ANDRAYANI SPS Pendidikan Demokrtais di Pesantren : Praktek Pembelajaran di Madrsah Aliyah Pesantren Darunnajah Ulujami

ULUJAMI JAKARTA

  Oleh: Andrayani Nim. 13.2.00.0.03.01.0096

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 20161437

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan, dengan petunjuk dan bantuan- Nya maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam sejahtera selalu ditujukan kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir jaman. Dalam kesempatan ini, penulis ucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada kedua orangtua yang telah mendidik dan membesarkan penulis, ayahanda (Alm) Syukri dan Ibunda, Ratna. beserta keluarga penulis semua. Terkhusus, ucapan terimakasih yang tidak terhingga kepada suami penulis, Eko Oktapiya Hadinata, MA.Si. yang selalu memberikan motivasi dan bersabar, Putera tersayang Lukman Hakim yang lahir pada 03 Oktober 2015 serta kedua mertua dan keluarga penulis semua. Mereka semua selalu berdo’a dan memberikan motivasi tanpa kenal lelah untuk segera menyelesaikan studi.

  Penulisan tesis ini pada dasarnya untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Agama bidang Pendidikan (MA.Pd) dari Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya dalam konsentrasi Ilmu Pendidikan. Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan tesis ini cenderung jauh dari apa yang diharapkan. Sehingga, untuk menjadikan sebuah tulisan yang lebih baik lagi maka diperlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Di samping itu, penulis tidak pernah lupa untuk menyampaikan penghargaan serta ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada;

  1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta beserta pada Deputi Direktur, Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA. Dr. JM. Muslimin yang telah memberikan wawasan kepada penulis di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

  2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Prof. Dr. Suwito, MA. Dr. Yusuf Rahman, MA. Dr. Asef Saepuddin Jahar, MA. Prof. Dr. Said Agil Husin Al-Munawar, MA. Prof. Dr. Iik Arifin Masnurnoor. Nurlena Rifai, Ph.D.

  3. Suparto, M.Ed Ph.D, yang bersedia membimbing, mengarahkan, berdiskusi dan memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.

  4. Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta

  5. Teman-teman di Pascasarjana.

  6. Semua pihak yang tidak mungkin bisa disebutkan satu-persatu. Semoga seluruh kebaikan diberikan balasan yang sebaik-baiknya.

ABSTRAK

  Kesimpulan tesis ini adalah jika pendidikan demokratis dalam lembaga pendidikan diterapkan maka tercipta suasana proses belajar yang kondusif bagi praktik pendidikan yang demokratis. Dalam arti, suasana proses belajar yang kondusif dapat dibangun dalam praktik pendidikan demokratis pada kontek pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Pesantren sebagai bagian dari sub sistem pendidikan nasional ternyata dapat mengadopsi nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran.

  Temuan ini didukung oleh hasil observasi, wawancara dan angket bahwa, pesantren Darunnajah dalam proses pembelajarannya telah mempraktikkan nilai- nilai demokrasi. Seperti, adanya kebebasan dalam menyampaikan pendapat, saling menghargai dan menghormati orang lain, bersikap jujur, berpikir kritis dan adanya musyawarah. Hal ini juga dapat dilihat dari kurikulum, hubungan guru dengan peserta didik, hubungan guru, orang tua dan peserta didik, sarana dan prasarana yang menunjang untuk mewujudkan pendidikan yang ideal, lingkungan pesantren yang memiliki budaya demokrasi dan yang terpenting di sini adalah, peserta didik memiliki kebebasan untuk menyampaikan pelbagai pendapat, ide, gagasan, saling menghormati, menghargai bahkan kritikan yang disertai dengan sikap tanggung jawab. Di sisi yang lain, guru mampu memberikan pengalaman dan pengajaran tentang nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran seperti, memberikan perhatian yang adil terhadap peserta didik, mampu memposisikan peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi yang berbeda-beda dan mampu menjadi pembimbing serta rekan dalam menyelesaikan persoalan dalam konteks proses pembelajaran di kelas. Dari hasil angket pun dapat diketahui bahwa, mayoritas peserta didik mampu memahami konsep demokrasi, iklim demokratis di kelas dan di pesantren serta terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

  Penelitian ini sependapat dengan Rachel Seher (2011) yang menyatakan bahwa, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif untuk menggapai masa depan, dan dari penelitian Mukhyidin (2008) yang menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan pesantren terdapat nilai-nilai demokrasi. Sedangkan, penelitian tidak sependapat dengan Mujamil Qomar (2005) yang menyatakan bahwa, dalam dunia pesantren sangat sulit ditemukan nilai-nilai demokrasi.

  Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini berupa angket, observasi dan wawancara. Sedangkan sumber data sekunder berupa dokumentasi, buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian.

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

  Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

  A. Konsonan

  B. Vokal

  1. Vokal Tunggal

  Tanda

  Nama

  Huruf Latin

  Fath}ah

  D}ammah

  U

  2. Vokal Rangkap

  Tanda

  Nama

  Gabungan Huruf

  Nama

  ل َ...

  Fath}ah dan ya

  Ai

  a dan i

  ك َ...

  Fath}ah dan wau

  : H}usain ينَسُح : h}aul لْوَح

  C. Maddah Tanda

  Nama

  Huruf Latin

  Nama

  اػَػػػ a dan garis di atas يِػػػػ

  Fathah dan alif

  a>

  Kasrah dan ya

  i>

  i dan garis di atas

  وُػػػػ u dan garis di atas

  D}amah dan wau

  u>

  D. Ta’Marbu>t}ah (ة) Transliterasi ta’ marbu>t}ah ditulis dengan ‚h‛ baik dirangkai dengan kata

  sesudahnya maupun tidak contoh mar’ah (ةأرم) madrasah ( ةسردم (

  Contoh: ةرونلماةنيدلما

  : al-Madi>nat al-Munawwarah

  E .Shaddah

  Shaddahtashdi>d pada transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.

