T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia T2 BAB III

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Perkembangan Eksekusi Pidana Mati di Indonesia
Indonesia

dikenal

sebagai

negara

yang

masih

mempertahankan pidana mati dalam sistem pemidanaan. Hal ini
tertuang dalam Pasal 10 KUHP dimana pidana mati masih
merupakan pidana pokok yang tetap digunakan sampai saat ini.
Hukuman mati adalah hukuman terberat yang bisa dijatuhkan.
Terpidana yang sudah dieksekusi mati, tak mungkin dihidupkan lagi
meskipun belakangan terungkap, misalnya, telah terjadi kesalahan

dalam proses peradilan1. Pemerintah Indonesia sendiri melakukan
eksekusi pidana mati pertama kali pada tahun 1979. Sampai saat ini
terhitung sudah 79 orang terpidana yang telah dieksekusi mati dan
ada beberapa terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati namun
meninggal sebelum diekseksusi. Berikut ini merupakan daftar nama
narapidana yang telah dieksekusi mati sampai tahun 2015 :

1

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57fc6ad7f2858/sebelumdilaksanakan
%E2%80%93hukuman-mati-perlu-ditinjau-ulang,diakses 02 Des 2016

78

TABEL I
Daftar Terpidana Mati yang telah dieksekusi dari tahun 1979
s/d 2015
No

Tahun

Eksekusi

Jenis Perkara
Pembunuhan Terorisme
Narkoba
Berencana
1
1979-1983
3
1
2
1985-1989
21
2
1
3
1990-1995
4
3
1

1
4
1996-2000
1
5
2001-2005
5
3
6
2006-2010
9
3
2
7
2011-2015
3
16
Jumlah
25
26

6
22
2
Sumber : Data Olahan KontraS dan Dokumen Press Release Akhir
3
Tahun 2015
Kejahatan
Politik

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terpidana mati
yang telah dieksekusi sampai tahun 2015 berjumlah 79 orang, yang
terdiri dari 25 kasus kejahatan politik, 26 kasus pembunuhan
berencana, 6 kasus terorisme dan 22 kasus narkoba. Disamping itu
ada juga dua terpidana yang telah divonis pidana mati namun
meninggal saat menanti eksekusi, yaitu Bahar bin Matar dan Robot
Gedek alias Siswanto.
Mengenai eksekusi pidana mati itu sendiri masih menjadi
permasalahan dan masih terus berlanjut terlebih berkaitan dengan
proses pelaksanaannya yang terkadang tidak sesuai prosedur bahkan
sampai mendatangkan kritikan dari berbagai kalangan. Indonesia


2

https://www.kontras.org/data/hukuman%20mati.pdf, diakses 31 Agustus 2016
http://www.bnn.go.id/_multimedia/document/20151223/press-release-akhirtahun-2015-20151223003357.pdf , diakses 31 Agustus 2016
3

79

memiliki daftar tunggu eksekusi pidana mati yang sewaktu-waktu
bisa dieksekusi. Sampai tahun 2015 masih banyak terpidana yang
sudah diputus pidana mati tetapi belum dieksekusi diantaranya
terpidana kasus narkoba, pembunuhan dan terorisme

4

yang penulis

telah rangkum beserta waktu tunggu eksekusinya dalam tabel
dibawah ini.


TABEL II
Daftar Terpidana Mati Yang Belum Dieksekusi s/d Tahun
2015
No

Waktu

Narkotika

tunggu

1
2
3
4
5

Pembunuhan


Terorisme

berencana

1-5 Tahun

9

15

-

6-10 Tahun

23

26

2


11-15 Tahun

20

15

1

16-20 Tahun

5

1

-

>20 Tahun

6


-

-

Jumlah

63

57

3

Sumber : Data Olahan Kontras, dari berbagai sumber & Portal
Hukuman Mati Di Indonesia

Dengan Melihat tabel diatas dapat dijelaskan bahwa sampai
tahun 2015 masih banyak terpidana mati yang belum dieksekusi
sebanyak 123 orang, yang terdiri dari 63 kasus pembunuhan
berencana, 57 kasus narkotika dan 3 kasus terorisme. Dalam tabel


4

DEATH PENALTY LOG IN INDONESIA UPDATED 2015, dilihat di
https://www.kontras.org/data/deathlog_updated_2015.pdf, diakses 24 Okt 2016

80

diatas juga menunjukkan bahwa sampai tahun 2015 terpidana mati
telah menghabiskan waktu yang cukup lama dalam menanti eksekusi,
durasi waktu tunggunya pun bervariasi yaitu minimum antara 1-5
Tahun dan maksimum 20 sampai lebih dari 20 tahun.
Banyaknya terpidana yang belum dieksekusi tersebut justru
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hukum positif di
Indonesia. Padahal dalam hukum positif di Indonesia, jika suatu
putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka eksekusi itu harus
tetap dilaksanakan sesuai prosedur. Tetapi dalam kenyataannya tidak
sama sekali sehingga berangsur-angsur penundaan itu mengakibatkan
juga proses penantian yang sangat lama bahkan sampai bertahuntahun tanpa kepastian. Selanjutnya pada tahun 2016 mengenai
eksekusi mati ini juga terus mengalami perkembangan yaitu nampak
dari kejaksaan yang akan kembali melakukan ekseksusi pidana mati

terhadap 14 terpidana mati kasus narkoba yang telah masuk dalam
daftar tunggu eksekusi mati jilid III yang telah penulis rangkum
dalam tabel dibawah ini;

81

TABEL III
Terpidana Mati Yang Menunggu Waktu Eksekusi Mati Jilid III Tahun
2016
No
1

