Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Batu Bara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang yang masih memiliki berbagai
persoalan yang dihadapi pemerintah secara kompleks akibat krisis multidimensi
yaitu pertentangan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian
kita tidak dapat terlepas dari apa yang disebut sebagai kebijakan publik.
Kebijakan publik merupakan proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas
pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik.1 Kebijakan
pembangunan yang mendukung kesetaraan dan keadilan gender menjadi salah
satu instrumen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Kebijakan yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah kebijakan mengenai
Pengarusutamaan Gender.
Isu kesetaraan gender masih menjadi isu sensitif di kalangan masyarakat
Indonesia. Adanya perbedaan akses atau peluang untuk memperoleh sumber daya
pembangunan antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, berdampak pada
adanya

perbedaan


partisipasi

dan

kontrol

masing-masing

pihak

yang

mengakibatkan perbedaan antara keduanya dalam memperoleh manfaat dari hasil
                                                            

1

Eddi Wibowo, T.Saiful Bahri, dan Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2004. Kebijakan Publik dan Budaya.


Yogyakarta: YPAPI. hal. 29

Universitas Sumatera Utara

pembangunan tersebut. Ketidakadilan gender ini mengakibatkan perempuan
dan/atau laki-laki merasa dirinya dirugikan, namun pada kenyataannya kaum
perempuan lah yang lebih banyak mengalami kerugian atau penindasan.2
Ketidakadilan gender yang terjadi dan bahkan belum teratasi di Indonesia,
termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi, Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik dan pembentukan, Stereotype atau melalui pelabelan negatif,
Kekerasan dan Beban Kerja Ganda kerja lebih panjang dan lebih banyak bagi
perempuan daripada laki-laki, selain itu sosialisasi ideologi nilai peran gender
dalam proses pembangunan masih terdapat pembedaan perlakuan antara
perempuan dengan laki-laki terutama bila bergerak dibidang publik dan politik.3
Hal ini diperkuat oleh kemajuan pembangunan kualitas hidup manusia
Indonesia yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam kurun
waktu sepuluh tahun, IPM Indonesia menunjukkan mengalami peningkatan setiap
tahunnya, akan tetapi tidak diikuti oleh Indeks Pembangunan Gender (IPG)
sehingga mengalami kesenjangan atau tidak seimbang.


                                                            

2

Manual Pengarusutamaan Gender (PUG): Sebuah Panduan Praktis Dari Pengalaman Program ANCORS.

https://carpanlibrary.files.wordpress.com/2009/04/ancors_manual-gender.pdf. Diakses pada tanggal 19 April
2015. Pukul 07:59 WIB. hal. 3.

 Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan: Edisi ke-50. 2006. Pengarusutamaan Gender. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan. hal. 60.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan Gender dan
Indeks Pemberdayaan Gender di Indonesia tahun 2004 - 2013
2004

2005


2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

IPM 68,69 69,57 70,10 70,59 71,17 71,76 72,27 72,77 73,27 73,81
IPG


63,94 65,13 65,10 65,30 66,38 66,77 67,20 67,80 68,52 69,60

IDG 60,10 61,32 61,30 61,80 62,27 63,13 64,27 66,10 68,20 70,20
Sumber: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik memaparkan angka Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2013 berturut-turut mengalami
peningkatan. Diikuti oleh angka Indeks Pembangunan Gender (IPG)4 yang
menangkap naik-turunnya angka pembangunan perempuan dan laki-laki. Selain
itu, diikuti pula oleh Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)5 yang juga menangkap
naik-turunnya angka pemberdayaan perempuan dan laki-laki sama seperti IPG.
Adanya kesenjangan antara angka IPM dengan angka IPG pada Tabel 1.1 di atas
menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan sumber daya manusia walaupun
terjadi peningkatan dari tahun ke tahun secara keseluruhan, namun belum
sepenuhnya diikuti dengan keberhasilan pembangunan gender atau masih terdapat
                                                            
4

Indeks Pembangunan Gender guna melihat dan mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dengan


Indeks Pembangunan Manusia.
5

Indeks Pemderdayaan Gender guna mengukur ketidaksetaraan gender dalam partisipasi politik dan

pengambilan keputusan.

Universitas Sumatera Utara

kesenjangan gender. Angka IDG Indonesia juga relatif rendah, hal ini
menunjukkan partisipasi dan kesempatan perempuan masih rendah baik dibidang
politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan.6
Upaya untuk menghilangkan kesenjangan gender sudah banyak dilakukan
pada tataran internasional. Beberapa pendekatan untuk meningkatkan peran
perempuan dalam pembangunan tersebut seperti pendekatan perempuan dalam
pembangunan (Women In Development atau WID), pendekatan perempuan dan
pembangunan (Women And Development atau WAD) dan pendekatan gender dan
pembangunan (Gender And Development atau GAD). Pendekatan ini juga
mempengaruhi upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia. Bersama dengan
negara-negara di dunia, Indonesia telah menandatangani kesepakatan untuk

menghapuskan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, selain itu juga telah
menyepakati beberapa konvensi internasional, diantaranya Convention for The
Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW), Beijing Platform for
Actions (BPA) pada tahun 1995 di Beijing, dan Millenium Development Goals
(MDGs) yang disusun pada tahun 2000 oleh 189 negara anggota PBB.
Kesungguhan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender telah ditindaklanjuti dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan Nasional. Sebelumnya telah pula tercantum dalam GBHN 1999 dan
                                                            
6

Rr. Niken Sitoresmi dan Siti Amanah. 2013. Jurnal Sosiologi Pedesaan: Pendampingan Perempuan

Korban Tindak Kekerasan Oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2tp2a),
ISSN : 2302-7517, Vol. 06, No. 03. hal. 1-2.