  Contoh:

  لّزن : nazzala

  F. Kata Sandang Kata sandang ‚ـلا‛ dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya, jika

  diikuti huruf shamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis ‚al‛ jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya لا ditulis lengkap baik menghadapi al-Qamariyah, contoh kata al-Qamar (رمقلا) maupun al-Shamsiyah seperti kata al-Rajulu (لجرلا)

  Contoh:

  سمشلا : al-Shams

  م لقلا

  : al-Qalam

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

  Dewasa ini banyak terdapat sekolah-sekolah bertaraf internasional yang berkedok menggunakan kurikulum sekolah-sekolah nasional Indonesia. Hal ini mencerminkan adanya perbedaan terhadap anak-anak dari golongan ekonomi kuat dengan anak-anak dari golongan ekonomi lemah untuk menikmati pendidikan. Hal demikian tentunya merupakan suatu penghianatan terhadap pendidikan demokratis

  dan tentunya bertentangan dengan moral Pancasila. 1 Padahal, pendidikan sangat penting bagi setiap individu tanpa memandang status ekonomi maupun sosial

  termasuk anak-anak yang cacat yang cenderung dianggap sebagai minoritas. 2 Hal ini tentunya memerlukan perhatian pemerintah untuk mengatasinya, sehingga

  pendidikan yang bermutu itu juga diberikan kepada masyarakat minoritas maupun secara keseluruhan. 3

  Pada dasarnya ada dua pokok permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia, pertama; masalah pemerataan, yang berarti bagaimana seluruh masyarakat Indonesia bisa menikmati kesempatan pendidikan. Kedua; masalah mutu, dalam arti bagaimana pendidikan memberi dan membekali para

  pelajar memiliki skill yang dapat terjun dalam kehidupan sosial. 4 Dengan demikian, untuk memberikan atau mengasah serta mengembangkan kemampuan yang

  cenderung sudah ada pada siswa, seharusnya orang tua ataupun pihak tertentu tidak memaksakan kehendak anak untuk sekolah yang sesuai keinginan orang tua ataupun

  pihak lain. 5

  Hal ini selaras dengan usulan Djati Sidi yang memberikan dua gagasan, yang diharapkan cocok dengan zaman sekarang. Pertama; mengubah paradigma teaching (mengajar) menjadi learning (belajar) dengan maksud bagaimana proses belajar bersama antara guru dan siswa, kemudian yang kedua; proses yang tidak lagi

  mementingkan subject matter 6 akan tetapi suasana yang menyenangkan saat proses pembelajaran sehingga memberikan efek positif, berfikir intuitif dan holistik pada

  siswa. 7

  1 H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet. Pertama, 2006), 124-125.

  2 Laudan Aron and Pamela Loprest, “Disability and the Education System,” The Future of Children Vol. 22 No. 1 (2012), 97.

  3 Roger Carrington and others, eds. “The Role of Further Government Intervention in Australian International Education,” Higher education Vol. 53 No. 5 (2007), 574.

  4 Umar Tirtarahadja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta; PT Rineka Cipta, Cet-2, 2008), 226.

  5 Terence Mclaughlin, “School Choice and Public Education in a Liberal Democratic Society,” American Journal of Education Vol. 111 No. 4 (2005), 447.

  6 Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Jakarta: Logos, 2001), 27-28.

  7 Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 24-27.

  Manusia diciptakan Tuhan dengan segenap potensi yang ada agar menjadi pribadi yang berintegritas sehingga mampu mengemban tugas sebagai insan kamil, yang diwujudkan melalui proses pendidikan secara utuh dan menyeluruh atau holistik ( ka>ffah) yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan sosial saja, tapi juga dapat mengenal siapa Tuhan yang telah menciptakan dirinya. Istilah pendidikan holistik sering digunakan pada model pendidikan demokratis dan

  humanistik. 8 Menurut Tilaar, pendidikan demokratis mempunyai dua pengertian.

  Pertama, proses pendidikan demokratis ditujukan untuk mengembangkan akal budinya agar individu dapat mengambil keputusan sendiri, bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan juga ikut bertanggung jawab terhadap masyarakat sekitar, mengadakan pertimbangan-pertimbangan untuk mencapai kepuasan yang bermanfaat secara kolektif. Kedua, pendidikan demokratis harus mempunyai sistem yang demokratis dalam arti tidak membedakan antara individu satu dengan individu lain dan memenuhi kebutuhan pendidikan dasar yang bebas dan bermutu untuk

  semua masyarakat. 9

  Menurut Rosyada, sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur demokratis seperti pelibatan masyarakat (stakeholder dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah, mengambil keputusan, pertanggung jawaban kepada publik, memberikan perhatian yang sama pada semua siswa dan tidak membedakan antara individu satu dengan yang lain, serta memberikan pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak berupa perhatian yang seimbang terhadap semua siswa tanpa membedakan antara mayoritas dengan

  minoritas dalam sekolah. 10 Tidak kalah pentingnya juga dalam hal ini aspek empati antar sesama seharusnya ditingkatkan, karena dengan ditingkatkannya rasa

  berempati antar sesama maka kualitas pendidikan maupun sekolah demokratis akan semakin sehat. 11

  Pendidikan demokrasi bukan hanya merupakan suatu prinsip melainkan suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan individu dari kukungan. Sebagai bahan evaluasi tentang pendidikan adalah suatu sistem yang namanya saja sistem demokratis, tapi tidak memberikan kesempatan dan kebebasan bagi individu

  yang merupakan ciri demokrasi. 12 Hal ini senada dengan Ibn Khaldun yang dikutip oleh Kosim, pendidikan Islam mengandung relevansi untuk mengembangkan

  potensi jasmani dan rohani (akal, ruh dan nafs) secara optimal dan bertujuan untuk mendidik manusia agar mampu hidup bermasyarakat dengan baik serta mampu

  8 Agus Zainal Fitri, Proceedings Pendidikan Holistik: Pendekatan Lintas Perspektif, editor: Jejen Musfah “Kumpulan Makalah Seminar Internasional” (Ciputat: Faza Media,

  2011), 31-35.

