United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Dalam Kaitannya Dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(1)

BAB II

KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KONVENSI UNITED

NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 A.Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003

Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian penting sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan negara tersebut19

Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara

19


(2)

efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif.20

Perubahan fokus internasional terhadap isu korupsi awalnya dipicu oleh beberapa tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara. Tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara seringkali menimbulkan dampak buruk khususnya bagi negara berkembang. Hal ini dikarenakan tindak kejahatan korupsi yang dilakukan pemerintah melebihi kekayaan negara yang telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.21 Diawali dengan terungkapnya beberapa kasus tindakan korupsi oleh Transparency International yang dilakukan oleh Presiden Filipina Ferdinan Marcos pada tahun 1986 yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai seorang presiden dengan melakukan pencurian penerimaan negara dan sebagian diinvestasikan dalam bentuk emas batangan. Terhitung mulai awal Ferdinan Marcos menjabat sebagai Presiden Filipina pada tahun 1965 hingga 1986 Ferdinan Marcos telah mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5 miliar hingga US$10 miliar. Dikarenakan besarnya jumlah kekayaan negara yang dikorupsi oleh Ferdinan Marcos, Guinnes book of record memasukkannya sebagai salah satu pencuri kekayaan negara terbesar sepanjang sejarah.22

Tindak korupsi yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dilakukan oleh Ferdinan Marcos, Mobutu Seseseko yang merupakan Presiden dari Zaire telah

20

Mahrus Ali, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2013, hal. 32-33

21

Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer , Cetakan Pertama, Caps: Yogyakarta, Yogyakarta, 2013.

22Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia


(3)

mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5 miliar. Selain itu ada Presiden Nigeria yakni Sani Abacha yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$2 miliar hingga US$5 miliar, Presiden Yugoslavia Slobodan yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$1 miliar, Presiden Haiti J.C. Duvailer yang melakukan korupsi sebesar US$300 juta hingga US$800 juta, Presiden Peru Alberto Fujimori sebesar US$600 juta, Presiden Ukraina Pavlo Lazarenko yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$114 juta hingga US$ 200 juta, dan Presiden Nikaragua Arnoldo Aleman yang melakukan korupsi kekayaan negaranya sebesar US$100 juta.23

Adapun dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang pertama adalah the ca pture sta te, yang mana korupsi menjadi penghambat dari proses demokrasi dan dapat menjadi penghambat tercapainya good governance karena korupsi dapat melemahkan birokrasi sebuah pemerintahan suatu negara, dampak korupsi berikutnya adalah pada sektor perekonomian. Dalam segi ekonomi negara akan merasakan secara langsung dampak buruk dari korupsi seperti perkembangan laju ekonomi negara menjadi terhambat dalam upaya memulihkan perekonomian negaranya dan jika semua negara memiliki tingkat korupsi yang tinggi maka dapat mengganggu pemulihan perekonomian global pasca krisis.

Selanjutnya dampak dari tindak korupsi yang dilakukan para pejabat publik seperti pemerintah berpengaruh terhadap kesejahteraan warganya. Akibat tindak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik dapat menggagalkan program pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyatnya. Besarnya dana

23


(4)

yang dikeluarkan untuk sebuah program pembangunan pada kenyataannya tidak sesuai dengan wujud dari program tersebut.24 Berdasarkan dari beberapa penjelasan diatas mengenai besarnya dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik diberbagai aspek membuktikan jika korupsi merupakan permasalahan yang sangat menghambat bagi kemajuan negara. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat menghambat proses demokrasi suatu negara, dalam segi ekonomi korupsi dapat membuat negara terjebak dalam krisis, sedangkan dalam segi kesejahteraan warga negara korupsi dapat menyengsarakan rakyat akibat dari gagalnya program pembangunan yang tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana. Dalam kaitannya dengan besarnya dampak negatif korupsi dan permasalahan korupsi, maka dari itu untuk dapat menanggapi permasalahan korupsi pada saat ini yang masuk dalam kategori isu kontemporer dipicu dari tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, pada akhirnya untuk pertama kali isu korupsi di angkat kedalam ranah internasional dengan mendapat perhatian dunia sebagai dari salah satu jenis crime pada tahun 2000.25

Masuknya korupsi kedalam ranah internasional dibuktikan dengan dikeluarkannya resolusi pada tanggal 4 desember 2000 oleh Majelis Umum PBB yang menyatakan perlunya peraturan dalam menanggulangi permasalahan korupsi dalam taraf internasional. Sehingga pada akhirnya berdasarkan usulan tersebut didirikanlah sebuah Panitia Ad Hoc untuk melakukan negosiasi instrumen a gainst

24

http://jurnal-libre.com/pdf, Ibid. 25

Background of United Nation Convention Against Corruption, diakses dari http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/index.html, diakses tanggal 5 Maret 2015


(5)

corruption di Wina markas kantor Organisasi Internasional United Nations Office on Drug a nd Crime (UNODC).26

Naskah Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 telah dinegosiasikan selama tujuh sesi oleh Komite Ad Hoc yang diselenggarakan antara tanggal 21 Januari 2002 dan tanggal 1 Oktober 2003 dan pada akhirnya setelah melewati negosiasi yang cukup panjang konvensi United Na tions Convention Aga inst Corruption (UNCAC) 2003 mulai diberlakukan oleh organisasi internasional UNODC pada tanggal 14 Desember 2005. Konvensi UNCAC 2003 disini sebagai perjanjian internasional yang berfungsi untuk memperkuat hukum nasional masing-masing negara dalam hal pemberantasan korupsi.

Komitmen masyarakat internasional untuk menentang korupsi ditandai dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Melawan Korupsi (konvensi United Nations Convention Againts Corruption/ UNCAC 2003) oleh 140 negara di Merida, Meksiko, pada tanggal 9 sampai dengan tanggal 11 Desember 2003. Sehingga tanggal 9 Desember ditetapkan sebagai hari Anti Korupsi Sedunia. Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Setelah diratifikasi sekurangnya oleh 30 negara, ia berlaku efektif 14 Desember 2005. Jumlah negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 sampai saat ini adalah 129 negara.27

26Background of United Nation ConventioncAgainst Corruption , Ibid.

27

Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/23/taj01.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015


(6)

Memasuki abad 21 ini, salah satu visi masyarakat internasional adalah semakin kuatnya kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi untuk memberantas korupsi dalam Konvensi UNCAC 2003 yang diadakan oleh PBB. Konvensi UNCAC 2003 ini digelar karena korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di suatu negara dan memberikan implikasi pula terhadap masyarakat internasional. Selain itu, korupsi berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta dapat memperlemah nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan, dan kepastian hukum.

Melemahnya nilai-nilai ini, akan dapat membahayakan kelangsungan dan keberlanjutan pembangunan (jeopardizing sustainable development). Dalam praktiknya, korupsi dapat menjadi mata rantai kejahatan yang terorganisasi (crime orga nized), pencucian uang (money laundering), dan kejahatan ekonomi (economic crime) lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan besar yang muncul sebagai akibat dari korupsi ini dapat merusak prinsip-prinsip persaingan sehat (fair competition) dan menyuburkan persaingan tidak sehat (unfair competition) di dunia bisnis.28

Sebelum konvensi UNCAC 2003 terbentuk, ada beberapa Konvensi Anti Korupsi tingkat internasional29 yaitu:

28

Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/15/0801.htm, diakses pada tanggal 23 Maret 2015

29

Diakses dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Convention_against_Transnational_Organized_Crime,diakses tanggal 23 Maret 2015


(7)

1. 1977: The United States Congress oleh Perusahaan-perusahaan yang ada di Amerika Serikat. Kongres ini mengangkat masalah praktek korupsi berupa kriminalisasi suap oleh pejabat asing.

2. 1980: Cold War security mempromosikan konvensi anti korupsi tingkat internasional.

3. 1996: The Inter-American Convention against Corruption yang merupakan Konvensi Anti Korupsi tingkat regional pertama kali.

4. 1997: The OECD Convention dalam memberantas Suap oleh pejabat asing (Bribery of Foreign Public Officials).