Universitas Sumatera Utara

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pertumbuhan Nasional

(PROPENAS 2000-2004). Gender Mainstreaming atau Pengarusutamaan Gender
(PUG) adalah suatu strategi pembangunan untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender dengan mengintegrasikan kepentingan, aspirasi dan kondisi lakilaki dan perempuan dalam setiap tahapan pengelolaan pembangunan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan dan evaluasi. Sedikitnya ada dua
hal yang tersirat dalam PUG. Hal yang pertama adalah terintegrasinya
kepentingan, aspirasi dan kondisi laki-laki dan perempuan yang dapat dipenuhi
antara lain dengan terlibatnya laki-laki dan perempuan dalam proses
pembangunan terutama sebagai pengambil keputusan. Hal kedua adalah
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender yang berarti bahwa laki-laki dan
perempuan dapat sama-sama menikmati hasil pembangunan.7
Inpres ini menginstruksikan kepada jajaran eksekutif; Menteri, Kepala
Lembaga,

Gubernur

dan

Bupati/Walikota

untuk


melaksanakan

strategi

pengarusutamaan gender sebagai bagian pembangunan nasional.8 Pengadopsian
PUG dalam pembangunan di Indonesia merupakan langkah politis baru dalam isu
gender, karena strategi ini bertumpu pada dua pendekatan. Pertama, meletakkan
pemerintah sebagai agent of change bagi pembangunan yang adil gender. Kedua,
melakukan intervensi (keterlibatan) terhadap semua tahap proses atau siklus
pembangunan mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.
                                                            

 Manual Pengarusutamaan Gender (PUG): Sebuah Panduan Praktis Dari Pengalaman Program ANCORS.
Ibid., hlm. 6. 
8 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.

Universitas Sumatera Utara


Selain itu tersedia beberapa produk hukum yang diperlukan untuk
mendukung upaya mewujudkan kesetaraan gender, diantaranya Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
di

Daerah,

dan

Surat

Edaran

Bersama

Menteri


Negara

Perencanaan

Pembangunan/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan
Menteri

Pemberdayaan

Perempuan

dan

Perlindungan

Anak

No.

270/M.PPN/11/2012, No. SE-33/MK.02/2012, No. 050/4379A/SJ, dan No. SE
46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan
Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender
(PPRG).9
Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003
tentang

Pedoman

Umum Pelaksanaan

Pengarusutamaan

Gender

Dalam

Pembangunan di Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67/2011
Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah,
menginstruksikan kepada semua unit pemerintah di bawah koordinasi Badan
Perencanaan

Pembangunan

Daerah

(Bappeda)

untuk

mengintegrasikan

pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan dan penganggaran. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka setiap daerah baik di tingkat provinsi maupun
                                                            

9

Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Op. cit. 2006. hal. 20-23.

Universitas Sumatera Utara

kabupaten/kota perlu memiliki peraturan daerah atau program-program yang
responsive gender.10
Di tingkat daerah, pelaksanaan pengarusutamaan gender dapat dilihat dari
lahirnya berbagai Peraturan Daerah maupun program-program yang dibentuk
dalam rangka merespon berbagai isu-isu kesenjangan gender. Misalnya
pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan Perda No. 6 tahun 2004
tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.11 Selain itu dalam
menerapkan peraturan dan konsep di bidang Pengarusutamaan Gender, Provinsi
Sumatera Utara juga membentuk Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender yang
ditetapkan

melalui

260/247/K/2009

Surat

yang

Keputusan

bertugas

Gubernur

Sumatera

mempromosikan

dan

Utara

No.

memfasilitasi

Pengarusutamaan Gender kepada masing-masing SKPD dan melaksanakan
sosialisasi

serta

advokasi

Kabupaten/Kota.12

Akan

Pengarusutamaan
tetapi

dalam

Gender

kepada

mengimplementasikan

Pemerintah
kebijakan

pengarusutamaan gender sebagai strategi dalam mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender khususnya di Kabupaten/Kota tidaklah mudah dan tanpa kendala.

                                                            
10Penyusunan

Rencana

Aksi

Daerah

Pengarusutamaan

Gender

Kabupaten

Kendal.

http://bappeda.kendalkab.go.id/component/content/article/29-pemsosbud/83-penyusunan-rencana-aksidaerah-pengarusutamaan-gender-kabupaten-kendal.pdf. Diakses pada tanggal 21 April 2015, pukul 10.23
WIB.
11

 

12



Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Op. cit. 2006. hal. 37.
Sumatera

Utara

Sukses

Dapatkan

Penghargaan

di

Bidang

Gender. 

http://satker-

mccbappenas.blogspot.com/2014/05/sumatera-utara-sukses-dapatkan.html. Diakses pada tanggal 01 Mei
2015, pukul 14:54 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Hal ini dialami oleh Kabupaten Batu Bara sebagai salah satu kabupaten
dari 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Batu Bara
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan berdasarkan Undang-undang
RI Nomor 5 tanggal 15 Juni 2007 tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara.
Saat ini Kabupaten Batu Bara dipimpin oleh OK Arya Zulkarnain, SH. MM.
(2013-2018).13
Secara umum, kemajuan yang mencolok dalam kesetaraan gender di
Kabupaten Batu Bara belum sepenuhnya diraih. Hal ini terjadi karena masih
terdapat kesenjangan dibeberapa bidang. Badan Pemberdayaan Perempuan
Kabupaten Batu Bara memaparkan bahwa bidang ekonomi yang dalam hal ini
adalah tenaga kerja, bidang pendidikan dan juga bidang kesehatan merupakan
bidang-bidang yang ‘dekat’ dengan kebijakan pengarusutamaan gender namun
juga rentan terjadi kesenjangan gender, mengingat ketiga bidang tersebut sangat
erat kaitannya dengan perempuan.
Secara umum, kemajuan yang mencolok dalam kesetaraan gender di
Kabupaten Batu Bara belum sepenuhnya diraih. Hal ini terjadi karena masih
terdapat kesenjangan dibeberapa bidang. Badan Pemberdayaan Perempuan
Kabupaten Batu Bara memaparkan bahwa bidang ekonomi yang dalam hal ini
adalah tenaga kerja, bidang pendidikan dan juga bidang kesehatan merupakan
bidang-bidang yang ‘dekat’ dengan kebijakan pengarusutamaan gender namun

                                                            

13

Katalog BPS 1102001.1219: Batu Bara Dalam Angka In Figures 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten

Batu Bara. 2014. hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

juga rentan terjadi kesenjangan gender, mengingat ketiga bidang tersebut sangat
erat kaitannya dengan perempuan.
Tingkat partisipasi angkatan kerja Kabupaten Batu Bara mengalami
penurunan pada tahun 2013 menjadi 59,22 persen, bila dibandingkan dengan
tahun 2012 sebanyak 63,22 persen. Namun dengan penurunan pada partisipasi
angkatan kerja, pengangguran di Kabupaten Batu Bara masih dianggap tinggi
dengan masih banyaknya jumlah pengangguran, pada tahun 2011 sebanyak 9.244
orang, pada tahun 2012 sebanyak 10.937, dan pada tahun 2013 sebanyak 10.618.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara harus
melakukan upaya-upaya untuk pembenahan dalam hal tenaga kerja, kesehatan dan
pendidikan, termasuk pula dari segi gender, agar tercapainya tujuan kesejahteraan
dan pembangunan perempuan.
Adapun kesenjangan gender pada bidang ekonomi di Kabupaten Batu
Bara terlihat dari jumlah tenaga kerjanya, Jumlah tenaga kerja laki-laki di
Kabupaten Batu Bara pada tahun 2015 ialah sebanyak 11,385 jiwa, sedangkan
tenaga kerja perempuan hanya sebanyak 1,603 jiwa. Untuk Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Batu Bara mengalami penurunan pada tahun
2014 menjadi 57,42 persen bila dibandingkan dengan tahun 2013 (59,22 persen).
Jika dilihat dari status pekerjaannya, 39,05 persen penduduk yang bekerja
di Kabupaten Batu Bara adalah buruh/karyawan. Penduduk yang berusaha dengan
dibantu anggota keluarga mencapai 13,64 persen, sedangkan penduduk yang
bekerja sebagai pekerja keluarga mencapai 7,35 persen. Hanya 30,19 persen

Universitas Sumatera Utara

penduduk yang menjadi pengusaha dan yang mempekerjakan buruh tetap/bukan
anggota keluarganya.14 Berikut data terpilah mengenai jumlah tenaga kerja
berdasarkan sektor dan jumlah perusahaan di Kabupaten Batu Bara.

Tabel 1.2 Jumlah Tenaga Kerja berdasarkan Sektor dan Jumlah
Perusahaan di Kabupaten Batu Bara Tahun 2015
Jumlah
Perusahaan

Sektor

Jumlah Tenaga
Kerja
L

P

12

2,579

249

-

-

-

Industri Pengolahan

27

5,413

557

Listrik, Gas dan Air

2

29

3

Bangunan

38

933

105

Perdagangan
Besar, Eceran, Rumah
Makan dan Restoran

50

729

384

Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi

11

174

16

Keuangan, Asuransi, Sewa Bangunan,
Tanah dan Jasa

37

663

108

Jasa Kemasyarakatan
Perorangan

17

865

181

-

-

-

Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan
Peternakan
Pertambagan dan Energi, Penggalian

Sosial

dan

Kegiatan yang belum jelas balasannya

                                                            

 Katalog BPS 1102001.1219: Batu Bara Dalam Angka In Figures 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Batu Bara.,2015. hlm. 62.

Universitas Sumatera Utara

JUMLAH

194

11,385

1,603

Sumber: Data Perusahaan Obyek Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Batu Bara 2015

Menurut data dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara, penduduk
Kabupaten Batu Bara yang bekerja ini sebagian besar bekerja pada sektor Industri
Pengolahan yaitu sebanyak 5,970 orang, dimana laki-laki sebanyak 5,413 orang
dan perempuan sebanyak 557 orang. Sektor kedua terbesar dalam menyerap
tenaga kerja di Kabupaten Batu Bara adalah sektor Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, dan Perikanan yaitu sebanyak 2,828 orang, dimana pekerja laki-laki
sebanyak 2,579 orang dan pekerja perempuan sebanyak 249 orang. Sektor lain
yang cukup besar peranannya dalam menyerap tenaga kerja adalah sektor
Bangunan sebanyak 1,038, dimana laki-laki 933 orang dan perempuan 105 orang
dan Jasa-Jasa yaitu sebanyak 1,046 orang, dimana laki-laki 865 orang dan
perempuan 181 orang. Namun dari semua lapangan pekerjaan yang tersedia di
Kabupaten Batu Bara, dominasi laki-laki baik disektor berat maupun ringan cukup
banyak. Sedangkan partisipasi pekerja perempuan masih sangat rendah bahkan
timpang.15
Selain pada bidang tenaga kerja, penyediaan sarana fisik pendidikan
merupakan upaya peningkatan kualitas setiap individu, baik perempuan maupun
laki-laki. Secara umum tingkat sarana pendidikan di Kabupaten Batu Bara baru
                                                            

 Data berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak H. Sailan Nasution selaku Plt. Dinas Tenaga Kerja

Kabupaten Batu Bara pada tanggal 8 Maret 2016, pukul 10.00 – 12.00 WIB, bertempat di Kantor Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara. 

Universitas Sumatera Utara

mencapai 90% untuk SD, 80% untuk SLTP dan 80% untuk SLTA. Sedangkan
untuk mutu pendidikannya masih sangat rendah. Tingkat kesadaran masyarakat
akan pentingnya pendidikan di Kabupaten Batu Bara sendiri terpengaruh oleh
letak wilayah, yaitu wilayah pesisir dan wilayah bukan pesisir.
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir untuk tingkat kesadarannya
diperkirakan hanya 40%, sedangkan untuk wilayah bukan pesisir untuk tingkat
kesadaran pendidikannya sudah mencapai 60%. Akan tetapi secara keseluruhan
masyarakat Batu Bara belum memahami pentingnya manfaat akan pendidikan.

Tabel 1.3 Perbandingan Tingkat Buta Huruf dan Tingkat Pendidikan
Penduduk Desa Pesisir dan Desa Bukan Pesisir Kabupaten Batu Bara Tahun
2010
Indikator

Desa Pesisir (%)

Desa Bukan
Pesisir (%)

Total
(%)



Tingkat Buta Huruf

6,66

3,30

4,16



Tidak/Belum Tamat SD

20,16

12,41

14,38



Tamat SD

39,74

33,47

35,06

Tamat SLTP

21,10

25,58

24,44

Tamat SLTA

16,56

24,78

22,69

Tamat Perguruan Tinggi

2,44

3,77

3,43





Sumber: Batu Bara Dalam Angka 2011 (Data Diolah)

Universitas Sumatera Utara

Pada desa pesisir, indikator buta huruf dan tingkat pendidikan yang
ditamatkan memiliki persentase yang cukup tinggi daripada desa bukan pesisir.
Untuk tingkat buta huruf, penduduk di desa pesisir mencapai 6,66%, untuk
pendidikan yang tidak atau belum tamat mencapai 20,16%, SD 39,74%, SLTP
21,10%, SLTA 16,56% dan Perguruan Tinggi mencapai 2,44%. Sedangkan pada
desa bukan pesisir, tingkat buta huruf cenderung rendah yaitu hanya sebanyak
3,30% dan untuk pendidikan yang tidak atau belum tamat mencapai 12,41%, SD
33,47%, SLTP 25,58%, SLTA 24,78% dan Perguruan Tinggi mencapai 3,77%.
Berikut merupakan data terpilah untuk tingkat buta huruf berdasarkan jenis
kelamin dan kelompok umur pada masyarakat di Kabupaten Batu Bara pada tahun
2014:

Tabel 1.4 Tingkat Buta Huruf Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok
Umur di Kabupaten Batu Bara Tahun 2014
Jenjang
Pendidikan

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

10-14

0,68

-

0,35

15-24

-

-

-

25-40

-

0,15

0,08

41-64

1,01

0,70

0,85

65+

6,71

1,80

4,04

Sumber: Batu Bara Dalam Angka 2015

Universitas Sumatera Utara

Budaya daerah di Kabupaten Batu Bara juga turut serta mempengaruhi
tingkat partisipasi dan kualitas pendidikan, dikarenakan mindset/pola pikir dari
suku melayu sebagai suku asli daerah, terlebih suku melayu yang tinggal di
daerah pesisir atau yang disebut melayu pesisir. Pola pikir yang terbentuk ialah
bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi,
bahkan tidak perlu bersekolah sama sekali. Perempuan harus di rumah dan
membantu orang tua, begitu pula dengan laki-laki yang diutamakan harus
membantu orang tua dengan ikut bekerja, yang hanya dikarenakan belum
memahami pentingnya manfaat pendidikan atau bersekolah. Akan tetapi pada
Tabel 1.4, menunjukkan bahwa perempuan justru memiliki tingkat buta huruf
yang rendah sebesar 1,80 persen, sedangkan tingkat buta huruf laki-laki lebih
tinggi yaitu sebesar 6,71 persen.
Dalam hal ini faktor letak wilayah (pesisir dan bukan pesisir) ternyata
mempengaruhi pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan, khususnya
para orang tua untuk tetap mengajarkan anak-anak mereka sejak dini, seperti
membaca dan menulis dan hal ini terbukti berdasarkan Tabel 1.3 dan Tabel 1.4.
Kabupaten Batu Bara dibandingkan dengan daerah yang sudah maju
pendidikannya masih sangat jauh tertinggal dari segi kualitas, meskipun sarana
dan prasarana yang telah disediakan pemerintah daerah mudah dijangkau dan

Universitas Sumatera Utara

jumlah sekolah yang menyebar, hal ini tentu masih menjadi permasalahan
dibidang pendidikan.16
Kesenjangan gender pada akses ke kesehatan juga terlihat pada jumlah
kematian ibu yang meningkat. Tinggi rendahnya angka kematian (mortalitas)
secara umum dipengaruhi erat dengan tingkat kesakitan golongan bayi, balita dan
ibu maternal (hamil, melahirkan, nifas). Angka kematian yang cukup bervariasi
untuk Kabupaten Batu Bara dari tahun ke tahun salah satunya dapat di lihat pada
Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, dan Angka Kematian Ibu. Data
mengenai angka kematian AKB, AKABA dan AKI dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 1.5 Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, dan Angka
Kematian Ibu di Kabupaten Batu Bara 2010 - 2014
2010

2011

2012

2013

2014

AKB

2,63‰

3,50‰

6,60‰

12,05‰

4,72‰

AKABA

0‰

0,38‰

1,33‰

1,44‰

5,54‰

AKI

155,65‰

161,68‰

203,23‰

129,96‰

153,30‰

Sumber: http://dinkes.batubarakab.go.id

Angka Kematian (Mortalitas) dalam masyarakat dari waktu ke waktu dapat
memberi gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat atau dapat
                                                            

  Data berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Darwis, S. Pd selaku Kepala Dinas Pendidikan

Kabupaten Batu Bara pada tanggal 2 Maret 2016, pukul 08.30 – 10.00 WIB, bertempat di Kantor Dinas
Pendidikan Kabupaten Batu Bara.

Universitas Sumatera Utara

digunakan sebagai indikator penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan
program pembangunan kesehatan. Pada Tabel 1.5 memaparkan bahwa untuk
Angka Kematian Bayi per. 1.000 kelahiran hidup di Kabupaten Batu Bara cukup
bervariasi dan cenderung terjadi kenaikan. Dari tahun 2010 sampai dengan 2013
angka kematian bayi terus mengalami peningkatan, sedangkan pada tahun 2014
mengalami penurunan. Tahun 2010 AKB sebesar 2,630/00, tahun 2011 jumlah
kematian bayi 26 orang dari 7.422 kelahiran hidup atau (3,50 0/00), dimana AKB
ini naik dari AKB tahun sebelumnya, sedangkan pada tahun 2012 angka kematian
bayi 52 dari 7.873 kelahiran hidup (6,60 0/00). Untuk tahun 2013 jumlah kematian
bayi sebanyak 102 orang dari 8.479 kelahiran hidup (12,050/00) yang ada di
Kabupaten Batu Bara, sedangkan tahun 2014 jumlah kematian bayi 40 dari 8.480
kelahiran hidup (4,720/00 ) mengalami penurunan dibanding dengan tahun 2013,
dengan demikian AKB di Kabupaten Batu Bara pada tahun 2014 sudah jauh
dibawah angka nasional.
Selain itu, untuk Angka Kematian Balita yang merupakan jumlah kematian
Anak umur 0-4 tahun per 1000 kelahiran hidup, juga dapat menggambarkan
tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit infeksi dan
kecelakaan di Kabupaten Batu Bara. Menurut Renstra Kemenkes tahun 20152019, angka kematian anak balita menjadi 40/1000 kelahiran hidup. Berdasarkan
data hasil laporan rutin oleh DinKes Batu Bara, nilai AKB pada tahun 2010
adalah 0 0/00, tahun 2011 naik menjadi 0,380/00, pada tahun 2012 terjadi

Universitas Sumatera Utara

peningkatan kematian balita berjumlah 58 Jiwa atau sebesar 1,330/00, dan pada
tahun 2013 juga terjadi peningkatan kematian balita sebanyak 63 jiwa atau
sebesar 1,440/00. Sedangkan pada tahun 2014 terjadi penurunan jumlah kematian
balita yaitu sebanyak 47 jiwa tetapi persentasenya meningkat menjadi 5,540/00.
Hal ini memberikan gambaran tentang sistem informasi manajemen dan pelaporan
kemungkinan telah berjalan dengan baik, dimana Angka kematian balita sudah
tercapai selama tahun 2014 yaitu (47 per 1000 jumlah balita).
Selanjutnya adalah Angka Kematian Ibu yang berarti jumlah kematian ibu
pada masa kehamilan, melahirkan dan nifas per 100.000 kelahiran hidup.
Perkembangan AKI di Kabupaten Batu Bara tidak cukup dengan jumlah, tetapi
dengan angka. Angka-angka kematian ibu melahirkan tersebut, yakni pada tahun
2010 jumlah kematian ibu sebanyak 13 jiwa (155,65 per 100.000 Kelahiran
Hidup). Pada tahun 2011 jumlah kematian ibu sebanyak 12 jiwa (161,68 0/0000)
dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah kematian ibu yaitu 16 jiwa
(203,23 0/0000), sedangkan pada tahun 2013 terjadi penurunan jumlah kematian ibu
sebanyak 11 jiwa (129,96 0/0000). Dan pada tahun 2014 kembali mengalami
kenaikan yaitu

dari 8.480 kelahiran hidup terdapat 13 kematian ibu

(153,30 0/0000). Selain itu, Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate) juga
mempengaruhi perkembangan derajat kesehatan masyarakat.17

                                                            

17

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara. http://dinkes.batubarakab.go.id. Diakses pada Tanggal 19

Februari 2016, pukul 13.42 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Selain kondisi di atas, Kabupaten Batu Bara juga hanya memiliki satu
RSUD yang merupakan rumah sakit negeri kelas D. Rumah sakit ini bersifat
transisi dengan kemampuan hanya memberikan pelayanan kedokteran umum dan
gigi. Rumah sakit ini juga menampung rujukan yang berasal dari puskesmas.
Jumlah dokter yang tersedia juga sedikit, yaitu 16 dokter. Diantaranya 8 dokter
umum, 5 dokter spesialis, dan 3 dokter gigi. Hal ini tentunya berdampak pada
pelayanan kesehatan di Kabupaten Batubara. Rendahnya pelayan kesehatan di
Kabupaten Batubara disebabkan sosialisasi dan pembinaan bagi para petugas
kesehatan di tujuh kecamatan se-Kabupaten Batu Bara yang tidak maksimal.
Termasuk di RSUD dan Puskesmas.18 Tentunya hal ini merugikan masyarakat,
terlebih untuk perempuan di Kabupaten Batu Bara yang cenderung merasakan
lebih banyak permasalahan dibidang kesehatan.
Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan
masalah hak asasi manusia dan ketidakadilan sosial, dan salah apabila
dipersepsikan sebagai isu perempuan saja, karena masalah dan kondisi sosial
tersebut merupakan persyaratan dalam proses pembangunan masyarakat yang adil
dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan. Kesetaraan akan meningkatkan
kemampuan suatu daerah untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan
menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan
kesetaraan gender di Kabupaten Batu Bara adalah bagian penting dari strategi
                                                            

Dewan Prihatin Layanan Kesehatan di Batu Bara. http://analisadaily.com/sumut/news/dewan-prihatinlayanan-kesehatan-di-batubara/191239/2015/11/24. Diakses pada Tanggal 19 Februari 2016, pukul 10.20
WIB.

18

Universitas Sumatera Utara

pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan bagi semua orang, baik lakilaki maupun perempuan untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta
meningkatkan taraf hidup. Menurut dokumen RPJMN 2015-2019 telah secara
tegas menjelaskan arah kebijakan dan strategi peningkatan kesetaraan gender yang
ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai
pembangunan, meningkatkan perlindungan perempuan dari berbagai tindak
kekerasan, dan meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan kelembagaan
perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.
Anggapan yang menyatakan bahwa perempuan tidak pantas dan tidak
perlu dilibatkan dalam kegiatan di sektor tertentu harus diubah karena sangat
merugikan, menghambat, dan tidak sesuai dengan semangat memanusiakan
manusia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas persoalan gender yang
dalam hal ini adalah perempuan, khususnya dibidang tenaga kerja atau
perekonomian, pendidikan dan juga kesehatan, mengingat ketiga bidang tersebut
sangat dirasakan dan melekat dengan kehidupan kaum perempuan yang deritanya
masih terlihat sampai hari ini.
1.2. Rumusan Masalah
Melihat kondisi perempuan dibidang tenaga kerja, kesehatan, dan
pendidikan di Kabupaten Batu Bara di atas, permasalahan yang kemudian muncul
adalah bagaimana implementasi kebijakan Pengarusutamaan Gender di
Kabupaten Batu Bara.

Universitas Sumatera Utara

1.3. Batasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebatas pada:
1. Perencanaan kegiatan dan anggaran responsif gender, serta pelaksanaan
implementasi kebijakan Pengarusutamaan Gender dibidang tenaga kerja,
pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Batubara.
2. Pengaruh implementasi pengarusutamaan gender terhadap perempuan di
Kabupaten Batu Bara dibidang tenaga kerja, pendidikan dan kesehatan.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melihat bagaimana upaya pemerintah Kabupaten Batu Bara dalam
mengimplementasikan kebijakan Pengarusutamaan Gender dibidang
tenaga kerja, pendidikan dan kesehatan.
2. Untuk melihat bagaimana hasil dan capaian dari implementasi Kebijakan
Pengarusutamaan Gender tersebut dan apakah mampu dirasakan bagi
perempuan di Kabupaten Batu Bara.

Universitas Sumatera Utara

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat
memberikan kontribusi pemikiran mengenai kebijakan publik tentang
pengarusutamaan gender.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu

memberikan

pengetahuan bukan hanya bagi peneliti tapi juga akademisi lainnya
mengenai kajian kebijakan publik dalam implementasinya terkait
pengarusutamaan gender. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen
ilmu politik FISIP USU.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat
dalam memahami kebijakan pengarusutamaan gender di Kabupaten
Batubara.

1.6. Kerangka Teori
1.6.1. Teori Gender
Dalam Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah
suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal
peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya
yang terkenal Sex And Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai

Universitas Sumatera Utara

harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations
for woman and men).
Membahas

permasalahan

gender

berarti

membahas

permasalahan

perempuan dan juga laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan
mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2
aliran atau teori yaitu teori nurture dan teori nature. Namun demikian dapat pula
dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua konsep teori tersebut yang
merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori
equilibrium.
a. Teori Nurture
Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah
hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran
dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan
sebagai kelas proletar.
b. Teori Nature
Menurut teori nature adanya pembedaan lak-laki dan perempuan adalah
kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan
implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas

Universitas Sumatera Utara

yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang
tidak bisa karena memang bebeda secara kodrat alamiahnya.
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan
konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan
dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidak-adilan
gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-adilan gender dalam
berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan
gender ini berdampak pula terhadap laki – laki.
c. Teori Equilibrium
Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal
dengan keseimbaagan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan
keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini
tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki – laki, karena keduanya
harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut,
maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan
kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan
diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan
komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney menyebutkan
bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat,
pilihan, atau budaya pada hakikatnya adalah realita kehidupan manusia.
Hubungan laki-laki dan perempuan bukanlah dilandasi konflik dikotomis, bukan

Universitas Sumatera Utara

pula struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna
membangun kemitraan yang hamonis, karena setiap pihak memiliki kelebihan
sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama
yang setara.19
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori nurture. Hal ini
dikarenakan teori nurture relevan atau berkaitan dengan masalah kesenjangan
gender yang terjadi pada perempuan di Kabupaten Batu Bara. Teori ini dapat
menganalisis dan menjelaskan terjadinya perbedaan antara laki-laki dengan
perempuan yang dibangun berdasarkan kondisi sosial dan budaya yang ada
lingkungan sekitar. Adanya pembedaan hak dan kewajiban pada perempuan,
tentunya menghambat pembangunan sumber daya manusia maupun pembangunan
suatu daerah. Sehingga dapat diperoleh hasil penelitian mengenai kesetaraan
terhadap peran dan tugas perempuan dan laki-laki dalam menjalani kehidupan
baik dibidang pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.

