Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory
GAMBARAN KEPRIBADIAN SUKU BANGSA BATAK TOBA
DI PEMATANGSIANTAR
MENGGUNAKAN BIG FIVE INVENTORY
SKRIPSI
Guna memenuhi persyaratan Sarjana Psikologi
Oleh:
SURYATI MAHDALENA SIANIPAR
031301042
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Suyati M. Sianipar : 031301042
Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory
X + 73 halaman, julah table 19 Bibliografi (1985-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five Inventor. Kepribadian yang diungkap berupa trait adalah pola perilaku (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait (Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan concientiousness.
Subjek penelitian berjumlah 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling secara proportional. Data yang diperoleh diolah dengan melihat nilai Z pada masing-masing dimensi. Alat ukur yang digunakan adalah skala Big Five Inventory oleh John P. Oliver (Srivasta dan Oliver, 1999) yang diadaptasi dan dimodifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan dimensi neuroticism adalah dimensi yang paling dominan pada suku bangsa Batak Toba secara keseluruhan, baik pria maupun wanita. Dua dimensi berikutnya setelah neuroticism, yang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah extraversion dan openness. Dua dimensi berikutnya yang kurang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah agreeableness dan consciousness.
Hasil tambahan penelitian menunjukkan pada pria, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, openness, consciousness, extraversion, dan yang paling tidak dominan adalah agreeableness. Pada wanita, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, agreeableness, extraversion, openness, dan yang paling tidak dominan adalah consciousness. Pada dimensi openness, consciousness, extraversion, dan agreeableness, rata-rata subjek memiliki nilai yang tinggi dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan. Pada dimensi neuroticism diperoleh rata-rata subjek memiliki nilai yang rendah pada dimensi neuroticism dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan.
(3)
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Suyati M. Sianipar : 031301042
Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory
X + 73 halaman, julah table 19 Bibliografi (1985-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five Inventor. Kepribadian yang diungkap berupa trait adalah pola perilaku (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait (Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan concientiousness.
Subjek penelitian berjumlah 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling secara proportional. Data yang diperoleh diolah dengan melihat nilai Z pada masing-masing dimensi. Alat ukur yang digunakan adalah skala Big Five Inventory oleh John P. Oliver (Srivasta dan Oliver, 1999) yang diadaptasi dan dimodifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan dimensi neuroticism adalah dimensi yang paling dominan pada suku bangsa Batak Toba secara keseluruhan, baik pria maupun wanita. Dua dimensi berikutnya setelah neuroticism, yang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah extraversion dan openness. Dua dimensi berikutnya yang kurang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah agreeableness dan consciousness.
Hasil tambahan penelitian menunjukkan pada pria, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, openness, consciousness, extraversion, dan yang paling tidak dominan adalah agreeableness. Pada wanita, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, agreeableness, extraversion, openness, dan yang paling tidak dominan adalah consciousness. Pada dimensi openness, consciousness, extraversion, dan agreeableness, rata-rata subjek memiliki nilai yang tinggi dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan. Pada dimensi neuroticism diperoleh rata-rata subjek memiliki nilai yang rendah pada dimensi neuroticism dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan.
(4)
BAB I PENDAHULUAN
I. A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kebudayaan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang dunia, yaitu cara pemilik budaya tersebut memandang dunia, termasuk pesimisme atau optimisme. Selanjutnya pemahaman tentang dunia tersebut memberikan pemahaman tentang manusia dan perilaku serta nilai-nilai yang mendasarinya. Kebudayaan menentukan perilaku individu, selain berpotensi untuk menggerakkan dan mendorong perilaku individu yang hidup di dalamnya, kebudayaan dapat mengekang atau menahan individu untuk berperilaku tertentu (Harahap dan Siahaan, 1987). Pemantapan perilaku tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat (Purba, 2004).
Koentjaraningrat (1980) mengatakan bahwa individu sejak kecil telah dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya, sehingga hal itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwanya dan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Proses pemberian pengaruh itu merupakan proses internalisasi nilai budaya yang terjadi sepanjang hidup. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi, dan hak. Kebudayaan dan kepribadian terkait erat. Budaya menentukan dan
(5)
membentuk perilaku, pikiran, dan perasaan individu secara tidak langsung melalui konsep dirinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku individu (Matsumoto dan Juang, 2004).
Matsumoto dan Juang (2004) juga menambahkan bahwa kekhasan suatu budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu munculnya kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya. Dewi (2004) memberi contoh fenomena yang terjadi di Indonesia, yakni orang akan marah ketika orang lain yang usianya jauh lebih muda memanggilnya dengan menggunakan nama saja, tanpa diawali kata sapaan seperti ‘kakak’, ‘ibu’, ataupun ‘bapak’. Hal ini tidak berlaku pada kebanyakan orang Amerika, sehingga dapat disimpulkan bahwa cara memanggil dengan menggunakan hanya nama dapat menjadi penyebab munculnya kemarahan pada orang Indonesia yang tidak berlaku bagi orang Amerika. Lebih lanjut Dewi mengatakan bahwa latar belakang budaya yang berbeda mengakibatkan pengalaman, ekspresi, dan kontrol marah yang berbeda pula. Hal ini dibuktikan dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan mengenai anteseden kemarahan interpersonal, trait-anger, anger expression-in, anger expression control-out, dan
anger expression control-in pada orang Batak dan orang Jawa. Orang Batak terlihat ekspresif dalam mengungkapkan rasa marahnya dan trait-anger cukup sering muncul terutama pada Batak laki-laki.
(6)
Suku bangsa Batak Toba adalah salah satu dari enam suku bangsa Batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Sibeth, 1991; Bangun dalam Koentjaraningrat, 2002). Suku bangsa Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara (ibukota Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten Samosir (ibukota Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong), Kabupaten Humbang Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul) (Wikipedia, 2007). Selain di daerah-daerah tersebut, suku bangsa Batak Toba juga banyak tersebar di Pematangsiantar dan menjadi suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini terbukti dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota Pematangsiantar tahun 2006. Berikut ini disajikan tabel jumlah penduduk kota Pematangsiantar dirinci menurut suku bangsa dan kecamatan.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Dirinci Menurut Suku Bangsa dan Kecamatan
Kecamatan/ Distrik
Suku Bangsa
Melayu Karo Simalungun Toba Mandailing Pakpak
Siantar Marihat 37 680 1.150 26.602 654 30
Siantar Selatan 28 1.088 1.345 14.142 441 13
Siantar Barat 688 367 1.666 8.954 4.646 17
Siantar Utara 317 321 3.885 24.303 4.042 39
Siantar Timur 190 1.134 4.683 26.448 1.784 100
Siantar Martoba 394 811 3.806 17.203 2.441 51
Jumlah 1.654 4.401 16.490 117.652 14.008 250
(7)
Lanjutan....
Kecamatan/ Distrik
Suku Bangsa
Nias Jawa Minang Cina Aceh Lainnya
Siantar Marihat 150 2.904 31 28 34 256
Siantar Selatan 100 1.300 126 2.667 13 437
Siantar Barat 126 21.371 1.769 3.052 263 5.132
Siantar Utara 137 8.700 2.965 1.688 91 4.499
Siantar Timur 298 5.380 526 1.865 101 1.363
Siantar Martoba 265 23.745 566 269 212 962
Jumlah 1.076 63.400 5.974 9.569 714 12.649
Sumber: Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar tahun 2007
Berdasarkan hasil wawancara dengan Praeses1 HKBP2 (Huria Kristen Batak Protestan) Distrik V Sumatera Timur3(termasuk kota Pematangsiantar), Pendeta DR. Plasthon Simanjuntak, tanggal 3 Mei 2008, mengungkapkan bahwa adat Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan adatnya. Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan bahwa suku bangsa Batak Toba yang ada di Pematangsiantar pada dasarnya berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba yaitu Tapanuli Utara, dan umumnya bukan berasal dari kaum intelektual.
Suku bangsa atau etnis dapat diartikan sebagai identitas sosial, berasal dari garis keturunan atau budaya asal, yang juga dipengaruhi oleh budaya di lingkungan tempat tinggalnya (Helms dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001). Suku bangsa seseorang tampak dalam bahasa, adat, nilai-nilai, ikatan sosial, dan berbagai aspek lain dari subjektif budaya, bukan dari penampilan fisiknya (Feagin & Feagin dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001). Suku bangsa Batak Toba adalah individu yang berasal dari (keturunan) suku bangsa Batak Toba, dan etnis ini menganut sistem patrilineal (garis keturunan ayah),
(8)
sehingga marga yang dimiliki seorang anak suku bangsa Batak Toba adalah berasal dari marga ayahnya.
Konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang artinya tiga tiang tungku atau tiga status sosial. Ketiga status sosial tersebut adalah Hula-hula
(pihak keluarga ibu atau pemberi istri), Boru (keluarga saudara perempuan atau penerima istri), dan Dongan Tubu (anggota keluarga yang berasal dari satu keturun atau teman semarga). Falsafah hidup suku bangsa Batak Toba yang berlandaskan Dalihan Na Tolu ini mencakup “Somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” yaitu hormat pada Hula-hula, ramah dengan melakukan pendekatan/membujuk Boru, dan berhati-hati dalam menjaga hubungan baik dengan teman semarga. Ketiga status sosial tersebut akan dijalani oleh setiap suku bangsa Batak Toba (yang sudah menikah, suami dan istri) sehingga hubungan kekerabatan berupa Dalihan Na Tolu mendidik suku bangsa Batak Toba menjadi orang yang demokratis dan terbuka. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep Dalihan Na Tolu ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan suku bangsa Batak Toba. Sistem kekerabatan tersebut tidak bertujuan menciptakan sistem kelas atau kasta melainkan untuk membangun hubungan saling mengasihi dan menghormati agar tetap bersatu dan bekerjasama (Harahap dan Siahaan, 1987; Simanjuntak, 2000).
