Analisis Pengaruh Management Capability Dan Corporate Governance Terhadap Financial Distress Dengan Leverage Sebagai Variabel Moderasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Teoritis
2.1.1

Financial Distress
Meskipun telah banyak riset mengenai financial distress, namun

belum ada definisi yang dapat diterima secara baku yang muncul dari
penelitian-penelitian tersebut. Penelitian mengenai financial distress
pertama kali diawali oleh Beaver (1966). Beaver mendefinisikan financial
distress sebagai kebangkrutan, ketidakmampuan perusahaan melunasi
hutang. Menurut Mariana (2013) Financial distress terjadi sebelum suatu
perusahaan benar-benar mengalami kebangkrutan.
Sedangkan menurut Platt dan Platt (2002) financial distress
merupakan suatu kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan
tidak sehat atau mengalami krisis. Financial Distress didefinisikan sebagai
suatu kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi

kewajibannya terhadap kreditur. Setiap studi mengadopsi definisi masingmasing. definisi financial distress yang digunakan secara umum, antara
lain:
1. Bukti adanya pemecatan, restrukturisasi, atau pembayaran
dividen yang dilewatkan, digunakan oleh Lau (1987).
2. Interest Coverage Ratio rendah, digunakan oleh Asquith,
Gertner, dan Scharfstein (1994).
8

Universitas Sumatera Utara

3. Perubahan dalam harga ekuitas atau EBIT negatif, digunakan
oleh John, Lang, dan Netter (1992). Perubahan dalam harga
saham ditunjukkan sebagai prediktif atas

kondisi finansial.

(Queen dan Roll, 1987).
4. Laba bersih negatif sebelum perkiraan khusus. Digunakan
Hofer (1980). Dimana perusahaan gagal mendapatkan dana
untuk memenuhi kewajiban perusahaan.

Platt dan Platt (2006) mengadopsi interpretasi multidimensional
dari financial distress, dimana mereka mengindikasikan perusahaan
mengalami financial distress hanya apabila perusahaan memenuhi tiga
kriteria, yaitu
1. Negatif EBITDA interest coverage (Seperti Asquith, Gertner,
dan Scharfstein, 1994)
2. Negatif EBIT (seperti John, Lang, dan Netter, 1992).
3. Laba bersih negatif sebelum perkiraan khusus. (seperti hofer,
1980).
Seperti yang telah diuraikan diatas, terdapat beberapa kriteria yang
dapat mengindikasikan kondisi financial distress. Classens et al. (1999).
Classens et al. mengklasifikasikan perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan jika perusahaan tersebut memiliki interest coverage ratio (rasio
antara biaya bunga terhadap laba operasional) kurang dari satu. Almalia
dan Kristijadi (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami
9

Universitas Sumatera Utara

financial distress adalah perusahaan yang selama beberapa tahun

mengalami laba bersih operasi (net operation income) negatif dan selama
lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen. Hidayat (2013)
mengkategorikan suatu perusahaan sedang mengalami financial distress
jika mempunyai interest coverage ratio yang kurang dari satu. Mariana
(2015) juga menggunakan interest coverage ratio kurang dari satu sebagai
pedoman pengklasifikasian financial distress.
2.1.2

Management Capability
Management capabilty mengacu pada penerapan dari kompetensi

manajemen dalam organisasi demi mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Management capabilty juga diartikan sebagai potensi dari manajemen
dalam suatu perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan (Australian
Management
menjelaskan

Capability
seberapa


Index,

efektif

tim

2012).

