Peran Bidan Dalam Penangananmasalah Gizi Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pargarutan Kabupaten Tapanuli Selatantahun 2015

17

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Masalah gizi pada anak masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat
satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi.
Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena
masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan, didukung pula oleh
kekurangan gizi selama masih di dalam kandungan. Masalah kesehatan masyarakat
dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0% sampai 29,0% dan
dianggap pervalensi sangat tinggi ≥30% (WHO, 2013).
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai pencapaiannya dalam MDGs
adalah status gizi balita. Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan
(BB) dan tinggi badan (TB). Variabel umur, BB dan TB ini disajikan dalam bentuk
tiga indikator antropometri, yaitu : berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Kemenkes
RI, 2014).
Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development
Goals (MDGs) yang harus dicapai di suatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015.

Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013, secara nasional prevalensi
berat-kurang sebesar 19,6% terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang.
Pencapaian target MDGs tahun 2015 sebesar 15,5% maka prevalensi gizi buruk-

1

18

kurang harus diturunkan sebesar 4,1% dari tahun 2013 sampai 2015. Masalah gizi
berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi yang prevalensi sangat tinggi
adalah Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur (Bappenas, 2012).
Prevalensi balita gizi buruk dan kurang di Sumatera Utara tahun 2013 sebesar
22,4% yang terdiri dari 8,3% gizi buruk dan 14,1% gizi kurang. Angka ini masih
termasuk dalam kategori tinggi (standar WHO; 5-9% rendah, 10-19% medium, 2039% tinggi, >40% sangat tinggi), sedangkan target sasaran MDGs tahun 2015 yaitu
15,5%. Berdasarkan 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara terdapat 3 kabupaten
tertinggi prevalensi gizi berat dan kurang yaitu Padang Lawas (41,4%), Nias Utara
(40,7%) dan Nias barat (37,5%), sedangkan yang sudah mencapai target MDGs
adalah Kabupaten Samosir (13,2%) dan Kota Pematang Siantar (15,3%). Namun
Kabupaten Tapanuli Selatan juga masih dibawah taget MDGS yaitu sebesar 18,6%

(Dinkes Pemprovsu, 2014).
Dampak dari keadaan gizi buruk menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, kreativitas dan
produktifitas penduduk. Kejadian gizi buruk tidak terjadi secara akut tetapi ditandai
dengan kenaikan berat badan anak yang tidak cukup selama beberapa bulan
sebelumnya yang bisa diukur dengan melakukan penimbangan secara bulanan.
Sebagian besar kasus gizi kurang dan gizi buruk dengan tatalaksana gizi buruk dapat
dipulihkan di puskesmas maupun rumah sakit (Depkes, 2012).

19

Gangguan pertumbuhan akibat gizi buruk tidak hanya terjadi di daerah yang
kurang pangan. Tidak hanya juga terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial
ekonomi rendah. Bahkan di daerah penghasil pangan masih terjadi kasus gizi buruk.
Pun di perkotaan dan ditengah keluarga dengan kondisi sosial ekonomi menengah.
Penyebab gizi kurang dan gizi buruk dapat dipilah menjadi tiga hal, yaitu:
pengetahuan dan perilaku serta kebiasaan makan; penyakit infeksi; ketersediaan
pangan (Kemenkes RI, 2014).
Secara nasional upaya pencegahan gizi buruk dilakukan melalui 3 tahap.
Dalam jangka pendek, dilaksanakan tatalaksana penanggulangan gizi buruk

mencakup sistem kewaspadaan dini secara intensif, pelacakan kasus dan penemuan
kasus baru serta menangani kasus gizi buruk dengan perawatan di puskesmas dan
posyandu dengan mengaktifkan kegiatan preventif dan promotif, meningkatkan
cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan termasuk tatalaksana gizi buruk bagi
petugas rumah sakit dan puskesmas perawatan serta pemberdayaan keluarga di
bidang ekonomi, pendidikan dan ketahanan pangan. Dalam jangka panjang,
dilakukan dengan mengintegrasikan program perbaikan gizi dan ketahanan pangan
dalam program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan keluarga untuk
menerapkan perilaku sadar gizi (Depkes RI, 2012).
Salah satu cara untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk
adalah dengan menjadikan tatalaksana gizi buruk sebagai upaya menangani setiap
kasus yang ditemukan. Pada saat ini seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi tatalaksana gizi buruk menunjukkan baha kasus ini dapat ditangani dengan

20

dua pendekatan. Gizi buruk dengan komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia
berat, dehidrasi berat, demam tinggi dan penurunan kesadaran) harus dirawat di
rumah sakit, puskesmas perawatan, pusat pemulihan gizi (PPG), sedangkan gizi
buruk tanpa komplikasi dapat dilakukan secara rawat jalan.

Penanganan gizi buruk secara rawat jalan dan rawat inap merupakan jawaban
terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Perbaikan Gizi,
yaitu setiap anak gizi buruk yang ditemukan harus mendapatkan perawatan sesuai
dengan standar. Untuk melakukan penanganan anak gizi buruk secara rawat jalan dan
rawat inap diperlukan buku pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk.
Penatalaksana yang dilakukan dalam penanggulangan balita gizi buruk adalah
dengan upaya penjaringan kasus, rujukan dan perawatan gratis di puskesmas maupun
rumah sakit, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) serta upaya-upaya lain 50% dan
pada balita dengan jenis kelamin laki-laki ada 25,5% selebihnya sedang. Data tentang
status gizi balita mengindikasikan tingginya akngka kurang gizi (Depkes RI, 2012).
Bidan merupakan pemberi pelayanan kesehatan di tingkat dasar. Pelatihan ini
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bidan dalam
penatalaksanaan kasus gizi buruk pada anak balita. Diharapkan dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas di masyarakat khususnya pada anak balita,
sehingga dapat menanggulangi masalah gizi buruk di masyarakat (Setyaningsih,
2009).
Pelayanan yang dilakukan oleh bidan di desa dan bidan di poskesdes meliputi
upaya promotif, preventif dan kuratif. Adapun kegiatan yang dilakukan bidan dalam

21


kegiatan gizi di poskesdes antara lain menentukan status gizi secara antropometri dan
klinis yang dirujuk posyandu untuk menentukan tindak lanjut sesuai dengan
tatalaksana gizi buruk. Penanganan balita Bawah Garis Merah dan gizi kurang,
konseling gizi, serta rujukan kasus baik kasus dari posyandu maupun dari
keluarga/masyarakat. Disamping itu bidan juga bertanggung jawab dalam membina,
memantau kegiatan posyandu serta kegiatan pendampingan keluarga (Depkes, 2012).
Sesuai

dengan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

RI

Nomor


900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, dalam pasal 15
ayat 3 yaitu pelayanan kebidanan yang ditujukan kepada anak, diberikan pada masa
bayi baru lahir, masa bayi, masa anak balita dan masa pra sekolah. Pelayanan yang
diberikan diantaranya pemantauan tumbuh kembang, pemberian imunisasi dan
pemberian penyuluhan.
Bidan dalam pelayanannya memiliki 4 peran penting, yaitu peran sebagai
pelaksana, peran sebagai pengelola, peran sebagai pendidik, peran sebagai peneliti
(Heryani, 2011). Dari hasil Rakernas IBI 2011 empat peran bidan tersebut
dikembangkan menjadi enam peran utama bidan, yaitu peran sebagai pelaksana
asuhan yang memiliki tugas pokok : asuhan kebidanan ibu dan anak, KB/kesehatan
reproduksi, peran sebagai pengelola/manager yang asuhan dan unit kesehatan
dibawah tanggung jawabnya, peran sebagai pendidik yaitu kepada ibu, keluarga dan
masyarakat/formal, peran sebagai peneliti yaitu yang berhubungan dengan kemajuan
ilmu, peningkatan pelayanan. (evidence based), serta peningkatan diri, peran sebagai
pemberdaya yaitu menggali potensi ibu/keluarga untuk kesehatan ibu dan anak yang

22

optimal, dan peran sebagai Advokasi dengan segala permasalahan sosial budayapolitik-ekonomi yang berhubungan dengan asuhan kebidanan (Mufdlilah, dkk, 2012).

