Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA

INDIVIDU DEWASA AWAL YANG

MENGALAMI KECACATAN AKIBAT

KECELAKAAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

IMELDA LAN MARETNY HUTAPEA

061301097

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan

sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang

Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2011

IMELDA LAN MARETNY HUTAPEA NIM 061301097


(3)

Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami

Kecacatan Akibat Kecelakaan

Imelda Lan M. Hutapea dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat, individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Individu yang cacat akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya karena keterbatasan yang dimilikinya. Kecacatan yang diakibatkan oleh adanya suatu kecelakaan berakibat adanya suatu perubahan drastis dalam kehidupan individu. Kecacatan tersebut dapat mempengaruhi psychological well-being pada individu.

Psychological well-being mengacu pada suatu dorongan untuk menyempurnakan

dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat

psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Ryff (1989) mengoperasionalkan psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive

relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan diri (

personal growth).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

well-being pada individu yang cacat akibat kecelakaan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang pria. Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat sebuah kecelakaan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kedua responden pada saat ini sudah mampu menerima dirinya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu otonomi dalam hidupnya, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai dan pertumbuhan pribadi yang sehat. Hanya saja pada responden I proses pencapaian keenam dimensi ini dilalui dengan proses yang lebih sulit dan lebih panjang. Hal ini dapat dilihat dari salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu trait dimana responden I memiliki

trait yang pesimis sedangkan responden II memiliki trait yang optimis.

Kata kunci : psychological well-being, individu dewasa awal yang cacat akibat kecelakaan.


(4)

Psychological Well-Being of Individuals in Initial Phase of Maturity who got Paralyzed from Accident

Imelda Lan M. Hutapea and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

Paralyzation was a situation that was unexpected by every individual because by being so, the particular individual had limitations or hindrance in doing his daily life activities. The paralyzed would gain negative stigma from his surroundings due to his limitation. The paralization from accident results in drastic change in the particular individual life. It could affect the psychological well-being of the individual. Psychological well-being referred to a drive to bring perfection and realization on the exact self-potential. This drive would have one surrender to the situation that lower his psychological well-being or strive to better his life situation that by which will better his life situation which could improve his psychological well-being. (Ryff and Singer in Halim and Atmoko, 2005). Ryff (1988) operated the psychological well-being into six dimensions; self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

The purpose of this research was to find out the description of Psychological well-being situation of those who got paralyzed from accident. This research used qualitative approachment. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is two. Actually, the characteristic of this research was the individual in Initial Phase of Maturity who got paralyzed from an accident.

The research result showed that both respondents at this time were already able to accept his own self, live a positive relationship with others, run autonomy in his life, master the environment, generate the purpose of life to be achieved and healthy personal growth. However, for Respondent 1, the gaining process of these six elements was through in more difficult and longer process . This could be seen from one of factors that affected the psychological well-being which was the trait. In this finding, Respondent 1 had pessimistic trait while Respondent 2 had optimistic trait.

Key words: psychological well-being, individual at initial phase of maturity who got paralyzed from accident


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat dan anugerahNya lah penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan penulisan proposal skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penyusunan proposal skripsi yang berjudul ”Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan” ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mata kuliah skripsi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kak Juli I. Saragih, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran, serta semangat untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

3. Kak Silviana Realyta, M.Psi, selaku dosen pembimbing akademik penulis

yang telah bersedia membimbing penulis dalam memberikan masukan dalam bidang akademis pada setiap perjalanan kuliah penulis.

4. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu,

wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga bagi peneliti.

5. Mama dan Bapak yang tidak pernah berhenti berdoa dan memberikan

semangat bagi penulis selama proses perkuliahan, khususnya dalam proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih karena tidak pernah berhenti


(6)

mengingatkan penulis untuk tetap berharap pada Tuhan hingga penulis tidak putus asa ketika menghadapi setiap kesulitan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Adik tersayang, Agus, Obed, Ribka, dan Anggi yang tetap berdoa dan tidak

berhenti memberikan semangat bagi penulis.

7. KTB Purity : Kak Lenni Sitorus, Dwi, Kristina, Kak Nensi, Kak Mastiur,

Apry, dan Ana yang terus setia berdoa, mendengarkan setiap share peneliti dan memberikan masukan dan dukungan bagi penulis.

8. Kelompok Kecil di SMA N 12 Medan : Arista, Debora, Delima, Dewi, Enzel,

Krisna, Lusi, Meilinda (Bigo), Rahel, Vini, Wina, dan Yuna yang terus mendukung dan berdoa untuk penyelesaian penelitian ini.

9. Sahabat-sahabat peneliti : Wind, Yoga, dan Richard yang bersedia menjadi

alarm peneliti, membangunkan hampir setiap subuh dan terus mengingatkan peneliti untuk tidak pernah menyerah; Deva yang ada sebagai teman curhat dan mengeluarkan seluruh uneg-uneg yang peneliti rasakan; Kak Citra yang setia berdoa dan mendukung peneliti; Amson yang menjadi teman untuk tertawa; Elfrida yang tidak pernah berhenti memberika semangat; Kak Dear yang mendengarkan setiap cerita; Titien dan Tantry yang telah membantu peneliti dalam terjemahan.

10. TPS (Tim Pembimbing Siswa) dan Staf Perkantas Medan yang tetap

mendukung penulis dalam doa.

11. Kak Mei, Bang Ferry, Kak Asma, Kak Duma, Kak Ochi, Bang Romel,

Jessyka yang telah memberikan informasi untuk menemui calon-calon responden di beberapa tempat.


(7)

12. Alan, Andika, Ali, kak Ros, Zul, Franky, Hotland, Anugrah dan Aris yang telah meluangkan waktu untuk bisa share mengenai pengalaman mereka dengan peneliti.

13. Badan Pembinaan Olahraga Cacat dan Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya yang

telah memberikan informasi seputar calon responden peneliti.

