Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi

(1)

PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

KEKERASAN EMOSI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

CLARA CLEARESTA

111301114

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP 2014/2015


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 24 Oktober 2015

CLARA CLEARESTA NIM 111301114

Materai 6000


(4)

Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi Clara Clearesta dan Juliana Irmayanti Saragih

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Kekerasan emosi merupakan suatu bentuk kekerasan yang memberikan dampak terhadap kondisi psikologis individu yang mengalaminya seperti perasaan tidak berdaya, tidak mampu membuat keputusan, dan gagal membentuk harga diri. Bentuk kekerasan ini dapat berupa tuntutan dari lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan dirinya sehingga mereka menjadi tertekan dan tidak mampu memahami dirinya yang sesungguhnya. Hal ini menghambat mereka dalam menerima dirinya karena tidak ada kesadaran akan karakter kepribadian yang dimiliki. Padahal, penerimaan diri dibutuhkan agar dapat melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika penerimaan diri pada individu yang mengalami kekerasan emosi dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap tiga orang responden dengan karakteristik yang telah ditentukan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa semua responden mengalami tahapan penerimaan diri dengan dinamika yang berbeda. Mereka mampu menerima pengalaman kekerasan emosi sebagai bagian dari dirinya. Beberapa hal yang membantu mendukung penerimaan diri terhadap pengalaman kekerasan emosi yang dialami yaitu pemberian makna positif dan penggunaan mekanisme pertahanan diri pada tahap awal terjadinya kekerasan emosi.


(5)

Self Acceptance in People Who Experience Emotional Abuse

Clara Clearesta and Juliana Irmayanti Saragih Psychology Faculty in University of North Sumatera

Abstract

Emotional abuse is a form of abuse that have an impact on psychological aspect of the people who experienced such as a feeling of helplessness, unable to make decisions, and failed to establish self-esteem. This abuse can be the demands of the environment that does not conform with their abilities so they become depressed and unable to understand their true self. This prevents them to receiving themselves because there is no awareness of their own personality character. In fact, self-acceptance is required in order to make adjustments to the environment.

This study aims to discern the dynamics of self-acceptance in person who experience emotional abuse by using qualitative research methods. Data obtained from in-depth interviewing with three respondents with predetermined characteristics.

Results of this study show that all respondents had self-acceptance phases with different dynamics. They are capable of accepting their experience of emotional abuse as a part of themselves. Some things that can support self-acceptance of the emotional abuse are giving a positive meaning to the experienced and defense mechanism in initial stages of the emotional abuse.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga saya memiliki kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tahapan penerimaan diri pada individu dewasa yang dapat tetap mengaktualisasikan diri walaupun mengalami kekerasan emosi dari lingkungannya. Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan faktor yang membantu individu dalam mencapai tahapan penerimaan diri.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU atas dukungan yang telah diberikan demi kesuksesan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

2. Kak Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini. Terima kasih atas bimbingan, pengarahan, dukungan, waktu, dan pengorbanan yang telah diberikan selama membimbing penelitian dari awal hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen pembimbing akademik penulis


(7)

4. Kak Rahma Fauzia, M.Psi, Psikolog dan Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, M.Pd, Psikolog yang telah bersedia menjadi dosen penguji penelitian ini dan memberi banyak masukan sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik. 5. Keluarga penulis, terutama kedua orang tua yang telah mendukung

penelitian ini dari awal dengan nasihat dan motivasi yang diberikan. Michaela Glady, Julio Dimitri F, dan Felix Reinaldo sebagai saudara-saudara penulis. Cynthia Halim sebagai saudara-saudara seperjuangan sejak awal hingga menyelesaikan skripsi dan tante Alin yang sangat mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Cynthia Marilyn Sitompul yang juga memberikan dukungan sejak awal hingga skripsi ini selesai. Anggi Dwi Putri yang member dukungan dan selalu bawel mengikuti perkembangan penyusunan skripsi ini.

6. Keluarga Fakultas Psikologi terutama Kak Lisa selaku dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah membantu memberikan masukan dalam penelitian ini, Bu Etty selaku dosen di Fakultas Psikologi USU yang bersedia meluangkan waktunya membantu penulis menemukan solusi permasalahan selama pengerjaan skripsi ini, Kak Ike yang selalu memberikan motivasi dan pencerahan pada penulis, Bang Fitrah yang telah membantu penulis menyelesaikan persoalan selama pengerjaan skripsi ini, Bang Yoseph yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, Bang Armen yang selalu bersedia membantu penulis.

7. Para rekan Psychotroops yang sedang berjuang mempertaruhkan empat tahun masa studi menyelesaikan penelitian demi memperoleh gelar sarjana


(8)

dan telah memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, dan seluruh responden yang telah berpartisipasi dan menyediakan waktu selama mengumpulkan data dalam skripsi ini.

8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU yang telah membantu memahami teori-teori psikologi. Terima kasih untuk ilmu yang sudah bapak dan ibu ajarkan kepada penulis.

9. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan pelayanan baik hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

Sebagai manusia yang tidak pernah berhenti belajar, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan, fasilitas, waktu, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang menjadi masukan bagi penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih dan berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat terutama korban kekerasan emosi agar selalu mengaktualisasikan diri dan mengembangkan potensi dirinya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara.

Medan, 14 Agustus 2015

Clara Clearesta NIM. 111301114


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 18

C. TUJUAN PENELITIAN ... 18

D. MANFAAT ... 18

1. Manfaat Teoritis ... 18

2. Manfaat Praktis ... 19

E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 22

A. KEKERASAN EMOSI ... 22

1. Pengertian Kekerasan Emosi ... 22

2. Bentuk Kekerasan Emosi ... 23

3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Emosi ... 26

4. Dampak Kekerasan Emosi ... 26

B. PENERIMAAN DIRI ... 27

1. Pengertian Penerimaan Diri ... 27


(10)

3. Tahapan Mencapai Penerimaan Diri ... 29

4. Kondisi yang Mendukung Proses Penerimaan Diri... 31

5. Dampak Penerimaan Diri ... 34

C. DINAMIKA PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI KEKERASAN EMOSI... 35

D. PARADIGMA BERPIKIR ... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. JENIS PENELITIAN ... 40

B. SUBJEK PENELITIAN ... 41

1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 41

2. Prosedur Pengambilan Subjek Penelitian ... 41

3. Jumlah Subjek Penelitian ... 41

C. METODE PENGUMPULAN DATA ... 42

D. ALAT BANTU ... 43

1. Tape Recorder (Alat Perekam) ... 43

2. Pedoman Wawancara Umum ... 43

E. PROSEDUR PENELITIAN ... 43

1. Tahap Awal Penelitian ... 43

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 45

BAB IV HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN ... 50

A. Hasil Analisis Responden I (RR) ... 51

1. Latar Belakang Kehidupan RR ... 51


(11)

3. Wawancara ... 56

4. Analisa Responden RR ... 67

5. Rangkuman Responden RR ... 73

B. Hasil Analisis Responden II (RG)... 74

1. Latar Belakang Kehidupan RG ... 74

2. Data Observasi... 76

3. Wawancara ... 80

4. Analisa Responden RG... 88

5. Rangkuman Responden RG ... 96

C. Hasil Analisis Responden III (RS) ... 98

1. Latar Belakang Kehidupan RS ... 98

2. Data Observasi... 99

3. Wawancara ... 100

4. Analisa Responden RS ... 108

5. Rangkuman Responden RS ... 111

D. Rangkuman analisa antar responden ... 113

E. Pembahasan ... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. KESIMPULAN ... 124

B. SARAN ... 125

1. Saran Praktis ... 126

2. Saran untuk Penelitian Selanjutnya ... 127


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jadwal Wawancara Responden RR ... 45

Tabel 2. Jadwal Wawancara Responden RG ... 45

Tabel 3. Jadwal Wawancara Responden RS ... 46

Tabel 4. Gambaran Umum Responden Penelitian ... 50

Tabel 5. Rangkuman Responden I ... 73

Tabel 6. Rangkuman Responden II ... 97

Tabel 7. Rangkuman Responden III ...111


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Pedoman Umum Wawancara Lampiran II Inform Consent


(14)

Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi Clara Clearesta dan Juliana Irmayanti Saragih

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Kekerasan emosi merupakan suatu bentuk kekerasan yang memberikan dampak terhadap kondisi psikologis individu yang mengalaminya seperti perasaan tidak berdaya, tidak mampu membuat keputusan, dan gagal membentuk harga diri. Bentuk kekerasan ini dapat berupa tuntutan dari lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan dirinya sehingga mereka menjadi tertekan dan tidak mampu memahami dirinya yang sesungguhnya. Hal ini menghambat mereka dalam menerima dirinya karena tidak ada kesadaran akan karakter kepribadian yang dimiliki. Padahal, penerimaan diri dibutuhkan agar dapat melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika penerimaan diri pada individu yang mengalami kekerasan emosi dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap tiga orang responden dengan karakteristik yang telah ditentukan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa semua responden mengalami tahapan penerimaan diri dengan dinamika yang berbeda. Mereka mampu menerima pengalaman kekerasan emosi sebagai bagian dari dirinya. Beberapa hal yang membantu mendukung penerimaan diri terhadap pengalaman kekerasan emosi yang dialami yaitu pemberian makna positif dan penggunaan mekanisme pertahanan diri pada tahap awal terjadinya kekerasan emosi.


(15)

Self Acceptance in People Who Experience Emotional Abuse

Clara Clearesta and Juliana Irmayanti Saragih Psychology Faculty in University of North Sumatera

Abstract

Emotional abuse is a form of abuse that have an impact on psychological aspect of the people who experienced such as a feeling of helplessness, unable to make decisions, and failed to establish self-esteem. This abuse can be the demands of the environment that does not conform with their abilities so they become depressed and unable to understand their true self. This prevents them to receiving themselves because there is no awareness of their own personality character. In fact, self-acceptance is required in order to make adjustments to the environment.

This study aims to discern the dynamics of self-acceptance in person who experience emotional abuse by using qualitative research methods. Data obtained from in-depth interviewing with three respondents with predetermined characteristics.