Bila dilihat ketersediaan bidan di desa, masih banyak desa yang tidak
memiliki bidan. Hanya provinsi di pulau Jawa dan sebagian kecil Sumatera yang
melebihi 80% desa yang memiliki bidan. Papua dan Papua Barat barkisar antara 2040%, sebagian besar provinsi di pulau Kalimantan baru 40-60% desa yang memiliki
bidan. Dari penyebarannya terlihat, sebagian besar masih berkumpul di pulau Jawa.
Kendala bagi keberadaan bidan di desa antara lain: 1) Di kabupaten tertentu jumlah
bidan tidak sesuai dengan jumlah desa. Untuk itu perlu dilihat ketersediaan dan
pemanfaatan perawat di desa. 2) Bidan desa tidak bertempat di desa sesuai dengan
Surat Keputusan Bupati, dan 3) Tidak adanya reward dan punishment bagi bidan desa
(Kemenkes RI, 2014).
Hasil penelitian Setyaningsih (2009) bahwa keterampilan bidan dalam
manajemen penatalaksanaan kasus gizi buruk pada anak balita, sebagian besar belum
melakukan deteksi dini tumbuh kembang secara lengkap, belum melakukan
penatalaksanaan perawatan fase stabilisasi secara lengkap, serta sudah melakukan
penatalaksanan perawatan fase tindak lanjut secara lengkap.
Hasil penelitian Mousa dkk (2011), menunjukkan bahwa intervensi
pendidikan kesehatan dan gizi pada orang tua atau keluarga yang mempunyai anak
balita akan merubah perilaku dari keluarga itu terutama dalam hal pengasuhan dan
pemberian makan pada anak sehingga akan meningkatkan status gizi anak balita di
keluarga itu. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Widarti (2010) di


23

wilayah Tabanan, Bali. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa konseling gizi
kepada ibu berpengaruh terhadap konsumsi gizi dan status gizi anak balitanya.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan
tahun 2014 terdapat 133 gizi buruk pada anak balita dan 40 kasus gizi buruk yang
tersebar di 16 puskesmas sedangkan kasus gizi kurang sebanyak 880 orang
dikabupaten Tapanuli Selatan, di Puskesmas Pargarutan sebanyak 8 orang. Pada
kasus masalah gizi yang mengalami penyakit paling besar itu adalah TB paru.
Puskesmas Pargarutan merupakan puskesmas yang tertinggi masalah gizi pada balita
yaitu 96 orang dan gizi kurang sebanyak 8 orang, 10 kasus gizi buruk. Melihat data
tersebut menunjukkan bahwa masih banyak kasus masalah gizi yang belum pulih,
karena lebih dari 50% merupakan kasus lama (Dinkes Kab. Tapanuli Selatan, 2014).
Hasil survei awal, didapatkan bahwa jumlah bidan di wilayah kerja
Puskesmas Pargarutan adalah 28 orang dan ditemukan 1 orang petugas gizi dengan
pendidikan DI-kebidanan. Keberhasilan penanggulangan balita gizi buruk di
Puskesmas Pargarutan belum optimal. Hasil wawancara dari petugas gizi mengatakan
apabila ditemukan kasus gizi buruk, maka Dinas Kesehatan berkerjasama dengan
petugas puskesmas untuk memantau dan menangani kasis gizi buruk ke lapangan
dengan cara mengukur antropometri seperti berat badan, tinggi badan dan LiLa.

Setelah itu, apabila anak ditemukan menderita penyakit maka akan segera di rujuk ke
rumah sakit, sedangkan jika anak tidak menderita penyakit maka akan dirawat inap di
Puskesmas dengan memberikan makanan tambahan, tetapi petugas tidak melakukan
konseling kepada orangtua. Padahal kenyataannya, apabila ditemukan kasus gizi

24

buruk petugas gizi harus melakukan konseling kepada orangtua. Ini juga disebabkan
karena rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan khususnya Posyandu, dimana
kebanyakan ibu melakukan kunjungan ke Posyandu hanya untuk mendapatkan
imunisasi lengkap sedangkan untuk pemantauan dan perkembangan balita tidak
dilakukan setiap bulannya.
Oleh karena itu, upaya optimalisasi penanganan masalag gizi pada balita
dianggap perlu untuk melihat peran bidan bidan. Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis tertarik meneliti tentang peran bidan dalam penanganan masalah gizi pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pargarutan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun
2015.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, maka permasalah dalam penelitian ini adalah

Bagaimana peran bidan dalam dalam penanggulangan masalah gizi pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pargarutan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui peran bidan sebagai pelaksana, pngelola, pendidik, peneliti dalam
penanganan masalah gizi pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pargarutan
Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015.

25

1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Tapanuli
Selatan untuk peningkatan pelayanan agar dapat meningkatkan peran bidan dalam
upaya program penanganan masalah gizi balita.
2. Untuk memberikan pengalaman dan pengetahuan yang berkaitan dengan
penanganan masalah gizi balita di puskesmas dan diharapkan dapat menjadi
acuan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.