Management

manajemen

dalam

Capability
perusahaan

menerapkan kompetensi dan pengetahuan mereka dalam praktik dalam
perusahaan untuk mendapatkan hasil bisnis yang ingin dicapai. Tim
manajemen yang berfungsi tinggi akan memanfaatkan kemampuan dan

kekuatan yang berbeda dari setiap individu dalam tim, untuk memenuhi
permintaan yang selalu berubah-ubah dan mencapai hasil yang
diharapkan.
Manajemen atau agent ditafsirkan sebagai kepala dari sebuah
perusahaan atau jika dilihat dari perspektif teori keagenan (agency theory)
adalah sebagai representatif dari pemilik dan pemegang saham
10

Universitas Sumatera Utara

(shareholder). Management capability memiliki pengertian sebagai
kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh seorang manajer dalam
mengelola sebuah perusahaan (Ahmad G. N., 2013). Menurut Hambrick &
Mason (1984) Management capability adalah kemampuan yang dimiliki
manajemen perusahaan, yang bertanggung jawab memberikan pengarahan
secara keseluruhan dari perusahaan. Di samping itu para manajer juga
mengkoordinasi fungsi-fungsi manajemen sehingga visi dan misi
perusahaan dapat tercapai. Manajer juga bertanggung jawab mengatur
tujuan strategis perusahaan untuk masa mendatang. Performa dari
perusahaan merupakan refleksi dari performa yang dicapai oleh

manajemen dalam perusahaan (Hambrick dan Mason, 1984).
Menurut D’Aveni (1990), Kemampuan manajemen (Management
capabilty) yang dimiliki suatu perusahaan memiliki pengaruh dalam
menyebabkan krisis. Manajer yang memiliki kemampuan manajerial yang
baik akan memiliki strategi perencanaan finansial yang baik.
Whitaker (1999) menyatakan bahwa inkompetensi dari manajer
dalam menjalankan perusahaan memiliki peran yang sama dengan
fundamental perusahaan dalam menyebabkan kondisi permasalahan
keuangan perusahaan. Kemampuan manajemen (Management Capability)
memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kondisi keuangan
perusahaan. Management Capability yang buruk dapat mengakibatkan
perusahaan gagal memenuhi tujuannya yang kemudian menyebabkan

11

Universitas Sumatera Utara

perusahaan masuk dalam kondisi permasalahan keuanganan (Financial
distress).
2.1.2.1 Teori keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan menjelaskan hubungan antara principal
dengan

Agent.

Dimana

pemilik

dan

pemegang

saham

(Shareholders) sebagai principal dan pihak manajemen sebagai
agent. Manajemen sebagai pihak yang dikontrak oleh pemegang
saham, bekerja demi kepentingan pemegang saham yang
didalamnya termasuk pemberian wewenang pada manajemen
untuk membuat keputusan (Jensen and Meckling, 1976: 308).

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan di
dalam teori agensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan
kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya
ekonomis (principal) dan manajer (agent) yang mengurus
penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut.
Hhubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan
yaitu :
a. terjadinya informasi asimetris (information asymmetry); dan
b. terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest)
Asimetri informasi adalah suatu kondisi dimana terdapat
informasi yang tidak seimbang yang ditimbulkan akibat adanya
distribusi informasi yang tidak merata antara principal dan agent
12

Universitas Sumatera Utara

yang berakibat pada timbulnya dua permasalahan yang disebabkan
adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan
kontrol terhadap tindakan-tindakan agent (Emirzon, 2007).
Sedangkan konflik kepentingan (conflict of interest) timbul akibat

adanya perbedaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu
bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Pemegang saham
berharap pihak manajemen menjalankan perusahaan dengan tujuan
meningkatkan

nilai

perusahaan,

sedangkan

manajemen

berkeinginan untuk menjalankan perusahaan untuk menambah
kekuasaan dan kekayaan dirinya.
Menurut Bathala et al, (1994) masalah seperti konflik
kepentingan (conflict of interest) antara pemegang saham dan
manajemen

dapat


kepemilikan

saham

dikurangi
oleh

dengan

manajemen

cara
(insider

meningkatkan
ownership).

Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk
mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham

sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham.
Dengan meningkatkan persentase kepemilikan, manajer menjadi
termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab
meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Keberhasilan
manajemen dalam mengelola perusahaan dan menjalankan
perannya sebagai agent akan menjauhkan perusahaan dari ancaman
permasalahan keuangan atau financial distress.
13

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Upper Echelons Theory
Teori upper echelons pertama kali diperkenalkan oleh Hambrick

dan Mason (1984). Teori ini menganggap konsep manajemen puncak
sebagai pembuat keputusan stratejis yang utama di dalam organisasi.
Keputusan strategis yang dibuat oleh manajemen puncak memiliki dampak
secara langsung terhadap hasil yang dicapai oleh perusahaan tersebut.
Upper echelons theory mengemukakan bahwa pengalaman, umur, dan
pendidikan para manajer memiliki pengaruh terhadap interpretasi mereka
dalam mengahadapi masalah dan membuat keputusan, yang secara
langsung akan mempengaruhi outcome perusahaan tempat mereka bekerja.
Beberapa karakteristik dari Upper echelons Theory yang dibahas dalam
penelitian ini, antara lain:
2.1.3.1 Umur
Hubungan antara umur dari manajemen puncak dan
karakteristik organisasi tidak banyak dijadikan subyek penelitian.
Namun dari beberapa penelitian yang ada menunjukkan hasil yang
konsisten:

Manajer

yang

masih

muda

berkaitan

dengan

pertumbuhan perusahaan. (Child, 1974, Hart & Mellons, 1970).
Penemuan lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan
dalam penjualan (sales) dan pendapatan (earnings) juga terkait
dengan manajer generasi muda. (dalam Hambrick dan Mason,
1984: 198-199) Ada beberapa penjelasan yang mendukung
14

Universitas Sumatera Utara

kesimpulan tersebut. Yang pertama, pihak manajerial tua jika
dibandingkan dengan manajer generasi muda, bisa jadi memiliki
stamina fisik dan mental yang kurang (Child, 1974) atau kurang
kompeten untuk memahami ide baru dan mempelajari tingkah laku
baru (Chown, 1960). Umur manajerial berpengaruh negatif
terhadap kegiatan membuat kebijakan, namun tampaknya positif
berkaitan dengan kecenderungan untuk mencari informasi yang
lebih, dan untuk mengevaluasi secara akurat (Taylor 1975).
Penjelasan kedua adalah bahwa Manajer yang lebih tua telah
sampai pada titik dimana keamanan finansial dan karir nya sangat
penting. Segala tindakan berisiko yang dapat menggangu hal
tersebut akan dihindari (dalam Hambrick dan Mason, 1984: 198199)
2.1.3.2 Functional Track
Manajemen puncak diasumsikan memiliki pandangan
generalis, walaupun begitu dalam pekerjaan, mereka cenderung
menggunakan orientasi yang dikembangkan dari pengalaman area
fungsional primer (Hambrick dan Mason, 1984). Sebagai contoh,
Dearborn dan Simon (1958) menemukan bahwa sekumpulan
eksekutif yang dihadapkan kepada masalah yang sama (studi
kasus) dan kemudian diminta untuk mempertimbangakan masalah
tersebut melalui perspektif organisasi, mereka akan mendefinisikan

15

Universitas Sumatera Utara

masalah tersebut dalam terminologi bidang keahlian mereka.
(dalam Hambrick dan Mason, 1984: 199-200).
2.1.3.3 Pendidikan Formal (Formal Education)
Pada tingkatan teretentu, pendidikan mengindikasikan
pengetahuan dan kemampuan dasar yang dimiliki seseorang.
Seseorang yang mempelajari bidang ilmu teknik (Engineering)
akan memiliki kognitif yang berbeda dari mereka yang
mempelajari bidang ilmu sejarah atau hukum. (Hambick dan
Mason, 1984). Kognitif diartikan sebagai kemampuan memproses
informasi, mencerna, dan kemudian mendefinisikan informasi baru
tersebut dalam pengertian diri sendiri. Pendidikan dipercaya
sebagai indikator atas nilai yang dimiliki seseorang.