Results of this study show that all respondents had self-acceptance phases with different dynamics. They are capable of accepting their experience of emotional abuse as a part of themselves. Some things that can support self-acceptance of the emotional abuse are giving a positive meaning to the experienced and defense mechanism in initial stages of the emotional abuse.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“beberapa waktu yang lalu anak saya Steven pernah berkata penuh

kesedihan, dia bilang dia takut nakal seperti waktu kecil dulu, terus dibuang. Dia takut kalau nggak pinter nanti nggak disayang lagi. Takut kalau enggak juara nanti mama papa marah, dsb. Kondisi emosional Steven memang rapuh dan hal itu sebagian besar salah saya juga. Waktu dia kecil, saat puncak kenakalannya saya sering mengancamnya kalau Steven mau disayang, Steven harus jadi anak pinter, anak baik, enggak boleh nakal. Mama enggak mau kalau Steven nakal. Steven pilih mau

dikasih ke siapa bla.. bla.. bla..” (Setiawati, 2008)

Kisah seperti dalam kutipan di atas, banyak ditemukan dalam keluarga di kehidupan sehari-hari (Setiawati, 2008). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara anak dengan orang tua. Anak merasakan beban terhadap tuntutan yang diberikan dalam didikan orang tuanya padahal orang tua berharap didikan yang diberikan dalam pola asuh mereka dapat membantu anaknya untuk mencapai kesuksesan. Keterbatasan pemikiran anak menyebabkan anak tidak dapat melihat makna tersirat dibalik perilaku yang ditampilkan orang tua dalam mendidik sehingga terdapat kesenjangan antara tujuan dari perilaku yang ditampilkan orang tua dengan hasil yang diterima anak dari perilaku tersebut (Setyono, 2007).

Ketika anak melakukan kesalahan dan langsung mendapat pengarahan dari orang tuanya, maka kesenjangan persepsi antara orang tua dengan anak dapat dijelaskan secara perlahan. Akan tetapi, seringkali anak tidak mampu mengungkapkan dirinya dan menerima tindakan orang tuanya sebagaimana yang ia persepsikan. Akibatnya, anak menjadi tertekan dengan didikan orang tuanya


(17)

dan menghasilkan reaksi terhadap tekanan tersebut hingga terbentuk suatu pola perilaku yang telah menjadi sebuah kebiasaan hingga mereka dewasa (Setyono, 2007) bahkan Setyono menambahkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi karakter anak.

Jika anak dapat merasakan ketakutan dan kebingungan dalam menjalani hidup sebagai akibat dari perlakuan yang ia terima walaupun tidak ada perlakuan fisik yang diberikan oleh orang tuanya, maka hal ini dikatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan yakni kekerasan emosi karena anak merasakan dampak kekerasan terhadap kondisi psikologisnya (Jantz & McMurray, 2009). Dalam kasus tertentu, individu yang mengalami kekerasan emosi tidak menyadari bahwa mereka merupakan korban kekerasan. Hal ini menyebabkan kekerasan emosi terus berlangsung selama periode waktu tertentu (Jewkes, 2010).

Gunawan (2009) mendefinisikan kekerasan emosi sebagai bentuk perilaku seseorang atau lingkungan yang dapat merusak citra diri dan harga diri individu yang menerima perlakuan tersebut. Kekerasan emosi juga dilihat sebagai suatu pola konsisten dalam memberi perlakuan kepada orang lain secara tidak adil selama periode waktu tertentu dan biasanya dilakukan oleh orang yang sama (Jantz & McMurray, 2013). Kekerasan emosi ditunjukkan dalam bentuk perilaku negatif yang digunakan untuk mengontrol atau menyakiti orang lain secara berkelanjutan. Kekerasan emosi memiliki berbagai bentuk perilaku yang berbeda-beda termasuk kekerasan verbal maupun ancaman tindak kekerasan.


(18)

Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan emosi dapat dilihat dalam berbagai bentuk perilaku seperti membiarkan seseorang mengalami kesepian, tidak memberikan dukungan emosional dan sentuhan fisik, pengabaian, penolakan, mendiamkan individu dalam kehidupan sosial, tidak melakukan komunikasi, tidak mengizinkan individu mengungkapkan emosi yang dialami, membuat individu merasa bersalah, memberikan hukuman untuk hal-hal sepele yang tidak sebanding dengan perilaku individu, memberikan label dan membiarkan seseorang menjadi korban bully dalam lingkungannya, serta bentuk-bentuk lain yang menimbulkan rasa takut, malu, pengerusakan diri, isolasi sosial, dan lain sebagainya. Kondisi ini dapat berawal dari ketidakpedulian yang konsisten hingga berlanjut menjadi sikap meremehkan orang lain secara terus menerus (Hunt, 2013).

Krumins (2011), dalam kisahnya ketika mengalami kekerasan emosi yang dituang dalam buku The Detrimental Effects of Emotional Abuse, mengatakan bahwa individu yang memiliki kekuasaan dapat lebih mudah melakukan kekerasan emosi dengan mengontrol serta memanipulasi situasi dan kondisi lingkungan ketika terjadi kekerasan sehingga banyak individu lain yang berada dalam situasi tersebut tidak menyadari terjadinya kekerasan. Jantz (2009) menyatakan bahwa budaya yang menerima adanya sifat dominansi dalam menjalin hubungan bermasyarakat akan memungkinkan munculnya kekerasan emosi dalam menjalin hubungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan peran masing-masing individu disebabkan oleh status yang dibawa sejak lahir bukan karena kondisi pribadi masing-masing.


(19)

Di sisi lain, lingkungan tempat tinggal juga mampu memberikan tuntutan kepada masyarakat di dalamnya agar dapat berperilaku sesuai dengan harapan dan norma-norma yang terdapat dalam lingkungan tersebut. Bentuk tuntutan yang ditanamkan dalam diri individu dapat menjadi sebuah tekanan terutama dalam lingkungan yang menanamkan nilai kebudayaan patriaki dan matriaki. Budaya Indonesia yang menganut sistem patriarki dan matriarki menunjukkan adanya dominansi yang ditanamkan dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai budaya yang ada akan membentuk status berupa hirarki dalam kelompok masyarakat. Hirarki yang terbentuk menunjukkan adanya peran yang lebih tinggi dibandingkan peran lainnya baik dalam kelompok usia, status sosial, maupun garis keturunan dalam keluarga. Hirarki dalam masyarakat membuat kekerasan emosi yang dilakukan oleh individu dengan status yang lebih tinggi seringkali tidak disadari oleh korbannya (Semium, 2010). Hal ini didukung dengan kutipan wawancara berikut:

“...waktu aku di tempat itu kak, disitu benar-benar ditanamkan kali kalo

orang-orang kayak kami cuma bisa jadi kayak penjahit kek-kek gitu soalnya disitu kami dilatih menjahit pokoknya keterampilan-keterampilan gitu. Waktu itu juga susternya, tempat itu kan pembinanya ada susternya gitu, bilang karna aku juga cerita kalo aku mau jadi psikolog, susternya kayak bilang nggak mungkin, realistis aja lihat kondisi kami, gak usah punya cita-cita yang ketinggian”. (Komunikasi personal, Maret 2015) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tuntutan yang diberikan dalam lingkungan tidak disadari sebagai bentuk kekerasan terutama ketika pelaku kekerasan merupakan individu dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam lingkungan masyarakat tersebut. Kedudukan ini dibentuk berdasarkan status sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.


(20)

Akan tetapi, Henslin (2007) dalam bukunya mengatakan bahwa status sosial merupakan kerangka dasar untuk hidup dalam masyarakat. Status sosial dibentuk agar memiliki tingkat kedudukan yang berbeda-beda tergantung dari lingkungan di mana status sosial tersebut berlaku sehingga beberapa individu dalam suatu kelompok masyarakat memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Hal ini terjadi karena status sosial berfungsi sebagai panduan setiap individu untuk berperilaku dalam masyarakat. Beberapa status merupakan bawaan lahir seperti jenis kelamin dan status dalam keluarga seperti orang tua-anak. Keluarga yang memiliki anak lebih dari satu orang juga akan menanamkan status sosial dalam memberi perlakuan kepada anak-anaknya. Anak tertua ditanamkan untuk dapat menjadi pedoman bagi saudaranya yang lebih muda. Sedangkan pada anak yang lebih muda ditanamkan untuk menghormati saudaranya yang lebih tua terlepas dari kondisi pribadi kedua anak tersebut.

Selain itu ada juga status capaian, yaitu status yang didapatkan setelah seorang individu berhasil meraih suatu pencapaian tertentu seperti jabatan dalam pekerjaan atau status pasangan suami-istri setelah menikah. Dalam satu waktu, terdapat status yang berbeda-beda dalam suatu kelompok masyarakat sehingga akan terlihat seperti sebuah hirarki seperti status suami-istri dalam suatu keluarga yang sedang berkumpul. Dalam kehidupan masyarakat, seorang istri ditanamkan untuk menghormati suaminya yang merupakan seorang kepala keluarga tanpa memandang kondisi istri secara personal. Mungkin saja seorang istri lebih baik dalam berbagai hal dibandingkan suaminya tetapi seorang istri tetap dituntut untuk menghormati suaminya yang menjadi kepala keluarga sehingga apapun


(21)

yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya akan diterima termasuk berbagai bentuk kekerasan emosi yang terlihat dalam kutipan berikut:

“…udah pernah Clar, waktu itu aku marah kubilang kan, kamu kok

sombong gitu sih. Terus dia jawab, kamu tau nggak aku kayak gini kan gara-gara kamu. Kamu juga cuek, nggak bisa ngeredain emosiku kalo aku lagi marah. Sombongku ini nggak ada apa-apanya dibandingkan sama kamu. Kita jauh gini, aku bisa aja ninggalin kamu kapanpun, tapi nggak aku lakukan kan, makanya kamu harusnya berubah biar jadi istri yang baik. Setelah itu ya aku diam terus mikir iya emang aku sombong kali ya, aku cuek kali. Terus kubilang sama dia, ya udah nanti aku usahain

berubah” (Komunikasi personal, September 2015)

Hal ini juga berlaku pada status sosial lainnya yang berada dalam satu garis hirarki seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:

“…nggak berani La, aku segan. Aku pernah dipukul pas lagi main-main

sama abangku. Dia diam gitu orangnya, kalo di kamar langsung dikunci pintunya, jadi yang lain segan sama dia. Dulu pernah dia marah karna nggak dipanggil abang. Nggak berani jadinya. Padahal dulu kami sering main sama, sekarang udah diam-diaman.” (Komunikasi personal, Januari 2015)

Pada akhirnya, individu yang mendapat tuntutan tersebut akan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan yang diberikan walaupun tidak sesuai dengan dirinya sehingga kekerasan emosi yang dialami dapat terjadi dalam jangka waktu yang lama tanpa ada bentuk perlawanan dari individu yang mengalami kekerasan emosi tersebut (Jantz & McMurray, 2013).

Menurut Gunawan (2009) kekerasan emosi saat ini berlangsung intens dan sistematis dalam berbagai aspek kehidupan. Kekerasan ini merupakan kekerasan yang tidak kasat mata yang dilakukan baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat tetapi dapat merusak citra diri dan harga diri individu yang mengalami kekerasan emosi. Salah satu bentuk kekerasan emosi yang terjadi


(22)

tanpa disadari adalah adanya tuntutan untuk menjadi sesuatu yang diinginkan oleh pelaku kekerasan yang tidak sesuai dengan diri individu yang mengalami kekerasan emosi. Besarnya kesenjangan antara tuntutan yang diberikan masyarakat dengan kondisi individu yang mengalami kekerasan emosi pada akhirnya akan membuat individu tersebut mengalami kebingungan dalam menjalani hidupnya dan keraguan mengenai dirinya sendiri (Lachkar, 2004).

Individu yang mengalami kekerasan emosi tersebut dapat menjadi cemas, menutup diri, dan tidak mampu mengungkapkan emosinya karena merasa adanya penolakan terhadap dirinya. Hal ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut ini,

“.. dulu waktu aku bilang mau kuliah, langsung dibilang samaku, jalan aja

susah apalagi kuliah. Nyusahin orang nanti. Setelah dibilang kayak gitu, ya aku diem, kak, gak tau lagi mau ngapain. Mau nangis rasanya, kak,

habis itu aku langsung pergi masuk kamar”. (Komunikasi personal, Maret

2015)

Dari petikan wawancara tersebut, terlihat bahwa individu tersebut tidak mampu lagi mengungkapkan emosinya setelah mengalami kekerasan emosi berupa penolakan dari lingkungannya sehingga ia tidak mampu mengembangkan dirinya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Grynch dan Fincham (dalam Sturge-Apple, Skibo, & Davies, 2012) mengenai Pengaruh Konflik Pada Orangtua dan Kekerasan Terhadap Anak, yang mengatakan bahwa korban akan meragukan kenyataan dalam dirinya dan seringkali merasa malu terhadap kondisi psikologisnya setelah mengalami kekerasan emosi.

Hutchinson (2014) menyatakan bahwa kekerasan emosi dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan psikologis individu yang mengalaminya


(23)

akibat adanya penolakan, penahanan terhadap kasih sayang, penghinaan, dan kritikan yang diberikan yang dapat menghambat perkembangan individu tersebut. Dampak yang disebabkan oleh kekerasan emosi yang dialami individu dalam lingkungan sosial, membuat individu tersebut melakukan penolakan terhadap dirinya dan berusaha memaksakan diri untuk membentuk diri sesuai dengan tuntutan yang diberikan sehingga potensi yang dimiliki tidak dapat berkembang dengan optimal.

Individu yang mengalami kekerasan emosi juga akan mengalami depresi, kebingungan dengan kehidupan realita yang dimiliki, merasa rendah diri, kehilangan harapan, bahkan kekerasan emosi yang dialami secara terus menerus dapat membuat individu mengalami kehampaan hidup yang berhubungan pada tindakan-tindakan untuk melukai diri sendiri dan pemikiran-pemikiran bunuh diri (Rallis, Deming, Glenn, & Nock, 2012). Kekerasan emosi yang dilakukan dalam waktu tertentu secara terus menerus dapat membuat individu tersebut mengalami penolakan terhadap dirinya seperti pada kutipan wawancara berikut ini:

“…aku nggak tau mau ngapa-ngapain lagi kayaknya udah sama aja semua.

Aku nggak siap kehilangan, nggak akan pernah siap pokoknya.. mending aku yang pergi duluan jadi aku nggak ngerasain mereka pergi. Waktu itu aku beli obat tidur di apotik. Awalnya cuman beberapa aja, baru kucoba agak banyak sekali minum, habis itu langsung nggak enak badanku tapi

kutahankan aja.” (Komunikasi personal, Mei 2014)

Penolakan dari lingkungan terhadap diri individu yang mengalami kekerasan emosi membuat mereka kehilangan harapan dan merasa bahwa hidup tidak lagi berarti bagi mereka (Hunt, 2013). Daniels-Lake (2010) menyatakan bahwa individu yang mengalami kekerasan emosi akan merasa dirinya tidak


(24)

berguna, tidak dicintai, dan dalam beberapa kasus mengarahkan pada usaha bunuh diri.

Selain mengubah pandangan diri individu tersebut, kekerasan emosi yang dialami juga memberikan efek terhadap kondisi fisik individu yang mengalaminya. Lachkar (2004) juga menyatakan bahwa banyak individu yang mengalami kekerasan emosi pada akhirnya menyatakan bahwa mereka merasa hampa dan kebingungan dalam menjalani hidup, merasakan tidak memiliki hubungan dengan kenyataan, bahkan beberapa individu lain mengalami psikosomatis, yaitu ketidaknyamanan atau sakit yang dirasakan pada bagian tubuh tertentu tetapi penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara medis atau beberapa penyakit kronis, serta tidak jarang penolakan ini mengarahkan mereka untuk melakukan penyiksaan terhadap diri sendiri.

Kekerasan emosi juga memiliki dampak terhadap hubungan sosial yang dimiliki individu yang mengalaminya. Hal ini terjadi karena adanya penolakan dalam lingkungan sehingga individu tersebut cenderung menarik diri dari lingkungan sosial atau menjadi sangat tergantung pada kelompok-kelompok sosial tertentu untuk mendapat penerimaan sehingga ia kehilangan karakter asli dirinya dan cenderung mengubah diri sesuai dengan keinginan kelompoknya (Jantz & McMurray, 2013). Namun, lingkungan sosial tidak bersifat statis melainkan selalu berubah dan berkembang yang menuntut adanya adaptasi dalam diri setiap individu yang berada dalam lingkungan tersebut untuk dapat mencapai keseimbangan (Laurens, 2005). Individu yang mengikuti perubahan lingkungan


(25)

kebingungan dengan dirinya sendiri ketika terjadi perubahan pada lingkungan sosialnya. Selama lingkungan selalu berubah dan berkembang maka individu tersebut akan terus melakukan perubahan terhadap dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kekerasan emosi memiliki dampak terhadap perkembangan psikologis korbannya karena hanya menyentuh sisi emosional individu yang mengalami kekerasan emosi. Hanya saja, kesehatan psikologis merupakan hal yang mendasar dalam pengembangan diri setiap individu (Jantz & McMurray, 2009). Sebagai akibatnya, individu yang mengalami kekerasan emosi mengalami kesulitan dalam mengembangkan dirinya karena kekerasan emosi yang dialami telah merusak citra diri dan harga diri mereka (Gunawan, 2009; Sturge-Apple, Skibo, & Davies, 2012). Lachkar (2004) juga menambahkan bahwa individu yang mengalami kekerasan emosi merasa kebingungan dalam menjalani hidup karena mereka tidak memiliki hubungan dengan realita sebagai akibat dari besarnya kesenjangan antara tuntutan yang diberikan dengan diri mereka sehingga menyebabkan mereka tidak lagi memahami dirinya sendiri.

Kurangnya pemahaman akan diri sendiri menyebabkan individu yang mengalami kekerasan emosi menjalani kehidupan tanpa arah dan hanya terpaku pada pemenuhan tuntutan dari lingkungan yang memberikan kekerasan emosi agar mendapat penerimaan sosial (Wright, 2012). Hal ini terlihat dari kutipan wawancara berikut ini:

“ya aku lakuin aja, soalnya emang udah dari dulu aku dibilangin kayak

gitu, dari kecil.. kami kan sama-sama terus, bahkan teman-temannya juga bilang kayak gitu di depanku, ya aku terima aja. Kakakku marah kalau ada temannya yang bilang aku lebih cantik, habis itu dia langsung


(26)

marah-marah minta dibeliin baju yang lebih cantik lagi. Dia juga bilang aku kan jauh lebih cantik dari X, dia mah nggak ada apa-apanya, gitu katanya. Dari situ juga aku lihat memang dia lebih cantik kok, pacarnya banyak makanya aku terima-terima aja” (Komunikasi personal, April, 2014) Berdasarkan kutipan ini terlihat bahwa individu yang mengalami kekerasan emosi pada akhirnya menerima bentuk kekerasan tersebut sebagai bagian dari dirinya walaupun tidak sesuai dengan kenyataan mengenai dirinya. Beberapa individu lain bahkan menolak kenyataan tentang dirinya karena berbeda dengan tuntutan yang diterima selama terjadinya kekerasan emosi, seperti pada kutipan berikut:

“Dari dulu emang nggak ada sih yang bilang gitu, tapi aku ngerasa

sekarang aku cuek kali. Pokoknya semenjak aku kenal dia, dia yang selalu nasehatin aku. Dia bilang aku orangnya cuek kali, sombong, gak bisa pengertian, gak cocok jadi istri, makanya aku sekarang lagi berusaha buat nggak cuek lagi. Jadi setiap dia marah ya aku berusaha buat bujuk dia sampai baik lagi, terus tiap hari aku tanya-tanyain gimana kabarnya. Kalo sekarang sih aku lihat dari perlakuanku ke dia, cuekku udah berkurang

sih” (Komunikasi personal, Oktober 2015)

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa individu yang mengalami kekerasan emosi tidak lagi dapat menilai dirinya secara objektif melainkan sesuai dengan penilaian dan tuntutan lingkungan terhadap dirinya (Jantz & McMurray, 2009). Dengan kata lain, tuntutan dan penilaian yang diberikan dalam kekerasan emosi dianggap kenyataan mengenai dirinya sendiri sehingga mereka selalu berusaha memenuhi tuntutan tersebut walaupun dalam tekanan. Akan tetapi, setiap individu selalu dituntut untuk mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan (Laurens, 2005). Hal ini sejalan dengan Semiun (2006) yang menyatakan bahwa tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh lingkungan masyarakat kepada setiap individu, dapat direduksi dengan


(27)

memberikan respon-respon penyesuaian diri. Respon tersebut dapat berbeda-beda pada setiap individu karena tuntutan-tuntutan dari luar akan disesuaikan dengan tuntutan batin dan kebutuhan yang berasal dari dalam diri masing-masing individu. Begitu juga yang terjadi dengan individu yang mengalami kekerasan emosi. Mereka yang mampu menunjukkan respon penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan pada akhirnya dapat menjalani kehidupan dengan baik tanpa merasakan dampak negatif dari kekerasan emosi yang dialami. Hal ini sesuai dengan kutipan tanggapan korban kekerasan emosi berikut mengenai tuntutan-tuntutan dalam kekerasan emosi yang masih ia dapatkan dari lingkungan:

“aku sih kubiarin aja, toh mereka nggak tahu sebenarnya aku orangnya

gimana. Kalo aku bisa kerjain yang diminta ya kukerjain semaksimal mungkin tapi kalo cuma omongan-omongan ngerendahin gitu aja sih kuanggep itu kayak motivasi gitu kalo aku harus nunjukin yang lebih

baik...” (Komunikasi personal, Januari 2015)

Hal ini sejalan dengan Nick Vujicic (2010), dalam bukunya yang berjudul Life Without Limit: Inspiration for a Ridiculously Good Life, ketika ia menceritakan pengalamannya mendapat penolakan dalam lingkungan sosial karena kondisi fisik yang ia miliki dan bagaimana ia dapat keluar dari situasi tersebut. Pada awalnya ia juga menunjukkan perasaan kesepian, tidak diterima lingkungan, serta keraguan untuk dapat melakukan hal-hal sederhana yang dapat dilakukan semua orang seperti berenang atau bermain skateboard seperti yang dilakukan oleh teman-temannya pada saat itu. Nick Vujicic juga mengalami kekerasan emosi dalam bentuk verbal ketika teman-temannya memanggilnya dengan sebutan alien atau aneh. Bahkan, ia mendapat keraguan dari keluarganya


(28)

sendiri mengenai keputusannya dalam menentukan karir. Hingga pada akhirnya ia memberikan respon yang berbeda terhadap kekerasan yang dialaminya.

Nick Vujicic menunjukkan bahwa ia mampu mewujudkan keinginannya dengan keterbatasan yang ia miliki sejak lahir. Ia juga menyatakan bahwa ketika individu sudah mengetahui tujuan hidupnya, ia akan memiliki keyakinan untuk mewujudkan hal tersebut tanpa mempedulikan keraguan lingkungan mengenai keinginannya tersebut. Hal ini membuat ia mampu melakukan penyesuaian terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan sosialnya dengan keinginan dirinya sendiri. Semiun (2006) menambahkan bahwa penyesuaian diri dapat dinilai dari penerimaan diri seseorang terhadap kelemahan, kelebihan, dan pengalamannya di masa lalu.

Dengan menerima keadaan diri saat ini dan masa lalu yang baik maupun yang buruk, individu tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki penerimaan diri yang tinggi (Petranto, 2005; Prihadhi, 2008). Hal ini juga sejalan dengan Widyarini (2009) yang mengemukakan bahwa individu yang sudah memiliki penerimaan diri berarti menerima semua keberadaan dirinya baik dari sisi kelebihan maupun kekurangan dan tidak menyerah secara pasif terhadap kelemahan tersebut. Dalam hal ini, individu yang menerima dirinya sendiri tidak berarti bahwa ia tidak pernah merasa kecewa terhadap dirinya atau gagal mengenali kesalahannya sendiri sebagai suatu kesalahan melainkan tetap mengakui kegagalan dan kekecewaannya tetapi merasa tidak perlu meminta maaf atas eksistensinya (Calhoun & Acocella, 1995).


(29)

Hal ini dibuktikan dengan berbagai pencapaian yang berhasil diraih Vujicic hingga ia mampu mewujudkan keinginannya menjadi seorang motivator internasional. Selain itu, hal ini juga didukung dalam kutipan wawancara berikut ketika responden ditanya mengenai tanggapan terhadap kekerasan emosi yang diberikan oleh lingkungan:

“ya kalo ada yang kayak gitu biarin aja kak, toh mereka kan gak tau apa

aja yang udah aku alami sampai sejauh ini. Yang penting aku fokus aja sama kuliahku sama cita-citaku.” (Komunikasi personal, Maret 2015) Pengalaman ini menunjukkan adanya perbedaaan respon yang diberikan individu terhadap kekerasan emosi yang dialami dalam lingkungan dengan menunjukkan bahwa individu tersebut berusaha untuk mengoptimalkan fungsi dirinya dengan berusaha mengejar hal-hal yang diinginkannya dalam hidup walaupun kondisi dan lingkungan sosialnya memberikan batasan dalam hidupnya. Sesuai dengan pernyataan Semiun (2006) yang menyatakan bahwa individu yang mengaktualisasikan diri berarti ia mampu menerima keadaan diri tanpa keluhan karena kekuatan maupun kelemahan yang dimiliki. Individu tersebut juga tidak malu atau merasa bersalah terhadap kelemahan yang dimiliki.Di sisi lain, Hurlock (1974) mengemukakan beberapa hal yang dapat mendukung seseorang untuk mencapai penerimaan diri yakni adanya pemahaman mengenai diri sendiri, tidak adanya stres emosional, sikap sosial yang mendukung, terbentuknya harapan yang realistis, tidak adanya hambatan lingkungan, banyaknya keberhasilan yang telah dicapai, pola asuh masa kecil yang baik, adanya konsep diri yang stabil, dan adanya dukungan sosial yang membantu individu tersebut memahami dirinya sendiri. Pada dasarnya, penerimaan diri didukung dengan adanya pemahaman


(30)

mengenai diri sendiri (Hurlock, 1974). Namun, pemahaman ini tidak didapatkan begitu saja, tetapi berdasarkan penilaian-penilaian yang diberikan terhadap dirinya sendiri dan bantuan dari lingkungan untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Dengan kata lain, selama ada dukungan dari lingkungan yang membantu dalam mengembangkan potensi yang dimiliki dan memahami diri sendiri sesuai dengan realita yang ada, maka pemahaman diri dapat lebih mudah dimiliki.

Berdasarkan hal tersebut, individu yang mengalami kekerasan emosi akan mengalami hambatan dalam melakukan penerimaan diri karena kekerasan emosi yang didapatkan dari lingkungan sosial menunjukkan bahwa individu tersebut mengalami hambatan dalam lingkungan dan tidak mendapatkan dukungan untuk memahami dirinya sendiri. Bahkan, kekerasaan emosi yang dialami dapat memberikan stres emosional kepada korbannya. Besarnya stres emosional yang diterima ketika mengalami kekerasan emosi membuat beberapa korban kekerasan emosi berusaha untuk melupakan pengalaman tersebut dari hidupnya dan terus berfokus pada keinginan dirinya. Hal ini tampak pada kutipan wawancara berikut:

I don’t care. Ya lu mau apa kek, mau jungkir balik, mau ngapain di luar

sana ya I don’t care. Pokoknya gua udah nggak peduli lagi, kalo dia minta maaf di depan gua sambil sujud-sujud, walaupun gua tau dia nggak mungkin ngelakuin itu.. tapi ya terserah. Maksudnya.. gua udah maafin dia udah lama tapi kalo dia mohon-mohon supaya gua balik lagi baik kayak dulu.. sorry ya, gua udah tau jahatnya dia itu kayak gimana, jadi gua nggak perlu dia lagi. Toh gua udah punya temen-temen yang mau nerima

gua apa adanya kayak mereka ini.” (Komunikasi personal, Juni 2015)

Individu tersebut menunjukkan bahwa ia mampu menjalani hidup dan mewujudkan keinginannya selama kekerasan emosi tersebut tidak lagi ia rasakan. Akan tetapi, ia belum dapat menerima pengalaman tersebut sebagai bagian dari


(31)

dirinya untuk membantu mengembangkan dirinya. Hal ini terjadi karena pengalaman kekerasan emosi yang terjadi ketika masa kecil membuat korbannya kesulitan dalam membangun kepercayaan dengan orang lain karena besarnya stres emosional yang ia rasakan (Wright, 2012).

Selain itu, tuntutan-tuntutan yang diberikan ketika terjadi kekerasan emosi biasanya juga tidak sesuai dengan diri individu tersebut (Jantz & McMurray, 2013). Hal ini membuat individu tersebut mengalami kesulitan dalam memahami dirinya sehingga terbentuk harapan yang tidak realistis karena tuntutan-tuntutan yang diberikan juga tidak sesuai dengan diri individu tersebut. Kekerasan emosi yang terjadi di keluarga dalam bentuk tuntutan-tuntutan dari orang tua kepada anaknya yang tidak sesuai dengan diri anak juga mampu menjadi penghambat individu dalam memahami dirinya. Hal ini terlihat dari kutipan wawancara berikut ini:

“…dari dulu aku selalu dimarahin kalo nonton atau main. Pokoknya habis

sekolah ikut les tambahan, nyampe rumah disuruh belajar lagi ngulang pelajaran, terus mandi sama makan malam, habis itu disuruh ngerjain PR. Tiap belajar selalu diawasi, bisa dipukuli kalo ketahuan nggak belajar atau

ketiduran. Jadi semua kukerjain biar nggak kena marah aja” (Komunikasi

personal, Januari 2015)

Pola asuh yang diterapkan orang tua juga dapat mengandung tuntutan-tuntutan yang pada akhirnya memberikan sebuah tekanan pada anak untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pola asuh seperti ini dapat menghambat seseorang dalam menerima dirinya sendiri karena ia menjalani hidupnya hanya untuk memenuhi tuntutan orang lain bukan untuk mengoptimalkan dirinya. Ketika tuntutan semakin besar dan melebihi kapasitas diri, individu tersebut akan


(32)

memberontak dan berperilaku tidak baik yang menunjukkan buruknya penyesuaian diri pada individu tersebut (Setyono, 2007). Hal ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut:

“…yang kuisi satu, pilihan pertamaku, Hukum, USU, dia nyuruh, ada..

apa.. ditanyalah, kubilang apa, Hukum, ya udah asal ada Ekonominya, katanya. Tapi nggak kubikin, pilihan keduaku, apa, ekonomi, jadi kubikin, Hukum UI untuk, untuk ngejek. Terus, kukasih mereka. Marah-marahlah terus merepet-merepet itu, ini kau bikin dua, kan udah dibilang Ekonomi,

ah kek mananya gini, gini, gini. Ya udah, nggak, urusku..” (Komunikasi

personal, Juni 2015)

Sesuai dengan kutipan diatas, tuntutan yang terlalu besar dalam kekerasan emosi yang dilakukan juga dapat membuat mereka melakukan pemberontakan untuk mewujudkan keinginan dirinya dan menunjukkan ketidaksanggupan dalam memenuhi tuntutan tersebut. Pemahaman mengenai diri sendiri pada akhirnya juga dapat membuat individu tersebut melakukan perlawanan terhadap tuntutan yang diberikan dalam bentuk pemberontakan walaupun kekerasan emosi sudah diterima menjadi bagian dari dirinya.

Hal ini kemudian membuat peneliti tertarik untuk melihat dinamika yang terjadi pada diri individu yang mengalami kekerasan emosi sehingga mereka mencapai tahap penerimaan diri yang ditunjukkan dengan pemberian respon yang berbeda terhadap kekerasan emosi yang dialami dan tidak lagi menunjukkan dampak negatif dari kekerasan emosi yang dialami terhadap perkembangan diri individu tersebut. Selain itu, beberapa dampak kekerasan emosi yang telah diuraikan diatas membuat peneliti menyadari pentingnya melihat kekerasan emosi dari sisi yang berbeda sehingga tidak memberikan dampak terhadap kehidupan individu yang mengalaminya karena bentuk-bentuk kekerasan emosi yang kasat


(33)

mata dan sering kali tidak disadari terutama pada lingkungan yang memiliki hirarki dalam menjalankan sistem masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fenomena dan beberapa teori yang dikemukakan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana dinamika penerimaan diri pada korban kekerasan emosi.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat dinamika penerimaan kekerasan emosi yang dialami individu dalam lingkungan sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perbedaan respon terhadap kekerasan emosi yang dialami.

D. MANFAAT

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat teoritis berupa:

a. masukan dan sumber informasi bagi ilmu psikologi terutama pada bidang klinis mengenai tahapan penerimaan diri pada individu yang mengalami kekerasan emosi.

b. masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai konsep diri dan kekerasan emosi yang terjadi dalam lingkungan sosial.


(34)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa: a. untuk mengidentifikasi dampak dari kekerasan emosi

b. untuk melihat proses penerimaan diri pada individu yang mengalami kekerasan emosi

c. untuk mengidentifikasi hal-hal yang membantu individu dalam memberikan respon terhadap kekerasan emosi yang dialami dalam lingkungan sosial

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan tentang latar belakang mengenai kekerasan emosi yang terjadi dalam lingkungan sosial dan dampaknya terhadap individu yang menjadi korban dalam kekerasan emosi. Pada bagian ini juga berisi fenomena yang dilihat peneliti baik dari fenomena kekerasan emosi yang terjadi maupun pada korban kekerasan emosi yang tidak lagi mengalami dampak dari kekerasan emosi sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian, rumusan masalah mengenai penerimaan diri pada korban kekerasan emosi, tujuan penelitian, manfaat penelitian bagi perkembangan ilmu psikologi dan manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat khususnya individu yang


(35)

menjadi korban dalam kekerasan emosi, serta sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan fokus penelitian-penelitian mengenai kekerasan emosi dan dampaknya bagi individu yang mengalami kekerasan emosi, tahapan dan faktor-faktor yang mendukung pencapaian penerimaan diri, serta uraian singkat mengenai penerimaan diri dan kaitannya dengan kekerasan emosi berdasarkan teori yang sudah ada. Pada bagian ini juga akan dilampirkan kerangka berpikir hingga muncul permasalahan yang ingin diteliti.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, jumlah dan kriteria responden dalam penelitian, metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian, alat bantu yang digunakan dalam proses pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian yang telah dijalankan.

BAB IV : Hasil Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan data masing responden penelitian yang diambil dari lapangan ketika penelitian dilakukan. Masing-masing responden akan memiliki uraian data mengenai pengalaman


(36)

kekerasan yang dialami dan dinamika hingga tidak lagi merasakan dampak dari kekerasan emosi yang masih berlangsung hingga saat ini. Kemudian, data masing-masing responden akan digabungkan untuk memudahkan dalam melihat perbandingan antar responden. Pada bagian akhir terdapat pembahasan mengenai data yang telah dikumpulkan berdasarkan teori-teori yang berkaitan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan berdasarkan temuan-temuan di lapangan dan analisis yang telah dilakukan pada ketiga responden penelitian. Kemudian saran ditambahkan bagi masyarakat yang mengalami kekerasan emosi dan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kekerasan emosi dan penerimaan diri.


(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEKERASAN EMOSI 1. Pengertian Kekerasan Emosi

Kekerasan emosi didefinisikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan secara sengaja tujuan untuk mempertahankan dan menguasai individu lain (Candra & Ibung, 2008). Bentuk kekerasan ini dapat memberikan dampak buruk terhadap berbagai aspek kepribadian individu yang mengalaminya. Lebih lanjut, Engel (2002) mengemukakan kekerasan emosi sebagai bentuk dari setiap perilaku tanpa ada sentuhan fisik yang dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol, mengintimidasi, menundukkan, merendahkan martabat, menghukum, atau mengisolasi orang lain dengan menggunakan penurunan status, penghinaan, atau ketakutan orang lain. Kekerasan emosi tidak hanya ditunjukkan dengan perilaku negatif melainkan juga dengan sikap negatif yang ditampilkan individu terhadap individu lain. Kekerasan emosi juga digambarkan sebagai bentuk cuci otak dengan menghilangkan kenyamanan individu yang mengalami kekerasan emosi, perasaan keberhargaan, kepercayaan, dan konsep diri secara perlahan.

Daniels-Lake (2010) juga menyatakan bahwa kekerasan emosi merupakan segala hal yang berkaitan untuk menundukkan atau mengekspos seseorang dengan perilaku yang merugikan orang tersebut secara emosi maupun psikologis. Jantz & McMurray (2013) mengemukakan kekerasan emosi sebagai pola konsisten dalam memberi perlakuan secara tidak adil kepada orang lain dalam


(38)

periode waktu tertentu dan biasanya cukup lama. Kekerasan emosi dapat dilakukan secara sengaja untuk mengubah pandangan individu yang mengalami kekerasan emosi dengan tujuan untuk mengontrol individu tersebut.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan emosi merupakan setiap bentuk perlakuan tidak adil kepada individu lain yang dilakukan oleh orang yang sama secara sengaja dengan tujuan untuk mengontrol, mengintimidasi, dan mengisolasi individu tersebut secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

2. Bentuk Kekerasan Emosi

Kekerasan emosi tidak hanya dilihat dalam bentuk verbal atau perkataan melainkan juga dalam beberapa bentuk lainnya dengan berbagai tingkatan. Daniels-Lake (2010) mengemukakan beberapa bentuk kekerasan emosi yang dapat dilakukan dalam lingkungan sehari-hari, yaitu:

a. Pengharapan yang salah

Bentuk kekerasan emosi dilakukan dengan mengharapkan segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Sebaik apapun hasil kerja individu yang mengalami kekerasan emosi, pada akhirnya pelaku kekerasan emosi juga tidak menunjukkan kepuasan terhadap hasil tersebut.

b. Menciptakan konflik dan krisis secara terus menerus

Bentuk kekerasan emosi lain juga dilakukan oleh individu yang sengaja memulai pertengkaran, menciptakan masalah, dan berkonflik dengan orang lain secara terus menerus. Individu yang berperilaku seperti ini biasanya tidak


(39)

menyadari bahwa mereka melakukan kekerasan emosi tetapi dampak dari perilaku ini tetap dirasakan oleh individu yang mengalaminya.

c. Pemerasan emosi

Bentuk pemerasan emosi dilakukan secara sadar maupun tidak sadar dengan memaksa orang lain untuk mengikuti kehendak individu yang melakukan kekerasan emosi dengan cara memanipulasi perasaan takut, rasa bersalah, dan lain sebagainya dari individu yang mengalami pemaksaan. Hal yang menjadi fokus dalam tindakan ini adalah pemerasan emosi dilakukan sebagai bentuk kontrol atau dominasi.

d. Perilaku agresi

Perilaku agresi yang ditunjukkan dalam kekerasan emosi biasanya dilakukan secara langsung dan mudah dilihat. Perilaku ini termasuk memberi label nama, menyalahkan tanpa sebab, dan mengancam.

e. Perilaku merendahkan

Kekerasan emosi juga dapat dilakukan dalam bentuk kritikan yang diberikan secara terus menerus dan dapat terlihat seperti menyalahkan individu lain. Beberapa individu yang menunjukkan perilaku ini terlihat seperti ingin membantu individu lain. Namun, jika kritik diberikan secara terus menerus dan tidak untuk membangun, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kekerasan emosi yang digunakan untuk mengontrol individu lain. f. Penyangkalan

Penyangkalan dapat berupa penolakan dari lingkungan sekitar atau lebih dalam lagi dapat mengbah pandangan, perasaan, dan kepercayaan. Hal ini


(40)

dapat terjadi ketika seorang menyangkal suatu kejadian yang diyakini individu lain sudah terjadi. Penyangkalan secara langsung dapat berpengaruh terhadap harga diri individu yang mengalaminya. Lebih jauh lagi, individu tersebut dapat mempertanyakan realita dalam hidupnya karena penyangkalan yang dialami akan membuat individu tersebut meragukan persepsi, pengalaman, atau pemikirannya sendiri.

g. Penahanan

Penahanan merupakan salah satu bentuk dari penolakan termasuk menolak untuk mendengarkan, menolak untuk berkomunikasi, dan menarik diri secara emosi. Bentuk yang paling sering terlihat dari kekerasan emosi ini adalah mendiamkan orang lain. Tindakan ini sering digunakan untuk mengontrol individu lain yang mengalami kekerasan emosi ini.

h. Penghapusan

Kekerasan emosi ini dapat dilihat dalam bentuk menolak, menghakimi, mengolok, dan mengurangi perasaan atau pengalaman orang lain, serta tindakan yang bertujuan untuk mengontrol perasaan atau durasi waktu perasaan dapat muncul. Hal ini dapat menyebabkan seseorang merasa bahwa ia memiliki kegilaan atau kondisi mental yang buruk ketika sebenarnya ia memiliki mental yang sehat.

i. Perilaku mendominasi

Perilaku mendominasi biasanya terlihat dalam suatu hubungan ketika seseorang selalu mencoba untuk mengontrol perilaku dan pemikiran individu lain hingga membuatnya secara sukarela bergantung pada individu tersebut.


(41)

Ketika seorang individu didominasi oleh individu lain, ia akan kehilangan rasa hormat pada dirinya sendiri dan biasanya berlangsung dalam periode yang panjang. Hal ini dapat membuat individu tersebut memiliki perasaan tidak berharga karena kontrol yang selama ini terjadi membuatnya merasa bahwa ia tidak dapat menghadapi hidupnya.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Emosi

Kekerasan emosi dapat terjadi tanpa disadari baik olrh individu yang melakukan kekerasan maupun individu yang mengalami kekerasan tersebut. Beberapa hal yang menyebabkan seorang melakukan kekerasan emosi, antara lain: (Einarsen, Hoel, Zapf, & Cooper, 2003; Susilowati, 2008)

a. Pernah mengalami kekerasan emosi

b. Memiliki persepsi bahwa efek dari kekerasan emosi tidak akan terlihat di lingkungan

c. Ingin menjaga citra diri terutama pada lingkungan yanfg menanamkan budaya hirarki

d. Ingin mengontrol lingkungan

e. Adanya media sosial yang menunjukkan kekerasan emosi dalam lingkungan

4. Dampak Kekerasan Emosi

Menurut Jantz & McMurray (2009) kekerasan emosi yang berlangsung dalam periode yang cukup lama dapat menjadi pengalaman traumatis yang tidak terselesaikan. Pengalaman kekerasan emosi yang dialami individu dapat bervariasi dan menyerang aspek kepribadian. Oleh karena itu, dapak yang dirasakan juga bervariasi mulai dari ketidakpuasan dalam membangun sebuah


(42)

hubungan, berbagai bentuk kecemasan, gangguan tidur, kesulitan dalam proses belajar, gangguan makan. Tingkat keparahan yang dialami akibat pengalaman kekerasan emosi tergantung dari bentuk kekerasan emosi dan durasi terjadinya pengalaman tersebut (McCluskey & Hooper, 2000).

Hal ini juga didukung oleh pernyataan Gimpel & Holland (2003) yang menyatakan bahwa kekerasan emosi dapat berdampak pada kondisi psikolohis individu yang mengalaminya seperti perilaku kasar dan agresi, depresi, kegagalan dalam membentuk herga diri, mencari penerimaan orang lain secara berlebihan, takut akan penolakanm tidak mampu dalam membuat keputusan, bahkan mampu melakukan kekerasan verbal pada orang lain.

Individu yang baru saja mengalami kekerasan emosi biasanya menunjukkan perasaan tidak berdaya, merasa bersalah, sendirian, ditolak, rendah diri, dan menghindar dari hubungan sosial (Jantz & McMurray, 2009).

B. PENERIMAAN DIRI 1. Pengertian Penerimaan Diri

Ciri utama dari individu yang sehat secara mental yaitu mampu memiliki penerimaan diri yang baik (Petranto, 2005; Widyarini, 2009). Menurut Hurlock (1974), penerimaan diri dapat dilihat dari sejauh mana seorang ondividu mampu menyadari karakteristik kepribadian yang dimilikinya dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Lebih lanjut, Widyarini (2009) mengemukakan bahwa individu yang sudah memiliki penerimaan diri berarti menerima semua


(43)

keberadaaan dirnya baik dari sisi kelebihan maupun kekurangannya dan tidak menyerah secara pasif terhadap kelemahan tersebut.

Individu yang menerima dirinya memmiliki penilaian yang ralistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang ia miliki, di mana hal tersebut dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanapa memikirkan pendapat orang lain. Namun, bukan berarti bahwa ia tidak pernah merasa kecewa terhadap dirinya atau gagal mengenali kesalahannya sendiri sebagai suatu kesalahan melainkan tetap mengakui kegagalan dan kekecewaannya tanpa perlu menyalahkan diri sendiri (Calhoun & Acocella, 1995).

Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa individu yang mampu menerima dirinya berarti mampu memahami dan menerima segala pengalaman dalam hidupnya, kelebihan dan kekurangan yang ada dalam diri mereka, serta mengembangkan potensi dalam diri mereka tanpa merasa malu atau menyalahkan diri sendiri atas kekurangan yang dimiliki.

2. Karakteristik Individu yang Memiliki Penerimaan Diri

Menurut Sherer (dalam Sari & Nuryoto, 2002), karakteristik individu yang memiliki penerimaan diri, yaitu:

a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan b. Menganggap diri berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan

individu lain

c. Menyadari kekurangan serta kelebihan dan tidak merasa malu terhadap dirinya


(44)

e. Menerima pujian atau celaan yang diberikan pada dirinya secara objektif f. Mempercayai prtinsip-psinsip atau standar hidupnya tanpa dipengaruhi oleh

opini orang lain

g. Tidak merasa malu atau merasa bersalah atas dorongan dan emosi-emosi yang ada pada dirinya

3. Tahapan Mencapai Penerimaan Diri

Germer (2009) menyatakan penerimaan diri sebagai kemampuan individu untuk dapat memiliki pandangan positif mengenai siapa dirinya sesuai dengan kenyataan yang ia alami. Namun hal ini tidak mucul dengan sendirinya melainkan harus dikembangkan oleh individu tersebut. Oleh karena itu, peneriman diri dibentuk dalam tahapan-tahapan berikut: (Germer, 2009)

a. Penghindaran (aversion)

Reaksi awal individu jika dihadapkan dengan perasaan yang tidak menyenangkan biasanya adalah sebuah penolakan dengan berusaha untuk menghidari situasi tersebut. Sedangkan beberapa orang lain memilih untuk melakukan pertahanan atau berusaha mencoba menghilangkan situasi tidak menyenangkan tersebut. Beberapa orang lain bereaksi dengan melakukan perenungan terhadap kondisi yang ia alami. Hal ini merupakan reaksi naluriah setiap individu ketika berhadapan degan situasi yang tidak menyenangkan.

b. Keingintahuan (curiosity)

Ketika penghindaran tidak berhasil dalam menghilangkan perasaan tidak menyenangkan yang dialami, biasanya akan muncul rasa penasaran mengenai


(45)

situasi dan kondisi yang terjadi hingga perasaan tidak menyenangkan muncul pada individu yang mengalami hal tersebut. Hal ini membuat individu tersebut mulai mempelajari lebih lanjut permasalahan yang ia alami walaupun hal tersebut menimbulkan kecemasan pada dirinya.

c. Toleransi (tolerance)

Selanjutnya individu yang sudah memiliki informasi yang cukup mengenai kondisi tidak menyenangkan yang dialami akan memberikan toleransi terhadap perasaan tidak menyenangkan tersebut dengan menahannya dan membangun harapan bahwa perasaan tidak menyenangkan tersebut akan hilang dengan sendirinya.

d. Membiarkan mengalir (allowing)

Dalam pertahanan yang dibentuk selama individu tersebut membangun harapan bahwa perasaan tidak menyenangkan akan hilang dengan sendirinya, individu tersebut membiarkan perasaan tidak menyengkan datang dan pergi begitu saja. Ia secara terbuka membiarkan perasaan tersebut mengalir dengan sendirinya.

e. Persahabatan (friendship)

Pada akhirnya, individu yang mengalami perasaan tidak menyenangkan tersebut akan mulai bangkit serta mencoba untuk menemukan dan memberi penilaian lain terhadap kondisi permasalahan yang dialami. Hal ini membuat individu tersebut mulai merasa bersyukur atas manfaat yang ia dapatkan dari pengalaman dan perasaan sebelumnya.


(46)

4. Kondisi yang Mendukung Proses Penerimaan Diri

Hurlock (1974) menjelaskan beberapa kondisi yang mendukung seseorang untuk dapat menerima dirinya sendiri, antara lain:

a. Pemahaman diri

Pemahaman diri adalah persepsi tentang diri sendiri yang dibuat secara jujur, tidak berpura-pura, dan bersifat realistis. Persepsi atas diri ditandai dengan keaslian (genuineness), apa adanya, realistis, jujur, dan tidak menyimpang. Pemahaman diri bukan hanya terpaku pada mengenal atau mengakui fakta tetapi juga merasakan pentingnya fakta-fakta tersebut.

b. Sikap sosial yang mendukung

Tiga kondisi utama yang menghasilkan evaluasi positif terhadap diri setiap individu yaitu; tidak adanya prasangka terhadap orang lain, adanya penghargaan terhadap kemampuan-kemampuan sosial, dan kesediaan individu mengikuti tradisi suatu kelompok sosial. Individu yang memiliki hal tersebut diharapkan mampu menerima dirinya.

c. Harapan yang realistis

Harapan yang realistis muncul jika seorang individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuan dirinya berdasarkan kelebihan dan kekurangan dalam mencapai tujuannya, bukan harapan yang ditentukan orang lain terhadap dirinya.

d. Tidak adanya hambatan lingkungan

Ketidakmampuan untuk meraih harapan realistis dapat juga disebabkan oleh berbagai hambatan dari lingkungan. Bila lingkungan sekitar tidak


(47)

memberikan kesempatan atau bahkan menghambat seseorang untuk dapat mengekspresikan diri maka penerimaan diri akan sulit untuk dicapai. Namun, jika lingkungan dan significant others turut memberikan dukungan, maka kondisi ini dapat mempermudah pemahaman diri hingga individu tersebut memiliki penerimaan diri yang baik.

e. Tidak adanya stres emosional

Ketiadaan gangguan yang menyebabkan stres berat akan membuat individu dapat bekerja secara optimal, merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap dirinya. Kondisi ini diharapkan dapat membuat individu tersebut mampu menghasilkan evaluasi diri yang positif sehingga penerimaan diri yang memuaskan dapat tercapai.

f. Jumlah keberhasilan

Saat seseorang mengalami keberhasilan atau kegagalan, ia akan memperoleh penilaian sosial dari lingkungannya. Ketika seseorang memiliki aspirasi tinggi, maka ia tidak akan mudah terpengaruh oleh penilaian sosial tentang kesuksesan maupun kegagalan tersebut. Individu tersbeut kemudian akan menjadi lebih mudah dalam menerima diri sendiri terkait dengan kondisi di mana ia telah terpuaskan dengan keberhasilan yang telah dicapainya tanpa memikirkan pendapat lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan dirinya. g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Ketika seorang individu mampu mengidentifikasi diri dengan orang lain yang memiliki penyesuaian diri yang baik, maka hal tersebut dapat membantunya dalam mengembangkan sikap positif dan menumbuhkan penilaian diri yang


(48)

baik. Lingkungan rumah dengan model identifikasi yang baik akan membentuk kepribadian sehat pada individu yang memiliki hal tersebut sehingga ia mampu memiliki penerimaan diri yang baik.

h. Perspektif diri

Individu yang mampu melihat dirinya sebagaimana perspektif orang lain memandang dirinya, akan membuat individu tersebut menerima dirinya dengan baik. Hal ini diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Usia dan tingkat pendidikan seseorang juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan perpektif diri sendiri. Sebuah perspektif diri yang baik memudahkan akses terhadap penerimaan diri.

i. Pola asuh masa kecil yang baik

Meskipun penyesuaian diri pada setiap individy berubah secara terus-menerus karena adanya peningkatan dan perubahan dalam hidupnya, hal tersebut dianggap dapat menentukan baik atau buruknya penyesuaian diri dengan mengarahkan pada masa kecilnya. Konsep diri mulai terbentuk sejak masa kanak-kanak sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri seseorang tetap ada walaupun usia individu tersebut terus bertambah. Dengan demikian, pola asuh juga turut mempengaruhi bagaimana seseorang dapat mewujudkan penghayatan penerimaan diri.

j. Konsep diri yang stabil

Individu dianggap memiliki konsep diri yang stabil jika dalam setiap waktu ia mampu melihat kondisinya dalam keadaan yang sama. Jika seseorang ingin mengembangkan kebiasaan penerimaan diri, ia harus melihat dirinya sendiri


(49)

dalam suatu cara yang menyenangkan untuk menguatkan konsep dirinya sehingga penerimaan diri tersebut akan menjadi suatu kebiasaan.

5. Dampak Penerimaan Diri

Hurlock (1972) menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki penyesuaian diri dan sosial yang baik. Hal ini merupakan dampak dari adanya poenerimaan diri individu seperti dalam pemaparan berikut:

a. Penyesuaian diri

Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik berarti mampu memahami segala kelebihan dan kekurangan dirinya. Salah satu karakteristik individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah memiliki keyakinan diri sendiri. Keyakinan ini muncul ketika individu sudah mengenali kekurangan dan kelebihan yang ia miliki, dengan kata lain, individu yang memiliki peneriman diri yang baik akan memiliki penyesuaian diri yang baik juga. Selain itu, individu yang memiliki penerimaan diri yang baik juga dapat menerima kritik terhadap dirinya tanpa ada penolakan sehingga dapat mengevaluasi diri secara realistis. Hal ini akan membantu individu tersebut dalam memanfaatkan potensi dalam dirinya secara efektif.

b. Penyesuaian sosial

Individu yang memiliki penerimaan diri biasanya akan merasa aman untuk berempati pada orang lain. Hal ini terjadi karena penerimaan diri biasanya diikuti dengan adanya penerimaan dari orang lain sehingga individu tersebut dapat lebih mudah merasa diterima oleh lingkungan sosialnya. Sedangkan


(50)

orang yang merasa rendah diri atau tidak adekuat dengan lingkungannya akan cenderung untuk bersikap dengan orientasi terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, individu yang memiliki penerimaan diri yang baik dapat memiliki penyesuaian sosial yang baik dengan adanya sikap empati terhadap lingkungan sosialnya.

C. DINAMIKA PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI KEKERASAN EMOSI

Penerimaan diri dapat berarti menerima kelebihan dan kekurangan dalam dirinya serta pengalaman yang telah ia lalui tanpa adanya rasa bersalah atas kehidupannya. Individu yang sudah menerima kelebihan maupun kekurangan yang dimilikinya berarti sudah memiliki penerimaan diri yang tinggi sehingga ia tidak lagi merasa bersalah atas dirinya sendiri sebagai akibat dari tekanan dan penolakan yang dialami dari lingkungan dalam bentuk kekerasan emosi (Widyarini, 2009).

Hurlock (1974) mengemukakan beberapa kondisi yang dapat mendukung penerimaan diri individu yakni pemahaman diri, tidak ada stres emosional, tidak ada hambatan lingkungan, dan lain sebagainya. Penerimaan diri dapat lebih mudah dicapai jika lingkungan mendukung dalam memberikan pemahaman dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri masing-masing individu. Dukungan ini berperan pada masing-masing individu karena pemahaman diri tidak didapatkan begitu saja melainkan melalui berbagai penilaian terhadap diri sendiri maupun pengalaman yang telah dilewati (Semiun, 2006).


(51)

Akan tetapi, beberapa individu lebih berfokus pada penerimaan dalam lingkungan sosial (Widyarini, 2009). Pola pikir, keyakinan, kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut dalam suatu kelompok masyarakat akan diadopsi begitu saja oleh anggota kelompok di dalamnya. Hal ini dilakukan agar ia dapat berpikir dan bertindak secara efisien, tidak berkonflik dengan anggota lain dalam kelompok tersebut. Namun terkadang, tidak semua nilai dan pola pikir suatu masyarakat sesuai dengan anggotanya secara personal. Meskipun begitu, mereka selalu dituntut untuk menerima nilai-nilai dalam lingkungannya, bahkan hal ini dapat menjadi sebuah tekanan kepada individu tersebut terutama ketika nilai-nilai dan pola pikir dalam lingkungannya tidak sesuai dengan dirinya sendiri.

Pada akhirnya, tuntutan-tuntutan dalam lingkungan terlihat sebagai sebuah kekerasan yang berdampak pada kondisi psikologis korbannya (Gimpel & Holland, 2003), yaitu kekerasan emosi di mana individu yang mengalami hal tersebut akan merasakan ketidaknyamanan (Engel, 2002). Ketidaknyamanan ini membuat individu tersebut merasa ada permasalahan dalam hidupnya selama ia mengalami kekerasan emosi. Hal ini terjadi karena kekerasan emosi yang berlangsung selama periode tertentu dapat menjadi seperti sebuah permasalahan yang tidak terselesaikan bagi individu yang mengalaminya (Jantz & McMurray, 2009). Peterson, Maier, dan Seligman (1993) dalam bukunya menyatakan bahwa ketika permasalahan muncul secara terus menerus hingga individu tersebut merasa tidak sanggup untuk mengontrol kondisi yang sedang dihadapinya, maka akan muncul perasaan negatif seperti marah, cemas, dan depresi.


(52)

Kekerasan emosi dikatakan memiliki dampak sepanjang perkembangan kehidupan individu yang mengalaminya. Hal ini terjadi karena perkembangan merupakan tahap berkelanjutan yang terjadi selama proses kehidupan.. Pengalaman kekerasan emosi yang dialami dapat membuat individu merasa dirinya selalu melakukan kesalahan, tidak berguna, tidak dicintai, bahkan mengarahkan pada usaha untuk mengakhiri hidup (Daniels-Lake, 2010). Hal ini terjadi karena individu yang mengalami kekerasan emosi menyatakan bahwa mereka merasa hampa dan kebingungan dalam menjalani hidup, tidak memiliki hubungan dengan kenyataan, bahkan beberapa individu lain mengalami psikosomatis (Lachkar, 2004). Penelitian Rallis, Deming, Glenn, dan Nock (2012) mengenai hubungan antara emptiness dengan nonsuicidal self-injury juga menyatakan bahwa kekerasan emosi yang dialami pada masa kanak-kanak memiliki hubungan paling signifikan terhadap kehampaan yang dialami pada masa dewasa dan mengarahkan pada usaha menyakiti diri sendiri.

Selain itu, kekerasan emosi dapat berupa ketidakpuasan pelaku kekerasan terhadap korbannya sehingga korban kekerasan emosi merasa bersalah atas dirinya walaupun ia tidak sedang melakukan suatu kesalahan (Susilowati, 2008).

Dengan berbagai dampak yang dirasakan sebagai akibat dari pengalaman kekerasan yang terjadi pada hidupnya, korban kekerasan emosi akan mengalami hambatan dalam memahami dirinya yang sesungguhnya.Ketidakmampuan dalam memahami potensi dan kekurangan dirinya membuat individu tersebut tidak mampu melihat lingkungan dan kehidupannya secara objektif sehingga ia


(53)

mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Semiun, 2006).

Pada kenyataannya, terdapat beberapa individu yang juga mengalami kekerasan emosi mampu memahami dirinya dan menerima kelebihan, kekurangan, dan pengalaman yang telah dilalui sebagai bagian dari dirinya. Pemahaman mengenai kelebihan dan kekurangan diri sendiri membuat mereka tetap bertahan menjalani kehidupan dan mengembangkan potensi dirinya walaupun tetap mendapat penolakan dari lingkungannya. Mereka tidak lagi menunjukkan tanda-tanda depresi, kecemasan, kesepian, bahkan mereka tidak lagi meragukan diri mereka sendiri. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melihat dinamika yang terjadi dalam diri individu yang mengalami kekerasan emosi hingga mencapai penerimaan diri dan menerima pengalaman kekerasan emosi sebagai bagian dari dirinya sehingga dampak negati dari kekerasan emosi yang dapat menghambat pengembangan dirinya tidak lagi dirasakan.


(54)

D. PARADIGMA BERPIKIR

Bagaimana penerimaan diri korban kekerasan emosi?

Menerima kelebihan,

kekurangan, dan pengalaman sebagai bagian dari dirinya tanpa rasa bersalah

Faktor pendukung: Pemahaman diri

Tidak ada hambatan lingkungan Tidak ada stress emosional Pola asuh masa kecil yang baik Harapan yang realistis

Sikap sosial yang mendukung Jumlah keberhasilan

Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Konsep diri yang stabil Pengalaman

kekerasan emosi

Merasakan dampak: Depresi

Gagal membentuk harga diri Tidak mampu membuat keputusan

Tidak merasakan dampak


(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian mengenai penerimaan pada individu yang mengalami kekerasan emosi ini merupakan studi yang menggunakan pendekatan kualitatif. Patton (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa penelitian kualitatif memungkinkan peneliti mempelajari isu-isu tertentu secara mendalam dan mendetail karena pengumpulan data yang tidak dibatasi pada kategori tertentu. Seiring dengan pernyataan tersebut, Poerwandari (2007) juga menyatakan bahwa sebagian aspek psikologi manusia sangat sulit direduksi dalam elemen atau angka,

dan akan lebih „etis‟ dan kontekstual bila diteliti dalam situasi alamiah.

Pendekatan kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini berbentuk fenomenologi. Fenomenologi dapat digolongkan dalam penelitian kualitatif murni di mana dalam pelaksanaannya berlandaskan pada usaha mempelajari dan menggambarkan ciri-ciri intrinsik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri. Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkapkan makna konsep atau pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu.

Penelitian ini secara praktis berusaha untuk mengkaji peristiwa kehidupan yang nyata yang dialami oleh subjek penelitian ini secara holistik dan bermakna. Dalam uraian yang lebih luas, penelitian ini berusaha untuk memberikan deskripsi dan eksplanasi terhadap individu yang mengalami kekerasan emosi dan sedang


(56)

berada dalam tahap penerimaan diri sehingga memberikan respon yang berbeda dari yang telah dikemukakan oleh berbagai teori terhadap kekerasan emosi yang dialami. Dengan melakukan penelitian kualitatif, diharapkan proses penerimaan diri pada individu tersebut dapat ditelaah secara lebih mendalam sehingga dapat memberikan manfaat dan pengetahuan yang lebih banyak mengenai dinamika hingga proses menerima kekerasan emosi sebagai bagian dari hidupnya tanpa adanya rasa bersalah atau dengan kata lain sudah memiliki penerimaan diri (Widyarini, 2009).

B. SUBJEK PENELITIAN

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik yang digunakan untuk memilih subjek dalam penelitian ini adalah korban kekerasan emosi yang tidak lagi mengalami dampak negatif dari kekerasan tersebut.

2. Prosedur Pengambilan Subjek Penelitian

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini adalah dengan berdasarkan konstruk operasional yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti dengan cara observasi dan meminta rekomendasi subjek pada lingkungan sekitar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan karena fenomena yang dilihat dalam penelitian ini merupakan fenomena unik yang tidak dialami oleh setiap individu.

3. Jumlah Subjek Penelitian


(57)

tidak ditentukan secara baku sejak awal tetapi dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian (Poerwandari, 2007). Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang.

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara pribadi (personal interview) untuk memberikan privasi yang maksimal kepada responden sehingga memungkinkan untuk memperoleh data yang intensif dan observasi ekspresi serta gerak-gerik lebih mudah dilakukan untuk mendukung data wawancara (Rahayu & Ardani, 2004). Sedangkan untuk metode wawancara, digunakan wawancara mendalam tentang makna subjektif yang dipahami responden berkenaan dengan pengalaman kekerasan emosi dan tahapan dan proses penerimaan diri yang dialami. Wawancara mendalam lebih seperti percakapan sehari-hari dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali latar belakang hidup seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2007). Melalui wawancara mendalam dengan pedoman umum, peneliti akan memperoleh data tentang kekerasan emosi yang terjadi serta dinamika dalam tahapan penerimaan diri subjek.


(58)

D. ALAT BANTU

Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah alat perekam, alat tulis, kertas, dan pedoman wawancara.

1. Tape Recorder (Alat Perekam)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Penggunaan alat perekam akan mempermudah peneliti dalam mengulangi hasil wawancara dan tidak perlu sibuk mencatat jalannya wawancara. Selain itu, peneliti dapat lebih mudah melakukan observasi selama wawancara berlangsung. Penggunaan alat perekam dilakukan setelah ada persetujuan dari responden.

2. Pedoman Wawancara Umum

Pedoman wawancara bersifat semi struktur dan tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara ini digunakan hanya untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan telah dibahas atau belum. Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku, tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topik penelitian agar data yang didapatkan lebih lengkap dan akurat.

E. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Awal Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian yaitu sebagai berikut:


(1)

Henslin, J. M. (2007). Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hunt, J. (2013). Verbal & Emotional Abuse. California: Aspire Press.

Hurlock, E. B. (1974). Personality Development. New Delhi: McGraw-Hill.

___________. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Hidup (5th Edition ed.). (Istiwidayanti, & Soedjarwo, Trans.) Jakarta: Erlangga.

Hutchinson, L. (2014). Study Guide for The NCE Exam DSM-5 sixth edition.

USA: Licensure Exams, Inc.

Jantz, G. L., & McMurray, A. (2009). Healing The Scars of Emotional Abuse.

Grand Rapids: Revell.

________________________. (2013). Hope and Healing From Emotional Abuse.

Grand Rapids: Revell.

Jewkes, R. (2010, September 10). Emotional Abuse: A Neglected Dimension of Partner Violence. www.thelancet.com vol.376 , p. 851.

Krumins, G. I. (2011). The Detrimental Effects of Emotional Abuse: Emotional Abuse is The Foundation of Other Abuses, The Worst Being Elder Abuse. Bloomington: Author House.

Lachkar, J. (2004). The Many Faces of Abuse. United State of America: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

Laurens, J. M. (2005). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo.

May, R. (1996). Manusia Mencari Dirinya. Jakarta: Mitra Utama.

McCluskey, U., & Hooper, C.-A. (2000). Psychodinamic Perspectives On Abuse: The Cost Of Fear. London: Jessica Kingsley Publisher.


(2)

Peterson, C., Maier, S. F., & Seligman, M. E. (1993). Learned Helplessness: A Theory for the Age of Personal Control. New York: Oxford University Press.

Petranto, I. (2005). It Takes Only One to Stop the Tango. Tangerang: PT Kawan Pustaka.

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

Prihadhi, E. K. (2008). My Potency. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Rahayu, I. T., & Ardani, T. A. (2004). Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing.

Rallis, B. A., Deming, C. A., Glenn, J. J., & Nock, M. K. (2012). What Is The Role of Dissociation and Emptiness in The Occurance of Nonsuicidal Self-Injury? Journal of Cognitive Psychotherapy: An International Quarterly , 287-298.

Sari, E. P., & Nuryoto, S. (2002). Penerimaan Diri pada Lanjut Usia Ditinjau dari Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi , 73-88.

Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2009). Theories of Personality (9th Edition ed.). Wadsword, USA: Cengage Learning.

Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 1 . Yogyakarta: Kanisius.

________. (2010). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius.

Setiawati, Y. (2008, November 13). Ternyata OrangTua juga Perlu Sekolah Lho. Retrieved Agustus 26, 2015, from Blogspot:


(3)

Setyono, A. (2007). Rahasia Mendidik dan Membesarkan Anak dengan Tersenyum dan Bebas Stres. www.SekolahOrangTua.com.

Sturge-Apple, M. L., Skibo, M. A., & Davies, P. T. (2012). Impact of Parental Conflict and Emotional Abuse on Children and Family. Partner Abuse

, 379-400.

Supratiknya, A. (1995). Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Kanisius.

____________. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius.

Susilowati, P. (2008, Agustus 12). Kekerasan Terhadap Perempuan pada Masa Pacaran. Retrieved Agustus 22, 2015, from e-psikologi: http://www.e-psikologi.com/epsMindividual

Syarief, R. M. (2005). Life Excellent Menuju Hidup Lebih Baik. Jakarta: Prestasi.

Tracy, B. (2003). Change Your Thinking, Change Your Life. (A. Lastiati, Trans.) New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Vujicic, N. (2010). Life Without Limit: Inspiration for a Ridiculously Good Life.

Colorado: WaterBrook Press.

Widyarini, M. M. (2009). Kunci Pengembangan Diri. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

______________. (2009). Relasi Orang Tua dan Anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Wright, M. O. (Ed.). (2012). Childhood Emotional Abuse: Mediating dan Moderating Process Affecting Long-Term Impact. New York: Routledge.


(4)

Lampiran I Pedoman Wawancara 1. Pembukaan

a. Identitas diri b. Tujuan penelitian

c. Pernah mengalami kekerasan emosi (ya/tidak)

d. Kesediaan menjadi subjek dan menjamin kerahasiaan data 2. Garis besar wawancara

a. Pengalaman kekerasan emosi

i. Bentuk kekerasan emosi yang dialami ii. Pelaku kekerasan emosi

iii. Penyebab munculnya kekerasan emosi iv. Durasi munculnya kekerasan emosi

v. Dampak kekerasan emosi

pandangan terhadap diri sendiri terhadap hubungan dengan orang lain terhadap kegiatan sehari-hari

vi. Respon yang diberikan selama terjadi kekerasan emosi vii. Dampak dari respon yang diberikan

b. Tahap penerimaan diri

i. Perasaan tidak menyenangkan yang muncul ii. Bentuk penghindaran yang dilakukan

iii. Pengetahuan terkait dengan kekerasan emosi yang dialami iv. Hal yang dilakukan dalam mencari informasi mengenai

kekerasan emosi

v. Hal yang dilakukan ketika perasaan tidak menyenangkan muncul


(5)

x. Hal-hal yang berpengaruh terhadap munculnya penilaian tersebut

xi. Manfaat yang diterima dari situasi tersebut 3. Penutup


(6)

Lampiran II Inform Consent

Lembar Pernyataan Persetujuan oleh Subjek Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA :

ALAMAT :

UMUR :

PEKERJAAN :

Dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun bersedia untuk diwawancarai sebagai partisipan dan berperan serta dari awal hingga selesai dalam penelitian saudara :

NAMA : Clara Clearesta

ALAMAT : Jalan Terompet no 4 Padang Bulan UMUR : 21 tahun

JUDUL : Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi

Dengan persyaratan :

1. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta tujuan dan manfaat penelitiannya.

2. Menjaga kerahasian dari identitas diri dan informasi yang diberikan dan hanya untuk tujuan penelitian saja.

Demikianlah surat pernyataan persetujuan saya setujui dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Semoga surat ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Medan,