  9 H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional; Suatu tinjauan Kritis, 123-126. 10 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan

  Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, cet. Keempat, 2013), 18.

  11 Michael E. Morrell, “Empathy and Democratic education,” Public Affairs Quarterly Vol. 21 No. 4 (2007), 381.

  12 H.A.R. Tilaar: Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 150.

  membangun masyarakat yang berperadaban maju serta bertujuan untuk mendidik manusia agar mampu melakukan aktivitas yang bernilai ibadah. 13

  Menurut Assegaf, metode pendidikan dan pengajaran Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi, Islam memang tidak menjelaskan bagaimana bentuk demokrasi yang dianut, namun ajaran Islam mengandung prinsip kata kunci dari isu demokrasi, diantaranya; ta‟aruf, shura,

  ta‟awun, mas}lahah, a‟dalah dan taghyir. 14 Menurut Audah yang dikutip oleh Abdul Halim, bahwa konsep Islam tentang demokrasi inilah yang dicontoh oleh negara Barat yang mengaku sebagai pelopor demokrasi, apa yang dikembangkan oleh Barat akan demokrasi tidak membawa perubahan yang signifikan, bahkan mengikuti dan

  mempraktikan ajaran Islam tentang demokrasi. 15 Bahkan al-Qur‟an pun telah memberikan isyarat akan pentingnya berdemokrasi. 16

  17           

  Artinya:“Dan orang-orang yang memenuhi Seruan Tuhan mereka dan mereka melaksanakan salat dan urusan mereka adalah musyawarah antara mereka; dan dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan”.

  Istilah demokrasi memang muncul dan dipakai pada kajian politik, karena isu tentang sekolah demokratis di Indonesia masih relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademik pendidikan. Adapun mekanisme demokrasi antara politik dengan lembaga pendidikan tidak sepenuhnya sesuai, namun pendidikan demokratis

  secara subtantif membawa semangat demokrasi. 18 Secara etimologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan cratein atau cratos

  13 Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun: Kritis, Humanis dan Religius (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 126-127.

  14 Lebih jelasnya lihat. Rachman Assegaf, Filsafat Pendiikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Iteraktif-Interkonektif (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. Ke-

  3, 2014), 287-293.

  15 Abdul Halim, Islam dan Demokrasi Pendidikan (Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia, Cet. Ke. I, 1989), 100.

  16 Dalam surah ash-Shura ayat 38. Hamka menafsirkan, hasil iman bukan saja untuk dirinya sendiri melainkan membawa juga akan hubungannya dengan antar manusia lainnya

  yang diawali dengan s}halat berjamaah dan s}halat jum’at berjamaah yang pendasaran bermasyarakat. Dengan begitu akan tumbuh urusan bersama dan dipikul bersama serta inilah yang dinamai demokrasi atau gotong-royong. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 25 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 36.37.

  17 Lihat al-Qur’a>n s. al-Shu>ra>42:38. 18 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah model Pelibatan

  Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, 15-16.

  (kekuasaan). Dengan demikian, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. 19

  Menurut Mastuhu, memang lahan kegiatan demokrasi sebagian besar adalah politik, namun demokrasi bisa dihubungkan dengan pendidikan karena demokrasi menyediakan kesempatan dan peluang terbaik untuk membangun kehidupan yang baik, bermartabat dan terhormat, dengan menawarkan prinsip keterbukaan, kesamaan, kesempatan dan tanggung jawab. Namun pendidikan demokrasi tidak dapat berlaku dalam masyarakat yang budaya akademik dan sumber daya manusianya cenderung rendah walaupun demokrasi pendidikan sudah

  disosialisasikan secara luas. 20

  Wacana pendidikan kritis merupakan kontribusi penting yang tidak hanya bagi dunia pendidikan dan sekolahan, namun juga menciptakan lingkungan demokratis pada tingkat pendidikan, kemasyarakatan dan negara keseluruhan namun mereka gagal untuk mensosialisasikan dan diseminasi demokrasi, kegagalan ini bersumber pada; pertama secara subtantif PPKn, Pancasila dan kewiraan tidak terfokus pada pendidikan demokrasi namun berpusat pada idealistik, legalistik dan normatif. Kedua, tidak berkembangnya materi-materi pendidikan demokrasi dan pendidikan kewargaan karena pendekatan dalam pembelajaran hanya bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, PPKn,

  Pancasila, Kewiraan lebih bersifat teoritis dari pada praktis. 21

  Beberapa penelitian

  tentang pendidikan demokratis menunjukkan bahwa betapa pentingnya jika demokrasi 22 diterapkan pada suatu sekolah untuk memberikan kesempatan yang

  besar kepada masyarakat, pendidik dan siswa. Dengan demokrasi tersebut diharapkan semua elemen mampu menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik lagi bijak, 23 yang pada akhrinya melahirkan individu-individu yang kreatif, cerdas,

  nasionalis dan beriman.

  Penerapan pembelajaran demokratis dalam mengembangkan kreativitas siswa, dalam tesis ini dinyatakan bahwa adanya pembelajaran demokratis di Madrasah Aliyah Pembangunan UIN Jakarta karena pendidikan demokratis adalah

  19 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education):

  Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media Group, Cet-3, 2008), 39.

  20 M. Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner (Jakarta: Lentera Hati, Cet. -1, 2007), 37-42. Baca juga Helleli Pinson, “Inclusive Curriculum? Challenges to the Role of

  Civic Education in a Jewish and Democratic State,” Curriculum Inquiry Vol. 37 No. 4 (2007), 351.

  21 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan demokratisasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Cet-1, 2002), 151-159.