Simanjuntak (2000) menjelaskan bahwa demokrasi dalam suku bangsa Batak Toba diartikan sebagai demokrasi yang kolektif, yaitu cara/seni yang mampu mengharmonisasikan perasaan individu dengan keiinginannya. Ketiga
(9)
status sosial dalam Dalihan Na Tolu mengindikasikan bahwa Hula-hula memiliki status khusus atau paling tinggi. Hal ini dikarenakan suku bangsa Batak Toba percaya bahwa Hula-hula adalah sumber berkat dan perlindungan bagi Boru. Hal inilah pula yang mengharuskan Boru memberikan hormat pada Hula-hula dan menganggap Hula-hula sebagai ‘raja’ atau pemimpin. Hula-hula disisi lain
diharapkan membina hubungan yang baik dengan Boru secara
persuasi/membujuk. Hula-hula diharapkan berhati-hati menjalankan fungsinya sebagi ‘raja’, bukan berarti Hula-hula memiliki posisi yang tinggi dapat memperlakukan Boru secara bebas karena Boru adalah pendukung kehidupan
Hula-hula. Semakin banyak Boru, maka dapat diartikan semakin besar kekuasaan
Hula-hula, dan tanpa ada Boru, Hula-hula tidak memiliki arti karena tidak memiliki kekuasaan. Budaya Batak Toba juga mengajarkan seseorang untuk berhati-hati dengan Dongan Tubu. Dongan Tubu merupakan saudara sehingga memiliki status, hak, dan kewajiban yang sama. Kesamaan atau kesetaraan tersebut sering menjadi motivator Dongan Tubu untuk bersaing mendapatkan hak, status, kehormatan, dan sebagainya, yang kemudian berpeluang besar menimbulkan konflik. Itulah sebabnya setiap orang berhati-hati dalam menjaga hubungan baik dengan Dongan Tubu.
Kemandirian suku bangsa Batak Toba di dalam Dalihan Na Tolu
menghasilkan potensi konflik yang tinggi berupa keinginan untuk bersaing dan lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late
(10)
menjelaskan bahwa perasaan tersebut juga membuat suku bangsa Batak Toba sulit menyatakan dirinya telah gagal.
DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan bahwa tingginya emosi (emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa Batak Toba yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada mara”, artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya. Pada satu sisi hal tersebut dapat mempercepat penyelesaian konflik namun di sisi lain menciptakan benturan fisik yang dapat menimbulkan tindak kekerasan atau agresivitas. Lebih lanjut ia membandingkannya dengan suku bangsa Batak Simalungun yang memiliki kontrol diri lebih tinggi dan tidak terbuka menyelesaikan konflik sehingga benturan lebih terhindari. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa suku bangsa Batak Toba pada umumnya kurang memiliki kontrol diri.
Selain konsep Dalihan Na Tolu terdapat pula sembilan nilai budaya Batak yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi
(haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon, hukum, kemajuan, konflik,
hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang sebagai misi budaya suku Batak, yaitu hagabeon (anak), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan), yang dalam pembahasan selanjutnya disingkat dengan misi budaya 3H. Misi budaya tersebut juga dituangkan dalam lagu yang diciptakan oleh Nahum Situmorang berjudul Marragam-ragam, berikut ini kutipan syairnya:
(11)
Marragam-ragam do sita-sita di hita manisia
Marasing-asing do anggo pangidoan di ganup-ganup jolma Hamoran, Hagabeon, Hasangapon ido dilului na deba Inna deba asalma tarbarita goarna tahe....
DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan hasangapon adalah cita-cita suku bangsa Batak Toba yang dicapai dengan adanya hagabeon dan hamoraon. Konsep hasangapon ini menyatu dengan ide-ide dan beritegrasi dengan kepribadin suku bangsa Batak Toba. Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak (Harahap dan Siahaan, 1987).
Adanya konflik dalam kebersamaan merupakan hal yang unik dalam kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi suku non-Batak sukar difahami. Oleh sebab itu hubungan suku bangsa Batak Toba dengan suku bangsa lain sering menimbulkan salah pengertian. Kebebasan mengemukakan pendapat pada suku bangsa Batak Toba mungkin akan mengalami benturan bila suku bangsa Batak Toba terlibat dalam masalah yang menyangkut diri orang lain dari suku bangsa lain yang menganut budaya hubungan manusia atas-bawah dan tertutup. Suku bangsa Batak Toba dapat saja memberi kesan kepada suku lain sebagai orang yang suka turut campur urusan orang lain, atau melanggar tata krama sopan santun, meskipun menurut ukuran nilai budaya tradisional suku bangsa Batak Toba, keterlibatan itu adalah wajar atau bahkan wajib (Harahap dan Siahaan, 1987).
Junjungan dan Zulkifli (dalam Lubis, 2005) menjelaskan bahwa bukti sejarah menunjukkan sejak dahulu suku bangsa Batak Toba selalu terlibat konflik.
(12)
hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Sedemikian seringnya terjadi konflik, sehingga tidak heran muncul anggapan sinis yang mengatakan bahwa suku bangsa Batak Toba senang berkelahi dan bahkan terdapat stereotip yang mendukung penilaian yang demikian, yaitu cara berbicara atau berkomunikasi suku bangsa Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi (2005) yang menunjukkan bahwa suku Batak tampak lebih ekspresif menunjukkan rasa marahnya. Sebagai tambahan, Harahap dan Siahaan (1987) mengatakan bahwa suku bangsa Batak Toba lebih agresif dibanding suku Batak Angkola-Mandailing.
Nadapdap (dalam Lubis, 2005) menggambarkan bahwa secara umum pada diri manusia Batak Toba terdapat dualisme kepribadian. Di satu sisi mereka adalah manusia yang senang bekerja, senang mengumpulkan harta, senang mengabdi pada Tuhan, mencintai masyarakat, dan pandai bergaul. Di sisi lain mereka juga adalah manusia yang pencemburu, pesaing, tidak kenal kompromi dan belas kasihan, serta sering bertindak destruktif, yakni mencari segala macam cara untuk bisa merusak bahkan melenyapkan harta dan atau nama baik orang yang menjadi saingannya.
Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat menggambarkan kepribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah pola-pola perasaan, pikiran dan perilaku yang konsisten. Dalam psikologi,
(13)
kepribadian secara umum dipandang sebagai kumpulan karakter perilaku dan kognitif, trait atau predisposisi seseorang yang relatif menetap pada berbagai situasi, konteks, dan dalam berhubungan dengan orang lain, serta membentuk perbedaan individual (Matsumoto dan Juang, 2004).
Hal yang perlu diperhatikan ketika melihat konstruk kepribadian dalam suatu budaya adalah indigenous personality dan cultural psychology. Indigenous personality (kepribadian pribumi) merupakan kumpulan trait kepribadian dan karakteristik yang ditemukan hanya pada budaya tertentu. Cultural psychology
(psikologi budaya) dan kepribadian bukanlah hal yang terpisah, melainkan merupakan sistem yang saling menguntungkan, masing-masing memelihara dan membentuk yang lain atau dengan kata lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi (Matsumoto dan Juang, 2004). Hasil penelitian menggunakan Big Five Personality atau yang dikenal juga dengan Five Factor Model (FFM), menunjukkan tampilan kepribadian yang berbeda pada budaya yang berbeda (Santrock, 2003). Cina, Jepang dan Filipina menunjukkan openness yang rendah (De Raad dalam Pervin, 2005). Penelitian menggunakan trait personality pada budaya Asia menunjukkan mereka lebih membiasakan diri pada hubungan individual dengan keluarga dan kelompok sosial dari pada trait kepribadian individu yang tertutup (Pervin, 2005). Penelitian lain menyatakan orang dewasa di Hong Kong rendah pada extroversion daripada di Inggris dan pada anak-anak di Hong Kong rendah pada extroversion dan neuroticism daripada di Inggris (Matsumoto dan Juang, 2004).
(14)
Teori yang menggambarkan kekonsistenan kepribadian adalah Trait Theory oleh Allport (dalam Lahey, 2005). Trait adalah pola perilaku (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait
(Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu
neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan
concientiousness.
Big Five Personality adalah konsep model yang dibuat berdasarkan dimensi kepribadian yang jelas dan mendasar yang tampil universal untuk semua orang. Model ini diawali oleh berbagai penelitian Eysenk dengan menggunakan EPQ yang banyak mendukung bahwa extroversion dan neuroticism bersifat stabil, skala kepribadian yang universal. Berbagai penelitian lintas budaya mengenai validitas FFM belakangan ini dilakukan untuk mendukung universalitas tersebut, termasuk pula penelitian ini. Universalitas FFM menggambarkan bahwa semua manusia memiliki struktur kepribadian yang mirip yang dapat dikarakteristikkan oleh lima trait atau dimensi Big Five Personality tersebut (Matsumoto dan Juang, 2004).