Terdapat

beberapa penelitian atas pengaruh pendidikan formal profesional
(MBA degree) terhadap hasil yang dicapai perusahaan. Terdapat
beberapa perbedaan hasil penelitian berkenaan dengan topik
tersebut. Hambrick dan Mason (1984) mengungkapkan bahwa ada
penelitian yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
jumlah pendidikan formal manajemen yang dimiliki oleh manajer
dengan performa rata-rata perusahaan. Walaupun begitu Hambrick
dan

Mason

menyimpulkan

bahwa

pendidikan

profesional

manajemen diperkirakan akan memiliki pengaruh terhadap
administrasi yang lebih kompleks. Kompleksitas dari administrasi

16

Universitas Sumatera Utara

mencakup ketelitian dari perencanaan formal, koordinasi dan
penggangaran belanja yang rinci.

2.1.4

Corporate Governance
Istilah Good Corporate Governance (GCG) atau di Indonesia

dikenal sebagai “tata kelola perusahaan yang baik” mulai berkembang
menjadi topik yang populer seiiring dengan maraknya skandal perusahaan
yang

menimpa

perusahaan-perusahaan

besar.

Publik

menuntut

terwujudnya aktivitas perusahaan yang sehat, bersih dan bertanggung
jawab. Beberapa perusahaan di Indonesia ada yang bermasalah dan bahkan
tidak mampu lagi meneruskan kegiaatan usahanya akibat menjalankan
praktik tata kelola yang buruk (bad corporate governance). Contohnya
antara lain: PT Indorayon (sebuah perusahaan pabrik kertas di Sumatera
Utara); dan PT lapindo brantas (sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan
gas di Sidoarjo, Jawa Timur). Sukrisno Agoes (2014) menyatakan bahwa
pada dasarnya, krisis ekonomi yang timbul di Indonesia ini diakibatkan
oleh tata kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan
tata kelola pemerintah yang buruk (bad government governance). Oleh
karena itu melalui penerapan Corporate Governance perusahaan dapat
menghindari atau meminimalkan terjadinya permasalahan keuangan
(Financial Distress).
2.1.4.1 Pengertian Corporate Governance

17

Universitas Sumatera Utara

Cadbury Committee of United Kingdom mendefinisikan
Corporate Governance sebagai seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang
kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem
yang mengarahkan dan mengendalikan perusaaan. Forum for
Corporate Governance in Indonesia-FGCI (2006) tidak membuat
definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury
Committee of United Kingdom (Dalam Sukrisno Agoes, 2014)
Indonesian institute of Corporate Governance-IICG (2010)
mendefenisikan Corporate governance sebagai proses dan struktur
yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan
utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang,
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain.
Corporate governance

juga mensyaratkan

adanya struktur

perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja.
Sukrisno

Agoes

(2006)

mendefinisikan

tata

kelola

perusahaan yang baik sebagai suaat sistem yang mengatur
hubungan peran dewan komisaris, peran direksi, pemegang saham
dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahan yang
baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas
penetuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian
18

Universitas Sumatera Utara

kinerjanya. Beasly et al (2006) mengemukakan bahwa penerapan
Corporate Governance dapat meningkatkan kualitas laporan
keuangan.

2.1.4.2 Prinsip-Prinsip GCG
Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD) mencoba untuk mengembangkan beberapa prinsip yang
dapat dijadikan acuan baik oleh pemerintah maupun para pelaku
bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar para pemangku
kepentingan tersebut. Prinsip itu secara ringkasi dapat dirangkum
sebagai berikut:
a.

Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan
(fairness)

b.

Transparansi (transparency)

c.

Akuntabilitas (accountability)

d.

