Hubungan Motivasi Dan Supervisi Dengan Kinerja Petugas Tb Puskesmas Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kinerja
2.1.1 Pengertian Kinerja
Menurut Ilyas (2002), untuk mengetahui faktor yang memengaruhi kinerja
personal dilakukan pengkajian terhadap beberapa teori kinerja. Secara teoritis ada tiga
kelompok variabel yang memengaruhi perilaku kinerja dan kerja, yaitu variabel
individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel
tersebut memengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kerja
personal. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan
tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan
atau tugas.
Kinerja adalah kelakuan atau kegiatan yang berhubungan dengan tujuan
organisasi, dimana organisasi tersebut merupakan keputusan dari pimpinan.
Dikatakan bahwa kinerja bukan outcome, konsekuensi atau hasil dari perilaku atau
perbuatan. Tetapi kinerja adalah perbuatan atau aksi itu sendiri, disamping itu kinerja
adalah multidimensi sehingga untuk beberapa pekerjaan spesifik mempunyai
beberapa bentuk komponen kerja, yang dibuat dalam batas hubungan variasi dengan
variabel lain. Kinerja dengan prestasi kerja yaitu proses melalui mana organisasi
mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan (Bernadin et.al, 2003).


Penampilan kerja atau job performance sebagai bagian dari profisiensi kerja
adalah menyangkut apa yang dihasilkan seseorang dari perilaku kerja. Tingkat sejauh
mana seseorang berhasil menyelesaikan tugasnya disebut profesi (level of
performance). Individu di tingkat prestasi kerja disebut produktif, sedangkan prestasi
kerjanya tidak mencapai standar disebut tidak produktif. Job performance
(penampilan kerja) adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku
dalam pekerjaan yang bersangkutan. Menurut teori Atribusi atau Expectancy Theory,
penampilan kerja dirumuskan sebagai berikut : P = M x A, dimana P (Performance),
M (Motivasi), A (Ability). Sehingga dapat dijelaskan bahwa performance adalah hasil
interaksi antara motivasi dengan ability (kemampuan dasar). Dengan demikian orang
yang tinggi motivasinya, tetapi memiliki kemampuan dasar yang rendah akan
menghasilkan performance yang rendah, begitu pula halnya dengan orang yang
sebenarnya mempunyai kemampuan dasar yang tinggi tetapi rendah motivasinya
(Wijono, 2010).
2.1.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja personal, dilakukan
kajian terhadap teori kinerja. Secara teori ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi perilaku dan kinerja yaitu : faktor individu, faktor organisasi, dan
faktor psikologis. Ketiga kelompok faktor tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang

pada akhirnya berpengaruh terhadap kinerja personal. Perilaku yang berhubungan
dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus
diselesaikan untuk mencapai sasaran atau suatu jabatan atau tugas (Gibson et al.,
2003).

Gibson et al. (2003) menyampaikan model teori kinerja dan melakukan
analisis terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja, yaitu :
(1) variabel individu, terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan
demografi.

Kemampuan

dan

ketrampilan

merupakan

faktor


utama

yang

mempengaruhi kinerja individu. Variabel demografis mempunyai efek tidak langsung
pada perilaku dan kinerja individu (2) variabel psikologis terdiri dari persepsi, sikap,
kepribadian, belajar, dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga,
tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya. Variabel psikologis seperti sikap,
kepribadian, dan pembelajaran merupakan hal yang kompleks, sulit diukur dan sukar
mencapai kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut, karena seorang
individu masuk dan bergabung dengan organisasi kerja pada usia, etnis, latar
belakang budaya dan ketrampilan yang berbeda satu dengan lainnya, (3) variabel
organisasi yang mempengaruhi kinerja individu terdiri dari sumber daya, struktur,
kepemimpinan, imbalan dan desain pekerjaan.
Berdasarkan beberapa pengertian kinerja di atas, dapat disimpulkan bahwa
kinerja merupakan suatu proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh seseorang
dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam periode tertentu. Indikator pengukuran
kinerja dapat dikembangkan dari hasil yang dicapai (kinerja hasil) dan proses dalam
mencapai hasil (kinerja proses).
2.1.3 Kinerja Petugas TB

Kinerja (Job performance) sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai
penampilan kerja. Kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan dan usaha, untuk

menghasilkan kerja yang baik, seseorang harus memiliki kemampuan, kemauan,
dalam lingkungannya untuk mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Kemauan dan
usaha dapat menghasilkan motivasi, kemudian setelah ada motivasi dapat
menimbulkan kegiatan. Kinerja adalah hasil yang dicapai atau prestasi yang dicapai
karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu organisasi
Petugas TB adalah petugas yang bertangungjawab dan mengkoordinir seluruh
kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam program TB di
Puskesmas. Kinerja petugas TB dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi yaitu:
(Depkes RI, 2009). Adapun tugas pokok dan fungsi petugas TB, antara lain;
1. Menemukan Penderita
a. Memberikan penyuluhan tentang TB kepada masyarakat umum
b. Menjaring suspek (penderita tersangka) TB
c. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form TB 06
d. Membuat sediaan hapus dahak
e. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
f. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
g. Membuat klasifikasi penderita

h. Mengisi kartu penderita (form TB 01) dan kartu identitas penderita (TB 02)
i. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
j. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TB yang
ditemukan.