Peneliti kepribadian, sama seperti ilmu-ilmu lain, mengandalkan pengukuran data konkrit yang dapat digunakan untuk menguji “what people are like”. Dalam hal inilah Big Five memegang peranan penting. Big Five mula-mula berasal dari dua tim penelitian yang berdiri sendiri di tahun 1970-an—Paul Costa dan Robert McCrae (di National Institutes of Health), dan tim lainnya yaitu
(15)
Warrent Norman (di University of Michigan) dan Lewis Goldberg (di University of Oregon)—yang melakukan cara sedikit berbeda dengan hasil sama: kebanyakan trait kepribadian manusia dapat dipersempit menjadi lima dimensi kepribadian, tanpa memperhatikan bahasa maupun budaya. Kelima dimensi ini diperoleh dengan menanyakan ribuan orang dengan ratusan pertanyaan kemudian menganalisa data menggunakan prosedur statistik yang dikenal dengan analisa faktor (outofservice, 2002). Big Five dibangun menggunakan pendekatan Lexical Hypothesis yang menyatakan bahwa hampir semua perbedaan kepribadian orang yang menonjol dan tampak dalam kehidupannya dikenal dalam bahasanya (wikipedia, 2007).
Big Five merupakan model gambaran kepribadian yang secara empiris berdasarkan fenomena, bukan teori, sehingga dapat digunakan dalam berbagai area penelitian psikologis (Srivastava, 2008; wikipedia, 2007). Kelima faktor Big Five atau FFM juga dikenal dengan model kepribadian OCEAN atau CANEO karena akronim yang terbentuk dari huruf-huruf inisialnya, yaitu Openness to experience, Concientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism. Pengelompokkan trait didasarkan pada generalisasi perhitungan statistik sehingga mungkin saja terjadi pengecualian pada profil kepribadian seseorang (wikipedia, 2007) namun tentu saja lebih banyak benarnya daripada salah (outofservice, 2002).
Barent Roberts dan beberapa ahli psikologi (dalam Srivastava, 2008) mengatakan bahwa pengaruh lingkungan (seperti aturan sosial) turut berinteraksi dengan faktor bilogis dalam membentuk trait kepribadian. Lebih lanjut, Chaplin
(16)
(dalam John dan Srivastava, 1999) menemukan bahwa dalam Big Five, konsep
trait dan state digabungkan. State adalah konsep asli kepribadian yang lebih mudah berubah-ubah, ringkas, dan disebabkan faktor eksternal.
Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi
conscientiousness dan tingginya kebersamaan pada suku bangsa Batak Toba mungkin berhubungan dengan dimensi extroversion yang tinggi pula. Namun di sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat agresif, tidak kenal kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan mengindikasikan rendahnya skor di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara berkomunikasi orang Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah, serta adanya dendam dan iri mungkin dapat dilihat sebagai traitneuroticism.
Sarlito (dalam Atmosiswoyo, dkk., 1999) menyatakan pentingnya mempelajari keragaman budaya untuk menjaga integrasi bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia. Pengakuan akan keragaman atau eksistensi suatu suku bangsa merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian deskriptif pada salah satu suku bangsa di Indonesia, yaitu suku bangsa Batak Toba. Penelitian mengenai kepribadian suku bangsa Batak Toba menggunakan Big Five Inventory (BFI) belum pernah dilakukan sehingga peneliti tertarik untuk melakukannya. Penelitian ini mengunakan skala Oliver’s Big Five Inventory yang diadaptasi dan dimodifikasi.
(17)
I.B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five Inventory (BFI).
I.C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Penggambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba ini menggunakan Big Five Inventory (BFI) yang diadaptasi dan dimodifikasi.
I.D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Sosial, khususnya mengenai suku bangsa Batak Toba. Penelitian ini diharapkan pula mampu menjadi landasan penelitian selanjutnya.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan:
a. Informasi bagi pengamat sosial dalam mengamati dan menganalisa kondisi dan fenomena sosial yang terjadi yang berkaitan dengan suku bangsa Batak Toba khususnya yang di Pematangsiantar.
(18)
b. Informasi bagi masyarakat khususnya yang berinteraksi dengan suku bangsa Batak Toba, sehingga mereka dapat lebih arif dalam memberikan respon terhadap perilaku suku bangsa Batak Toba.
c. Informasi bagi pihak-pihak pengembang yang berhubungan dengan suku bangsa Batak Toba sehingga dapat meningkatkan integrasi bangsa dan menghindari konflik yang destruktif.
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan suku bangsa Batak Toba dan Big Five Personality.
Bab III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, dan metode analisis data. Penelitian ini bersifat kuantitatif, dengan sampel penelitian adalah suku bangsa Batak Toba berjumlah 129 orang. Sampel penelitian ini diambil
(19)
dengan teknik pengambilan sampel proportional incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Big Five Personality yang diadaptasi dan dimodifikasi. Metode analisis data menggunakan statistik deskriptif dan uji Z.
(20)
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. SUKU BANGSA BATAK TOBA II.A.1. Sistem Sosial Batak Toba
Harahap dan Siahaan (1987) juga menjelaskan bahwa hubungan antara manusia dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu menjadi ciri khas kebudayaan Batak. Hubungan berdasarkan sistem kekerabatan ini telah disosialisasikan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, yaitu tokoh-tokoh yang paling dekat dalam kehidupannya terutama ibu, ayah, dan saudara-saudaranya. Orang lain di luar dirinya secara evolusionistis diperkenalkan sesuai dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Bersamaan dengan perkenalan orang-orang lain itu diperkenalkan kepadanya marga dan nilai yang terkandung di dalamnya, lengkap dengan aturan Dalihan Na Tolu yaitu somba marhula-hula (hormat pada hula-hula), elek marboru (membujuk pihak boru), dan manat mardongan tubu (baik kepada suhut). Diperkenalkan pula kepadanya silsilah keluarga batih, hula-hula, boru dan marga Batak pada umumnya. Proses sosialisasi awal ialah perkenalan tutur, panggilan kekerabatan lengkap dengan kata-kata kunci yang terdapat dalam perbendaharaan hubungan kekerabatan berdasar Dalihan Na Tolu.
Sosialisasi Dalihan Na Tolu yang mencakup marga, silsilah, dan tutur
(21)
sangat mahir dalam pemaparan hubungan kekerabatan yang dikaitkan dengan silsilah marga-marga. Hal ini terlihat ketika suku bangsa Batak Toba yang baru berkenalan bertemu, pertanyaan pertama yang selalu diajukan masing-masing adalah “Aha margam?” (Apa marga-mu?). Solidaritas marga yang kuat sekali pada suku bangsa Batak Toba sudah dikenal secara luas. Solidaritas marga atau antar marga yang di dalam maupun di luar kampung halaman tetap kuat terlihat dengan adanya punguan, perkumpulan marga dohot boruna, dan perkumpulan
huta yang anggotanya terdiri dari berbagai marga (Harahap dan Siahaan, 1987). Simanjuntak (2000) menyatakan bahwa sistem sosial Batak Toba mendukung terciptanya persatuan, solidaritas, dan persamaan dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba. Hal ini kemudian menciptakan komunikasi yang harmonis. Ketiga status sosial dalam Dalihan Na Tolu lebih menekankan pada hasangapon (rasa hormat) dari pada superioritas.
Dalihan Na Tolu sebagai jaringan kekerabatan mengajarkan hak dan kewajiban yang setara di antara ketiga unsurnya: Dongan Sabutuha/Kahanggi,
Hula-hula/Mora, dan Boru/Anak Boru. Hubungan kekerabatan berdasar Dalihan Na Tolu mengajarkan solidaritas dan penghargaan kepada orang lain. Setiap orang Batak Toba mempunyai kedudukan sebagai Hula-hula, Boru, dan Suhut (Dongan Tubu). Hubungan kekerabatan seperti ini mendidik suku bangsa Batak Toba menjadi orang yang demokratis dan terbuka.
(22)
II.A.2. Nilai Budaya Batak Toba
Harahap dan Siahaan (1987) mengungkapkan sembilan nilai budaya yang utama pada suku bangsa Batak Toba yaitu:
1. Kekerabatan
Mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu,
dan Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon
(Cendikiawan) serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.
2. Religi
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.
3. Hagabeon
Mencakup banyak keturunan dan panjang umur. Dalam upacara pernikahan Batak dikenal ungkapan tradisional yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan 17 putra dan 16 putri. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi.
Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur Matua Bulung
(23)
pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
4. Hasangapon
Mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan yang sangat kuat pada suku bangsa Batak Toba untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma, dan kekuasaan itu.
5. Hamoraon
Kaya raya merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.Hagabeon pada dasarnya adalah upaya mencapai hamoraon.
6. Hamajuon
Mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Pada abad yang lalu Sumatra Timur dipandang sebagai daerah rantau, tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya saingnya.
7. Hukum
Mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum
(24)
menegakkan kebenaran dan berkecimpung dalam dunia hukum merupakan dunia orang Batak. Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak jaman purba, sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan hak-hak asasi. Hal ini tampil dalam kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat nama orang-orang Batak dalam daftar penegak hukum, baik sebagai jaksa, pembela, maupun hakim. Contohnya, Hotman Paris Hutapea, SH.; Hotman Sitompul, SH.; Ruhut Sitompul, SH.; dan Juan Felix Tampubolon, SH.