Nama
Terpidana
Zulfikar Ali

Jenis
Perkara
Narkoba

2

Agus Hadi

3

MA: 20-01-2006

Putusan
Inkracht
MATI

Waktu
Tunggu
9 Thn

Narkoba

PN: 23-05-2007

MATI

9 Thn

Pujo Lestari

Narkoba

PN: 23-05-2007

MATI

9 Thn

4

Obina Nwajagu bin
Emeuwa

Narkoba

MA: 30-04-2003

MATI

12 Thn

5

Ozias Sibanda

Narkoba

MA: 15-08-2002

MATI

12 Thn

6

Frederick Luttar

Narkoba

PN: ... Okt 2006

MATI

9 Thn

7

Gurdip Sing

Narkoba

MA: 26-09-2005

MATI

10 Thn

8

Okonkwo
Kingsley

Narkoba

MA: 16-02-2006

MATI

9 Thn

9

Eugene Ape

Narkoba

MA: 28-04-2004

MATI

11 Thn

Nongso

Tgl Putusan

82

KET
Pada tahun 2014
mengajukan
PK
tetapi ditolak MA
pada 5 Mei 2014 dan
sedang mengajukan
grasi.
PK pertama ditolak
pada
13 Januari
2011, PK Kedua pun
ditolak tahun 2015,
sedang mengajukan
grasi.
PK pertama ditolak
pada
13 Januari
2011, PK Kedua pun
ditolak tahun 2015,
sedang mengajukan
grasi .
Mengajukan PK pada
23-12-2003 tetapi PK
ditolak pada tanggal
15 Mei 2007.
Mengajukan PK pada
29 Juni 2009 tetapi
ditolak pada 30 Juni
2010
PK ditolak pada 27
Oktober 2011
Mengajukan PK pada
tanggal
24-9-2014
tetapi ditolak tanggal
12 Mei 2016
PK pertama ditolak
24 November 2014,
mengajukan
PK
Kedua dan ditolak 11
Mei 2015
Mengajukan
PK
pada 21 Juni 2007
tetapi ditolak pada 1
Juni 2010.

Lanjutan Tabel III
10

Merry Utami

Narkoba

MA : 20-01-2006

MATI

10 Thn

Mengajukan PK pada
28 April 2014 tetapi
ditolak pada 14 Maret
2016 dan
sedang
mengajukan grasi.
MA: 08-09-2014 MATI
1 Thn
Mengajukan
PK
11
Freddy Budiman * Narkoba
pada 3 Maret 2016
tetapi ditolak pada 22
Juli 2016.
Sedang mengajukan
grasi
Narkoba
MA : 04-11-2004 MATI
11 Thn
Mengajukan
PK
12
Hunphrey Ejike *
tanggal
16-5-2006
tetapi ditolak pada
tanggal 27 September
2007
Narkoba
MA : 25-07-2005 MATI
10 Thn
PK pertama ditolak
13
Seck Osmane *
tahun
2010
dan
mengajukan
PK
Kedua tetapi ditolak.
Sedang mengajukan
grasi
MA: 16-07-2004
MATI
11 Thn
Mengajukan
PK
14
Michael
Titus Narkoba
pertama tahun 2011
Igweh *
tetapi ditolak pada 10
Oktober 2012 dan PK
ke-2 Januari 2016
tetapi ditolak pada
20 Juli 2016
Sumber : Portal Hukuman Mati Di Indonesia dan Direktori Putusan MA Republik Indonesia
(*sudah dieksekusi tanggal 29 Juli 2016 ).

Dalam tabel diatas, terdapat 14 terpidana mati yang masuk
dalam daftar eksekusi mati jilid III tahun 2016 dan semuanya
merupakan terpidana mati kasus narkoba. Terpidana tersebut sudah
berada dalam masa tunggu minimum 1 (satu) tahun dan maksimum
paling lama 12 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap (inkracht). Lamanya eksekusi mati tersebut juga dikarenakan
83

para terpidana mati masih diberikan kesempatan untuk mengajukan
upaya hukum lainnya baik berupa peninjauan kembali dan grasi.
Sebanyak 14 terpidana mati diatas merupakan terpidana yang sudah
siap dieksekusi pada tanggal 29 juli 2016 tetapi di menit-menit
terakhir eksekusi hanya 4 (empat) terpidana mati saja yang
dieksekusi, diantaranya; Freddy Budiman, Michael Titus Igweh,
Humphrey Ejike, dan Seck Osmane. Sedangkan 10 terpidana mati
tiba-tiba ditunda eksekusinya.
Mengenai hal tersebut tidak diketahui secara persis apa yang
menyebabkan penundaan tersebut, namun dalam keterangan pers
Kejaksaan Agung pada jumat pasca eksekusi, Jaksa Agung Prasetyo
mengatakan, bahwa penangguhan eksekusi bisa saja diputuskan pada
detik-detik terakhir jika terdapat pertimbangan lain, baik bersifat
yuridis dan non yuridis.5 Namun, Prasetyo tidak menyebutkan secara
rinci persoalan yuridis dan non yuridis tersebut yang menjadi dasar
penangguhan.
Eksekusi pidana mati yang sudah dilakukan tersebut juga
diketahui telah terjadi pelanggaran hukum dimana terpidana mati
Humprey Ejike dan Seck Osmane sedang mengajukan grasi saat
5

Kristian Erdianto, Ini Alasan Kejaksaan Agung Tangguhkan Eksekusi 10
Terpidana Mati, dilihat di:
http://nasional.kompas.com/read/2016/07/29/12453831/ini.alasan.kejaksaan.agung.tangguhk
an.eksekusi.10. terpidana.mati. diakses 25 Okt 2016

84

mereka dieksekusi, untuk diketahui pula Humprey Ejike mengajukan
grasi pada tanggal 25 Juli 2016 melalui PN Jakarta Pusat sedangkan
Seck Osmane mengajukan grasi pada tanggal 27 Juli 2016 melalui
PN Jakarta Selatan.6 sedangkan dari informasi yang didapat, bahkan
Freddy Budiman juga telah mengajukan grasi pada Kamis 28 Juli
2016. Namun akhirnya eksekusi tetap dijalankan pada Jumat, 29 Juli
2016 dini hari. 7
Pelaksanaan hukuman mati tersebut dilakukan dengan tanpa
menunggu dikeluarkannya Surat Keputusan Penolakan Grasi dari
Presiden. Hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 3 UU No 22
Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan bahwa : “Bagi terpidana
mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum
Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima
oleh terpidana”.
Pelaksanaan hukuman mati menjadi keharusan dalam
mewujudkan kepastian hukum. Namun pada pelaksanaannya,
Kejaksaan Agung kerap dihadapkan dengan berbagai hambatan.
Menurut

Jaksa

Agung

Prasetyo,

6

kendala

yang

berpotensi

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57a4581715002/ternyata-eksekusidua-terpidana-mati-tak-tunggu-grasi, diakses 25 Okt 2016
7
http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2016/10/Pembatasan-Grasi-danHukuman-Mati.pdf, diakses 26 Okt 2016

85

menghambat eksekusi terpidana mati tak saja di jilid I tetapi juga
pada jilid II dan III. Setidaknya ada 4 (empat) kendala dalam
pelaksanaan pidana mati tersebut 8 diantaranya:
a. terpidana seringkali memanfaatkan ketentuan dalam Pasal
264 ayat (3) KUHAP. Pada ayat (3) mengatur tidak
membatasi jangka waktu permintaan Peninjauan Kembali.
Yakni, dengan cara tidak segera mengajukan upaya PK. Hal
itu berdampak terpidana memanfaatkan dengan mengulur
waktu.
b. terbitnya

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

No.34/PUU-

XI/2013. Yang intinya, menyatakan bahwa peninjauan
kembali dapat diajukan lebih dari satu kali. putusan tersebut
berpotensi menghambat eksekusi terhadap terpidana mati
yang telah berkekuatan hukum tetap di tingkat kasasi.
c. terdapat upaya hukum yang tidak lazim. Misalnya, kata
Prasetyo, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Gugatan tersebut menguji keputusan presiden terkait grasi.
Seperti halnya yang terjadi pada terpidana mati yang

8

Rofiq Hidayat, 4 Hambatan Kejagung dalam melaksanakan eksekusi mati jilid IV,
dilihat di http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57ea3c7c2761c/4-hambatan-kejagungdalam-melaksanakan-eksekusi-mati-jilid-iv, diakses 26 Okt 2016

86

mengajukan gugatan ke PTUN sebelum pelaksanaan eksekusi
mati jilid II.
d. terbitnya putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015, yang isi amar
putusannya yaitu :
a) Mengabulkan
permohonan
Pemohon
untuk
seluruhnya;
b) Menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi berbunyi: “Permohonan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling
lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap” bertentangan
dengan UUD 1945;
c) Menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi berbunyi: “Permohonan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling
lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap” tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat;
d) Menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi dinyatakan dihapuskan secara
keseluruhan;
e) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Intinya putusan tersebut menghapus ketentuan jangka waktu
pengajuan permohonan grasi yakni satu tahun sejak putusan
berkekuatan hukum tetap. Menurutnya, putusan tersebut berpotensi

87

disalahgunakan para terpidana dengan cara mengajukan grasi sesaat
sebelum pelaksanaan eksekusi pidana mati.
B. Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati Berkaitan Dengan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat didalam
diri pribadi individu. Hak ini merupakan yang paling mendasar bagi
setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam
komunitas masyarakat.9 Sifat hakiki dan kodrati HAM yang melekat
pada diri setiap orang tidak dapat dicabut atau dihapuskan oleh
siapapun termasuk negara. Menghapus dan mencabut HAM sama
artinya menghilangkan eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.10
Dalam

sistem

tersangka/terdakwa

pemidanaan

dijatuhi

suatu

di

Indonesia,

jenis

pidana

setelah
maka

tersangka/terdakwa pun dalam proses hukumnya harus menjalani
penahanan sesuai prosedur yang berlaku. Jenis-jenis penahanannya
dapat berupa 11:
 Penahanan rumah tahanan negara (Rutan);
 penahanan rumah; dan
9

Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana , Edisi Revisi, cet.ke-1, kencana,
Jakarta, 2014, hal 1
10
Ibid
11
Lihat Pasal 22 ayat (1) KUHAP

88

 penahanan kota.
Dalam pelaksanaan pidana mati juga seringkali terpidana mati
setelah diputus pidana mati maka dalam proses pengajuan upaya
hukum lainnya terpidana harus tetap menjalani penahanan sampai
tahap eksekusi dilaksanakan. Seperti dalam salah satu terpidana mati
kasus narkotika Michael Titus Igweh yang sudah diputus dan tetap
menjalani penahanan, amar lengkapnnya adalah sebagai berikut:
Putusan

Pengadilan

Negeri

Tengerang

Nomor

425/Pid.B/

2003/PN.TNG, tanggal 23 Oktober 2003 12 ;
1. Menyatakan Terdakwa MICHAEL TITUS IGWEH secara
sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan tindak
pidana kejahatan “secara tanpa hak dan melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual bell Narkotika
2. Memidana Terdakwa Michael Titus Igweh oleh karena itu
dengan pidana mati dan denda Rp500.000.000,00 (Lima
ratus juta rupiah) Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan
3. Menetapkan barang bukti berupa : Heroin seberat 5.859
gram, dengan catatan bahwa barang bukti Heroin seberat
5.223 gram telah dimusnahkan pada hari Kamis tanggal
19 Desember 2002 bertempat di Polda Metro Jaya
berdasarkan Surat Ketetapan Status Barang Sitaan
Narkotika Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang Nomor B05/O.6.1 l/Ep.2/11/2002 tanggal 20 November 2002,
sedangkan yang dipergunakan sebagai pembuktian
disidang dengan perincian 1 (satu) bungkus kertas berisi
Heroin berat netto 50 (lima puluh) gram, 1 (satu) bungkus
kertas berisi Heroin berat netto 250 (dua ratus lima puluh)
gram, 1 (satu) bungkus kertas berisi Heroin berat netto 9
(sembilan) gram, 1 (satu) bungkus kertas berisi Heroin
12

https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b221ff0c27190fadd1849b0217cb0
26f, diakses 09-12-2016

89

berat netto 170 (seratus tujuh puluh) gram, 1 (satu)
bungkus kertas berisi Heroin berat netto 27 (dua puluh
tujuh) gram, 1 (satu) bungkus kertas berisi Heroin berat
netto 130 (seratus tiga puluh) gram tetap dalam status
penyitaan untuk dipergunakan dalam perkara Terdakwa
Hillary K. Chimezie;
4. Memerintahkan Terdakwa untuk tetap ditahan;
5. Menyatakan biaya perkara dibebankan kepada Negara;
Berkaitan dengan amar putusan diatas walaupun sudah
diputus pidana mati tetap saja terpidana harus menjalani tahanan
sementara waktu. Mengenai penahanan tersebut juga sudah diatur
secara jelas dalam Pasal 24-Pasal 29 KUHAP, dimana jangka waktu
penahanan dari tahap penyidikan sampai proses kasasi total selama
400 hari. Untuk keadaan tertentu atau tindak pidana dengan ancaman
pidana yang berat, perpanjangan penahanan pada masing-masing
tahapan dapat diperpanjang lagi selama 300 hari (Pasal 29 KUHAP)
berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan sebagaimana
diatur dalam Pasal 29 ayat (1) KUHAP, Sehingga dari semua tahapan
yang ada total jangka waktu penahanan bagi terpidana adalah 700
hari.
Penahanan tersebut harus limitatif atau terbatas, terutama
yang berkaitan dengan hal jangka waktunya. Pasal 30 KUHAP
menyatakan

bahwa

:

“Apabila

tenggang

waktu

penahanan

sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27,
Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada
90

Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta
ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
95 dan Pasal 96
Kemudian berkaitan dengan penahanan terhadap terpidana
mati juga diatur secara jelas dalam Pasal 5 UU No. 2/PNPS/ Tahun
1964, yang berbunyi : Menunggu pelaksanaan pidana mati,
terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang
khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
Tetapi, jika melihat ketentuan Pasal 5 diatas, terbuka peluang
terpidana mati menjalankan penahanan sampai betahun-tahun tanpa
adanya kejelasan kapan ia akan dieksekusi, karena dalam Pasal 5
diatas tidak diatur secara jelas mengenai batasan waktu penahanan
terhadap terpidana mati.13
Dalam Prakteknya beberapa kasus baik pidana umum maupun
pidana khusus, terpidana mati selalu ditahan dalam penjara setelah
vonis mati dijatuhkan sampai eksekusi dijalankan oleh kejaksaan
terhadapnya dan terpidana mati bisa ditahan dalam penjara sampai
bertahun- tahun guna menunggu eksekusi mati.14 seperti beberapa
kasus diantaranya yaitu Bahar bin Matar yang harus menjalani

13

HF.Riadi (2015), Penahanan Terhadap Terpidana Mati Oleh Jaksa Ditinjau Dari
Jangka Waktu Eksekusi, dilihat di http://scholar.unand.ac.id/3281/ diakses 08-12-2016
14
Ibid

91

hukuman penjara selama 38 Tahun. Bahar bin Matar merupakan
terpidana mati atas kasus tindak pidana perampokan, pembunuhan,
perkosaan, dan penculikan pada 1970. Tahun 1971, Bahar
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, pada tahun 1973,
melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G/ TH tanggal 13 Juni 1973,
permohonannya itu ditolak. Kemudian pada bulan September 1995,
Bahar kembali mengajukan grasi dan ditolak oleh presiden, namun
belum dieksekusi. Bahar yang menjalani hukuman di Lembaga
Pemasyarakatan Nusakambangan, meninggal dunia pada tanggal 12
Agustus 2012 di RSUD Cilacap karena menderita penyakit
tuberculosic (TBC)15. Sama halnya dalam kasus terpidana mati
sumiarsih dan sugeng, keduanya dijatuhi pidana mati oleh PN
Surabaya pada 20 Februari 1989 dan menunggu lebih dari 20 tahun.
Putusan grasinya keluar pada tahun 2003 melalui Keputusan Presiden
Nomor 21/G/2003 yang isinya ditolak dan baru dieksekusi 5 (lima)
tahun kemudian tepatnya pada 19 Juli 2008 16.
Polemik lanjutan yang juga menjadi perhatian adalah
lambatnya

eksekusi

terhadap

terpidana

mati

di

Indonesia.

Keterlambatan eksekusi tersebut sering menjadi sorotan masyarakat
15

http://www.antaranews.com/print/115341/38-tahun-menanti-kematian-di-lpnusakambangan, diakses 30-11-2016
16
http://icjr.or.id/data/wpcontent/uploads/2016/09/Update_Kondisi_Hukuman_Mati
_di_Indonesia_2016.pdf ,diakses 30-11-2016

92

karena memerlukan waktu bertahun-tahun mulai dari terpidana
dijatuhi vonis mati oleh pengadilan sampai pelaksanaan eksekusi.
Dengan tidak adanya kepastian hukum bagi terpidana mati selama
menunggu eksekusi mengakibatkan terampasnya hak-hak tepidana
mati. Terpidana mati harus menjalani penahanan didalam penjara
selama bertahun- tahun tanpa adanya kepastian.
Dalam beberapa kasus mengenai waktu penantian juga
ternyata masih terdapat kesalahan dalam vonis, misalnya, seperti di
China, seorang terdakwa atas nama Chen Man divonis mati oleh
pengadilan china pada tahun 1992 atas kasus pembakaran yang
menewaskan seorang pria dan menunggu 23 tahun sebelum akhirnya
diyatakan bebas pada tahun 2015.17 Hal serupa juga terjadi di
Indonesia dalam kasus pembunuhan yang didakwakan kepada Ruben
Pata Sambo dan Martinus Pata Sambo. Mereka divonis mati pada
tahun 2006 oleh PN Tanah Toraja dan mendekam selama 8 tahun
dipenjara sampai pada akhirnya dibebaskan karena terbukti tidak
bersalah.18

17

http://www.lensaindonesia.com/2016/02/02/setelah-dipenjara-23-tahun-pria-ini-

dibaskan-karena-tak-bersalah.html diakses 17-12-2016
18

https://www.kaskus.co.id/thread/51b85360bbf87b2e0600000a/hampir-di-

eksekusi-mati-eh-ternyata-korban-salah-tangkap/ diakses 12 Jan 2017.

93

Lebih lanjut UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dalam
Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa : “setiap orang bebas dari
penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya ”.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture
And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

(CAT) atau Konvensi Anti Penyiksaan (KAP) pada tanggal 28
Oktober 1998 melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Dalam hukum internasional, larangan melakukan penyiksaan
merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional. Bukan saja
karena KIHSP (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik) maupun
KAP (Konvensi Anti Penyiksaan) telah banyak diratifikasi namun
juga penyiksaan telah dilarang pada berbagai peraturan/perjanjian
internasional.

Praktis,

tidak

ada

lagi

negara

yang

berani

membenarkan penyiksaan sebagai perbuatan sah. Justru tindak
penyiksaan dianggap sebagai „hostic humanis generis‟ musuh umat
manusia.

19

Dari norma dan instrumen hukum HAM internasional,

Kontras berupaya sedekat mungkin untuk melakukan analisa dan
19

Panduan Bantuan Hukum Indonesia, Op. Cit, hal 374

94

memberikan dukungan serta kontribusi kepada pemerintah dalam
menggunakan standar-standar internasional yang juga digunakan oleh
banyak pemerintahan demokratik lainnya.
Norma dan instrumen ini diambil dari beberapa konvensi
internasional yang sifatnya mengikat negara-negara pihak yang telah
meratifikasi

instrumen-instrumen

HAM

internasional

terkait.

Rujukan pertama Kontras adalah Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948) yang menegaskan di Pasal 5: “Tidak seorang pun
boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau
dihukum secara tidak manusiawi atau dihina”.20 Kemudian dalam
Pasal 7 di Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga
menegaskan

21

bahwa : “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan

penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak
seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah
tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”.
Oleh sebab itu maka mengingat lamanya penahanan yang
sudah diatur secara terperinci dalam Pasal 24-29 KUHAP dan dengan
adanya beberapa fakta terpidana yang ditahan lebih dari waktu yang
20

kontras.org/buku/isi_laporan_praktik_penyiksaan_2014_2015.pdf , diakses 7

Juni 2016
21

https://www.kontras.org/baru/Kovenan%20Sipol.pdf diakses 7 Juni 2016

95

ditentukan maka seharusnya harus dibatalkan demi hukum. Tetapi
jika hal tersebut tidak dilakukan maka pemerintah sudah melakukan
pelanggaran

HAM

berupa

perampasan

hak

kebebasan

dan

kemerdekaan dari si terpidana tersebut.

C. Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan
Kembali berkaitan dengan Waktu Tunggu Eksekusi
Pidana Mati
Paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah
mengabulkan uji materiil UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Putusan MK No. 34/ PUUXI/ 2013 maka pengaturan mengenai PK dalam Pasal 268 ayat (3)
KUHAP mengalami perubahan. Putusan ini menyatakan Pasal 268
ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan yang diputuskan
dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi pada tanggal 22 Juli
2013 dikeluarkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 6 Maret 2014.22

22

Shanty Dwi Kartika, Peninjauan Kembali Lebih dari satu kali antara Keadilan
dan Kepastian Hukum, https://shantidk.wordpress.com/2014/04/11/peninjauan-kembalilebih-dari-satu-kali-antara-keadilan-dan-kepastian-hukum, diakses 19 Agustus 2016

96

Menurut

Mahkamah

Konstitusi,

kebenaran

materiil

mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara
mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan
asas keadilan. Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa untuk alasan
keadilan dalam perkara pidana, manakala ditemukan adanya keadaan
baru (novum), maka pembatasan peninjauan kembali bertentangan
dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan
kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan.23
Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tidak lagi dibatasi hanya satu
kali telah mengguncang dunia hukum. Perbedaan pendapat masih
mencuat dan harus segera diselesaikan dan diperjelas maksud PK
boleh dari sekali itu. Apakah cukup dua kali atau boleh diajukan
tanpa batas demi keadilan.
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 merupakan hasil dari
permohonan yang diajukan oleh Mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
Mahkamah Konstitusi mendasarkan pertimbangannya pada keadilan,
perlindungan HAM dan hakikat KUHAP yang bertujuan untuk
melindungi

HAM

dari

kesewenang-wenangan

23

negara.24

http://icjr.or.id/data/wp/content/uploads/2016/09/Update_Kondisi_Hukuman_Mat
i_di_Indonesia_2016.pdf, diakses 20 Sep 2016
24
GresNews, Referensi penting hukum dan politik , lihat di http://icjr.or.id/inipenyelesaian-putusan-mk-soal-pk diakses 17 Agustus 2016

97

Pertimbangan Majelis Hakim MK dalam Putusan MK No.34/PUUXI/2013 tersebut ada 2 hal,25 yaitu:
a. Bahwa keadilan merupakan hak konstitusional atau hak asasi
manusia yang tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan
formal seperti yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP,
karena ada kemungkinan setelah PK diajukan dan diputus
oleh MA, ditemukan bukti baru (novum) yang substansial dan
belum ditemukan saat mengajukan PK;
b. Bahwa penerapan asas litis finiri oportet ( yang artinya setiap
perkara harus ada akhirnya sebagai jaminan kepastian hukum)
tidaklah rigid atau kaku, namun tetap memperhatikan ada
tidaknya pertentangan dengan asas keadilan.
Putusan

MK

No.34/PUU-XI/2013

juga

menimbulkan

perbedaan pendapat diberbagai kalangan. Menurut Sudjito, Guru
Besar Fakultas Hukum UGM, Putusan MK tersebut menunjukkan
penghargaan terhadap hak asasi manusia, namun disisi lain
berdampak serius bagi proses peradilan di Indonesia karena
berpengaruh bagi kepastian hukum di negeri ini. Guru Besar Hukum
Universitas Diponegoro, Nyoman Serikat Putra Jaya, juga menilai

25

Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 246

98

putusan MK tersebut memunculkan ketidakpastian hukum karena
pemberian kesempatan PK berkali-kali dan tidak terbatas dapat
digunakan oleh pihak yang berperkara sebagai permainan. Guru besar
ini juga tidak menyangkal pertimbangan hukum MK mengenai
pemberian rasa keadilan bagi seorang terpidana, namun perlu juga
mempertimbangkan kepastian hukum. Oleh karena itu setiap pihak
yang berperkara baik jaksa maupun terpidana hanya mempunyai satu
kali kesempatan mengajukan PK.26 Hal senada juga disampaikan oleh
Mantan Ketua MK, Mahfud MD yang menilai putusan mahkamah
konstitusi terkait peninjauan kembali yang boleh dilakukan lebih dari
satu kali dapat mengacaukan dunia hukum.
Dalam beberapa kasus juga terdapat beberapa terpidana yang
memanfaatkan putusan peninjauan lebih dari sekali seperti terpidana
mati asal filipina Mary Jane yang telah mengajukan peninjauan
kembali sebanyak dua kali dan semua ditolak. Alasan pengajuan PK
lebih dari satu kali ini mengacu pada keputusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang
membatasi pengajuan PK hanya satu kali

27

Kemudian terpidana

mati Okonkwo Nongso kingsley, Pada tanggal 24 November 2014,

26

Shandy Dwi Kartika, Loc. Cit
https://m.tempo.co/read/news/2016/07/26/078790661/terpidana-mati-mary-janeajukan-lagi-peninjauan-kembali, diakses 9/12/2016.
27

99

MA menolak PK pertama Okonkwo yang diajukan kuasa hukumnya,
Pramudya Eka W Tarigan. Okonkwo tak patah arang. Dia
mengajukan PK yang kedua. PK itu pun lagi-lagi dimentahkan. MA
menolak mentah-mentah PK itu pada 11 Mei 2015 28.
Kepastian hukum yang dibangun dalam paradigma hukum
progresif memang harus diletakkan dibawah keadilan, namun
kepastian hukum tidak selalu tidak adil sebab keadilan bisa
ditemukan

pada

kepastian

hukum.

Pendapat

serupa

juga

dikemukakan oleh Marzuki Ali, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI), bahwa pengajuan PK lebih dari satu
kali akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena akan membuat
eksekusi atas pidana yang telah dijatuhkan tidak kunjung terwujud,
meskipun Putusan MK tersebut melegakan bagi pencari keadilan.29
Pendapat

yang

berbeda

dikemukakan

oleh

Mudzakir,

pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, yang
menilai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan menciptakan
keadilan berdasarkan kepastian hukum, karena PK yang bisa diajukan
lebih dari satu kali akan bisa mengoreksi putusan yang sebelumnya
memunculkan rasa ketidakadilan. Putusan MK tersebut mendapat

28

http://m.metrotvnews.com/sumatera/peristiwa/0KvVGg9K-2-kali-pk-ditolakokonkwo-tetap-dihukum-mati, diakses 9/12/2016
29
ibid

100

tanggapan dari Mahkamah Agung (MA). Ketua Mahkamah Agung,
Hatta Ali, menyatakan Mahkamah Agung tetap akan membatasi
upaya hukum peninjauan kembali sebanyak satu kali. Hal ini untuk
menghindari lahirnya ketidakpastian hukum akibat PK yang diajukan
berkali-kali sebagai implikasi dari pembatalan Pasal 268 ayat (3)
KUHAP.30 Sebagai jalan keluar untuk mengatasi polemik yang ada
maka Mahkamah Agung akhirnya mengelurkan surat edaran berupa
SEMA No.7 Tahun 2014

31

yang pada intinya menegaskan bahwa

permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya
1 (satu) kali.
Lahirnya

SEMA

No

7

Tahun

2014

ternyata

telah

menimbulkan masalah yang jauh lebih rumit. SEMA No 7 Tahun
2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri
menganggap

bahwa

kejadian

ini

merupakan

suatu

bentuk

pembangkangan dari konstitusi. Mahkamah Agung sendiri tetap pada
keyakinannya bahwa SEMA No 7 Tahun 2014 diterbitkan untuk
memberikan kepastian hukum, disamping ketentuan mengenai
pembatasan pengajuan permohonan kembali yang hanya dapat

30

ibid
Lihat SEMA No. 7 Tahun 2014, di
http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/sema_07_2014.pdf , diakses 19/12/2016
31

101

dilakukan satu kali masih berlaku berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan
bahwa : “ Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat
dilakukan peninjauan kembali”. Kemudian Pasal 66 ayat (1) UU
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, yang menyatakan
bahwa : “ Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1
(satu) kali”.
Disini

dapat

dilihat

perbedaan

mengenai

permintaan

peninjauan kembali antara Lembaga Mahkamah Konstitusi

dan

Mahkamah Agung antara lain :
 Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 mengenai Peninjauan
Kembali

yang diajukan oleh Antasari Azhar lebih

mengutamakan asas keadilan. Menurut MK karena ada
kemungkinan setelah PK diajukan dan diputus oleh MA,
ditemukan bukti baru (novum) yang belum ditemukan saat
mengajukan PK sebelumnya.
 Putusan MA mengenai PK melalui SEMA No. 7 Tahun 2014
lebih mengutamakan asas kepastian hukum sehingga dibatasi
PK hanya boleh diajukan satu kali saja. Mahkamah Agung

102

berpendirian

jika

PK

boleh

diajukan

berkali-kali

dikhawatirkan instrumen hukum itu dijadikan „senjata‟ bagi
para gembong narkoba menghindari eksekusi mati karena
mengajukan PK yang kedua setelah grasinya ditolak oleh
presiden.
Sampai dengan Tahun 2016, Mahkamah Konstitusi telah
menerima beberapa permohonan pengujian atas pembatasan PK
tersebut dengan dikeluarkannya dua putusan yaitu Putusan MK No.
66/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 45/PUU-XIII/2015. Maka
kedua putusan terbaru ini telah mengukuhkan kembali putusan MK
No. 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 dan menggugurkan dasar
hukum Pembatasan SEMA No 7 Tahun 2014 yang pada intinya
menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar
ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali.
Menurut ICJR pengaturan pembatasan PK melalui SEMA
sudah tidak tepat, selain pada dasarnya SEMA 7 Tahun 2014 ini
merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi, ternyata MA
juga telah menggunakan pertimbangan dengan pasal dalam undangundang yang telah dinyatakan tidak belaku sepanjang terkait dengan
pembatasan PK lebih dari satu kali dalam kasus Pidana melalui
Putusan MK (Putusan MK No. 66/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK

103

No. 45/PUU-XIII/2015). Atas dasar itu, maka menururt Institute For
Criminal Justice Reform (ICJR), MA harus segera mencabut SEMA
7 Tahun 2014. Namun sampai saat ini mahkamah Agung masih
bersikukuh menolak keputusan MK tersebut, ini yang menurut ICJR
sebagai pembangkangan putusan MK oleh MA.32

D. ANALISIS
1. Waktu Tunggu Eksekusi Mati Merupakan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia
Waktu

tunggu

merupakan

suatu

keadaan

dimana

seseorang menanti sesuatu yang akan terjadi pada dirinya atau
atas kehidupannya, seperti halnya seorang terpidana mati yang
sedang menunggu kapan ajal akan menjemput dirinya. Masalah
pidana mati khususnya di Indonesia selalu menjadi topik yang
tidak pernah ada akhirnya. Bukan penerapan pidana mati saja
yang dipermasalahkan, lebih lanjut mengenai lamanya eksekusi
mati itu sendiri juga menurut penulis merupakan salah satu
masalah serius yang juga harus dicari solusinya. Hal ini karena
berdampak buruk pada sistem pemidanaan dan juga tentunya
untuk narapidana itu sendiri dimana beberapa terpidana sudah
32

http://icjr.or.id/data/wp/content/uploads/2016/09/Update_Kondisi_Hukuman_Mat
i_di_Indonesia_2016.pdf, diakses 22 Sep 2016

104

dijatuhi pidana mati dan segala upaya hukumnya sudah dilakukan
namun masih menunggu lagi masa eksekusinya yang begitu lama
bahkan ada juga yang sampai bertahun-tahun lamanya seperti
dalam beberapa kasus yang sudah penulis paparkan dalam Tabel
III dimana sebagian besar dari terpidana mati masih menunggu
putusan upaya hukum terakhir berupa grasi setelah upaya hukum
peninjauan kembalinya ditolak.
Dalam tabel tersebut juga terdapat beberapa terpidana
yang mengajukan PK lebih dari sekali. Kemudian dalam Tabel II
masih banyak terpidana mati yang belum dieksekusi sampai tahun
2015 yang berhasil penulis rangkum sebanyak 123 terpidana
dengan waktu tunggu yang berbeda. Dari sini juga bisa menjadi
permasalahan karena hukum positif mengenai pidana mati tidak
ada perbedaan tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai aturan
yang ada. Pelaksanaan pidana mati jilid 3 ternyata terjadi juga
pelanggaran hak asasi manusia dalam proses eksekusinya.
Dimana diketahui terpidana mati Seck Osmane, Hunprey Ejike
dan Freddy Budimana sedang mengajukan upaya hukum grasi
saat eksekusi tersebut, hal tersebut justru melanggar Pasal 3 UU
Grasi sebab dalam hal pidana mati, seseorang tidak akan
dieksekusi sebelum adanya surat penolakan presiden kepada si

105

pemohon. Putusannya sendiri belum ada apakah permohonan
grasi diterima atau ditolak oleh presiden tetapi eksekusi telah
dilaksanakan.
Waktu tunggu eksekusi mati ini merupakan suatu
pelanggaran hak asasi manusia terhadap Pasal 33 ayat (1) UU
No. 39/1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa : Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaannya.

Terkait dengan pasal diatas,

menurut penulis hak yang dilanggar tersebut menyangkut hak
kebebasan,

kebebasan

yang

dimaksud

yaitu

bebas

dari

“penyiksaaan, penghukuman, dan….”.
Selama masa tunggu eksekusi pidana mati, terpidana
mengalami hukuman ganda (double Punishment). Dalam proses
eksekusinya terpidana yang sudah dijatuhi pidana mati harus
menjalani dua pidana pokok sekaligus yaitu pidana penjara dan
juga eksekusi dari pidana mati itu sendiri. Hal tersebut justru
tidak sesuai dengan sistem pemidanaan karena seolah negara
memberikan pidana tambahan berupa hukuman penjara sebelum
merealisasikan eksekusi mati itu sendiri. Terlebih lagi jika dalam
masa tunggu tersebut menghabiskan waktu yang sangat lama

106

bahkan sampai bertahun-tahun justru hal tersebut masuk dalam
pelanggaran hak asasi manusia.
Terhitung sampai tahun 2015, ada 6 (enam) orang
terpidana mati kasus pembunuhan yang sudah menghabiskan
waktu lebih dari 20 tahun tetapi belum dieksekusi sampai saat ini,
diantaranya terpidana mati Bursam bin Boher sudah menunggu
25 tahun atas kasus pembunuhan. Ia melakukan banding sebagai
upaya hukum terakhir ke pengadilan tinggi pada tahun 1990.
Terpidana lain adalah Koh Kim Chea, WN Malaysia ini
tersangkut kasus narkotika dan sudah menunggu eksekusi mati 23
tahun. Ia menempuh upaya hukum terakhir tahun 1992. Terpidana
mati kasus narkotika Tham Tuck Yin sudah menunggu 20 tahun
usai menempuh upaya hukum kasasi di MA pada tahun 1995 dan
terpidana lainnya yaitu Sokikin bin abubakar, Koptu Soedjono,
La aja bin La feely dan Burhan bin Gingan yang masih menunggu
eksekusi. Selain itu masih banyak terpidana mati lainnya yang
masih menunggu eksekusi dengan waktu yang bervariasi tanpa
adanya kepastian yang telah penulis lampirkan dalam tabel
sebelumnya.
Kemudian

dilain

sisi,

waktu

tunggu

eksekusi

berkepanjangan juga bisa menimbulkan tekanan batin bagi

107

terpidana dimana mereka dihadapkan dengan kondisi penantian
kematian yang tidak pasti dan hal ini justru memberikan tekanan
psikologi tersendiri bagi mereka (terpidana mati). Dalam kasus
“Rodrigo Gularte dan Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi
dalam kondisi gangguan jiwa dan mental yang tidak stabil. Mary
Jane, yang sampai saat ini masih masuk dalam masa tunggu
terpidana mati, mendapatkan trauma mental dan stress yang
mengakibatkan dirinya sering membenturkan kepala ke tembok.
Kemudian kondisi terpidana Zainal Abidin yang dipindahkan ke
ruang isolasi dalam kondisi stress saat permohonan Peninjauan
Kembalinya masih diperiksa di Mahkamah Agung setelah 10
tahun tertunda tanpa penjelasan jelas.(*mengutip Wakil Ketua
Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap perempuan, Yuniyanti
Chufaizah, di berita harian terpenting bergeloran.com, tanggal
26 Juni 2016).

Hal lain yang sering dilupakan adalah mereka yang turut
serta merasakan dampak dari eksekusi pidana mati tersebut yaitu
keluarga. Dalam bukunya Professor Susan Sharp “The Effects of
The Death Penalty on Families of The Accused”, dikatakan
bahwa dampak dari eksekusi pidana mati tersebut tidak hanya
dirasakan oleh terpidana mati saja namun juga turut dirasakan

108

oleh keluarga terpidana mati (istri, orangtua, anak-anak dan
saudara kandung). Misalnya, kasus yang menimpa Bruno Richard
Hauptmann, Ia dituduh melakukan pembunuhan terhadap bayi
dari seorang pilot bernama Charles Linberg dan dieksekusi pada
tahun 1936. Banyak yang mempercayai jika Hauptmann tidak
bersalah. Selanjutnya dikatakan bahwa setelah hukuman mati
tersebut dilakukan, terpidana mati tidak akan lagi menjalani
hukuman panjang atau hidup dengan stigma atau kenangannya
tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi keluarganya. Misalnya, Istri
dari Hauptmann dalam enam dekade selalu mengingat setiap hal
tersebut sampai pada kematiannya tahun 1994. 33
Penungguan eksekusi berkepanjangan tersebut selain
membawa siksaan dan perlakuan yang sewenang-wenang
terhadap terpidana mati juga membawa dampak buruk terhadap
keluarga dari terpidana mati itu sendiri karena mereka harus
kehilangan anggota keluarganya. Dengan vonis yang diberikan
sudah membuat mereka menderita belum lagi ditambah dengan
lamanya waktu tunggu eksekusi tersebut. Memang awalnya
waktu tunggu tersebut setidaknya memberikan sedikit “harapan”
bagi keluarga terpidana, mereka berharap setidaknya dari waktu
Bagian kata pengantar dalam bukunya Professor Susah Sharp “The Effects of
The Death Penalty on Families of The Accused ” .
33

109

tunggu ini ada mujizat yang terjadi untuk meringankan hukuman
anggota keluarga mereka tetapi itu seperti “harapan palsu” yang
pada akhirnya akan mendatangkan kematian juga. Dari lamanya
waktu tunggu ini juga lama kelamaan berdampak buruk kepada
keturunan dari si terpidana mati tersebut, yang mana pada
awalnya yang merasakan hanya satu atau dua pihak saja lama
kelamaan malah semakin banyak pihak yang akan turut
merasakan dampak dari penungguan tersebut.
Dalam pelaksanaan eksekusi mati, setiap terdakwa masih
diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, baik berupa upaya
hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) maupun diluar
KUHAP.

