Peran Bidan Dalam Penangananmasalah Gizi Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pargarutan Kabupaten Tapanuli Selatantahun 2015

26

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masalah Gizi Balita
Masa yang terentang antara satu tahun sampai remaja dikatakan sebagai
periode laten, karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih
berstatus bayi. Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia balita kebanyakan
hanya menyukai satu jenis makanan. Permasalahan gizi pada balita antara lain seperti
anemia defisiensi besi, berat badan berlebih, berat badan kurang bahkan hingga gizi
buruk.
Anemia defisiensi besi adalah keadaan terlalu sedikit kandungan zat besi
dalam makanan, terutama pada anak yang yang terlalu banyak mengkonsumsi susu
sehingga mengendurkan keunginan untuk menyantap makanan lain. Masalah berat
badan berlebih adalah masalah kelebihan berat badan, jika tidak teratasi maka akan
menyebabkan obesitas. Kelebihan berat badan ini terjadi karena ketidakseimbangan
energy yang masuk dengan keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit berolahraga,
atau keduanya. Berat badan kurang yang berlangsung pada balita yang sedang
tumbuh merupakan masalah serius. Kondsi ini mencerminkan kebiasaan makan yang
buruk.

Gizi buruk atau lebih dikenal dengan gizi di bawah garis merah adalah
keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi
dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.

10

27

Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (WHO, 2005).
Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein tingkat berat akibat
kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu
lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB terhadap TB) dan atau
hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau marasmik
kwashiorkor (Supriasa, 2001).
Gizi merupakan suatu proses organisme menggunakan makan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti absorpsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang digunakan untuk mempertahankan
kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan
energi. Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variabel-variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture (Supriasa, 2002).
Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor
penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan
berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya
umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya
partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi.
(Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011).
Penyebab gizi buruk dapat dilihat dari berbagai faktor yang dapat
mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua penyebab
langsung terjadinya gizi buruk, yaitu (1) Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal

28

ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang di konsumsi atau makanan yang
tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu
kemiskinan. (2) Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini
disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap
zat-zat makanan secara baik. Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi
buruk yaitu (1) Faktor ketidaktersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh
masyarakat; (2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh

anak; (3) Pengolalaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai
(UNICEF, 2013).
Mengingat penyebabnya sangat komplek, pengelolaan gizi buruk memerlukan
kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Bukan hanya dari dokter maupun
tenaga medis saja, tetapi juga dari pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat,
pemuka agama maupun pemerintah. Pemuka masyarakat maupun pemuka agama
sangat dibutuhkan dalam membantu pemberian edukasi pada masyarakat, terutama
dalam menanggulangi kebiasaan atau mitos yang salah pada pemberian makanan
pada anak. Demikian juga posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak dalam
melakukan skrining atau deteksi dini dan pelayanan pertama dalam pencegahan kasus
gizi buruk (Setyaningsih, 2009).
Program pemerintah untuk menurunkan kasus gizi buruk tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2005-2009.
Kegiatan yang dilakukan antara lain meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk
melalui penimbangan balita di posyandu, meningkatkan cakupan dan kualitas

29

Penanganan gizi buruk di tingkat puskesmas/rumah sakit dan rumah tangga.
Menyediakan PMT-Pemulihan kepada balita kurang gizi dari keluarga miskin,

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam memberikan asupan gizi pada
anak (ASI/MPASI) serta memberikan kapsul vitamin A.
Disamping upaya tersebut diatas, Pemerintah juga melakukan sosialisasi
perbaikan pola asuh pemeliharaan balita, seperti promosi pemberian ASI secara
eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan dan rujukan dini kasus gizi kurang. Karena
sampai saat ini perilaku ibu dalam menyusui secara eksklusif masih rendah yaitu baru
mencapai 39% dari seluruh ibu yang menyusui bayi 0 – 6 bulan. Hal tersebut
merupakan penyebab tak langsung dari masalah gizi pada anak balita (Depkes RI,
2012).