  22 Menurut Mastuhu, paradigma baru pendidikan Islam tidak akan pernah berhenti sesuai dengan tantangan zaman yang harus berubah dan berkembang, upaya untuk mencari

  paradigma baru selain mampu membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar dan trategis yang proaktif dan antisipatif, juga harus mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar dan diyakini untuk terus dipelihara dan dikembangkan. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, Cet. Ke. I, 1999), 3-4.

  23 Nora E. Hyland, “Detracking in the Social Studies: A Path to a More Democratic Education?,” Theory into Practice 45 (1) (2006), 70.

  pendidikan yang menginginkan seorang pendidik dan peserta didik sama-sama aktif dalam proses pembelajaran yang terlaksana dalam beberapa hal-hal yang telah

  dibuktikan. 24 Penelitian lain dalam pendidikan dilakukan oleh Mukhyidin dalam tesisnya demokrasi dalam sistem pendidikan di pesantren, ia menyatakan bahwa

  pendidikan pesantren terdapat nilai-nilai demokrasi. 25 Kemudian penelitian dari Munziah dalam tesisnya Demokratisasi Pendidikan Islam di Indonesia menyatakan

  bahwa, demokratisasi sangat besar pengaruhnya bila diterapkan disekolah, karena salah satu sarana pendidikan di sekolah ialah kurikulum dan pembelajaran yang

  efektif 26 .

  Menurut Fachruddin, gagasan pendidikan demokrasi dapat dikelompokkan menjadi empat 27 : mengembangkan kapabilitas pemikiran dan partisipasi masyarakat

  yang bertanggung jawab, memberikan seperangkat nilai-nilai inti demokrasi, 28 mengajarkan bagaimana mengunakan konsep demokrasi dan menjunjung tinggi

  prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menjadi warga negara yang efektif atau terpelajar. Kemudian menurut Zamroni, pendidikan demokrasi menekankan pada kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Adapun nilai nilai demokrasi antara lain, bebas mengemukakan dan menghormati perbedaan pendapat terbuka dalam komunikasi, menjunjung tinggi nilai martabat kemanusiaan, percaya diri dan saling

  menghargai. 29 Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mengubah tingkah laku. Sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam GBHN; membentuk

  manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, mengembangkan kreativitas, tanggung jawab, demokrasi dan

  24 Adanya sifat kepemimpinan kepala sekolah yang terbuka sehingga jika ada keputasan yang tidak dianggap efektif maka bisa dirubah, kedua; memakai metode yang

  sesuai dengan pelajaran sehingga santri menyenangi pelajaran dan metode tersebut. Ketiga; adanya rapat guru setiap seminggu sekali agar bisa mengetahui permasalahan dan penyelesaiannya. Keempat; lengkapnya sarana prasarana dalam pembelajaran yang bisa mendukung pendidikan demokrasi berlangsung. Jamaludin, “Penerapan Pembelajaran Demokratis Dalam Mengembangkan Kreativitas Siswa: Studi Kasus Pembelajaran PAI di MA Pembangunan UIN Jakarta,” (Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 215- 216.

  25 Pesantren mempunya sikap independen yang tidak terkait dengan pihak manapun sehingga bisa memutuskan keputusan dengan bebas tanpa terkait dengan hal apapun. Kedua;

  pendidikan yang tidak melihat latar belakang sehingga pendidikan pesantren yang terbuka bagi siapa saja. Ketiga; pendidikan yang memiliki sosial yang tinggi bagi siapun dan tidak menggunakan kekerasan. Mukhyidin, “Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren,” (Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007)

  26 Ismarianty Munziah, “Demokratisasi Pendidikan Islam di Indonesia,” (Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).

  Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), 43-45.

  28 Seperti menghormati perbedaan yang masuk akal, pandangan berbeda menghargai hak minoritas peduli terhadap orang lain, keadilan, partisipasi dan kebebasan.

  29 Zamroni, Pendidikan dan Demokrasi Dalam Transisi: Prakondisi Menuju Era Globalisasi (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007), 157-160.

  sebagainya. 30 Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya akan preseden kewarganegaraan termasuk Islam demokratis, sehingga beberapa Muslim berpegang

  pada cita-cita demokrasi, lebih lanjut menurut Huntington yang dikutip oleh Robert W. Hefner, bahwa prinsip demokrasi bertentangan dengan banyak kebudayaan dan mengakui bahwa beberapa peradaban menghendaki demokrasi akan tetapi sebagian

  besar tidak. 31

  Pendidikan juga bisa menyangkut pada kepentingan siswa, kepentingan masyarakat dan tuntutan pada lapangan pekerjaan. Pendidikan selalu diarahkan pada

  kemaslahatan dan kesejahteraan para siswa, karena tujuannya bersifat positif maka proses pendidikan juga harus selalu positif, konstruktif dan normatif. 32 Hal ini

  selaras dengan konsep Ibn Sina yang dikutip oleh Abuddin dalam disertasinya mengenai tujuan pendidikan, bahwa tujuan pendidikan mengarahkan pertumbuhan individu dari segi jasmani dan rohani, mempersiapkan individu agar dapat hidup di masyarakat melalui pekerjaan atau keahlian yang dipilih. 33

  Penerapan sistem demokratis dan berfikir kritis oleh pendidik (Guru) bagi siswa mesti dioptimalkan pada setiap proses pembelajaran 34 agar siswa tidak merasa

  jenuh, merasa menonton, mendengar saja dari guru, akan lebih laik jika pendidik berusaha mencari pendekatan-pendekatan yang menarik sehingga siswa merasa nyaman saat belajar. Karena dalam proses pembelajaran, guru adalah pemimpin bagi siswa di kelas, dalam hal inilah guru berusaha memberikan keluasan untuk

  menerapkan konsep demokratis bagi siswanya. 35 Berkaitan dengan pendidik, seorang pendidik mesti punya niat dan keberanian untuk mencoba pendekatan atau

  metode baru dalam proses pembelajaran di sekolah agar suasana pembelajaran sangat kondusif serta pendidik dapat mengontrol situasi bukan pendidik yang dikontrol oleh situasi. 36

  Menilai suatu kualitas SDM (sumber daya manusia) suatu bangsa secara umum tergambar dari mutu pendidikan bangsa itu sendiri, faktanya bahwa mutu guru di Indonesia dinilai masih diperhitungkan. 37 Dengan demikian, guru mesti

  30 Soekidjo Natoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet. Ke-3, 2003), 41-42.

  31 Robert W. Hefner, Civil Islam; Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terj. Ahmad Baso (Jakarta: ISAI bekerja sama dengan The Asia Foundation, 2001),17-21.