5. 1998-1999: The Council of Europe yang menghasilkan 2 kesepakatan anti korupsi yaitu : Hukum Kriminal (Criminal La w); Konvensi Hukum Sipil (Civil La w Convention)

6. 2000: The UN Convention dalam memberantas Transnational Organized Crime

7. 2003: The African Union Convention yang membahas masalah

pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Konvensi UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) 2003 adalah konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan komprehensif dalam menyelesaikan masalah korupsi. Konvensi UNCAC 2003 terdiri dari delapan bab dengan 71 pasal yang mengharuskan negara-negara peratifikasi mengimplementasikan isi dari konvensi tersebut. Adapun tujuan umum dari Konvensi UNCAC 2003 adalah30:

30


(8)

a. Memajukan dan mengambil langkah-langkah tegas dalam pencegahan (strenghthen measures to prevent and combat corruption more efficiently a nd effectively).

b. Memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan teknik dalam mencegah dan memerangi perbuatan korupsi, termasuk pengembalian aset (to promote, facilitate and support interna tiona l coopera tion a nd technica l a ssista nce in the prevention of a nd fight a ga inst corruption, including in a sset recovery).

c. Memajukan integritas, pertanggungjawaban, dan hubungan manajemen publik yang sesuai dengan kepemilikan umum (to promote integrity, a ccounta bility a nd proper ma nagement of public a ffa irs a nd public property).

Lingkup Konvensi UNCAC 2003, pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 (delapan) bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai berikut31:

a. BAB I : Ketentuan umum, memuat pernyataan tujuan; penggunaan istilah-istilah; ruang lingkup pemberlakuan; dan perlindungan kedaulatan.

b. BAB II : Tindakan-tindakan pencegahan, memuat kebijakan dan praktek pencegahan korupsi; badan atau badan-badan pencegahan korupsi; sektor publik; aturan perilaku bagi pejabat publik; pengadaan umum dan pengelolaan keuangan publik; pelaporan publik; tindakan-tindakan yang

31

Diakses dari http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 23 Maret 2015


(9)

berhubungan dengan jasa-jasa peradilan dan penuntutan; sektor swasta; partisipasi masyarakat; dan tindakan-tindakan untuk mencegah pencucian uang.

c. BAB III : Kriminalitas dan penegakan hukum, memuat penyuapan pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat organisasi-organisasi internasional publik; penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi; memperkaya diri secara tidak sah; penyuapan di sektor swasta; penggelapan kekayaan di sektor swasta; pencucian hasil-hasil kejahatan; penyembunyian; penghalangan jalannya proses pengadilan; tanggung jawab badan-badan hukum; keikutsertaan dan percobaan; pengetahuan, maksud dan tujuan sebagai unsur kejahatan; aturan pembatasan; penuntutan dan pengadilan, dan saksi-saksi; pembekuan, penyitaan dan perampasan; perlindungan para saksi, ahli dan korban; perlindungan bagi

orang-orang yang melaporkan; akibat-akibat tindakan korupsi;

kompensasi atas kerugian; badan-badan berwenang khusus; kerja sama dengan badan-badan penegak hukum; kerjasama antar badan-badan berwenang nasional; kerjasama antara badan-badan berwenang nasional dan sektor swasta; kerahasian bank; catatan kejahatan; dan yurisdiksi. d. BAB IV : Kerjasama internasional. memuat ekstradisi; transfer


(10)

kerjasama penegakan hukum; penyidikan bersama; dan teknik-teknik penyidikan khusus.

e. BAB V : Pengembalian aset, memuat pencegahan dan deteksi transfer hasil-hasil kejahatan; tindakan-tindakan untuk pengembalian langsung atas kekayaan; mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui kerjasama internasional dalam perampasan; kerjasama internasional untuk tujuan perampasan; kerjasama khusus; pengembalian dan penyerahan aset; unit intelejen keuangan; dan perjanjian-perjanjian dan pengaturan-pengaturan bilateral dan multilateral.

f. BAB VI : Bantuan teknis dan pertukaran informasi, memuat pelatihan dan bantuan teknis; pengumpulan, pertukaran, dan analisis informasi tentang korupsi; dan tindakan-tindakan lain; pelaksanaan konvensi melalui pembangunan ekonomi dan bantuan teknis.

g. BAB VII : Mekanisme-mekanisme pelaksanaan, memuat konferensi negara-negara pihak pada konvensi; dan sekretariat. dan pemberantasan korupsi secara efektif dan efisien.

h. BAB VIII : Ketentuan-ketentuan akhir, memuat pelaksanaan konvensi; penyelesaian sengketa; penandatanganan, pengesahan, penerimaan, persetujuan, dan aksesi; pemberlakuan; amandemen; penarikan diri; penyimpanan dan bahasa-bahasa.

Konvensi UNCAC 2003 adalah Konvensi Anti Korupsi yang berlaku secara global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif. Konvensi UNCAC 2003 menetapkan secara eksplisit bahwa


(11)

korupsi merupakan kejahatan transnasional dan membawa implikasi yang sangat luas. Korupsi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi, menghambat pembangunan berkelanjutan, melanggar hak asasi manusia, menggoyahkan keamanan suatu negara, dan meminimalisasi kesejahteraan bangsa-bangsa. Konvensi UNCAC 2003 menyiapkan 3 (tiga) strategi yang memiliki saling ketergantungan satu sama lain. Ketiga strategi tersebut adalah kriminalisasi (criminalisation), pengembalian hasil aset korupsi (asset recovery), dan kerjasama internasional (international coopera tion).32 Penandatanganan konvensi tersebut memberikan peluang untuk pengembalian aset-aset para koruptor yang dibawa lari ke luar negeri. Selain itu, negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini akan terikat untuk mempidanakan praktek-praktek korupsi, termasuk bermitra dalam pemberian bantuan teknis dan keuangan dalam pengembalian aset yang dikorup. Pelaksanaan dari konvensi UNCAC 2003 bisa dilihat dari berhasilnya Filipina, setelah 18 tahun, berhasil menarik uang Presiden Ferdinand Marcos US$ 624 juta (sekitar Rp 5,6 triliun) dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang lebih dari US$ 180 juta (sekitar Rp 1,62 triliun) yang dicuri bekas Kepala Intelijen Polisi Vladimiro Montesinos yang disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US$ 505 juta (sekitar Rp 4,5 triliun) di Swiss dari Presiden Jenderal Sani Abacha.33 Keberhasilan dari negara-negara tersebut tidak lepas dari kerjasama internasional antar negara korban dengan negara pihak peratifikasi yang lain dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Seperti halnya negara berkembang lainnya,

32

http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, Ibid, 33

Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015


(12)

Indonesia juga merupakan negara dengan masalah korupsi yang sangat kompleks. Korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu fenomena yang sangat mencemaskan karena telah semakin meluas. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor

penghambat utama pelaksanaan pembangunan Indonesia dan sangat

membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di dunia.34

Dalam rangka menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi para pembuat kebijakan telah membentuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai bentuk semangat reformasi hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi.35 Untuk menindak lanjuti semangat reformasi hukum ini lahirlah Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian,

34

Diakses dari, http://www.transparency.org/survey/#cpi, Diakses tanggal 21 Maret 2015 35

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.


(13)

kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya penanganan kasus-kasus korupsi secara lebih efektif.36

B.Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional

Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara

menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan,

menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara -negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.

Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa

36Ibid


(14)

ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.

Di samping itu walaupun bermacam-macam nama yang diberikan untuk perjanjian mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang sangat sederhana, semuanya sama-sama mempunyai kekuatan hukum dan mengikat pihak-pihak yang terkait. Menurut Myers: ada 39 macam istilah yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional.37 Selanjutnya sesuai hukum internasional, setiap negara mempunyai hak untuk membuat perjanjian internasional. Pada dasarnya bagi negara yang berbentuk federal, negara-negara bagian tidak mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian internasional karena wewenang tersebut terletak pada pemerintah federal. Namun kadang-kadang berdasarkan konstitusi, negara bagian untuk hal-hal tertentu dapat membuat perjanjian internasional.

Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan tanggal 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan tanggal 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention On the La w of Trea ties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum

37

Myers, The Names and Scoope of Treaties, 51 American Journal of International Law , 1957, hal. 574,575


(15)

internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut.

(1)Defenisi dan Ruang Lingkup

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:

a) perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum maupun khusus;

b) kebiasaan internasional (international custom);

c) prinsip-prinsip hukum umum (general principles of la w) yang diakui oleh negara-negara beradab;

d) keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional.

Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty) didefinisikan sebagai:

Sua tu persetujua n yang dibua t a nta r nega ra da la m bentuk tertulis, dan dia tur oleh hukum interna siona l, a pa kah da la m instrumen tungga l a ta u dua a ta u lebih instrumen ya ng berka ita n da n apa pun na ma ya ng diberikan pa danya

.

Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:

Per ja njia n interna siona l ada la h perja njia n da la m bentuk da n sebutan a pa pun, yang dia tur oleh hukum interna siona l da n dibua t seca ra tertulis oleh Pemerinta h Republik Indonesia denga n sa tu a tau lebih nega ra , orga nisasi interna siona l a ta u subjek hukum interna siona l la innya , serta


(16)

menimbulka n ha k da n kewa jiba n pa da Pemerinta h Republik Indonesia ya ng bersifa t hukum publik.

Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.

Sehubungan dengan itu terdapat dua unsur pokok yang terdapat dalam defenisi perjanjian internasional tersebut:

(a)Adanya subjek hukum internasional

Negara adalah subjek hukum internasional, par exellence, yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina .

Kesulitan mungkin timbul bila menyangkut negara-negara federal, organisasi-organisasi internasional atau gerakan-gerakan pembebasan nasional.

Komisi Hukum Internasional memang mengajukan rancangan mengenai kemungkinan negara-negara bagian dari suatu negara federal membuat perjanjian dengan negara-negara lain bila konstitusi federal mengijinkannya dan dalam batas-batas yang ditentukan. Tetapi usul tersebut ditolak oleh Konferensi yang menggarisbawahi bahwa permasalahannya lebih banyak bersifat intern suatu negara dan Konferensi kelihatannya tidak mau melibatkan diri pada masalah yang cukup peka.

Dalam prakteknya ada konstitusi yang melarang dan ada yang membiarkannya. Amerika Serikat, Meksiko, dan Venezuela misalnya melarang negara-negara bagian membuat perjanjian dengan negara-negara lain. Kanada


(17)

yang semula mempunyai sikap yang sama berangsur-angsur melunakkan posisinya dan memberikan kemungkinan kepada Propinsi Quebec yang berbahasa Perancis untuk membuat perjanjian kerjasama kebudayaan negara-negara fra ncophone.38

Disamping itu Konstitusi Uni Soviet 7 Oktober 1977 (Pasal 70), Konstitusi Jerman 28 Mei 1949 dan Konstitusi Swiss 29 Mei 1974 juga memberikan wewenang tertentu kepada negara-negara bagian untuk membuat persetujuan dengan negara-negara lain

Sekarang organisasi-organisasi internasional juga sudah diberikan wewenang untuk membuat perjanjian internasional. Sebagai contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis, 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, antara PBB dengan Pemeritah Amerika Serikat, 26 Juni 1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. Bahkan juga antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya yaitu Konvensi yang ditandatangani tanggal 19 April dan 19 Juli 1946 di Jenewa antara LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dan PBB mengenai penyerahan inventaris dan gedung dari Organisasi yang pertama kepada PBB.

Pembatasan bagi organisasi internasional untuk mebuat perjanjian jelas terdapat dalam Pasal 6 Konvensi mengenai perjanjian-perjanjian yang dibuat antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi-organisasi internasional yang berbunyi : kapasitas suatu organisasi internasional untuk

38


(18)

membua t perja njia n-perja njia n dia tur oleh ketentua n-ketentua n yang releva n da n orga nisasi tersebut.

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu. Ada beberapa bentuk perjanjian internasional salah satunya yaitu konvensi. Istilah konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat lembaga internasional.39 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional.40 Langkah-langkah yang biasa ditempuh dalam membuat perjanjian internasional adalah sebagai berikut :

a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas nama negara

Dalam tahap ini ditunjuk suatu perwakilan untuk melakukan negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat.

b. Negosiasi dan adopsi

Dalam tahap ini para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan pemerintah masing-masing.

c. Otentikasi dan penandatanganan

39

sistem, ada tujuan yang pasti yang telah dicanangkan oleh para pengambil keputusan, bahwa dalam keputusan yang dibuat setelah mempertimbangkan semua alternatif kemudian memilih alternatif yang paling efektif dan efisisen untuk mencapai tujuan tersebut. Graham T. Allison (et.al), dalam Marry G. Kweit& Robert W. Kweit, Metode dan Konsep Analisa Politik, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hal 188. Bentuk Perjanjian Internasional yaitu: Treaty, Konvensi, Protokol, Persetujuan, Arrangement, Proses Verbal, Statuta, Deklarasi, Modus Vivendi, Pertukaran Nota atau Surat, Ketentuan Penutup (Final Act), Ketentuan Umum, T. May RudY, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama, 2001, hal123-126

40

Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 75-79


(19)

Apabila rancangan final perjanjian internasioanl telah disetujui, berarti

instrumen ini telah siap untuk ditandatangani. Sebelum dilakukan

penandatanganan, rancangan teks tersebut dapat diumumkan. Tahap

penandatanganan biasanya merupakan hal yang paling formal. d. Ratifikasi

Ratifikasi adalah merupakan persetujuan Kepala Negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang ditunjuk dengan sebagaimana mestinya.

e. Aksesi dan addesi

Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyatakan keterikatan negara pada perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional.

f. Mulai berlakunya perjajanjian internasional

Menurut ketentuan pasal 24 ayat 1 Konvensi Wina 1969 berlakunya suatu perjanjian tergantung pada ketentuan perjanjian internasional itu sendiri atau apa yang telah disetujui oleh negara peserta.

g. Registrasi dan publikasi

Pasal 102 Piagam PBB 1945, menentukan bahwa semua perjanjian internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh anggota PBB harus sesegera mungkin dicatatkan pada Sekretariat PBB dan kemudian akan diumumkan oleh Sekretariat.


(20)

Langkah final proses pembuatan perjanjian internasional adalah penyatuan ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional negara pihak. Kemudian diikuti tindakan aplikasi, tindakan administrasi yang diperlukan dab supervisi oleh organ-organ internasional.

Dalam pelaksanaannya negara-negara peserta ratifikasi akan dihadapkan pada sejumlah persiapan berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum nasional yang akan menjadi suatu kendala dalam implementasinya. Persiapan tersebut berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum nasional negara yang bersangkutan. Dengan demikian perlu adanya suatu proses harmonisasi hukum.41

41

Harmonisasi adalah suatu proses standarisasi internasional untuk menyamakan standar hukumnasional yang berlaku di negara yang bersangkutan dengan standar internasional sebagai akibat dari ratifikai yang menuntut adanya pemberlakuan (Entry into Force), ibid, hal 130


(21)

Gambar 1

Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Dibawah Wibawa PBB.42

Sumber : Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 82

42


(22)

(2)Tahap-tahap Pembuatan Konvensi UNCAC 2003

Proses pembuatan konvensi UNCAC 2003 (United Nations Convention Aga ints Corruption) dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: Perundingan (Negotiation), Penandatanganan (Signature), dan Ratifikasi (Ratification). Pelaksanaan dari tahapan-tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga akhirnya sampai pada penyelesaian akhir dari konvensi tersebut

1 Perundingan (Negotiation)

Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang korupsi (konvensi UNCAC 2003) diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55, melalui Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000, memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum nternasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa -Bangsa membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan dra ft Konvensi43. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

43

Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06..htm, diakses tanggal 23 Maret 2015


(23)

2 Penandatanganan (Signature)

Konvensi United Na tions Convention Aga ints Corruption (UNCAC) 2003 diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 di Markas Besar PBB di New York Amerika Serikat. Proses penandatanganan konvensi tersebut diadakan pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida Meksiko. Jumlah negara yang telah membubuhkan tanda tangan adalah 111 negara. Kemudian proses penandatanganan dilanjutkan sampai tanggal 19 September 2005 di Markas Besar PBB dan pada saat itu telah ada 140 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Proses penandatanganan ini sesuai dengan Pasal 67 Ayat 1 konvensi UNCAC 2003.44

3 Ratifikasi (Ratification)

Kekuatan mengikat konvensi United Nations Convention Againts Corruption 2003 baru terjadi pada tanggal 15 September 2005 setelah 30 negara yang telah membubuhkan tanda tangan meratifikasi isi dari konvensi tersebut. Sampai dengan tahun 2007 ada 129 negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Adapun daftar negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi adalah sebagaimana terlampir.45

Konvensi UNCAC 2003 adalah konvensi untuk menentang korupsi yang berhasil ditandatangani pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003. Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Main point dari isi konvensi tersebut adalah

44

This Convention shall be open to all States for signature from 9 to 11 December 2003 in Merida, Mexico, and thereafter at United Nations Headquarters in New York until 9 December 2005. Diakses dari.http://www.unodc.org/unodc/crime_convention_corruption.html, diakses tanggal 24 Maret 2015

45Ibid ,


(24)

Kriminalisasi, Asset Recovery, Kerjasama Internasional. Dimana isi dari konvensi UNCAC 2003 bisa saling mendukung satu sama lain. Indonesia ikut menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2006 pada tanggal 18 April 2006 sebagai tindak lanjut dari kesepahaman konvensi UNCAC 2003, bagi terciptanya negara yang bebas dari korupsi. Dengan meratifikasi konvensi UNCAC Indonesia mempunyai sejumlah kewajiban untuk melakuakan standarisasi internasional agar konvensi UNCAC 2003 bisa mempunyai kekuatan pemberlakuan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi Indonesia yang sudah melintas batas negara (cross border).