2.2 Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat Gizi.
Pengukuran antropometri : pada metode ini dilakukan beberapa macam
pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan, dan lingkar lengan atas.
Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai
dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Di dalam ilmu gizi,
status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur


30

secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan
kombinasi dari ketiganya.
Status gizi dilakukan dengan mengukur seluruh anak balita di rumah tangga,
meliputi : (Kemenkes RI, 2014).
a. Anak Balita
1) Mencatat tanggal lahir atau umur (bulan)
2) Mengukur Berat Badan (BB), Tinggi badan (TB) atau Panjang Badan (PB).
a. Berat badan ditimbang dengan timbangan pegas “salter”
b. Tinggi badan diukur dengan alat microtoise untuk anak yang sudah bisa
berdiri (umur ≥24 bulan)
c. Panjang badan diukur dengan alat ukur panjang badan untuk anak yang
belum bisa berdiri (umur ≤23 bulan), yaitu dengan posisi terlentang.
d. Catat cara pengukuran balita dengan memberi kode tertentu bila diukur
telentang atau diukur berdiri.
b. Anak Sekolah, remaja, Dewasa
Dilakukan dengan pengukuran berikut :
1) Mencatat tanggal lahir atau umur

2) Mengukur Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB), Panjang Lengan Atas (PLA)
dan Lingkar Lingkar Atas (LLA)
a. Berat Badan ditimbang dengan timbangan kamar mandi
b. Tinggi badan diukur dengan alat microtois

31

3) Khusus untuk Wanita Usia Subur (WUS) umur 15-49 tahun dan ibu hamil serta
ibu menyusui selain BB dan TB, juga diukur Panjang Lengan Atas (PLA) dan
Lingkar Lengan Atas (LLA) dengan menggunakan pita LLA.
c. Frekuensi Penimbangan Balita
Dilakukan dengan mencatat frekuensi penimbangan balita dari Karta Menuju
Sehat (KMS), buku KIA atau formulir lain catatan penimbangan balita yang ada di
Posyandu dalam 6 bulan terakhir.
d. Penanganan Gizi Buruk
Dilakukan dengan menanyakan dan mencatat tatalaksana penanganan kasus balita
gizi buruk dari rumah tangga dalam setahun ini.
Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori : Tergolong gizi
buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. Gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai
dengan < -2 SD. Gizi baik jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. Gizi lebih jika

hasil ukur > 2 SD. Berdasarkan pengukuran Tinggi Badan (24 bulan-60 bulan) atau
Panjang badan (0 bulan-24 bulan) menurut Umur diperoleh kategori : Sangat pendek
jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. Pendek jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan <
-2 SD. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. Tinggi jika hasil ukur > 2
SD. Berdasarkan pengukuran Berat Badan menurut Tinggi badan atau Panjang
Badan: Sangat kurus jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. Kurus jika hasil ukur -3
SD sampai dengan < -2 SD. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD.
Gemuk jika hasil ukur > 2 SD. Balita dengan gizi buruk akan diperoleh hasil BB/TB
sangat kurus, sedangkan balita dengan gizi baik akan diperoleh hasil normal.

32

2.2.1

Klasifikasi Masalah Gizi
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-

kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda.
1. Marasmus

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.
Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena
masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan ototototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian
tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan
atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh

33

a.


Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

b.

Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.

c.

Wajah membulat dan sembab

d.

Pandangan mata anak sayu

e.

Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.


f.

Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas

3.

Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor

dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya
berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti
edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula
(Depkes RI, 2000).
2.2.2 Kebutuhan Nutrisi pada Balita
Balita ditinjau dari segi umur, maka anak balita yang sedang tumbuh kemabng
adalah golongan yang awan terhadap kekeurangan energy dan protein, kerawanan
pada anak-anak disebabkan oleh hal-hal berikut ini (Kardjati, 1985):

a. Kemampuan saluran pencernaan anak yang tidak sesuai dengan jumlah volume
makanan yang mempunyai kandungan gizi yang dibutuhkan anak

34

b. Kebutuhan gizi per satuan brat badan lebih besar dibandingkan dengan orang
dewasa,

karena

disamping

untuk

pemeliharaan

juga

diperlukan

untuk

pertembuhan.
c. Segera anak dapat bergerak sendiri, tanpa bantuan orang lain dia akan mengikuti
pergerakan di sekitarnya sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya
penularan penyakit
d. Meskipun mempunyai nilai tertentu dalam keluarga akan tetapi penyajian
makanan, anggota keluarga mempunyai nilai produktif akan memiliki pilihan
yang terbaik, baru selebihnya diberikan epada anggota keluarga yang lain. Masa
anak dibawah lima tahun,pada masa ini kecepatan pertumbuhan mulai menurun
dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motoric (gerak kasar dab gerak
halus) serta fungsi ekskresi
Anak kelompok balita di Indonesia menunjukkkan prevalensi paling tinggi
untuk penyakit kurang kalori protein dan defisiensi vitamin A serta anemia defisiensi
Fe. Kelompok umur sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan
kesehatnnya lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang
telah ditentukan tanpa diantar. Adapun kebutuhan nutrisi pada balita sebagai berikut:
1. Asupan kalori
Anak-anak usia balita membutuhkan kalori cukup banyak disebabkan
bergeraknya cukup aktif pula. Mereka membutuhkan setidaknya 1500 kalori
setiap harinya. Dan balita bias mendapatkan kalori yang dibutuhkan pada
makanan-makanan yang mengandung protein, lemak, dan gula