  32 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. Ke-4 2007), 4-5.

  33 Abuddin, “Konsep Pendidikan Ibn Sina,” (Disertasi S3 Bidang Ilmu Agama Islam, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997), 212.

  34 Rahima C. Wade, “Social action in The Social Studies: From the Ideal to the Real,” Theory into Practice 40 (1) (2001), 24.

  35 Sarbapriya Ray and Ishita Aditya Ray, “Understanding Democratic Leadership: Some Key Issues and Perception With Reference To India‟s Freedom Movement,” Afro

  Asian Journal Of Social Sciences Vol. 3 No. 3.1 (2012), 1.

  36 M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning; Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan (Jakarta: Kencana,

  2009), 103-104. Baca juga artikei Diana E. Hess, “Controversial Issues in Democratic Education,” Political Science and Politic 37 (2) (2004), 260.

  37 Input guru di Indonesia sangat rendah. Data Balitbang Depdiknas (1997) menunjukkan dari hasil tes calon guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata rata- 37 Input guru di Indonesia sangat rendah. Data Balitbang Depdiknas (1997) menunjukkan dari hasil tes calon guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata rata-

  siswa. 38 Senada dengan apa yang disampaikan oleh Rooijakkers, bahwa hubungan yang baik antara guru dengan siswa tentu akan menciptakan suasana yang baik,

  karena seorang pengajar dapat melakukan dengan memberi perhatian secukupnya

  pada murid. 39 Pandangan mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Oleh karena itu, Sanjaya menjelaskan tiga alasan penting yang menuntut perlunya perubahan paradigma mengajar. Pertama, siswa bukan orang dewasa dalam bentuk mini, akan tetapi organisme yang sedang berkembang. Kedua, setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Ketiga, penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi yang mengakibatkan pemahaman baru terdapat konsep perubahan tingkah

  laku. 40 Menurut Quthb, bukanlah suatu keliruan jika menyatakan kemampuan setiap individu berbeda antara individu yang satu dengan yang lain. Dengan demikian,

  proses pendidikan tidak akan melakukan kesalahan jika mengakui ada sementara individu yang dilahirkan dengan memiliki kemampuan yang baik dan kurang. 41

  Proses pendidikan yang dinamis akan membawa dampak baik bagi siswa maupun bagi pendidik, dalam arti dinamis yang melibatkan bagaimana ikatan emosional terjalin dengan baik dengan siswa di kelas. Dengan demikian, hubungan yang dinamis ini secara berangsur-angsur membentuk suatu komunitas yang lebih

  besar dalam ruang lingkup bangsa dan negara. 42 Menurut Mahmud, memahami emosi siswa dapat membuat pembelajaran lebih berarti, lebih lanjut menurut

  Walberg yang dikutip oleh Mahmud, siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya

  rata skor tes seleksinya sangat rendah, dari 6.164 calon guru Biologi ketika dites Biologi rata-rata skornya 44.96; dari 396 calon guru Kimia ketika dites Kimia rata-rata skornya hanya 43,55; dari 7.558calon guru Bahasa Inggris rata-rata skornya hanya 37,57; dari 7.863 calon guru Matematika ketika dites Matematika rata-rata skornya hanya 27,67; dan dari 1.164 calon guru Fisika ketika dites Fisika rata-rata skornya hanya 27,35. Kunandar, Guru Profesional; Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 41.

  38 Kunandar, Guru Profesional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 41-51. Lihat juga Marianna Papatephanou (Riview), “Democratic Education Stretched Thin: How

  Complexity Challenges a liberal Ideal by David J. Blacker,” British Journal of Education Studies 56 (3) (2008), 358.

  39 Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses; Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran (Jakarta: PT Grasindo, cet. Ke 10, 2003),24.

  40 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007), 98-99.

  41 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam terj. Afif Mohammad (Bandung: Pustaka, cet. Ke-1 1984), 37-38.

  42 Rodrigo J. Veliz, “Education in Communiyis of Population in Resistance in the Ixcan: State denial and education mediation,” Interamerican Journal of Education for

  Democracy Vol. 4 No. 2 (2013), 11.

  memuaskan, menantang, ramah dan siswa mempunyai kesempatan terlibat dalam membuat keputusan dalam proses belajar. 43

  Mempunyai kesempatan terlibat dalam membuat keputusan dalam proses belajar merupakan bentuk dari tipe demokratis yang ditawarkan guru kepada siswa. 44 Dengan demikian, suasana pembelajaran akan lebih menarik minat para

  siswa. Lewin dan koleganya berpendapat tentang tipe kepemimpinan yang dikutip

  oleh Bimo Walgito 45

  , tiga macam tipe kepemimpinan, yaitu tipe otoriter 46 ,

  47 demokratik 48 dan lasses faire. Dengan tipe demokratis diharapkan siswa berani untuk menyampaikan pendapatnya kepada guru sehingga tercipta suasana proses

  pembelajaran yang menarik dan dapat berkesan bagi siswa secara keseluruhan.

