Trajektori Populisme Islam di Kalangan K

Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi,
perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer,
ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi mengundang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis
secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak
selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.
© Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Bangkitnya Populisme dan
Krisis Demokrasi
Vol. 36, No. 3, 2017

ISSN 0301-6269

TOPIK

KITA

Daniel Dhakidae


2

Sejarah Berakhir dan Sejarah Baru Berawal

F Budi Hardiman

3

Kebangkitan Populisme Kanan dalam
Negara Hukum Demokratis

Luky Djani

10

Persenyawaan Politik Identitas dan Populisme:
Tawaran Kerangka Analisis

Wasisto Raharjo Jati


19

Trajektori Populisme Islam di Kalangan
Kelas Menengah Muslim Indonesia

Nur Iman Subono

28

Gelombang Ketiga “Populisme” di Amerika Latin

Abdil Mughis Mudhoffir,
Diatyka Widya Permata Yasih &
Luqman-nul Hakim

48

Populisme Islam dan Tantangan
Demokrasi di Indonesia


o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja
DIALOG

60

Kebangkitan Populisme Islam:


Menantang atau Diserap Oligarki?
ARTIKEL

Emile Schwidder

82

Menunda Perjuangan Indonesia Merdeka
BUKU

Iqra Anugrah

88

Menyoal Kembali Populisme

Muhammad Al-Fayyadl

95


Kiri Eropa dan Muslim Progresif

100 P A R A
Sumber Gambar sampul:
GM Sudarta

PENULIS

Vol. 37, No. 1, 2018: Budaya Humor
Vol. 37, No. 2, 2018: Kedaulatan Energi

Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim • Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae • Redaktur Senior: Ismid Hadad
• Dewan Redaksi: A Tony Prasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandal
(Malaysia), Taufik Abdullah, Vedi R Hadiz (Australia) • Redaktur Pelaksana Jurnal & Portal: Harry Wibowo • Redaktur Ekonomi:
Fachru Nofrian Bakarudin • Redaksi: E Dwi Arya Wisesa, Nezar Patria, Rahadi T Wiratama • Direktur Bisnis & Pengembangan:
Elya G Muskitta • Produksi: Awan Dewangga
Alamat: LP3ES, Jalan Pangkalan Jati No. 71, Pondok Labu-Cinere, Depok 16513, Indonesia. Telp/Faks: (6221) 27654031
Email: prisma@prismajurnal.com; prisma.redaksi@gmail.com; Website: www.prismajurnal.com; www.prismaresource.com
Bank: MANDIRI, KCP RSKD, Jakarta. Nomor Rekening: 117-000-800-046-5 a/n Prisma


Prisma

SURVEI

Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

19

Trajektori Populisme Islam di
Kalangan Kelas Menengah
Muslim Indonesia*
Wasisto Raharjo Jati

o
t
s
i
s
o
j

a
W ard
h
a
i
t
R Ja

Populisme merupakan salah satu unit analisis cukup penting dalam membaca konstelasi sosialpolitik Indonesia dewasa ini. Istilah itu biasanya disematkan pada kalangan kelas menengah yang
mengangkat dan mengatasnamakan aspirasi kaum pinggiran dengan “menelikung” demokrasi.
Perkembangan demokrasi pasca-Reformasi di Indonesia yang belum bisa secara maksimal
menyelesaikan setiap persoalan antar-warga negara justru melahirkan corak tertentu yang bertolak
belakang dengan amanat konstitusi, di antaranya mobocracy yang dijadikan sarana sekaligus alat
untuk mengubah praktik demokrasi yang telah mapan. Kelas menengah menjadi aktor yang sangat
vokal menyuarakan kepentingan kelompok melalui praktik-praktik informal, egaliter, dan
independen. Tulisan ini mengulas perkembangan dan prospek populisme di kalangan kelas
menengah Muslim Indonesia.
Kata Kunci: aksi jalanan, demokrasi, Islam, kelas menengah, populisme

M


embincangkan populisme dalam
Islam merupakan narasi dan analisis
yang menarik dalam kajian sosialpolitik Indonesia dewasa ini. Hal tersebut kian
“mengental” dengan berlangsungnya serangkaian aksi protes massal jalanan (mobocracy)
saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
silam yang mengatasnamakan “Aksi Bela
Islam”, “Aksi Bela Qur’an, serta “Aksi Bela
Ulama” dengan memakai tagar #Aksi411 dan
#Aksi212. Tak pelak, muncul aksi “tandingan”
menanggapi aksi-aksi sebelumnya dengan mengusung pluralisme dan kebinekaan. Dibanding
aksi kedua, aksi-aksi pertama sangat menyita
perhatian publik dan media massa, baik nasio*

Ini merupakan versi pembaruan artikel penulis
berjudul“Radicalism in the Perspective of Islamic
Populism: Trajectory of Political Islam in Indonesia”, dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 7,
No. 2, Desember 2013, hal. 268-287.

A R T I K E L


nal maupun internasional, karena jumlah peserta yang masif dan menggunakan dalil-dalil dari
kitab suci Qur’an dan Hadist untuk melegitimasi
unjuk rasa tersebut. Aksi-aksi massa tersebut
secara sugestif mampu menautkan dimensi
ukhrawi dan duniawi dalam kepentingan politik
praktis. Kondisi tersebut kemudian secara dogmatis dan psikis menguras emosi publik, baik
di pihak yang menyetujui maupun menentang
aksi itu. Terjadi polarisasi sangat tajam yang
bersemayam hingga kini dalam tubuh masyarakat melalui pencapaian serta eksklusi sosial.
Segregasi ruang sosial itu bisa kembali
“memanas” bila ada peristiwa politik yang
memantiknya dan menjadi bom waktu yang
siap meledak bila menemukan momen politik
yang tepat (misalnya, saat penyelenggaraan
pemilihan umum).
Berbagai macam analisis bernuansa populer
maupun ilmiah menyebut bahwa aksi-aksi

20


Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

massa dengan memakai “jubah” agama tersebut
merupakan bentuk konservatisme dan gelombang baru intoleransi dalam demokrasi di
Indonesia. Dari segi jumlah peserta, “Aksi 411”
dan “Aksi 212” dapat dikatakan merupakan
gerakan massa terbesar pasca-gerakan Mei
1998; yang kurang lebih bertujuan menyuarakan perubahan maupun tuntutan meski dengan
tujuan dan maksud berbeda. Karena itu, populisme menjadi sebuah kerangka teori yang
dapat digunakan sebagai dasar analisis untuk
melihat sekaligus menelisik “Aksi 411” dan
“Aksi 212.”

yaan terhadap lembaga-lembaga publik mengindikasikan adanya permasalahan kredibilitas
dalam relasi negara dan masyarakat. Hal tersebut menjadikan gerak populisme di kalangan
kelas menengah ibarat dua sisi dari pedang
yang sama: aksi kuratif atau aksi represif
terhadap demokrasi.
Berkembangnya populisme dalam Islam

tidak terlepas dari narasi kekecewaan terhadap
demokrasi. Bila populisme konvensional yang
bertujuan kuratif dan konstruktif terhadap
proses demokrasi agar lebih peka terhadap
tuntutan dan aspirasi masyarakat luas, maka populisme yang berkembang dalam Islam mengambil jalur agak berbeda. Pertama, kata
“umat” digunakan sebagai proxy demos (rakyat)
yang secara eksklusif memperjuangkan kepen1
tingan umat Muslim. Kedua, alih-alih mendukung dengan demokrasi sebagai jalan utama
membentuk pemerintahan, populisme Islam
cenderung mendukung sistem pemerintahan
selain demokrasi, seperti pemerintahan teokrasi semacam khilafah atau pemerintahan
bersyariah yang esensinya menuju pada negara
kesejahteraan (darul salam). Ketiga, populisme
Islam lebih mengedepankan aspek penguatan
identitas berbasis simbol religiositas. Hal tersebut berbeda dengan populisme pada umumnya
yang lebih mengutamakan kolektivitas gerakan.

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

Populisme Islam, Kekecewaan
Publik, dan Representasi Publik

Populisme merupakan sebuah istilah yang
mulai banyak digunakan untuk menelaah situasi politik terkini. Sebagaimana diketahui, kepercayaan publik terhadap demokrasi kian
mengendur karena praktik institusionalisme
dan prosedural dalam demokrasi justru melahirkan banyak bias yang berujung pada munculnya oligarki baru. Di sisi lain, aspirasi dari
kalangan akar rumput kerap tersendat karena
kaderisasi dan komunikasi politik tidak berjalan
maksimal. Kondisi tersebut menghadirkan kekecewaan publik terhadap jalannya demokrasi,
yang kemudian mencari celah alternatif untuk
membangun representasi kekuasaan pada aras
elite. Populisme menawarkan jalan alternatif
tersebut dengan semacam romantisasi kembali
pada makna rakyat sebagai “demos”; pemegang
kekuasaan tertinggi di atas lembaga trias politika.
Romantisasi “demos” menjadi kata kunci
penting yang menarik untuk mengembalikan
nilai-nilai substantif demokrasi ke dalam praktik
pemerintahan. Namun, dalam aspek lainnya, populisme secara tidak langsung mereduksi marwah demokrasi karena bertujuan menelikung
saluran konstitusional dengan “menafikan”
berbagai macam tahapan dan prosedur yang
seharusnya dilalui. Hal tersebut tentu saja
menjadi preseden negatif bagi indikator capaian
demokrasi suatu negara dengan ketidakperca-