14. Teman-teman angkatan 2006 Psikologi USU : Ayu yang telah meluangkan

waktunya untuk membantu memberikan ide-ide, Eky, Muti, Herna, Mona, dan lain-lain yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari sempurna dan dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun agar menjadi masukan bagi penulis untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Psychological Well-Being ... 12

1. Definisi Psychological Well-Being ... 12

2. Dimensi Psychological Well-Being ... 13

3. Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 15


(9)

1. Dewasa Awal ... 17

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal... 20

C. Cacat ... 20

1. Defenisi Cacat ... 20

2. Jenis Cacat ... 22

3. Faktor Penyebab Kecacatan ... 23

4. Bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan ... 23

5. Hambatan-Hambatan ... 24

D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

A. Pendekatan Kualitatif ... 29

B. Responden Penelitian ... 30

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 30

2. Jumlah Responden Penelitian ... 30

3. Prosedur Pengambilan Responden ... 31

4. Lokasi Penelitian ... 31

C. Metode Pengambilan Data ... 32

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 33

1. Alat Perekam ... 34

2. Pedoman Wawancara ... 34

E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian ... 35


(10)

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 36

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 41

3. Tahap Pencatatan Data ... 44

4. Prosedur Analisis Data ... 44

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... .... 48

A. Analisa Data ... .... 48

1. Responden I ... .... 48

a. Rangkuman Wawancara ... .... 49

b. Data observasi ... .... 51

c. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Individu Cacat Akibat Kecelakaan... .... 57

1. Penerimaan Diri ... .... 57

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... .... 60

3. Otonomi ... .... 63

4. Penguasaan Lingkungan... .... 64

5. Tujuan Hidup ... .... 65

6. Pertumbuhan Pribadi ... .... 66

2. Responden II ... .... 68

a. Rangkuman Wawancara ... .... 68

b. Data observasi... .... 70

c. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Individu Cacat Akibat Kecelakaan ... .... 74


(11)

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 76

3. Otonomi ... 77

4. Penguasaan Lingkungan ... 78

5. Tujuan Hidup ... 79

6. Pertumbuhan Pribadi ... 81

IV.C. Analisis Antar Responden ... 82

IV.D. Pembahasan ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91

1. Saran Praktis ... 91

2. Saran Penelitian Lanjutan ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Waktu wawancara dengan responden I ... 42

Tabel 2. Waktu wawancara dengan responden II ... 43

Tabel 3. Gambaran umum responden I ... 48

Tabel 4. Gambaran umum responden II ... 68


(13)

DAFTAR GAMBAR


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Pedoman Wawancara LAMPIRAN B

Lembar Persetujuan Wawancara LAMPIRAN C

Lembar Observasi LAMPIRAN D Verbatim Wawancara


(15)

Psychological Well-Being pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami

Kecacatan Akibat Kecelakaan

Imelda Lan M. Hutapea dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat, individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Individu yang cacat akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya karena keterbatasan yang dimilikinya. Kecacatan yang diakibatkan oleh adanya suatu kecelakaan berakibat adanya suatu perubahan drastis dalam kehidupan individu. Kecacatan tersebut dapat mempengaruhi psychological well-being pada individu.

Psychological well-being mengacu pada suatu dorongan untuk menyempurnakan

dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat

psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Ryff (1989) mengoperasionalkan psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive

relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan diri (

personal growth).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

well-being pada individu yang cacat akibat kecelakaan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang pria. Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat sebuah kecelakaan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kedua responden pada saat ini sudah mampu menerima dirinya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu otonomi dalam hidupnya, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai dan pertumbuhan pribadi yang sehat. Hanya saja pada responden I proses pencapaian keenam dimensi ini dilalui dengan proses yang lebih sulit dan lebih panjang. Hal ini dapat dilihat dari salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu trait dimana responden I memiliki

trait yang pesimis sedangkan responden II memiliki trait yang optimis.

Kata kunci : psychological well-being, individu dewasa awal yang cacat akibat kecelakaan.


(16)

Psychological Well-Being of Individuals in Initial Phase of Maturity who got Paralyzed from Accident

Imelda Lan M. Hutapea and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

Paralyzation was a situation that was unexpected by every individual because by being so, the particular individual had limitations or hindrance in doing his daily life activities. The paralyzed would gain negative stigma from his surroundings due to his limitation. The paralization from accident results in drastic change in the particular individual life. It could affect the psychological well-being of the individual. Psychological well-being referred to a drive to bring perfection and realization on the exact self-potential. This drive would have one surrender to the situation that lower his psychological well-being or strive to better his life situation that by which will better his life situation which could improve his psychological well-being. (Ryff and Singer in Halim and Atmoko, 2005). Ryff (1988) operated the psychological well-being into six dimensions; self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth.

The purpose of this research was to find out the description of Psychological well-being situation of those who got paralyzed from accident. This research used qualitative approachment. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is two. Actually, the characteristic of this research was the individual in Initial Phase of Maturity who got paralyzed from an accident.

The research result showed that both respondents at this time were already able to accept his own self, live a positive relationship with others, run autonomy in his life, master the environment, generate the purpose of life to be achieved and healthy personal growth. However, for Respondent 1, the gaining process of these six elements was through in more difficult and longer process . This could be seen from one of factors that affected the psychological well-being which was the trait. In this finding, Respondent 1 had pessimistic trait while Respondent 2 had optimistic trait.

Key words: psychological well-being, individual at initial phase of maturity who got paralyzed from accident


(17)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak kehendak Sang Pencipta terhadap umatNya? Apabila Sang Pencipta menghendakinya, apapun bisa terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk kecelakaan. Siapa yang menyangka akan mendapat kecelakaan? Kecelakaan bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja karena kecelakaan merupakan suatu peristiwa spesifik yang terjadi secara tidak sengaja, tidak biasa, dan tidak diharapkan yang terjadi pada tempat dan waktu yang tidak ditentukan tanpa penyebab yang disengaja tetapi ditandai dengan suatu efek (karena kecelakaan) akan menyebabkan perubahan besar bagi individu apalagi sebelum mengalami kecacatan individu memiliki kelengkapan fisik yang membuat individu tersebut mampu melakukan banyak kegiatan dan memiliki kehidupan yang lebih baik dengan kelengkapan fisiknya serta mampu melakukan tugas-tugas perkembangannya dengan optimal sebagaimana mestinya tanpa ada hambatan fisik.


(18)

Terutama ketika individu memasuki masa dewasa awal dengan berbagai tugas perkembangannya, seperti mulai bekerja, memilih pasangan, membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara serta mencari kelompok sosial yang menyenangkan (Hurlock, 2004). Individu pada awalnya dapat memenuhi tugas-tugas perkembangannya ini namun karena adanya suatu kecelakaan membuat individu tidak lagi mampu memenuhi tugas perkembangannya dengan maksimal.

Perubahan drastis tersebut, seperti kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan, terutama pada fisiknya, memberi tekanan psikologis yang sangat besar bagi individu yang mengalaminya. Hal ini dikarenakan pada awalnya ia memiliki fisik yang normal, mampu beraktivitas dengan baik, tidak ada hambatan fisik untuk melakukan sesuatu, bekerja, berolah raga, berlari, dan lain-lain tiba-tiba dihadapkan pada kondisi cacat yang membuat individu menjadi terbatas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, mengurus diri sendiri, bekerja, dan lain-lain (Burns, 2010).

Reaksi yang banyak timbul terhadap perubahan drastis yang dialami individu karena kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan cenderung negatif. Radler (2000) menyebutkan ada beberapa tahapan yang dialami individu ketika ia mengalami kejadian traumatik yang menyebabkannya mengalami hambatan fisik, yaitu: 1) shock, yang merupakan suatu keadaan mati rasa terhadap kejadian; 2) cemas dan panik terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya; 3) menyangkal (denial) pengalaman trauma yang dialaminya; 4) depresi karena saat ini ia dihadapkan pada suatu kejadian yang segala implikasinya; 5) marah dengan apa


(19)

yang terjadi; 6) perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri dan bahkan mencoba menyerang orang-orang yang berusaha untuk menolongnya; 7) rekognisi intelektual dan berupaya untuk menerima situasi yang sedang dihadapinya saat ini dan belajar strategi yang dapat dilakukan dengan perubahan yang dialaminya; 8) tidak hanya menyadari strategi yang baik tetapi juga memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.

Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur

atau fungsi psikologis atau anatomis, contohnya kelumpuhan dibagian bawah tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki, sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia, dan dikatakan handicap merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan


(20)

/12/tinjauan_terhadap_kebijakan_integrasi_sosial_penyandang_cacat_ke_dalam_ mainstream_masyarakat_)

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela; aib; 4) Tidak (kurang) sempurna (Alwi, 2005.

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, cacat seringkali dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali/dikasihani sehingga seringnya orang-orang yang mengalami kecacatan dianggap sebagai orang yang lemah, tidak berdaya, dan membutuhkan pertolongan orang lain. Hal ini dialami oleh Rizky, 25 tahun, yang mengalami kecacatan akibat penyakit kelainan darah yang dideritanya:

“Yah...ada perasaan gak mampu dan gak bisa ngerjain apa-apa lah dengan kondisi ku yang kayak gini ini. Aku kan bisanya di kursi roda aja, gak bisa kemana-mana, gak bisa ngapa-ngapain...orang-orang itu lah (menunjuk ibu dan saudara sepupunya) yang ngurus-ngurusin aku semuanya, kayak mandi, makan, minum obat...semua-semuanya lah...buang air aja aku diurusin karna aku pun pake kateter ini kan...” (Komunikasi Personal, 5 Maret 2011)

Kondisi individu yang merasa tidak berdaya seperti itu seringkali mempengaruhi psikologis para penyandang cacat dan membuat seseorang merasa rendah diri dan tidak mampu lagi melakukan tugas atau aktivitas mereka seperti dulu sebelum mereka mengalami kecacatan, merasa tertolak oleh lingkungan karena keterbatasannya untuk melakukan aktivitas seperti orang yang normal. Hal


(21)

ini dialami oleh Tony, 53 tahun yang mengalami kecacatan akibat tergilas dua set roda kereta yang sedang membawa buldozer:

“Sebenarnya, selalu ada orang lain yang biasanya meragukan kehadiran saya. Sebelum meninggalkan Selandia Baru untuk melakukan pendakian, banyak orang yang mengatakan saya tidak waras bahkan untuk memikirkannya saja. Orang lain mengatakan saya tidak mungkin berhasil melakukannya dan bahkan menyarankan agar saya tidak usah mencoba. Para sahabat mengatakan saya “sangat gila.””

(Dikutip dari Attitude Plus!)

Hal ini juga terlihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh Desy (bukan nama sebenarnya), 27 tahun yang mengalami kecacatan akibat terjatuh pada waktu balita yang membuatnya harus duduk diatas kursi roda hingga saat ini:

”Sebenarnya aku malu sama kawan-kawanku karena aku kayak gini. Orang itu kan bisa jalan, padahal aku...aku di kursi roda. Ada pun yang

ngejek karena aku kayak gini dan ’ga bisa kayak kawan-kawanku.

Pertamanya aku malu.., minder lah....” (Komunikasi Personal, 8 Maret 2010)

Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan seseorang yang mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa) menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Rizky, yang berkaitan dengan kondisinya:

“Yah, lagian siapa jugak yang mau kerja sama dengan orang yang lumpuh kayak aku ini?”

(Komunikasi Personal, 12 Maret 2011)

Selain adanya perasaan rendah diri, hubungan dengan orang lain seringnya tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas dengan keadaannya; ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cenderung konform terhadap orang lain/grup karena adanya tekanan grup yang


(22)

akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya melakukan aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, mengabaikan kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari luar; kurang memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup; mengalami personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff & Singer, 2008). Masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk seseorang melakukan sesuatu, bukan sebagai pemacu untuk lebih kecil (Nurkolis, 2002).

Individu yang mengalami kecacatan, apapun faktor-faktor penyebabnya, baik faktor dari dalam (bawaan/congenital) maupun faktor dari luar (lingkungan setelah individu lahir), mempunyai pandangan negatif terhadap kondisi cacatnya, dan menjadi subjek stereotype prejudice serta limitation baik dari masyarakat yang memandangnya maupun dirinya sendiri karena merasa tidak mampu (Lahey, 2004). Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat karena mereka memang terlahir cacat dan tidak pernah memiliki fisik yang normal. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita dari awal,


(23)

sedangkan individu yang mengalami kecacatan setelah lahir (apalagi setelah individu memasuki masa dewasa) ketika ia sudah membangun cita-cita dari awal, mempunyai tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, bekerja dan lain-lain, maka ia akan mengalami tekanan psikologis yang berat karena setelah terjadi kecelakaan dan divonis cacat mereka seperti tidak memiliki tujuan hidup lagi, diskriminasi oleh lingkungan, alienasi dan helpless (Radler, 1999), perasaan rendah diri, stereotype negatif (seperti helpless, dependent dan merepotkan orang lain, orang yang malang dan perlu dikasihani), worthless.

Setiap individu selalu ingin mencapai apa yang diinginkannya dalam hidupnya, tidak perduli ia normal secara fisik, orang yang tidak normal (cacat) pun tetap memiliki keinginan untuk bisa mencapai sesuatu yang didambakan dalam hidupnya. Keterbatasan fisik yang dialami oleh seseorang harusnya tidak menjadi penghalang bagi individu untuk dapat merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya. Untuk mencapai potensinya tersebut diperlukan psychological

well-being agar individu merasa puas dalam hidupnya, bisa mengembangkan dan

merealisasikan dirinya (Ryff, 1989a).

Psychological well-being merupakan dorongan untuk menyempurnakan

dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat

psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Pada intinya, psychological


(24)

Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis melihat bahwa individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan selain mendapat stigma negatif dari orang-orang disekitarnya yang membuat mereka dikucilkan (seperti dianggap tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik, orang yang sulit/dingin), mereka juga tidak bisa menerima diri mereka sepenuhnya karena kondisi cacatnya tersebut yang mengakibatkan mereka tidak percaya diri (karena sebelum mengalami kecacatan mereka memiliki fisik yang normal dan tidak memiliki hambatan), hubungan dengan orang lain pun terganggu karena menganggap orang lain selalu memandang negatif terhadap mereka, membatasi diri dari lingkungannya, dan tidak ada keyakinan akan dapat mencapai tujuan hidup mereka. Hal-hal tersebut membuat individu tidak bisa mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya sehingga ia mempunyai psychological well-being yang negatif dan kondisi tidak terealisasinya seluruh potensi atau tidak teraktualisasinya dirinya secara keseluruhan membuat ia tidakn mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penulis tertarik melihat gambaran psychological


(25)

I.B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah pada proposal penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well-being pada individu dewasa awal berdasarkan dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff?

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

well-being pada individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat

kecelakaan.

I.D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menemukan paradigma baru di bidang psikologi khususnya psikologi klinis, terutama yang berkaitan dengan psychological well-being pada individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

korban kecelakaan yang mengalami kecacatan fisik untuk terus mengembangkan potensi yang dimilikinya dan tidak menjadikan kecacatan sebagai suatu penghalang individu merealisasikan potensi yang sesungguhnya.


(26)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para ahli seperti psikolog untuk dapat lebih peka melihat dinamika dimensi-dimensi psychological well being pada individu yang cacat akibat kecelakaan.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Latar Belakang

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dan responden penelitian.

Bab IV : Analisa dan Pembahasan

Bab ini menguraikan mengenai latar belakang responden, data observasi, data wawancara yang berupa analisa data per responden dan pembahasannya menurut teori-teori yang ada.


(27)

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan saran mengenai

psychological well-being pada individu dewasa awal yang

mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan masalah-masalah penelitian serta saran metodologis untuk penyempurnaan penelitan lanjutan.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Psychological Well-Being

II.A.1. Definisi Psychological Well-Being

Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008) mendefinisikan psychological

well-being sebagai suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi

diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005). Pada intinya, psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995).

Ryff (1989) mengoperasionalkan definisi psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri (dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri), dimensi hubungan positif dengan orang lain (memiliki hubungan yang hangat, intim dan terpercaya dengan orang lain), dimensi otonomi (bebas, mampu untuk menentukan nasib dan mengontrol perilaku sendiri), dimensi penguasaan


(29)

lingkungan (mampu memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologis dalam rangka mengembangkan diri), dimensi tujuan hidup (memiliki arah, tujuan, dan makna hidup), dan dimensi pertumbuhan diri (mampu dan memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi).

II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Ryff dalam buku Human Development (2000) mengemukakan enam dimensi psychological well-being, yaitu:

1. Penerimaan diri (self acceptance)

Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Menurut Maslow (dalam Calhoun dan Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik.


(30)

3. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri.

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka mengembangkan diri.

5. Tujuan hidup (purpose of life)

Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu yang memiliki psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat.

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.


(31)

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada diri seseorang, yaitu:

a. Usia

Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bag i dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

b. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.


(32)

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff, dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.

d. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

e. Faktor Dukungan Sosial

Hasil penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang dirasakan oleh individu tersebut.


(33)

II.B. Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja Latin. adultus yang berarti “tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna”, atau “telah dewasa.’ Oleh karena itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan menjadi pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 2004).

Masa dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 2004). Individu dewasa awal dituntut memulai kehidupannya memerankan peran ganda seperti suami/istri, orang tua dan peran dalam dunia kerja (berkarir), dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini.

Levinson (dalam Monks, 1999) kemudian menspesifikkan masa dewasa awal ini dalam tiga periode. Periode pertama, yang berada pada rentang usia 22 hingga 28 tahun, adalah periode pengenalan dengan dunia orang dewasa. Dalam periode ini, orang mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada akhir usia 20 tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting. Pada usia antara 28 hingga 33 tahun, yaitu memasuki periode kedua, pilihan struktur kehidupan ini menjadi lebih tetap dan stabil. Memasuki periode ketiga, dalam fase kemantapan, yang berada pada rentang usia 33 hingga 40 tahun, individu dengan keyakinan yang mantap menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha untuk


(34)

memajukan karir sebaik-baiknya. Pada periode ketiga inilah tercapai puncak masa dewasa.

Menurut Hurlock (2004) ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara lain:

a. Masa Usia Reproduktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat produktif dalam menghasilkan individu baru (anak).

b. Masa Bermasalah

Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia tidak bisa mengatasinya maka akan menimbulkan masalah. Ada 3 faktor yang membuat masa ini begitu rumit yaitu; Pertama, individu tersebut kurang siap dalam menghadapi babak baru bagi dirinya dan tidak bisa menyesuaikan dengan babak/peran baru tersebut. Kedua, karena kurang persiapan maka ia kaget dengan 2 peran/lebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, ia tidak memperoleh bantuan dari orang tua atau siapapun dalam menyelesaikan masalah.


(35)

c. Masa Keterasingan Sosial

Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam berkarir.

d. Masa Komitmen

Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen baru.

e. Masa Perubahan Nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini juga seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika ia sudah menikah.


(36)

f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru

Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja).

II.B.2.Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Hurlock (2004) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal, antara lain:

g. Mulai bekerja

h. Memilih pasangan

i. Mulai membina keluarga

j. Mengasuh anak

k. Mengelola rumah tangga

l. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara

m. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.C. Cacat

II.C.1. Definisi Cacat

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik,


(37)

penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.

Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur

atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah

ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun

handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya

impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal

(dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang

bersangkutan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna) (Alwi, 2005).

ADA atau Americans of Disabilities Act (1990), yaitu sebuah lembaga yang memperhatikan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan cacat tubuh, menjelaskan definisi mengenai cacat tubuh atas tiga hal, yaitu: 1) memiliki kelemahan fis ik ataupun mental yang pada dasarnya membatasi satu atau lebih


(38)

aktivitas kehidupan sehari-hari; 2) memiliki catatan mengenai kelemahan tersebut; atau 3) dipandang memiliki kelemahan. Kelemahan fisik yang dimaksud disini merupakan segala gangguan atau kondisi fisiologis, kerusakan akibat kosmetik, atau kehilangan anggota tubuh yang mempengaruhi satu atau lebih sistem tubuh berikut: neurologis, musculoskeletal, organ panca indera khusus, pernapasan (termasuk alat berbicara), cardiovascular, reproduktif, digestif, genitourinary, hemic dan lymphatic, kulit dan endokrin

II.C.2. Jenis-jenis Cacat

Ada beberapa jenis kecacatan fisik yang dibagi kedalam beberapa kategori, yaitu:

1) tuna netra, dimana indra penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas; 2) tuna rungu, dimana individu kehilangan daya dengarnya sedemikian rupa,

dan ;

3) tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf.


(39)

II.C.3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan

Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz, 2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan merupakan kelainan/cacat yang terjadi pada individu akibat kecelakaan yang dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, tersiram air keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.

II.C.4. Bentuk-bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan

Ada beberapa jenis kecelakaan yang dapat menyebabkan kecacatan pada individu, yaitu: cacat akibat kecelakaan lalu lintas seperti tertera dalam UU Pasal 93 tahun 1992, yaitu suatu keadaan dimana korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak terjadi kecelakaan (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 1992); kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi ketika individu sedang melakukan tugas pekerjaannya dan mengalami kecacatan akibat kecelakaan kerja dan mengakibatkan berkurangnya dan terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/atau membutuhkan perawatan medis. Selain yang tertera diatas,


(40)

ada juga beberapa bentuk kecelakaan lainnya, seperti kecacatan akibat tersiram air keras, kebakaran, dan jatuh.

II.C.5. Hambatan-hambatan

Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan antara lain:

a. Sosialisasi

Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat bagi orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain. Perasaan-perasaan tersebut yang sering kali menjadi penghambat seorang yang cacat untuk bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan yang tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat untuk dapat melakukan mobilitas sosial.

b. Pekerjaan

Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan mereka untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang lain karena kecacatan yang dimilikinya. Padahal orang cacat juga


(41)

perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan pengetahuan yang dimilikinya.

c. Mencari pasangan

Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga beranggapan apabila mereka kelak menikah, mereka hanya akan mempersulit hidup pasangannya kelak. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal yang memalukan.

d. Emosi

Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering berprasangka dan mudah curiga terhadap orang lain.


(42)

II.D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

Individu yang memiliki cacat fisik seringnya mendapat stigma negatif dari orang-orang lain disekitarnya bila dibandingkan dengan orang yang memiliki fisik yang normal karena mereka memiliki banyak hambatan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari, seperti bekerja, mengurus diri sendiri juga lingkungan, dan lain-lain, apalagi ketika mereka mengalami kecacatan setelah kelahiran (bukan cacat bawaan) dan akan semakin memburuk kondisi psikologisnya ketika individu memasuki masa dewasa awal dimana individu dituntut untuk bekerja, memiliki pasangan, menikah dan mempunyai anak, dan masuk dalam suatu kelompok sosial. Tuntutan-tuntutan memasuki tahap perkembangan dewasa awal itu membuat individu mengalami tekanan besar apalagi ketika individu menyadari kondisi fisiknya yang cacat, yang membuat hubungannya dengan orang lain terganggu.

Stigma negatif yang dialami individu tersebut, seperti teralienasi karena tidak normalnya kondisi mereka sering membuat individu merasa rendah diri karena kurang bisa menerima kondisinya sehingga mengalami ketidakpuasan dalam hidupnya, hubungan dengan orang lain pun terganggu, tidak berdaya, cemas, merasa didiskriminasi, dan sebagainya. Kondisi psikologis tersebut membuat individu tidak mampu merealisasikan seluruh potensi diri yang dimilikinya walaupun sebenarnya ia mampu dan itu berdampak pada kehidupannya dan akan membuat ia tidak bahagia. Ketika ia memiliki


(43)

diri, orang lain, lingkungan dan mengenai hidupnya sendiri pada saat itulah individu mencapai kebahagiaan.


(44)

PARADIGMA BERPIKIR Keterangan : Dewasa Awal Kecelakaan Perubahan Kehidupan Kecacatan/Tidak Lengkap fisik Psychological Well-Being? Penerimaan Diri Pertumbuhan Pribadi Hubungan Positif dengan Orang Lain

Otonomi Tujuan Hidup Penguasaan Lingkungan Tujuan hidup Stres

Aktivitas Hubungan dengan

orang lain Perhatian

: berakibat pada : dimensi-dimensi Tugas-tugas Perkembangan Memilih pasangan Mengasuh anak Bekerja

Mengelola rumah tangga Membina keluarga

Mengambil tanggung jawab

b i

Mencari kelompok sosial


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar responden penelitian beserta konteksnya. Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara keseluruhan dari perspektif responden sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah pengalaman subjektif individu mengenai psychological well-being individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah, dimana artinya adalah tidak cukup hanya mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.


(46)

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) kelebihan dari metode kualitatif adalah bahwa dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Kelebihan lainnya adalah bahwa pendekatan kualitatif menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan pendekatan kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan kualitatif, tujuan dari penelitian ini akan tercapai.

III.B. Responden Penelitian

III.B.1. Karakteristik Responden Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka karakteristik responden yang dipilih adalah individu dewasa awal, yaitu individu yang berada pada rentang usia 26-30 tahun (Hurlock, 2004) yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan

III.B.2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif


(47)

diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang karena mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

Dengan karakteristik tersebut, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas diawal penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang berpartisipasi adalah dua orang. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

III.B.3. Prosedur Pengambilan Responden

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan sepuluh teknik pengambilan sampel namun penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory based/operational

construct sampling) dimana sampel dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan

teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya dan sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili (bersifat

representatif) berdasarkan fenomena yang dipelajari.

III.B.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil responden yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya.


(48)

Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan.

III.C. Metode Pengambilan Data

Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) berpendapat bahwa sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007).

Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum dan makin lama makin khusus.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewatkan.


(49)

Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.

Pada saat proses wawancara, juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku partisipan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2007).

Observasi dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal dari partisipan. Dalam penelitian ini akan digunakan observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut (Minauli, 2002).

III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpulan data antara lain :


(50)

III.D.1 Alat Perekam (mp4 player)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan mp4 player, peneliti tidak perlu mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

Penggunaan mp4 player juga memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, mp4 player dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin dari partisipan. Peneliti mengemukakan bahwa sangatlah penting untuk merekam pembicaraan ini supaya peneliti dapat menganalisa data seakurat mungkin yang nantinya menghasilkan penelitian yang baik pula (Poerwandari, 2007).

III.D.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi


(51)

juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berfikir tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

III.E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan :


(52)

1. Memilih calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah individu dewasa asal yang berusia 18-40 tahun yang mengalami kecacatan fisik akibat kecelakaan.

2. Membangun rapport dengan partisipan agar ketika proses wawancara

berlangsung partisipan dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada saat wawancara.

3. Membuat pedoman wawancara berdasarkan dimensi-dimensi psychological

well-being. Kemudian melakukan standarisasi pedoman wawancara dengan

dosen pembimbing. Professional judgement di dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing penelitian ini.

4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk

mendapatkan data yang akurat.

5. Melibatkan dosen pembimbing untuk berdiskusi, memberikan saran dan kritik

mulai dari awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

III.F. Prosedur Penelitian

III.F.1.Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:


(53)

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan gambaran psychological well-being pada seseorang.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori dari dimensi-dimensi yang ada untuk menjadi pedoman wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dari teman-teman peneliti, panti rehabilitasi, rumah sakit, sekolah, dan yayasan pembinaan olahraga cacat. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Peneliti melakukan pendekatan ke sebuah panti rehabilitasi bagi orang cacat di daerah Pematang Siantar untuk memperoleh data mengenai individu yang mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh kecelakaan dan berada pada rentang usia 18-40 tahun. Peneliti sempat berkenalan dan berbincang-bincang dengan seorang pasien, berinisial F, yang berada dipanti rehabilitasi tersebut. Peneliti menyatakan maksud dan tujuan peneliti kemudian F setuju untuk menjadi salah seorang responden peneliti. Namun ketika peneliti meminta waktu F dan menyatakan akan berkunjung serta melakukan wawancara, F menyatakan bahwa F sedang berada di Riau di tempat kedua orangtuanya dan F tidak bisa memastikan kapan akan kembali ke Pematang Siantar lagi.


(54)

Kemudian peneliti mencari informasi dari seorang teman peneliti yang pernah mendapatkan perawatan dipanti rehabilitasi tersebut mengenai teman-temannya yang sesuai dengan kriteria penelitian. Teman peneliti memperkenalkan peneliti dengan H yang tinggal di kota Pematang Siantar. Peneliti mencoba menghubungi H dan meminta kesediaannya menjadi responden penelitian. Namun karena kesibukannya bekerja sebagai salah seorang karyawan di bagian marketing peneliti mengalami kesulitan untuk membuat janji bertemu dengan H dan peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan H sebagai responden penelitian.

Peneliti lalu mendatangi sebuah yayasan pembinaan olahraga bagi orang cacat yang berlokasi di jalan Stadiun Teladan Medan. Di yayasan tersebut peneliti dikenalkan dengan seorang atlet tenis meja berskala nasional, berinisial A, yang mengalami kecacatan pada tangan kirinya. Peneliti mendapat persetujuan dari A untuk menjadi responden penelitian dan peneliti sempat melakukan wawancara pertama dengan A tetapi ketika peneliti meminta kesediannya untuk melakukan wawancara kedua tiba-tiba A tidak memberikan respon. Peneliti kemudian mencari informasi mengenai keberadaan A dari teman-temannya sesama atlet dan peneliti menerima kabar bahwa A sedang berada di pulau Bali selama beberapa minggu untuk mengikuti pertandingan dan teman-temannya juga tidak memiliki informasi kapan A akan kembali ke Medan. Dikarenakan ketidakjelasan kapan A akan kembali ke Medan, demi efisiensi waktu maka peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan A sebagai responden penelitian.


(55)

Yayasan pembinaan olah raga bagi orang cacat tersebut tidak hanya mengenalkan peneliti dengan A tetapi juga memberikan informasi mengenai dua calon responden lagi yang sesuai dengan kriteria penelitian, masing-masing berinisial R dan A. Pada awalnya peneliti bertemu dengan R di yayasan tersebut dan menyatakan maksud dan tujuan peneliti. Namun setelah berbincang-bincang akhirnya peneliti mengetahui bahwa usia R tidak sesuai dengan kriteria penelitian, lebih dari 40 tahun, kemudian peneliti memutuskan tidak menggunakan R sebagai reponden selanjutnya. Keesokan harinya, peneliti bertemu dengan responden A yang sesuai dengan kriteria penelitian kemudian peneliti memutuskan A menjadi responden penelitian.

Setelah beberapa waktu peneliti tidak juga mendapatkan responden, peneliti memutuskan untuk memperluas pencarian responden ke sekolah dan rumah sakit. Akan tetapi peneliti tidak juga menemukan calon responden yang sesuai. Peneliti terus mencari informasi dari teman-teman peneliti dan ada seorang teman peneliti yang mengatakan bahwa ia mengenal seorang tetangganya yang mengalami kecacatan karena kecelakaan. Kemudian peneliti diajak untuk bertemu dengan calon responden, berinisial M. Setelah berbincang-bincang dengan M, peneliti baru mengetahui kalau usia responden tidak sesuai dengan kriteria penelitian, lebih dari 40 tahun. Peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan M sebagai responden penelitian.

Peneliti terus mencari informasi dari teman-teman peneliti dan teman peneliti memberi informasi bahwa teman peneliti tersebut memiliki dua orang kenalan yang cocok dengan kriteria penelitian, masing-masing berinisial Z dan A.


(56)

Peneliti kemudian diajak bertemu dengan calon responden Z, menyatakan maksud dan tujuan peneliti kemudian Z menyetujui untuk menjadi responden penelitian. Beberapa hari kemudian peneliti membuat janji bertemu dengan Z tetapi setiap kali peneliti mengajaknya bertemu untuk wawancara, Z selalu tidak bisa dengan berbagai alasan, sehingga akhirnya peneliti memutuskan untuk tidak menggunakannya sebagai responden penelitian. Setelah itu, peneliti diperkenalkan dengan calon responden selanjutnya, berinisial A. Peneliti menyatakan maksud dan tujuan peneliti dan akhirnya A menyatakan kesediaannya menjadi responden penelitian dan peneliti tetapkan menjadi responden kedua.

Peneliti terus melakukan proses pencarian untuk calon responden ketiga dengan tetap bertanya kepada teman-teman peneliti dan peneliti mendapatkan informasi bahwa ada dua orang calon responden yang juga sesuai dengan kriteria penelitan yang dibuat oleh peneliti. Calon responden pertama mengalami luka bakar pada seluruh wajahnya akibat upaya bunuh diri, sedangkan calon responden kedua memiliki bekas luka pada kaki kirinya karena jatuh dari pohon. Akan tetapi setelah meninjau kembali kondisi kedua responden dengan teori yang peneliti paparkan pada bab II, peneliti memutuskan bahwa kedua calon responden tersebut tidak bisa peneliti gunakan sebagai responden penelitian.

Pada akhirnya peneliti menemui seorang konselor yang pada saat itu sedang memiliki seorang klien yang mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya. Peneliti diajak untuk bertemu langsung dengan calon responden tersebut.


(57)

Setelah berbincang-bincang akhirnya peneliti menemukan bahwa calon responden ternyata mengalami kelumpuhan bukan diakibatkan oleh kecelakaan melainkan oleh sebuah penyakit kelainan darah yang dideritanya. Dalam waktu pencarian yang cukup lama, akhirnya peneliti memutuskan hanya menggunakan 2 (dua) responden penelitian saja karena keterbatasan waktu, dana dan kemampuan yang peneliti miliki.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Waktu yang digunakan peneliti untuk membina rapport adalah selama 10-20 menit di setiap awal pertemuan dan akhir pertemuan. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melaksanakan wawancara penelitian.

Pembangungan rapport dilakukan berkali-kali oleh peneliti. Pembangunan rapport dilakkan dengan berteman dengan kedua responden, sering berbincang-bincang lewat telepon ataupun lewat pesan singkat.

III.F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:


(58)

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti meminta responden untuk menandatangani ”Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawancara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap responden.

Berikut ini adalah jadwal-jadwal dilakukannya wawancara dengan responden penelitian.

Tabel 1. Waktu Wawancara dengan Responden I

No Responden Tanggal

Wawaancara

Waktu Wawancara

Tempat Wawancara

1 Responden I 22 Januari 2011 09.20-09.59 Sekretariat B


(59)

makan di simpang Jl. Willem Iskandar

Tabel 2. Waktu Wawancara dengan Responden II

No Responden Tanggal

Wawancara

Waktu Wawancara

Tempat Wawancara

1 Responden II 03 April 2011 16.50-18.13 Warung makan di

Jl. Iskandar Muda

2 Responden II 17 Mei 2011 16.40-18.10 Warung makan di

Jl. Iskandar Muda

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untk dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya, peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah dikoding menjadi sebuah narasi yang baik dan


(60)

menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam dimensi-dimensi dalam psychological well-being.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai dilakukan, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

III.F.3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan mp4

player. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim

untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

III.F.4. Prosedur Analisa Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu:


(61)

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yagn diperolehnya (Poerwandari, 2007).

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk:

1. Memperoleh data yang baik,

2. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan

3. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada


(62)

tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007), yaitu: pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self

understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk

yang lebih padat (condensed) apa yang oleh responden penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri responden penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian responden penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritiis

(critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh

dari pemahaman diri responden penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman responden, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan oleh responden, baik dengan memfokuskan pada ’isi’ pernyataan maupun pada responden yang membuat pernyataan. Meski demikian, semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana responden penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri responden ataupun penalaran umum.

d. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data, kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan


(63)

kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.


(64)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan analisa hasil wawancara dengan para responden penelitian dalam bentuk narasi. Pada bab ini juga akan dikemukakan deskripsi data responden, data observasi, data wawancara, dan interpretasi data. Dengan demikian akan diperoleh dinamika psikologis responden penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Selanjutnya pada bab ini akan terdapat kutipan dalam setiap bagian analisa yang akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diinterpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah R1. WI/b19-22/hal.3, maksud kode ini adalah kutipan pada responden satu, wawancara pertama, baris 19 sampai 22, verbatim halaman 3.

IV.A. Responden I

Tabel 3. Gambaran Umum Responden II

Identitas Deskripsi Responden

Nama Andra

Usia ± 30 tahun

Pekerjaan Atlet atletik

Jenis kecacatan yang dialami Cacat kaki sebelah kiri

Mengalami kecacatan pada usia… ± 16 tahun (kelas 1 SMA)


(65)

Kondisi fisik pasangan Cacat tangan sebelah kanan

Anak ke Anak ke 3 dari 3

Latar belakang ekonomi keluarga Menengah ke bawah

IV.A.1. Rangkuman Wawancara

Responden pertama dalam penelitian ini, bernama Andra (bukan nama sebenarnya), seorang pria dari suku batak Karo, berusia sekitar 30 tahun, dan beragama Islam. Andra merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dan selama ini hubungannya dengan kedua saudaranya sangat dekat, begitu juga dengan orangtuanya, khususnya dengan ibu. Saat masih duduk di bangku sekolah, kedua orangtua Andra memutuskan untuk berpisah. Andra bersama kedua saudaranya tinggal dengan sang ibu. Situasi dan kondisi tersebut membuat Andra semakin dekat dengan ibu.

Pada usia sekitar 16 tahun, Andra mengalami kecelakaan lalu lintas ketika sepeda motor yang dikendarai bersama temannya menabrak sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti didepan mereka ketika mereka hendak membelokkan kendaraan mereka di sebuah persimpangan jalan di daerah padang bulan.

Kecelakaan ini menyebabkan Andra mengalami patah tulang di bagian kaki kirinya. Ia divonis cacat permanen oleh pihak rumah sakit. Kedua kakinya timpang dan tidak seimbang ketika berjalan. Mengetahui keadaan ini, Andra sangat sedih karena sebelumnya Andra bercita-cita menjadi seorang perwira TNI tetapi setelah kecelakaan terjadi cita-cita itu tidak akan pernah tercapai. Kesedihan yang dialami Andra bertambah besar ketika teman-teman dan kekasihnya memilih


(66)

meninggalkannya. Setelah menjalani pengobatan dan kondisinya tidak bisa kembali seperti sedia kala, Andra merasa putus asa. Pada awalnya ia hanya mengurung diri dirumah dan tidak bergaul dengan teman-teman sebayanya yang lain dan dalam keadaan putus asa Andra pernah melakukan upaya bunuh diri. Upaya bunuh diri ini dilakukan beberapa kali tetapi selalu digagalkan oleh ibu dan kedua saudaranya.

Pada saat ini, Andra terdaftar sebagai salah seorang atlet atletik berskala nasional dalam nomor lempar. Sebagai seorang atlet, Andra pernah menjuarai beberapa kejuaraan mulai dari tingkat daerah, nasional hingga tingkat Asia. Banyaknya prestasi yang telah diraih oleh Andra dalam berbagai kejuaraan membuatnya diangkat menjadi salah seorang pegawai dalam instansi pemerintahan sebagai staf olahraga. Kegiatan Andra sehari-hari sebagai seorang atlet adalah berlatih rutin sebanyak 3 (tiga) kali dalam seminggu. Sedangkan pekerjaannya sehari-hari di kantor adalah mengurus administrasi dan mengikuti rapat yang berkaitan dengan kegiatan olah raga yang akan diselenggarakan, baik tingkat sekolah maupun tingkat daerah.

Pada awalnya Andra tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang atlet apalagi mengikuti kejuaraan dan memenangkannya. Namun semenjak terjadi kecelakaan yang mengakibatkan Andra mengalami cacat fisik permanen, hidup Andra mengalami perubahan, meninggalkan cita-cita semasa sekolah dan memutuskan untuk mengikuti kegiatan yang sesuai dengan kondisi fisiknya yang berbeda dari orang lain yang memiliki fisik lengkap. Melalui seorang dokter, yang fokus mengurusi orang-orang cacat seperti dirinya di sebuah yayasan, yang


(1)

Pedoman Wawancara

Dimensi-dimensi Psychological Well-Being

1. Dimensi Penerimaan Diri :

a.Bagaimana perasaan individu ketika pertama kali divonis cacat?

b.Bagaimana respon keluarga dan teman-temannya mengetahui hal tersebut? c.Bagaimana individu menanggapi respon dari lingkungan tersebut?

d.Bagaimana individu memandang dirinya sendiri. Apa kelebihannya? Apa

kekurangannya?

e.Bagaimana individu menjalani hidupnya?

f. Apa yang selanjutnya dilakukan oleh keluarga dan teman-teman

terhadapnya?

2. Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain :

a.Bagaimana hubungan individu dengan keluarga, teman, sahabat, (dan

pasangan) sebelum dan sesudah terjadi kecelakaan?

b.Bagaimana individu menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya terhadap

orang lain?

c.Bagaimana ia menerima perhatian dari orang lain sebelum dan sesudah

terjadi kecacatan?

d.Apa saja bentuk perhatian yang diterimanya?

e.Kendala-kendala apa saja yang dihadapi ketika berhubungan dengan orang

lain?

3. Dimensi Otonomi :

a.Bagaimana individu mengatur perilakunya sendiri?

b.Bagaimana individu menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan

kemampuannya?


(2)

d.Keputusan-keputusan bagaimana yang ia putuskan sendiri dan keputusan-keputusan seperti apa yang membutuhkan bantuan orang lain?

4. Dimensi Penguasaan Lingkungan :

a.Apa hobi/minat individu sebelumnya? Bagaimana ia melakukannya?

b.Kegiatan-kegiatan yang dahulu dilakukan oleh individu.

c.Adakah perubahan minat/hobi yang terjadi dan bagaimana individu

melakukannya?

d.Bagaimana individu dapat mengatur lingkungannya? Apa kendalanya?

e.Fasilitas apa saja yang mendukung kondisi fisiknya? 5. Dimensi Tujuan Hidup :

a.Apa yang menjadi cita-cita individu sebelumnya dan bagaimana upaya

individu untuk mencapai cita-cita tersebut?

b.Bagaimana dukungan keluarga terhadap cita-citanya?

c.Adakah perbedaan/perubahan cita-cita setelah terjadinya kecelakaan dan

bagaimana upaya yang dilakukan individu untuk mencapai cita-cita tersebut? d.Apa yang menjadi harapan hidup individu?

6. Dimensi Pertumbuhan Pribadi :

a.Keterbukaan responden terhadap pengalaman-pengalaman baru dan

mengembangkan potensi yang dimilikinya.

b.Kegiatan/komunitas apa yang diikuti/dijalani oleh individu untuk


(3)

LAMPIRAN B

LEMBAR PERSETUJUAN

WAWANCARA


(4)

Informed Consent

PERNYATAAN PEMBERIAN IZIN OLEH RESPONDEN

Judul Penelitian : Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal

Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

Peneliti : Imelda L.M. Hutapea

NIM : 061301097

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai psychological well-being pada individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan,


(5)

LAMPIRAN C


(6)

Lembar Observasi

Responden penelitian :

Tanggal/Hari wawancara :

Wawancara ke :

Waktu wawancara :

Hal-hal yang diobservasi :

1. Penampilan fisik responden

2. Setting wawancara

3. Sikap responden pada pewawancara

4. Sikap responden selama wawancara

5. Hal-hal yang mengganggu wawancara