Kebijakan Pembaharuan Pendidikan untuk M

Kebijakan Pembaharuan Pendidikan untuk Meningkatkan Pemerataan
dan Relevansi pendidikan
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Kependidikan

Oleh
Nama

: Muhammad Irham

NIM

: 0401514050

Rombel

: A2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG (UNNES)

2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“…sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai kaum itu merubah diri
mereka sendiri…” (Ar-ra’d:13, 11)
UNESCO menggalakkan pembaharuan

pendidikan pada tahun 1998 dengan

mengemukakan dua basis landasan: pertama, pendidikan harus disandarkan pada empat pilar
yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar hidup dalam kebersamaan dan belajar
menjadi diri sendiri; kedua, belajar seumur hidup. Oleh karena itu pembaharuan pendidikan
haruslah menuju kepada dua basis landasan tersebut, sehingga dibutuhkan pemerataan dan
relevansi pendidikan untuk mencapai keduanya.
Berdasarkan UUD pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak
memperoleh pendidikan, maka jelaslah pemerataan itu penting untuk memberikan
kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara. Adapun menurut UU No. 20 tahun 2003
pasal 1 ayat 1 bahwa pendidikan bertujuan untuk memberikan keterampilan yang bermanfaat

bagi diri peserta didik, masyarakat dan bangsanya, maka diperlukan relevansi pendidikan
untuk mengarahkan pendidikan itu kepada tujuan pendidikan tersebut.
Menurut Mulyasa (2013) pembangunan nasional difokuskan kepada enam hal,
diantaranya adalah peningkatan pemerataan dan perluasan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan mutu. Bersamaan dengan upaya perluasan
dan pemerataan untuk memperoleh pendidikan, semakin kuat pula tuntutan masyarakat dan
pembangunan nasional akan perlunya pendidikan yang lebih bermutu, relevan, adil,
manusiawi, dengan menjangkau semua orang dalam semua lapisan dan golongan masyarakat.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) perlu menjadi acuan dalam melihat pemerataan
pendidikan, karena itu memperlihatkan kesempatan dari setiap orang dari setiap golongan
dalam memperoleh pendidikan. Adapun pendidikan yang relevan akan menghasilkan lulusan
yang optimal. Artinya pendidikan bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang cakap,
kreatif dan mandiri sebagaimana Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Setiap lulusan dari
setiap jenjang pendidikan bisa memanfaatkan ilmunya sesuai dengan bakat dan
keterampilannya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan
meminimalisir angka pengangguran.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) menunjukkan bahwa Angka
Parsipasi Sekolah (APS) pada tahun 2013 mengalami penurunan yang signifikan pada setiap
jenjang pendidikan dan data Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) juga memperlihatkan

angka pengangguran terbuka tidak memandang jenjang pendidikan. Sehingga bisa dikatakan
bahwa pendidikan saat ini mempunyai masalah pemerataan dan relevansi dengan dunia kerja.
Oleh karena itu paper tentang “Kebijakan Pembaharuan Pendidikan Untuk Meningkatkan
Pemerataan dan Relevansi pendidikan” merupakan sumbangsih pemikiran sebagai insan
pendidik yang mengharap pendidikan negara tercinta lebih merata dan relevan dan semakin
membaik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun beberapa rumusan masalah, diantaranya:
-

Bagaimana pemerataan pendidikan Indonesia ditinjau dari Angka Partispasi Sekolah?

-

Bagaimana relevansi pendidikan Indonesia ditinjau dari daya serap tenaga kerja
berdasarkan tingkat pendidikan?

-

Bagaimana kebijakan-kebijakan pembaharuan yang mungkin diupayakan untuk

mengatasi permasalah pemerataan dan relevansi pendidikan

1.3 Tujuan dan manfaat
Paper ini bertujuan sebagai sarana penyaluran aspirasi dan pemikiran sebagai insan
pendidik yang melihat carut-marutnya dunia pendidikan negeri tercinta. Paper ini diharapkan
mampu memberikan pandangan dalam melihat dan membaca problematika pendidikan.
Tulisan ini juga menyajikan kebijakan-kebijakan pembaharuan pendidikan yang terkait
dengan pemerataan pendidikan dan relevansi pendidikan yang kiranya bisa menjadi titik
terang bagi pendidikan Indonesia kedepannya.
Paper ini diharapkan bisa memberikan manfaat untuk pribadi secara khusus dan pembaca
serta dunia pendidikan secara umum. Lewat tulisan ini diharapkan adanya tulisan-tulisan lain
yang

kiranya

bisa

memberikan

pemikiran-pemikiran


tentang

kebijakan-kebijakan

pembaharuan pendidikan yang lebih mengkaji banya hal dan berkontribusi untuk pendidikan
yang lebih baik.