34

Upaya hukum biasa yang berupa banding dan kasasi

adalah upaya hukum yang ditempuh terdakwa ketika putusan
belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah
berkekuatan

hukum

tetap,

terpidana

masih

mempunyai

kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu kasasi
demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Dalam sistem
hukum pidana Indonesia, terpidana masih mempunyai hak untuk

34

Niken Subekti Budi Utami, Problematika permohonan grasi menurut UU No. 22
Tahun 2002, Vol.20, No. 1, 2008, hal 1.

110

mengajukan upaya hukum selain upaya-upaya hukum diatas,
yaitu Grasi 35.
Dalam Pasal 3 UU No 22 Tahun 2002 disebutkan bahwa
“Permohonan

grasi

tidak menunda

pelaksanaan

putusan

pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana
mati” karena itu pelaksanaan pidana mati tidak dapat dilakukan

sampai

adanya

salinan

putusan

presiden

terkait

dengan

permohonan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi
oleh presiden paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 11) dan
disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan
Presiden ( Pasal 12 ayat(1))

36

. Dengan demikian bagi terpidana

mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum
Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi
diterima oleh terpidana (Pasal 13 UU No.22 Tahun 2002).

35
36

ibid
UU Grasi No 22 Tahun 2002

111

2. Putusan MK tentang PK Potensial Memperpanjang Waktu
Tunggu Ekseksusi Pidana Mati
Mahkamah konstitusi adalah lembaga negara yang
berfungsi untuk menangani perkara yang terkait dengan masalah
konstitusi dan ketatanegaraan. Sering disebut juga sebagai
Peradilan Konstitusi atau Tata Negara. Keberadaan MK
dimaksudkan untuk melindungi hak konstitusional warga negara
dengan mengoreksi kinerja lembaga negara. Fungsi dan
wewenang Mahkamah Konstitusi diatur secara detail dalam Pasal
10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, salah satu wewenangnya yaitu menguji UU terhadap
UUD 1945 (Pasal 10 ayat (1) huruf a) dan putusan yang
dikeluarkan oleh MK bersifat final.
Berkaitan dengan wewenang tersebut maka salah satu
Pasal yang dicabut oleh MK adalah Pasal 268 ayat (3) KUHAP
terkait batas pengajuan PK yang sebelumnya dibatasi satu kali
dibatalkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 34/PUUXI/2013 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pembatalan Pasal 268
ayat (3) oleh MK dengan alasan keadilan, yang dimaksud disini
adalah setelah PK diajukan oleh terpidana dan telah diputus oleh

112

Mahkamah Agung dan dalam perkembangannya ditemukan
novum

yang sebelumnya tidak ditemukan dalam proses

pemeriksaan maka hal ini justru merugikan terpidana itu sendiri
karena tidak mempunyai hak untuk mengajukan PK kedua.
Sehingga dengan adanya Putusan MK tersebut memberikan
kesempatan bagi si terpidana untuk dapat mengajukan PK lebih
dari sekali jika ditemukan novum.
Namun yang menjadi permasalahan menurut penulis
adalah Putusan MK tersebut justru melanggar Asas Kepastian
Hukum. Para terpidana akan menggunakan kesempatan tersebut
untuk mengajukkan PK lebih dari satu kali, jika PK pertama
ditolak setelah itu terpidana akan mengajukan PK kedua apabila
ditemukannya novum dan seterusnya. Kemudian berkaitan
dengan Pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP disebutkan Ahli waris dari si
terpidana juga berhak mengajukan PK, berarti setelah PK
pertama, kedua, dan seterusnya yang diajukan oleh terpidana
ditolak maka ahli waris juga masih bisa mengajukan lagi PK
dalam perkara yang sama.
Kemudian

mengenai

waktu

penerimaan

putusan

peninjauan kembali juga tidak diatur secara jelas dalam peraturan

113

perundang-undangan. Seperti dalam kasus terpidana mati Eugene
Ape, dimana yang bersangkutan mengajukan peninjauan kembali
pada tahun 2008 tetapi jawaban peninjauan kembalinya baru
keluar dua tahun kemudian yaitu pada tanggal 1 Juni 2010, sama
halnya dengan PK pertamanya terpidana mati Michael Titus
Igweh yang diajukan tahun 2011 tetapi hasilnya baru keluar
setahun kemudian yaitu pada tanggal 10 Oktober 2012 (lihat tabel
III). Hal ini justru malah semakin memperpanjang masa tunggu
eksekusi pidana mati yang terus menerus berlanjut tanpa adanya
kepastian, belum lagi setelah upaya hukum PK ditolak terpidana
masih mengajukan Grasi yang membuat bertambah panjangnya
daftar tunggu eksekusi mati.
Dalam perkembangannya untuk menyikapi masalah
peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung pada tahun 2014
telah mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang
mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini
sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi
(MK). Artinya, MA telah mengukuhkan bahwa PK hanya dapat
dilakukan satu kali.

114

Berbicara mengenai MK dan MA maka menurut tata
urutan kelembagaan negara dalam sistem ketatanegaraan UUD
1945, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga
(tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi
kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Mengenai
kewenangan masing-masing lembaga tersebut juga diatur secara
jelas dalam UUD Tahun 1945, dalam Pasal 24 A ayat (1)
disebutkan bahwa :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) bahwa :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dengan melihat kewenangan antara dua lembaga diatas
maka seharusnya Mahkamah Agung secara yuridis tidak boleh
menerbitkan

SEMA

yang

bertentangan

dengan

putusan

Mahkamah Konstitusi sebab konstitusi sudah menempatkan MA
sebagai kekuasaan kehakiman yaitu untuk menegakkan hukum
115

dan keadilan sesuai Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 terlebih putusan
yang dikeluarkan olek Mahkamah Konstitusi bersifat final dan
telah menjadi hukum positif yang seharusnya dipatuhi oleh
Mahkamah Agung yang setara kepatuhannya terhadap Undangundang sebagai produk legislatif dan eksekutif.

116