2. Memberikan Pengobatan
a. Menetapkan jenis paduan obat
b. Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan
c. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01)
d. Menentukan PMO (bersama penderita)
e. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
f. Memantau keteraturan berobat
g. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
h. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
i. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya pada kartu penderita
3. Penanganan Logistik
a. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
b. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens, dll)
c. Menjaga mutu semua pelaksanaan kegiatan 1 sampai dengan 3.

Kegiatan petugas TB terdiri atas kegiatan di luar dan di dalam gedung.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan didalam gedung antara lain: (1) terhadap spesimen
yang dapat diperiksa sendiri, meliputi kegiatan, (b) penerimaan pasien, (c)
pengambilan/pengumpulan spesimen, (c) penanganan spesimen, (d) pencatatan hasil
pemeriksaan, (e) pengecekan/pengontrolan hasil pemeriksaan, (2) penyampaian hasil
pemeriksaan

terhadap

spesimen

yang

harus

dirujuk,

meliputi:

(a) pengambilan/pengumpulan spesimen, (b) penanganan spesimen, (c) pengemasan


spesimen,

(d)

pengiriman

spesimen,

(e)

pengambilan

hasil

pemeriksaan,

(f) pencatatan hasil pemeriksaan, (g) penyampaian hasil pemeriksaan.
Kegiatan di luar gedung puskesmas, meliputi (1) kegiatan di pos-pos pelayanan
lain dalam wilayah puskesmas yang bersangkutan (puskesmas pembantu posyandu).

Dapat dilakukan bersama petugas TB, meliputi : (a) melakukan tes screening HB, (b)
melakukan pengambilan spesimen yang kemudian dikirim ke laboratorium
puskesmas, (2) memberikan penyuluhan dan (3) kegiatan dilapangan dalam rangka
program kesehatan lain, dapat dilakukan oleh petugas laboratorium bersama dengan
petugas lain dalam kegiatan tersebut.
Mengacu kepada pedoman penanggulangan TB, setiap petugas TB perlu
ditingkatkan kualitas sumber daya manusianya dalam memenuhi kebutuhan
ketenagaan yang bermutu sesuai kebutuhan. Proses ini meliputi kegiatan penyediaan
tenaga, pembinaan (pelatihan, supervisi, lokakarya) secara berkesinambungan,
sehingga diharapkan tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan sikap (kompeten) dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah
yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat untuk menunjang
tercapainya tujuan program TB nasional (Depkes RI, 2009).
Jumlah dan jenis tenaga dalam program penanggulangan TB memiliki standar
kebutuhan minimal untuk terselenggaranya kegiatan program TB di suatu unit
pelaksana. Pada Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) puskesmas terdiri dari
(1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri
(PPM) : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1

perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium, (2) Puskesmas satelit : kebutuhan

minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB, dan
(3) Puskesmas Pembantu: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1
perawat/petugas TB. Sedangkan jenis pelatihan yang wajib dalam program TB, terdiri
dari : (1) Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training), dengan
memasukkan

materi

program

penanggulangan

TB

strategi

DOTS`

dalam


pembelajaran/kurikulum institusi pendidikan tenaga kesehatan, (2) Pelatihan dalam
tugas (in service training), berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program
pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation), dan
pelatihan lanjutan (advanced training) (Depkes RI, 2009).
2.1.4 Penilaian Kinerja
Menurut Rivai (2011), penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang
kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan
standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Penilaian kinerja merupakan proses
yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang,
meliputi dimensi kinerja karyawan dan akuntabilitas.
Rivai (2011) pada dasarnya ada dua model penilaian kinerja :
1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu
(a) Skala Peringkat (Rating Scale)
Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam
penilaian prestasi, di mana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian

yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu,
mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
(b) Daftar Pertanyaan (Checklist)
Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam

tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu kata atau
pertanyaan yang mengambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan.
Keuntungan dari cheklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah,
penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan distandarisasi.
(c) Metode dengan Pilihan Terarah
Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi
subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini
adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah
penilaian dengan memaksa suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan
deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama.
(d) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method)
Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait
langsung dengan pekerjaannya.
(e) Metode Catatan Prestasi
Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan
penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional,
misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan
aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan.