Responsibilitas (responsibility)

Penjelasan singkat atas masing-masing prinsip diatas
dijelaskan sebagai berikut:
Perlakuan yang setara (fairness) merupakan prinsip agar
pengelola memperlakuakan semua pemangku kepentingan secara
adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer (pemasok,
pelanggan, karyawan, pemodal) maupun pemangku kepentingan
sekunder (pemerintah, masyarakat, dan yang lainnya).
19

Universitas Sumatera Utara

Prinsip transparansi merupakan kewajiban para pengelola
untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan
dan penyampaian informasi. Informasi yang disampaikan harus
lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku
kepentingan.
Prinsip

akuntabilitas

adalah

prinsip

dimana

para

pengelola berkewajiban untuk mengelola sistem akuntansi yang
efektif

untuk

menghasilkan

laporan

keuangan

(financial

statements) yang dapat dipercaya.
Prinsip responsibilitas adalah prinsip dimana para
pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua
tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku
kepentingan

sebagai

wujud

kepercayaan

yang

diberikan

kepadanya. Tanggung jawab ini memiliki lima dimensi, yaitu:
ekonomi, hukum, moral, sosial, dan spiritual.
2.1.4.3 Manfaat GCG
Tjager dkk. (2003) mengemukakan bahwa ada lima
manfaat dari penerapan GCG, yaitu: (Dikutip dalam Sukrisno
agoes, 2013).
1. Berdasarkan

survei

yang

telah

dilakukan

oleh

McKinsey&Company menunjukkan bahwa para investor
institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaanperusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
20

Universitas Sumatera Utara

2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan
antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di
Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
3. Internasionalisasi pasar-termasuk liberisasi pasar finansial dan
pasar modal-menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem
ini dapat menjadi dasarbagi berkembangnya sistem nilai baru
yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak
berubah.
5. Secara teoretis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai
perusahaan.
2.1.4.4 Mekanisme corporate governance
Mekanisme Corporate Governance terbagi menjadi dua
kelompok yaitu mekanisme eksternal dan mekanisme internal.
Mekanisme

eksternal

melibatkan

pengendalian

terhadap

perusahaan. Sedangkan mekanisme internal meliputi struktur
kepemilikan, serta komposisi dewan direksi dan dewan komisaris.
Dewan direksi (board of directors) dipilih melalui
pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan
yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka
pendek maupun jangka panjang

21

Universitas Sumatera Utara

Peran dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih
ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan
dewan direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir
permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan
pemegang saham. Oleh karena itu dewan komisaris seharusnya
dapat mengawasi kinerja dewan direksi sehingga kinerja yang
dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham.
2.1.6

Leverage
Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai

dengan Hutang. Tingkat leverage dapat diketahui melalui perbandingan
total hutang dengan total ekuitas. Menurut Van Horn (1997) dan Naftalia
(2013) Financial Leverage adalah penggunaan sumber dana yang
memiliki beban tetap, yang diharapkan akan memberikan keuntungan
yang lebih besar daripada beban tetapnya, sehingga keuntungan pemegang
saham bertambah.
Leverage yang menguntungkan (favorable) atau positif terjadi jika
perusahaan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dengan
menggunakan dana yang didapat dalam bentuk biaya tetap (dana yang
didapat dengan menerbitkan utang bersuku bunga tetap atau saham
preferen dengan tingkat deviden yang konstan) daripada biaya pendanaan
tetap yang harus dibayar. Leverage dalam penelitian ini diukur melalui
proksi Debt to Equity Ratio

22

Universitas Sumatera Utara

2.2

Tinjauan penelitiaan terdahulu
Penelitian-penelitian

terdahulu

mengunakan

variabel-variabel

yang

berbeda dalam menganalisis pengaruh terhadap financial distress. Berikut ini
adalah ringkasan dari penelitian terdahulu mengenai financial distress.