  Banyak penelitian psikologi perkembangan yang melihat bagaimana cara pengasuhan orang tua dapat mempengaruhi kepribadian anak, sehingga Islam cenderung mengajarkan orang tua kepada anak-anak dengan gaya demokratis atau otoritatif, dengan pendidikan gaya otoritatif anak akan mempunyai kompetensi

  tinggi serta penyesuaian diri yang baik. 49 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani, Rasulullah bersabda, akrabilah anak-anakmu dan didiklah

  mereka dengan adab yang baik 50 Ada beberapa aliran yang memberikan gambaran pada perkembangan anak dan memberikan dampak ketika perkembangan ini

  berlanjut Pertama aliran nativisme, tokoh utama aliran ini adalah Arthur Schopenhauer, yang berpendapat bahwa manusia yang baru lahir telah memiliki bakat dan pembawaan berasal dari orang tua sehingga pendidikan tidak dapat diubah dan berkembang dengan sendirinya. Kedua, aliran empirisme yang dipelopori John Locke, berpendapat bahwa anak yang baru lahir laksana kertas yang putih (tabula rasa) sehingga proses pendidikan dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan. Ketiga, aliran konvergensi yang dipelopori Louis William Stren yang

  menggabungkan antara pembawaan dan lingkungan. 51

  43 Mahmud, Psikologi Pendidikan Mutakhir (Bandung, Sahifa, cet. Ke-2 2006), 213- 215. Layak juga dibaca Megan boler, “Democratic Dialogue in education: Troubling Speech,

  Disturbing silence” Chicago Journals Vol. 8, No. 1 (Spring 2011), 202.

  44 Michele Schweisfurth, “Democratic and Teacher Education: Negotiating Practice in the Gambia,” Comparative Education 38 (2002), 312-313.

  45 Bimo Walgito, Psikologi Sosial; Suatu Pengantar (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2003), 109.

  46 Pemimpin otoriter memberikan kepemimpinannya menggunakan otoritas yang ada, memaksakan pendapat pemimpin agar dapat diterima oleh yang dipimpin.

  47 Pemimpin demokratik memberikan kesempatan kepada yang dipimpin untuk ikut terlibat dalam bagian.

  48 Pemimpin Laissez faire memberikan kebebasan sepenuhnya kepada yang dipimpin dan pemimpin tidak ikut serta dalam kegiatan.

  49 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami; Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian (Jakarta: PT.

  Rajagrafindo Persada, 2008), 207-209.

  50 Dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani, juga hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “Muliakanlah (hormatilah) anak-anakmu dan didiklah mereka

  dengan adab yang baik.

  51 Alex Sobur, Psikologi Umum (Bandung:CV Pustaka Setia, 2003), 147-149.

  Dari semua aliran tersebut, penulis cenderung tidak sependapat dengan aliran nativisme, karena aliran ini menekankan bahwa pendidikan tidak memberikan pengaruh yang positif pada perkembangan manusia. Asumsi dasarnya, jika pendidikan tidak berpengaruh pada manusia bagaimana manusia akan memahami eksistensinya di pentas bumi ini? Dengan adanya pendidikan, maka manusia akan terus belajar dan bermusyawarah untuk mencari jalan yang terbaik bagi kebaikan manusia. Hal ini senada dengan pendapat Dewey yang dikutip oleh Assegaf, bahwa manusia dipandang sebagai makhluk yang senantiasa berkembang dan berubah

  (progresif-aktif). 52

  Beberapa penelitian telah dilakukan yang berkaitan dengan pendidikan demokratis diantaranya: Belajar dan mengajar harus menjadi sebuah proses yang demokratis. Guru mampu untuk mengajak peserta didiknya untuk berpikir kritis, kreatif, bebas dan guru mampu memahami gaya bahasa mereka agar tercipta suasana

  yang kondusif untuk belajar 53 . Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kebebasan bagi siswanya untuk berfikir kreatif, kritis dan berperilaku

  produktif, inovatif untuk menggapai masa depan. 54

  Antara sistem dan SDM cenderung berkorelasi untuk pendidikan yang diinginkan, seperti ungkapkan Nizam yang dikutip oleh Muhammad Rifai, pembenahan kualitas SDM bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan butuh waktu yang relatif lama, dan tentu sikap optimis harus dikembangkan karena SDM adalah

  kunci utama. 55 Hal ini selaras dengan penelitian pada negara-negara yang sedang berkembang, penelitian mendukung ide common sense yang menyatakan bahwa

  ketetapan sumber daya dasar, dalam kontek ini tentang tantangan masa depan terletak pada mendalam dan seringnya studi mengenai kondisi pengajaran. 56

  Sumber daya manusia sekarang yang cenderung rendah telah memberikan dampak pada kenakalan remaja, hamil diluar nikah dan masih berstatus pelajar, jika dicermati dengan bijak tidak mesti seorang individu yang melanggar disiplinier dihukum seperti pemberhentian dari sekolah karena menyangkut reputasi sekolah. Hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung Kolombia yang mengkonfirmasi

  52 Rachman Assegaf, Filsafat Pendiikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Iteraktif-Interkonektif, 139.

  53 Frederick Ugwu Ozor, “Challenges Of Education For Democracy in The Gambia,” African Journal of Teacher Education 1(2010), 243. Lihat juga Sheron Fraser-

  Burgess, “Problems With a Weakly Pluralist Approach to Democratic education,” The Pluralist 4 (2009), 2.

  54 Mundzier Suparta, ‚Pendidikan Transformatif Menuju Masyarakat Demokratis,‛ Islamica 7 (2013), 423. Baca juga Rachel seher, ‚Forging Democratic Space: Teachers and

  Students Transforming Urban Public School from the Inside,‛ Chicago Journals Vol. 8 No.

  1 (2011), 187. Carrie lobman, ‚Democratic and Development: The Role of Outside-of-

  School Experiences in Preparing Young People to Be Active Citizens,‛ Democratic Education

  19 (1), 1. 55 Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

  56 Jaap Scheerens, Peningkatan Mutu Sekolah; Buku Serial Perencanaan Pendidikan terbitan UNESCO (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization) terj.

  Abas Al-Jauhari (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-1, 2003), 74.

  bahwa aturan sekolah yang memberikan hukuman terhadap kehamilan dengan menskor anak perempuan dari sekolah dan memindahkan mereka ke tutorial seharusnya diubah, pengusiran anak perempuan yang tengah hamil menunjukkan

  disiplin sekolah yang tidak bisa diterima. 57

  Menurut Besse seorang pakar psikologi pendidikan yang dikutip oleh Basya, bahwa remaja diartikan sebagai masa pemberontakan dan pembangkangan, 58

  kemudian remaja diartikan dengan masa belajar melepas diri dari persoalan tentang diri sendiri, mencari identitas karena statusnya tidak jelas, fase yang cenderung

  negatif dan sukar untuk anak dan orang tua, fase yang berubah-ubah bahkan mengabaikan keluarga 59 . Teori-teori perkembangan remaja yang diadopsi dari

  Barat 60 bila di renungkan sejenak akan memberikan pandangan yang cenderung menyudutkan remaja, sehingga wajar apabila kenakalan remaja sekarang cenderung

  meningkat. 61 Oleh karena itu, untuk mengatisipasi serta menekan kenakalan remaja, pendidikan agama yang bersifat demokratis akan membantu para remaja menjadi

  lebih baik lagi. 62

  Namun demikian, tidak semua para pemerhati perkembangan remaja sepakat dengan teori-teori yang dikemukakan. Seperti pendapat Mujib, bahwa masa

  remaja adalah masa pertama kali diberikan beban agama (hukum taklifi) 63 .

  Masalah dan

  Penyelesaiannya terj. Janet Dyah Ekawati (Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM Indonesia, 2003), 165.

  58 Hasan Syamsi Basya, Mendidik Anak Zaman Kita; Cara Nabi dan Psikolog Muslim Mengantar Anak Jadi Lebih Cerdas, Lebih Saleh, ter. Muhammad Zainal Arifin,

  judul asli Kayfa Turobbi > Abna>’aka fi> Ha>dza al-Zama>n (Jakarta: Zaman, cet. Ke. 1, 2011), 298.

  59 Baca, Alex Sobur, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003),130-137. 60 Uichol Kim mengkritisi psikologi Barat yang menyamaratakan pandangan

  psikologinya sebagai human universal. Lihat lebih jelas Achmad Mubarak, Psikologi Keluarga; Dari Keluarga sakinah Hingga Keluarga Bangsa (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005). Hal ini juga didasarkan pada hasil penelitian dari Margaret Mead yang menyatakan bahwa anak-anak remaja Samua ternyata tidak mengalami apa yang disebut storm and stress. Fuad Nashori, Agenda Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke. I, 2002), 39.

  61 Kualitas kenakalan remaja semakin meningkat dan kenakalan sudah di luar batas pelajar. Mulai. Melarikan diri setelah menyiramkan air panas, perbuatan ini seperti pelaku

  kriminal jalanan kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto. Diakses melalui http:megapolitan.kompas.comread201310080920254Kenakalan.Remaja.Makin.Mence maskan pada tanggal 24 Desember 2013 pukul 18.52 WIB.

  62 Philip Schwadel, “ The Effects of Education on American Religious Practices, Beliefs, and Affiliations,” Review of Religious Research Vol. 53 No. 2 (2011), 161.

  63 Baca, Said Agil Husin Al Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh; Telaah Konsep Al-Nadb Al-Karahah dalam Istimbath Hukum Islam (Jakarta, Ciputat press,

  2004)), 17. Tugas perkembangan remaja bukan hanya mencari hubungan baru dengan teman sebaya, tetapi lebih mengarah pada tugas-tugas sebagai seorang mukallaf (yang terkena beban agama), karena masa puber ini adalah masa pertama dikenai hukum taklifi. Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 388-389

  Begitupun juga pendapat Ruqayyah, bahwa Allah tidak memandang remaja muslim sebagai anak-anak, kedewasaan akan dicapai sekitar usia duabelas tahun dan telah mempunyai buku kehidupan dewasanya sendiri, dan menganggap keliru dengan gagasan bahwa masa remaja adalah masa antara dari anak-anak, karena awal masa

  pubertas adalah awal kedewasaan serta akhir dari masa kanak-kanak. 64

  Al-Qur‟an memandang usia pubertas (remaja) sebagai bentuk dari

  kematangan pada alat reproduksi seksual dan menandai kematangan aspek-aspek yang lainnya juga. 65 Hal ini selaras dengan pendapat Shehu, bahwa remaja adalah

  masa pertama awal taklif, sehingga remaja bertanggungjawab atas semua perbuatan yang dilakukan. 66 Disadari atau tidak, teori perkembangan remaja yang diadobsi

  cenderung memberikan paradigma kepada remaja yang berorientasikan pada teori Barat yang cenderung tidak bisa menjadi model kajian bagi masyarakat Muslim. 67

  Proses perkembangan prilaku dipengaruhi oleh tiga faktor, faktor bawaan, kematangan dan lingkungan. Sementara menurut Purwakania, proses perkembangan dan pertumbuhan dipengaruhi melalui faktor hereditas, lingkungan dan faktor

  ketentuan Allah. 68 Adapun pendekatan dan pemecahan masalah bagi remaja menurut makmun, salah satu yang paling strategis ialah pendekatan melelui pendidikan. 69

  Hasil penelitian tentang kehamilan remaja menunjukkan bahwa minimnya pemahaman remaja tentang pendidikan seks, dengan demikian guru yang yang sekaligus teman diupayakan untuk memberikan solusi serta nasihat kepada anak didiknya. Dengan demikian, sekolah harus berkewajiban membina dimensi agama

  64 Ruqayyah Waris Maqsood, Mengantar Remaja ke Surga; Bimbingan untuk Orangtua, Remaja, dan Pasangan Muda dalam Menghadapi Problem-Problem Kehidupan

  Keluarga, ter. Alwiyah Abdurrahman, judul asli Living with Teenagers (A Guide for Muslim parents) (Bandung, Al-Bayan, 1997), 29.