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kebijakan Pembaharuan Pendidikan
Menurut Rivai dan Murni (2009) pendidikan nasional saat ini dihadapkan pada tiga
masalah yang menonjol yaitu (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan (2)
masih rendahnya relevansi pendidikan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan. Adapun
kebijakan pembangunan pendidikan di Indonesia di arahkan untuk mencapai beberapa hal,
diantaranya adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan memperoleh pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia bermutu
tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti (Rivai dan Murni, 2009:64).
Program pembangunan nasional pendidikan tinggi bertujuan untuk; (1) melakukan
penataan sistem pendidikan tinggi; (2) untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan

tinggi dengan dunia kerja; dan (3) meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan tinggi, khususnya bagi murid berprestasi yang berasal dari keluarga kurang
mampu. Sasaran yang ingin dicapai dari program pembangunan nasional pendidikan tinggi
diantaranya adalah meningkatkan jumlah lulusan yang terserap di dunia kerja dan
meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (Rivai dan Murni, 2009:69).
2.2 Pemerataan Pendidikan
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. UU No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pasal 1 ayat 2 juga
nenyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 dan pancasila. Dengan demikian, pemerataan pendidikan merupakan bagian dari
amanat undang-undang dalam pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia.
Dalam penjelasan atas UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
dijelaskan bahwa misi pembaharuan sistem pendidikan nasional adalah mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh
rakyat Indonesia. Namun pada praktiknya masih banyak daerah-daerah yang belum juga
tersentuh dalam hal pemerataan pendidikan, pemerintah terlalu terfokus dengan kondisi
pendidikan di kota-kota, mengabaikan pendidikan yang masih sangat jauh dari kata “layak”
yang terjadi di pelosok-pelosok negeri.


2.3 Indikator Pemerataan Pendidikan
Indikator pemerataan pendidikan digunakan untuk mengetahui seberapa besar cakupan
pelayanan pendidikan yang telah ada di tingkat provinsi/kabupaten/kota sekaligus untuk
mengetahui berapa banyak anak yang belum terlayani pendidikannya untuk setiap kelompok
usia sekolah dan setiap jenjang pendidikan. Akses dan pemerataan pendidikan dapat dilihat
dari 3 aspek, yaitu: Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan
Angka Partisipasi Kasar (APK).
Pada paper ini membatasi pada indikator APS di mana APS digunakan untuk mengetahui
cakupan pelayanan pendidikan untuk setiap kelompok usia sekolah dan menggambarkan
jumlah anak kelompok usia tertentu yang sedang sekolah tanpa membedakan jenjang
pendidikan yang ditempuh. APS dikategorikan berdasarkan empat tahapan usia yaitu APS
usia 7 - 12, usia 13 - 15, usia 16 - 18 dan usia 19 – 24 (http://lppm.uns.ac.id).
Formula untuk menghitung APS adalah;

jika seandainya masih terdapat siswa yang berusia 18 tahun ke atas sekolah di SD maka anak
tersebut tetap masuk ke dalam

(http://lppm.uns.ac.id).

2.4 Relevansi Pendidikan

Menurut Rusdiana (2014) relevansi yang tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan
adalah fokus utama yang harus diatasi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Berdasarkan empat pilar yang dikemukakan oleh UNESCO yaitu Learn to know (belajar
mengetahui), Learn to do belajar melakukan, Learn to life together (belajar hidup dalam
kebersamaan) dan Learn to be (belajar menjadi diri sendiri) (Mulyasa, 2013:2), maka
pendidikan dituntut untuk adanya relevansi dengan dunia luar.

Menurut Iskandar (http://home.cbi.ac.id)

