Perubahan Fasad Bangunan Terhadap Tata Ruang Kawasan (Studi Kasus: Jalan Ahmad Yani Kesawan Medan)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 The Urban and the Spatial Cluster
Menurut Papageorgiou, A. dalam “Change and Continuity” (1971).“Pusat- pusat kota bersejarah keduanya bisa termaksud di dalam unit- unit yang tidak saling berkaitan, dan juga sebagai komponen penting dari pada kompleks perkotaan yang lebih besar.Pada kedua kasus tersebut pusat ini merupakan formasi perkotaan yang statis dan konstan dalam permukiman yang dihuni, yang
dibangun diatas permukaan bumi”.
Menurut Papageorgiou, A. dalam “Change and Continuity” (1971).Perbedaanfungsi dari Networks dan Centres, pada clusterperkotaan tradisional:
a. Pusat adalah formasi perkotaan dimana keduanya bervariasi kepentingan fungsional, hal tersebut memenuhi, baik dari fungsi tunggal, fungsi dari :
1. Pusat permukiman
2. Ruang lingkup utama pusat administrasi, komersil, dan pertukaran 3. Pusat sosial, budaya, pendidikan, dan kesehatan
4. Daerah industri.
b. Jaringan tradisional (yang berbanding lurus dengan cluster buatan) yang telah terpenuhi hingga awal abad sekarang yang fungsinya sama tuannya
(2)
dengan dunia ini sendiri, yaitu rute lalu lintas, jaringan-jaringan ini terdiri dari jalan, rel kerta api, sungai dan rute laut.
c. Struktur dari cluster buatan tradisioanal dapat digambarkan berdasarkan kerakteristik berikut :
Elemen-elemen pentingnya statis.
Selama 3 abad ditandai dengan meningkatnya pusat perkotaan, rute jalan dan air yang berada diantaranya ,menunjukan hasil bahwa jumlah pusat perkotaan ternyata berkembang jauh lebih besar daripada rute tersebut. Lokasi geografis pusat pusat ini da jaringan jaringannya yang saling berhubngan ternyata tetap tidak berubah. Disebabkan oleh isolasi wilayah perkotaan dan sebagai besar
pengembangan diarahkan kepada yang bangkit, maka fungsi pusatnya menjadi pada wilayah pusat perkotaan
Tidak adanya pengembangan komunikasi sepenuhnya antara berbagai pusat perkotaan, komunikasi, satu-satunya hanya berupa rute lalu lintas
Seiring berjalannya waktu, cluster geofisika benar-benar ditenggelamkan oleh cluster buatan . lahan secara sistemastis dirusak dan dilumpuhkan.
Dari sini sangat jelas bahwa cluster tradisional telah berkurang secara berkelanjutan dan fleksibilitas.
a. Ledakan demografi setelah berperan selama beberpa decade lalu dan akan telah menggandakan populasi dunia diakhir abad, sehingga memastikan
(3)
penyebarannya kebudayaan industri yang juga berkontribusi terhadap meningkatnya urbanisasi secara umum.
b. Wilayah perkotaan (ibukota plus luar pinggiran kota plus kota satelit atau erkotaan) telah berbentuk didaerah pesisir timur dan barat di Amerika Serikat, Inggris, Belgia, Jerman,Prancis, danJepang. Wilayah wilayah perkotaan ini, secara tidak engaja, merupakan tahap awal, dalam masatransisi dari yang tadinya cluster tradisional, menjadi cluster tata ruang dimasa depan.
Constantin Donadis, seorang perencanaan kota dan arsitek Yunani, menyatakan bahwa berbagai studi pengembangan bentuk perkotaan dimasa depan, karakteristik ekskulsif pada cluster tata ruang dimasa depan akan sampai pada kependapatan ekstrimnya.
2.2 Pelestarian Kawasan Bersejarah
UNESCO memberikan definisi “heritage’’ sebagai warisan (budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur. Heritage ManagementInterpretation Identity, karya Peter Howard (2003) memberikan makna heritage sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.
(4)
2.2.1 Pengertian Pelestarian
Pengertian pelestarian secara lebih spesifik dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas (Piagam Pelestarian PusakaIndonesia 2003).
b. Kesinambungan yang menerima perubahan merupakan konsep utama pelestarian, sebuah pengertian yang berbeda dalam preservasi. Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (Adishakti,1997 dalam Adishakti,2008).
c. Pelestarian dalam konteks perkotaan berarti pula mengawetkan bagian tertentu pusaka dengan memberikan tidak hanya keberlanjutan keberadaannya tetapi juga memiliki manfaat untuk masa depan (Burke,1976 dalam Asworth,1991).
d. Pelestarian merupakan manajemen perubahan (Asworth, 1991).
Pemahaman pusaka dalam dua dekade terakhir ini tidak hanya bertumpu pada artefak tunggal namun telah meluas pada pemahaman pusaka sebagai suatu saujana (cultural landscape) yang luas bahkan bisa lintas batas dan wilayah dan menyangkut persoalan pusaka alam dan budaya (Adhisakti,2008). Pada Tahun
(5)
Pusaka Indonesia 2003 (tema: Merayakan Keanekaragaman), Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI) bekerjasama dengan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia dan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia mendeklarasikan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003. Menurut Adhisakti (2008), piagam ini merupakan yang pertama kali dimiliki Indonesia dalam menyepakati etika dan moral pelestarian pusaka. Kesepakatan dalam piagam tersebut di antaranya adalah:
a. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam (natural heritage) adalah alam yang istimewa. Pusaka budaya (cultural heritage) adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka saujana (cultural landscape) adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu;
b. Pusaka budaya mencakup pusaka tangible (bendawi) dan pusaka intangible
(non bendawi).
2.2.1.1 Pemeliharaan
Menurut [Dobby (1979), "Conservation and Planning '] di dalam bukunya" Conservation and Planning' telah menjelaskan langkah-langkah di dalam mengaplikasikan konsep retensi dan konservasi. Di Malaysia, pendekatan konservasi dalam piagam internasional (Piagam Burra) digunakan sebagai referensi dalam praktek pemuliharaah bangunan bersejarah.
(6)
Pendekatan-pendekatan yang terkandung dalam piagam Burra diadopsi dengan luas diseluruh dunia khususnya di Eropa [Siti Norlizaiha Harun et.al (2010), Konservasi Bangunan Bersejarah, Universiti Teknologi Mara.].dalamRuslinda.
Pelaksanaan kerja konservasi adalah mengacu kepada kebijakan untuk menyelamatkan dan membangun warisan dengan pendekatan kepada dua konsep yaitu keaslian dan penyesuaigunaan berikutnya mengacu pada tiga prinsip yang dapat digunakan seperti Raja.
Gambar 2.1. Pendekatan Konservasi (Sumber: Siti Norlizaiha Harun, 2010)
(7)
Gambar 2.2 Dasar dan Prinsip Pemiliharaan Bangunan bersejarah dan monumen di Malaysia
(Sumber: Paiman Keromo, 2000)
2.2.1.2 Nilai Bangunan Bersejarah
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, bahwa cagar budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh,unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui, sehingga dalam rangka menjaga cagar budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya menimbang :
a. Bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu
(8)
dilestarikan dan dikelola secara tepat melaluiupaya pelindungan, pengembangan, danpemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. Bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya; c. Bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan
perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;
d. Bahwa dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Cagar Budaya; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 ayat
Penelitian Utami (2004) mengatakan Rossi (1982) yang mengacu pada teori permanensi-nya Poete dan Lavedan melihat kota sebagai sejarah, yang terdiri atas dimensi waktu masa lalu, masa kini dari masa mendatang. Teori Poete dijelaskan dalam Rossi (1982) menggunakan dasar historical theory yang memfokuskan pada fenomena persistance (berlangsung secara terus menerus atau
(9)
dapat bertahan), Kebertahanan ini dihubungkan dengan monumen, tanda-tanda fisik masa lampau yang terlihat pada layout dari rencana dasar kola.Kadangkala artefak ini bertahan dengan tidak berubah, berlangsung terus dan di suatu waktu mereka menghilang dan hanya tinggal permanensinya pada bentuk-bentuknya, tanda-tanda fisiknya atau berupa sisa yang ada pada lokusnya.Oleh karena itu Rossi kemudian membuat rumusan tentang Man Made Object. Antara lain dikatakan bahwa pembangunan kota mempunyai dimensi 'temporal' yaitu dimensi masa lalu, kini dan yang akan datang dan pembangunan kota mempunyai 'Spatial Continuity' kesinambungan spatial (Utami, 2004).
Rossi (1982) menjelaskan bahwa ditengah-tengah perubahan suatu kota kita masih dapat menyaksikan kehadiran nilai-nilai lama di masa kini. Nilai-nilai lama ini dapat kita saksikan dengan melihat elemen-elemen kota yang ada yang mampu menghadirkan masa lalu kola tersebut, misalnya dari segi fasade, Radjiman (2000) mengatakan bangunan tua mengekspresikan kesinambungan dan simbolis dari keadaan permanensi "place without old building is like a person without a memory", Setiap kota mempunyai sejarah yang menghubungkannya kepada asal-usul. Tanda-tanda yang terlihat Juri sejarah tersebut dapat menentukan segi-segi utama rupa kota, sedangkan untuk daerah baru mengikuti simbol-simbol yang terlihat juri kepribadian kota lama yang memberikan kontinuitas dan karakter pada daerah baru (Utami, 2004).
Dikemukakan oleh Eko Budihardjo (Konservasi Pusaka Budaya, 11 Mei 2010),yaitu sangat banyak bangunan-bangunan kuno bersejarah di segenap pelosok tanah air dibongkar untuk memberi tempat bagi pembangunan yang
(10)
modern, latemodern, new modern, post modern yang sering tidak kontekstual dan tidak berkarakter. Dalam era kekinian, terlihat kecenderungan bahwa para pemegangkebijakan sepertinya tidak memperhatikan keberadaan pusaka budaya di daerah masing-masing.Perhatian para pemegang kebijakan terlalu tercurah pada pembangunan ekonomi dan sarana prasarana fisik yang berkaitan dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Undang-undang Benda Cagar Budaya yang disahkan tahun 1992, belum banyak dipahami atau dijadikan acuan dalam proses penataan ruang dan pembangunan daerah. Informasi yang perlu disebarkan ke berbagai pihak, bahwa konservasi pusaka budaya tidak hanya penting sebagai salah satu upaya menjaga lambang peradaban, cerminan jati diri (identitas) bangsa, menciptakan rasa kebanggaan (civic pride) namun juga berpotensi untuk menumbuhkan geliat perekonomian yang bertumpu pada budaya.
Utami (2004) mengatakan Rossi (1982), menjelaskan bahwa sekilas awal akan terlihat bahwa permanensi memuat semua kontinuitas Juri urban artefak namun kenyataannya ini tidak dominan, karena kenyataanya tidak ada sesuatupun yang bertahan dalam suatu kota, Oleh karena itu dalam teori permanensi ini bisa dikatakan dipergunakan untuk menerangkan urban artifak yang mempunyai kekuatan dalam menerangkan suatu kola dengan melihat kola saat ini. Teori ini menggunakan metode historis sebagai pembatasnya.Metode ini digunakan tidak hanya untuk membedakan permanensinya saja, tapi untuk lebih memfokuskan pengujian apakah kola itu selalu dapat diindikasikan dengan melihat perbedaan waktu lalu dengan sekarang.
(11)
Utami mengatakan Papageogeon (1969)] mengatakan dalam suatu kota vang mempunyai sejarah, pasti memiliki historic urban centre yang merupakan kawasan atau bagian kota yang memiliki nilai sejarah yang sampai saat ini masih tetap ada dengan bentuk yang asli dan merupakan pembentuk struktur kota. Suatu elemen yang walaupun dari sisi fungsi telah berubah namun bentuk aslinya tetap ada karena ini akan mengkaitkan sejarah yang terdahulu yang membentuk kota. Setiap pemerintahan pada setiap periode membawa bentukan wajah kota sendiri-sendiri yang memacu perjalanan pertumbuhan kota dan elemen kola itu ikut menentukan nilai kota tadi. Dengan demikian melihat dan menghuni kota tidak saja hanya dari wujud elemen kota pada hari ini saja, tapi juga wujud nilai sejarah yang ikut hadir pada masa kini. Melihat sejarahyang ada, berbagai macam bentuk-bentuk bangunan dan alam dapat memberikan nilai sejarah yang muncul. Kita dapat melihat atau menemukan sejarah kota dengan melihat unit-unit independendan komponen-komponen penting perkotaan. Lebih lanjut dikatakan perubahan tersebut tidak berhenti tapi selalu berdampak lanjut, sedangkan dalam jurnal penelitian Utami mengatakan menurut Sudaryono (1996) perubahan elemen kota yang ideal dijumpai pada kontinuitas/kemenerusan dari seluruh nilai-nilai lama dari artefak perkotaan (walaupun ini sangat sulit dijumpai). Atau dengan kata lain perubahan yang bersifat minor tetapi tidak secara keseluruhan. Dalam hasil penelitian Utami, tahun 2001 dikatakan bahwa elemen dominan datum kota bisa dilihat dari kontinuitas dan persistensinya datum perkembangan kota. Elemen dominan ini dijadikan araban datum perkembangan kawasan yang sering menuntut perubahan dan kemajemukan.
(12)
Utami mengatakan collective memory sendiri menurut Rossi (1982) adalah segala sesuatu khususnya menyangkut elemen fisik kota yang mampu memberikan kesan tertentu atau mengingatkan pada pengamat akan suatu peristiwa tertentu baik secara visual maupun non visual. Menurutnya the city is the theater of human events. Diperjelas dalam buku yang diterbitkan oleh Badan Warisan Sumatera (BWS) bangunan-bangunan yang mempunyai nilai histories
adalah gudang penyimpanan memori social yang menjadi sumber yang paling baik untuk menginteprestasikan pengalaman masa lalu dan bangunan itu mempunyai kekuatan untuk membangkitkan memori social visual.
Collective memory akan suatu ruang publik tidak terlepas dari memori-memori pribadi dari warga ruang publik tersebut. Berdasarkan itu, memori-memori memori yang mengisi ruang publik ini juga memiliki kepentingan untuk di dokumentasi, sebagai upaya pembentukan collective memory bagi warga kota (Widjaja, 2010).
2.2.2 Pengertian Pelestarian Kawasan
Penelitian Adityapash (2007) mengatakan Pontoh (1992) menjelaskan bahwa dugaan kemungkinan terjadinya bencana kerusakan bangunan pusaka yang bertambah besar pada abad ke-19 menyebabkan dilakukannya upaya yang sungguh-sungguh untuk melestarikan bangunan tua dan pusaka di Eropa dan Amerika. Konsep konservasi bangunan pusaka dicetuskan sejak William Morris mendirikan Lembaga Pelestarian Bangunan Kuno (Society For The Protection of -Ancient Buildings) pada tahun 1877 (Dobby: 1978). Ancient Monument Act yang
(13)
dibuat pada tahun 1882 merupakan peraturan dan undang-undang yang pertama kali melandasi kebijakan dan pengawasan dalam bidang konservasi untuk melindungi lingkungan dan bangunan pusaka (Dobby: 1978). Sebelumnya, pelestarian merupakan suatu kebiasaan (preservation as an ethic) yang dilakukan secara rutin dan meliputi pekerjaan merawat dan memperbaiki bangunan. kongres
The European Architectural Heritage yang diselenggarakan oleh negara-negara Eropa pada tahun 1975 yang dijadikan sebagai Architectural Heritage Year telah
menghasilkan “Deklarasi Amsterdam” dan membuat kesepakatan bahwa warisan-warisan arsitektur di Eropa adalah milik bersama masyarakat Eropa yang menjadi bagian integral dari warisan budaya dunia. Untuk itu diperlukan adanya suatu kerjasama antar negara guna menyelamatkan warisan arsitektur tersebut (Lubis: 1990). Pada awalnya, konsep pelestarian ini berupa konservasi, yaitu pengawetan benda-benda, monumen dan sejarah (lazim dikenal dengan preservasi). Perkembangan lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Konservasi sebenarnya merupakan upaya preservasi, namun tetap memperhatikan dan memanfaatkan suatu tempat untuk menampung serta mewadahi kegiatan baru. Dengan demikian, kelangsungan tempat bersangkutan dapat dibiayai sendiri dari pendapatan kegiatan baru.
Pelestarian secara umum dapat didefinisikan bahwa pelestarian dalam hal ini konservasi merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk merawat, melindungi, dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai atau makna kultural agar dapat dipelihara secara bijaksana sesuai dengan identitasnya guna untuk
(14)
dilestarikan (Susilowati, 2005 ). Menurut Eko budihardjo (1994), upaya preservasi mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan asli semula. Karena sifat preservasi yang stastis, upaya pelestarian memerlukan pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya (conservation areasdan bahkan kota bersejarah (histories towns). Dengan pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan, menilai dari inventarisasi bangunan bersejarah kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru.
