Hubungan Self Regulated Learning Dengan Kecemasan Akademis Pada Siswa Kelas 3 SMA Negeri 1 Kabanjahe

BAB II
LANDASAN TEORI

A. KECEMASAN AKADEMIS
1. Pengertian Kecemasan Akademis
Nevid (2005) menjelaskan bahwa kecemasan sebagai salah satu keadaan
emosional dengan adanya ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis, perasaan
tegang yang tidak menyenangkan, serta perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang
buruk akan terjadi. Perasaan yang membuat individu merasa tegang, takut yang
menganggu aktivitas yang beragam dalam situasi akademis disebut juga
kecemasan akademis.
Kecemasan akademis sering dialami pada saat individu selama latihan
yang bersifat rutinitas dan diharapkan individu mampu menunjukkan performa
sebaik mungkin, serta saat sesuatu yang yang dipertaruhkan bernilai sangat
tinggi. Gangguan serius menjelaskan terjadinya kepanikan dan sulit untuk
berfungsi secara normal (O’Connor, 2007).
Selanjutnya

Otten

(1991)


kecemasan

akademis

mengacu

pada

terganggunya pola pemikiran dan respon fisik serta perilaku karena kemungkinan
performa yang ditampilkan siswa tidak diterima secara baik ketika tugas-tugas
akademis diberikan. Kecemasan akademis adalah masalah penting yang
mempengaruhi sejumlah besar individu yang melakukan aktivitas akademis.
Kecemasan, khususnya kecemasan akademis yang dialami individu menjadikan
individu berperilaku kurang sesuai, seperti kesulitan mengerjakan soal-soal tes.

12
Universitas Sumatera Utara

13


Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan
akademis adalah suatu dorongan pikiran dan perasaan yang membuat individu
merasa takut, tegang, serta khawatir terhadap ancaman dimasa mendatang yang
menganggu aktivitas akademis dan mempengaruhi prestasi akademis.
2. Gejala Kecemasan Akademis
Gejala Kecemasan Akademik O’Connor (2007), membagi gejala-gejala
kecemasan akademik menjadi 2, yaitu :
a) Menurut O’Connor (2007), Ada beberapa gejala kecemasan akademik yang
ringan, yaitu :
a. Pusing.
b. Mual atau sakit perut.
c. Berkeringat pada telapak tangan.
d. Bercak merah di wajah.
e. Wajah memerah (merona).
f. Sakit kepala.
g. Kenaikan pada nada suara saat berbicara.
h. Pikiran negatif tentang kegagalan mengerjakan tugas.
i. Keraguan pada diri sendiri terkait kemampuan yang dimiliki.
j. Ketakutan akan merasa malu di depan teman sekelas, dan guru.

k. Takut gagal.
b) Menurut O’Connor, (2007) ada beberapa gejala kecemasan akademik yang
berat, yaitu :
a.

Mati rasa di tangan dan kaki.

Universitas Sumatera Utara

14

b.

Hipokondria.

c.

Kesulitan tidur.

d. Pusing berat atau kehilangan kesadaran.

e. Kesulitan bernapas dan perasaan menjadi tersendat.
f. Pikiran yang paranoid seperti dinilai buruk oleh orang lain.
g. Obsesif, pikiran berulang yang sulit berhenti.
h. Takut malu di depan teman sekelas dan guru.
i. Takut merasa cemas.
j. Depresi.
k.

Kesedihan dan merasa khawatir terhadap beban yang berat.

l. Panik dan kesal yang terus menerus tanpa masalah atau peristiwa
tertentu.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gejala
kecemasan akademis dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala kecemasan akademis
yang ringan dan gejala kecemasan akademis yang berat. Gejala kecemasan
akademis yang ringan dapat menyebabkan individu mengalami sakit kepala, mual
pusing dan lainnya, sedangkan untuk gejala kecemasan akademis yang berat dapat
berupa gangguan psikologis yang mana individu mengalami depresi.
3. Karakteristik Kecemasan Akademis
Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri

keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan
perasaan gelisah atau aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Hal ini
menunjukkan karakteristik kecemasan secara umum, maka sekarang merujuk

Universitas Sumatera Utara

15

pada kriteria kecemasan akademis. Ottens (1991) berpendapat bahwa ada empat
karakteristik yang ada pada kecemasan akademis.
a. Pola-pola kecemasan yang menyebabkan kecemasan mental (Patterns of
Anxiety-Engedering Mental activity).
Pertama dan yang terpenting adalah khawatir. Siswa sering merasa tidak
aman oleh segala sesuatu yang mereka anggap salah. Kedua, kecemasan
akademik pada siswa terlibat dalam penyesuaian diri. ketiga adalah percaya
diri yang rendah. Siswa menerima keyakinan yang salah tentang isu-isu
bagaimana menetapkan nilai dalam diri, cara terbaik untuk memotivasi diri
sendiri, bagaimana cara mengatasi kecemasan yaitu dengan berfikir yang
salah sehingga kecemasan akademik itu muncul.
b. Perhatian ke arah yang salah (Misdirected Attention).

