Analisis Dampak Program Penataan Kembali Pasar Centong Di Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Reformasi yang berjalan di Indonesia menuntut berbagai bidang khususnya

di bidang pemerintahan yang merupakan salah satu penyelenggara Negara.
Pelaksanaan pemerintahan yang baik merupakan salah satu sentral pemerintahan.
Sebagai salah satu Negara yang berkembang Indonesia adalah Negara yang
demokratis yang selalu mengalami perubahan di segala bidang meliputi
penyediaan pelayanan publik yang ekonomis serta efektif dan efisien dan
transparan. Paradigma pemerintahan baru tersebut merubah masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan Negara. Pelaksanaan Otonomi Daerah kini memasuki
tahapan baru setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kini direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Maka
dengan berbagai ketentuan yang telah dibuat sedemikian rupa kebebasan daerah
untuk menjalankan pemerintahan daerah tidak terpengaruh oleh pemerintah pusat.

Seiring dicetuskannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah
Daerah dengan sangat bebas menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan apa
yang telah mejadi visi misi daerah tersebut. Berlakunya Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah membuat Pemerintahan Daerah menjadi sangat berkuasa di
daerah pemerintahannya, hal demikian membuat Pemerintah Daerah Provinsi

sekarang ini menjadi sebagai salah satu alat “fasilitator” dari Pemerintahan
Daerah kabupaten/ kota tersebut. Maksud dan tujuan dicetuskannya UndangUndang tersebut adalah tentang pemberian hak dan wewenang khusus dari
Pemerintahan Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur daerah kekuasaan
dan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri, dengan demikian bangsa
Indonesia diharapkan bisa mencapai suatu keberhasilan dari suatu harapan akhir
yang hendak dicapai yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera. Masyarakat diharapkan bisa menuju keberhasilan bersama dengan
semangat juang guna membangun bangsa Indonesia kembali pada titik jaya dalam
segala bidang di sektor kehidupan masyarakat. Pemberian hak Otonom tersebut
mebawa pengaruh yang cukup berkompeten dalam mengatur pemerintahan
daerah.

Pada akhir tahun 1990-an telah terjadi masalah yang sangat dahsyat bagi
Negara Indonesia yaitu krisis moneter yang hampir saja membawa bangsa

Indonesia keterpurukan ekonomi, tetapi krisis itu bukan hanya dialami oleh
bangsa Indonesia saja, adapun Negara yang mengalami krisis tersebut adalah
Thailand, Korea Selatan dan Malaysia. Krisis itu sendiri membawa dampak yang
yang sangat luar biasa bagi rakyat dan pemerintahan. Bahkan diikuti oleh
sejumlah krisis yang lainya, seperti krisis ekonomi, hukum, politik dan bahkan
krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Pada akhir tahun 1990-an telah terjadi masalah yang sangat dahsyat bagi
Negara Indonesia yaitu krisis moneter yang hampir saja membawa bangsa

Indonesia keterpurukan ekonomi, tetapi krisis itu bukan hanya dialami oleh
bangsa Indonesia saja, adapun Negara yang mengalami krisis tersebut adalah
Thailand, Korea Selatan dan Malaysia. Krisis itu sendiri membawa dampak yang
yang sangat luar biasa bagi rakyat dan pemerintahan. Bahkan diikuti oleh
sejumlah krisis yang lainya, seperti krisis ekonomi, hukum, politik dan bahkan
krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Kebijakan Otonomi Daerah yang mendorong pemerintah daerah untuk
membangun daerahnya sesuai dengan kapasitas kemajuan ilmu dan teknologi,
lahan dan daya dukung dari berbagai sektor dan faktor. Salah satu sektor yang

sangat berpengaruh dan sangat penting adalah sektor pasar dan pertanian karena
sektor ini mejadi salah satu penentu tingkat perekonomian pada suatu Negara
yang berkembang. Semangat otonom yang diharapkan oleh arah kebijakan
tersebut bersumbu pada kabupaten atau kota, semua ini diharapkan agar level
pemerintah yang terendah bisa menjalankan kebijakan yang telah dibuat dengan
prakarsa dan seluruh perampungan dari aspirasi masyarakat. Di samping itu,
dengan sistem otonom daerah bukan berarti pemerintah daerah bersikap lebih
dewasa dalam mengurus segala permasalahan yang ada di pemerintah kabupaten
atau kota tersebut. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah pusat untuk
membantu pemerintah daerah karena pemerintah pusat mempunyai andil besar
dalam penyelenggara pemerintahan yang baik.

Selayaknya pelaksanaan otonomi daerah di beberapa kabupaten atau kota
yang ada di seluruh Indonesia, fokus penellitian ini menaruh perhatian pada

penyelenggaraan roda pemerintahan di Kabupaten Gayo Lues yakni secara
spesifik mengarah pada Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM,
Surat Keputusan Bupati Kabupaten Gayo Lues Nomor : 30 Tahun 2009, Tanggal
07


Mei

2009,

Keputusan

Menteri

Koperasi

Indonesia

Nomor

:

127.1/Kep/M.KUKM/X/2003 tentang pengembangan pasar tradisional melalui
koperasi. Sebagai salah satu kebijakan pemerintah daerah yang cukup vital
tentunya dalam perwujudannya kebijakan ini juga mengacu pada Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang berkembang di kota Blangkejeren

Kabupaten Gayo Lues.

Kenyataan yang terjadi sampai pada saat ini, masyarakat di Kabupaten gayo
Lues sangat membutuhkan tempat penyedia kebutuhan publik seperti pasar
tradisional sebagai penyangga rotasi kehidupan perekonomian masyarakat seharihari. Dengan demikian, ketetapan kebijakan yang mengacu kepada Tata Ruang
Wilayah masih bisa dioptimalkan sesuai harapan bersama.
Pasar tradisional sangatlah penting keberadaannya dan mendukung
ketercukupan APBD dan PAD Kabupaten Gayo Lues. Hal ini menegaskan
kembali bahwa kenyataan yang ada masih berbanding terbalik dengan pengertian
otonomi daerah yang masih didominasi dua cara pandang. Pertama yaitu cara
pandang yang menekankan pada segi perolehan keuangan daerah dari pemerintah
pusat yang besar agar bisa melakukan otnomi daerah. Dengan cara pandang ini
menitikberatkan kepada “kucuran dana yang besar bagi pelaksanaan otonomi
daerah”. Cara pandang ini akan menimbulkan pesimisme masyarakat yang
membawa keserba-raguan dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah. Cara

pandang

kedua


yaitu

lebih

menekankan

pentingnya

mendayagunakan

kewenangan yang telah diberikan kepada daerah seoptimal mungkin. Dengan
kewenangan yang besar, daerah dapat melakukan keleluasaan dalam menggali
potensi sumber dayanya.

Kebijakan Otonomi Daerah yang mendorong pemerintah daerah untuk
membangun daerahnya sesuai dengan kapasitas kemajuan ilmu dan teknologi,
lahan dan daya dukung dari berbagai sektor dan faktor. Salah satu sektor yang
sangat berpengaruh dan sangat penting adalah sektor pasar dan pertanian karena
sektor ini mejadi salah satu penentu tingkat perekonomian pada suatu daerah yang
berkembang. Semangat otonomi yang diharapkan oleh arah kebijakan tersebut

bersumbu pada kabupaten atau kota, semua ini diharapkan agar tingkat
pemerintah yang terendah bisa menjalankan kebijakan yang telah dibuat dengan
prakarsa dan seluruh perampungan dari aspirasi masyarakat. Di samping itu,
dengan sistem otonom daerah bukan berarti pemerintah daerah bersikap lebih
dewasa dalam mengurus segala permasalahan yang ada di pemerintah kabupaten
atau kota tersebut. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah pusat untuk
membantu pemerintah daerah karena pemerintah pusat mempunyai andil besar
dalam penyelenggara pemerintahan yang baik.

Mencuatnya perdebatan teoritis tentang sector informal adalah sejak
International Labour Organization (ILO) mulai mengembangkan program
pembangunannya di kalangan penduduk miskin perkotaan yang terlibat pada
sector ekonomi informal di Negara-negara Afrika pada tahun 1970-an.

Pertumbuhan sector informal yang relative kecil modalnya, tidak teratur, kotor
dan kurang stabil sangat menarik perhatian para pakar dam pembuat kebijakan.
Kendati usaha ini masih dilakasanakan dengan sukses, namun tidak dapat
dipungkiri masih terdapat kelemahan International Labour Organization (ILO)
dalam menangani isu dan strategi mengenai pertumbuhan sector informal ini,
terutama dalam mengkaji hubungan sector informal dengan sector formal pada

wiliayah perkoataan. (Nasution, 2008)

Pasca Penandatanganan Kesepahaman Perdamaian Pemerintah Republik
Indonesia dengan pihak GAM pada tangal 15 Agustus 2005 kondisi keamanan
serta pemerintahan kembali kondusif sehingga pengembangan pelayanan publik
terutama sektor pasar yang sempat menghilang kini telah dapat dibangun kembali
dengan konsep penataan yang baru.

Penataan arah kebijakan program yang baru ini pula diharapkan tidak ada
lagi kecemasan pada pemerintah dan masyarakat umumnya, dan juga diharapkan
dapat memacu kreativitas pemerintah dalam menyusun program kebijakan
pemerintahan yang membawa pengaruh bagi pelayanan pemenuh kebutuhan
publik yang seimbang dan berkembang serta membawa dampaknya kepada
pengembangan kota.

Pasar Tradisional Centong yang berada di Kecamatan Blangkejeren
Kabupaten Gayo Lues mulanya berada pada sekitar pemukiman warga sekitar
kecamatan, dengan keadaan tersebut masyarakat sekitar merasa terganggu dengan

kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan di pasar tersebut. Masyarakat banyak

mengeluhkan sikap pemerintah yang kurang tanggap akan permasalahan yang
terjadi pada rakyatnya. Pada dasarnya masyarakat adalah pemegang kedaulatan
sepenuhnya yang harus diberikan pelayanan dari pemerintah sesuai dengan dilema
permasalahan yang dihadapi saat itu. Pasar memang merupakan tempat penyedia
kebutuhan publik, akan tetapi semua komponen yang saling berhubungan yang
berada didalamnya harus memahami serta mengerti akan faktor keterbatasan
pemerintah dalam menanggapi berbagai aspirasi dari masyarakat.

Negara Indonesia adalah Negara yang demokratis. Maka dari itu seiring
berjalannya waktu pemerintah daerah Kabupaten Gayo Lues melakukan
perampungan aspirasi dari seluruh masyarakat yang tengah mengeluhkan kinerja
aparatur pemerintahan dalam penataan pasar yang bagi mereka itu adalah salah
satu masalah yang harus secepatnya diselesaikan. Setelah perampungan aspirasi
tersebut, pemerintah daerah merundingkan apa yang harus dilakukan agar
terwujudnya masyarakat yang aman, sejahtera serta masyarakat yang mandiri.
Secara tidak langsung dengan berjalannya aktivitas perekonomian warga dengan
baik, masyarakat telah turut ikut dalam mensukseskan program kerja pemerintah
daerah dalam mewujudkan pengembangan kota atau penataan kota yang baik.
Eksistensi pasar, khususnya pasar tradisional, merupakan indikator paling
nyata kegiatan ekonomi kemasyarakatan di suatu daerah. Pemerintah harus lebih

fokus dan peduli terhadap eksistensi pasar tradisional sebagai salah satu sarana
publik berongkos murah yang menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Pasar
tradisional tidak hanya menjadi tempat pedagang dan pembeli bertransaksi jual

beli, melainkan juga mendukung kelancaran produksi, distribusi hasil pertanian,
dan industri kecil yang menyerap banyak tenaga kerja. Perkembangan
jaman,perubahan gaya hidup, dan kualitas sarana yang diusung oleh beberapa
pihak komersil ritel modern begitu hebat sehingga membuat eksistensi pasar
tradisional menjadi sedikit tenggelam.
Kondisi ini bertentangan, mengingat bahwa sektor pasar tradisional yang
sebenarnya memiliki potensi dan kapasitas cukup besar ini, juga menghadapi
kompetisi kualitas sarana dan produk dari perkembangan sektor ritel modern.
Mengangkat eksistensi pasar tradisional merupakan action sangat penting,
mengingat dalam kegiatan pasar modern, terjadi kegiatan jual beli antara
masyarakat yang menginginkan kualitas dan ekonomis produk. Hal ini seharusnya
diintensifkan dengan kecepatan dalam melakukan inovasi pemasaran guna
menarik konsumen yang merupakan kunci sukses di sektor ritel, yang seharusnya
juga diimplementasikan pada pasar tradisional agar nilai eksistensi itu tidak pudar.
Revitalisasi pasar tradisional dinilai sangat strategis untuk meningkatkan
daya saing pasar tradisional di tengah persaingan dengan ritel modern, dan pusatpusat perbelanjaan yang kian memambaiak di berbagai wilayah perkotaan.

Karenanya, pemerintah melakukan revitalisasi untuk membangkitkan dan
menggerakan kembali eksistensinya, sekaligus memposisikan pasar tradisional
dengan konsep belanja satu atap yang aman, nyaman, bersih dan ekonomis bagi
pembeli maupun pedagangnya.
Berbicara mengenai revitalisasi, Gayo Lues termasuk salah satu kabupaten
di Aceh. Mulai tahun 2007 hingga 2010, sudah ada beberapa pasar yang
direvitalisasi total. Revitalisasi ini melibatkan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues

juga bekerja sama dengan pihak ketiga. Program revitalisasi ini antara lain
pembangunan fisik pasar tradisional, dengan mengadopsi percontohan pasar
bersih, aman, nyaman dan sehat. program revitalisasi selanjutnya adalah
membenahi sistem pengelolaan pasar tradisional, mengingat kualitas dari
pengelola pasar tradisonal, yaitu yang tidak peduli dengan pengembangan dan
pembinaan pedagang pasar tradisional yang menyangkut penataan wilayah
perkotaan.
Hasil pengkajian dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas
menunjukan bahwa masalah kebijakan penataan alokasi pasar tradisional yang
berada di Kecamatan Blangkejeren belum berjalan seefektif mungkin. Dari
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam pengembangan pasar
tradisional setidaknya menimbulkan pro dan kontra pada perilaku masyarakat.
Penataan kembali merupakan salah satu bentuk kesiapan pemerintah untuk
membina pengembangan pasar tradisional yang berada di sekitar wilayah
kacamatan Blangkejeren. Pasar tradisional centong pada kecamatan blangkejeren
kabupaten Gayo Lues merupakan pasar tradisional yang akan diteliti oleh peneliti
tentang bagaimana strategi – strategi yang akan dilakukan.

Disadari atau tidak, persepsi masyarakat terhadap pasar tradisional adalah
kumuh, semrawut, becek, kotor dan minimnya fasilitas seperti terbatasnya tempat
parkir, tempat sampah yang bau dan kotor, lorong yang sempit dan sebagainya.
Kondisi ini yang seringkali menyebabkan masyarakat cenderung memilih
berbelanja di pasar modern walaupun harga barang di pasar modern lebih mahal

dibandingkan harga barang di pasar tradisional. Terlebih pasar modern memiliki
tempat berbelanja yang lebih bersih dan praktis.

Pencitraan negatif pada pasar tradisional ini tidak terlepas dari lemahnya
manajemen dari pasar tradisional itu sendiri, antara lain masih rendahnya
kesadaran terhadap kedisiplinan pada aspek kebersihan dan ketertiban sehingga
kurang memperhatikan pemeliharaan sarana fisik, adanya premanisme, tidak ada
pengawasan terhadap barang yang dijual dan standarisasi ukuran dan timbangan,
terbatasnya masalah fasilitas umum, pemahaman rendah terhadap perilaku
konsumen, dan penataan los/kios/lapak yang tidak teratur. Manajemen pasar yang
lemah ini disebabkan karena pengelola pasar belum berfungsi dan bertugas secara
efektif dan belum didukung Standard Operation Procedure (SOP) yang jelas.
Kondisi semacam ini menggambarkan bahwa pasar tradisional di Indonesia masih
cukup memprihatinkan.

Di balik beberapa kelemahan, pasar tradisional menyimpan peran penting
bagi masyarakat luas yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh pasar-pasar
modern. Pasar tradisional oleh sebagian konsumen dianggap memiliki 3 (tiga)
karakteristik yang khas yaitu pertama, suasana dimana adanya proses tawarmenawar harga yang dapat menjalin kedekatan personal dan emosional antara
penjual dan pembeli yang tidak mungkin didapatkan ketika berbelanja di pasar
modern. Dalam proses tawar-menawar ini ada rasa “trust” di antara pembeli dan
pelanggan yang terbangun baik. Kedua, para pedagang di pasar tradisional sudah
mengetahui persis keinginan pelanggan terhadap barang yang dibelinya. Ketiga,

pasar tradisional mampu menawarkan produk yang diinginkan masyarakat dengan
harga yang menarik pada barang/produk khusus yang tidak didapatkan di pasarpasar modern.
Penataan kembali pasar tradisional berarti mensinergikan sumberdaya
potensial yang dimiliki oleh pasar tradisional dengan mempertimbangkan seluruh
aspek

secara

komprehensif,

terintegrasi

dan

holistik

sehingga

mampu

meningkatkan dayasaing pasar tradisional dengan tetap mempertahankan
kekhasan maupun keunggulan yang dimiliki pasar tradisional tersebut.
Revitalisasi pasar tradisional dapat dilakukan dengan menata dan membenahi
pasar tradisional, dimana kelemahan-kelemahan pada pasar tradisional yang
menyebabkan penurunan dayasaing pasar tradisional sendiri harus segera
dibenahi. Tentunya, Penataan kembali pasar tradisional membutuhkan kebijakan
yang berpihak (affirmative action), baik pemerintah maupun seluruh stakeholder
yang terkait.
Adapun kebijakan-kebijakan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah
dalam rangka merevitalisasi pasar tradisional kita, adalah pertama, pemerintah
seyogianya mampu merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih higienis,
lebih nyaman dan lebih teratur. Pembenahan pasar tradisonal ini hendaknya
mengedepankan kepentingan para pedagangnya dan konsumen bukan kepentingan
investor semata. Kedua, pemerintah harus terus melakukan kampanye massal
untuk mendorong kesadaran pedagang dalam melakukan sanitasi lingkungan,
kesehatan dan menjual produk yang higienis. Ketiga, pemerintah juga senantiasa
mendorong dan membangun kesadaran masyarakat dan pedagang akan
pentingnya atribut mutu dan keamanan produk. Keempat, pemerintah dapat

menggunakan instrumen CSR perusahaan-perusahaan distributor untuk membina
pedagang pasar tradisional. Kelima, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang
erat antar semua pihak agar tidak terjadi kerancuan dalam menyikapi kebijakankebijakan yang telah dikeluarkan.
Regulasi pemberdayaan pasar tradisional hendaknya diupayakan dengan
memfasilitasi pedagang pasar tradisional agar mendapatkan iklim usaha yang
kondusif. Kebijakan yang berpihak mempercepat terjadinya distribusi manfaat
yang bersifat ”positive-sum game” dalam sistem kerjasama antara pasar modern
dan pasar tradisional. Bila pasar tradisional dapat dibenahi dengan baik, niscaya
produk-produk yang dijual akan memiliki kualitas yang baik dan tidak ada
pertentangan lagi antara pasar tradisional dengan pasar modern, keduanya akan
berkembang dengan nuansanya serta daya tariknya sendiri-sendiri.
Namun, jika pemerintah tidak berpihak kepada pasar tradisional, maka
mereka akan semakin termarjinalkan dan membiarkan keberadaan pasar
tradisional semakin terpinggirkan dan mati oleh para pelaku usaha retailer besar
yang lebih kuat. Jika demikian halnya, pertumbuhan yang memberikan manfaat
bagi banyak pihak (inclusive growth) tidak terjadi. Bukan pula ”trickle down
effects” yang terjadi, tetapi malah ”trickle up effects”, yakni pertumbuhan yang
menyebabkan jurang yang kaya dan miskin semakin lebar. Tentu saja hal
semacam ini tidaklah kita harapkan.Beberapa deskripsi di atas memberikan arti
tersendiri bagi penulis khususnya dalam memotivasi ketertarikan penulis untuk
menganalisis bagaimana sebenarnya dampak yang telah tercapai dari pelaksanaan
kebijakan penataan kembali Pasar Centong di Kecamatan Blangkejeren
Kabupaten Gayo Lues.

1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas, secara jelas dapat menggambarkan rumusan

masalah yang akan diteliti yakni; “Bagaimanakah dampak pelaksanaan kebijakan
penataan kembali Pasar Centong di Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo
Lues.?”.

1.3.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini tentunya menggambarkan hasil dari keseluruhan

pelaksanaan prosedur penelitian ilmiah. Dengan demikian yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak pelaksanaan kebijakan penataan
kembali Pasar Centong di Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.

1.4.

Manfaat Penelitian
Secara teoritis Penelitian ini dapat menjadi referensi dan memberikan

sumbangan konseptual bagi peneliti sejenis maupun civitas akademia dalam
rangka mengembangkan ilmu pengetahuan untuk perkembangan kemajuan dunia
pendidikan.
Selanjutnya secara praktis bagi masyarakat khususnya yang berada di
wilayah Kecamatan Blangkejeren dengan adanya penataan kembali Pasar Centong
di Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues tersebut agar dapat
meningkatkan perannya pada pembangunan berkelanjutan dan mengutamakan
kemandirian dalam upaya mengatasi penanggulangan kemiskinan. Selain itu
penelitian ini dapat berguna bagi pemerintah mengenai informasi mengenai

pelaksanaan dari program penataan kembali Pasar Centong di Kecamatan
Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat akan tercapai.

1.5.

Kerangka Berfikir Penelitian
Sebagai sebuah perencanaan metode ilmiah, penulis memerlukan berbagai

teori dalam upaya menjawab permasalahan penelitian ini. Pelaksanaan penelitian
yang terfokus pada implementasi kebijakan penataan kembali Pasar Centong di
Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.
Di sisi lain desentralisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan hingga ke
lapisan pemerintahan desa memberikan konsekwensi bahwa selain berdaya guna
dan partisipasi yang tinggi dari masyarakat, kemandirian pun menjadi tolok ukur
kemajuan masyarakat seiring perjalanan waktu. Oleh karenanya konsepsi serta
teori desentralisasi memberikan penjelasan bahwa perwujudan kewenangan di
daerah secara otonom baik oleh pemerintah daerah maupun desa sekalipun,
dituntut mandiri dalam upaya mengatur “rumah tangga”nya sendiri dan
membiayai kebutuhan “rumah tangga”nya sendiri. Oleh karenanya kedewasaan
dalam memahami pelaksanaan otonomi di daerah hingga desa menjadi penting
untuk ditelaah secara mendalam. Adapun secara sederhana kerangka pemkiran ini
mendasari peninjauan pustaka yang secara sederhana dapat dipahami melalui
gambar di bawah ini.

Desentralisasi Kepemerintahan
(Kebijakan Penataan Pasar)

Pemberdayaan Masyarakat

Partisipasi Masyarakat hingga
pelaksanaan pembangunan

Kemampuan Ekonomi

Sarana dan prasarana

masyarakat

Aspek SDM
Masyarakat

Kemandirian dan Kesejahteraan
Masyarakat

Gambar 1.1. Kerangka Berfikir Penelitian