8. Pengayoman
Kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.
9. Konflik
Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada pada Batak Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber konflik pada orang Batak Toba tidak hanya kehidupan kekerabatan melainkan lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain
hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba.
Persentase pemaknaan pesan budaya ke dalam sembilan nilai budaya utama suku bangsa Batak Toba secara berurut sebagai berikut:
(25)
1. Kekerabatan 34,33 % 2. Ketuhanan (Religi) 17,25 %
3. Hagabeon 12,32 %
4. Hukum 12,25 %
5. Hamajuon 6,87 %
6. Konflik 5,28 %
7. Hamoraon 4,58 %
8. Hasangapon 3,70 %
9. Pengayoman 3,52 %
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pada suku bangsa Batak Toba kedudukan nilai kekerabatan dan ketuhanan sangat tinggi yaitu di atas nilai-nilai yang lain, dan kedua nilai tersebut menjadi ciri khas suku ini. Tiga dari sembilan nilai utama itu yaitu: Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur),
Hamoraon (kaya raya), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) dipandang sebagai misi budaya orang Batak, yang juga dikenal sebagai misi budaya 3H. Perjuangan meraih misi budaya 3H melatih suku bangsa Batak Toba untuk mandiri dan dinamik. Orang yang bukan suku Batak dapat saja memandang perilaku suku bangsa Batak Toba dalam hal-hal tertentu sebagai pelanggaran tatakrama, tetapi bila orang luar tersebut memahami misi budaya 3H maka ukuran pelanggaran itu mungkin akan berbeda (Harahap dan Siahaan, 1987).
Pada suku bangsa Batak Toba misi budaya 3H berada pada urutan ketiga, ketujuh, dan kedelapan. Terdapat tiga nilai yang menyekat urutan itu yaitu: hukum, kemajuan, dan konflik. Hal ini memberi indikasi bahwa pergulatan
(26)
mencapai hasil misi budaya 3H didahului oleh pergulatan menegakkan hukum, perjuangan meraih kemajuan dan kehidupan berkonflik yang hampir tidak berkesudahan. Oleh sebab itu pula nilai kesembilannya adalah pengayoman. Selebihnya perjuangan hidupnya dijalani dalam suasana hubungan primordial yang kuat, kehidupan keagamaan dan jaringan ikatan kekerabatan dalam lingkungan keluarga besar. Keluarga besar dapat berskala lingkungan Dalihan Na Tolu, tetapi pada tingkat yang lebih luas, dapat pula berarti ikatan primordial Batak yang di dalamnya tercakup seluruh puak-puak Batak. Kekerabatan, religi, dan hagabeon itulah yang menjadi modal dasar spiritual suku bangsa Batak Toba dalam perjalanan hidupnya. Dalam keadaan sedih maupun gembira, mereka senantiasa berada dalam suasana ikatan ketiga nilai budaya utama ini.
Konsep hagabeon sesungguhnya berakar dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar. Hagabeon adalah dasar mencapai hamoraon dan hasangapon. Banyak anak berarti banyak tenaga untuk bekerja sehingga lebih produktif dan mencapai hamoraon. Hagabeon dan hamoraon adalah akses untuk mencapai hasangapon. Hasangapon merupakan tujuan utama dan paling penting dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba. Kepercayaan suku bangsa Batak Toba bahwa mereka adalah keturunan raja berhubungan erat dengan hasangapon sehingga mereka tidak perlu memiliki jabatan agar dihormati. Pelaksanaan adat seperti memotong kerbo untuk pesta adat Batak dapat memberikan arti hasangapon pada pemilik pesta. Hasangapon ini
(27)
bila dikaitkan dengan teori Maslow dapat diidentikkan dengan aktualisasi diri (Simanjuntak, 2000; Harahap dan Siahaan, 1987).
Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras (horas), dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik dalam kesolidaritasan secara serentak. Inilah yang unik dari kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang non-Batak sukar difahami. Di tengah-tengah suasana persaingan yang tinggi, solidaritas tetap terpelihara untuk mencapai tujuan bersama yaitu kaya raya. Hal ini merupakan mentalitas yang unik, menjaga solidaritas dalam suasana persaingan.
II.A.3. Suku Bangsa Batak Toba di Pematangsiantar
Suku bangsa Batak Toba banyak tersebar di Pematangsiantar dan menjadi suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini terbukti dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota Pematangsiantar tahun 2006, yaitu sebanyak 117.652 (47,47%). Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan bahwa adat Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan adatnya. Suku bangsa Batak Toba yang ada di Pematangsiantar pada dasarnya berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba yaitu Tapanuli Utara, dan umumnya bukan berasal dari kaum intelektual.
(28)
II.B. BIG FIVE PERSONALITY II.B.1. Batasan Big Five Personality
Kata personality (kepribadian) berasal dari kata persona (bahasa Latin) yang merujuk pada kedok atau topeng yang dipakai oleh pemain-pemain panggung dalam drama untuk mengembangkan peran atau penampilan yang berbeda. Definisi ini tidak dapat diterima karena kepribadian tidak hanya dilihat sebagai peran yang dimainkan seseorang (Feist dan Feist, 2002).
Personality is the sum-total of actual or potential behavior-patterns of organism as determined by heredity and environment (Eysenck dalam Suryabrata, 2002, h. 288).
Eysenck menjelaskan bahwa kepribadian merupakan kumpulan pola perilaku yang tampak maupun berupa kecenderungan perilaku yang ditentukan oleh bawaan dan lingkungan.
McAdams (dalam Cavanaugh, 2006) menggambarkan tiga tingkatan paralel struktur dan fungsi kepribadian yang masing-masing tingkatan meliputi berbagai konstrak kepribadian. Ia mengarahkan tingkatan tersebut dengan nama yang cukup umum: dispositional traits, personal concerns, dan life narrative.
Dispositional Traits mencakup aspek kepribadian yang konsisten untuk semua konteks yang berbeda dan dapat dibandingkan antarkelompok dengan tingkatan pengelompokkan tinggi-rendah. Dispositional Traits adalah tingkatan kepribadian yang pertama sekali dipikirkan oleh kebanyakan orang, dan disimpulkan secara umum melalui skrip seperti pemalu, suka bicara, otoriter, dan ramah. Personal Concerns mencakup hal-hal penting, tujuan, dan pusat perhatian dalam hidupnya.
(29)
strategi; ditunjukkan oleh taraf hidupnya saat itu. Life Narrative mencakup aspek kepribadian yang mencakup keseluruhannya. Aspek-aspek integratif ini menunjukkan jati dirinya sendiri atau sense of self. Bentuk kepribadian dari dimensi Big Five adalah hasil dari tingkat dispositional traits.
Costa dan McCrae (dalam Cavanaugh, 2006) membuat tiga asumsi tentang
trait. Pertama, trait didasarkan pada perbandingan individual, karena tidak ada standart kuantitatif absolut untuk konsep seperti friendliness (bersahabat). Kedua, kualitas atau perilaku dari trait harus cukup jelas untuk menghindari kebingungan. Ketiga, trait diberikan kepada orang tertentu yang diasumsikan sebagai karakteristik yang stabil. Ketiga asumsi ini tercakup dalam definisi trait sebagai berikut.
a trait is any distinguishable, relatively enduring way in which one individual differs from others (Guilford dalam Cavanaugh, 2006, p. 344).
Selama tiga dekade para trainer dan konsultan pada umumnya mengikuti asumsi Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) namun sekarang model kepribadian yang lebih diterima dan digunakan adalah Big Five (Howard dan Howard, 2004). Model ini sangat didasarkan dari penelitian-penelitian cross-sectional, longitudinal, dan penelitian selanjutnya (Costa dan McCrae dalam Cavanaugh, 2006).
II.B.2. Definisi Big Five Personality
Big Five adalah lima trait atau dimensi dasar yang sekarang ini menjadi gagasan penting utama dalam menggambarkan kepribadian (Morris dan Maisto,
(30)
2005). Howard dan Howard (2004) menjelaskan bahwa masing-masing dimensi
Big Five Personality seperti sebuah paket yang mencakup seperangkat trait
kemudian cenderung terjadi bersamaan. Definisi kelima faktor tersebut menunjukkan usaha untuk menggambarkan elemen umum dari sejumlah trait atau sub-faktor, di dalam masing-masing “paket”. Paket trait yang paling umum diterima adalah yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae tahun 1992. Tatanamanya dibentuk untuk populasi akademik dan klinis. Trait adalah pola perilaku tertentu (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap pada berbagai situasi (Lahey, 2005).
II.B.3. Dimensi Big Five Personality
McCrae dan Costa (dalam Cavanaugh, 2006) menyebutkan dimensi Big Five Personality yaitu terdiri dari neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Masing-masing dimensi ini memiliki enam facets.Facets adalah trait yang lebih spesifik atau komponen yang menggambarkan masing-masing cakupan faktor Big Five itu. Tiga dimensi pertama (neuroticism, extraversion, dan openness to experience) merupakan dimensi yang paling sering diteliti. Skala yang menggunakan ketiga dimensi ini itu disebut NEO-PI. Dua dimensi yang kemudian ditambahkan setelah tahun 1980-an bertujuan memberi data tambahan dan mendekatkan teori ini dengan teori
trait lainnya. Kemudian skala direvisi menjadi NEO-PI-R yang juga dikenal dengan Big Five Inventory (BFI).