Ini adalah masalah yang besar dalam kecemasan akademik. Pada umumnya
siswa diharapkan dapat berkonsentrasi penuh pada tugas-tugas akademik
seperti membaca buku, mengikuti ujian, atau menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh guru. Tetapi yang terjadi disini adalah siswa tidak perduli dan
perhatian mereka menjadi teralihkan. Perhatian dapat terganggu melalui
faktor eksternal (tindakan siswa lainnya, jam, suara-suara asing) atau faktor
pengganggu internal (kecemasan, lamunan, dan reaksi fisik).
c. Distress secara fisik (Physiological Distress).
Banyak perubahan yang terjadi pada tubuh yang dihubungkan dengan
kecemasan seperti kekakuan pada otot, berkeringat, jantung berdetak lebih
cepat, dan tangan gemetar. Selain perubahan fisik, pengalaman kecemasan

Universitas Sumatera Utara

16

emosional juga berpengaruh seperti “mempunyai perasaan kecewa”. Aspekaspek emosional dan fisik dari kecemasan terutama yang menganggu
diinterpretasikan sebagai hal yang berbahaya atau menjadi fokus perhatian
yang penting selama tugas akademik.
d. Perilaku yang kurang tepat (Innappropriate behaviours).

Kecemasan akademik pada siswa terjadi karena siswa ingin memilih cara
yang tepat dalam menghadapi kesulitan. Menghindar (procastination) adalah
hal yang umum, seperti menghindar dari melaksanakan tugas (berbicara
dengan teman pada saat belajar). Kecemasan akademik pada siswa juga
terjadi ketika menjawab pertanyaaan-pertanyaan ujian secara terburu-buru.
Tindakan lain yang tidak benar adalah memaksa diri ketika dalam waktu
untuk bersantai
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 4
karakteristik kecemasan akademis yaitu pola-pola kecemasan yang menyebabkan
kecemasan mental, perhatian ke arah yang salah, distress secara fisik dan adanya
perilaku yang kurang tepat.

B. SELF REGULATED LEARNING
1. Pengertian Self Regulated Learning
Self regulation bila diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah pengelolan
diri. Self artinya diri dan regulation adalah terkelola. Menurut Zimmerman
(dalam Woolfolk, 2004) self regulation merupakan proses yang dilakukan
individu untuk mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, serta perasaannya

Universitas Sumatera Utara


17

secara sistematis yang berorientasi pada pencapaian suatu tujuan. Ketika tujuan
tersebut meliputi pengetahuan maka disebut dengan self regulated learning.
Pintrich (dalam Boerkarts, Pintrich, & Zeidner, 2000), mendefinisikan
self regulated learning sebagai proses konstruktif yang mana siswa menetapkan
tujuan belajarnya dan kemudian berusaha untuk memonitor, mengatur dan
mengontrol kognisi, motivasi, dan tingkah lakunya agar sesuai dengan tujuannya
dan kondisi kontekstual dari lingkungannya. Selain itu, menurut Freidman (2006)
self regulated learning diartikan juga sebagai pengawasan atas perilaku dalam
proses belajar sebagai hasil dari proses internal individu terhadap tujuan,
perencanaan dan penghargaan diri sendiri atas prestasi yang telah diraih.
Sedangkan, Ormrod (2009) menambahkan self regulated learning adalah
pengaturan terhadap proses-proses kognitif sendiri agar belajar sukses. Jadi dapat
dikatakan bahwa self-regulated learning adalah proses yang membantu siswa
dalam mengelola pikiran mereka, perilaku, dan emosi untuk sukses mencapai
tujuan belajar mereka.
Pengelolaan diri atau self regulation merupakan proses yang berputar.
Gambaran proses berputar ini dilukiskan oleh Zimmerman (dalam Woolfolk,

2004), dengan tiga tahap model pengelolaan. Pertama, forethought phase (fase
perencanaan), yaitu performasi aktual yang mendahului dan berkenaan dengan
proses pengumpulan langka untuk suatu tindakan, kriteria dari fase perencanaan
adalah analisa tugas dan keyakinan motivasi diri. Kedua, performance phase
(fase performa), yaitu mencakup proses kontrol diri (pemfokusan perhatian,
strategi tugas) dan observasi diri yang mengacu pada penelusuran individu