Konvensi UNCAC 2003 merupakan sumber hukum internasional yang merupakan hasil perjanjian yang dinaungi oleh organisasi internasional dibidang kejahatan internasional dan obat-obatan terlarang yaitu United Nations Office On Drug a nd Crime (UNODC) yang menjadi subyek hukum internasional dan menjadi anggota dari masyarakat internasional.46

Konvensi UNCAC 2003 sebagai sumber hukum internasional UNODC di gunakan sebagai perjanjian internasional yang menjadi sebuah landasan dari upaya-upaya negara dalam melakukan pemberantasan korupsi ditingkat domestik maupun global. Perjanjian Internasional UNCAC 2003 ini lebih menyoroti kepada permasalahan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik suatu negara maupun pejabat asing yang melakukan korupsi di negara lain. Konvensi UNCAC 2003

46

Mochtar Kusumaatmadja,dkk. Pengantar Hukum Internasional.Cetakan Pertama, PT Alumni, Bandung, 2010


(25)

melihat bahwa korupsi merupakan sebuah wabah yang sangat berbahaya bagi negara dan masyarakat khususnya didalam negara yang bersistem demokrasi karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat memberikan efek buruk yang sangat besar bagi beberapa aspek seperti pelanggaran hak asasi manusia, mengacaukan program-program pembangunan dengan mengalihkan dana-dana yang bertujuan untuk pembangunan, korupsi juga dapat melemahkan pemerintahan sehingga menyebabkan kesenjangan, mengurangi bantuan luar negeri dan berpengaruh kepada beberapa aspek lainnya.47

C.Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

Adapun kewajiban negara dalam meratifikasi konvensi UNCAC 2003 adalah tidak hanya terbatas pada negara yang menjadi anggota dari organisasi UNODC yang mana UNODC sebagai organisasi dibawah PBB yang menaungi Konvensi UNCAC 2003. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 selanjutnya wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah tertera didalam pasal-pasal yang termuat dalam Konvensi UNCAC 2003. Ketentuan tersebut secara jelas telah di cantumkan dalam Bab I mengenai ketentuan-ketentuan. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 dan juga merupakan anggota dari organisasi UNODC. Namun sebelum diratifikasinya konvensi UNCAC 2003, berdasarkan laporan anti corruption clearing house (ACCH) sebenarnya terdapat 25 pasal didalam konvensi UNCAC 2003 yang

47


(26)

sebelumnya telah ada didalam beberapa kebijakan Indonesia.48 Sedangkan jika di bedah lagi secara garis besar beberapa pasal konvensi UNCAC 2003 yang menjadi landasan perubahan kebijakan Indonesia terkait korupsi tahun 2009-2013 pasca konvensi UNCAC 2003 adalah bab II dan bab III. Indonesia sebagai aktor yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 memiliki hak yang mana juga hak tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal didalam konvensi UNCAC 2003. Indonesia menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) konvensi UNCAC 2003 yang mengatur mengenai upaya penyelesaian sengketa, seandainya jika diperlukan, mengenai penjelasan dan pelaksanaan konvensi UNCAC 2003 melalui Mahkamah Internasional.

Keputusan ini diambil sebagai sebuah pertimbangan bahwa Indonesia tidak mau mengakui jurisdiksi yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia telah sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku.49

Persyartan yang diajukan oleh Indonesia ini merupakan hak bagi setiap negara berdaulat dalam perjanjian internasional. Selain telah menggunakan hak nya adapun kewajiban Indonesia untuk menerapkan konvensi UNCAC 2003 kedalam ranah domestik. Hal ini disebutkan dalam Legislative guide for the implementa tion of the United Na tions Convention aga inst Corruption Second revised edition 2012 pada bab Structure of the United Nations Convention against Corruption yang menjelaskan mengenai tujuan dari terbentuknya konvensi

48

ACCH. Bab I: Pendahuluan, diakses dari

http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/GAP+Analysis+Indonesia+terhadap+UNCAC.pdf, pada tanggal 6 Marer 2015

49

Berdasarkan dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Ratifikasi


(27)

UNCAC 2003, kewajiban negara peserta, dan prinsip perlindungan kedaulatan yang sangat di utamakan dalam konvensi UNCAC 2003. Untuk mengadopsi perjanjian internasional kedalam regulasi suatu negara maka Indonesia sebagai negara berdaulat tentunya memiliki mekanisme yang berbeda.

Dalam prosesnya untuk dapat menerapkan pasal-pasal konvensi UNCAC 2003 kedalam regulasi domestik maka Indonesia harus membuat undang-undang yang menyatakan telah diratifikasinya konvensi UNCAC 2003 di Indonesia dengan alasan yang jelas. Sebagai mana yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Dalam prosesnya, adopsi konvensi UNCAC 2003 kedalam regulasi korupsi Indonesia ini di awali dengan ditandatanganinya naskah perjanjian internasional UNCAC pada tanggal 18 Desember 2003 yang kemudian diratifikasi pada tanggal 19 September 2006.50 Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dalam mekanisme hukum internasional menjadi hukum nasional terdapat dua macam cara yaitu dengan undang-undang atau dengan keputusan Presiden.51

Adapun Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang jika perjanjian internasional mengenai52 :

a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;

50

Ibid. 51

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional

52 Ibid.


(28)

d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) Pembentukan kaidah hukum baru;

f) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Perjanjian internasional yang tidak di sahkan melalui undang-undang merupakan perjanjian yang tidak berkaitan dengan ke enam permasalahan tersebut. Proses adopsi dari konvensi UNCAC 2003 ini mulai di laksanakan pada tanggal 20 Maret 2006 oleh parlemen Republik Indonesia melalui sidang pleno mengesahkan Undang-Undang. Nomor 7 tahun 2006 mengenai pengesahan ratifikasi konvensi UNCAC 2003 yang dilaksanakan pada rapat paripurna DPR RI.53 Hal ini menunjukkan bahwa dalam mekanismenya konvensi UNCAC 2003 di sahkan melalui undang-undang yang harus disetujui DPR RI.

Urusan mengenai korupsi ini di serahkan pada komisi III DPR RI yang menangani masalah54 :

a. Hukum,

b. Ham, dan c. Keamanan.

Secara lebih spesifik lagi dalam mekanisme pengadopsian hukum internasional ke dalam hukum nasional di Indonesia terdapat beberapa rapat paripurna yang harus dilakukan sampai pada akhirnya ratifikasi konvensi UNCAC 2003 di sahkan oleh Indonesia. Adapun tahapan tersebut antara lain diawali

53

Support to fight against corruption. 2013.Kerangka Acuan Seminar Sehari Sensitisasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) , STRANAS PPK dan INPRES No. 1 Tahun 2013 di

Indonesia, diakses dari

http://www.ti.or.id/media/documents/2013/11/06/t/o/tor_sensitisasi_uncac_jakarta.pdf, diakses tanggal 8 Maret 2015.

54

Komisi III, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-III, diakses tanggal 8 Maret 2015


(29)

dengan di usulkan rancangnya undang-undang yang berisi mengenai penjelasan/keterangan maupun naskah akademis yang berasal dari Presiden dan kemudian disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR RI melalui surat pengantar Presiden yang selanjutnya di sampaikan dalam bentuk tertulis kepada pimpinan DPR RI dengan surat pengantar Presiden serta Menteri yang mewakili presiden dalam mengkaji Rancangan Undang-Undang (RUU). Dalam rapat paripurna selanjutnya yang mana RUU diterima oleh pimpinan DPR RI ditindak lanjuti dengan mempublikasikan kepada seluruh anggota. Publikasi RUU dilakukan oleh instansi yang membuat, dan ditindaklanjuti dengan RUU dibahas dalam tingkat dua pembicaraan DPR RI oleh Menteri yang mewakili Presiden.55

Kemudian hasil dari adopsi regulasi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003 yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 di tugaskan kepada lembaga milik negara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang memiliki peran penting dalam penerapan konvensi UNCAC 2003. Hal tersebut dikarenakan KPK merupakan salah satu lembaga yang berhubungan langsung dengan pemberantasan korupsi. Pemilihan Indonesia memberikan tugas dan tanggung jawab kepada KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yaitu KPK sebagai state auxiliary body yaitu lembaga khusus menangani korupsi. Selain itu latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai salah satu dari solusi untuk dapat menangani dan meningkatkan pemberantasan korupsi yang selama ini masih menjadi permasalahan krusial bagi Indonesia.56

55

Pembuatan Undang-Undang, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/tentangdpr/pembuatan-undang-undang, diakses pada tanggal 20 Maret 2015

56


(30)

Namun, dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana korupsi, KPK tetap melakukan kerjasama dengan institusi dalam negeri.