(f) Skala Peringkat dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored
Rating Scale=BARS)
Penggunaan metode ini menuntut diambilnya tiga langkah, yaitu:
1) Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja
2) Menentukan kategori prestasi kerja dengan skala peringkat
3) Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku
karyawan yang dinilai dengan jelas.
(g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Method)
Penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis
SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal karyawannya, lalu
mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut.
(h) Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation)
Karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang
menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan
mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian
praktik yang langsung diamati oleh penilai.
(i) Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach)
Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan
karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.
2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Depan
a. Penilaian Diri Sendiri (Self Appraisal)

Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri
dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan
dan kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek
perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang.
b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective)
Merupakan suatu bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersamasama menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja
karyawan secara individu di waktu yang akan datang.
c. Penilaian dengan Psikolog
Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikologi,
diskusi-diskusi dengan penyelia-penyelia.
3. Pada organisasi dengan tingkat manajemen majemuk, personel biasanya dinilai
oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi. Penilaian termasuk yang dilakukan
oleh penyelia atau atasan langsung kepadanya laporan kerja personel
disampaikan. Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit lain. Sebagai
contoh, personel bagian pembelian dapat dinilai oleh manajer produksi sebagai
pemakai barang yang dibeli. Hal ini normal terjadi bila interaksi antara personel
dan unit lain cukup tinggi. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian
lain dibatasi, hanya pada situasi kerja kelompok dimana individu sering
melakukan interaksi. Pada penilaian manajer, biasanya dilakukan oleh beberapa
atasan manajer dengan tingkat lebih tinggi yang sering bekerja sama dalam
kelompok kerja. Penilaian kerja kelompok akan sangat bernilai jika penilaian

dilakukan dengan bebas dan kemudian dilakukan mufakat dengan diskusi. Hasil
penilaian akhir seharusnya tidak dihubungkan dengan kemungkinan adanya
perbedaaan pendapat diantara penilai. Penilaian kelompok dapat menghasilkan
gambaran total kinerja personel lebih tepat, tetapi kemungkinan terjadi bias
dengan kecenderungan penilaian lebih tinggi sehingga menghasilkan penilaian
yang merata.
Penilaian atasan langsung sangat penting dari seluruh sistem penilaian kinerja.
Hal ini disebabkan karena mudah untuk memperoleh hasil penilaian atasan dan dapat
diterima oleh akal sehat. Para atasan merupakan orang yang tepat untuk mengamati
dan menilai kinerja bawahannya. Oleh sebab itu, seluruh sistem penilaian umumnya
sangat tergantung pada evaluasi yang dilakukan oleh atasan (Rivai, 2011).

2.2 TB dan Klasifikasi TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang dan memiliki
sifat tahan terhadap asam pada pewarnaan atau sebagai Basil Tahan Asam (BTA),
tidak tahan terhadap sinar matahari tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat tertidur lama
beberapa tahun (dormant) (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 klasifikasi
yaitu ; (1) TB BTA (Basil Tahan Asam) positif (sangat menular) yaitu sekurang-

kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu
pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada
menunjukkan TB aktif; (2) TB BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih
meragukan. Jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum
memenuhi syarat positif dan hasil foto rontgen dada menunjukkan hasil positif
(Depkes RI, 2009).
2.2.1 Penularan dan Risiko Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, pada saat batuk atau
bersin penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak)
atau droplet nuclei. Jika droplet tersebut terhirup ke pernafasan orang lain, dan
menginfeksi tubuh orang tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau ke bagian
tubuh lainnya, dengan risiko penularan setiap tahun (ARTI = Annual Risk of
Tuberculosis Infection ) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 13%, pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000
penduduk, sepuluh orang terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak
akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan
menjadi penderita TB (Depkes RI, 2009).
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat
terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita
TB dengan status TB BTA positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-

15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB
(Depkes RI, 2009). Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin
negative. menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi pasien. TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
2.2.2 Gejala Klinis TB
Gejala utama TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan, yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan
Kesehatan (UPK) dengan gejala seperti disebutkan di atas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
2.2.3 Penemuan Penderita TB
Suspek (tersangka) adalah seseorang yang belum dapat dipastikan sebagai
penderita Tuberkulosis, dengan demikian untuk menentukan seseorang sebagai
suspek TB harus berdasarkan gejala-gejala umum yang ditunjukkannya. Gejala utama
yaitu batuk terus menerus selama tiga minggu atau lebih, gejala tambahan yang sering
dijumpai : (a) dahak bercampur darah (b) batuk darah (c) sesak nafas dan rasa nyeri

dada (d) badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih
dari sebulan.
Penemuan penderita TB, yaitu dengan cara menunggu penderita datang
sendiri memeriksakan diri ke puskesmas atau unit pelayanan kesehatan (penemuan
suspek secara pasif) dan di dukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas
maupun masyarakat. Penyuluhan dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Penyuluhan secara langsung bisa dilakukan pada perorangan dan
kelompok, sedangkan penyuluhan tidak langsung dilakukan dengan menggunakan
media dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk. Dan juga dapat
menggunakan media massa berupa koran, majalah, radio dan televisi (Depkes RI,
2009).
Setelah ditemukan tersangka penderita TB kemudian dilakukan penegakan
diagnosis dengan melakukan berbagai pemeriksaan dahak secara mikroskopik
langsung, biakan, rontgen, dan test tuberkulin. Pada saat ini yang digunakan di
Puskesmas adalah pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung. Semua tersangka
harus diperiksa tiga spesimen dahak dalam waktu dua hari berturut-turut, yaitu :
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB dapat ditegakkan dengan ditemukan
kuman BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik, hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS positif (Depkes RI,
2009).

Penemuan secara pasif akan lebih efektif jika didukung penyuluhan secara
aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan
penemuan tersangka penderita. Cara ini dikenal dengan sebutan Passive Promotive
case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif) (Depkes
RI, 2009).
2.2.4 Sistim Pencatatan dan Pelaporan dalam Penanggulangan TB
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting
dalam sistem penanggulangan TB. Untuk itu pencatatan dan pelaporan perlu
dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita. Semua unit pelaksana progran
penanggulangan TB harus melaksanakan suatu sistim pencatatan dan pelaporan yang
baku. Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan menurut (Depkes RI, 2009)
yaitu:
a. TB 01. Kartu pengobatan TB
b. TB 02. Kartu Indentitas penderita
c. TB 03. Register TB Kabupaten/Kota
d. TB 04. Register Laboratorium TB
e. TB 05. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
f. TB 06. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak S-P-S
g. TB 07. Laporan triwulan penemuan penderita baru dan kambuh.
h. TB 08. Laporan triwulan hasil pengobatan penderita TBC Paru yang terdaftar 12
sampai 15 bulan lalu
i. TB 09. Formulir rujukan/pindah penderita

j. TB 10. Formulir hasil akhir pengoabatan dari penderita TB pindahan
k. TB 11. Laporan triwulan hasil pemeriksaan dahak akhir tahap intensif untuk
penderita terdaftar 3-6 bulan lalu
l. TB 12. Formulir pemgirim sediaan untuk Crosscheck
m. TB 13.Laporan penerimaan dan OAT di Kabupaten/Kota

2.3 Motivasi
2.3.1 Pengertian Motivasi
Luthans (2006) mengatakan motivasi adalah proses psikologis dimana
tindakan dimulai-kebutuhan atau dorongan, perangsang-untuk melakukan aktivitas
atau mencapai tujuan. Gibsons, et al. (2003) menyatakan motivasi sebagai konsep
yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di
dalam seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku.
Motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan
memelihara perilaku manusia akibat interaksi individu dengan situasi. Umumnya
orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang
tidak melakukan. Kata motivasi berasal dari kata motivation, yang dapat diartikan
sebagai dorongan yang ada pada diri seseorang untuk bertingkah laku mencapai suatu
tujuan tertentu (Rivai, 2011). Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan
seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk
keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam

rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang ditentukan (Siagian,
2010). Sedangkan Gerungan (2009), menambahkan bahwa motivasi adalah
penggerak, alasan-alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan
dirinya melakukan suatu tindakan/bertingkah laku.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
motivasi merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam
diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah
lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan,
baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani.
Istilah motivasi mengandung tiga hal yang amat penting, yaitu:
a) Pemberian motivasi berkaitan langsung dengan usaha pencapaian tujuan dan
berbagai sasaran organisasional. Tersirat pada pandangan ini bahwa dalam tujuan
dan sasaran organisasi telah tercakup tujuan dan sasaran pribadi anggota
organisasi. Pemberian motivasi hanya akan efektif apabila dalam diri bawahan
yang digerakkan terdapat keyakinan bahwa dengan tercapainya tujuan maka
tujuan pribadi akan ikut pula tercapai.
b) Motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan
tertentu. Usaha merupakan ukuran intensitas kemauan seseorang. Apabila
seseorang termotivasi, maka akan berusaha keras untuk melakukan sesuatu.
c) Kebutuhan adalah keadaan internal seseorang yang menyebabkan hasil usaha
tertentu menjadi menarik. Artinya suatu kebutuhan yang belum terpuaskan

menciptakan ketegangan yang pada gilirannya menimbulkan dorongan tertentu
pada diri seseorang.
Menurut Gitosudarmo (2000), motivasi atau dorongan kepada karyawan
untuk bersedia bekerja sama demi tercapainya tujuan bersama atau tujuan perusahaan
ini terdapat dua macam yaitu: (a) motivasi finansial yaitu dorongan yang dilakukan
dengan memberikan imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut sering
disebut insentif; dan (b). motivasi non finansial yaitu dorongan yang diwujudkan
tidak dalam bentuk finansial, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan,
pendekatan manusiawi dan lain sebagainya.
2.3.2 Teori Motivasi
Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi
manusia di dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapi tujuan, yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson et al. (2003),
secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori :
1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor
dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung
(sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.
2. Teori proses (Process Theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku
itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.
Lebih lanjut Gibson et al. (2003), mengelompokkan teori motivasi sebagai
berikut :

1. Teori kepuasan terdiri dari :
a. Teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow
b. Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg
c. Teori ERG (Existence, Relatednes, Growth) dari Alderfer
d. Teori prestasi dari McClelland
2. Teori Proses terdiri dari :
a. Teori harapan
b. Teori pembentukan perilaku
c. Teori keadilan
Penjelasan uraian tentang motivasi yang dikemukakan di atas sebagai berikut :
a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow
Menurut Maslow 1954 (dalam Robbins, 2008), hal yang tidak dapat
dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah disebabkan adanya kebutuhan
yang relatif tidak terpenuhi disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu
sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya sewaktu bekerja sama dengan orang lain
dalam memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan
mengemukakan teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi
seseorang dalam kehidupannya. Maslow mengemukan bahwa manusia termotivasi
untuk memenuhi kebutuhan yang ada didalam hidupnya, diantaranya :
1). Kebutuhan faali (fisiologis), antara lain : rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian,
perumahan), seks dan kebutuhan ragawi lainnya (disebut kebutuhan paling dasar)

2). Kebutuhan keamanan, keselamatan, perlindungan, jaminan pensiun, asuransi
kecelakaan, dan asuransi kesehatan.
3). Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik,
persahabatan.
4). Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi.
5). Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi.
Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun,
tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat
kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu. Dalam usaha untuk memenuhi segala
kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan
oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2008).
b. Teori Dua Faktor dari Herzberg.
Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan
pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg
memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi
karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow,
khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua,
kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan
Hall dalam Timpe, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat
dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut
teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor

pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic
motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau
ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong
karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari
dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang
datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.
Jadi petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang
memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat
otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini terutama
tidak dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka
yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat apa yang
diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan
hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Siagian, 2010).
Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai
untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan
dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan,
faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor
intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang
lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih
memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih
rendah (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002).

Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor
motivasi dan ini mendapat kritikan dari para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali
dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari
pekerjaan itu, tetapi karena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Penelitian oleh Schwab, De Vitt dan Cuming tahun 1971 telah membuktikan bahwa
faktor ekstrinsik pun dapat berpengaruh dalam memotivasi performa tinggi,
(Grensing dalam Timpe, 2002).
c. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer
Menurut teori ERG dari Clayton Alderfer ini ada 3 (tiga) kebutuhan pokok
manusia yaitu: a).Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan
keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan). b).Relatednes
(keterhubungan); Hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi
(kebutuhan sosial dan penghargaan). c).Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan
intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).
d. Teori Kebutuhan dari McClelland
Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus
pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam
Hasibuan (2012).
a). Kebutuhan akan prestasi (need for achievement).
Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan
semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang

maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang
tinggi akan memperoleh pendapatan besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhankebutuhannya.
b). Kebutuhan akan kekuasaan (need for power )
Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta
mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang
terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat
bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya.
c). Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation)
Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat
bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja
seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain,
perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.
e. Teori Harapan (Expectancy Theory)
Pencetus pertama dari teori dari harapan ini adalah Victor H. Vroom dan
merupakan teori motivasi kerja yang relatif baru. Teori ini berpendapat bahwa orangorang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu
jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan
besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya
suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi
perangsang seseorang giat dalam bekerja.

f. Teori Pembentukan Perilaku (Operant Conditioning)
Teori ini berasumsi bahwa prilaku pegawai dapat dibentuk dan diarahkan
kearah aktivitas pencapaian tujuan. Teori pembentukan perilaku sering disebut
dengan istilah-istilah lain seperti : behavioral modification, positive reinforcement
dan skinerian conditioning. Menurut teori pembentukan perilaku, perilaku pegawai
dipengaruhi kejadian-kejadian atau situasi masa lalu. Apabila konsekuensi perilaku
tersebut positif, maka pegawai akan memberikan tanggapan yang sama terhadap
situasi lama, tetapi apabila konsekuensi itu tidak menyenangkan, maka pegawai
cendrung mengubah perilakuya untuk menghindar dari konsekuensi tersebut.
g. Teori Keadilan (Equity Theory)
Menurut Davis (2004), keadilan adalah suatu keadaan yang muncul dalam
pikiran seseorang jika orang tersebut merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan
adalah seimbang. Teori motivasi keadilan ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai
akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya apabila pegawai tersebut
diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya.
Ketidakadilan akan ditanggapi dengan bermacam-macam perilaku yang
menyimpang dari aktivitas pencapaian tujuan seperti menurunkan prestasi, mogok,
malas dan sebagainya. Inti dari teori ini adalah pegawai membandingkan usaha
mereka terhadap imbalan yang diterima pegawai lainnya dalam situasi kerja yang
relatif sama. Selain itu juga membandingkan imbalan dengan pengorbanan yang
diberikan. Apabila mereka telah mendapatkan keadilan dalam bekerja, maka mereka
termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah segala sesuatu yang
mendorong seseorang untuk menunjukkan kesediannya yang tinggi untuk berupaya
mencapai tujuan organisasi yang dipengaruhi kemampuan usaha untuk memuaskan
beberapa kebutuhan individu. Berdasarkan pembahasan tentang berbagai teori
motivasi dan kebutuhan-kebutuhan yang mendorong manusia melakukan tingkah
laku dan pekerjaan, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah keseluruhan daya
penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri
yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas
dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan.
Teori motivasi dalam penelitian ini digunakan teori motivasi yang
dikemukakan

Maslow.

Adapun

pertimbangan

peneliti

karena

teori

yang

dikembangkan Maslow berlaku untuk menengah ke bawah, yaitu untuk karyawan
atau pegawai pemerintahan yang hubungannya antara kebutuhan dengan performa
pekerjaan.
2.3.3 Jenis-Jenis Motivasi
Handoko (2008), motivasi terdiri atas: (a) motivasi intrinsik, yaitu motivasi
yang berfungsinya tanpa rangsangan dari luar, karena dalam diri individu tersebut
sudah ada dorongan untuk melakukan tindakan, dan (b) motivasi ekstrinsik, yaitu
motivasi yang berfungsi karena disebabkan oleh adanya faktor pendorong dari luar
diri individu. Sedangkan Herzberg dalam Hasibuan (2005), menjelaskan bahwa
motivasi pada prinsipnya berkaitan dengan kepuasan dan ketidak puasan kerja. Dalam
hal ini kepuasan kerja atau perasaan positif disebut sebagai hygien. Secara terinci

dikemukakan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan dikalangan karyawan
atau bawahan.
2.3.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi
Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi
motivasi yang “subjective” atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor
“objective” atau faktor ekstrinsik. Faktor-faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang
timbul dari individu petugas dengan pekerjaanya yang sering disebut pula sebagai
“job content factor”. Faktor tersebut diantaranya meliputi keberhasilan dalam
melaksanakan tugas, memperoleh pengakuan atas prestasinya, memperoleh tanggung
jawab yang lebih besar dan memperoleh kemajuan kedudukan melalui promosi
jabatan. Sejauh mana semuanya itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka
sejauh itu pula dorongan/daya motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan
organisasi
Herzberg dalam Hasibuan (2005), menyatakan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi motivasi seorang karyawan ada yang bersifat internal dan eksternal.
Faktor yang bersifat internal (motivator factor), antara lain:
1) Tanggung jawab (Responsibility).
Setiap orang ingin diikutsertakan dan ngin diakui sebagai orang yang berpotensi,
dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul
tanggung jawab yang lebih besar.

2) Prestasi yang diraih (Achievement)
Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian
prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan
untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.
3) Pengakuan orang lain (Recognition)
Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan
bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi.
4) Pekerjaan itu sendiri (The work it self)
Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma
tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu,
tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai,
merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi
motivasi untuk berforma tinggi.
5) Kemungkinan Pengembangan (The possibility of growth)
Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya
misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang
pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh
dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih
giat dalam bekerja.
6) Kemajuan (Advancement)
Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pagawai
dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya

promosi kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan
pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan
menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.
Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja
menurut Herzberg dalam Luthans (2006), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara
lain :
1). Gaji
Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada
tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem
kompensasi dan gaji yang realistis. Bila digunakan dengan benar akan
memotivasi pegawai.
2). Keamanan dan keselamatan kerja.
Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja.
3). Kondisi kerja
Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh
peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam
bekerja sehari-hari.
4). Hubungan kerja
Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh
suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun
atasan dan bawahan.

5). Prosedur perusahaan.
Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian
evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh
terhadap motivasi pekerja.
6). Status
Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan
kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain Status pekerja
memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari
pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa
yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan
statusnya.
Herzberg berpendapat bahwa apabila manajer ingin memberi motivasi pada
para bawahannya yang perlu ditekankan adalah faktor-faktor yang menimbulkan rasa
puas, yaitu dengan mengutamakan faktor-faktor motivasional yang sifatnya intrinsik.
2.3.5 Manfaat Motivasi
Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga
produktivitas kerja meningkat. Sementara itu manfaat yang diperoleh karena bekerja
dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan
tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dan dalam skala
waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya.
Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan
membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui,

hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang
termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena
dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan.
Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan
membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep
dan Tanjung, 2004).
2.3.6 Hubungan Motivasi dengan Kinerja
Kinerja/performance adalah kesediaan atau motivasi dari pegawai untuk
bekerja, ada dua hal berkaitan dengan yang menimbulkan usaha karyawan dan
kemampuan karyawan untuk melaksanakannya. Menurut Gomez (2003) bahwa
kinerja/performance adalah fungsi dari motivasi dan kemampuan atau dapat ditulis
dengan rumus P=f (M x A) dimana P= performance/kinerja, m= motivation/motivasi,
a=ability/kemampuan. Kemampuan melekat dalam diri seseorang dan merupakan
bawaan sejak lahir serta diwujudkan dalam tindakannya dalam bekerja, sedangkan
motivasi adalah aspek yang sangat penting untuk menggerakkan kreativitas dan
kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan, serta selalu bersemangat
dalam menjalankan pekerjaan tersebut.
Berdasarkan sebagian uraian yang telah dijelaskan dapat ditarik kesimpulan
bahwa perwujudan kinerja yang maksimal, dibutuhkan suatu dorongan untuk
memunculkan kemauan dan semangat kerja, yaitu dengan motivasi. Motivasi
berfungsi untuk merangsang kemampuan karyawan maka akan tercipta hasil kinerja
maksimal.

2.4 Supervisi
2.4.1 Pengertian Supervisi
Supervisi adalah salah satu fungsi dari manajemen dan leadership. Supervisi
dimaksudkan sebagai berbagai tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa
saat pekerja melaksanakan kegiatan secara efektif dan professional supervisi juga
merupakan jembatan antara kualitas kepemimpinan dan manajemen (Muchlas, 2000).
Sedangkan menurut Azwar (2000) supervisi adalah melakukan pengamatan secara
langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan
untuk kemudian apabila ditemukan masalah segera diberikan petunjuk dan bimbingan
atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.
Azwar (2000) menambahkan bahwa supervisi adalah upaya pengamatan
secara langsung dan berkala yang dilakukan oleh atasan terhadap pekerjaan yang
dilaksanakan oleh bawahan dan memberi petunjuk atau bantuan yang bersifat
langsung untuk penyelesaian masalah. Menurut Notoatmodjo (2003), Keberhasilan
kinerja pelaksanaan suatu kegiatan juga sangat ditentukan ada tidaknya bimbingan
dan supervisi yang baik dari pimpinan. Kewajiban pimpinan dalam membimbing dan
supervisi pada bawahan seperti; (a) menanyakan permasalahan serta kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan agar dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan dan
penyempurnaan, (b) memberi umpan balik, koreksi dan perbaikan untuk diketahui
dan disadari oleh yang bersangkutan agar diperbaiki sesuai standar, (c) membimbing
dan memberi solusi cara mengatasi permasalahan yang dialami bawahan dan
meningkatkan motivasi kerja dan mengembangkan potensi petugas.

Menurut Freezer (dalam Munandar, 2002) supervisi melalui monitoring yang
cermat dan kontinyu dari motivasi kerja karyawan merupakan hal penting untuk
mendapat perhatian pimpinan organisasi terutama bagian personalia. Demikian juga
menurut Handoko (2008) bahwa supervisi berarti atasan mengarahkan, memimpin
dan mempengaruhi bawahan. Secara sederhana adalah untuk membuat atau
mendapatkan para karyawan yang menjadi bawahannya melakukan apa yang
diinginkan, dan harus mereka lakukan dengan menggunakan kemampuan motivasi,
komunikasi dan kepemimpinan untuk mengarahkan karyawan mengerjakan sesuatu
yang ditugaskan kepada bawahannya
Supervisi adalah suatu proses kemudahan sumber-sumber yang diperlukan
staf untuk menyelesaikan tugas–tugas. Supervisi sebagai suatu kegiatan pembinaan,
bimbingan dan pengawasan oleh pengelola program terhadap pelaksanaan di tingkat
adimistrasi yang lebih rendah dalam rangka menetapkan kegiatan sesuai dengan
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan (Purwanto, 2007).
Supervisi dapat diidentifikasikan sebagai upaya yang memungkinkan petugas
menyelesaikan tugas dengan baik, supervisi yang suportif (tidak menghukum) dan
terencana dengan baik, penting untuk keberhasilan suatu program kesehatan yang
berbasis pada masyarakat. lebih lanjut dikatakan bahwa kendala sumber daya tenaga
dan dana umumnya mengakibatkan terbatasnya frekuensi program supervisi yang
dapat dilaksanakan (Robbins, 2008).
Supervisi juga mempunyai pengaruh penting terhadap kinerja individu. di
dalam supervisi ini tidak terlepas dari pengaruh kepemimpinan supervisor dalam

memberikan pengarahan kepada yang disupervisi, proses kepemimpinan adalah
melakukan pengembangan secara langsung dengan melakukan koordinasi pada
anggota kelompok serta memiliki karakteristik sehingga dapat meningkatkan
pengembangan dalam mencapai tujuan organisasi (Timpe, 2002).
Berdasarkan pengertian diatas tersebut dapat dikatakan bahwa supervisi
merupakan salah satu cara yang ampuh untuk mencapai tujuan organisasi termasuk
tujuan pelayanan TB dengan baik. Jadi dapat diartikan bahwa pengertian supervisi
adalah suatu kegiatan pembinaan, bimbingan dan pengawasan oleh pengelola
program terhadap pelaksana di tingkat administrasi yang lebih rendah, dalam rangka
menetapkan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan
2.4.2 Tujuan Supervisi
Tujuan supervisi adalah peningkatan dan pemantapan pengelola upaya
pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, peningkatan dan
pemanfaatan pengelola sumber daya di semua tingkat administrasi dalam rangka
pembinaan pelaksanaan upaya kesehatan, seperti mengorientasi, melatih kerja,
memimpin, memberi arahan dan mengembangkan kemampuan personil. Sedangkan
fungsinya untuk mengatur dan mengorganisir proses atau mekanisme pelaksanaan
kebijaksanaan diskripsi dan standar kerja.
Supervisi dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang berlangsung, pada
supervisi modern diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan agar pengarahan dan
pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai perintah. Umpan balik dan perbaikan

dapat dilakukan saat supervisi. Supervisi dapat juga dilakukan secara tidak langsung,
yaitu melalui laporan baik tertulis maupun lisan, supervisor tidak melihat langsung
apa yang terjadi di lapangan sehingga mungkin terjadi kesenjangan fakta. Umpan
balik dapat diberikan secara tertulis.
Menurut Azwar (2000) tujuan supervisi adalah memberikan bantuan kepada
bawahan” secara langsung, sehingga bantuan tersebut bawahan” memiliki bekal yang
cukup untuk dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan hasil yang baik.
2.4.3 Manfaat Supervisi
Menurut Azwar (2000), manfaat supervisi apabila ditinjau dari sudut
manajemen dapat dibedakan atas dua macam :
1) Dapat lebih meningkatkan efetivitas kerja.
Peningkatan efektivitas kerja erat hubungannya dengan makin meningkatnya
pengetahuan dan ketrampilan ”bawahan”, serta makin terbinanya hubungan dan
suasana kerja yang lebih harmonis antar ”atasan” dengan ”bawahan”.
2) Dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja.
Peningkatan efisiensi kerja erat hubungannya dengan makin berkurangnya
kesalahan yang dilakukan oleh ”bawahan”, dan karena itu pemakaian sumber daya
(tenaga, dana dan sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah. Sesungguhnya pokok dari
supervisi ialah bagaimana dapat menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah
direncanakan secara benar dan tepat dalam arti lebih efektif dan efisien, sedemikian
rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan memuaskan.

2.4.4 Kompetensi Supervisor
Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang supervisor yaitu :
1) Memberikan Pengarahan
Kompetensi yang pertama yang harus dikuasai supervisor adalah kemampuan
memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas sehingga dapat dimengerti oleh
petugas TB. Pengarahan diberikan untuk menjamin agar mutu pertolongan persalinan
kepada pasien berkualitas tinggi, maka supervisor harus mengarahkan petugas untuk
melaksanakan tugasnya sesuai standar yang ditentukan. Pengarahan bertujuan untuk
mencegah petugas melakukan penyimpangan dalam memberikan pertolongan
persalinan (Azwar, 2000).
2) Memberi Saran
Kompetensi kedua adalah bahwa supervisor harus mampu memberikan saran,
nasehat dan bantuan yang benar-benar dibutuhkan oleh staf dan pelaksana
dilapangan. Seorang supervisor harus betul-betul mampu melakukan pendekatan yang
asertif terhadap seluruh anggotanya. Pada kondisi ini supervisor dapat memanfaatkan
kesenioran anggotanya untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan saran bahkan
kritik tidak hanya bagi seluruh anggota namun juga bagi supervisor sendiri.
Pemilahan waktu yang tepat dalam pemberian saran, nasehat dan bantuan juga perlu
dipertimbangkan oleh supervisor.
3) Memberikan Motivasi
Kompetensi ketiga adalah kemampuan dalam