2.2.3 Pengertian Pelestarian Saujana
Saujana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sejauh mata memandang, dimaknai sebagai lansekap budaya.Saujana merupakan keragaman manifestasi interaksi antara hasil budi daya manusia dan lingkungan alamnya (UNESCO, 1994). Menurut Platcer dan Rossler (1995) dalam Adishakti (2008), saujana adalah:
a. Mencerminkan interaksi antar manusia dan lingkungan alam mereka tanpa batas ruang dan waktu. Alam dalam konteks ini adalah mitra masyarakat, keduannya dalam kondisi yang dinamik membentuk saujana (landscape). b. Di beberapa negara, saujana digunakan sebagai model interaksi antara
manusia, sistem sosial mereka dan bagaimana mereka menata ruang.
c. Saujana adalah fenomena kompleks dengan identitas tangible dan intangible. Komponen intangible tumbuh dari ide dan interaksi yang memiliki impak
(15)
pada persepsi dan membentuk saujana, seperti misalnya kepercayaan sacral dekat dengan hubungannya dengan saujana dan kedaan ini sudah berlangsung lama. Sementara itu, Komite Pelestarian Pengembangan dan Pemanfaatan Saujana, Monuments and Sites Division, Cultural Properties,Agency for Cultutal Affairs, Jepang (2003) dalam Adishakti (2008) menyatakan bahwa saujana adalah bentang alam bernilai tinggi yang keberadaannya dipengaruhi alam, sejarah dan budaya pertanian, kehutanan, komunitas perikanan, memiliki hubungan erat dengan industri dan kehidupan tradisional, dan menggambarkan penggunaan lahan atau tampilan alam yang unik pada suatu area.
2.2.4 Elemen- Elemen Fasad Bangunan
Ruslinda, Menurut [Lippsmeier, Georg. (1980) Tropenbau Building in the Tropics (terjemahan BangunanTropis oleh Syahmir Nasution). Erlangga Jakarta.], Elemen-elemen yang mempengaruhi fasad bangunan adalah atap, dinding dan lantai. Bagi [Leon Krier, "Urban Components", Architectural Design, vol. 54, no 7/8, 1984, p.43], elemen-elemen yang juga berfungsi sebagai komponen didalam pemaparan fasad bangunan adalah seperti
(16)
Gambar 2.3 Elemen-elemen Fasad Bangunan (Sumber: google.com)
Ruko adalah arsitektur vernacular yang berkembang di sekitar daerah asia. Bangunan-bangunan di negara ini dapat dikategorikan berdasarkan pengaruh arsitektur. Pembentukan keragaman arsitektur yang dibawa dan ada di setiap pelosok kota atau kota sebagai pusat perdagangan memainkan peran yang penting dalam pembentukan identitas pada suatu daerah. Kebanyakan pengaruh Arsitektur
(17)
Fasad terbentuk dari tabrakan budaya lokal dan pengaruh kolonial yang disesuaikan dengan iklim lingkungan dan kegiatan yang ada antara abad ke -16 sampai pertengahan abad ke-20 yaitu Portugis (1509-1641), Belanda (1641-1824) dan Inggris (1786 -1957). Bangunan-bangunan di Negara ini dapat di kategori berdasarkan pengaruh arsitektur.
Keragaman gaya arsitektur dihasilkan dari kota atau kota sebagai pusat perdagangan yang dilengkapi oleh pendatang, penjajah dan pedagang, memainkan peran dalam penbentukan gaya arsitektur Rumah Toko dan dikombinasikan dengan pengaruh budaya lokal. Hari ini dapat dilihat dari fasad Rumah Toko yang memiliki keterampilan bangunan terdahulu seperti bukaan pintu dan jendela kayu berukir, bentuk pemasangan ubin yang unik, jeruji besi yang penuh dengan hiasan dan dekoratif plester yang elegan.Pengaruh arsitektur fasad rumah toko dapat ditunjukkan seperti Gambar 2.4 yang terdiri dari Era Transisi, Neo-Classic, Dutch-Patricia,ArtDecodanModer.Gambar 2.4: Pengaruh Arsitektur Fasad Ruko jurnal Ruslinda (Sumber: The Encylopedia of Malaysian Architecture, 1997). Antara warisan budaya yang harus dipelihara adalah bangunan yang memiliki nilai sejarah, arsitektur dan budaya yang tinggi.Secara prinsipnya, bangunan dilestarikan melalui perbaikan dan modifikasi tanpa merusak struktur asli atau merubah keaslian bangunan. Piagam internasional terkait konservasi telah merumuskan beberapa prinsip dasar bagi kerja-kerja konservasi seperti berikut:
a. Gangguan (intervention) minimal - konservasi melibatkan kerja yang mengganggu.
(18)
b. Posisi (setting) dan kain bangunan ada; maka gangguan harus dibatasi pada tingkat yang minimum.
c. Kembali ke kondisi asal (reversible) - gangguan pada bahan bangunan harus dikembalikan ke kondisi yang asli.
d. Jelas (legible) - setiap penggantian baru ke atas bagian yang hilang pada bangunan lama harus dibedakan dari yang asli untuk menghindari pemalsuan bahan bukti sejarah.
e. Berkelanjutan (sustainable) -manajemen warisan dijalankan dengan baik agar warisan dapat dipertahankan untuk generasi yang akan datang
2.2.5 Ruang dan Bentuk dalam Arsitektur
Ruang dalam arsitektur dapat diartikan sebagai pelingkup suatu kegiatan, sedangkan bentuk adalah kenampakan atau raut dari suatu ruang. Sehingga raut atau kenampakan suatu ruang juga akan dipengaruhi oleh besaran ruang, skala dan kegiatan apa yang akan diwadahi oleh suatu ruangan. Edward T. White dalam buku Tata Atur mengatakan bahwa ; „ruang adalah suatu rongga yang dibatasi
oleh permukaan bangunan‟. Hal ini berarti permukaan bangunan bertindak sebagai pembatas dari ruangan atau suatu ruang, sekaligus sebagai „kulit‟ yang mencirikan bentuk dari suatu bangunan. Bentuk ruang, baik ruang luar dan atau ruang dalam yang spesifik juga menentukan identitas bangunan.
Dikatakan oleh G.H Broadbent dalam bukunya ; Design In Architecture, dengan mengutip pernyataan dari ahli palaeoantropologi Henri Breuil, yang
berbunyi „Para pelukis gua di jaman es, menggambar bentuk-bentuk rekaan dari alam mereka, seperti binatang dan tumbuhan, atau kegiatan mereka, dan dengan
(19)
adanya bentuk-bentuk itu, mereka ingin menunjukkan kemampuan meniru (analogi) mereka dan menjadikan mereka lebih maju dari yang lain‟. Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan, ruang dan bentuk telah lama digunakan manusia sebagai identitas dan penanda arsitektur, dari yang paling primitif hingga yang paling modern, baik secara umum, maupun dalam ruang lingkup tertentu.
2.2.5.1 Kualitas Kenampakan Fisik Dalam Arsitektur Berdasarkan Teori Analogi Bentuk
Menurut F.D.K.Ching, dalam buku Architecture : Form Space and Order ; kualitas ruang arsitektural terkait dengan proporsi, skala, bentuk, definisi, warna, tekstur, pola, suara, tingkat penutupan, cahaya, dan pandangan ( view ). Kualitas ruang sendiri ditentukan oleh properties of enclosure (sifat-sifat ketertutupan), yang berupa wujud, permukaan, sisi-sisi (edges), dimensi, konfigurasi, dan bukaan. Kualitas ruang merupakan suatu tanggapan atas efek penggabungan sifat-sifat dasar dan dikondisikan atas dasar budaya, pengalaman serta keinginan atau kecenderungan pribadi. Kualitas kenampakan fisik dalam arsitektur dapat digolongkan dalam beberapa kategori berdasarkan simektik (symectic) desain seperti yang dikemukakan oleh WJ. Gordon (1961):
a. Analogi Personal
Perancang mengidentifikasikan dirinya sendiri lewat aspek-aspek mikro dalam permasalahan desain.
(20)
Permasalahan dalam desain dikomparasikan / dibandingkan dengan fakta-fakta yang ada di ruang lingkup ilmu lain, seperti seni, ilmu pengetahuan atau teknologi.
c. Analogi Simbolik
Perancang mencoba untuk masuk ke esensi dari arti khusus dari sebuah rancangan yang digabungkan pada permasalahan desain. Dapat disimpulkan dari kategori – kategori di atas bahwa dalam teori analogi bentuk sangat bertumpu pada simbol dan penanda tertentu yang ada pada bangunan yang menjadi ciri khas. Simbol dan penanda yang dimaksud adalah kekhasan fisik, baik itu bentuk maupun elemen-elemen yang ada pada bangunan yang tidak ada pada bangunan lain.
Simbol dan penanda pada bangunan menurut Susane Langer (1970) dapat didefinisikan sebagai berikut ;
a. Simbol Adalah penanda buatan manusia yang digunakan untuk mengindikasikan suatu objek sekaligus untuk merepresentasikannya secara nyata.
b. Penanda (Sign) Bentuk-bentuk alamiah maupun buatan yang digunakan untuk menyatakan sesuatu ciri khas bentuk, atau dalam konteks perancangan dapat diartikan sebagai ciri-ciri fisik yang dapat diingat oleh siapa saja yang melihatnya. Kualitas kenampakan fisik juga di pengaruhi oleh faktor – faktor pembentuk wajah bangunan yaitu :
c. Tata Letak ( Lay Out) Letak wajah bangunan pada sebuah bangunan akan berpengaruh pada pengalaman visual orang yang melihatnya. Pembedaan
(21)
visual yang kentara akan mendorong orang yang melihat bangunan untuk berpikir dan mengutarakan pendapatnya berdasarkan apa yang dirasakan. d. Pembatas Partisi atau sekat pada bangunan dapat mempengaruhi kualitas
visual tampilan bangunan. Pembatas ruang tidak hanya berupa benda mati seperti pagar yang tinggi dan tertutup, tetapi taman dan atau kolam bisa di sebut sebagai pembatas tampilan bangunan.
e. Bentuk merupakan sebuah istilah inklusif yang memiliki beberapa pengertian. Bentuk dapat dihubungkan pada penampilan luar yang dapat dikenali seperti sebuah kursi atau tubuh seseorang yang mendudukinya. Ini juga menjelaskan kondisi tertentu saat sesuatu dapat mewujudkan keberadaannya. Dalam seni dan perancangan, seringkali dipergunakan istilah tadi untuk menggambarkan struktur formal suatu komposisi untuk menghasilkan suatu gambaran tampilan bangunan.
Elemen dasar yang berpengaruh adalah sebagai berikut :
GH. Broadbent, Design In Architecture (1975) hal.223 Francis DK. Ching, Architecture;Form Space and Order (1996) hal. 34-35
a. Wujud
Sisi luar karakteristik atau konfigurasi permukaan suatu bentuk tertentu. Wujud juga merupakan aspek utama di mana bentuk – bentuk dapat diidentifikasi dan dikategorikan.
(22)
Gambar 2.4 Bentuk Arsitektur (Sumber: google.com)
b. Dimensi
Dimensi fisik suatu bentuk berupa panjang, lebar dan tebal. Dimensi - dimensi ini menentukan proporsi dari bentuk, sedangkan skalanya ditentukan oleh ukuran relatifnya terhadap bentuk – bentuk lain dalam konteksnya.
Gambar 2.5 Bentuk Arsitektur (Sumber: google.com)
c. Warna
Warna adalah atribut yang paling menyolok membedakan suatu bentuk dari lingkungannya. Warna juga mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.
Gambar 2.6 Bentuk Arsitektur (Sumber: google.com)
(23)
d. Tekstur
Adalah kualitas yang dapat diraba dan dapat dilihat yang diberikan ke permukaan oleh ukuran, bentuk, pengaturan dan proporsi bagian benda. Tekstur juga menentukan sampai di mana permukaan suatu bentuk memantulkan atau menyerap cahaya.
e. Bentuk tampilan
Bentuk wajah bangunan memiliki sifat – sifat tertentu yang menentukan pola dan komposisi unsur – unsurnya adalah sebagai berikut :
- Posisi Letak dari sebuah bentuk adalah relatif terhadap lingkungannya atau lingkungan visual di mana bentuk tersebut terlihat.
Gambar 2.7 Bentuk Arsitektur (Sumber: google.com)
- Orientasi :Arah dari sebuah bentuk relatif terhadap bidang dasar, arah mata angin, bentuk – bentuk benda lain, atau terhadap seseorang yang melihatnya.
(24)
- Inersia Visual Merupakan tingkat konsentrasi dan stabilitas suatu bentuk.
Inersia visual suatu bentuk tergantung pada geometri dan orientasi relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar, gaya tarik bumi, dan garis pandangan manusia.
Gambar 2.9 Bentuk Arsitektur (Sumber: google.com)
2.2.5.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Definisi Wajah Bangunan Sebagai Ciri Khas
Faktor- faktor yang mempengaruhi definisi wajah bangunan sebagai ciri khas sebuah bangunan dapat di klasifikasikan dalam beberapa aspek, (Claude Shannon,1961) yaitu ;
a. Seberapa banyak informasi yang akan disampaikan dalam rancangan.
b. Kemampuan perancang untuk mengatur jumlah informasi tentang bangunan yang akan dimunculkan dalam rancangannya.
c. Kemampuan perancang menuangkan hasil pemikiran dan gagasan desain berdasarkan teori yang diangkat dan atau hipotesisnya ke dalam bentuk fisik yang nyata. Kekhasan wajah bangunan juga dipengaruhi oleh pelingkup di sekeliling bangunan, dengan catatan bahwa di sekeliling bangunan belum ada hasil perancangan yang mirip atau menyerupai bangunan tersebut. Seperti telah
(25)
disinggung dalam subbab sebelumnya, pembentuk wajah bangunan memegang peranan penting untuk membentuk suatu ciri khas bangunan. Sehingga, pemilihan bahan dan bentuk dasar wajah bangunan dan atau bangunan secara keseluruhan jika dirancang berdasarkan teori analogi bentuk sangat ditentukan oleh kemampuan perancang memilih bahan yang tepat, digabungkan dengan kemampuan menerjemahkan analogi bentuk yang baik dan mudah diingat oleh pengguna maupun calon pengguna.
2.2.5.3 Klasifikasi Informasi Berdasarkan bentuk fisik
Klasifikasi informasi yang akan dimunculkan melalui bentuk fisik dapat dikatakan sebagai derajat informasi yang akan disampaikan perancang melalui hasil desainnya kepada pengguna maupun calon pengguna. Kemampuan merancang dan berkomunikasi secara desain dan berbahasa universal memgambil bagian penting dalam hal ini.
Hal – hal yang dapat menjadi tolok ukur dalam mengklasifikasikan informasi yang akan dimunculkan melalui bentuk fisik wajah bangunan antara lain :
a. Bentuk wajah bangunanyang menginformasikan fungsi bangunan secara umum b.Kekayaan desain wajah bangunan berupa material, tekstur, warna maupun
komposisi wajah bangunanyang menunjukkan analogi terhadap bentuk tertentu c.Proporsi wajah bangunan terhadap bentuk yang akan dianalogikan baik gubahan
(26)
d.Tata letak pada wajah bangunan itu sendiri, yang mengatur komposisi pembentuk sedemikian rupa, sehingga bentuk yang di analogikan pada wajah bangunan dapat di representasikan secara baik dan benar.
2.3. Arsitektur Kolonial di Indonesia
Arsitektur kolonoial adalah arsitektur cangkokan dari negeri Eropa ke daerah kolonial, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan Di Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad17 sampai tahun 1942 (Sidharto,1987). Dalam “arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia” Yulianto Sumallo (1995) menyebutkan arsitektur kolonial berlanda di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik. Tidak terdapat dilain tempat, juga pada nrngara-negara bekas koloni, karena arsitektur kolonial Belanda di Indonesia terdapat pencampuran budaya penjajahan dengan budaya
Indonesia”
2.3.1 Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia
Belanda termasuk nengara kecil di Eropa tetapi sejak abad 17 perananya terhadap perkembangan ilmu pengertahuan, seni dan filosofi sangat menonjol, pada abad 19 dalam bidang arsitektur. Baru pada abad 20 Belanda bersama-sama dengan Rusia, Perancis dan Jerman menjadi pusat perhatian pada seni dan arsitektur di Eropa.(Handinoto, 1997).
Kemudian Eko Budiharjo (1997) menjelaskan arsitektur kolonial Belanda adalah bangunan peningalan pemerintah kolonial Belanda seperti benteng Vastenburg, Bank Indonesia di Surakarta dan masih banyak lagi. Ada pendapat lain tentang arsitektur kolonial adalah arsitektur yang sampai abda 19 sebagian
(27)
besar elemen didatangkan dari negara penjajahan. Arsitektur kolonial adalah arsitektur milik penjajahan dengan citra arsitektrunya keangkeran dan kemenangan penjajahan diantaranya tahun 1870 sampai 1900 pengaruh arsitektur di negri Belanda boleh dikatakan tidak bergema sama sekali di Hindia Belanda. Hal tersebut dikarenakan terisolasinya Hindia Belanda pada saat itu, seperti di tulis Helen Jessup (1988 ;44) dalam Handinoto sebagai berikut :
“Akibat kehidupan di Jawa yang berbeda dengan cara hidup masyarakat belanda di negri Belanda maka di India –Belanda kemudian terbentuk gaya arsitekturter sendiri. Gaya tersebut dipelopori oleh Gebenur Jendral HW Daendels yang datang ke Hindia-belanda (1808-1611)”
Daendels adalah seorang bekas jendral angkatan darat nopolen sehingga tidak mengherankan apa bila gaya arsitektur bangunan yag didirikan oleh Daendels berbau Prancis. Perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia memiliki ciri khusus yang tidak sama dengan arsitektur induknya di Belanda. Ide-ide arsitektur modern di Eropa ditransfer ke Indonesia dengan disesuaikan pada iklim dan lingkungan Indonesia. Penyesuaian tersebut berupa penggunaan gevel (gable) pada tampak depan bangunan, terdapat tower dan dormer, bangunan dibuat ramping (memudahkan cross ventilation) untuk aliran udara, banyaknya bukaan, terdapat galeri sepanjang bangunan untuk antisipasi hujan dan matahari yang sering disebut double gevel, bangunan menghadap ke utara-selatan untuk menghindari sinar matahari langsung. Selama periode ini, berkembang pula gaya lain seperti Art Nouveau, Art Deco, Art and Craft, dan De Stijl. Art Nouveau
(28)
berasal dari nama sebuah galeri desain interior di Paris yang dibuka tahun 1896. Ciri-cirinya antara lain: (a) anti historis dan menampilkan gaya-gaya yang belum ada sebelumnya, (b) menggunakan bahan-bahan modern yaitu besi dan kaca warna-warni yang kemudian dikenal dengan nama stained glass, (c) elemen dekoratif menggunakan unsur alam dan bentuk organik yang diterapkan pada lantai, dinding, plafon, bahkan kolom dan railing tangga, (d) kolom berbentuk geometris dan didominasi bentuk garis kurva pada kolom dan ornamen lainnya, (e) lantai menggunakan material kayu yang kemudian ditutup oleh karpet dengan motif floral, (f) menggunakan perabot built-in sistem tanam pada dinding, juga mebel produk massal, dan (g) warna-warna yang digunakan adalah warna-warna pastel (Pile, 2003: 226-228). Awal mula gaya Art Deco berkembang pada tahun 1910 sampai tahun 1930.
Gambar 2.10 Gaya Arsitektur Nieuwe Bouwen (Sumber: Hadinoto, 1996: 238)
Gaya Art Deco merupakan adaptasi dari bentuk historism ke bentuk modern. Ciri-cirinya antara lain: (a) prohistoris, yaitu menggunakan benda-benda yang ada hubungannya dengan sejarah, (b) menggunakan bahan-bahan logam,
(29)
kaca, cermin, kayu, dan lain-lain, (c) memperlihatkan aspek seni berbentuk Cubism yang mengutamakan geometris dan streamline (terlihat langsing dan kurus), (d) lantai didominasi dengan bahan teraso, keramik sintetis, parquet dan karpet bermotif patra geometris dan diberi border, (e) bersudut tegas, (f) zig-zag atau berundak yang merupakan simbol dari dunia modern, dan (g) plafon ekspos balok kayu vertikal dan horizontal dengan detail pada pusat plafon.
Gaya Art and Craft berawal dari pemikiran arsitek William Morris (1834-1896) yang melakukan reformasi desain untuk kembali ke pekerjaan tangan dan menggunakan material secara jujur dan terkendali. Adapun ciri-cirinya yaitu: (a) detail-detail interior yang diekspos mencerminkan penggunaan material secara jujur dan (b) menunjukkan artistik detail dekoratif (Pile, 2003:99).
De Stjil merupakan gaya yang muncul dari gabungan seniman, arsitek dan desainer pada tahun 1917 sesudah gaya Art and Craft. Latar belakang munculnya gaya De Stijl mewakili semangat jaman dan reformasi seni untuk menciptakan hal baru yakni gaya internasional dalam semangat perdamaian dan keserasian (Pile, 2000:270). Pengikut gaya ini diantaranya Piet Mondrian, Theo Van Doesburg, dan Gerrit Rietveld yang merupakan desainer De Stijl yang paling terkenal dengan pahatan konstruksivisme dan perabot abstrak geometrisnya (Pile, 2003: 111). Secara keseluruhan, ciri-ciri gayaDe Stijl yaitu dipengaruhi oleh bentuk kubisme, bentuk tiga dimensi abstrak geometris dengan adanya susunan diagonal, railing tangga dan balkon berbentuk pipa, menggunakan material modern, yaitu beton, baja, aluminium dan kaca, dan warna-warna primer, hitam dan putih (Pile,
(30)
Gambar 2.11 Gaya Arsitektur De Stijl
(Sumber: The Amsterdam School, Wim De Witt Dalam Hadinoto, 1996: 161)
Tahun 1920 merupakan tahun pemantapan bagi kekuasaan Belanda di Indonesia. Perkembangannya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu; Pertama, bentuk arsitektur yang berciri khas Indisch atau disebut gaya Indo-Eropa. Bentuk gaya ini merupakan penggabungan gaya lokal dengan arsitektur kolonial Belanda. Bentuknya mengambil dasar arsitektur tradisional setempat sebagai sumbernya. Ciri-cirinya antara lain terdapat hiasan ukiran Jawa untuk elemen dekoratifnya, terdapat penyesuaian iklim setempat, contohnya berskala tinggi, ventilasi silang, terdapat galeri keliling, dan menggunakan pilar-pilar yang besar (Handinoto. 1996: 236). Kedua, aliran arsitektur modern.Gaya ini sepenuhnya berpusat ke Eropa dengan penyesuaian terhadap teknologi dan iklim setempat.Gaya ini disebut juga Nieuwe Bouwen yang merupakan penganut dari International Style. Adapun ciri-cirinya antara lain: penggunaan warna putih yang dominan, atap datar dan menggunakan gavel horizontal, volume bangunan berbentuk kubus, elemen dekoratif bangunan berbentuk prismatic geometric, bukan lagi hiasan ukir-ukiran
(31)
yang rumit, skala bangunan lebih manusiawi, tidak terlalu tinggi, konsep ruang tidak kaku, dan sirkulasi lebih dinamis (Handinoto, 1996:237).
Gambar 2.12 Arsitektur Kolonial Belanda Tahun 1920 (Sumber: google.com)
2.3.2 Fasad Kawasan Pusaka di Indonesia
Menurut Utami (2014), dengan jurnal penelitian nya yang berjudul kajian bentuk dan fasad hotel gino feruci bandung, 2014, fasad masih tetap menjadi elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan. Kesempurnaan pada sebuah tubuh bangunan adalah prioritas utama yang melampaui penciptaan bagian khusus untuk dipamerkan menghadap ke sebuah jalan.Lebih lanjut diterangkan oleh Utami 2014 bahwa fasad juga menyampaikan keadaan budaya saat bangunan itu dibangun. Fasad
(32)
mengungkapkan kriteria tatanan dan penataan serta berjasa memberikan kemungkinan dan kreativitas dalam ornamentasi dan dekorasi. Suatu fasad juga menceritakan kepada kita mengenai penghuni suatu gedung, memberikan semacam identitas kolektif sebagai suatu komunitas kepada mereka.
Fasad tersusun dari elemen tunggal: suatu kesatuan tersendiri dengan kemampuan untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Namun demikian, komposisi suatu fasade terdiri dari penstrukturan di satu sisi dan penataan pada sisi lainnya (Krier, 2001: 123). Fasad merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan, fasad tersusun dari elemen tunggal, suatu kesatuan tersendiri dengan kemampuan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri merupakan benda-benda yang berbeda sehingga memiliki bentuk, warna dan bahan yang berbeda (Krier, 1988: 122)
Bagian bangunan dan arsitektur yang paling mudah untuk dilihat adalah fasade bangunan atau dapat disebut tampak, kulit luar, kulit bangunan ataupun tampang bangunan yang tersusun dari elemen-elemen estetis yang biasanya mencirikan identitas bangunan itu sendiri. Menurut Josef Prijotomo (dalam Pawitro, et al :2014)Ketika membicarakan masalah “wajah” sebuah bangunan, yaitu fasad, yang dimaksud adalah bagian depan yang menghadap jalan. Menurut
Krier (2001) „fasad‟ (facade) diambil dari kata Latin „facies‟ yang merupakan
sinonim kata-kata „face‟ (wajah) dan appearance‟(penampilan).
Fasad adalah bagian depan yang menghadap jalan sedangkan bagian belakang dianggap sebagai ruang eksterior semipublik atau ruang eksterior pribadi. Istilah wajah bangunan dan fasad bangunan mempunyai arti yang sama.
(33)
Elemen-elemen yang diperhatikan dalam meneliti fasade bangunan pada antar unit bangunan menurut Ardiani (2009) sebagai berikut:
1. Proporsi fasad
a. Proporsi bukaan, lokasi pintu masuk, ukuran pintu, jendela yang mengatur artikulasi rasio solid void pada dinding
b. Bahan bangunan permukaan material dan tekstur untuk menghasilkan motif batangan
c. Warna
2. Komposisi massa bangunan
a. Tinggi bangunan untuk menciptakan skala yang tepat dengan bangunan sekitar dan skala manusia.
b. Garis sempadan bangunan depan dan samping yang mengatur jarak kemunduran bangunan dari jalan dan bangunan eksisting.
c. Komposisi bentuk massa. 3. Lain-lain
a. Langgam arsitektur b. Penataan landscape
Petunjuk visual Gibson (1979) dalam Sanoff (1991) menjelaskan simulasi visual sebenarnya adalah petunjuk yang menampilkan objek yang seimbang dilihat dengan satu pandangan, juga disebut perspektif monokuler. Petunjuk tersebut berkaitan dengan:
(34)
1. Tekstur
Ketika sebuah permukaan berangsur-angsur menjadi lebih rapat, hal ini terlihat menyusut dari pengamat.
2. Ukuran
Objek-objek yang berkurang dalam ukurannya, mereka tampak menyusut dari pengamat.
3. Linearitas
Ketika objek-objek yang sama dalam jarak yang sama memusat dalam satu titik, mereka menyusut dari pengamat. Linear adalah suatu urutan dalam satu garis yang berulang. Petunjuk ini berhubungan dengan massa bangunan dan kedudukan bangunan.
4. Aerial
Objek- objek kehilangan detail ketika jarak dari pengamat bertambah. 5. Lahan yang meninggi
Garis horisontal muncul ketika pengamat menambah jaraknya. 6. Pergeseran tekstur
Perubahan kerapatan tekstur memberi tampilan yang menyumbat. 7. Kontinuitas
Ketika objek-objek tumpang tindih, bentuk yang lebih sederhana yang ditangkap oleh pengamat. Kontinuitas adalah sesuatu yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Petunjuk ini berhubungan dengan kedudukan bangunan.
(35)
8. Transisi
Kontras yang tajam antara cahaya dan bayangan. Transisi adalah perubahan atau peralihan. Petunjuk ini berhubungan dengan massa bangunan
Eppi dkk (1986 : 52,53) mengatakan Fasade atau bagian tampak bangunan adalah unsur yang tidak dapat dihilangkan dari suatu produk desain arsitektur dan bahkan merupakan bagian terpenting dari suatu karya arsitektur, karena elemen tampak inilah yang diapresiasi atau dilihat pertama kali. Melalui fasade kita bisa mendapat gambaran tentang fungsi-fungsi bangunan, selain itu fasad juga berfungsi sebagai alat perekam sejarah peradaban manusia.
Mengamati dan mempelajari desain fasad dan kondisi sosial budaya, kehidupan spiritual, bahkan keadaan ekonomi dan politik pada masa tertentu. Sebagai karya visual bentuk memiliki peran yang menentukan dalam perancangan arsitektur dimana bentuk berkaitan erat dengan aspek yang mendasari keputusan dalam proses perancangan yaitu citra. Bentuk-bentuk arsitektur memiliki unsur garis, lapisan, volume, tekstur, dan warna. Kombinasi atau perpaduan dari kesemua unsur akan menghasilkan ekspresi bangunan. Ini menghasilkan sesuatu pengungkaan maksud dan tujuan bangunan secara menyeluruh (Eppi dkk, 1986 : 52,53).
Bahasa Perancis façade adalah suatu sisi luar (eksterior) sebuah bangunan, umumnya terutama yang dimaksud adalah bagian depan, tetapi kadang-kadang juga bagian samping dan belakang bangunan. Kata ini berasal dari Bahasa
(36)
Perancis, yang secara harfiah berarti "depan"atau "muka". Dalam arsitektur, fasad bangunan sering kali adalah suatu hal yang paling penting dari sudut pandang desain, karena ia memberikan suasana bagi bagian-bagian bangunan lainnya.
Rohamini (2007), mengatakan dalam Ruslinda Kronologi Fasad Ruko Di Kota-Kota Lama Negeri Perak. Seminar Nasional Rupa Kota Malaysia (2007: Bota, Perak): 10ms.], Umumnya fasad adalah wajah depan. Dalam arsitektur berarti tampak depan bangunan yang paling menonjol. Sementara (Leon Krier, "Urban Components", Architectural Design, vol. 54, no 7/8, 1984, p.43) mendefinisikan fasad sebagai elemen utama yang menjelaskan maksud dan fungsi sesuatu bangunan. Ernest Burden (1997) Building fasad: Faces, Figures, and Ornamental Detail,McGraw-Hill Professional Publishing. United States] menyatakan bahwa fasad berasal dari bahasa Prancis yaitu Facade atau "bagian depan" atau "wajah".Selain itu, fasad ibarat wajah bangunan agar tampil menarik dan desain setiap elemennya mendapat perhatian kepada orang yang melihatnya. Dengan kata lain penampilan atau terutama bagian depan tetapi juga kadang-kadang sisi dan belakang bangunan. Fasad merupakan jaringan elemen- elemen arsitektur, mulai dari atap, dinding, bukaan, lantai, struktur, material, hingga pencahayaan. Bahkan tumbuhan atau tanaman menjadi salah satu elemen pelengkap yang turut memengaruhi fasad. Fasad menjadi pembeda antara satu rumah dengan rumah yang lain dan fasad dapat menonjolkan identitas tidak hanya dari segi bangunan bahkan juga identitas pemiliknya.
Rohamini (2007), mengatakan dalam Ruslinda, Kronologi Fasad Ruko Di Kota-Kota Lama Negeri Perak. Seminar Nasional Rupa Kota Malaysia (2007:
(37)
Bota, Perak): 10ms.], Menggambarkan kebanyakan pengaruh Arsitektur Fasad terbentuk dari tabrakan budaya lokal dan pengaruh kolonial yang disesuaikan dengan iklim lingkungan dan kegiatan yang ada antara abad ke -16 sampai pertengahan abad ke-20 yaitu Portugis (1509-1641), Belanda (1641-1824) dan Inggris (1786-1957). Keragaman gaya arsitektur dihasilkan dari kota atau kota sebagai pusat perdagangan yang dilengkapi oleh pendatang, penjajah dan pedagang, memainkan peran dalam penbentukan gaya arsitektur Ruko dan dikombinasikan dengan pengaruh budaya lokal. Hari ini dapat dilihat dari fasad Ruko yang memiliki keterampilan bangunan terdahulu seperti bukaan pintu dan jendela kayu berukir, bentuk pemasangan ubin yang unik, jeruji besi yang penuh dengan hiasan dan dekoratif plester yang elegan.
Merancang fasad, selain mempertimbangkan fungsi dan corak desain juga menekankan cara perbaikan dan pemulihan fasad tersebut. Pengembangan dan perubahan pada fasad bangunan juga tergantung pada pengaruh sosio-budaya. Selain dari faktor tradisi yang ada di negara kita, pengaruh arsitektur luar juga berdampak dari segi bentuk, warna, dimensi, susunan, dan beberapa lagi elemen utama didalam tren dan desain yang dihasilkan. Di dalam konteks konservasi bangunan pula, fasad bangunan untuk monumen, bangunan bersejarah, rumah toko lama dan sebagainya, memainkan peran yang penting dalam membuat suatu daerah itu menjadi pusat atraksi dari segi pariwisata, komersial, dan sosial.Tapi, faktor pembangunan yang lebih modern kadang kala menyisihkan kepentingan tersebut.
(38)
Ruslinda (2005), Menurut [Wan Hashimah, Shuhana Shamsuddin (2005),
The old shop houses as part Malaysia Urban Heritage The Current Dilema "8th International Conference of The Asian Planning Schools Association, 11-14th Sept 2005, kebanyakan ruko lama yang ada sering diancam oleh kemajuan pembangunan, dan antara pembangunan yang dibahas termasuk konversi gambar 70 dan bentuk bangunan yang menghancurkan banyak bangunan-bangunan bersejarah. Jika kondisi ini dibiarkan, ia akan mengakibatkan pembuangan dan kehilangan dari segi nilai sejarah, budaya dan warisan arsitektur.
2.3.3 Dokumentasi atau Publikasi
Dokumentasi atau publikasi merupakan upaya untuk mendokumentasikan benda cagar budaya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau media elektronik. Upaya dokumentasi atau publikasi dilakukan melalui:
a. Perekaman Data
Perekaman Data merupakan rangkaian kegiatan pembuatan dokumen tentang benda cagar budaya yang dapat memberikan informasi atau pembuktian tentang keberadaannya. Kegiatannya berupa pemotretan, pemetaan, penggambaran, dan survei.
b. Publikasi
Publikasi merupakan upaya menyebarluaskan informasi pelestarian benda cagar budaya agar dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Kegiatannya berupa pameran, penerbitan buletin dan buku, film dokumenter dan website.
(39)
Menurut Asmyta Surbakti, didalam jurnalnya yang berjudul “Pusaka Budaya Dan Pengembangan Pariwisata Di Kota Medan: Sebuah Kajian Budaya”, Penghancuran pusaka budaya berupa bangunan bersejarah di Kota Medan disikapi secara berbeda oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dalam pembangunan Kota Medan, terdapat kekuatan pemerintah dan pengusaha/pemilik bangunan bersejarah yang mengorbankan pusaka budaya demi pendirian gedung-gedung bisnis modern, seperti pusat-pusat perbelanjaan. Sebagai akibatnya, Kota Medan mengalami komodifikasi yang mengancam pusaka budaya dan pengembangan pariwisata. Puluhan bangunan bersejarah yang sudah dihancurkan termasuk tiga yang dilindungi oleh Perda Nomor 6 Tahun 1988.
2.3.4 Upaya Yang Sudah Dilakukan Pemerintah Dan Masyarakat Terhadap Bangunan Bersejarah
Susilowati (2005) Pelestarian secara umum dapat didefinisikan bahwa pelestarian dalam hal ini konservarsi merupakan suatu upaya atau kegiatan untuk merawat, melindungi, dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki nilai atau makna kultural agar dapat dipelihara secara bijaksana sesuai dengan identitasnya guna untuk dilestarikan.
Menurut Eko Budihardjo (1994), upaya preservasi mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan asli semula. Karena sifat prservasi yang stastis, upaya pelestarian memerlukan pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya (conservation areas)dan bahkan kota
(40)
bersejarah (histories towns). Dengan pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan, menilai dari inventarisasi bangunan bersejarah kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru.
Menurut Mundarjito (UI 2002, dalam Jurnal FT UMJ 2005: 3) tentang upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut:
1. Perlindungan
Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisikondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan yang dilakukan melalui:
a. Penyelamatan
Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, dan pemasangan papan larangan.
b. Pengamanan
Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), dan
(41)
Penyuluhan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
c. Perizinan
Perizinan dilakukan melalui pengawasan dan perizinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar budaya.Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan.
2. Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui :
a. Konservasi
Kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara kimiawi dan non kimiawi. Kegiatannya berupa pengangkatan Juru pelihara (Jupel), penataan lingkungan, pertamanan, pembersihan menggunakan pihak ketiga, pembersihan dengan bahan kimia, dan pengujian bahan kimia untuk konservasi.
(42)
Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya.Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, teknik pengerjaan, dan tata letak.
1) Keaslian Bentuk
Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.
2) Keaslian Bahan
a. Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula.
b. Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali.
c. Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya.
3) Keaslian Tata Letak
a. Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan.
b. Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lainlain harus dikembalikan ke tempat semula.
(43)
4) Keaslian Teknologi
Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan.keaslian teknologi ini antara:
a. Teknologi Pembuatan b. Teknologi Konstruksi
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan.
2.4 Studi Kasus Sejenis
Studi kasus sejenis yang pernah dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut: Judul, Tahun, Wilayah, Nama peneliti Tujuan Penelitian Metode Penelitian dan Pendekatan Teknik Analisis dan Bahan Penelitian Hasil Penelitian Kualitas Visual Fasade Bangunan Modern Pasca Kolonial di Jalan
Kayutangan Malang,
Malang .
2012. Nur
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penilaian masyarakat
umum dan
professional di bidang arsitektur tentang peranan
Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif metode analisis independent sample t-test, analisis faktor, dan analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penilaian
antar kedua
kelompok
responden tidak
jauh berbeda dan berada pada rentang
(44)
Fauziah .dll elemen visual terhadap
tampilan fasade bangunan
modern pasca
kolonial, serta untuk
mengidentifikasi
elemen visual
yang paling
berpengaruh terhadap
tampilan fasade bangunan
modern pasca
kolonial di
koridor Kayutangan.
“agak penting” dan “penting”. Elemen visual yang paling
berpengaruh pada
fasade bangunan
modern pasca
kolonial di Jalan
Kayutangan yaitu
Komponen
Geometri (gaya
arsitektural, bentuk
fasade, garis
horisontal, dan garis
vertikal) dan
Komponen Efek
Raba Visual &
Dimensi Warna
(tekstur, ornamen,
material, warna
muka bangunan,
kemurnian warna,
serta kecerahan
warna). PERUBAHA
N FASADE
DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARA H
(DI RUAS
JALAN UTAMA
Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk
mengetahui perubahan fungsi
dan fasade
bangunan
bersejarah di
kawasan
metode kualitatif
dan teknik
analisis berupa deskriptif kualitatif. Analisis yang digunakan dalam
peneltian ini adalah analisis penelusuran sejarah dan perkembanga
n kawasan,
Hasil dari penelitian ini adalah diketahui bahwa telah terjadi perubahan fungsi
dan fasade
bangunan
bersejarah seiring perkembangan zaman. Perubahan fungsi dan fasade
(45)
KAWASAN MALIOBOR O). Semarang.
2009 .
NDARU RISDANTI
Malioboro analisis
perubahan
fungsi dan
fasade bangunan bersejarah di sepanjang Jalan
Malioboro, serta klasifikasi perubahan
fungsi dan
fasade bangunan bersejarah. Metode pengumpulan
data yang
digunakan adalah dengan data primer yaitu berupa wawancara dan observasi lapangan
serta data
sekunder berupa kajian literatur dan survei instansi.
yang terjadi
dikelompokkan menjadi
beberpa perubahan berdasarkan
indikator yang
disusun dengan
merujuk pada
variabel fungsi dan fasade
bangunan.
Bangunan yang
mengalami tingkat
perubahan 25%
terdapat dua buah bangunan,
sedangkan yang mengalami
perubahan 50%
terdapat tiga
bangunan
bersejarah, dan
yang mengalami
perubahan 75%
terdapat
enam bangunan
bersejarah, sedangkan
perubahan total atau 100% terdapat pada
satu bangunan
bersejarah.
(46)
Metode penarikan sampel untuk masyarakat dengan menggunaka
n teknik
accidental sampling, sedangkan untuk narasumber dari pihak pemerintah
dan tokoh
masyarakat menggunaka
n teknik
purposive sampling.
tersebut, dapat
disimpulkan telah terjadi perubahan fungsi dan fasade pada kesebelas bangunan
bersejarah di jalan
utama Malioboro
yang seharusnya
dilestarikan. Untuk itu diperlukan suatu upaya pelestarian yang nyata terkait
pemeliharaan dan
pengelolaan bangunan
bersejarah tersebut agar tidak
menghilangkan
keaslian nilai
bangunannya.
Selain itu juga
ditentukan jenis kegiatan pelestarian yang tepat
untuk
masing-masing bangunan
bersejarah sesuai dengan
permasalahan
perubahan yang
terjadi pada tiap bangunan tersebut.
(47)
Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan. Medan. 2004 Asmyta Surbakti
Untuk melawan kehancuran, yang
kontra-hegemonik yang
dibangun oleh
masyarakat yang
didukung oleh
kelompok-kelompok kritis, seperti organisasi non-pemerintah
yang disebut
Badan Warisan
Sumatera (Sumatera Heritage Trust (BWS / SHT)
dengan tokoh
sentral Hasti
Tarekat serta
intelektual, dan media mass
metode kualitatif
dan teknik
analisis berupa deskriptif kualitatif.
kerusakan seperti
ini tidak hanya
menghilangkan sejarah dan identitas kota, tetapi juga mengabaikan pengembangan pariwisata
berdasarkan estetika
warisan, yang
berpotensi emansipatory praksis masyarakat.
Identitas Fungsi Ruko Kesawan. Medan.2004. DEVIN DEFRIZA HARISDANI,
M. DOLOK
LUBIS
"ruko" sebagai bangunan niaga
yang dalam
perkembanganny a sejalan dengan perkembangan nilai komersil kawasan; lebih menekankan
pada aspek
Ruko-ruko sepanjang jalan A. yani merupakan pencampuran antara ruko
lama dan
ruko baru
yang didirikan
Perencanaan yang
berwawasan
identitas sangat
diperlukan untuk
menggali dan
menemukan
kembali secara
intensif dan
ekstentif tentang kekhasan,
(48)
ekonomi dengan mengabaikan harmonisasi dengan lingkungan sekitarnya. tanpa mempertimb angkan harmonisasi lingkungan
dan skala
mansiawi dengan suasana pada beberapa
jalur di
kawasan
yang sudah
didominasi
oleh papan
reklame
kekhususan,
keunikan dan
karakter spesifik
yang menjiwai
kawasan Kesawan
yang didominasi
dengan bangunan
ruko ini, yang dapat dan sangat akan membedakannya dengan lingkungan
lain. Jiwa dari
kawasan Kesawan kesawan ini harus dicari dan kemudian diterapkan secara dinamis, kreatif dari
inovatif sesuai
dengan perkembangan jaman. Identifikasi Karakteristik Fasade Bangunan Untuk Pelestarian Kawasan
Pusaka Di
Ketandan Yokyakarta. Yokyakarta.
2011. Titi
Bertujuan untuk mengidentifikasi kerakteristik
fasade untuk
menyusun arahan rancangann (design guidelines) pelestarian kawasan ketandan. Pengamatan dilakukan untuk merekam
data fisik
bangunan, terutama selubung
depan atau
fasade bangunan,
yaitu atap
Hasil penelitian ini menemukan adanya dua jenis atap, yaitu
atap pelana
berbentuk “gable”
(gunungan jenis
langgam arsitektur cina) dan atap limas an. Bahan penutup atap bangunan yang
utama adalah
(49)
Handayani lijstplank, dinding, pintu, jendela, lubang ventilasi, ornament dan detail bangunan lainnya. Analisa dilakukan pada gambar fasade
bangunan, terkait dengan unsur desain fasade bangunan
yaitu :
geometri, simetri, dan irama.
Atap teristis
menggunakan jenis bahan, seperti seng,
asbes atau
“fiberglass”.
Banyak bangunan
yang memasang
“lijsplank” sengat
lebar sekaligus
sebagai papan nama
usaha sehingga
menutup “fasade” beberpa bangunan yang lisplank-nya terlalu lebar (sekitar 20 cm), Nampak lebih hermonis, dan beberapa yang lain menggunakan lijstplank berornamen.