35

2. Pasokan lemak
Roti, Santan, mentega merupakan makanan yang mengandung lemak dan baik
diberikan pada anak balita sebab lemak sendiri mampu membentuk selubung
Mielin yang terdapat pada saraf otak
3. Kebutuhan protein
Asupan gizi yang baik bagi balita juga terdapat pada makanan yang mengandung
protein.

Karena

protein

sendiri

bermanfaat

sebagai

precursor

untuk

neurottransmiter demi perkembangan otak yang baik nantinya. Protein bias
didapatkan pada makanan-makanan seperti ikan, susu, telur dan daging.
4. Zat besi
Usia balita balita merupakan usia yang cenderung kekurangan zat besi sehingga
balita harus diberikan asupan makanan yang mengandung zat besi.
5. Karbohidrat
Dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan karbohidrat sebagai energy
utama serta bermanfaat untuk perkembangan otak saat belajar dikarenakan
karbohidrat di otak berupa Sialic Acid.
6. Kalsium
Balita juga membutuhkan kalsium secara teratur sebagai pertumbuhan tulang dan
gigi balita. Salah satu pemberi kalsium terbaik adalah minum susu secara teratur
7. Vitamin
Vitamin merupakan nutrisi yang juga dibutuhkan, tidak hanya balita namun untuk
semua umur membutuhkan. Banyak manfaat yang bisa didapat dari vitamin

36

seperti misalnya vitamin A sebagai perkembangan kulit sehat, vitamin C yang
berfungsi sebagai penyerapan zat gizi besi. Vitamin E yang berperan untuk
mencegah kerusakan struktur Sel membrane dan antioksidan
2.2.3

Indeks Antropometri
Ukuran antropometri dalam rangka penilaian status gizi digunakan dalam

bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi antara masing- masing ukuran
indikator antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi adalah BB/U,
TB/U atau PB/U, BB/TB atau BB/PB, LILA/U, Lingkar Dada/U (LD/U), Lingkar
Kepala/U (LK/U), TLBK/U, Indeks Ponderal, Indeks Massa Tubuh, Rasio Lingkar
Pinggang Panggul (RLPP), Tinggi Lutut.
1. Indeks BB/U
Ιndeks BB/U adalah pengukuran total berat badan, termasuk air, lemak,
tulang, dan otot, dan diantara beberapa macam indeks antropometri, indeks BB/U
merupakan indikator yang paling umum digunakan. Indikator BB/U menunjukkan
secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah Untuk anak
pada umumnya, indeks ini merupakan cara baku yang digunakan untuk mengukur
pertumbuhan. Kurang berat badan tidak hanya menunjukkan konsumsi pangan yang
tidak cukup tetapi juga mencerminkan keadaan sakit yang baru saja dialami, seperti
mencret yang mengakibatkan berkurangnya berat badan.
Pengukuran berat badan menurut umur secara teratur dan sering dapat
dipergunakan sebagai indikator kurang gizi. Hasil pengukuran ini dapat menunjukkan

37

keadaan kurang gizi akut atau gangguan-gangguan yang mengakibatkan laju
pertumbuhan terhambat.
2. Indeks TB/U atau PB/U
Tinggi badan kurang peka dipengaruhi oleh pangan dibandingkan dengan
berat badan. Oleh karena itu tinggi badan menurut umur yang rendah biasanya akibat
dari keadaan kurang gizi yang kronis, tetapi belum pasti memberikan petunjuk bahwa
konsumsi zat gizi pada waktu ini tidak cukup TB/U lebih menggambarkan status gizi
masa lalu. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah (7 th) menggambarkan status
gizi pada masa balita adalah sama dengan seperti pada yang sudah dibahas
sebelumnya yang menyangkut pengukuran itu sendiri maupun ketelitian data umur.
Umur yang lebih panjang (setengah tahunan atau tahunan) memperkecil
kemungkinan kesalahan data umur.
Indeks TB/U disamping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa
lampau juga lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi (Beaton dan
Bengoa, 1973). Oleh karena itu indeks TB/U selain digunakan sebagai indikator
status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial
ekonomi masyarakat.
3. Indeks BB/TB atau BB/PB
Ukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan BB/TB atau BB/PB
karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik.
Berat badan memiliki hubungan linier dengan berat badan. dalam keadaan normal
akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Pada tahun