Learn to know, yaitu hasil belajar yang

dimanfaatkan untuk memahami kenyataan sosial dan belajar lebih lanjut guna meningkatkan
profesionalisme. Learn to do, yaitu hasil belajar dimanfaatkan untuk bekerja, baik kerja
mandiri (wirausaha) maupun kerja sebagai karyawan di perusahaan. Learn to be, yaitu hasil
belajar dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari seperti etos kerja dan sopan santun / etika
baik di lingkungan masyarakat maupun di tempat kerja. Learn to life together , yaitu hasil
belajar yang dimanfaakan untuk hidup lebih baik dengan lingkungan sekitar, mandiri dan
produktif, yaitu manusia penuh manfaat sesuai dengan hakikat manusia sebagai khalifah di
muka bumi yang membawa misi risalah rahmat ( rahmatan lil alamin). Masalah relevansi
pada prinsipnya cukup mendasar, sebab dalam kondisi sekarang ini sangat dibutuhkan output

pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, terutama hubungannya dengan kesiapan
kerja (Rusdiana, 2014:78).
Sehingga relevansi pendidikan erat kaitannya dengan dunia kerja atau ketenagakerjaan.
Artinya bahwa lulusan pendidikan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan ekonomi akan
pekerja sebagai pelaku pembangunan diberbagai sektor. Oleh karena itu pada paper ini
penulis mencoba memaparkan data tentang ketenagakerjaan dan lulusan satuan tingkat
pendidikan sebagai suatu indikator ketercapaian relevansi dalam dunia pendidikan.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebijakan Pembaharuan Pemerataan Pendidikan
Berbicara tentang pemerataan pendidikan maka tidak akan terlepas dari APS.
Sebagaimana yang dikemukakan pada kajian teori bahwa paper ini mengkaji pemerataan
pendidikan melalui indikator APS, di mana APS menjadi tolok ukur tingkat pemerataan
pendidikan karena partisipasi dari peserta didik adalah bagian dari inti pendidikan, bagaimana
mungkin ada pendidikan tanpa adanya partisipasi peserta didik.
Berdasarkan data dari http://www.bps.go.id diperoleh data tentang Angka Pastisipasi
Sekolah (APS) berikut:

Dari data tersebut terlihat dari tahun 2011 sampai 2013 terjadi peningkatan dalam setiap

tahunnya pada jenjang masing-masing. Apakah ini berarti angka partisipasi meningkat?
Belum tentu, karena kita belum membicarakan siswa yang dari jenjang satu ke jenjang yang
lain banyak yang tidak melanjutkan. Data tersebut memperlihatkan bahwa angka partisipasi
untuk SD pada tahun 2013 berjumlah 98,42% kemudian semakin menurun pada jenjang SMP

menjadi 90,81% dan pada jenjang SMA menjadi 63,84% bahkan sampai ke 20,14% pada
jenjang perguruan tinggi.
Ini menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah hanya tinggi pada jenjang Sekolah
Dasar kemudian tidak melanjutkan ke SMP dan banyak dari siswa SMP yang tidak
melanjutkan ke SMA. Sehingga angka putus sekolah menjadi tinggi. Oleh karena itu masalah
putus sekolah yang menjadi rendahnya Angka Partisipasi Pendidikan sehingga menyebabkan
belum meratanya pendidikan. Bahkan berdasarkan laporan Education for All Global
Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan
peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara
dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah (http://indonesiaberkibar.org).
Banyaknya angka putus sekolah disebabkan oleh banyaknya faktor diantaranya adalah
mahalnya biaya pendidikan, pembelajaran yang konvensional sehingga para siswa lebih
senang bekerja dari pada belajar, tidak menjaminnya pekerjaan ketika sudah selesai
pendidikan. Oleh karena itu pemerataan pendidikan akan terjadi manakala angka partisipasi

sekolah tinggi sehingga itu menunjukkan sedikitnya masyarakat usia sekolah yang tidak
sekolah.
Mahalnya biaya pendidikan seringkali menjadi alasan tidak melanjutkannya pendidikan,
walaupun pemerintah menggalakkan sekolah gratis akan tetapi berdasarkan Standar
Pembiayaan dijelaskan bahwa pembiayaan digolongkan menjadi tiga yaitu (1) biaya investasi
(2) biaya operasi (3) biaya personal (Mulyasa, 2013:32). Dari ketiga pembiayaan ini
pemerintah hanya menanggung biaya personal, sedangkan biaya lainnya diberikan wewenang
kepada sekolah untuk mengatur. Sehingga banyak sekolah yang tetap mematok “harga”
mahal untuk “jasanya” dan membuat masyarakat usia sekolah tidak bisa melanjutkan karena
keterbatasan biaya.
Pembelajaran yang konvensional juga bisa menyebabkan tingginya angka putus sekolah.
Pembelajaran yang tidak pernah berubah akan membuat peserta didik menjadi bosan dan
tidak tertarik sehingga bagi peserta didik yang sudah mampu menghasilkan uang sendiri,
lebih memilih untuk bekerja daripada sekolah. Seperti halnya dalam pembelajaran
matematika guru tidak harus sebagai model utama, sehingga membuat peserta didik menjadi
bosan, tetapi siswa bisa diberikan kesempatan sehingga mereka bisa percaya diri dan lebih
tertarik. ZevenbergefJ (2004) mengemukakan “good pedagogy is about teachers developing
inclusive practices to build and extend their students’ knowledge and confidence in using and
applying mathematics”.

Berangkat dari masalah tersebut, kebijakan pembaharuan untuk pemerataan pendidikan
seharusnya di fokuskan kepada bagaimana meminimalisir angka putus sekolah dan
ketersediaan lembaga sekolah lanjutan. Kebijakan-kebijakan yang mungkin dilakukan adalah;
-

Mengoptimalkan dana sebesar 20% dari APBN untuk kepentingan pendidikan,
mengawasi setiap pengeluaran dan memaksimalkan setiap pengualaran adah untuk
kepentingan pendidikan itu sendiri.

-

Menggalakkan dan mengontrol program sekolah gratis secara optima

-

Menciptakan sistem pendidikan yang mampu menampung peserta didik sebanyak
mungkin di berbagai daerah.

-

Memegang kendali terhadap biaya pendidikan sekolah sehingga tidak ada sekolah yang
mematok harga tinggi dengan alasan mutu.

-

Menggalakkan pembangunan lembaga sekolah bagi daerah-daerah terpencil yang hanya
memiliki lembaga pendidikan dasar dan tidak ada lembaga pendidikan menengah.

-

Mengontrol melalui sekolah tentang kegiatan pembelajaran, dengan menekankan kegiatan
pembelajaran yang kontemporer dan beralih dari pembelajaran konvensional dan
mengontrol dengan mengacu kepada standar proses.

-

Sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya melanjutkan pendidikan dan menjamin
ketersediaan lapangan kerja atau pembekalan untuk bisa memciptakan lapangan
pekerjaan sendiri ketika tamat dari tingkat satuan pendidikan.

3.2 Kebijakan Pembaharuan Relevansi Pendidikan
Pendidikan yang relevan adalah harapan semua pihak. Karena dengan pendidikan yang
relevan, pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang mempunyai skill dan
keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan sebagaimana yang menjadi tujuan
pendidikan nasional. Jika setiap lulusan mempunyai keterampilan yang merupakan bekal dari
satuan tingkat pendidikan maka angka pengangguranpun akan berkurang dan itu
menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia relevan dengan dunia kerja.
Berdasarkan Berita Resmi Statistik dari Badan Pusat Statistik No. 38/05/Th. XVII, 5 Mei
2014 (http://www.bps.go.id) diperoleh data angka pekerja berdasarkan tingkat pendidikan;

Dari tabel di atas terlihat bahwa angka pekerja pada tahun 2014 meningkat dari tahun
2013. Tamatan pekerja didominasi oleh tamatan SD ke bawah dengan 55,31 juta orang
kemudian semakin menurun sampai ke tamatan perguruan tinggi sebesar 8,85 juta orang.
Terlepas dari jenis pekerjaan yang ditekuni, terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan jumlah
angka penduduk yang bekerja semakin berkurang.
Kemudian adapun data tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan
adalah;

Dari tabel di atas terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka yang paling tinggi adalah
tamatan SMA dengan 9,10 juta orang dan yang paling rendah adalah tamatan SD sebanyak
3,69 juta orang. Adapun untuk tamatan perguruan tinggi berjumlah 5,70 juta orang.
Jika bercermin kepada tujuan program pembangunan nasional pendidikan tinggi yaitu
salah satunya adalah meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja
(Rivai dan Murni, 2009: 69), maka pendidikan Indonesia dengan 5,70 juta orang tamatan
perguruan tinggi menganggur, menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mengarah kepada
relevansi pendidikan dengan dunia kerja.

Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan pembaharuan relevansi pendidikan yang
akan meminimalisir angka pengangguran dari setiap tamatan tingkat pendidikan. kebijakankebijakan yang bisa diusahakan oleh pemerintah adalah:
-

Kurang relevansinya materi pendidikan bisa ditanggulangi dengan penyusunan kurikulum
baru atau dengan perbaikan pada standar isi.

-

Pengadaan dana yang lebih optimal dalam pengembangan keterampilan dan bakat peserta
didik atau mahasiswa atau diupayakan adanya modal usaha bagi mahasiswa yang
berminat dengan dunia usaha.