KPK Sebagai lembaga khusus berperan penting sebagai bagian dari keberhasilan adopsi regulasi korupsi ini khususnya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik, maka dari itu KPK memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk melaksanakan pelaksanaan konvensi UNCAC 2003 di Indonesia.57 Didalam sistem operasi konsep hukum internasional, court/institution merupakan prosedur terakhir yang dapat menjelaskan mengenai adopsi regulasi konvensi UNCAC 2003 yang dipengaruhi dari faktor-faktor domestik. Dalam komponen ini menjelaskan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara peserta konvensi UNCAC 2003 dalam menyelesaikan tindak kejahatan korupsi pada tingkat internasional sebagai bentuk penerapan konvensi UNCAC 2003. Upaya-upaya tersebut berdasarkan konsep hukum internasional Charllote Ku dan Paul F.Dheil dapat berbentuk forum dan aturan berfungsi untuk mengontrol yang nantinya akan diadili oleh lembaga pengadilan internasional yang dibentuk secara permanen. Konvensi UNCAC 2003 hingga saat ini hanya menggunakan

Interna tiona l Court Of Justice atau Mahkamah Internasional dalam

menyelesaikan sengketa dua atau lebih negara peserta mengenai penerapan konvensi yang tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan yang telah ditentukan. Hal tersebut diatur dalam pasal 66 ayat dua mengenai penyelesaian sengketa.58

57

ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid


(31)

Namun dalam hal ini Indonesia tidak menginginkan adanya intervensi dari Interna tiona l Court Justice (ICJ) terhadap permasalahan korupsi jika suatu saat terjadi. Ketidak-inginan Indonesia merupakan hak bagi negara yang mana negara dapat membatasi dampak dari ICJ dengan membuat persyaratan.59

D.Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

1) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur dalam Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin dalam pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang yang telah di ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya menyatakan bahwa:

“ Concerned about the seriousness of problems a nd threa ts posed by corruption to the sta bility a nd security of societies, undermining the institutions a nd va lues of democracy, ethica l va lues a nd justice a nd jeopa rdizing susta ina ble development a nd the rule of la w;”

("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")

Perbuatan-perbuatan yang dilarang atau dikriminalisasi dalam substansi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 secara

59

Sam Blay.2003.Public International Law: An Australian Perspective Second Edition. Oxford


(32)

garis besar terdiri dari empat hal yaitu; (a) tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials); (b) tindak pidana korupsi terhadap memperdagangkan pengaruh (trading in ifluence); (c) tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment); dan (d) tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta (bribery in the priva te sector).

Perta ma, tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials) diatur dalam ketentuan Pasal 15 yang berbunyi:

Ea ch sta te pa rty sha ll a dopt such legisla tive a nd other mea sures a s ma y be necessa ry to esta blish a s crimina l offences, when committed intentiona lly: (a ) the promise, offering or giving, to a public officia l, directly or indirectly, of a n undue a dva ntage, for the officia l himself or herself or a nother person or entity, in order tha t the officia l act or refra in from a cting in the exercise of his or her officia l duties; (b) the solicita tion or a ccepta nce by a public officia l, directly or indirectly, of a n undue a dva nta ge, for the officia l himself or herself or a nother person or entity, in order tha t the officia l a ct or refra in from acting in the exercise of his or her officia l duties.

Jadi, yang dikriminalisasi adalah dengan sengaja melakukan tindakan berupa janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat publik itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak melaksanakan tugas resminya; dan permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak melaksanakan tugas resminya. Terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik


(33)

diatur dalam ketentuan Pasal 16. Sedangkan mengenai penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasal 17 konvensi UNCAC 2003.

Kedua, tindak pidana korupsi berupa memperdagangkan pengaruh (trading in influence). Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 18, yang pada pokoknya melarang perbuatan yang dilakukan dengan sengaja berupa; (a) janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga publik Negara Pihak untuk kepentingan penghasut asli perbuatan itu atau untuk orang lain; dan (b) permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, untuk dirinya atau orang lain agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semsetinya dari lembaga pemerintag atau lembaga publik Negara Pihak.

Termasuk dalam kategori memperdagangkan pengaruh adalah

penyalahgunaan fungsi. Pasal 19 konvensi UNCAC 2003 mengatakan bahwa, dikatakan sebagai penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam arti, melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat publik dalam pelaksanaan tugasnya, dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain atau badan lain (the abuse of


(34)

functions or position, tha t is, the performa nce of or fa ilure to perform a n a ct, in viola tion of la ws, by a public officia l in the discha rge of his or her functions, for the purpose of obta ining a n undue a dva ntage for himself for herself or for a nother person or entity).

Ketiga, tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment). Ketentuan Pasal 20 konvensi UNCAC 2003 menyatakan, bahwa:

Subject to its contitution a nd the funda menta l principlesof its lega l system, ea ch Sta te Pa rty sha ll consider a dopting such legisla tive and other mea sures a s ma y be necessa ry to establish a s a crimina l offence, when committed intentiona lly, illicit enrichment, tha t is, a significa nt increa se in the a ssets of a public officia l tha t he or she ca nnot rea sona bly expla in in rela tion to his or her la wful income.

Perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan pejabat publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan dengan penghasilannya yang sah yang dilakukan dengan sengaja merupakan perbuatan yang dilarang.

Keempa t, tindak pidana penyuapan di sektor swasta (bribery in the priva te sector). Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam substansi Pasal 21 dan Pasal 22 konvensi UNCAC 2003 yang berisi larangan penyuapan di sektor swasta dan larangan penggelapan kekayaan di sektor swasta. Pasal 21 menyatakan, bahwa Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan: (a) janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak langsung, manfaat-manfaat yang tidak semestinya kepada orang yang memimpin


(35)

atau bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya, bertindak atau tidak bertindak, dan (b) permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semsetinya oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, dibadan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya bertindak atau tidak bertindak.

Pasal 22 menyatakan, bahwa:

Ea ch Sta te Pa rty sha ll consider a dopting such legisla tive and other mea sures as ma y be necessa ry to esta blish a s a crimina l offence, when committed intentiona lly in the course of economic, fina ncia l or commercia l a ctivities, embezzlement by a person who directs or works, in a ny capa city, in a priva te sector entity of a n property, priva te funds or securities or a ny other thing of va lue entrusted to him or her by virtue of hir or her position.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas, Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja, dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, penggelapan oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor swasta, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya.

2) Negara-Negara yang Telah Meratifikasi Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

Penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya. Bagi perjanjian yang demikian penandatanganan perjanjian


(36)

tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan demikian dinamakan ratifikasi.

Ratifikasi suatu perjanjian adalah suatu prosedur yang secara progresif dimulai pada pertengahan abad ke- XIX. Sebelumnya utusan yang diberi kekuasaan penuh oleh raja dapat menandatangani perjanjian dan langsung mengikat negara secara definitif. Menurut Grotius tanda tangan saja sudah cukup. Kemudian dengan mundurnya monarki absolut dan berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi maka dirasa perlu untuk memeriksa lagi perjanjian yang telah dibuat dan yang telah ditandatangani oleh utusan-utusan raja tersebut. Selanjutnya tandatangan itu saja tidak cukup untuk mengikat negara. Sesudah itu harus ada ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi itu negara dapat diikat secara definitif oleh suatu perjanjian.

Penandatanganan konvensi UNCAC 2003 pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 dan diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Penandatanganan konvensi ini dilakukan oleh 140 negara dan 129 negara telah meratifikasi isi dari konvensi tersebut.

Indonesia merupakan negara pihak ke-57 yang menandatangani konvensi UNCAC 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 dan meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Aga inst Corruption 2003 pada tanggal 18 April 2006. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tindakan pengesahan tersebut dilaksanakan melalui proses pembuatan undang-undang oleh DPR RI dengan telah memberlakukan konvensi tersebut sebagai hukum nasional


(37)

Indonesia yang menimbulkan kewajiban hukum bagi setiap lembaga atau individu di Indonesia.60

Gambar 2. Negara-negara yang telah menandatangani Konvensi UNCAC 2003 dan status ratifikasinya sampai dengan 12 November 201461

United Nations Convention Against Corruption

Signature and Ratification Status as of 12

November 2014

Signatories: 140

Parties: 174

Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html

60

Diakses dari,

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20 INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUP SI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 12 Mei 2015

61

Diakses dari, http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html, diakses tanggal 7 April 2015


(38)

Tabel 1. Daftar negara yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi UNCAC 2003, beserta tanggal nya62

Country Signature Ratification, Acceptance (A),

Approval (AA), Accession (a), Succession (d)

Afghanistan 20 Feb 2004 25 Aug 2008

Albania 18 Dec 2003 25 May 2006

Algeria 9 Dec 2003 25 Aug 2004

Angola 10 Dec 2003 29 Aug 2006

Antigua and Barbuda 21 Jun 2006 a

Argentina 10 Dec 2003 28 Aug 2006

Armenia 19 May 2005 8 Mar 2007

Australia 9 Dec 2003 7 Dec 2005

Austria 10 Dec 2003 11 Jan 2006

Azerbaijan 27 Feb 2004 1 Nov 2005

Bahamas 10 Jan 2008 a

Bahrain 8 Feb 2005 5 Oct 2010

Bangladesh 27 Feb 2007 a

Barbados 10 Dec 2003

Belarus 28 Apr 2004 17 Feb 2005

Belgium 10 Dec 2003 25 Sep 2008

Benin 10 Dec 2003 14 Oct 2004

Botswana 27 Jun 2011 a

Bhutan 15 Sep 2005

Bolivia 9 Dec 2003 5 Dec 2005

Bosnia and Herzegovina 16 Sep 2005 26 Oct 2006

Brazil 9 Dec 2003 15 Jun 2005

Brunei Darussalam 11 Dec 2003 2 Dec 2008

Bulgaria 10 Dec 2003 20 Sep 2006

62


(39)

Burkina Faso 10 Dec 2003 10 Oct 2006

Burundi 10 Mar 2006 a

Cambodia 5 Sep 2007 a

Cameroon 10 Dec 2003 6 Feb 2006

Canada 21 May 2004 2 Oct 2007

Cabo Verde 9 Dec 2003 23 Apr 2008

Central African Republic 11 Feb 2004 6 Oct 2006

Chile 11 Dec 2003 13 Sep 2006

China 1 10 Dec 2003 13 Jan 2006

Colombia 10 Dec 2003 27 Oct 2006

Comoros 10 Dec 2003 11 Oct 2012

Congo 13 Jul 2006 a

Cook Islands 17 Oct 2011

Costa Rica 10 Dec 2003 21 Mar 2007

Côte d'Ivoire 10 Dec 2003 25 Oct 2012

Croatia 10 Dec 2003 24 Apr 2005

Cuba 9 Dec 2005 9 Feb 2007

Cyprus 9 Dec 2003 23 Feb 2009

Czech Republic 22 Apr 2005 29 Nov 2013

Democratic Republic of the Congo

23 Sep 2010 a

Denmark 2 10 Dec 2003 26 Dec 2006

Djibouti 17 Jun 2004 20 Apr 2005

Dominica 28 May 2010 a

Dominican Republic 10 Dec 2003 26 Oct 2006

Ecuador 10 Dec 2003 15 Sep 2005

Egypt 9 Dec 2003 25 Feb 2005

El Salvador 10 Dec 2003 1 Jul 2004

Estonia 12 Apr 2010 a


(40)

European Union 15 Sep 2005 12 Nov 2008 AA

Fiji 14 May 2008 a

Finland 9 Dec 2003 20 Jun 2006 A

France 9 Dec 2003 11 Jul 2005

Gabon 10 Dec 2003 1 Oct 2007

Georgia 4 Nov 2008 a

Germany 9 Dec 2003 12 Nov 2014

Ghana 9 Dec 2004 27 Jun 2007

Greece 10 Dec 2003 17 Sep 2008

Guatemala 9 Dec 2003 3 Nov 2006

Guinea 15 Jul 2005 29 May 2013

Guinea-Bissau 10 Sep 2007 a

Guyana 16 Apr 2008 a

Haiti 10 Dec 2003 14 Sep 2009

Honduras 17 May 2004 23 May 2005

Hungary 10 Dec 2003 19 Apr 2005

Iceland 1 Mar 2011 a

India 9 Dec 2005 9 May 2011

Indonesia 18 Dec 2003 19 Sep 2006

Iran (Islamic Republic of) 9 Dec 2003 20 Apr 2009

Iraq 17 Mar 2008 a

Ireland 9 Dec 2003 09 Nov 2011

Israel 29 Nov 2005 4 Feb 2009

Italy 9 Dec 2003 5 Oct 2009

Jamaica 16 Sep 2005 5 Mar 2008

Japan 9 Dec 2003

Jordan 9 Dec 2003 24 Feb 2005

Kazakhstan 18 Jun 2008 a

Kenya 9 Dec 2003 9 Dec 2003


(41)

Kuwait 9 Dec 2003 16 Feb 2007

Kyrgyzstan 10 Dec 2003 16 Sep 2005

Lao People's Democratic Republic

10 Dec 2003 25 Sep 2009

Latvia 19 May 2005 4 Jan 2006

Lebanon 22 Apr 2009 a

Lesotho 16 Sep 2005 16 Sep 2005

Liberia 16 Sep 2005 a

Libya 23 Dec 2003 7 Jun 2005

Liechtenstein 10 Dec 2003 8 Jul 2010

Lithuania 10 Dec 2003 21 Dec 2006

Luxembourg 10 Dec 2003 6 Nov 2007

Madagascar 10 Dec 2003 22 Sep 2004

Malawi 21 Sep 2004 4 Dec 2007

Malaysia 9 Dec 2003 24 Sep 2008

Maldives 22 Mar 2007 a

Mali 9 Dec 2003 18 Apr 2008

Malta 12 May 2005 11 Apr 2008

Marshall Islands 17 Nov 2011

Mauritania 25 Oct 2006 a

Mauritius 9 Dec 2003 15 Dec 2004

Mexico 9 Dec 2003 20 Jul 2004

Micronesia (Federated States of)

21 Mar 2012 a

Moldova 28 Sep 2004 1 Oct 2007

Mongolia 29 Apr 2005 11 Jan 2006

Montenegro 3 23 Oct 2006 d

Morocco 9 Dec 2003 9 May 2007

Mozambique 25 May 2004 9 Apr 2008


(42)

Namibia 9 Dec 2003 3 Aug 2004

Nauru 12 Jul 2012 a

Nepal 10 Dec 2003 31 Mar 2011

Netherlands 4 10 Dec 2003 31 Oct 2006 A

New Zealand 10 Dec 2003

Nicaragua 10 Dec 2003 15 Feb 2006

Niger 11 Aug 2008 a

Nigeria 9 Dec 2003 14 Dec 2004

Norway 9 Dec 2003 29 Jun 2006

Oman 9 Jan 2014

Pakistan 9 Dec 2003 31 Aug 2007

Palau 24 Mar 2009 a

Panama 10 Dec 2003 23 Sep 2005

Papua New Guinea 22 Dec 2004 16 Jul 2007

Paraguay 9 Dec 2003 1 Jun 2005

Peru 10 Dec 2003 16 Nov 2004

Philippines 9 Dec 2003 8 Nov 2006

Poland 10 Dec 2003 15 Sep 2006

Portugal 11 Dec 2003 28 Sep 2007

Qatar 1 Dec 2005 30 Jan 2007

Republic of Korea 10 Dec 2003 27 Mar 2008

Romania 9 Dec 2003 2 Nov 2004

Russian Federation 9 Dec 2003 9 May 2006

Rwanda 30 Nov 2004 4 Oct 2006

Saint Lucia 25 Nov 2011

Sao Tome and Principe 8 Dec 2005 12 Apr 2006

Saudi Arabia 9 Jan 2004 29 April 2013

Senegal 9 Dec 2003 16 Nov 2005

Serbia 11 Dec 2003 20 Dec 2005


(43)

Sierra Leone 9 Dec 2003 30 Sep 2004

Singapore 11 Nov 2005 06 Nov 2009

Slovakia 9 Dec 2003 1 Jun 2006

Slovenia 1 Apr 2008 a

Solomon Islands 6 Jan 2012 a

South Africa 9 Dec 2003 22 Nov 2004

South Sudan 23 Jan 2015

Spain 16 Sep 2005 19 Jun 2006

Sri Lanka 15 Mar 2004 31 Mar 2004

State of Palestine 2 Apr 2014 a

Sudan 14 Jan 2005 5 Sep 2014

Swaziland 15 Sep 2005 24 Sep 2012

Sweden 9 Dec 2003 25 Sep 2007

Switzerland 10 Dec 2003 24 Sep 2009

Syrian Arab Republic 9 Dec 2003

Tajikistan 25 Sep 2006 a

Thailand 9 Dec 2003 1 Mar 2011

The Former Yugoslav Republic of Macedonia

18 Aug 2005 13 Apr 2007

Timor-Leste 10 Dec 2003 27 Mar 2009

Togo 10 Dec 2003 6 Jul 2005

Trinidad and Tobago 11 Dec 2003 31 May 2006

Tunisia 30 Mar 2004 23 Sep 2008

Turkey 10 Dec 2003 9 Nov 2006

Turkmenistan 28 Mar 2005 a

Uganda 9 Dec 2003 9 Sep 2004

Ukraine 11 Dec 2003 02 Dec 2009

United Arab Emirates 10 Aug 2005 22 Feb 2006

United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland 5


(44)

United Republic of Tanzania 9 Dec 2003 25 May 2005

United States of America 9 Dec 2003 30 Oct 2006

Uruguay 9 Dec 2003 10 Jan 2007

Uzbekistan 29 Jul 2008 a

Vanuatu 12 Jul 2011 a

Venezuela (Bolivarian Republic of)

10 Dec 2003 2 Feb 2009

Viet Nam 10 Dec 2003 19 Aug 2009

Yemen 11 Dec 2003 7 Nov 2005

Zambia 11 Dec 2003 7 Dec 2007

Zimbabwe 20 Feb 2004 8 Mar 2007

Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html

E. Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nations Convention Aga inst Corruption-UNCAC 2003) dan Konvensi PBB Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (United Nations Convention on Tra nsna tiona l Orga nised Crime), inisiatif dalam lingkup ASEAN Security


(45)

Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan Indonesia secara berkesinambungan.

Dalam melaksanakan kerjasama internasional di bidang pemberantasan korupsi disadari bahwa kerjasama tersebut hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip saling menghormati, persamaan derajat, dan hubungan baik antar bangsa serta hukum internasional yang berlaku, dengan memperhatikan kebutuhan nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku. Kerjasama internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Piagam PBB khususnya dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB.

Konvensi PBB Menentang Korupsi (konvensi UNCAC 2003) yang dirundingkan selama kurun waktu 2002-2003 telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18 Desember 2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal 9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki melakukan langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.

Sebagai perwujudan komitmen tersebut Pemerintah Indonesia memutuskan untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan sebuah Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.


(46)

Rencana Aksi Nasional ini dimaksudkan sebagai acuan dalam menyusun program pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 khususnya Indonesia, wajib bekerja sama dalam masalah-masalah kejahatan sesuai dengan ketentuan pasal 44 sampai pasal 50 Konvensi ini. Sepanjang perlu dan sesuai dengan sistem hukum nasional masing-masing, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk saling membantu penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata dan admistratif yang berkaitan dengan korupsi.

Dalam masalah-masalah kerja sama internasional, dalam hal kriminalitas ganda dianggap sebagai persyaratan, maka hal itu dianggap sebagai telah dipenuhi tanpa memperhatikan apakah undang-undang Negara Pihak yang diminta menempatkan kejahatan itu ke dalam kategori kejahatan yang sama atau menyebut kejahatan itu dengan istilah yang sama seperti di negara pihak yang meminta, jika perbuatan yang mendasari kejahatan yang menjadi alasan permintaan bantuan adalah kejahatan menurut undang-undang kedua Negara Pihak (Pasal 43 konvensi UNCAC 2003).

Kerjasama Internasional (International Cooperation) dalam memerangi kejahatan korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional, kerjasama antar negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang harus diperhatikan. Yakni adanya kepentingan politik yang sama, saling


(47)

menguntungkan dan non intervensi. Ada lima bentuk kerjasama yang bisa dilakukan yang diatur dalam konvensi UNCAC 2003 yaitu :63

1. Ekstradisi (Konvensi UNCAC 2003 Art. 44)

Tabel 2. Perjanjian-Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Beberapa Negara64

No Negara Pihak Nama Perjanjian Tahun Ratifikasi Penandat

anganan

1 Indonesia - Malaysia

Treaty between The Government of The

Republic of

1974

Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1974 Indonesia and The

Government of Malaysia Relating

to Extradition

2. Indonesia - Filipina

Extradition Treaty between The Republic

of

1976

Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1976 Indonesia and The

Republic of The Philippines

3. Indonesia - Thailand

Treaty between The Government of The

Republic of

1976

Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1978 Indonesia and The

Government of The Kingdom of Thailand Relating to

Extradition

63

Diakses

dari,http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48142&Itemid=67, diakses tanggal 18 April 2015

64

Diakses dari,

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20 INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUP SI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 13 Mei 2015


(48)

4. Indonesia - Australia

Extradition Treaty between Australia and

The

1992

Undang- Undang Nomor 8 Tahun

1994 Republic of Indonesia

5. Indonesia - Hongkong

Agreement between The Government of The

1997

Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2001 Republic of Indonesia

and The Government of Hongkong for Surrender of Fugitive

Offenders

6. Indonesia - Korea Selatan

Treaty on Extradition between The

2000

Undang-Undang Nomor 42 Tahun

2007 Republic of Indonesia

and The Republic of Korea

7. Indonesia - Singapura

Treaty on Extradition between The Republic

of 2007 Dalam proses ratifikasi Indonesia and Singapore Sumber: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=7042&title=PERJANJIAN% 20INTERNASIONAL%20PENGEMBALIAN%20ASET%20HASIL%20KORU PSI%20DI%20INDONESIA

Konvensi UNCAC 2003 menyebutkan bahwa ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal dalam hal ini menyangkut masalah tindak pidana korupsi yang ditahan oleh suatu pemerintah bisa diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip


(49)

sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya. Perjanjian ekstradisi ini pula ditekankan dalam konvensi UNCAC 2003.

a) Pasal ini berlaku bagi kejahatan-kejahatan menurut konvensi UNCAC 2003 ini jika orang yang diminta untuk diekstradisikan berada di wilayah negara pihak yang diminta, dengan ketentuan bahwa kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi itu dapat dihukum menurut hukum nasional negara pihak yang meminta dan negara pihak yang diminta.65

b) Menyimpang dari ketentuan ayat 1, negara pihak yang hukumnya membolehkan, dapat mengabulkan ekstradisi untuk kejahatan yang diatur dalam Konvensi ini yang menurut hukum nasionalnya tidak dapat dihukum.

c) Jika permintaan ekstradisi meliputi beberapa kejahatan yang terpisah, dan sekurang-kurangnya satu dari kejahatan itu dapat diekstradisi menurut pasal ini dan kejahatan lainnya tidak dapat diekstradisi dengan karena alasan jangka waktu penghukumannya tetapi

65

Diakses dari,

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&u rl=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadData

byId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCI CA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, diakses tanggal 12 Mei 2015


(50)

mempunyai kaitan dengan kejahatan menurut konvensi ini, maka negara pihak yang diminta dapat menerapkan pasal ini juga bagi kejahatan-kejahatan itu.

d) Kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini harus dianggap termasuk dalam kejahatan yang dapat diekstradisi di dalam perjanjian ekstradisi antara negara-negara pihak. Negara-negara pihak akan memasukkan kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi di dalam perjanjian ekstradisi yang akan dibuat di antara mereka. Negara yang hukumnya membolehkannya, dalam hal negara itu menggunakan konvensi ini sebagai dasar untuk ekstradisi, tidak boleh memperlakukan kejahatan menurut konvensi ini sebagai kejahatan politik.

e) Jika negara yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian menerima permintaan ekstradisi dari negara lain yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara pihak itu, maka negara pihak itu dapat mempertimbangkan Konvensi ini sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini.

f) Negara pihak yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya

perjanjian wajib:

a. Pada saat penyimpanan instrumen pengesahan, penerimaan atau persetujuan atau aksesi konvensi ini, memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apakah akan


(51)

menggunakan konvensi ini sebagai dasar hukum bagi kerja sama ekstradisi dengan Negara Pihak lain pada konvensi ini; dan

b. Jika negara pihak itu tidak menggunakan konvensi ini sebagai dasar hukum bagi kerja sama ekstradisi, mengupayakan, sepanjang perlu, untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Negara Pihak lain pada konvensi ini untuk melaksanakan pasal ini.

g) Negara-negara pihak yang tidak mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian wajib mengakui kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi di antara negara-negara pihak itu.

h) Ekstradisi tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum nasional negara pihak yang diminta atau dalam perjanjian ekstradisi yang berlaku, termasuk antara lain, persyaratan yang terkait dengan syarat hukuman minimum untuk ekstradisi dan alasan-alasan bagi negara pihak yang diminta untuk menolak ekstradisi.

i) Negara pihak wajib, berdasarkan hukum nasionalnya, berupaya untuk mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian yang berkaitan dengan itu menyangkut kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini.

j) Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya dan perjanjian ekstradisinya, negara pihak yang diminta, setelah meyakini keadaan-keadaan yang ada menghendaki demikian atau sifatnya mendesak dan atas permintaan negara pihak yang meminta, dapat mengambil orang


(1)

Sepanjang memungkinkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional, jika seseorang berada di wilayah suatu negara pihak dan harus didengar sebagai saksi atau ahli oleh pejabat pengadilan negara pihak lain, maka negara pihak yang pertama dapat, atas permintaan pihak lainnya, mengizinkan sidang dilakukan dengan video conference jika tidak mungkin atau tidak dikehendaki bahwa orang yang bersangkutan hadir langsung di wilayah Negara Pihak yang meminta. Negara-negara pihak dapat menyepakati bahwa sidang itu dilaksanakan oleh pejabat pengadilan negara pihak yang meminta dan dihadiri oleh pejabat pengadilan negara pihak yang diminta.