38

1966 Jelliffe memperkenalkan penggunaan indeks BB/TB untuk identifikasi status
gizi, indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menanyakan status gizi saat
ini, terlebih bila data umur akurat sulit diperoleh, oleh karena itu indeks BB/TB
disebut pula indicator status gizi yang independen terhadap umur. Karena indeks
BB/TB dapat memberikan gambaran tentang proporsi berat badan relative terhadap
indikator kekurangan, seperti halnya dengan indeks BB/U.

2.3 Dampak Gizi Buruk pada Balita
Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan
pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak
yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap
akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal (Santoso, 2003). Dampak
yang mungkin muncul dalam pembangunan bangsa di masa depan karena masalah
gizi antara lain :
1. Kekurangan gizi adalah penyebab utama kematian bayi dan anak-anak. Hal ini
berarti berkurangnya kuantitas sumber daya manusia di masa depan. Kekurangan
gizi berakibat meningkatnya angka kesakitan dan menurunnya produktivitas kerja
manusia. Hal ini berarti akan menambah beban pemerintah untuk meningkatkan
fasilitas kesehatan.
2. Kekurangan gizi berakibat menurunnya tingkat kecerdasan anak - anak.
Akibatnya diduga tidak dapat diperbaiki bila terjadi kekurangan gizi semasa anak
dikandung sampai umur kira-kira tiga tahun. Menurunnya kualitas manusia usia

39

muda ini, berarti hilangnya sebagian besar potensi cerdik pandai yang sangat
dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.
3. Kekurangan gizi berakibat menurunnya daya tahan manusia untuk bekerja, yang
berarti menurunnya prestasi dan produktivitas kerja manusia. Kekurangan gizi
pada umumya adalah menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Masalah gizi
masyarakat pada dasarnya adalah masalah konsumsi makanan rakyat. Karena
itulah program peningkatan gizi memerlukan pendekatan dan penggarapan
diberbagai disiplin, baik teknis kesehatan, teknis produksi, sosial budaya dan lain
sebagainya (Suhardjo, 2003).

2.4 Penilaian Status
1. Persen terhadap Median
Cara perhitungannya yaitu berat badan atau tinggi badan actual (hasil
pengukuran) masing-masing individu dibandingkan dengan nilai median berat badan
atau tinggi badan pada baku rujukan (WHO-NCHS).
Menurut ketetapan WHO, klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut:
Dengan indeks BB/U: ≥ 80% = status gizi baik (Normal)
< 80% = status gizi kurang (KEP)
< 60% = status gizi buruk (KEP)
Dengan indeks TB/U: ≥ 90% = status gizi baik (Normal)
< 90% = status gizi kurang (KEP)
< 80% = status gizi buruk (KEP)

40

Dengan indeks BB/TB: ≥ 85% = status gizi baik (Normal)
< 85% = status gizi kurang (KEP)
2. Z-Skor
Pertama kali dianjurkan oleh WHO pada tahun 1979, di Indonesia
penggunaan Z-Skor untuk penilaian status gizi anak balita telah disepatkati pada
semiloka antropometri tahun 1991. Kemudian pada tanggal 17-19 Januari 2000 telah
diadakan Diskusi Pakar dibidang Gizi yang diselenggarakan oleh persagi bekerja
sama dengan UNICEF-Indonsesia dan LIPI. Salah satu agenda diskusi adalah tentang
keseragaman instilah status gizi dan baku antropometri yang dipakai. Diskusi pakar
telah menyepakati bahwa:
a.

Baku antropometri yang digunakan adalah WHO-NCHS

b.

Istilah status gizi:

1) BB/U:

gizi lebih: > 2,0 SD
gizi baik: -2,0 SD s/d + 2 SD
gizi kurang: -2,0 SD
gizi buruk: -3,0 SD

2) TB/U:

normal: > -2,0 SD
pendek: < -2,0 SD

3) BB/TB: gemuk: > 2,0 SD
normal: -2,0 SD s/d + 2 SD
kurus: < -2,0 SD S
Sangat kurus: