Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
“beberapa waktu yang lalu anak saya Steven pernah berkata penuh
kesedihan, dia bilang dia takut nakal seperti waktu kecil dulu, terus
dibuang. Dia takut kalau nggak pinter nanti nggak disayang lagi. Takut
kalau enggak juara nanti mama papa marah, dsb. Kondisi emosional
Steven memang rapuh dan hal itu sebagian besar salah saya juga. Waktu
dia kecil, saat puncak kenakalannya saya sering mengancamnya kalau
Steven mau disayang, Steven harus jadi anak pinter, anak baik, enggak
boleh nakal. Mama enggak mau kalau Steven nakal. Steven pilih mau
dikasih ke siapa bla.. bla.. bla..” (Setiawati, 2008)
Kisah seperti dalam kutipan di atas, banyak ditemukan dalam keluarga di
kehidupan sehari-hari (Setiawati, 2008). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan
persepsi antara anak dengan orang tua. Anak merasakan beban terhadap tuntutan
yang diberikan dalam didikan orang tuanya padahal orang tua berharap didikan
yang diberikan dalam pola asuh mereka dapat membantu anaknya untuk mencapai
kesuksesan. Keterbatasan pemikiran anak menyebabkan anak tidak dapat melihat
makna tersirat dibalik perilaku yang ditampilkan orang tua dalam mendidik
sehingga terdapat kesenjangan antara tujuan dari perilaku yang ditampilkan orang

tua dengan hasil yang diterima anak dari perilaku tersebut (Setyono, 2007).
Ketika anak melakukan kesalahan dan langsung mendapat pengarahan dari
orang tuanya, maka kesenjangan persepsi antara orang tua dengan anak dapat
dijelaskan secara perlahan. Akan tetapi, seringkali anak tidak mampu
mengungkapkan dirinya dan menerima tindakan orang tuanya sebagaimana yang
ia persepsikan. Akibatnya, anak menjadi tertekan dengan didikan orang tuanya

1
Universitas Sumatera Utara

dan menghasilkan reaksi terhadap tekanan tersebut hingga terbentuk suatu pola
perilaku yang telah menjadi sebuah kebiasaan hingga mereka dewasa (Setyono,
2007) bahkan Setyono menambahkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi karakter
anak.
Jika anak dapat merasakan ketakutan dan kebingungan dalam menjalani
hidup sebagai akibat dari perlakuan yang ia terima walaupun tidak ada perlakuan
fisik yang diberikan oleh orang tuanya, maka hal ini dikatakan sebagai salah satu
bentuk kekerasan yakni kekerasan emosi karena anak merasakan dampak
kekerasan terhadap kondisi psikologisnya (Jantz & McMurray, 2009). Dalam
kasus tertentu, individu yang mengalami kekerasan emosi tidak menyadari bahwa

mereka merupakan korban kekerasan. Hal ini menyebabkan kekerasan emosi
terus berlangsung selama periode waktu tertentu (Jewkes, 2010).
Gunawan (2009) mendefinisikan kekerasan emosi sebagai bentuk perilaku
seseorang atau lingkungan yang dapat merusak citra diri dan harga diri individu
yang menerima perlakuan tersebut. Kekerasan emosi juga dilihat sebagai suatu
pola konsisten dalam memberi perlakuan kepada orang lain secara tidak adil
selama periode waktu tertentu dan biasanya dilakukan oleh orang yang sama
(Jantz & McMurray, 2013). Kekerasan emosi ditunjukkan dalam bentuk perilaku
negatif yang digunakan untuk mengontrol atau menyakiti orang lain secara
berkelanjutan. Kekerasan emosi memiliki berbagai bentuk perilaku yang berbedabeda termasuk kekerasan verbal maupun ancaman tindak kekerasan.

2
Universitas Sumatera Utara

Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan emosi dapat dilihat dalam
berbagai bentuk perilaku seperti membiarkan seseorang mengalami kesepian,
tidak memberikan dukungan emosional dan sentuhan fisik, pengabaian,
penolakan, mendiamkan individu dalam kehidupan sosial, tidak melakukan
komunikasi, tidak mengizinkan individu mengungkapkan emosi yang dialami,
membuat individu merasa bersalah, memberikan hukuman untuk hal-hal sepele

yang tidak sebanding dengan perilaku individu, memberikan label dan
membiarkan seseorang menjadi korban bully dalam lingkungannya, serta bentukbentuk lain yang menimbulkan rasa takut, malu, pengerusakan diri, isolasi sosial,
dan lain sebagainya. Kondisi ini dapat berawal dari ketidakpedulian yang
konsisten hingga berlanjut menjadi sikap meremehkan orang lain secara terus
menerus (Hunt, 2013).
Krumins (2011), dalam kisahnya ketika mengalami kekerasan emosi yang
dituang dalam buku The Detrimental Effects of Emotional Abuse , mengatakan
bahwa individu yang memiliki kekuasaan dapat lebih mudah melakukan
kekerasan emosi dengan mengontrol serta memanipulasi situasi dan kondisi
lingkungan ketika terjadi kekerasan sehingga banyak individu lain yang berada
dalam situasi tersebut tidak menyadari terjadinya kekerasan. Jantz (2009)
menyatakan bahwa budaya yang menerima adanya sifat dominansi dalam
menjalin hubungan bermasyarakat akan memungkinkan munculnya kekerasan
emosi dalam menjalin hubungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya
kesenjangan peran masing-masing individu disebabkan oleh status yang dibawa
sejak lahir bukan karena kondisi pribadi masing-masing.

3
Universitas Sumatera Utara


Di sisi lain, lingkungan tempat tinggal juga mampu memberikan tuntutan
kepada masyarakat di dalamnya agar dapat berperilaku sesuai dengan harapan dan
norma-norma yang terdapat dalam lingkungan tersebut. Bentuk tuntutan yang
ditanamkan dalam diri individu dapat menjadi sebuah tekanan terutama dalam
lingkungan yang menanamkan nilai kebudayaan patriaki dan matriaki. Budaya
Indonesia yang menganut sistem patriarki dan matriarki menunjukkan adanya
dominansi yang ditanamkan dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai
budaya yang ada akan membentuk status berupa hirarki dalam kelompok
masyarakat. Hirarki yang terbentuk menunjukkan adanya peran yang lebih tinggi
dibandingkan peran lainnya baik dalam kelompok usia, status sosial, maupun
garis keturunan dalam keluarga. Hirarki dalam masyarakat membuat kekerasan
emosi yang dilakukan oleh individu dengan status yang lebih tinggi seringkali
tidak disadari oleh korbannya (Semium, 2010). Hal ini didukung dengan kutipan
wawancara berikut:
“...waktu aku di tempat itu kak, disitu benar-benar ditanamkan kali kalo
orang-orang kayak kami cuma bisa jadi kayak penjahit kek-kek gitu
soalnya disitu kami dilatih menjahit pokoknya keterampilan-keterampilan
gitu. Waktu itu juga susternya, tempat itu kan pembinanya ada susternya
gitu, bilang karna aku juga cerita kalo aku mau jadi psikolog, susternya
kayak bilang nggak mungkin, realistis aja lihat kondisi kami, gak usah

punya cita-cita yang ketinggian”. (Komunikasi personal, Maret 2015)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tuntutan yang diberikan dalam
lingkungan tidak disadari sebagai bentuk kekerasan terutama ketika pelaku
kekerasan merupakan individu dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam
lingkungan masyarakat tersebut. Kedudukan ini dibentuk berdasarkan status
sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.

4
Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi, Henslin (2007) dalam bukunya mengatakan bahwa status
sosial merupakan kerangka dasar untuk hidup dalam masyarakat. Status sosial
dibentuk agar memiliki tingkat kedudukan yang berbeda-beda tergantung dari
lingkungan di mana status sosial tersebut berlaku sehingga beberapa individu
dalam suatu kelompok masyarakat memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan yang lainnya. Hal ini terjadi karena status sosial berfungsi sebagai
panduan setiap individu untuk berperilaku dalam masyarakat. Beberapa status
merupakan bawaan lahir seperti jenis kelamin dan status dalam keluarga seperti
orang tua-anak. Keluarga yang memiliki anak lebih dari satu orang juga akan
menanamkan status sosial dalam memberi perlakuan kepada anak-anaknya. Anak

tertua ditanamkan untuk dapat menjadi pedoman bagi saudaranya yang lebih
muda. Sedangkan pada anak yang lebih muda ditanamkan untuk menghormati
saudaranya yang lebih tua terlepas dari kondisi pribadi kedua anak tersebut.
Selain itu ada juga status capaian, yaitu status yang didapatkan setelah
seorang individu berhasil meraih suatu pencapaian tertentu seperti jabatan dalam
pekerjaan atau status pasangan suami-istri setelah menikah. Dalam satu waktu,
terdapat status yang berbeda-beda dalam suatu kelompok masyarakat sehingga
akan terlihat seperti sebuah hirarki seperti status suami-istri dalam suatu keluarga
yang sedang berkumpul. Dalam kehidupan masyarakat, seorang istri ditanamkan
untuk menghormati suaminya yang merupakan seorang kepala keluarga tanpa
memandang kondisi istri secara personal. Mungkin saja seorang istri lebih baik
dalam berbagai hal dibandingkan suaminya tetapi seorang istri tetap dituntut
untuk menghormati suaminya yang menjadi kepala keluarga sehingga apapun

5
Universitas Sumatera Utara

yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya akan diterima termasuk
berbagai bentuk kekerasan emosi yang terlihat dalam kutipan berikut:
“…udah pernah Clar, waktu itu aku marah kubilang kan, kamu kok

sombong gitu sih. Terus dia jawab, kamu tau nggak aku kayak gini kan
gara-gara kamu. Kamu juga cuek, nggak bisa ngeredain emosiku kalo aku
lagi marah. Sombongku ini nggak ada apa-apanya dibandingkan sama
kamu. Kita jauh gini, aku bisa aja ninggalin kamu kapanpun, tapi nggak
aku lakukan kan, makanya kamu harusnya berubah biar jadi istri yang
baik. Setelah itu ya aku diam terus mikir iya emang aku sombong kali ya,
aku cuek kali. Terus kubilang sama dia, ya udah nanti aku usahain
berubah” (Komunikasi personal, September 2015)
Hal ini juga berlaku pada status sosial lainnya yang berada dalam satu
garis hirarki seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:
“…nggak berani La, aku segan. Aku pernah dipukul pas lagi main-main
sama abangku. Dia diam gitu orangnya, kalo di kamar langsung dikunci
pintunya, jadi yang lain segan sama dia. Dulu pernah dia marah karna
nggak dipanggil abang. Nggak berani jadinya. Padahal dulu kami sering
main sama, sekarang udah diam-diaman.” (Komunikasi personal, Januari
2015)
Pada akhirnya, individu yang mendapat tuntutan tersebut akan
menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan yang diberikan walaupun tidak sesuai
dengan dirinya sehingga kekerasan emosi yang dialami dapat terjadi dalam jangka
waktu yang lama tanpa ada bentuk perlawanan dari individu yang mengalami

kekerasan emosi tersebut (Jantz & McMurray, 2013).
Menurut Gunawan (2009) kekerasan emosi saat ini berlangsung intens dan
sistematis dalam berbagai aspek kehidupan. Kekerasan ini merupakan kekerasan
yang tidak kasat mata yang dilakukan baik dalam lingkungan keluarga maupun
masyarakat tetapi dapat merusak citra diri dan harga diri individu yang
mengalami kekerasan emosi. Salah satu bentuk kekerasan emosi yang terjadi

6
Universitas Sumatera Utara

tanpa disadari adalah adanya tuntutan untuk menjadi sesuatu yang diinginkan oleh
pelaku kekerasan yang tidak sesuai dengan diri individu yang mengalami
kekerasan emosi. Besarnya kesenjangan antara tuntutan yang diberikan
masyarakat dengan kondisi individu yang mengalami kekerasan emosi pada
akhirnya akan membuat individu tersebut mengalami kebingungan dalam
menjalani hidupnya dan keraguan mengenai dirinya sendiri (Lachkar, 2004).
Individu yang mengalami kekerasan emosi tersebut dapat menjadi cemas,
menutup diri, dan tidak mampu mengungkapkan emosinya karena merasa adanya
penolakan terhadap dirinya. Hal ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut ini,
“.. dulu waktu aku bilang mau kuliah, langsung dibilang samaku, jalan aja

susah apalagi kuliah. Nyusahin orang nanti. Setelah dibilang kayak gitu,
ya aku diem, kak, gak tau lagi mau ngapain. Mau nangis rasanya, kak,
habis itu aku langsung pergi masuk kamar”. (Komunikasi personal, Maret
2015)
Dari petikan wawancara tersebut, terlihat bahwa individu tersebut tidak
mampu lagi mengungkapkan emosinya setelah mengalami kekerasan emosi
berupa penolakan dari lingkungannya sehingga ia tidak mampu mengembangkan
dirinya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Grynch dan
Fincham (dalam Sturge-Apple, Skibo, & Davies, 2012) mengenai Pengaruh
Konflik Pada Orangtua dan Kekerasan Terhadap Anak, yang mengatakan bahwa
korban akan meragukan kenyataan dalam dirinya dan seringkali merasa malu
terhadap kondisi psikologisnya setelah mengalami kekerasan emosi.
Hutchinson

(2014)

menyatakan

bahwa


kekerasan

emosi

dapat

mempengaruhi perkembangan sosial dan psikologis individu yang mengalaminya

7
Universitas Sumatera Utara

akibat adanya penolakan, penahanan terhadap kasih sayang, penghinaan, dan
kritikan yang diberikan yang dapat menghambat perkembangan individu tersebut.
Dampak yang disebabkan oleh kekerasan emosi yang dialami individu dalam
lingkungan sosial, membuat individu tersebut melakukan penolakan terhadap
dirinya dan berusaha memaksakan diri untuk membentuk diri sesuai dengan
tuntutan yang diberikan sehingga potensi yang dimiliki tidak dapat berkembang
dengan optimal.
Individu yang mengalami kekerasan emosi juga akan mengalami depresi,
kebingungan dengan kehidupan realita yang dimiliki, merasa rendah diri,

kehilangan harapan, bahkan kekerasan emosi yang dialami secara terus menerus
dapat membuat individu mengalami kehampaan hidup yang berhubungan pada
tindakan-tindakan untuk melukai diri sendiri dan pemikiran-pemikiran bunuh diri
(Rallis, Deming, Glenn, & Nock, 2012). Kekerasan emosi yang dilakukan dalam
waktu tertentu secara terus menerus dapat membuat individu tersebut mengalami
penolakan terhadap dirinya seperti pada kutipan wawancara berikut ini:
“…aku nggak tau mau ngapa-ngapain lagi kayaknya udah sama aja semua.
Aku nggak siap kehilangan, nggak akan pernah siap pokoknya.. mending
aku yang pergi duluan jadi aku nggak ngerasain mereka pergi. Waktu itu
aku beli obat tidur di apotik. Awalnya cuman beberapa aja, baru kucoba
agak banyak sekali minum, habis itu langsung nggak enak badanku tapi
kutahankan aja.” (Komunikasi personal, Mei 2014)
Penolakan dari lingkungan terhadap diri individu yang mengalami
kekerasan emosi membuat mereka kehilangan harapan dan merasa bahwa hidup
tidak lagi berarti bagi mereka (Hunt, 2013). Daniels-Lake (2010) menyatakan
bahwa individu yang mengalami kekerasan emosi akan merasa dirinya tidak

8
Universitas Sumatera Utara

berguna, tidak dicintai, dan dalam beberapa kasus mengarahkan pada usaha bunuh
diri.
Selain mengubah pandangan diri individu tersebut, kekerasan emosi yang
dialami

juga

memberikan efek

terhadap

kondisi

fisik

individu

yang

mengalaminya. Lachkar (2004) juga menyatakan bahwa banyak individu yang
mengalami kekerasan emosi pada akhirnya menyatakan bahwa mereka merasa
hampa dan kebingungan dalam menjalani hidup, merasakan tidak memiliki
hubungan dengan kenyataan, bahkan beberapa individu lain mengalami
psikosomatis, yaitu ketidaknyamanan atau sakit yang dirasakan pada bagian tubuh
tertentu tetapi penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara medis atau beberapa
penyakit kronis, serta tidak jarang penolakan ini mengarahkan mereka untuk
melakukan penyiksaan terhadap diri sendiri.
Kekerasan emosi juga memiliki dampak terhadap hubungan sosial yang
dimiliki individu yang mengalaminya. Hal ini terjadi karena adanya penolakan
dalam lingkungan sehingga individu tersebut cenderung menarik diri dari
lingkungan sosial atau menjadi sangat tergantung pada kelompok-kelompok sosial
tertentu untuk mendapat penerimaan sehingga ia kehilangan karakter asli dirinya
dan cenderung mengubah diri sesuai dengan keinginan kelompoknya (Jantz &
McMurray, 2013). Namun, lingkungan sosial tidak bersifat statis melainkan selalu
berubah dan berkembang yang menuntut adanya adaptasi dalam diri setiap
individu yang berada dalam lingkungan tersebut untuk dapat mencapai
keseimbangan (Laurens, 2005). Individu yang mengikuti perubahan lingkungan
sosial tanpa menyesuaikan dengan dirinya sendiri akan kembali mengalami
9
Universitas Sumatera Utara

kebingungan dengan dirinya sendiri ketika terjadi perubahan pada lingkungan
sosialnya. Selama lingkungan selalu berubah dan berkembang maka individu
tersebut akan terus melakukan perubahan terhadap dirinya sendiri.
Pada dasarnya, kekerasan emosi memiliki dampak terhadap perkembangan
psikologis korbannya karena hanya menyentuh sisi emosional individu yang
mengalami kekerasan emosi. Hanya saja, kesehatan psikologis merupakan hal
yang mendasar dalam pengembangan diri setiap individu (Jantz & McMurray,
2009). Sebagai akibatnya, individu yang mengalami kekerasan emosi mengalami
kesulitan dalam mengembangkan dirinya karena kekerasan emosi yang dialami
telah merusak citra diri dan harga diri mereka (Gunawan, 2009; Sturge-Apple,
Skibo, & Davies, 2012). Lachkar (2004) juga menambahkan bahwa individu yang
mengalami kekerasan emosi merasa kebingungan dalam menjalani hidup karena
mereka tidak memiliki hubungan dengan realita sebagai akibat dari besarnya
kesenjangan antara tuntutan yang diberikan dengan diri mereka sehingga
menyebabkan mereka tidak lagi memahami dirinya sendiri.
Kurangnya pemahaman akan diri sendiri menyebabkan individu yang
mengalami kekerasan emosi menjalani kehidupan tanpa arah dan hanya terpaku
pada pemenuhan tuntutan dari lingkungan yang memberikan kekerasan emosi
agar mendapat penerimaan sosial (Wright, 2012). Hal ini terlihat dari kutipan
wawancara berikut ini:
“ya aku lakuin aja, soalnya emang udah dari dulu aku dibilangin kayak
gitu, dari kecil.. kami kan sama-sama terus, bahkan teman-temannya juga
bilang kayak gitu di depanku, ya aku terima aja. Kakakku marah kalau ada
temannya yang bilang aku lebih cantik, habis itu dia langsung marah-

10
Universitas Sumatera Utara

marah minta dibeliin baju yang lebih cantik lagi. Dia juga bilang aku kan
jauh lebih cantik dari X, dia mah nggak ada apa-apanya, gitu katanya. Dari
situ juga aku lihat memang dia lebih cantik kok, pacarnya banyak
makanya aku terima-terima aja” (Komunikasi personal, April, 2014)
Berdasarkan kutipan ini terlihat bahwa individu yang mengalami
kekerasan emosi pada akhirnya menerima bentuk kekerasan tersebut sebagai
bagian dari dirinya walaupun tidak sesuai dengan kenyataan mengenai dirinya.
Beberapa individu lain bahkan menolak kenyataan tentang dirinya karena berbeda
dengan tuntutan yang diterima selama terjadinya kekerasan emosi, seperti pada
kutipan berikut:
“Dari dulu emang nggak ada sih yang bilang gitu, tapi aku ngerasa
sekarang aku cuek kali. Pokoknya semenjak aku kenal dia, dia yang selalu
nasehatin aku. Dia bilang aku orangnya cuek kali, sombong, gak bisa
pengertian, gak cocok jadi istri, makanya aku sekarang lagi berusaha buat
nggak cuek lagi. Jadi setiap dia marah ya aku berusaha buat bujuk dia
sampai baik lagi, terus tiap hari aku tanya-tanyain gimana kabarnya. Kalo
sekarang sih aku lihat dari perlakuanku ke dia, cuekku udah berkurang
sih” (Komunikasi personal, Oktober 2015)
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa individu yang
mengalami kekerasan emosi tidak lagi dapat menilai dirinya secara objektif
melainkan sesuai dengan penilaian dan tuntutan lingkungan terhadap dirinya
(Jantz & McMurray, 2009). Dengan kata lain, tuntutan dan penilaian yang
diberikan dalam kekerasan emosi dianggap kenyataan mengenai dirinya sendiri
sehingga mereka selalu berusaha memenuhi tuntutan tersebut walaupun dalam
tekanan. Akan tetapi, setiap individu selalu dituntut untuk mampu beradaptasi dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan (Laurens, 2005). Hal ini sejalan dengan
Semiun (2006) yang menyatakan bahwa tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh
lingkungan masyarakat kepada setiap individu, dapat direduksi dengan

11
Universitas Sumatera Utara

memberikan respon-respon penyesuaian diri. Respon tersebut dapat berbeda-beda
pada setiap individu karena tuntutan-tuntutan dari luar akan disesuaikan dengan
tuntutan batin dan kebutuhan yang berasal dari dalam diri masing-masing
individu. Begitu juga yang terjadi dengan individu yang mengalami kekerasan
emosi. Mereka yang mampu menunjukkan respon penyesuaian diri yang baik
dengan lingkungan pada akhirnya dapat menjalani kehidupan dengan baik tanpa
merasakan dampak negatif dari kekerasan emosi yang dialami. Hal ini sesuai
dengan kutipan tanggapan korban kekerasan emosi berikut mengenai tuntutantuntutan dalam kekerasan emosi yang masih ia dapatkan dari lingkungan:
“aku sih kubiarin aja, toh mereka nggak tahu sebenarnya aku orangnya
gimana. Kalo aku bisa kerjain yang diminta ya kukerjain semaksimal
mungkin tapi kalo cuma omongan-omongan ngerendahin gitu aja sih
kuanggep itu kayak motivasi gitu kalo aku harus nunjukin yang lebih
baik...” (Komunikasi personal, Januari 2015)
Hal ini sejalan dengan Nick Vujicic (2010), dalam bukunya yang berjudul
Life Without Limit: Inspiration for a Ridiculously Good Life , ketika ia

menceritakan pengalamannya mendapat penolakan dalam lingkungan sosial
karena kondisi fisik yang ia miliki dan bagaimana ia dapat keluar dari situasi
tersebut. Pada awalnya ia juga menunjukkan perasaan kesepian, tidak diterima
lingkungan, serta keraguan untuk dapat melakukan hal-hal sederhana yang dapat
dilakukan semua orang seperti berenang atau bermain skateboard seperti yang
dilakukan oleh teman-temannya pada saat itu. Nick Vujicic juga mengalami
kekerasan emosi dalam bentuk verbal ketika teman-temannya memanggilnya
dengan sebutan alien atau aneh. Bahkan, ia mendapat keraguan dari keluarganya

12
Universitas Sumatera Utara

sendiri mengenai keputusannya dalam menentukan karir. Hingga pada akhirnya ia
memberikan respon yang berbeda terhadap kekerasan yang dialaminya.
Nick Vujicic menunjukkan bahwa ia mampu mewujudkan keinginannya
dengan keterbatasan yang ia miliki sejak lahir. Ia juga menyatakan bahwa ketika
individu sudah mengetahui tujuan hidupnya, ia akan memiliki keyakinan untuk
mewujudkan hal tersebut tanpa mempedulikan keraguan lingkungan mengenai
keinginannya tersebut. Hal ini membuat ia mampu melakukan penyesuaian
terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan sosialnya dengan keinginan dirinya sendiri.
Semiun (2006) menambahkan bahwa penyesuaian diri dapat dinilai dari
penerimaan diri seseorang terhadap kelemahan, kelebihan, dan pengalamannya di
masa lalu.
Dengan menerima keadaan diri saat ini dan masa lalu yang baik maupun
yang buruk, individu tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki penerimaan diri
yang tinggi (Petranto, 2005; Prihadhi, 2008). Hal ini juga sejalan dengan
Widyarini (2009) yang mengemukakan bahwa individu yang sudah memiliki
penerimaan diri berarti menerima semua keberadaan dirinya baik dari sisi
kelebihan maupun kekurangan dan tidak menyerah secara pasif terhadap
kelemahan tersebut. Dalam hal ini, individu yang menerima dirinya sendiri tidak
berarti bahwa ia tidak pernah merasa kecewa terhadap dirinya atau gagal
mengenali kesalahannya sendiri sebagai suatu kesalahan melainkan tetap
mengakui kegagalan dan kekecewaannya tetapi merasa tidak perlu meminta maaf
atas eksistensinya (Calhoun & Acocella, 1995).

13
Universitas Sumatera Utara

Hal ini dibuktikan dengan berbagai pencapaian yang berhasil diraih
Vujicic hingga ia mampu mewujudkan keinginannya menjadi seorang motivator
internasional. Selain itu, hal ini juga didukung dalam kutipan wawancara berikut
ketika responden ditanya mengenai tanggapan terhadap kekerasan emosi yang
diberikan oleh lingkungan:
“ya kalo ada yang kayak gitu biarin aja kak, toh mereka kan gak tau apa
aja yang udah aku alami sampai sejauh ini. Yang penting aku fokus aja
sama kuliahku sama cita-citaku.” (Komunikasi personal, Maret 2015)
Pengalaman ini menunjukkan adanya perbedaaan respon yang diberikan
individu terhadap kekerasan emosi yang dialami dalam lingkungan dengan
menunjukkan bahwa individu tersebut berusaha untuk mengoptimalkan fungsi
dirinya dengan berusaha mengejar hal-hal yang diinginkannya dalam hidup
walaupun kondisi dan lingkungan sosialnya memberikan batasan dalam hidupnya.
Sesuai dengan pernyataan Semiun (2006) yang menyatakan bahwa individu yang
mengaktualisasikan diri berarti ia mampu menerima keadaan diri tanpa keluhan
karena kekuatan maupun kelemahan yang dimiliki. Individu tersebut juga tidak
malu atau merasa bersalah terhadap kelemahan yang dimiliki.Di sisi lain, Hurlock
(1974) mengemukakan beberapa hal yang dapat mendukung seseorang untuk
mencapai penerimaan diri yakni adanya pemahaman mengenai diri sendiri, tidak
adanya stres emosional, sikap sosial yang mendukung, terbentuknya harapan yang
realistis, tidak adanya hambatan lingkungan, banyaknya keberhasilan yang telah
dicapai, pola asuh masa kecil yang baik, adanya konsep diri yang stabil, dan
adanya dukungan sosial yang membantu individu tersebut memahami dirinya
sendiri. Pada dasarnya, penerimaan diri didukung dengan adanya pemahaman

14
Universitas Sumatera Utara

mengenai diri sendiri (Hurlock, 1974). Namun, pemahaman ini tidak didapatkan
begitu saja, tetapi berdasarkan penilaian-penilaian yang diberikan terhadap
dirinya sendiri dan bantuan dari lingkungan untuk mengembangkan potensi dalam
dirinya. Dengan kata lain, selama ada dukungan dari lingkungan yang membantu
dalam mengembangkan potensi yang dimiliki dan memahami diri sendiri sesuai
dengan realita yang ada, maka pemahaman diri dapat lebih mudah dimiliki.
Berdasarkan hal tersebut, individu yang mengalami kekerasan emosi akan
mengalami hambatan dalam melakukan penerimaan diri karena kekerasan emosi
yang didapatkan dari lingkungan sosial menunjukkan bahwa individu tersebut
mengalami hambatan dalam lingkungan dan tidak mendapatkan dukungan untuk
memahami dirinya sendiri. Bahkan, kekerasaan emosi yang dialami dapat
memberikan stres emosional kepada korbannya. Besarnya stres emosional yang
diterima ketika mengalami kekerasan emosi membuat beberapa korban kekerasan
emosi berusaha untuk melupakan pengalaman tersebut dari hidupnya dan terus
berfokus pada keinginan dirinya. Hal ini tampak pada kutipan wawancara berikut:
“I don’t care. Ya lu mau apa kek, mau jungkir balik, mau ngapain di luar
sana ya I don’t care. Pokoknya gua udah nggak peduli lagi, kalo dia minta
maaf di depan gua sambil sujud-sujud, walaupun gua tau dia nggak
mungkin ngelakuin itu.. tapi ya terserah. Maksudnya.. gua udah maafin dia
udah lama tapi kalo dia mohon-mohon supaya gua balik lagi baik kayak
dulu.. sorry ya, gua udah tau jahatnya dia itu kayak gimana, jadi gua
nggak perlu dia lagi. Toh gua udah punya temen-temen yang mau nerima
gua apa adanya kayak mereka ini.” (Komunikasi personal, Juni 2015)
Individu tersebut menunjukkan bahwa ia mampu menjalani hidup dan
mewujudkan keinginannya selama kekerasan emosi tersebut tidak lagi ia rasakan.
Akan tetapi, ia belum dapat menerima pengalaman tersebut sebagai bagian dari

15
Universitas Sumatera Utara

dirinya untuk membantu mengembangkan dirinya. Hal ini terjadi karena
pengalaman kekerasan emosi yang terjadi ketika masa kecil membuat korbannya
kesulitan dalam membangun kepercayaan dengan orang lain karena besarnya stres
emosional yang ia rasakan (Wright, 2012).
Selain itu, tuntutan-tuntutan yang diberikan ketika terjadi kekerasan emosi
biasanya juga tidak sesuai dengan diri individu tersebut (Jantz & McMurray,
2013). Hal ini membuat individu tersebut mengalami kesulitan dalam memahami
dirinya sehingga terbentuk harapan yang tidak realistis karena tuntutan-tuntutan
yang diberikan juga tidak sesuai dengan diri individu tersebut. Kekerasan emosi
yang terjadi di keluarga dalam bentuk tuntutan-tuntutan dari orang tua kepada
anaknya yang tidak sesuai dengan diri anak juga mampu menjadi penghambat
individu dalam memahami dirinya. Hal ini terlihat dari kutipan wawancara
berikut ini:
“…dari dulu aku selalu dimarahin kalo nonton atau main. Pokoknya habis
sekolah ikut les tambahan, nyampe rumah disuruh belajar lagi ngulang
pelajaran, terus mandi sama makan malam, habis itu disuruh ngerjain PR.
Tiap belajar selalu diawasi, bisa dipukuli kalo ketahuan nggak belajar atau
ketiduran. Jadi semua kukerjain biar nggak kena marah aja” (Komunikasi
personal, Januari 2015)
Pola asuh yang diterapkan orang tua juga dapat mengandung tuntutantuntutan yang pada akhirnya memberikan sebuah tekanan pada anak untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Pola asuh seperti ini dapat menghambat seseorang
dalam menerima dirinya sendiri karena ia menjalani hidupnya hanya untuk
memenuhi tuntutan orang lain bukan untuk mengoptimalkan dirinya. Ketika
tuntutan semakin besar dan melebihi kapasitas diri, individu tersebut akan

16
Universitas Sumatera Utara

memberontak dan berperilaku tidak baik yang menunjukkan buruknya
penyesuaian diri pada individu tersebut (Setyono, 2007). Hal ini terlihat dalam
kutipan wawancara berikut:
“…yang kuisi satu, pilihan pertamaku, Hukum, USU, dia nyuruh, ada..
apa.. ditanyalah, kubilang apa, Hukum, ya udah asal ada Ekonominya,
katanya. Tapi nggak kubikin, pilihan keduaku, apa, ekonomi, jadi kubikin,
Hukum UI untuk, untuk ngejek. Terus, kukasih mereka. Marah-marahlah
terus merepet-merepet itu, ini kau bikin dua, kan udah dibilang Ekonomi,
ah kek mananya gini, gini, gini. Ya udah, nggak, urusku..” (Komunikasi
personal, Juni 2015)
Sesuai dengan kutipan diatas, tuntutan yang terlalu besar dalam kekerasan
emosi yang dilakukan juga dapat membuat mereka melakukan pemberontakan
untuk mewujudkan keinginan dirinya dan menunjukkan ketidaksanggupan dalam
memenuhi tuntutan tersebut. Pemahaman mengenai diri sendiri pada akhirnya
juga dapat membuat individu tersebut melakukan perlawanan terhadap tuntutan
yang diberikan dalam bentuk pemberontakan walaupun kekerasan emosi sudah
diterima menjadi bagian dari dirinya.
Hal ini kemudian membuat peneliti tertarik untuk melihat dinamika yang
terjadi pada diri individu yang mengalami kekerasan emosi sehingga mereka
mencapai tahap penerimaan diri yang ditunjukkan dengan pemberian respon yang
berbeda terhadap kekerasan emosi yang dialami dan tidak lagi menunjukkan
dampak negatif dari kekerasan emosi yang dialami terhadap perkembangan diri
individu tersebut. Selain itu, beberapa dampak kekerasan emosi yang telah
diuraikan diatas membuat peneliti menyadari pentingnya melihat kekerasan emosi
dari sisi yang berbeda sehingga tidak memberikan dampak terhadap kehidupan
individu yang mengalaminya karena bentuk-bentuk kekerasan emosi yang kasat

17
Universitas Sumatera Utara

mata dan sering kali tidak disadari terutama pada lingkungan yang memiliki
hirarki dalam menjalankan sistem masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan fenomena dan beberapa teori yang dikemukakan di atas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana dinamika penerimaan
diri pada korban kekerasan emosi.

C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk melihat dinamika penerimaan kekerasan emosi
yang dialami individu dalam lingkungan sosial dan faktor-faktor yang
mempengaruhi munculnya perbedaan respon terhadap kekerasan emosi yang
dialami.

D. MANFAAT
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat teoritis berupa:
a. masukan dan sumber informasi bagi ilmu psikologi terutama pada bidang
klinis mengenai tahapan penerimaan diri pada individu yang mengalami
kekerasan emosi.
b. masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai konsep diri dan kekerasan emosi yang terjadi dalam lingkungan
sosial.

18
Universitas Sumatera Utara

2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa:
a. untuk mengidentifikasi dampak dari kekerasan emosi
b. untuk melihat proses penerimaan diri pada individu yang mengalami
kekerasan emosi
c. untuk

mengidentifikasi

hal-hal

yang

membantu

individu

dalam

memberikan respon terhadap kekerasan emosi yang dialami dalam
lingkungan sosial

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah:
BAB I

: Pendahuluan
Bab ini berisikan tentang latar belakang mengenai kekerasan
emosi yang terjadi dalam lingkungan sosial dan dampaknya
terhadap individu yang menjadi korban dalam kekerasan emosi.
Pada bagian ini juga berisi fenomena yang dilihat peneliti baik
dari fenomena kekerasan emosi yang terjadi maupun pada korban
kekerasan emosi yang tidak lagi mengalami dampak dari
kekerasan emosi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian, rumusan masalah mengenai penerimaan diri pada
korban kekerasan emosi, tujuan penelitian, manfaat penelitian
bagi perkembangan ilmu psikologi dan manfaat yang dapat
langsung dirasakan oleh masyarakat khususnya individu yang

19
Universitas Sumatera Utara

menjadi korban dalam kekerasan emosi, serta sistematika
penulisan dalam laporan penelitian ini.
BAB II

: Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan penelitianpenelitian terdahulu yang berkaitan dengan fokus penelitian
mengenai kekerasan emosi dan dampaknya bagi individu yang
mengalami kekerasan emosi, tahapan dan faktor-faktor yang
mendukung pencapaian penerimaan diri, serta uraian singkat
mengenai penerimaan diri dan kaitannya dengan kekerasan emosi
berdasarkan teori yang sudah ada. Pada bagian ini juga akan
dilampirkan kerangka berpikir hingga muncul permasalahan yang
ingin diteliti.

BAB III

: Metode Penelitian
Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini, jumlah dan kriteria responden dalam penelitian,
metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam
penelitian, alat bantu yang digunakan dalam proses pengumpulan
data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian yang telah
dijalankan.

BAB IV

: Hasil Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini berisikan data masing responden penelitian yang diambil
dari lapangan ketika penelitian dilakukan. Masing-masing
responden akan memiliki uraian data mengenai pengalaman

20
Universitas Sumatera Utara

kekerasan yang dialami dan dinamika hingga tidak lagi
merasakan dampak dari kekerasan emosi yang masih berlangsung
hingga saat ini. Kemudian, data masing-masing responden akan
digabungkan untuk memudahkan dalam melihat perbandingan
antar responden. Pada bagian akhir terdapat pembahasan
mengenai data yang telah dikumpulkan berdasarkan teori-teori
yang berkaitan.
BAB V

: Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan berdasarkan temuantemuan di lapangan dan analisis yang telah dilakukan pada ketiga
responden penelitian. Kemudian saran ditambahkan bagi
masyarakat yang mengalami kekerasan emosi dan bagi peneliti
selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
kekerasan emosi dan penerimaan diri.

21
Universitas Sumatera Utara