adanya perubahan sosial, seperti dalam hal Jabatan yang telah disebutkan diatas. Perubahan adalah proses transmisi dari suatu kebudayaan pada kebudayaan lain melalui asimilasi101 dan akulturasi102.

Di Tanah Jawa masyarakat yang lebih dominan mendapatkan pendidikan adalah Suku Batak Toba, karena pendidikan dianggap jalur yang tepat untuk mencapai status yang lebih tinggi. Akan tetapi, sikap dan tingkah laku seseorang

99

Kekuasaan adalah gejala sosial, gejala yang terdapat dalam pergaulan hidup (gejala antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok). Dimana teori politiknya adalah suatu daerah dalam keadaannya yang bergerak sebagai lembaga yang hidup di tengah tenaga-tenaga sosial masyarakat. ( F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, 1980, hlm 27.)

100

Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hlm 227.

101

Asimilasi adalah transfer kebudayaan dari kebudayaan rendah dan belum maju sehingga terjadi perubahan.

102

Akulturasi merupakan kontak dua atau lebih kebudayaan yang kemudian saling mengambil unsur-unsur dari tiap-tiap kebudayaan. Dalam hal ini terjadi kontak timbal balik dua arah atau multi arah.


(53)

dapat dilatarbelakangi oleh kepribadian atau karakter yang dibentuk oleh kebudayaan, pendidikan dan fenomena sosial lainnya. Dalam keadaan yang demikian bisa muncul pandangan pada tiap-tiap etnis bahwa kebudayaannya lebih superior atau lebih baik daripada kebudayaan etnis lain. Sehingga antusiasme itu menimbulkan kebanggaan yang berlebihan terhadap kebudayaan sendiri dan etnosentrisme103.

Sebab-sebab dari etnosentrisme ini adalah kepentingan yang masih mementingkan suku, etnis, agama sendiri. Misalnya saja sikap masyarakat batak toba pada awal abad-20 yang tidak mau bekerja kasar walaupun hasilnya bisa lebih baik daripada menjadi petani 104, serta menganggap suku asli Simalungun sebagai masyarakat yang malas dan pendendam, yang akhirnya banyak suku asli (Simalungun) pindah ke Simalungun Atas melihat perkembangan dari suku pendatang dan kerja keras serta ke agresifannya untuk mewujudkan tujuannya. Cita-cita sekaligus tujuan hidup orang batak toba ialah memperoleh kekayaan (Hamoraon), banyak keturunan (Hagabeon) dan kehormatan (Hasangapon). Ketiga tujuan hidup ini saling berkaitan satu sama lain. Unsur yang satu menunjang keberadaan unsur yang lain. Unsur hamoraon menunjang kekuasaan, demikian juga unsur hagabeon yang menciptakan kerabat besar yang amat menunjang kekuasaan bagi orang batak toba. Orang batak toba berusaha menjadi kaya agar tidak

103

Etnosentrisme adalah menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.

104


(54)

diremehkan oleh orang lain. Di tanah jawa sendiri sebagian besar yang memerintah dan menjadi pemimpin (camat) di kantor kecamatan ini adalah orang batak toba.

4.5 Bahasa

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting yang dapat menunjukkan jati diri seseorang. Bahasa adalah alat dalam berinteraksi, oleh sebab itu sangatlah penting dalam masyarakat mempunyai bahasa dalam satu daerah. Suatu kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa dengan kesusteraan yang besar walaupun suatu bahasa pada dasarnya cukup hanya berfungsi sebagai alat komunikasi di antara sesama penuturnya. Di Kecamatan Tanah Jawa, suku asli daerah ini adalah Suku Simalungun dan seharusnya bahasa yang digunakan di wilayah ini adalah bahasa Simalungun. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang dijumpai di wilayah ini. Di pusat kecamatan Tanah Jawa bahasa yang sering digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa Batak Toba. Bahasa batak toba sangat mendominasi bahasa di wilayah ini serta logat bahasanya. Hal ini terjadi karena berbagai faktor yang terjadi sebelumnya, misalnya pada masa kejayaan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Simalungun.

Awalnya pemerintah kolonial sengaja mendatangkan Suku Batak Toba ke wilayah ini dalam mengatasi persoalan pangan yang sangat terbatas di wilayah ini, karena Suku Batak Toba dikenal dengan kegigihannya, kerja keras dan keahliannya dalam melakukan pertanian terutama padi sawah. Setelah kesuburan lahan di daerah ini diketahui oleh masyarakat Tapanuli Utara sehingga semakin banyak masyarakat


(55)

yang melakukan migrasi ke wilayah ini. Suku Batak Toba adalah termasuk suku yang mendominasi daerah ini di samping suku jawa. Karena banyaknya pendatang batak toba yang melebihi dari suku asli simalungun dan derasnya pengaruhnya sehingga bahasa yang sering didengar dan digunakan masyarakat sekitar adalah bahasa batak toba.

Penggunaan Bahasa Batak (bahasa batak toba) juga sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG (Rheinische Mission Gesellchat) yang menyebarkan agama Kristen pada Suku Simalungun. Pada masa jaya kerajaan tradisonal yang terdapat di wilayah Simalungun, dialek bahasa simalungun sangat kental. Lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun ini mulai memudar. Dimana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba, yang datang dari Tapanuli Utara, pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah ini banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba). Sehingga penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang tidak tahu marsahap (berbicara) Simalungun. Pemakaian bahasa batak toba juga terjadi karena begitu lamanya beredar buku dan adat Batak Toba di sekolah maupun perkumpulan orang kristen, makin merembeslah pengaruh bahasa dan adat batak toba


(56)

ke tanah Simalungun. Sebab melalui bahasa Toba itu makin deraslah perembesan adat Toba ke Simalungun.105

Dilihat dari kenyataannya juga bahwa keaslian bahasa itu memang telah terkontaminasi. Proses kontaminasi yang berdampak pada pudarnya keaslian bahasa itu dipicu oleh adanya akulturasi atau hubungan antara manusia dengan manusia atau bahasa dengan bahasa yang saling berbeda, hal ini berefek pada percampuran budaya atau bahasa. Bahasa Indonesia saja yang semula asli karena hanya terdapat bahasa Melayu di dalamnya, kini perlahan telah mengalami kepudaran. Hal ini bisa terjadi dimana dan kapan saja.

4.6 Budaya

Suku Simalungun adalah suku asli di daerah Kecamatan Tanah Jawa. Suku Simalungun telah memiliki budaya sendiri dan memiliki filosofi yakni Habonaron Do Bona (kebenaran adalah pangkal segala sesuatu) yang telah diterapkan bertahun-tahun. Maksudnya bahwa setiap kebenaran pasti menang, cepat atau lambat demikian juga yang jahat pasti kalah. Hubungan antar manusia dalam kehidupan Suku Simalungun diatur dalam sistem kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran (tiga kedudukan lima sebarisan). Hubungan berdasarkan sistem ini telah disosialisasikan kepada anak sejak mengenal lingkungan yang paling dekat yakni keluarga. Nilai inilah yang diyakini oleh Suku Simalungun di dalam kehidupan. Seperti peribahasa

105


(57)

Simalungun yang mengatakan bahwa “Parlobei nadilat bibir ase marsahap” artinya

lebih dulu bibir dijilat sebelum berbicara (jangan asal berbicara).106

Keorisinilan budaya dan adat istiadat Suku Simalungun mulai mengalami perubahan dengan hadirnya suku pendatang yakni Suku Batak Toba. Banyaknya Suku Batak Toba yang datang ke wilayah ini mengakibatkan adanya percampuran budaya. Budaya yang lebih dikenal di Kecamatan Tanah Jawa adalah budaya Batak Toba bukan budaya Simalungun. Meskipun suku asli di wilayah ini adalah suku Simalungun, hal ini terjadi karena Suku Batak Toba merupakan masyarakat yang paling dominan dan sifat dari Suku Batak Toba dengan Suku Simalungun berbanding terbalik. Dimana sifat dari Suku Batak Toba ini dikenal dengan keagresifannya, egois, suara yang keras, tidak pendendam (jika tidak senang akan langsung diutarakan), haus akan tanah dan selalu ingin menjadi nomor satu (ingin monang) walaupun tidak didaerahnya sendiri, sedangkan Suku Simalungun dikenal dengan sifat yang tertutup. Melihat sifat dari suku pendatang (Batak Toba) secara tidak langsung menjadi tekanan terhadap Suku Simalungun sendiri, karena mereka seperti dijajah dirumahnya sendiri yang akhirnya banyak Suku Simalungun yang memilih pindah ke Simalungun Atas. Akan tetapi bagi Suku Simalungun yang memilih menetap tinggal di Kecamatan Tanah Jawa ini dan berbaur dengan suku pendatang sifatnya lebih aktif tetapi mudah tersinggung dibanding orang Batak Toba.107 Suku Simalungun menjadi suku minoritas di Kecamatan Tanah Jawa. Suku Simalungun

106

Juandaha Raya P. Dasuha, op.cit, hlm 22.


(58)

tidak dapat mempertahankan hak atas tanahnya sendiri. Tidak hanya dalam bidang budaya saja yang membuat Suku Simalungun seperti tersisih di daerahnya sendiri tetapi juga dalam bidang politik. Dimana dalam bidang politik, yang lebih banyak menguasai adalah suku pendatang begitu juga yang duduk di instansi pemerintahan. Dapat dikatakan kalau Suku Simalungun hanya tergolong sedikit dalam status sosial tersebut.


(59)

BAB V

Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu desa ke desa lain atau dari desa ke kota. Batak Toba adalah salah satu sub-suku yang banyak melakukan migrasi ke berbagai daerah baik ke Sumatera, Jawa, Papua dan Sulawesi. Salah satu daerah tujuan dari perpindahan Suku Batak Toba adalah Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun. Kecamatan Tanah Jawa memiliki lahan yang luas dan kondisi tanah yang subur, serta penduduk dari wilayah ini tergolong sedikit. Kedatangan Suku Batak Toba ke Tanah Jawa Kabupaten Simalungun disebabkan oleh beberapa faktor, yakni dari pihak pemerintah kolonial belanda yang sengaja mendatangkan suku batak toba dari Tapanuli Utara untuk mengatasi persoalan pangan yang terjadi di wilayah Simalungun karena Batak Toba dikenal akan kegigihan, keterampilan dan kerja keras dalam bertani, dari pihak Missionaris yang berusaha mengabarkan Injil ke wilayah Simalungun baik dari orang eropa dan paling banyak dari Suku Batak Toba sendiri, dan yang terjadi hingga sekarang adalah faktor dari orang Batak Toba sendiri untuk mencari lapangan kerja baru mengingat tanah yang terdapat di daerah asal (Tapanuli Utara) kurang produktif dibandingkan dengan kesuburan tanah di wilayah Simalungun terutama dalam bercocok tanam.


(60)

Terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran ketika masuknya Simalungun dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dalam sistem nilai tradisional kebudayaan Batak Toba selalu mendambakan memiliki banyak keturunan (hagabeon), selain itu setiap keluarga ingin sejahtera dan kaya (hamoraon) serta memiliki wibawa sosial (hasangapon). Melihat kondisi alam di wilayah Tapanuli Utara dimana mata pencaharian utamanya adalah bertani dengan keadaan tanahnya yang kurang subur maka tidak semua orang atau keluarga mampu meraih dua nilai terakhir ini karena tidak semua keluarga memiliki tanah yang luas. Solusi yang dilakukan adalah meninggalkan daerah asalnya dengan harapan akan sukses di daerah tujuannya.

Banyaknya Suku Batak Toba yang berpindah ke wilayah ini menjadikan mereka penduduk yang mayoritas. Datangnya Batak Toba ke wilayah ini membawa pengaruh bagi masyarakat sekitar. Dengan kedatangan mereka di daerah ini persoalan pangan bisa di atasi bahakan daerah ini sebagai salah satu daerah yang memiliki lumbung padi terbesar di Sumatera Utara selain Kecamatan Bandar. Pertanian semakin maju dan Suku Simalungun yang tadinya tidak mengetahui bagaimana mengolah lahan basah menjadi mengerti pengelolaannya dan tidak hanya lahan kering atau ladang saja yang dikerjakan. Tidak hanya dibagian pertanian saja yang mengalami kemajuan tetapi juga dalam bidang agama, pendidikan, dan politik serta di wilayah ini juga telah terjadi akulturasi budaya.


(61)

Dalam bidang keagamaan, Suku Simalungun mayoritas memeluk agama Kristen, namun tidak sedikit juga memeluk agama Islam. Sebagai masyarakat yang beragama, mereka sangat menghargai agama yang satu dengan yang lain dan tidak terdengar konflik pada masyarakat yang berbeda agama. Dalam bidang pendidikan di wilayah ini juga mengalami kemajuan, batak toba yang bermigrasi ke wilayah ini tidak hanya yang bekerja di sektor pertanian tetapi juga dalam sektor non-pertanian. Yang bekerja dalam sektor non-pertanian adalah mereka yang telah mendapatkan pendidikan di daerah asalnya. Misalnya yang bekerja sebagai Guru. Tenaga pengajar di wilayah ini adalah sebagian besar suku batak toba. Dalam bidang politik dan budaya yang lebih banyak dikenal adalah orang-orang Batak Toba.

Disamping itu, suku asli dari Kecamatan Tanah Jawa adalah Suku Simalungun, seharusnya bahasa yang sering digunakan adalah Bahasa Simalungun. Di daerah ini disebabkan lebih mayoritas Suku Batak Toba dibanding dengan Suku Asli (Simalungun) sehingga masyarakat lebih sering terdengar berbicara menggunakan nada yang tinggi dan bahasa yang digunakan dalam sehari-hari adalah Bahasa Batak Toba. Dan sangat disayangkan Suku Asli Simalungun menjadi suku minoritas dan mereka banyak memilih tinggal di Simalungun atas dibandingkan di Simalungun Bawah. Masyarakat yang tinggal di pusat Kecamatan ini adalah sebagian besar Suku Batak Toba, sedangkan masyarakat yang tinggal diwilayah perkebunan adalah Suku Jawa.


(62)

5.2Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan yang sudah disimpulkan diatas, maka peneliti berharap memberikan saran yaitu:

1. Diharapkan agar masyarakat yang bekerja terkhusus sebagai petani lebih bisa mengupayakan serta meningkatkan teknik pertanian yang bisa mendorong dan meningkatkan produksi tanaman.

2. Diharapkan agar pemerintah dan masyarakat yang tinggal di daerah Kecamatan Tanah Jawa saling menjaga dan memperbaiki irigasi agar petani bisa memproleh hasil panen dua kali dalam setahun dengan hasil yang maksimal.

3. Diharapkan interaksi antar suku yang tinggal diwilayah ini dan budaya yang telah diterapkan di daerah Kecamatan Tanah Jawa semakin terjaga dan tetap menghargai perbedaan yang ada baik dalam budaya, bahasa (logat berbicara) dan agama.

4. Diharapkan pendidikan diwilayah ini semakin dikembangkan dan fasilitas untuk menunjang pendidikan dipenuhi.

5. Diharapkan perekonomian diwilayah ini semakin ditingkatkan baik dalam berdagang, bertani dan industri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(63)

BAB II

Gambaran Umum Penelitian

2.1 Letak Geografis

Tanah Jawa terletak di Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara pada 02º 55′ LU dan 99 º 05′ dengan luas wilayahnya mencapai 647.74 (tahun 1960) dan 491.75 (1992) yang berada pada 260 m di atas permukaan laut (dpl).14 Daerah kecamatan Tanah Jawa memiliki topografi perbukitan dengan konstur tanah yang bergelombang, yang berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Siantar, sebelah selatan dengan Kabupaten Asahan/Tapanuli Utara, sebelah barat dengan Kecamatan Dolok Panribuan, sebelah timur dengan Kecamatan Hutabayu Raja. Wilayah topografi perbukitan merupakan sumber aliran sungai yang cukup potensial yang dimiliki Kecamatan Tanah Jawa untuk mengairi lahan petanian bahkan perkebunan rakyat.

Kecamatan Tanah Jawa terdiri dari 30 Nagori (desa)/kelurahan pada tahun 198315, sedangkan pada tahun 1992 terdapat 17 Desa/Kelurahan yang terdapat di

14

BPS Kabupaten Simalungun

15

Pada tahun 1983 kecamatan tanah jawa terdapat 30 desa yakni Bah Jambi I, Pagar Jambi, Mariah Jambi, Bah Jambi II, Totap Majawa, Marubun Jaya, Balimbingan, Baja Dolok, Maligas Tongah, Tangga Batu, Saribu Asih, Buntu Turunan, Jawa Tongah, Panombean Marjanji, Tonduhan, Bahalat Bayu, Tanjung Maraja, Jawa Maraja, Bosar Bayu, Maligas Bayu, Dolok Sinumbah, Raja Maligas, Hutabayu, Silakkidir, Mariah Hombang, Pulo Bayu, Bosar Galugur, Muara Mulia, Pem. Tanah Jawa, Tanjung Pasir. (sumber, Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 1983 : Kantor Statistik Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, hlm. 27.)