(31)
Neuroticism. Enam facets neuroticism yaitu anxiety, self–consciousness, deppresion, vulnerability, impulsiveness, dan hostility. Anxiety dan
hostility merupakan trait penting untuk dua emosi dasar: fear (rasa takut) dan angry (perasaan marah). Meskipun individu mengalami emosi ini pada beberapa waktu, frekuensi dan intensitasnya berbeda-beda pada setiap orang. Orang yang tinggi traitanxiety bersifat nervous, high-strung, tense, worried, dan pessimistic. Selain cenderung anger, orang yang hostile
mudah marah dan cenderung sulit bersama orang lain untuk waktu yang lama. Trait self–consciousness dan depresi berhubungan dengan emosi duka cita (sorrow) dan perasaan malu (shame). Individu yang memiliki
self–consciousness tinggi cenderung sensitif akan suatu perasaan dan merasa tidak berarti. Trait depresi menyangkut perasaan sedih, putus asa, kesepian, bersalah, dan rendah diri. Dua facets terakhir dari neuroticism
-impulsiveness dan vulnerability-paling sering dimanifestasikan sebagai perilaku daripada emosi. Impulsiveness adalah kecenderungan menyerah pada godaan dan hasrat karena rendahnya tekad dan kontrol diri. Hasilnya, orang yang impulsif sering melakukan sesuatu berlebihan, sperti
overeating dan overspending. Mereka juga lebih senang merokok, berjudi, dan menggunakan obat-obatan. Vulnerability mencakup kurangnya kemampuan mengatasi stress. Vulnerable people cenderung sangat tergantung pada bantuan orang lain. Secara umum orang yang tinggi pada dimensi ini cenderung memiliki skor yang tinggi pada masing-masing trait
(32)
tipikal memunculkan kekerasan dan emosi negatif untuk mencampuri orang lain dalam menyelesaikan masalah atau untuk bersama orang lain.
Extraversion. Keenam facets dari extraversion dapat dikelompokkan dalam tiga interpersonaltrait (warmth, gregariousness, dan assertiveness) dan tiga temperamental trait (activity level, excitement seeking, dan
positive emotions). Warmth, atau kelekatan, adalah bersahabat, memiliki hasrat untuk bersama orang lain, dan ingin menghibur orang lain/terharu.
Warmth dan gregariousness (hasrat untuk bersama orang lain) menjadikannya orang yang kadang disebut suka bergaul. Orang yang
gregarious hidup dalam kerumunan; terdapat banyak interaksi sosial. Orang yang assertif menjadi pemimpin secara alami, mudah mengambil tanggung jawab, memberikan pandangan sendiri, serta tanpa ragu-ragu mengemukakan pikiran dan perasaannya. Mereka senang dengan kesibukan, berbicara cepat, dan selalu berusaha mencari situasi yang menantang. Temperamental, orang extravert senang untuk selalu sibuk; mereka terlihat mempunyai energi yang tidak terbatas, berbicara cepat, dan ingin terburu-buru. Mereka lebih menyukai lingkungan yang mengasikkan, penuh semangat, dan selalu berusaha mencari situasi yang menantang. Aktif di sini, gaya hidup penuh semangat yang jelas merupakan emosi positif orang extravert. Mereka contoh dari nafsu, kegembiraan hati, dan kesenangan. Aspek yang menarik dari extraversion
adalah bahwa dimensi ini sangat berhubungan dengan ketertarikan akan pekerjaan dan nilai. Orang yang tinggi pada dimensi ini cenderung
(33)
people-oriented job, seperti pekerja sosial, administrasi bisnis, dan sales. Mereka menghargai tujuan kemanusiaan dan menggunakan kekuatan person-oriented. Orang yang rendah extravertion cenderung task-oriented job, seperti arsitektur dan akuntan.
Openness to experience. Keenam facets dari openness to experience
menggambarkan enam area yang berbeda. Dalam area fantasi, openness
artinya memiliki imajinasi yang hidup dan active dream life. Dalam hal seni, openness terlihat dalam mengapresiasikan seni dan kecantikan, sensitif pada pengalaman yang ia alami sendiri. Keterbukaan pada tindakan yang memerlukan keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru, baik itu berbagai masakan baru, film baru, atapun tempat wisata baru. Orang yang terbuka pada ide dan nilai yang untuk diketahui. Orang yang terbuka cenderung open-minded pada nilai-nilainya, selalu mengakui bahwa hal-hal yang benar untuk seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain. Pandangan ini hasil langsung dari keinginan individu terbuka mempertimbangkan kemungkinan yang berbeda dan kecenderungan mereka untuk berempati pada orang-orang dengan situasi berbeda. Orang yang terbuka juga merasakan perasaan yang dalam dan memandang mereka sebagai sumber utama makna hidup. Maka tidak mengherankan
openness to experience juga berhubungan dengan pilihan pekerjaan. Orang yang open senang pada pekerjaan yang memerlukan pikiran teoritis atau filosofis dan kurang memandang nilai ekonomis. Secara tipikal mereka cerdas dan cenderung membiarkan dirinya berada pada situasi penuh
(34)
tekanan. Pekerjaan seperti psikolog atau pengajar patut dipertimbangkan untuk orang open.
Agreeableness. Cara mudah untuk mengerti dimensi ini adalah dengan mengingat trait yang berkarakter antagonis. Orang antagonis cenderung bermusuhan; skeptis, tidakpercayaan, tidak berperasaan, keras kepala, tidak simpatik, dan kasar; dan mereka kurang memiliki rasa akan kelekatan. Antagonis dapat ditunjukkan lebih dari sekedar overt hostility. Sebagai contoh, orang antagonis ahli memanipulasi atau agresif (cekatan dan giat) dengan kurang kesabaran. Skor tinggi pada agreeableness, berkebalikan dengan antagonis, tidak selalu dapat beradaptasi dengan segala keadaan. Orang ini cenderung terlalu tergantung dan self-effacing,
trait yang selalu mengganggu orang lain.
Conscientiousness. Nilai yang tinggi pada conscientiousness menunjukkan bahwa individu pekerja keras, ambisi, enerjik, teliti, dan tekun. Seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk membuat sesuatu dengan tangannya sendiri. Orang yang berkebalikan cenderung lalai, malas, berantakan, terlambat, tidak punya tujuan, dan tidak tukun/gigih.
II.B.4. Pengukuran Big Five Personality
Big Five Personality dibuat menggunakan pendekatan yang sangat sederhana. Peneliti mencoba menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa kata-kata yang digunakan orang-orang (bukan hanya ahli ilmu jiwa,
(35)
tetapi sehari-hari, orang biasa) untuk menggambarkan kepribadian seseorang (John, Angleitner, dan Ostendorf dalam Pervin, 2005).
Penyebutan faktor “Big Five” menandakan adanya faktor, dan “Big” merujuk pada ditemukannya pada masing-masing faktor sejumlah besar trait yang lebih spesifik; faktor tersebut kebanyakan luas dan abstrak dalam hirarki kepribadian (Pervin, 2005). Untuk memudahkan mengingat kelima dimensi ini digunakan huruf awal dari setiap dimensi, menghasilkan kata OCEAN (Openness,
Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism) (John dalam Pervin, 2005)
Para peneliti menemukan bahwa beberapa versi dari Big Five Personality
sesuai pada orang-orang dari negara yang berbeda, seperti Kanada, Finlandia, Cina, dan Jepang (Paunonen dkk., dalam Cavanaugh, 2006). Para ahli psikologi percaya bahwa letak dan konteks budaya secara luas penting dalam Big Five Personality.
Pada tabel 2 akan dikemukakan ilustrasi skala yang digunakan Costa dan McCrae dalam mengungkap faktor Big Five Personality.
Tabel 2. Ilustrasi Skala dan Faktor-faktor Trait Big Five Karakteristik
Memiliki Skor Tinggi
Skala Trait Karakteristik Memiliki Skor Rendah Worrying, nervous, insecure, inadequate, hypochodriacal NEUROTICISM (N)
Assesses adjustment vs. emotional instability. Identifies individual prone to psychological distress, unrealistic ideas, excessive cravings or urges, and maladaptive coping responses.
Calm, relaxed, unemotional, hardy, secure, self-satisfied Sociable, active, talkative, person-oriented, EXTRAVERSION (E)
Assesses quantity and intensity of interpersonal interaction; activity level; need for stimulation;
Reserved, sober, unexuberant, aloof,
(36)
task-optimistic, fun-loving,
affectionate
and capacity for joy. oriented,
retiring, quiet Curious, broad interests, creative, original, imaginative, untraditional OPENNESS (O)
Assesses proactive seeking and appreciation of experience for its own sake; toleration for and exploration of the unfamiliar.
Conventional, down-to-earth, narrow interests, unartistic, unanalytical Soft-hearted, good-natured, trusting, helpful, forgiving, gullible, straightforward AGREEABLENESS (A)
Assessesthe quality of one’s interpersonal orientation along a continuum from compassion to antagonism in thoughts, feeling, and actions.