Universitas Sumatera Utara

18

terhadap performa yang ditampilkan. Ketiga, self-reflection phase ( fase refleksi
diri) , penilaian diri dan reaksi diri terjadi setelah performansi individu merespon
pada usahanya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self regulated
learning adalah proses yang melibatkan kognisi, perilaku serta perasaan individu
dalam mengatur pembelajarannya sendiri dengan cara merencanakan, memantau,
mengontrol dan mengevaluasi diri sendiri dalam proses belajar untuk mencapai
tujuan belajar.
2. Strategi Self Regulated Learning

Zimmerman dan Martinez-Pons (1990), dalam proses belajar yang baik,
maka perlu adanya strategi-strategi untuk dapat mencapai tujuan belajar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zimmerman ditemukan empat
belas strategi self regulated learning, sebagai berikut:
a. Evaluasi terhadap diri (Self evaluation)
Memiliki inisiatif dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas dan
kemajuan belajarnya. Memutuskan apakah hal-hal yang telah dipelajari
mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.
b. Mengatur materi pelajaran (Organizing and transforming)
Mengatur materi yang dipelajari dengan tujuan untuk meningkatkan
efektivitas proses pembelajaran dan mengubah materi pelajaran menjadi
lebih sederhana dan mudah dipelajari. Perilaku ini dapat bersifat tampak dan
tidak tampak.

Universitas Sumatera Utara

19

c. Mengatur dan merancang tujuan (Goal setting and planning)
Mengatur tujuan-tujuan dari pembelajaran dan perencanaan terhadap

pengerjaan tugas, bagaimana memanfaatkan waktu dan menyelesaikan
tugas berkaitan dengan tujuan tersebut.
d. Mencari informasi (Seeking information)
Memiliki

inisiatif untuk mencari

informasi

diluar

dirinya

ketika

mengerjakan tugas ataupun ketika mempelajari suatu materi pelajaran.
e. Mencatat hal-hal penting (Keeping records and monitoring)
Mencatat hal-hal penting yang berhubungan dengan topik yang dipelajari.
f. Mengatur lingkungan belajar (Environmental structuring)
Memilih dan mengatur lingkungan belajar dengan cara tertentu sehingga
membantu untuk belajar dengan lebih baik.
g. Konsekuensi terhadap diri (Self consequences)
Menerapkan

reward

dan

punishment

dalam mengontrol hasil yang

didapat dalam pengerjaan tugas maupun ujian.
h. Mengulang dan mengingat materi (Rehearsing and memorizing)
Berusaha mempelajari materi pelajaran dan mengingat kembali bahan
bacaan dengan perilaku yang tampak dan tidak tampak.
i. Mencari bantuan teman sebaya (Seeking help from peers)
Meminta bantuan kepada teman sebaya ketika menghadapi masalah.
j. Mencari bantuan guru (Seeking help from teachers)
Bertanya kepada guru di dalam ataupun di luar jam belajar untuk dapat
membantu menyelesaikan tugas pembelajaran.

Universitas Sumatera Utara

20

k. Mencari bantuan orang dewasa (Seeking help from adults)
Meminta bantuan orang dewasa yang berada di dalam dan di luar
lingkungan belajar bila ada yang tidak dimengerti yang berhubungan dengan
pelajaran.
l. Mengulang tugas atau tes sebelumnya (Review test)
Mengulang pertanyaan-pertanyaan ujian terdahulu mengenai topik tertentu
dan tugas yang telah dikerjakan dijadikan sumber informasi untuk belajar.
m. Mengulang catatan (Review notes)
Sebelum mengikuti ujian, meninjau ulang catatan sehingga mengetahui
topik apa saja yang akan di uji.
n. Meninjau buku pelajaran (Review textbook)
Membaca buku merupakan sumber informasi yang dijadikan pendukung
catatan sebagai sarana belajar.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
14 strategi dalam self regulated learning yaitu evaluasi terhadap diri, mengatur
materi pelajaran, mengatur dan merancang tujuan, mencari informasi, mencatat
hal-hal penting, mengatur lingkungan belajar, konsekuensi terhadap diri,
mengulang dan mengingat materi, mencari bantuan teman sebaya, mencari
bantuan guru, mencari bantuan orang dewasa, mengulang tugas atau tes
sebelumnya, mengulang catatan dan meninjau buku pelajaran.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning
Cobb (2003) menyatakan bahwa self regulated learning dipengaruhi oleh
3 faktor yaitu self efficacy, motivasi dan tujuan.

Universitas Sumatera Utara

21

a. Self efficacy
Self efficacy yaitu nilai dari kemampuan dan kompetensi individu dalam
melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, atau mengatasi hambatan dalam
belajar (Bandura dalam Cobb, 2003). Dengan adanya self efficacy dapat
mempengaruhi individu dalam memilih suatu tugas, usaha, ketekunan, dan
prestasi. individu dengan self efficacy yang tinggi akan meningkatkan penggunaan
kognitif dan strategi self regulated learning. Individu yang merasa mampu
menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk
berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi kesulitan, dan
mencapai level yang lebih tinggi.
b. Motivasi
Motivasi yang dimiliki individu secara positif berhubungan dengan self
regulated learning. Individu membutuhkan motivasi untuk melaksanakan strategi
yang akan mempengaruhi proses belajar. Individu cenderung akan lebih efisien
mengatur waktunya dan efektif dalam belajar apabila memiliki motivasi belajar.
Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang (intrinsik) cenderung akan lebih
memberikan hasil positif dalam proses belajar dan meraih prestasi yang baik.
Motivasi ini akan lebih kuat dan lebih stabil/menetap bila dibandingkan dengan
motivasi yang berasal dari luar diri (ekstrinsik). Walaupun demikian bukan berarti
motivasi dari luar diri (ekstrinsik) tidak penting. Kedua jenis motivasi ini sangat
berperan dalam proses belajar. Individu kadang termotivasi belajar oleh keduanya,
misalnya mereka mengharapkan pemenuhan kepuasan atas keingintahuannya

Universitas Sumatera Utara

22

dengan belajar giat, namun mereka juga mengharapkan ganjaran (reward) dari
luar atas prestasi yang mereka capai.
c. Tujuan (goals)
Tujuan yaitu sesuatu yang hendak dicapai individu. Tujuan merupakan
kriteria yang digunakan individu untuk memonitor kemajuan mereka dalam
belajar. Goal memiliki dua fungsi dalam self regulated learning yaitu menuntun
individu untuk memonitor dan mengatur usahanya dalam arah yang spesifik.
Selain itu tujuan juga merupakan kriteria bagi individu untuk mengevaluasi
performansi mereka. Menurut Meece (dalam Cobb, 2003) efek dari tujuan
tergantung atas hasil (outcomes) yang diharapkan, hasil ini apat dikategorikan
menjadi dua orientasi yaitu: orientasi pada pembelajaran (learning) dan orientasi
pada penampilan (performance). Orientasi pada pembelajaran (learning goals)
fokus pada proses pencapaian kemampuan dan pemahaman betapapun sulitnya
usaha yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan orientasi
pada penampilan (performance goal) fokus pada pencapaian penampilan yang
baik di pandangan orang lain atau penghindaran penilaian negatif dari lingkungan.
Menurut Cobb (2003) learning goals menghasilkan prestasi akademik yang tinggi
dan menunjukkan penggunaan strategi self regulated learning melalui proses
informasi yang mendalam (deep).
Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukkan bahwa selama proses self
regulated learning berlangsung, ada faktor yang mempengaruhi yaitu self
efficacy, motivasi dan tujuan.

Universitas Sumatera Utara

23

C. SISWA KELAS 3 SMA NEGERI 1 KABANJAHE
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan siswa sebagai
murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah) ataupun pelajar.
Siswa

menurut

Wikipedia

adalah

anggota

masyarakat

yang

berusaha

meningkatkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan
baik pendidikan formal ataupun nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis
pendidikan tertentu.
Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah jenjang pendidikan menengah
pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Sekolah menengah atas ditempuh dalam kurun waktu 3 tahun, mulai dari
kelas 10, 11 dan 12 (1, 2 dan 3 SMA). Siswa kelas 3 SMA adalah siswa yang
berada pada tingkatan akhir dalam jenjang SMA yang nantinya akan
menyelesaikan pendidikan ditingkat SMA.
Siswa kelas 3 SMA Negeri 1 Kabanjahe adalah siswa yang bersekolah di
SMA Negeri 1 Kabanjahe yang terletak di kabupaten Karo yang pastinya akan
menghadapi ujian nasional dan SBMPTN. Siswa SMA kelas 3 yang akan
menghadapi UN dan SBMPTN adalah mereka yang lulus dengan standar yang
sudah ditetapkan dalam ujian nasional dan berkeinginan untuk melanjutkan
pendidikan mereka ke perguruan tinggi negeri di Indonesia, dengan berbagai
jurusan.

Universitas Sumatera Utara

24

D. HUBUNGAN

SELF

REGULATED

LEARNING

DENGAN

KECEMASAN AKADEMIS
Kecemasan merupakan suatu reaksi yang normal terhadap situasi yang
sangat menekan individu. Nevid (2005) menjelaskan bahwa kecemasan sebagai
suatu keadaan emosional, yang memiliki ciri keterangsangan fisologis, perasaan
tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi. Kecemasan yang terjadi selama kegiatan akademis dikenal dengan
kecemasan akademis.
Kecemasan akademis mengacu pada terganggunya pola pemikiran dan
respon fisik serta perilaku karena kemungkinan performa yang ditampilkan siswa
tidak diterima secara baik ketika tugas-tugas akademis diberikan (dalam Otten,
1991). Menurut Zeidner (dalam Matthews, 2000) Kecemasan akademis
cenderung mempengaruhi proses belajar dan prestasi dalam pendidikan, bahkan
mampu menganggu perhatiaan, working memor, dan retrival. Apabila kondisi
tersebut berlarut-larut, maka siswa tidak mampu mencapai prestasi akademis
yang ditargetkan.
Kecemasan akademis muncul pada siswa kelas 3 SMA karena harus lulus
dalam ujian nasional dan siswa harus bersaing dengan banyak orang untuk
mendapatkan tempat di PTN. Persaingannya adalah 1:7, artinya adalah peserta
harus mampu mengalahkan 7 orang peserta lain untuk dapat masuk PTN. Pada
dasarnya semua orang mengalami kecemasan, tetapi kecemasan dalam tingkatan
yang rendah dan sedang berpengaruh positif terhadap performa dalam kegitan
akademis. Sedangkan kecemasan dengan tingkatan yang tinggi bersifat negatif,

Universitas Sumatera Utara

25

sebab dapat menimbulkan gangguan secara psikis maupun fisik (Sukmadinata,
2003).
Menurut Zeidner (dalam Matthews, 2000), Kecemasan cenderung
mengganggu proses belajar dan prestasi dalam pendidikan, mengganggu
perhatian, working memory dan retrival. Siswa yang mengalami kecemasan
menunjukkan adanya kesulitan khusus dalam penginstruksian informasi sehingga
kehilangan proses pengaturannya, yang melibatkan memori jangka pendek dan
jangka sedang. Hal ini sesuai dengan penelitian laboratorium dan terapan yang
menunjukkan bahwa kecemasan mengganggu dan mengurangi keaktifan dalam
pengaturan kembali informasi dalam memori (Matthews, 2000).
Selain itu kecemasan juga dapat bernilai positif. Seperti yang
dikemukakan oleh Weinberg dan Gould (dalam Satiadarma, 2000) kecemasan
memiliki nilai positif jika intensitasnya tidak begitu kuat. Orang dengan
kecemasan ringan memiliki motivasi dalam diri, yang mana motivasi ini dapat
mengatur strategi-strategi dalam belajar yaitu self regulated learning.
Menurut Zimmerman dan Schunk (2007) self regulation merupakan
proses yang dilakukan individu untuk mengaktifkan dan menopang kognisi,
perilaku, serta perasaannya secara sistematis yang berorientasi pada pencapaian
suatu tujauan. Hal ini menjelaskan self regulated learning sangat penting untuk
merencanakan perilaku dan proses belajar. Self regulated learning membantu
individu untuk keluar dari perasaan cemas terkait aktivitas akademisnya.
Kecemasan akademis juga mempengaruhi fase-fase dalam self regulated
learning seperti penurunan perhatian saat berada dalam proses belajar

Universitas Sumatera Utara

26

mempengaruhi strategi untuk meregulasi kognitif, yang mana jika strategi
mengalami kendala maka siswa tidak bisa melakukan analisa akademik yang
mengharuskan siswa mampu menetapkan strategi belajar dan mengetahui kapan
strategi tersebut dilakukan. Selain itu kondisi fisik yang tegang, berkeringat,
jantung berdetak cepat merupakan kondisi yang kurang siap dalam proses belajar
yang dapat menyebabkan fase performa tidak sesuai dengan tujuan belajar (Otten,
1991) .
Oleh karena itu peneliti merasa bahwa kecemasan akademis sangat
berhubungan dengan self regulated learning pada siswa kelas 3 SMA. Dan
berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan self
regulated learning dengan kecemasan akademis serta arah hubungan dari kedua
variabel.

E. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan uraian teori dan dinamika yang ada, maka peneliti
mengemukanan hipotesa bahwa ada Hubungan Self Regulated Learning dengan
kecemasan akademis pada siswa kelas 3 SMA Negeri 1 Kabanjahe.

Universitas Sumatera Utara