Sebagai besar
fasade lantai satu
bangunan di
ketandan
didominasi oleh
pintu lipat
sepanjang fasade
bangunan. Pintu
lama berupa pintu
lipat dan panil
kayu.hanya
(50)
yang memiliki model pintu dan jendela dengan dua daun (kupu tarung) dengan pola tata letak yang simestri, yaitu pintu ditngah
dan jendela
disebeah kanan dan
kiri. Pada
umumnya, pintu
dan jendela dicat dengan warna hijau dan putih/kuning.
Sebangian besar
bangunan menggunakan
model ventilasi
dengan jeruji besi. Kerakteristik ini akan menjadi acuan dalam penyusunan “design Guidelines” pembangunan kawasan ketandan dimasa dating. KAJIAN TIPOLOGI DALAM PEMBENTU KAN KARAKTER VISUAL
Kajian ini
dimaksudkan untuk
mengidentifikasi tipologi kawasan melalui
komposisi bentuk
Metode yang digunakan dalam kajian
ini adalah
deskriptif-kualitatif. dengan Hasil identifikasi terhadap tipologi kawasan diharapkan dapat
Tampilan visual
kawasan dianalisis
dalam lingkup
kawasan (urban
space) dengan pendekatan tipologi terhadap bangunan
(51)
DAN
STRUKTUR KAWASAN (Studi kasus: Kawasan Ijen, Malang).Mala
ng. 2010
Asyra Ramadanta
dan massa
bangunan sebagai pembentuk wujud fisik ruang
kota. Hasil
identifikasi terhadap tipologi kawasan
diharapkan dapat
menjadi salah
satu acuan
pembanding atau tolok ukur dalam proses penelitian yang lebih rinci terhadap
besarnya
perubahan fisik kawasan akibat pertumbuhan
Kota malang
dalam skala yang lebih makro komponen pembentuk tampilan visual kawasan sebagai unit analisis.
menjadi
salah satu
acuan pembanding
atau tolok
ukur dalam
proses penelitian
yang lebih
rinci terhadap besarnya perubahan fisik kawasan akibat pertumbuhan Kota malang dalam skala
yang lebih
makro
dan ruang kota yang
dirancang oleh
Karstens pada
Kawasan Ijen.
Fasad bangunan
sebagai salah satu komponen
pembentuk
tampilan visual
dibahas sebagai
suatu kesatuan
massa dan bentuk
bangunan yang
membentuk urban
corridor wall pada kawasan ijen.
(1)
Metode penarikan sampel untuk masyarakat dengan menggunaka n teknik accidental sampling, sedangkan untuk narasumber dari pihak pemerintah dan tokoh masyarakat menggunaka n teknik purposive sampling.
tersebut, dapat disimpulkan telah terjadi perubahan fungsi dan fasade pada kesebelas bangunan
bersejarah di jalan utama Malioboro yang seharusnya dilestarikan. Untuk itu diperlukan suatu upaya pelestarian yang nyata terkait pemeliharaan dan pengelolaan
bangunan
bersejarah tersebut agar tidak
menghilangkan keaslian nilai bangunannya. Selain itu juga ditentukan jenis kegiatan pelestarian yang tepat
untuk masing-masing bangunan bersejarah sesuai dengan
permasalahan perubahan yang terjadi pada tiap bangunan tersebut.
(2)
Penghancuran Estetika Kota: Bangunan Bersejarah di Kota Medan. Medan. 2004 Asmyta Surbakti
Untuk melawan kehancuran, yang
kontra-hegemonik yang dibangun oleh masyarakat yang didukung oleh kelompok-kelompok kritis, seperti organisasi non-pemerintah yang disebut Badan Warisan Sumatera
(Sumatera Heritage Trust (BWS / SHT) dengan tokoh sentral Hasti Tarekat serta intelektual, dan media mass
metode kualitatif dan teknik analisis berupa deskriptif kualitatif.
kerusakan seperti ini tidak hanya menghilangkan sejarah dan identitas kota, tetapi juga mengabaikan pengembangan pariwisata
berdasarkan estetika warisan, yang berpotensi
emansipatory praksis masyarakat.
Identitas Fungsi Ruko Kesawan. Medan.2004. DEVIN DEFRIZA HARISDANI, M. DOLOK LUBIS
"ruko" sebagai bangunan niaga yang dalam perkembanganny a sejalan dengan perkembangan nilai komersil kawasan; lebih menekankan pada aspek
Ruko-ruko sepanjang jalan A. yani merupakan pencampuran antara ruko lama dan ruko baru yang
didirikan
Perencanaan yang berwawasan
identitas sangat diperlukan untuk menggali dan menemukan
kembali secara intensif dan ekstentif tentang kekhasan,
(3)
ekonomi dengan mengabaikan harmonisasi dengan lingkungan sekitarnya.
tanpa mempertimb angkan harmonisasi lingkungan dan skala mansiawi dengan suasana pada beberapa jalur di kawasan yang sudah didominasi oleh papan reklame
kekhususan,
keunikan dan karakter spesifik yang menjiwai kawasan Kesawan yang didominasi dengan bangunan ruko ini, yang dapat dan sangat akan membedakannya dengan lingkungan lain. Jiwa dari kawasan Kesawan kesawan ini harus dicari dan kemudian diterapkan secara dinamis, kreatif dari inovatif sesuai dengan
perkembangan jaman.
Identifikasi Karakteristik Fasade Bangunan Untuk Pelestarian Kawasan Pusaka Di Ketandan Yokyakarta. Yokyakarta. 2011. Titi
Bertujuan untuk mengidentifikasi kerakteristik fasade untuk menyusun arahan rancangann (design guidelines) pelestarian kawasan ketandan.
Pengamatan dilakukan untuk merekam data fisik bangunan, terutama selubung depan atau fasade bangunan, yaitu atap
Hasil penelitian ini menemukan adanya dua jenis atap, yaitu atap pelana
berbentuk “gable”
(gunungan jenis langgam arsitektur cina) dan atap limas an. Bahan penutup atap bangunan yang utama adalah genteng tanah liat.
(4)
Handayani lijstplank, dinding, pintu, jendela, lubang ventilasi, ornament dan detail
bangunan lainnya. Analisa dilakukan pada gambar fasade
bangunan, terkait dengan unsur desain fasade bangunan yaitu : geometri, simetri, dan irama.
Atap teristis menggunakan jenis bahan, seperti seng, asbes atau
“fiberglass”.
Banyak bangunan yang memasang
“lijsplank” sengat
lebar sekaligus sebagai papan nama usaha sehingga
menutup “fasade”
beberpa bangunan yang lisplank-nya terlalu lebar (sekitar 20 cm), Nampak lebih hermonis, dan beberapa yang lain menggunakan lijstplank berornamen.
Sebagai besar fasade lantai satu bangunan di ketandan
didominasi oleh pintu lipat sepanjang fasade bangunan. Pintu lama berupa pintu lipat dan panil kayu.hanya
(5)
yang memiliki model pintu dan jendela dengan dua daun (kupu tarung) dengan pola tata letak yang simestri, yaitu pintu ditngah dan jendela disebeah kanan dan kiri. Pada umumnya, pintu dan jendela dicat dengan warna hijau dan putih/kuning. Sebangian besar bangunan
menggunakan model ventilasi dengan jeruji besi. Kerakteristik ini akan menjadi acuan dalam penyusunan
“design Guidelines”
pembangunan kawasan ketandan dimasa dating. KAJIAN
TIPOLOGI DALAM PEMBENTU KAN
KARAKTER VISUAL
Kajian ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi tipologi kawasan melalui
komposisi bentuk
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif-kualitatif. dengan
Hasil identifikasi terhadap tipologi kawasan diharapkan dapat
Tampilan visual kawasan dianalisis dalam lingkup kawasan (urban space) dengan pendekatan tipologi terhadap bangunan
(6)
DAN
STRUKTUR KAWASAN (Studi kasus: Kawasan Ijen, Malang).Mala ng. 2010 Asyra
Ramadanta
dan massa bangunan
sebagai pembentuk wujud fisik ruang kota. Hasil identifikasi terhadap tipologi kawasan
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan pembanding atau tolok ukur dalam proses penelitian yang lebih rinci terhadap
besarnya
perubahan fisik kawasan akibat pertumbuhan Kota malang dalam skala yang lebih makro
komponen pembentuk tampilan visual kawasan sebagai unit analisis.
menjadi salah satu acuan
pembanding atau tolok ukur dalam proses penelitian yang lebih rinci
terhadap besarnya perubahan fisik kawasan akibat pertumbuhan Kota malang dalam skala yang lebih makro
dan ruang kota yang dirancang oleh Karstens pada Kawasan Ijen. Fasad bangunan sebagai salah satu komponen
pembentuk
tampilan visual dibahas sebagai suatu kesatuan massa dan bentuk bangunan yang membentuk urban corridor wall pada kawasan ijen.