Cynical, rude, suspicious, uncooperative, vengeful, ruthless, irritable, manipulative Organized, reliable, hard-working, self-diciplined, punctual, scrupulous, neat, ambitious, persevering CONSCIENTIOUSNESS (C)
Assesses the individual’s degree of organization, persistence, and motivation in goal-directed behavior. Contrasts dependable, fastidious people with those who are lackadaisical and sloppy. Aimless, unreliable, lazy, careless, lax, negligent, weak-willed, hedonistic
Sumber: Costa dan McCrae dalam Pervin, 2005, h. 255.
Setiap trait pada Big Five Personality memiliki trait bentuk kebalikannya, yaitu
neuroticism versus emotional stability, extraversion versus introversion, openness
versus closedness, agreeableness versus antagonism, dan conscientiousness
versus lack of direction. Orang yang memiliki skor rendah pada traitneuroticism
akan menunjukkan stabilitas emosi yang tinggi.
II.C. GAMBARAN BIG FIVE PERSONALITY PADA SUKU BANGSA BATAK TOBA DI PEMATANGSIANTAR
Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi, dan hak. Budaya menentukan dan membentuk perilaku, pikiran, dan perasaan
(37)
individu secara tidak langsung melalui konsep dirinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku individu (Matsumoto dan Juang, 2004).
Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah suku bangsa Batak Toba. Dalam suku bangsa Batak Toba terdapat sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dan sembilan nilai budaya Batak yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi (haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang sebagai missi budaya orang Batak, yaitu hagabeon
(anak), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan), Kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak. Hal inilah yang unik dalam kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang non-Batak sukar difahami (Harahap dan Siahaan, 1987).
Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat menggambarkan keribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah pola-pola perasaan, pikiran dan perilaku yang konsisten.
Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi
(38)
mungkin berhubungan dengan facetgregariousness di dimensi extroversion yang tinggi pula. Namun di sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat agresif, tidak kenal kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan mengindikasikan rendahnya skor di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara berkomunikasi orang Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah, serta adanya dendam dan iri mungkin dapat dilihat sebagai traitneuroticism.
(39)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.
Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata, atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variabel. Dalam pengolahan data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Faisal, 1995).
Punch (1998) menyatakan bahwa terdapat dua kegunaan dilakukan penelitian dekriptif. Pertama, untuk pengembangan teori dan area penelitian yang baru, maksudnya sebelum merencanakan/melakukan penelitian yang lebih mendalam (exploratory studies) lebih baik terlebih dahulu memusatkan perhatian pada deskripsi yang sistematis terhadap objek penelitian. Kedua, deskripsi yang tepat mengenai proses-proses sosial yang kompleks dapat membantu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi suatu variabel dan faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian berikutnya secara lebih mendalam.
(40)
III. A. PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimana gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar? Alat tes yang digunakan adalah Big Five Inventory (BFI) yang diadaptasi dan dimodifikasi. Gambaran ini dilihat melalui skor Z pada masing-masing subjek dalam kelima dimensi yaitu: neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness.
III.B. VARIABEL PENELITIAN
Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar.
III.C. DEFINISI OPERASIONAL
Kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar diungkap menggunakan Big Five Inventory yang didasarkan pada teori Big Five Personality. Big Five Personality menyatakan bahwa kepribadian manusia mencakup lima dimensi yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience, agreableness, dan conscientiousness.
1. Neuroticism menyangkut keadaan emosi individu yang tidak stabil, cenderung distress, memiliki ide yang tidak realistis, keinginan yang berlebihan, impulsif dan maladaptive coping responses. Orang yang tinggi
trait ini bersifat mudah marah, putus asa, dan memunculkan kekerasan serta emosi negatif untuk mencampuri orang lain.
(41)
2. Extraversion menyangkut kuantitas dan kualitas interaksi interpersonal, kebutuhan akan stimulus, dan kemampuan untuk menikmati kesenangan, serta individu yang aktif. Orang yang tinggi trait ini memiliki sifat bersahabat, memiliki hasrat untuk bersama orang lain (suka bergaul), hidup dalam kebersamaan, mudah mengambil tanggung jawab, memberikan pandangan sendiri, serta tanpa ragu-ragu mengemukakan pikiran dan perasaannya. Ia juga senang untuk selalu sibuk, selalu berusaha mencari situasi yang menantang, dan memiliki gaya hidup penuh semangat.
3. Openness menyangkut penghargaan dan berusaha mencari pengalamannya sendiri, mencari dan mentolerir sesuatu yang tidak biasa. Orang yang tinggi trait ini memiliki imajinasi yang hidup, cenderung open-minded,
dan berempati pada orang-orang dengan situasi berbeda. Individu terbuka pada tindakan yang memerlukan keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru, baik itu berbagai masakan baru, film baru, atapun tempat wisata baru.
4. Agreeableness menyangkut kualitas orientasi personal seseorang dan menyangkut perasaan, pikiran dan perilaku seseorang berkaitan perasaan terharu/simpati. Orang yang tinggi trait ini cenderung terlalu tergantung dan tidak selalu dapat beradaptasi dengan segala keadaan.
5. Conscientiousness menyangkut kecenderungan individu akan organisasi, ketekunan, dan motivasi dalam berperilaku langsung mencapai tujuan. Orang yang tinggi trait ini merupakan individu pekerja keras, ambisi,
(42)
enerjik, teliti, dan tekun. Ia mempunyai dorongan yang kuat untuk membuat sesuatu dengan tangannya sendiri.
Kelima dimensi ini akan diungkap melalui Big Five Inventory. Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang pada dimensi tertentu maka dimensi tersebut semakin dominan dalam kepribadiannya.
III.D. POPULASI DAN METODE PENGUMPULAN DATA III.D.1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh subjek atau objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama. Sampel adalah sebahagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
III.D.2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik
nonprobability sampling secara incidental. Incidental sampling adalah pemilihan sampel yang setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel, dimana pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000).
III.D.3. Jumlah Sampel Penelitian
Pada teknik incidental sampling besarnya sampel tidak diperhitungkan. Menurut Hadi (2000), sebenarnya tidaklah ada suatu ketetapan yang mutlak
(43)
berapa persen suatu sampel harus diambil dari populasi. Peneliti menetapkan sendiri atau memilih sampling mana yang akan dijadikan sebagai sampel dengan bertolak pada asumsi bahwa sampel yang diambil memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengambil jumlah sampel 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar dengan mengikuti proporsi dari jumlah suku bangsa Batak Toba di masing-masing kecamatan yang ada di Pematangsiantar.
Semakin besar sampel, akan semakin kecil kemungkinan bias menarik kesimpulan tentang populasi. Bailey (dalam Soehartono, 2004) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah.
III.D.4. Karakteristik Populasi Penelitian
Adapun karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Bersuku bangsa Batak Toba,
Ayah & ibu subjek bersuku bangsa Batak Toba, Berusia antara 21 sampai dengan 60, dan Bertempat tinggal di Pematangsiantar
III.E. ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis. Penelitian ini menggunakan metode skala mengingat data yang ingin diungkap
(44)
berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk butir-butir pernyataan (Azwar, 2000). Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan dalam penelitian beredasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :
1. Subjek adalah orang yang paling tahu mengenai dirinya.
2. Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada penyidik adalah benar dan dapat dipercaya.
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penyidik.
Skala Big Five yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Oliver’s Big Five Inventory. Skala ini menggunakan penskalaan model Likert. Skala terdiri dari pernyataan dengan enam pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Cukup Sesuai (CS), Kurang Sesuai (KS), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan
unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4, bobot penilaian untuk pernyataan favorable, yaitu SS = 6, S = 5, CS = 4, KS = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk bobot pernyataan unfavorable, penilaiannya adalah SS = 1, S = 2, CS = 3, KS = 4, TS = 5, STS = 6.
III. E. 1. Metode Pembuatan Skala
Skala Big Five dalam penelitian ini diadapatasi dari Oliver’s Big Five Inventory yang berbahasa Inggris sehingga diperlukan proses penterjemahan. Penterjemahan adalah pengalihan bahasa dari bahasa asal ke bahasa sasaran,
(45)
dalam penelitian ini, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penterjemahan skala psikologi memungkinkan penelitian terhadap ciri-ciri psikologi dalam konstrak psikologi pada berbagai subjek yang memiliki bahasa yang berbeda dan budaya yang berbeda (hulin, dkk. dalam Marianti, 2007).
Skala yang telah diterjemahan tidak dapat langsung dianggap setara dengan skala asal dalam hal isi dan karakteristik skala kerena belum tentu mempunyai budaya yang sama atau dapat dibandingkan sehingga diperlukan metode evaluasi terhadap kualitas terjemahan. Metode evaluasi kualitas terjemahan dalam penelitian ini menggunakan model penerjemahan kembali. Metode ini paling populer untuk mengevaluasi kesetaraan skala delam dua bahasa. Model penerjemahan kembali memungkinkan bagi peneliti yang tidak pasih dalam kedua bahasa untuk mengevaluasi terhadap kualitas terjemahan dengan membendingkan skala dalam bahasa asal dengan skala yang telah diterjemahkan kembali dari bahasa sasaran (Gierl, dkk. dalam Marianti, 2007).