  65 Pubertas berasal dari bahasa latin “pubescare” yang berarti menjadi berbulu. Nabi Muhammad menggunakan konsep ini untuk membedakan antara anak-anak dengan orang

  dewasa, di saat Nabi memisahkan antara orang dewasa dan anak-anak pada perang Bani Quraizah. Berdasarkan hadis dari Ibn Umar, batas usia pubertas pada masa itu adalah 15 tahun. Namun, pada saat sekarang usia pubertas terlihat lebih cepat. Lihat Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), 109-110.

  66 Salisu Shehu, “Toward an Islamic Perspective of Developmental Psychology,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 15, No. 4, 58.

  67 Kesimpulan al-Faruqi yang dikutip oleh Aliah B. Purwakania Hasan dalam buku Psikologi Perkembangan Islami, “Penelitian humanistik yang dilakukan oleh orang Barat dan

  analisis sosial bagi masyarakat Barat sepenuhnya adalah bersifat “Barat” dan tidak dapat menjadi model kajian bagi seorang Muslim atau masyarakatnya”. Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami.

  68 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembanagan Islami: Menyingkap

  Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran Hingga Pascakematian (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2006), 34.

  69 Lihat lebih jelas Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan: Perangkat Sistem Pengajaran Modul ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, Cet. Kedelapan, 2005),

  135-138.

  bagi para siswanya. 70 Menurut Ancok, untuk mengatasi kegiatan seksual di luar nikah bisa dilakukan dengan pendekatan preventif, yakni dengan menanamkan nilai-

  nilai agama yang berorientasikan pada ayat-ayat al-Qur‟an melalui cerita tentang kejadian manusia, perkembangan bayi dalam kandungan. 71

  Salah satu pendidikan yang menanamkan nilai-nilai agama adalah pesantren, walaupun kesan ataupun respon terhadap pesantren bervariasi, positif dan negatif. 72

  Terlepas dari itu semua, sesungguhnya peran pesantren sangat memungkinkan untuk memberikan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, dalam segi pendidikan, pesantren cukup relevan untuk turut andil dalam pembangun bangsa Indonesia yang mempunyai nilai demokrasi. Karena pada dasarnya, pesantren dalam perkembangannya sekarang mempunyai nilai-nilai pendidikan yang

  demokratis. 73 Apalagi jika pesantren dihadapkan pada perkembangan dunia, pesantren harus memberikan respon yang mutualitis, karena kemajuan informasi dan

  komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. 74 Terkait terhadap pesantren yang diasumsikan alergi terhadap perubahan jelas tidak beralasan dan juga tidak

  berdasar. 75

  Tantangan kedepan dalam pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses globalisasi dan kemampuan berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional. 76 Dengan demikian, pesantren sebagai wadah pembentukan pribadi-

  pribadi yang berintegritas harus memberikan pendidikan yang bersifat proporsional, dalam arti keseimbangan antara pendidikan agama, sains, dan teknologi. Hal ini senada dengan malik Fadjar, bahwa pesantren dituntut melakukan kontekstualisasi,

  tanpa harus mengorbankan watak aslinya. 77

  Menurut Komaruddin Hidayat, melihat pengaruh global saat ini pesantren menjadi alternatif bagi orang tua untuk menitipkan anak-anaknya untuk belajar

  dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. 78 Dalam hal ini, pesantren tidak hanya membekali ilmu-ilmu agama, namun berbagai aktivitas yang menunjang kreatifitas

  dan mandiri bagi anak-anak didiknya, seperti berkebun, menjahit, kursus komputer,

  70 Siebren Miedema and Gerdien Bertram-Troost, “Democratic citizenship and religious education : challenges and perspectives for shools in the Netherlands,” British

  Journal of Religion Education Vol. 30 No. 2 (2008), 123.

  71 Djamaludin Ancok, Fuat Nashori, Psikologi Islami; Solusi Islam atas Problem- problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet ke- VII, 2008), 32-33.

  72 Baca Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1997).

  73 Menurut Mujamil Qomar, bahwa hampir tidak ada budaya kritik, komentar, atau koreksi di pesantren. Untuk lebih jelas lihat Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam:

  Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005).

  74 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta: CRSD Press, 2005), 43. 75 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,

  76 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam : Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademik (Jakarta: Logos, Cet. 1. 1999), 276.

  77 Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 115. 78 Komaruddin Hidayat, Kiai dan Dunia Pesantren, Dalam Buku Mereka Bicara

  Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT Pajagrafindo Persada, Cet. 1. 2009),

  kursus otomotif, berternak, tata busana dan lain sebagainya. 79 Menurut Mas‟ud, jika metode pendidikan Punishment-oriented dan reward-oriented masih berat sebelah

  maka proses pendidikan akan melahirkan generasi yang tidak kreatif, penakut, tidak percaya diri dan tidak mandiri. 80

  Pesantren sesungguhnya adalah miniatur bangsa Indonesia, santri yang datang dari pelbagai latar belakang ekonomi, pendidikan dan budaya. Semua dididik secara bersama tanpa membedakan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, pesantren telah mengajarkan persamaan hak dan kewajiban santri dan sekaligus mengajarkan sikap bertoleransi dan tolong menolong. Begitupun dengan sistem pendidikan. Jika pada tahun 1990-an dan sebelumnya pesantren hanya mengkaji teks-teks klasik ( normatis dan fiqih centris) namun sekarang pesantren

  telah melakukan kontekstualisasi ajaran agama yang lebih bersifat sosiologis. 81

  Salah satu pesantren yang memiliki nilai-nilai demokratis adalah pondok pesantren Darun Najah Ulujami Jakarta. Hal ini terlihat dari visi Darun Najah “menciptakan kader umat yang ber-tafaqqahu > fi> al-Di>n, bertaqwa kepada Allah swt. berakhlak mulia, berpengetahuan luas, terampil dan ulet. Dengan demikian, sistem yang dibangun oleh pesantren Darun Najah ini tidak hanya memberikan pendidikan agama namun juga memberikan fasilitas pendidikan umum. 82