Negara pihak yang meminta tidak boleh menyampaikan atau menggunakan informasi atau bukti yang diberikan oleh negara pihak yang diminta bagi penyelidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang lain daripada yang dinyatakan dalam permintaan tanpa persetujuan lebih dahulu negara pihak yang diminta. Ketentuan ayat ini tidak menghalangi negara pihak yang meminta untuk mengungkapkan kepada terdakwa di dalam proses hukumnya informasi atau bukti yang bersifat membebaskan. Dalam hal terakhir ini, negara pihak yang meminta wajib memberitahukan kepada negara pihak yang diminta sebelum pengungkapan dilakukan dan, jika diminta, berkonsultasi dengan negara pihak yang diminta Jika dalam keadaan tertentu pemberitahuan lebih dulu itu tidak mungkin dilakukan, Negara Pihak yang meminta wajib dengan segera memberitahukan pengungkapan itu kepada negara pihak yang diminta.

Negara pihak yang meminta dapat mempersyaratkan negara pihak yang diminta agar menjaga kerahasiaan fakta dan isi permintaan, kecuali sepanjang


(2)

yang diperlukan untuk melaksanakan permintaan itu. Jika negara pihak yang diminta tidak dapat memenuhi persyaratan kerahasiaan, negara pihak itu wajib dengan segera memberitahukan hal itu kepada negara pihak yang meminta.

Bantuan hukum timbal-balik dapat ditolak :

a) Jika permintaan itu diajukan tidak sesuai dengan ketentuan pasal ini; b) Jika negara pihak yang diminta berpendapat bahwa pelaksanaan

permintaan itu akan merugikan kedaulatan, keamanan, ketertiban umum atau kepentingan mendasar lainnya;

c) Jika pejabat negara pihak yang diminta dilarang oleh hukum nasionalnya untuk melakukan tindakan yang diminta dalam kaitannya dengan kejahatan yang sama, seandainya bagi kejahatan itu dilakukan penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan berdasarkan yurisdiksinya sendiri;

d) Jika hal itu akan bertentangan dengan sistem hukum Negara Pihak yang diminta dalam kaitannya dengan bantuan hukum timbal-balik bagi permintaan yang akan dikabulkan;

e) Negara Pihak tidak boleh menolak permintaan bantuan hukum timbal balik semata-mata karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap melibatkan juga masalah-masalah perpajakan. 75

75

BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQF jAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownloa

dDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG- UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjC OpLg, , ibid.


(3)

Alasan-alasan harus diberikan untuk penolakan bantuan hukum timbal balik.

Negara Pihak yang diminta wajib sesegera mungkin melaksanakan permintaan bantuan hukum timbal balik dan wajib sedapat mungkin memenuhi tenggat waktu yang disarankan oleh Negara Pihak yang meminta dan alasan-alasan untuk itu wajib diberikan, lebih disukai jika dicantumkan di dalam permintaan itu. Negara Pihak yang meminta dapat meminta informasi tentang status dan perkembangan tindakan yang diambil oleh Negara Pihak yang diminta untuk memenuhi permintaannya. Negara Pihak yang diminta wajib menanggapi permintaan yang wajar dari Negara Pihak yang meminta mengenai status dan perkembangan penanganan permintaan itu. Negara Pihak yang meminta wajib dengan segera menginformasikan kepada Negara Pihak yang diminta jika bantuan yang diminta tidak lagi diperlukan

Bantuan hukum timbal-balik dapat ditunda oleh Negara Pihak yang diminta dengan alasan bahwa hal itu mencampuri penyidikan, penuntutan atau proses yang sedang berjalan.

Sebelum menolak suatu permintaan menurut berdasarkan ketentuan ayat 21 atau menunda pelaksanaannya berdasarkan ketentuan ayat 25, Negara Pihak yang diminta wajib berkonsultasi dengan Negara Pihak yang meminta untuk mempertimbangkan apakah bantuan dapat diberikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dianggapnya perlu. Jika Negara Pihak yang meminta menerima bantuan sesuai dengan syarat-syarat itu, ia wajib mematuhi syarat-syarat tersebut.


(4)

Tanpa mengurangi penerapan ketentuan ayat 12, seorang saksi, ahli atau orang lain yang, atas permintaan Negara Pihak yang meminta, setuju untuk memberikan bukti dalam suatu proses hukum atau untuk membantu suatu penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan di dalam wilayah Negara Pihak yang meminta tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau dikenakan pembatasan lain atas kebebasan pribadinya di wilayah itu berkenaan dengan perbuatan, kelalaian atau penghukuman sebelum keberangkatannya dari wilayah Negara Pihak yang diminta. Jaminan keamanan itu berakhir ketika saksi, ahli atau orang lain itu, setelah jangka waktu limabelas hari berturut-turut atau jangka waktu lain yang disepakati Negara-Negara Pihak sejak tanggal ketika kepadanya secara resmi diberitahukan bahwa kehadirannya tidak lagi diperlukan oleh pejabat pengadilan, diberikan kesempatan pergi, akan tetapi ia tetap tinggal secara sukarela di wilayah Negara Pihak yang meminta, atau, setelah meninggalkan negara itu, kembali lagi atas kemauannya sendiri.

Biaya-biaya yang biasa untuk memenuhi permintaan wajib dibayar oleh Negara Pihak yang meminta, kecuali disepakati lain oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan. Jika diperlukan atau akan diperlukan pengeluaranpengeluaran yang besar atau luar biasa untuk memenuhi permintaan itu, Negara -Negara Pihak wajib berkonsultasi untuk menentukan syarat-syarat bagi pemenuhan permintaan, serta bagaimana biaya-biaya itu akan ditanggung Negara Pihak yang diminta:


(5)

a) Wajib memberikan kepada Negara Pihak yang meminta, salinan dari catatan, dokumen atau informasi kepemerintahan yang dimilikinya yang menurut hukum nasionalnya terbuka untuk masyarakat umum. b) Dapat, atas kebijakannya sendiri, memberikan kepada Negara Pihak

yang meminta, seluruh, sebagian atau berdasarkan syarat yang dianggapnya perlu, salinan dari catatan, dokumen atau informasi kepemerintahan yang dimilikinya yang menurut hukum nasionalnya tidak terbuka untuk masyarakat umum.76

Negara Pihak wajib mempertimbangkan, sepanjang perlu, kemungkinan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral untuk melaksanakan maksud, menindaklanjuti atau meningkatkan ketentuan pasal ini.

3. Perjanjian Pemindahan Orang Yang sudah Dihukum (Transfer of Sentenced Persons) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 45)

Merupakan perjanjian Transfer of Sentenced Person yang meliputi pemindahan orang yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di negaranya.

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), dapat mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral mengenai pemindahan ke wilayahnya orang yang dihukum dengan

76

BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQF jAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownloa

dDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG- UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjC OpLg, , ibid.


(6)

pidana penjara atau dengan bentuk lain perampasan kebebasan karena kejahatan menurut Konvensi ini agar orang itu dapat menyelesaikan hukumannya di sana.77

4. Perjanjian Pemindahan Pemeriksaan Kriminal (Transfer of Criminal Proceding) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 47)

Perjanjian Transfer of Crimina l Proceding meliputi pemindahan pemeriksaan orang yang menjadi tersangka tindakan kriminal yang sedang menjalani pemeriksaan oleh suatu negara untuk dipindahkan ke negara asalnya.

5. Investigasi Bersama (Joint investigation ) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 49)

Investigasi bersama merupakan suatu bentuk kesepakatan antara dua negara atau lebih dalam hal pengusutan suatu tindakan kriminal.

77

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQ FjAG&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2Fdownl

oadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCI CA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, ibid.