Metode penerjemahan kembali ini mencakup 3 tahapan (Hulin, dkk. dalam Marianti, 2007) yaitu:
1. Skala dalam bahasa asal diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran,
2. Skala dalam bahasa sasaran diterjemahkan ke dalam bahasa asal oleh penerjemah yang berbeda dan tidak terlibat dalam tahap satu,
3. Peninjau membandingkan antara skala dalam bahasa asal, dalam bahasa asal yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, dan dalam bahasa sasaran yang telah diterjemakan kembali ke dalam bahasa asal. Tujuan tahap ini menurut Eremenco (dalam Marianti, 2007) adalah memilih hasil
(46)
terjemahan terbaik dalam bahasa sasaran pada setiap aitem. Peninjau tidak terlibat dalam tahap satu dan dua penerjemahan.
Ketiga tahap di atas adalah proses adapatasi skala, namun peneliti melakukan modifikasi skala dengan menambahkan beberapa aitem yang dianggap peneliti diperlukan untuk lebih menggali variabel yang ingin diteliti. Modifikasi mulai dilakukan dari tahap dua penerjemahan skala sehingga peneliti sudah terlibat pada tahap dua penerjemahan.
III. E. 2. Pesiapan Skala
a) Big Five Inventory dari bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang penerjemah dari Indonesia yang berlatarbelakang pendidikan sasatra Inggris.
Tabel 3. Hasil Penterjemahan Skala dari Bahasa Asal ke Dalam Bahasa Target
No Bahasa Asal Bahasa Target
I see Myself as Someone who...
Saya memandang diri sendiri sebagai orang yang ...
1. Is talkative Suka berbicara
2. Tends to find fault with others Cenderung melihat kesalahan orang lain 3. Does a thorough job Melakukan pekerjaan dengan teliti 4. is depressed, blue Mudah mengalami kesedihan yang
mendalam 5. Is original, comes up with new
ideas Memiliki ide-ide bersifat unik dan baru
6. Is reserved Senang menyendiri
7. Is helpful and unselfish with
others
Senang membantu orang lain dan tidak egois
8. Can be somewhat careless Terkadang ceroboh
9. is relaxed, handles stress well Termasuk orang yang berpikir tenang
dalam menghadapi masalah 10. Is curious about many different
things Ingin tahu banyak hal
11. Is full of energy Sangat enerjik (penuh semangat) 12. Starts quarrels with others Sering memulai pertengkaran
(47)
14. can be tense Kadang dapat menjadi sangat pemarah 15. Is ingenious, a deep thinker Berpikir serius
16. Generates a lot of enthusiasm Menunjukkan rasa ingin tahu (antusias)
yang cukup tinggi
17. Has a forgiving nature Mudah langsung memaafkan 18. Tends to be disorganized Cenderung berantakan 19. worries a lot Termasuk pencemas
20. Has an active imagination Memiliki imajinasi sangat berkembang 21. Tends to be quiet Cenderung pendiam
22. Is generally trusting Cenderung mudah percaya 23. Tends to be lazy Cenderung malas
24. is emotionally stable, not
easily upset
Emosi relatif stabil, tidak mudah tersinggung
25. Is inventive Senang menciptakan sesuatu
26. Has an assertive personality Asertif, mampu mempertahankan hak
tanpa menyakiti orang lain 27. Can be cold and aloof Kurang bersemangat dan ingin
menyendiri 28. Perseveres until the task is
finished
Gigih mengerjakan sesuatu hingga pekerjaan itu selesai
29. can be moody Suasana hati mudah berubah-ubah 30. Values artistic, aesthetic
experiences
Memperhatikan sesuatu dari segi seni dan keindahannya
31. Is sometimes shy, inhibited Kadang menjadi pemalu dan segan-segan 32. Is considerate and kind to
almost everyone Peduli dan baik pada hampir setiap orang
33. Does things efficiently Melakukan segalanya secara efisien 34. remains calm in tense
situations
Tetap tenang dalam menghadapi situasi tegang
35. Prefers work that is routine Lebih menyukai pekerjaan
keseharian/rutin 36. Is outgoing, sociable Mudah bergaul
37. Is sometimes rude to others Terkadang kasar pada orang lain 38. Makes plans and follows
through with them
Biasa membuat rencana dan
melakukannya sesuai dengan rencana tersebut
39. gets nervous easily Mudah gugup dan gelisah
40. Likes to reflect, play with ideas Suka berpikir dengan sungguh-sungguh
dan bermain dengan ide-ide 41. Has few artistic interests Kurang tertarik akan hal-hal seni 42. Likes to cooperate with others Senang bekerja sama dengan orang lain 43. Is easily distracted Mudah teralih perhatian dan menjadi
bingung 44. Is sophisticated in art, music,
(48)
b) Big Five Inventory yang sudah berbahasa Indonesia diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh seorang penerjemah dari Indonesia yang berlatarbelakang pendidikan sasatra Inggris yang berbeda dan tidak terlibat dalam tahap penerjemahan sebelumnya. Peneliti melakukan modifikasi skala dengan menambahkan beberapa aitem yang dianggap peneliti diperlukan untuk lebih menggali variabel yang ingin diteliti. Beberapa aitem yang ditambahkan merupakan bentuk unfavorabel dari skala asal dan ada pula yang mirip dengan skala asal.
Tabel 4. Distribusi Aitem Yang Ditambahkan Dalam Skala Dalam Bahasa Target
No Ket Bahasa Inggris Asal Bahasa Indonesia
I see Myself as Someone who...
Saya memandang diri sendiri sebagai orang yang ...
1. E Is talkative Suka berbicara
Tidak banyak berbicara* 2. A Tends to find fault with
others
Cenderung bermasalah dengan orang lain
3. C Does a thorough job Melakukan pekerjaan dengan teliti
Memperhatikan hal-hal kecil/detil* 4. N is depressed, blue
Mudah mengalami kesedihan yang mendalam
Sering merasa tertekan batin* 5. O Is original, comes up with
new ideas Memiliki ide-ide bersifat asli dan baru
6. E Is reserved Senang menyendiri
Senang bersama orang lain* 7. A Is helpful and unselfish with
others
Senang membantu orang lain Tidak mementingkan diri sendiri* 8. C Can be somewhat careless Terkadang ceroboh
9. N is relaxed, handles stress well
Termasuk orang yang berpikir tenang dalam menghadapi masalah Mampu mengatasi tekanan*
(49)
10. O Is curious about many
different things
Ingin tahu berbagai hal berbeda Suka mencari sesuatu yang tidak biasa*
Ingin mencoba berbagai hal baru seperti masakan baru, film baru, ataupun tempat wisata baru* 11. E Is full of energy Sangat bersemangat
12. A Starts quarrels with others Sering memulai pertengkaran
13. C Is a reliable worker Termasuk pekerja yang terpercaya 14. N Can be tense Kadang dapat menjadi sangat pemarah 15. O Is ingenious, a deep thinker Berpikir serius
Memiliki banyak ide bagus* 16. E Generates a lot of
enthusiasm
Memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi
17. A Has a forgiving nature Mudah langsung memaafkan 18. C Tends to be disorganized Cenderung berantakan
Melakukan pekerjaan secara teratur* 19. N Worries a lot Termasuk pencemas
20. O Has an active imagination
Memiliki imajinasi sangat berkembang
Mampu menciptakan sesuatu yang * kreatif
Sulit memahami sesuatu tanpa melihat bendanya secara langsung *
21. E Tends to be quiet Cenderung pendiam
22. A Is generally trusting Cenderung mudah percaya
23. C Tends to be lazy Cenderung malas
24. N is emotionally stable, not easily upset
Hampir selalu tenang Tidak mudah tersinggung * 25. O Is inventive Senang menciptakan sesuatu 26. E Has an assertive personality Berpendirian teguh
27. A Can be cold and aloof
Senang bergaul *
Kadang kurang bersahabat Kadang kurang percaya diri * 28. C Perseveres until the task is
finished
Gigih mengerjakan sesuatu hingga pekerjaan itu selesai
29. N can be moody Suasana hati mudah berubah-ubah 30. O Values artistic, aesthetic Menilai sesuatu dari segi
(50)
Memperhatikan sesuatu dari segi seni*
31. E Is sometimes shy, inhibited
Kadang menjadi pemalu
Gugup kalau harus menyampaikan pendapat *
Senang mengobrol dengan orang-orang yang berbeda di pesta * 32. A Is considerate and kind to
almost everyone
Peduli dan baik pada hampir setiap orang
33. C Does things efficiently Menggunakan segalanya secara tepat 34. N Remains calm in tense
situations
Tetap tenang dalam menghadapi situasi tegang
Mudah terganggu oleh berita buruk * 35. O Prefers work that is routine Lebih menyukai pekerjaan
keseharian/rutin
36. E Is outgoing, sociable Mudah bergaul
Senang menjalin persahabatan * 37. A Is sometimes rude to others Terkadang kasar pada orang lain
38. C Makes plans and follows
through with them
Biasa membuat rencana dan
melakukannya sesuai dengan rencana tersebut
Selalu merencanakan segalanya * 39. N gets nervous easily Mudah gugup dan gelisah
40. O Likes to reflect, play with
ideas
Suka bermain dengan ide-ide Senang memperhatikan dan memuji berbagai hal *
Memerlukan waktu untuk berpikir dengan sungguh-sungguh sebelum membuat keputusan *
41. O Has few artistic interests Kurang tertarik dengan hal-hal seni
42. A Likes to cooperate with
others
Senang bekerja sama dengan orang lain
43. C Is easily distracted Mudah terganggu, teralih perhatian
44. O Is sophisticated in art,
music, or literature
Berpengalaman dalam seni, musik dan sastra
45. E Menyukai suasana pesta *
46. A
Mudah terharu *
Bisa merasakan perasaan orang lain * Menyediakan waktu untuk bepergian dengan orang lain *
(51)
47. C Sering lupa mengembalikan barang
ke tempatnya semula *
48. O Sulit memahami orang lain *
Mudah memahami berbagai hal *
Keteragan: * aitem yang ditambahkan Bolt aitem unfavorabel
O, C, E, A, dan N adalah inisial dari masing-masing dimensi Big Five
Tabel 5. Hasil Penterjemahan Skala dari Bahasa Target ke Dalam Bahasa Asal
No Bahasa Asal Bahasa Target Bahasa Asal
* I see Myself as Someone who...