(1)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji Syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang setia menjagaku dalam melewati hari-hariku selama perkuliahan atas segala limpah dan berkat yang saya terima dan Penyertaan Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi ini. Penulisan skripsi ini juga dapat diselesaikan berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan penuh syukur akhirnya penulis mampu menyelesaikan Skripsi dengan Judul : Suku Batak Toba Di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, 1960-1992. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum selaku ketua Depertemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya.

3. Dra. Nurhabsyah, M.si selaku sekretaris Dapertemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya.

4. Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dosen pembimbing dalam penulisan ini, yang telah memotivasiku dan memberi semangat, dan telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis. Semoga Tuhan memberikan berkat-NYA kepada Bapak dan Keluarga.

5. Seluruh Dosen Departemen Ilmu Sejarah yang telah memberikan bimbingannya kepada penulis.

6. Terima kasih untuk keluarga terkasih kedua orangtua tercinta Edison Simanjuntak/Sinur Sijabat yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan dan Doa kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada keempat saudaraku yang kukasihi Bernando Simanjuntak A.md , Laminar Simanjuntak, Januarto Simanjuntak dan Gesman Simanjuntak. 7. Terima kasih buat sahabat yang paling spesial Henri Adianto Sitompul yang selalu


(2)

8. Terima kasih untuk Sahabat-sahabat ku terkhusus Stambuk 2011 yang selalu mengiringi canda tawa terkadang menjengkelkan tetapi bagiku kalian adalah keluargaku yaitu Lilisda Hutagalung, Rini Amanda, Sherly, Putri J Tanjung, Alexander Siahaan, Jan B Nainggolan, Suhariadi Tambunan, Rindy Iswara, Rahmad Syahdoni, serta kawan-kawan yang lain.

9. Terimakasih untuk Sahabatku yang selalu memberi semangat dan yang selalu mengingatkanku, membantuku dalam mengerjakan skripsi ini yaitu Ratna Sari dan Yanti Situmorang. Terimaksih untuk doa-doa kalian.

Semoga semua kebaikan yang telah penulis terima dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan penyertaan-Nya senantiasa menyertai kita semua.

Medan, Januari 2016 Penulis,

Vennica Simanjuntak NIM : 110706051


(3)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ABSTRAK

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8

1.4 Tinjauan Pustaka ...9

1.5 Metode Penelitian ...12

BAB II Gambaran Umum Kecamatan Tanah Jawa 1960-1992 2.1 Letak Geografis ...14

2.2 Sistem Kemasyarakatan ...16

2.3 Penduduk ...21

2.4 Kecamatan Tanah Jawa Sebelum Tahun 1960 ...27

a. Masa pemerintahan Kolonial Belanda...27


(4)

c. Revolusi Sosial ...32

BAB III Latar Belakang Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa 1960-1992 3.1Migrasi ...35

3.1.1 Faktor Pendorong dari Daerah Asal a. faktor geografi ...36

b. faktor sosial dan demografi ...39

c. faktor Budaya ...41

d. Faktor adanya Pembukaan Jaringan Jalan ...44

3.1.2 Faktor Penarik dari Daerah Tujuan ...47

3.2Interaksi Batak Toba ...50

BAB IV Pengaruh Suku Batak Toba di Kecamatan Tanah Jawa 1960-1992 4.1 Pertanian ...54

4.2 Agama ...62

4.3 Pendidikan ...65

4.4 Politik ...71

4.5 Bahasa ...75


(5)

BAB V Kesimpulan Dan Saran

5.1 Kesimpulan ...80 5.2 Saran ...83

DAFTAR PUSTAKA ...84 DAFTAR INFORMAN


(6)

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Jumlah penduduk warga di Kecamatan Tanah Jawa,

Kabupaten Simalungun pada tahun 1983 ...22

Tabel 2.2 Jumlah penduduk, luas dan kepadatan penduduk di Kecamatan

Tanah Jawa, kabupaten simalungun pada tahun 1992 ...24

Tabel 2.3 Camat yang memerintah di Kecamatan Tanah Jawa ...25

Tabel 2.4 Penduduk menurut agama yang dianut pada tahun 1992 ...26

Tabel 4.1 Luas panen, produksi dan rata-rata produksi padi sawah pada

tahun 1992 ...62

Tabel 4.2 Banyaknya SD, SLTP, SMA di Kecamatan Tanah Jawa,

Kabupaten Simalungun tahun 1992 ...70

Tabel 4.3 Banyaknya murid SD di Kecamatan Tanah Jawa,