Tabel 2.1
Tinjauan Peneliti Terdahulu

No
Peneliti
1 Gatot Nazir
Ahmad

2

Ratna Wardani
(2006)

Judul
Analysis of
Financial Distress
in Indonesian
Stock Exchange

Mekanisme
Corporate
Governance dalam
perusahaan yang
mengalami
permasalahan
keuangan
(FINANCIALLY
DISTRESSED
FIRMS)

Variabel Penelitian
Variabel
independen:
Fundamental Factor,
Management
Capability
Variable Dependen:
Financial Distress
Variabel
independen:
Corporate
Governance
Variabel Dependen:
Permasalahan
Keuangan (financial
distress)

Hasil Penelitian
Management
Capabilty berpengaruh
negatif terhadap
Financial Distress.

1. Bahwa semakin
besar jumlah direksi
maka semakin tinggi
kemungkinan
perusahaan mengalami
kondisi tekanan
keuangan.
2. semakin kecil
jumlah komisaris
dalam suatu
perusahaan maka
kemungkinan
perusahaan tersebut
mengalami tekanan
keuangan akan
semakin besar.

23

Universitas Sumatera Utara

3

Brian Irdyana.

Analisi Rasio
Keuangan
(2010).
CAMEL dan
Corporate
Governance dalam
memprediksi
Financial Distress
pada Industri
Perbankan di
Indonesia
4 Primada F.
Manfaat Rasio
Keuangan dan
(2009)
Corporate
Governance Untuk
Memprediksi
Kondisi Financial
Distress pada
Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar di BEI
Sumber: diolah dari beberapa referensi

Variabel
independen:
Rasio Keuangan
CAMEL, Corporate
Governance

Rasio Corporate
Governance kurang
dapat digunakan dalam
memprediksi financial
distress

Variabel Dependen:
Financial Distress

Variabel
independen:
Rasio Keuangan,
Corporate
Governance

Variabel corporate
governance tidak
berpengaruh terhadap
financial distress

Variabel Dependen:
Financial Distress

24

Universitas Sumatera Utara

2.3

Kerangka Konseptual
Berikut adalah Kerangka Konseptual dalam penelitian ini untuk

menggambarkan hubungan antara variabel independen, yaitu management
capability dan corporate governance terhadap variabel dependen, yaitu financial
distress.

Management capability
LATAR BELAKANG
PENDIDIKAN
PRESTISE (X1)
H5

H1
STRATA
PENDIDIKAN RATARATA (X2)

H6
H2

FINANCIAL
DISTRESS
(Y)

Corporate Governance
H7
H3
UKURAN DEWAN
KOMISARIS (X3)
H4

H8

UKURAN DEWAN
DIREKSI (X4)
LEVERAGE
(X5)
Variabel moderasi

25

Universitas Sumatera Utara

2.4

Perumusan Hipotesis Penelitian
2.4.1

Pengaruh Latar Belakang Prestise terhadap financial distress
Hambrick dan Mason (1984) menyatakan bahwa Performa dari

perusahaan merupakan refleksi dari performa yang dicapai oleh
manajemen dalam perusahaan. Kemampuan sosial yang dimiliki
manajemen seperti bidang keahlian, latar belakang pendidikan dan
pengalaman merupakan faktor yang dapat memepengaruhi performa
manajemen. Whitaker (1999) menyatakan bahwa inkompetensi dari
manajemen

dalam

mengelola

perusahaan

dapat

mengakibatkan

perusahaan mengalami permasalahan keuangan. Beberapa penelitian
mengukur kualitas dari manajemen puncak dari prestise latar belakang
pendidikan mereka, bahwa manajemen puncak yang menempuh studi pada
universitas prestise (sebagaimana ditentukan oleh peringkat) diasumsikan
memiliki kualitas yang lebih baik.
Dari penjelasan diatas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H1: Latar belakang pendidikan prestise berpengaruh terhadap
financial distress
2.4.2

Pengaruh Strata pendidikan rata-rata terhadap financial
distress
Bantel dan Jackson (1989) mengemukakan bahwa bank yang

inovatif merupakan bank yang dikelola oleh tim yang terdiri atas individuindividu yang memiliki edukasi dan memiliki keahlian di bidang masing26