Berkembangnya Populisme
dalam Islam
Populisme yang berkembang dalam Islam
senantiasa dikaitkan dengan upaya menjadikan
Islam sebagai alat politik. Penggunaan Islam
sebagai simbol politik sebenarnya menegasikan
pemahaman publik bahwa praktik demokrasi
belum kompeten secara rasional dan matang
secara material.2 Namun demikian, Islam selalu

1

2

Lihat, Vedi R Hadiz, Islamic Populism in Indonesia
and the Middle East (Cambridge: Cambridge
University Press, 2016), hal. 4.
Dimensi politik populisme Islam terbagi dalam
dua jalur, yakni “revivalis” yang mengarah pada
A R T I K E L

Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

menjadi komoditas politik yang secara sugestif
dan sensitif mampu menjadi faktor determinan
dalam memengaruhi preferensi politik publik
dan hasil akhir. Kelihaian menggunakan isu-isu
agama sebenarnya lebih pada upaya mengaduk-aduk emosi dan pemahaman publik, baik
secara dogmatis dan psikis menyangkut urusan
duniawi maupun ukhrawi. Implikasinya tampak
saat melihat politik yang esensinya adalah
suksesi kekuasaan menjadi urusan surga dan
neraka. Kondisi itulah yang melatarbelakangi
populisme Islam menyeruak masuk ke ruang
publik.
Di sisi lain, “radikalisme” dan “terorisme”
sering kali disangkutpautkan sebagai bentuk
populisme Islam. Kedua istilah tersebut sebenarnya merupakan bentuk pemahaman Eropasentris berdasarkan pengalaman serupa dalam agama Kristen yang kemudian disematkan
untuk memahami praktik kekerasan dengan
3
mengatasnamakan Islam. Namun, kedua istilah
tersebut sejatinya berjalan dalam logika yang
sama sekali berbeda. Radikalisme dan terorisme lebih mengarah pada bentuk mekanisme
kekerasan dan intimidatif dalam upaya meraih
kepentingan tertentu, sedangkan populisme
lebih banyak bergerak pada alur logika pemaksaan dan seduktif. Hal itu secara signifikan
membuat populisme mengandung arti dan
menempuh jalan berbeda dibandingkan dengan
radikalisme dan terorisme.
Istilah populisme sendiri sebenarnya adalah
proxy dalam demokrasi, dan dipakai untuk
mengukur derajat “demos” sebagai pemegang
supremasi kedaulatan publik melalui mobilisasi

21

massa.4 Namun, tatkala demokrasi menjadi kian
prosedural dan “konstitusional” meninggalkan
masalah tentang adanya kontestasi isu dan
kepentingan yang ketat, tak pelak mendorong
lahirnya mobilisasi massa sebagai “kekuatan
penggertak” (power of deterrence) terhadap
elite agar memenuhi segala tuntutan dan kepentingan mereka. Dengan kata lain, populisme
adalah “cara menelikung” saluran konstitusional
melalui pelbagai simbol, baik berupa isu, identitas, figur, maupun masalah tertentu yang dinilai
urgen dan harus segera diselesaikan. Karena
itu, populisme sering dianggap sebagai salah
satu faktor utama yang bisa mengubah peta
konstelasi politik, baik di tingkat lokal maupun
nasional, dengan cepat dan instan.
Namun demikian, karena terutama berbasis
pada simbol, populisme yang berkembang di
kalangan kelas menengah lebih bersifat temporer dan aktif-reaktif terhadap suatu masalah.
Pilihan untuk tetap berjalan di jalur konstitusi
justru mulai ditinggalkan karena dinilai tidak
berpihak pada kepentingan publik secara lebih
luas. Logika informalitas, day to day politics,
serta egalitarian merupakan indikasi utama
praktik politik kelas menengah Indonesia dengan bertumpu pada isu maupun kepentingan
tertentu yang patut dan harus dibela. Pada
intinya, populisme berusaha menjadi payung
besar diversifikasi kepentingan melalui sebuah
simbol kuat yang mampu memengaruhi dan
“mengajak” massa untuk bergerak.
Populisme berlandaskan pengarusutamaan
agama (Islam) umumnya mengangkat isu-isu
klasik mengenai degradasi moral, demokrasi
yang tidak memihak umat Muslim, serta pembentukan negara Islam sebagai solusi terakhir.
Ketiga isu tersebut senantiasa “dinaikkan” dalam bentuk alat serta mobilisasi politik yang cukup efektif. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa populisme Islam adalah semacam

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

3

bentuk syariatisasi Islam sebagai dasar negara
yang ideal dan “konstitusionalis” yang mengarah
pada pengadopsian nilai, norma, dan prinsip Islam sebagai agama sipil; lihat, Kemal Karpat, The
Politicization of Islam: Reconstructing Identity,
State, Faith, and Community in the Late Ottoman
State (New York: Oxford University, Press, 2010),
hal. 17.
Robert Pringle, Understanding Islam in Indonesia:
Politics and Diversity (Singapore: Editions Didier
Millet, 2010), hal. 13.

A R T I K E L

4

Benjamin Arditi, “Populism as an Internal Periphery of Democratic Politics”, dalam Fransisco
Panizza, Populism and the Mirror of Democracy
(London: Verso, 2005), hal. 94-95.

22

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

“panacea” dan ekspresi berpikir eskapisme
kelas menengah Muslim baru, yang secara
tidak langsung mencerminkan potensi untuk
kembali mengambil “garis konservatif” setelah
sebelumnya berada di jalur inklusif. Pola tersebut dapat dilihat dari serangkaian ekspresi
Islam skriptual di ruang publik yang berujung
pada ekslusivisme di dalam komunitas masyarakat. Pada dasarnya, ekspresi yang berkembang di kalangan kelas menengah Muslim
Indonesia lebih mengarah pada kontekstualisasi keimanan di ruang publik. Namun, kontekstualisasi tersebut menjadi keliru dan salah arah
manakala keimanan dijadikan alat utama menjustifikasi kepentingan politik tertentu.
Pada dasarnya, kelas menengah Muslim di
Indonesia sebagai pelaku utama populisme
Islam lebih mencari eksistensi daripada sekadar
ideologi.5 Dengan kata lain, mereka berkeinginan membangun dan menunjukkan eksistensi (politik) melalui jalur nonpartai. Sementara
itu, dari segi sosial, populisme lebih diartikan
sebagai popularisasi Islam sebagai bentuk atau
“pandangan hidup.” Namun demikian, kelas
menengah Muslim di negeri ini sangat terfragmentasi dalam menerima dan memahami Islam
secara lebih luas. Semua bergantung pada
kebutuhan individu ataupun kolektif. Hal yang
sesungguhnya jauh lebih menarik adalah korelasi antara kelas menengah Muslim dan
makna populisme yang dapat ditafsirkan aneka
macam.
Argumentasi mengenai populisme Islam
yang berkembang di Indonesia didahului oleh
istilah-istilah akademis, seperti conservative

turn, masyarakat intoleran, jihad urban, dan
6
religious claimant. Keempat istilah analitis
tersebut berangkat dari pertanyaan mengapa
kekerasan mengatasnamakan Islam kembali
menyeruak pasca-Orde Baru. Kemunculan
berbagai kelompok “jihadis” perlu dicermati
sebagai indikasi menguatnya Islam sebagai
ideologi politik. Sebagaimana dikemukakan
dalam tesis Noorhaidi Hasan, jihadisme yang
muncul sebagai embrio populisme Islam tidak
terlepas dari setting perang global terhadap
terorisme. Hal tersebut membawa dampak
pada pelbagai labelisasi negatif, seperti Kristen,
Tionghoa, serta Barat yang dianggap sebagai
“musuh” Islam. Sentimen tentang segregasi
masyarakat Indonesia berdasarkan identitas
yang membentuk “kantong-kantong” sosial itu
hadir sejak era kolonialisme hingga detik ini.
Jihad yang dipahami kelas menengah Muslim
Indonesia dewasa ini tentu saja berbeda dengan
makna jihad pada era Nabi. Bila dahulu yang
diperangi adalah ideologinya, maka jihad yang
kini berkembang cenderung terpolarisasi secara
politis.
Argumentasi conservative turn didalilkan
oleh Martin van Bruinessen yang melihat gejala
konservatisme berangkat dari upaya pemurnian
kembali masyarakat melalui Islam.7 Gagasan
tersebut bermula dari kelompok diskusi kecil di
kampus yang kemudian menyasar kelompokkelompok majelis ta’lim masyarakat perkotaan.
Narasi lain mengenai conservative turn hadir
seiring dengan kian maraknya “pengultusan”
ulama sebagai sikap taklid umat kepada pe-

5

6

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

Pada dasarnya, kelas menengah Muslim Indonesia berupaya membangun citra sebagai masyarakat modern, namun di sisi lain tetap mencoba
membangun masyarakat Islami. Ambivalensi
seperti itu membuat pemahaman tentang nilainilai, prinsip, dan norma Islam berbasis isu dan
kepentingan mudah merenggang dan fluktuatif;
lihat, Liputan Khusus Majalah TEMPO edisi 1925 Juni 2017, “Muslim Konservatif: Saleh atau
Salah?”, hal. 50-65; Wasisto Raharjo Jati, Politik
Kelas Menengah Muslim Indonesia (Depok:
Penerbit LP3ES, 2017), hal. 74.

7

Argumentasi religious claimant sebenarnya merupakan bentuk transformatif dari konservatisme
religius yang hendak diterapkan dalam konstelasi politik Indonesia; lihat, Gde Dwitya Arief
Metera, “Problems with Indonesia’s Religious
Democracy”, dalam http://crcs.ugm.ac.id/
news/11137/problems-with-indonesias-religiousdemocracy.html (diakses 24 Juli 2017).
Lihat, Martin van Bruinessen (ed.), Contemporary
Developments in Indonesian Islam: Explaining the
“Conservative Turn” (Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies [ISEAS], 2013).
A R T I K E L

Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

mimpin. Lebih dari sekadar conservative turn,
ada indikasi lebih besar yang hendak disampaikan populisme Islam, yakni melakukan
religious claimant di ruang publik.
Religious claimant selama ini diartikan sebagai bentuk aksi unjuk kesalehan di ruang publik berbasis simbol keagamaan. Dewasa ini,
kesalehan sudah tidak lagi sekadar menjalankan ibadah wajib dan sunnah, namun juga disertai simbol-simbol yang memerkuat peribadatan
itu. Hal tersebut penting untuk dikaji lebih lanjut
mengingat “nilai” kesalehan telah menjadi bagian dari pemenuhan identitas seseorang atau
kolektif. Dalam konteks itu, sikap chauvinistik
terhadap agama menjadi dalil yang tak terpisahkan, karena munculnya sikap religius sendiri vis
a vis terhadap entitas politik amoral. Sayangnya,
posisi religious claimant senantiasa mengedepankan aksi intrusi dan persekusi kekerasan
terhadap orang atau kelompok lain yang dianggap tidak satu pandangan, baik dalam keimanan
maupun teologi.
Kedua tahapan sebelum masuk ke fase
populisme tersebut menunjukkan adanya eskalasi pemahaman akan nilai-nilai, norma, dan
prinsip Islam secara lebih ketat dan kuat. Hal
tersebut bisa diindikasikan dengan pemaknaan
hira’ dan hijrah sebagai bentuk penegasan
identitas keislaman. Hira’ sendiri sebenarnya
bermakna “gua” yang dalam sejarahnya adalah
tempat Nabi Muhammad SAW mendapatkan
wahyu, sedangkan hijrah’ lebih kepada makna
pindah dari kafir menuju saleh. Keduanya
kemudian menjadi tolok ukur penting akan
pemahaman biner masyarakat dewasa ini yang
“terjebak” antara kafir versus Islam. Viktimisasi
Islam kemudian dinarasikan secara luar biasa
yang mendorong masyarakat kelas menengah
awam bertransformasi menjadi kelas menengah
Muslim. Dalam konteks kelas menengah
Muslim di Indonesia, kedua hal tersebut
menjadi titik analisis utama menguatnya kebangkitan Islam di dalam ruang publik. Fase perkembangan populisme Islam dengan kasus
kelas menengah Muslim Indonesia dianalisis
dalam Tabel 1.

23

Tabel 1 menunjukkan bahwa berlangsung
semacam eskalasi kebutuhan cukup signifikan
dalam tubuh kelas menengah Muslim di Indonesia. Pertama, kelas menengah Muslim Indonesia sesungguhnya identik dengan kelas
menengah Indonesia pada umumnya yang
kemudian mengalami “santrinisasi” pasca-Orde
Baru. Santrinisasi tidak diletakkan sebagai hasil
pendidikan pesantren secara fisik, namun secara keilmuan telah diajarkan agar lebih mudah
diserap oleh publik. Kedua, Islam diletakkan
dalam lingkup primordial yang dipakai sebagai
alat penekan sekaligus “penawar politik” kepada
rezim yang berkuasa. Kebutuhan akan religiositas kelas menengah Muslim sesungguhnya adalah hasil Islamisasi masyarakat secara
sosial-politik, sosial-ekonomi, maupun sosial8
budaya. Sementara itu, munculnya populisme
Islam kerap dinarasikan sebagai bentuk ketiadaan ruang ekspresi umat dalam ruang kekuasaan negara yang pada gilirannya memicu
pergolakan secara masif.
Berkembangnya tahapan dari conservative
turn, religious claimant, hingga populisme Islam juga menunjukkan adanya ekspresi kesalehan dan kemarahan dari waktu ke waktu. Jika
sikap konservatif diberi makna sebagai bentuk
aksi dan praktik kembali pada nilai-nilai Islam
secara mendasar dalam arti literal, maka sikap
religius adalah upaya untuk menunjukkan kepada publik bahwa sesungguhnya umat merupakan representasi dari kelompok terpilih, baik
sebagai pemimpin duniawi maupun akhirat.
Narasi duniawi-ukhrawi dalam menjelaskan
populisme Islam itu kurang lebih sebagai berikut. Pertama, narasi tersebut seolah menegasikan makna demokrasi dengan berupaya mengubahnya menjadi teokrasi. Kedua, masyarakat
kemudian “tergiring” untuk menautkan dimensi
duniawi-ukhrawi itu menjadi relasi negara dan
masyarakat. Implikasinya adalah terbentuknya
makna jihad dan thagut serta memicu aksi-aksi

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

A R T I K E L

8

Lihat, Inaya Rakhmani, Mainstreaming Islam in
Indonesia: Television, Identity, and the Middle
Class (New York: Palgrave Macmillan, 2017).

24

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

Tabel 1 Tahapan Populasi Islam dalam Kelas Menengah Muslim Indonesia

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

Sumber: Diolah dari berbagai data.

intoleran terhadap semua yang non-Islam. Ketiga, pengutamaan sikap religius dalam demokrasi yang dijalankan sepenuhnya dengan logika populisme seolah menciptakan segregasi cukup lebar dalam artikulasi kepentingan dan isu.
Keempat, peran ulama mengalami penguatan
tidak lagi sebagai broker kultural, melainkan juga
broker politik. Keempat hal tersebut membuat
populisme Islam yang berkembang dalam kelas
menengah Muslim menjadi agak rancu untuk
dibicarakan lebih lanjut. Di satu sisi, agama
ditampilkan sebagai justifikasi dari aksi politik
tertentu yang bertindak secara inkonstitusional.
Di sisi lain, populisme yang berkembang justru

ingin “memeluk” demokrasi seraya mendesak
rezim yang berkuasa agar mengakomodasi kepentingan politik mereka. Dengan kata lain,
narasi populisme Islam yang berkembang di
dalam tubuh kelas menengah Muslim Indonesia belum bisa menawarkan solusi alternatif
terhadap masalah yang selama ini dihadapi
umat Islam.

Narasi Diskriminasi Menjadi
Sumber Populisme Islam?
Diskriminasi dan alienasi telah menjadi
analisis klasik dalam membahas populisme
A R T I K E L

Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

25

Tabel 2 Narasi Populisme Islam Kontemporer

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

Sumber: diolah dari berbagai data.

Islam di kalangan kelas menengah Muslim yang
pada gilirannya memicu mobilisasi massa. Hal
tersebut tercermin dalam pergolakan umat
versus negara di masa Orde Baru hingga awal
Reformasi mulai dari DI-TII, NII, Komando
Jihad, Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, dan lainlain. Di tingkat akar-rumput Indonesia sendiri,
perkembangan Wahabi dan Salafi tampak tidak
terelakkan dalam peta dakwah di kalangan
masyarakat kelas menengah Muslim.9 Hal lain
yang juga menarik dalam melihat pertumbuhan
kelas menengah Muslim di Indonesia adalah
berlangsungnya kapitalisasi nilai-nilai Islam, baik
dalam bentuk visual maupun material. Karena
itu, populisme berkembang ke kedua arah, yakni revitalisasi Islam di ruang publik dan kapitalisasi Islam di ruang sosial. Populisme berbasis
revitalisasi Islam mengusung “kekecewaan”
terhadap praktik politik formal yang kian menguat bila ruang terbuka untuk berekspresi
yang diberikan negara justru “diduduki” oleh
para elite baru. Ideologi yang tidak jelas ditambah mengecilnya peran partai politik berbasis
Islam membuat sentimen politik itu kian menguat dan melebar.

9

Lihat, Jati, Politik Kelas Menengah Muslim….

A R T I K E L

Tak pelak, sentimen politik berbalut hasrat
kepentingan dan isu yang tidak tersampaikan
secara tuntas pada ranah formal tersebut akan
menciptakan dan melahirkan praktik intoleransi
terhadap elemen masyarakat lainnya. Dalam
hal ini, populisme kelas menengah Muslim
yang digerakkan dengan logika tersebut sebenarnya tidak lebih dari sekadar “pengikut kepentingan” orang atau kelompok yang menjadi
patron mereka. Mobilisasi massa Islam juga
terkait dengan penyediaan logistik yang besar,
sehingga populisme Islam justru lekat terikat
pada (patron) kepentingan tertentu. Kondisi
itulah yang membuat aktor dan kelompokkelompok populisme Islam rentan dipengaruhi
dan dikuasai kepentingan tertentu yang sesungguhnya tidak terkait sama sekali dengan perjuangan Islam. Populisme Islam yang digerakkan oleh logika kekecewaan politik dapat
dianalisis dalam kerangka yang ditunjukkan
pada Tabel 2.
Narasi kekecewaan publik dalam populisme
politik diartikan sebagai respons terhadap
alienasi ekonomi serta situasi politik represif
yang memicu pergolakan publik secara masif di
tingkat akar rumput. Pada dasarnya, populisme
adalah ideologi yang melekat pada kelas menengah yang melihat dimensi politik secara

26

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

egaliter, independen, non-partisan, dan kolektif.
Pengertian tersebut melekat pada sifat kelas
menengah sebagai privileged class yang senantiasa menjaga agar kepentingannya selalu terpenuhi. Dengan kata lain, populisme adalah
upaya pemenuhan berbagai kepentingan yang
disatukan dalam satu tema besar. Karena itu,
sangatlah penting membuat konstruksi tentang
“musuh bersama” agar muncul imaji politik dan
narasi pembelaan bahwa ada kepentingan dan
permasalahan yang perlu ditegakkan. Dari hal
itu bisa dicermati bahwa corak populisme
(Islam) di Indonesia lebih banyak mengedepankan aspek emosional, simbolis, pragmatis, dan
berjangka pendek. Namun, tren populisme itu
sendiri sangat bergantung pada momentum
politik dan terpenting adalah bagaimana merengkuh pengaruh politik melalui jalur akar
rumput.
Dari hal tersebut sebenarnya sudah terlihat
bahwa keberadaan dan eksistensi partai Islam
belum mampu tampil sebagai rumah besar
umat Islam secara utuh. Islam sebagai agama
tidak serta-merta dikontekstualisasikan ke
dalam politik bersifat profan. Kondisi tersebut
menegasikan makna agama sebagai “penjaga
moral” masyarakat, terlebih lagi ulama yang
justru mengalami desakralisasi menjadi broker
politik. Dalam arti itu, tidak ada perbedaan
signifikan antara populisme Islam dengan populisme pada umumnya. Hal yang sesungguhnya perlu diperhatikan adalah pergeseran motif
populisme yang semula material mengarah ke
simbol.
Secara teoretis, populisme Islam yang berbeda dengan populisme pada umumnya, dapat
dilihat dalam dua indikator berikut. Pertama, populisme Islam berbeda dengan pola populisme
yang menubuh dalam negara atau penguasa,
misalnya, Peronisme, Chavizmo, Kemalisme,
dan sebagainya. Kedua, populisme Islam bukan
bentuk populisme berbasis figur politik. Kedua
indikator atau pengertian tersebut memiliki
makna bahwa tujuan akhir populisme dalam
tubuh kelas menengah Muslim cenderung
lebih mengarah pada kepentingan kolektif

dengan mengatasnamakan Islam. Fase analisis
dalam melihat populisme Islam dapat dilihat dari pergeseran “Islam Politik” yang mengedepankan adanya semacam kebutuhan akan bentuk
negara menjadi “Islam Publik” yang lebih melihat kebutuhan dalam ruang ekspresi skala
nasional maupun global.
Ada yang memandang pergeseran tersebut
secara tidak langsung dipengaruhi oleh tren
pasca-Islamisme dalam masyarakat Muslim.
Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya
benar, karena pada saat bersamaan bibit radikalisme justru menguat dalam tataran pengetahuan dan praksis. Islamisme diberi makna
secara sederhana sebagai instrumentasi agama
dalam kepentingan politik. Hal tersebut dapat
dibaca dalam penguatan dan “pemekaran” makna jihad sebagai bentuk perjuangan Islam. Jihad
dimaksud adalah melawan “musuh” Islam,
yakni Barat, yang kemudian diperluas menjadi
siapa pun yang melawan Islam. Perluasan definisi tersebut menunjukkan bahwa gejala
populisme kini berkembang tidak hanya pada
aras informal saja, namun juga pada aras formal.
Hal tersebut juga tampak dari perluasan makna
thagut yang tidak hanya menyasar rezim yang
berkuasa, namun juga kalangan non-Muslim.
Selain dimaknai sebagai bentuk ekspresi
akan representasi, populisme Islam juga tumbuh dan berkembang atas ekspresi akan materi.
Keduanya tidak bisa dipisahkan karena satu sisi
kebutuhan teologi dan materi menjadi abu-abu
dalam ruang diskusi populisme Islam di Indonesia. Pada dasarnya, populisme Islam yang
berkembang di Indonesia masih sebatas respons “reaksioner” dan emosional terhadap
situasi politik kekinian yang dianggap tidak
memihak umat Islam.
Hal menarik dari populisme yang berkembang dalam tubuh kelas menengah Muslim
bukan terletak pada upaya menjadikan Islam
sebagai civil religion yang secara inklusif
mendorong dan menjadi nilai dan norma bersama. Populisme semacam itu cenderung menjadi
orkestrasi kolektif untuk menunjukkan aktor
yang berpengaruh dalam menentukan suara

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

A R T I K E L

Wasisto Raharjo Jati, Trajektori Populisme Islam

umat. Karena itu, tidak berlebihan bila populisme Islam kemudian dipahami sebagai bentuk
“ideologi pembebasan” yang berupaya mewujudkan redistribusi sumber daya dari kelompok
dominan kepada kelompok marginal. Salah satu
penyebab hadirnya populisme Islam adalah
karena sebagian besar borjuasi Muslim menganggap diri “dipinggirkan” dari pola pembangunan modern dalam kerangka neoliberal. Hal
tersebut justru membuat kelas menengah Muslim di Indonesia mengalami konsolidasi secara
ekonomi dan politik. Konsolidasi di bidang politik terutama dalam hal penyampaian ekspresi
politik Islam, sedangkan konsolidasi di bidang
ekonomi dimaksudkan sebagai bentuk redistribusi ekonomi yang merata dan seimbang.
Dalam perjalanannya, populisme yang berkembang dalam tubuh kelas menengah Muslim
Indonesia bersifat fluktuatif yang kerap dikaitkan dengan isu radikalisme, negara Islam,
dan terorisme, yang membuat hubungan negara dengan umat menjadi kurang harmonis. Hal
itu sering kali terjadi pada masa pemerintahan
Orde Baru; menjadikan Islam sebagai bagian
dari objek kekerasan. Hal itu berdampak pada
kebangkitan dan revitalisasi Islam sebagai
“identitas politik.” Namun demikian, narasi populisme Islam dalam logika kapitalisasi nilai-nilai
Islam justru memiliki pengertian dan pemahaman berbeda dengan logika “kekecewaan.”
Hal yang sesungguhnya diinginkan oleh sebagian besar kelas menengah Muslim lebih
mengarah pada publikasi nilai-nilai Islam agar
bisa diterima dan didaku sebagai “perintis” dalam setiap kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, kapitalisasi Islam merupakan bentuk

ekspresi populisme kelas menengah Muslim
yang paling “lunak”, karena hampir seluruhnya
bersifat seremonial. Namun, populisme melalui
kapitalisasi juga perlu dilihat sebagai bentuk
adaptasi atau representasi Islam dengan “wajah”
baru; tidak semua hal bisa dikatakan populisme
Islam bila semangat mengedepankannya tidak
mendapat tempat dalam masyarakat.

Kesimpulan
Trajektori populisme Islam di dalam tubuh
kelas menengah Muslim terus-menerus mengalami transformasi. Mulai dari isu masyarakat
vis a vis negara beranjak menuju apple to apple, baik dengan negara maupun masyarakat
sekitar. Populisme yang mengakar pada soal
kepentingan yang tak tersampaikan justru mengalami peningkatan dengan wujud identitas
politik. Dengan demikian, populisme yang berkelindan dengan identitas ditambah narasi duniawi-ukhrawi amat sangat mungkin menjadi
pemantik yang membuat mobilisasi massa berbasis kelas menengah Muslim dapat muncul di
berbagai tempat. Populisme seperti itu sesungguhnya adalah cerminan dari politik primordial
yang belum selesai di Indonesia. Aksi politik
bernuansa keagamaan sebagaimana “Aksi 411”
dan “Aksi 212” seolah membuktikan bahwa
pengedepanan sikap ideal dan rasional dalam
pembangunan politik di Indonesia masih jauh
dari harapan. Sekali lagi, ada dan menguatnya
politisasi agama serta sosialisasinya di ruang publik menegaskan bahwa primordialisme masih
memiliki peran dan menempati posisi penting
dalam demokrasi Indonesia kontemporer•

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja

A R T I K E L

27

o
t
s
i
s
o
j
a
W ard
h
a
i
t
R Ja