-

Membekali setiap peserta didik dengan keterampilan, jika di tingkat sekolah dasar dan
menengah pemerintah bisa bekerja sama dengen sekolaj untuk mengadakan ekstra
kurikuler yang kiranya bisa menjadi pengasah keterampilan bagi peserta didik. Dan untuk
perguruan tinggi pemerintah bisa mengusahakan terbentuknya forum-forum internal
kampus yang mengasah bakat dan keterampilan mahasiswa terutama tentang
enterprenuer/ wirausahawan.

-

Menekankan pembelajaran bisa dilakukan dengan lebih interaktif dan bahan ajar
diusahakan terkait atau dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dan menekankan praktek
sehingga peserta didik tidak hanya mengerti teori tapi juga manfaat dalam kehidupannya.

-

Menyediakan lapangan pekerjaan secara maksimal bagi setiap angkatan pada setiap
lulusan dengan cara menjalin kerjasama kemitraan antara perguran tinggi dan perusahaan
atau pengusaha yang sesuai dengan jurusan dan bakat atau keterampilan.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Data dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah untuk
jenjang SD pada tahun 2013 berjumlah 98,42% kemudian semakin menurun pada jenjang
SMP menjadi 90,81% dan pada jenjang SMA menjadi 63,84% bahkan sampai ke 20,14%
pada jenjang perguruan tinggi. Angka tersebut menunjukkan terjadinya penurunan angka
partisipasi dari masyarakat usia sekolah, yang disebabkan oleh banyaknya angka putus
sekolah. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang sesuai sebagai bentuk
pembaharuan dalam dunia pendidikan untuk memberikan pemerataan pendidikan bagi setiap
warga negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1.
Badan pusat statistik juga merilis berita Resmi Statistik dari Badan Pusat Statistik No.
38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014 yang memperlihatkan bahwa angka pekerja pada tahun 2014
meningkat dari tahun 2013. Tamatan pekerja didominasi oleh tamatan SD ke bawah dengan
55,31 juta orang kemudian semakin menurun sampai ke tamatan perguruan tinggi sebesar
8,85 juta orang. Terlepas dari jenis pekerjaan yang ditekuni, terlihat bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan jumlah angka penduduk yang bekerja semakin berkurang. Data tentang
pengangguran terbuka juga menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka yang paling
tinggi adalah tamatan SMA dengan 9,10 juta orang dan yang paling rendah adalah tamatan
SD sebanyak 3,69 juta orang. Adapun untuk tamatan perguruan tinggi berjumlah 5,70 juta
orang. Sehingga perlu dilahirkan kebijakan-kebijakan pembaharu untuk meminimalisir angka
pengangguran berdasarkan tingkan pendidikan dan di lain sisi meningkatkan angka pekerja
berdasarkan tingkat pendidikan terutama bagi pendidikan menengah dan tinggi.
4.2 Saran
Besar harapan penulis kiranya setelah paper ini, maka akan lahir paper-paper berikutnya
yang membahas tentang kebijakan pembaharuan pendidikan dari aspek yang lain atau
membahas indikator yang sama akan tetapi lebih luas dan mendetail. Mengingat paper ini
hanya mengkaji kebijakan pembaharuan pendidikan di tinjau dari pemerataan pendidikan
yang didasarkan pada Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan relevansi pendidikan yang
didasarkan pada daya serap pekerja berdasarkan tingkat pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

indonesiaberkibar.org/id/fakta-pendidikan [diakses 14-122014]
lppm.uns.ac.id/Panduan%20Pendidikan%20Berprespektif%20Gender/index.php?option=com_content
&view=article&id=109&Itemid=73 [diakses 14-12-2014]

Iskandar, A.G. tersedia di http://home.cbi.ac.id/index.php/archives/150 [diakses 14-12-2014]
Mulyasa, H.E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Rivai, V & S. Murni. 2009. Education Management. Jakarta: Rajawali Press.
Rusdiana, A. 2014. Konsep Inovasi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
www.bps.go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf [diakses 14-122014]
ZevenbergefJ, R., S. Dole. & J. Wright. 2004. Teaching Mathematics in Primary
school. Malaysia: SRM Production Service.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

IbM Pemanfaatan Biopestisida untuk Mengendalikan Hama Uret (Lepidiota stigma) Pada Tanaman Tebu

8 129 1

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Perilaku Kesehatan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakrta Angkatan 2012 pada tahun2015

8 93 81

Aplikasi forecasting untuk memprediksi kepadatan penduduk di Dinas Kependudkan dan Catatan Sipil Kabupaten Aceh Timur

9 92 261

Pengaruh Kebijakan Hutang Dan Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Deviden Pada PT. Indosat

8 108 124

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22