Universitas Sumatera Utara

masing yang luas. Sebagai tambahan, Bantel dan Jackson menemukan
bahwa umur dan pendidikan rata-rata anggota tim manajemen puncak
berkorelasi secara signifikan terhadap dengan inovasi. Inovasi dalam suatu
organisasi merupakan hal yang penting dilakukan dalam membawa
perusahaan menjadi lebih baik dalam mencapai tujuan perusahaan secara
tepat sasaran secara efektif dan efisien.
Dari penjelasan diatas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H2: Strata pendidikan rata-rata yang dimiliki manajemen
berpengaruh terhadap financial distress
2.4.3

Pengaruh Dewan Komisaris terhadap financial distress
Sukrisnoe Agoes (2014) mengemukakan bahwa pada dasarnya

krisis ekonomi dan permasalahan keuangan yang dihadapi perusahaan
(Financial distress) yang timbul di Indonesia ini diakibatkan oleh tata
kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola
pemerintah yang buruk (bad government governance). Tjager et al (2002)
mengemukakan bahwa berdasarkan analisis, ada indikasi keterkaitan
antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan
lemahnya tata kelola perusaaan (dalam Sukrisnoe Agoes, 2014) . Peran
Dewan Komisaris dalam Corporate Governance yaitu melakukan
pengawasan

terhadap

pengelolaan

perusahaan

melalui

supervise,

pemberian panduan dan nasihat kepada Direksi. Kerugian dari jumlah
dewan yang besar adalah menurunnya kemampuan dewan untuk
27

Universitas Sumatera Utara

mengendalikan manajemen, sehingga menimbulkan permasalahan agensi
yang muncul dari pemisahan antara manajemen dan kontrol (Jensen, 1993;
Primada, 2009). Peran agensi ini muncul ketika komisaris independen
tidak bersikap independen dan menaruh kepentingan pribadi atau golongan
diatas kepentingan perusahan. Jumlah dewan komisaris yang besar juga
diduga akan menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi, berkoordinasi
dan dalam proses pengambilan keputusan.
Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H3: Semakin besar ukuran dewan komisaris, maka semakin tinggi
kemungkinan perusahaan mengalami kondisi kesulitan keuangan.
2.4.4

Pengaruh Dewan Direksi terhadap financial distress

Pada umumnya tata kelola perusahaan (corporate governance)
dikenal sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan
perusahaan. Oleh karena itu, dengan diterapkannya kebijakan tata kelola
perusahaan (corporate governance) diharapkan pengelola (manager)
menjalankan perusahaan secara bertanggungjawab terhadap pemilik
perusahaan dan para pemegang kepentingan sesusai dengan prinsip-prinsip
corporate governance. Sukses atau tidaknya perusahaan ini akan sangat
ditentukan oleh keputusan atau strategi yang diambil oleh perusahaan.
Dalam penelitiannya, Wardhani (2006) menyatakan bahwa ukuran
dewan yang besar tidak bekerja secara efektif. Perusahaan yang memiliki
ukuran dewan yang besar tidak bisa melakukan koordinasi, komunikasi,
28

Universitas Sumatera Utara

dan pengambilan keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan
perusahaan yang memiliki dewan yang kecil sehingga nilai perusahaan
yang memiliki dewan yang banyak lebih rendah dibandingkan dengan
perusahaan yang memiliki direksi lebih sedikit (Jensen, 1993; Lipton and
Lorsch, 1992; Yermack, 1996).
Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H4: Semakin besar ukuran dewan direksi, maka semakin tinggi
kemungkinan perusahaan mengalami kondisi kesulitan keuangan.
2.4.5

Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap latar
belakang pendidikan prestise dan financial distress.
Debt to equity ratio (DER) menunjukan seberapa besar persentase

pendanaan yang didapatkan dari kreditur maupun investor. Para manajer
selaku pengelola perusahaan bertanggung jawab untuk mengembangkan
strategis perencanaan finansial yang baik dan untuk memaksimalkan laba
perusahaan. Performa yang dicapai perusahaan merupakan refleksi dari
performa manajemen (Hambrick dan Mason, 1984). Manajer diyakini
memiliki kompetensi yang lebih baik ketika manajer tersebut menempuh
studi pada universitas prestise (Palia, 2000). Perencanaan keuangan yang
tidak tepat dapat menjadikan tambahan modal yang berasal dari hutang
yang semula ditujukan untuk menambah laba, akan menjadi tambahan
biaya bagi perusahaan. Jika kondisi tersebut tetap berlanjut perusahaan

29

Universitas Sumatera Utara

bahkan akan mengalami kesulitan melunasi hutang yang kemudian
menyebakan perusahaan berada dalam kondisi financial distress.
Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H5: Leverage memoderasi pengaruh latar belakang pendidikan
prestise terhadap financial distress
2.4.6

Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap strata
pendidikan rata-rata dan financial distress.
Secara teori, dengan bertambahnya modal, maka profitabilitas akan

meningkat. Dengan tambahan setoran modal yang lebih, maka perusahaan
akan memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan. Dalam mengelola
tambahan modal yang didapatkan melalui pendanaan hutang, diperlukan
manajer yang kompeten dalam mengelola pinjaman tersebut. Bantel dan
Jackson (1989) menemukan bahwa pendidikan rata-rata anggota
manajemen berpengaruh terhadap kompetensi manajemen. Manajer yang
tidak kompeten akan memberikan dampak yang buruk terhadap
profitabilitas

perusahaan.

Manajer

yang

tidak

kompeten

dapat

menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dalam melunasi hutang
dan mengalami permasalahan keuangan.
Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H6: Leverage memoderasi pengaruh strata pendidikan rata-rata
manajemen terhadap financial distress

30

Universitas Sumatera Utara

2.4.7

Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap
Ukuran Dewan Direksi dan financial distress.
Hurd dan Joud menunjukkan bahwa perusahaan dengan tata kelola

perusahaan yang lemah mempunyai hutang finansial yang lebih
dibandingkan dengan perusahan yang memiliki mekanisme tata kelola
yang baik. Ron Jana (2010) menunjukkan bahwa: corporate governance
menyebabkan hutang finansial dan perselisihan dalam lembaga berkurang.
Hasil lain menunjukkan korelasi positif antara jumlah eksekutif dengan
tingkat dari hutang. Jumlah Dewan direksi dan Dewan komisaris yang
besar tidak bekerja secara efektif dan efisien dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam menjalankan peran masing-masing (dalam
wardhani, 2006, dan Jensen 1993). Jika pengelola dalam perusahaan tidak
bekerja secara efektif, maka pendanaan dari hutang finansial tidak efektif,
yang menimbulkan tingkat hutang finansial akan semakin bertambah.
Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H7: Leverage memoderasi pengaruh Ukuran dewan direksi
terhadap financial distress
2.4.8

Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap
Ukuran Dewan Komisaris dan financial distress.
Dewan Komisaris bertanggung jawab menilai laporan keuangan

tahunan dan menyetujui rencana anggaran yang diajukan oleh dewan
31

Universitas Sumatera Utara

direksi. Kerugian dari jumlah Dewan komisaris yang besar adalah Dewan
tidak bekerja secara efektif dan efisien dalam proses pengambilan
keputusan maupun dalam menjalankan peran masing-masing (dalam
wardani, 2006, dan Jensen 1993). Jika komisaris dalam perusahaan tidak
bekerja secara efektif, maka dapat terjadi kekeliruan dalam mengambil
keputusan, salah satunya kesalahan dalam menilai rencana anggaran
hutang, yang menimbulkan tingkat hutang finansial akan semakin
bertambah.
Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H8: Leverage memoderasi pengaruh Ukuran dewan komisaris
terhadap financial distress

32

Universitas Sumatera Utara