Saya memandang diri sendiri sebagai orang yang...
I often see Myself as a person who...
1. Is talkative Suka berbicara Likes talking Tidak banyak berbicara Doesn’t talk much
2. Tends to find fault with others
Cenderung bermasalah dengan orang lain
Tends to have problem with others
3. Does a thorough
job
Melakukan pekerjaan dengan teliti
Does the work carefully Memperhatikan hal-hal
kecil/detil
Pays attention to small things
4. is depressed, blue
Mudah mengalami
kesedihan yang mendalam
Experiences deep sadness easily Sering merasa tertekan
batin Always feels depressed
5. Is original, comes
up with new ideas
Memiliki ide-ide bersifat asli dan baru
Has original and new ideas
6. Is reserved
Senang menyendiri Likes being alone
Senang bersama orang lain Likes gathering with others
7.
Is helpful and unselfish with others
Senang membantu orang
lain Likes helping others
Tidak mementingkan diri
sendiri Isn’t selfish
8. Can be somewhat
careless Terkadang ceroboh Is sometimes careless 9.
is relaxed, handles stress well
Termasuk orang yang berpikir tenang dalam menghadapi masalah
Think clearly in facing problems
(1)
Lebih lanjut Dewi (2004) mengatakan bahwa kontrol marah pada suku bangsa Batak Toba tidak cukup kuat unutk mengimbangi kemarahan yang sering muncul sehingga suku bangsa Batak Toba terlihat lebih ekspresif dalam mengungkapkan rasa marahnya. Hal ini terutama tampak pada pria suku bangsa Batak Toba karena didukung hasil panelitian ini yang menunjukkan bahwa pada pria dimensi yang paling tidak dominan adalah dimensi agreeableness. Berbeda dengan wanita, dimensi agreeableness adalah dimensi kedua yang dominan setelah neuroticism. Dimensi agreeableness menunjukkan orang yang berhati lembut, suka menolong, dan simpatik terhadap orang lain. Secara keseluruhan, dimensi agreeableness berada pada urutan keempat dari lima dimensi kepriabadian suku bangsa Batak Toba.
Dua dimensi berikutnya setelah neuroticism, yang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah extraversion dan openness. Hal ini menunjukkan bahwa suku bangsa Batak Toba tidak hanya membuka diri kepada orang lain namun juga terbuka untuk menerima hal-hal baru termasuk pandangan orang lain. Keterbukaan ini tidak lepas dari konsep Dalihan Na Tolu yang dianut suku bangsa Batak Toba. Sesuai dengan penjelasan pada bab satu dan bab dua bahwa sistem sosial Dalihan Na Tolu membentuk pribadi suku bangsa Batak Toba yang terbuka dan demokratis. DR. Plasthon Simanjuntak menjelaskan bahwa perbedaan pandangan dapat sangat sensitif dan memicu timbulnya konflik pada suku bangsa Batak Toba ketika perbedaan pendapat itu dihadapkan dengan hasangapon-nya.
(2)
V. C. SARAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran. Saran-saran ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan kelanjutan studi ilmiah mengenai kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar terutama yang menggunakan Big Five Inventory, dan dapat digunakan oleh semua pihak yang terlibat di dalam penelitian tersebut.
1. Perbanyak jumlah subjek penelitian dengan menggunakan metode sampling yang representatif, sehingga hasil penelitian lebih dapat menggambarkan keadaan subjek yang sebenarnya dan dapat dilakukannya generalisasi hasil penelitian secara luas.
2. Diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan sehubungan dengan kepribadian suku bangsa Batak Toba. Penelitian dengan tema yang sama sebaiknya melihat pengaruh budaya Batak Toba terhadap variabel-variabel psikologis lainnya dan untuk lebih mempermudah penggalian diharapkan menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif memungkinkan untuk mengungkap kepribadian suku bangsa Batak Toba secara lebih lengkap. 3. Sebaiknya peneliti memperhatikan unsur bahasa yang digunakan dalam
penulisan aitem skala, sebab pada penelitian ini ditemukan adanya kesulitan masyarakat Batak Toba di Pematangsiantar untuk merasakan (feel in) maksud aitem skala. Peneliti juga menyarankan agar ketika melakukan penelitian kuantitatif pada suatu suku bangsa diharapkan mencantumkan istilah dalam
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Atmosiswoyo, dkk. (1999). Prosiding: Simposium Etnopsikologi Menjawab Tantangan Konflik Etnik. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan LPM UI.
Azwar, Saefuddin. (2000). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
BPS. (2007). Pematangsiantar Dalam Angka 2007. Pematangsiantar: Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar.
Cavanaugh, John C., Fredda Blanchard Fields. (2006). Adult Development and Aging, Fifth Edition. USA: Thomson Learning, Inc.
Dalton, Elias, Wandersman. (2001). Community Psychology (Linking Individuals and Communities). USA: Thomson Learning, Inc.
Dewi, Zahrasari Lukita. (2004). Anteseden, Pengalaman, Ekspresi, dan Kontrol Marah pada Orang Batak dan Orang Jawa. (Tesis). Depok: Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
_______. (2005, September). Pengalaman, Ekspresi, dan Kontrol Marah pada Orang Batak dan Orang Jawa. Jurnal Psikologi, vol. 16, no. 2. Jakarta: Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.
Faisal, S. (1995). Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. (2002). Theories of Personality. Fifth Edition. International Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
(4)
Harahap, Basyrai Hamidy dan Hotman M. Siahaan. (1987). Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar Butar-Butar.
Howard, Pierce J dan Jane M Howard. (2004). The Big Five Quickstart: An Introduction to The Five-Factor Model of Personality, for Human Resource Professionals. Charlotte: CentACS. [on-line]. Available: http://www.centacs.com/quickstart.htm. Tanggal Akses: 20 Maret 2007.
Irmawati. (2007). Nilai-nilai yang Mendasari Motif-motif Penentu Keberhasilan Suku bangsa Batak Toba (Studi Psikologi Ulayat). (Disertasi S3). Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Paru.
_______. (2002). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Penerbit Djambatan.
Lahey, Benjamin B. (2005). Psychology: An Introduction. Ninth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Lubis, Nina Elianita. (2005). Hubungan antara Pola Asuh dengan Agresivitas pada Remaja Suku bangsa Batak Toba di SMU Markus. Medan: USU
Matsumoto, David dan Linda Juang. (2004). Culture and Psychology, Third Edition. America: Thomson Learning, Inc.
Mantra, Ida Bagoes Prof, Ph.D. (2004). Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marianti, Sukaesi. (2007). Aplikasi Model Politomi Teori Respon Aitem Dalam Analisis Katakteristik Psikomeri pada Skala Kesulitan Hubungan Interpersonal Remaja. (Tesis). Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
(5)
Morris, C. G. dan Albert A. Maisto. (2005). Basic Psychology. New Jersey: Prentice Hall.
Pervin, Lawrence A., Daniel Cervone, dan Oliver P. John. (2005). Personality: Theory and Research, Ninth Edition. International Edition. New York: John Wiley & Son, Inc.
Punch, K.F. (1998). Introduction to Social Research, Quantitative and Qualitative Approach. British : SAGE Publications.
Purba, Jonni. (2004, September). Peran Keluarga Batih dalam Pembetukkan Kepribadian dan Identitas Etnik. Jornal Pemberdayaan Comunitas, vol. 3, no. 3, hal. 119-122. Medan: FISIP USU.
Santrock, John W. (2003). Psychology. Seventh Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Sibeth, Achim dkk. (1991). The Batak: people of the Island of Sumatera. London: Thames and Hudson
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Simanjuntak, Plasthon. (2000). Seeking Reconciliation: A Culturally Appropriate Conflict Management Model for Congregations of the Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). (Disertasi). USA: Minnesota Concortiom of Theological Schools Doctor of Ministry Program.
Soehartono, Irawan. (2004). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. (2002). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
(6)
www.outofservice.com. (2002). The Big Five Personality Test. [on-line]. Available: http:/www.outofservice.com/bigfive/info/. Tanggal Akses: 12 Mei 2007.
www.wikipedia.com. (2007). Batak-Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas
Berbahasa Indonesia. [on-line]. Available: http:/www.wikipwdia.com/batak/. Tanggal Akses: 26 Maret 2007.