1.6.2. Kebijakan Publik
Menurut James Anderson kebijakan publik merupakan arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini kita
anggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan

                                                            

 Herien Puspitawati. 2013. Konsep, Teori dan Analisis Gender. Bogor. PT. IPB Press. hal. 5-12.

Universitas Sumatera Utara

dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.20 Keterlibatan aktor-aktor
dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari kebijakan publik.
Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang
dikatakan David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para
sesepuh

tertinggi

suku,

anggota-anggota

eksekutif,

legislatif,

yudikatif,

administrator, penasihat, raja, dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini
merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu
sistem politik, diakui oleh sebagian terbesar anggota sistem politik, mempunyai
tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan
yang diterima secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh sebagian terbesar
anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang
diharapkan.21 Menurut James Anderson, implikasi dari kebijakan publik yaitu:






Selalu mempunyai tujuan tertentu/tindakan yang berorientasi pada tujuan
Berisi tindakan atau pola-pola tindakan pemerintah atau pejabat
Merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bahkan
merupakan apa yang pemerintah maksud atau melakukan sesuatu atau
menyatakan melakukan sesuatu



Bersifat positif, yang berarti merupakan beberapa bentuk tindakan
pemerintah mengenai masalah tertentu, dan bersifat negatif sebagai
keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu

                                                            

20

Budi Winarno. 2012. Kebijakan Publik Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS. hal. 21

21

Ibid., hal. 23.

Universitas Sumatera Utara



Kebijakan publik setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan atau selalu
dilandaskan pada peraturan/undang-undang yang bersifat memaksa
(otoritatif). Sifat otoritatif dari kebijakan tersebut: Easton (1953)
menyatakan dalam kebijakan publik, hanya pemerintahlah yang secara sah
dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya, atau sering disebut
pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat.
Berarti bukan tindakan golongan yang sengaja merebut posisi pemerintah
dalam urusan negara. Dari beberapa pengertian tersebut pada gilirannya di
tingkatan praktik banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
sepenuhnya tidak terimplementasikan. Justru kebijakan hanya sebatas
simbol dan formalitas dari suatu tatanan pemerintahan. Dalam tataran
idealnya tindakan yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya memberi
makna yang berarti atau setidaknya akan berdampak positif bagi
masyarakat. Dengan rasionalisasi bahwa kebijakan publik adalah yang
berasal dari masyarakat dan mampu menjawab persoalan masyarakat. 22
Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara
lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori, antara lain:

1. Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy decisions) adalah tuntutan-tuntutan
yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada
pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan
tersebut berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil
                                                            

22

Saiful Arif. 2006. Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik. Malang: PLaCID’s dan KID.

hal. 3-4

Universitas Sumatera Utara

tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu.
Biasanya tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam
masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa
pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar pemerintah
mengambil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.
2. Keputusan-keputusan kebijakan (policy demands) didefenisikan sebagai
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang
mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan
kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan
undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyataanpernyataan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan administratif atau
membuat interpretasi yuridis terhadap undang-undang.
3. Pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements) adalah pernyataanpernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintahperintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan
pengadilan, maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat
pemerintah yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa
yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
4. Hasil-hasil kebijakan (policy outputs) lebih merujuk pada manifestasi
nyata dari kebijakan-kebijakan publik, yaitu hal-hal yang sebenarnya

Universitas Sumatera Utara

dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan
kebijakan.
5. Dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) lebih merujuk pada akibatakibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan
yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan dari pemerintah.23

Peneliti menggunakan teori kebijakan publik karena relevan dalam
membahas kebijakan Pengarusutamaan Gender. Teori ini dapat digunakan untuk
menganalisis arah dan tindakan pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara untuk
melihat kebijakan yang telah di bentuk dalam mengarusutamakan gender.
Sehingga pada akhirnya dapat diperoleh hasil penelitian mengenai kesetaraan
gender yang sesuai dengan kebijakan pengarusutamaan gender dan sesuai dengan
program atau kebijakan pemerintah Kabupaten Batu Bara terkait gender.

1.6.3. Implementasi Kebijakan Publik
George C. Edwards menyatakan implementasi kebijakan adalah salah satu
tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensikonsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu
kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan
sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan
sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu,
                                                            
23

Budi Winarno, Op.cit, 2012, hal. 23-26.

Universitas Sumatera Utara

suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan
mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan,
Edwards mulai dengan mengajukan dua pertanyaan yakni: prakondisi-prakondisi
apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan
hambatan hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal?
Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan membicarakan
empat faktor atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik.
Oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk
membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal
adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua
faktor tersebut sekaligus untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu
menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasanpenjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut
diperhatikan disini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu
proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh
karenanya, tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu
dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain, dan bagaimana
variabel-variabel ini memengaruhi proses implementasi kebijakan.24

                                                            
24

Ibid., hal. 177-178.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan pandangan yang diutarakan tersebut dapat disimpulkan
bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut
prilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program
dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula
menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi san sosial yang
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak
yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tujuan kebijakan, baik
yang negatif maupun yang positif.25
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, empat faktor atau variabel
krusial dalam implementasi kebijakan publik yang dimaksud oleh George C.
Edwards diantaranya:
1. Komunikasi
Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa
yang seharusnya mereka kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan
kebijakan mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat dan kebijakan ini
mesti akurat, jelas dan konsisten. Jika para pembuat keputusan ini berkehendak
untuk melihat yang diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana rinciannya
maka kemungkinan akan timbul kesalahpahaman diantara pembuat kebijakan dan
implementornya. Komunikasi yang tidak cukup juga memberikan implementor
dengan kewenangan ketika mereka mencoba untuk membalik kebijakan umum
                                                            

25

Hesel Nogi S. Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset. hal. 19

Universitas Sumatera Utara

menjadi tindakan-tindakan khusus. Kewenangan ini tidak akan perlu dilakukan
untuk memajukan tujuan para pembuat keputusan aslinya. Dengan demikian,
perintah-perintah implementasi yang tidak ditransmisikan, yang terdistorsi dalam
transmisi, atau yang tidak pasti atau tidak konsisten mendatangkan rintanganrintangan serius bagi implementasi kebijakan. Sebaliknya, ukuran-ukuran yang
terlalu akurat mungkin merintangi implementasi dengan perubahan kreativitas dan
daya adaptasinya.
2. Sumberdaya
Sumberdaya yang penting meliputi staf ukuran yang tepat dengan keahlian
yang diperlukan, informasi yang relevan dan cukup tentang cara untuk
mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat
dalam implementasi. Kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini
dilakukan semuanya sebagaimana dimaksudkan dan berbagai fasilitas (termasuk
bangunan, peralatan, tanah, dan persediaan) di dalamnya atau dengannya harus
memberikan pelayanan. Sumberdaya yang tidak cukup akan berarti bahwa
undang-undang tidak akan diberlakukan, pelayanan tidak akan diberikan dan
peraturan-peraturan yang layak tidak akan dikembangkan.
3. Disposisi
Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga di dalam
pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi
adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu
apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini,

Universitas Sumatera Utara

melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan. Para
implementor kebanyakan bisa melakukan seleksi

yang layak di dalam

implementasi kebijakan. Salah satu dari berbagai alasan untuk ini adalah
indenpendensinya dari atasan (superior) nominal yang merumuskan kebijakan.
Alasan lain adalah kompleksitas dari kebijakan mereka sendiri. Cara dimana para
implementor ini melakukan seleksinya, bagaimanapun juga, bergantung sebagian
besar pada disposisinya terhadap kebijakan. Sikap-sikapnya pada gilirannya, akan
dipengaruhi oleh berbagai pandangannya terhadap kebijakan masing-masing dan
dengan cara apa mereka melihat kebijakan yang mempengaruhi kepentingan
organisasional dan pribadinya.
Para implementor tidak selalu siap untuk mengimplementasikan kebijakan
sebagaimana mereka para pembuat kebijakan. Konsekuensinya, para pembuat
keputusan sering dihadapkan dengan tugas untuk mencoba untuk memanipulasi
atau mengerjakan semua disposisi implementor atau untuk mengurangi opsiopsinya.
4. Struktur Birokrasi
Bahkan jika sumberdaya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah
kebijakan ini ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan ini ada
dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin mengerjakannya,
implementasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam struktur
birokrasi. Fragmentasi organisasi mungkin merintangi koordinasi yang perlu
untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang

Universitas Sumatera Utara

mensyaratkan kerjasama banyak orang, dan mungkin juga memboroskan
sumberdaya langka, merintangi perubahan, menciptakan kekacauan, mengarah
kepada kebijakan bekerja dalam lintas tujuan, dan menghasilkan fungsi-fungsi
penting yang terabaikan.
Sebagaimana

unit-unit

organisasional

menyelenggarakan

kebijakan

mereka mengembangkan prosedur pengoperasian standard (standart operating
procedure (SOP)) untuk menangani situasi rutin alam pola hubungan yang
beraturan. Malangnya, SOP yang dirancang untuk kebijakan-kebijakan masa
depan sering tidak tepat bagi kebijakan-kebijakan baru dan mungkin
menyebabkan perintangan terhadap perubahan, penundaan, pemborosan, atau
tindakan-tindakan yang diinginkan. SOP kadang merintangi bukan membantu
implementasi kebijakan.26
Peneliti menggunakan teori ini dikarekan teori implementasi kebijakan
berkaitan dengan kebijakan pengarusutaman gender. Bagaimana berjalnnya
pelaksanaan ataupun penerapan kebijakan pengarusutamaan gender di Kabupaten
Batu Bara akan dikaji melalui teori ini. Sehingga dapat dicapai hasil penelitian
apakah suatu kebijakan pengarusutamaan gender di Kabupaten Batu Bara
dilaksanakan secara baik atau tidak.

                                                            

26

Hessel Nogi. S Tangkilisan. 2003. Implementasi Kebijakan Publik Transformasi Pikiran George Edwards.

Yogyakarta: Lukman Offset. hal. 12-14

Universitas Sumatera Utara

1.7. Metodologi Penelitian
1.7.1. Metode Peneitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk

mengeksplorasi dan memahami makna yang o