Hubungan Faktor Predisposisi Ibu Terhadap Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap di Wilayah Kerja Puskesmas Induk Medan Tuntungan Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Imunisasi

2.1.1

Definisi Imunisasi
Menurut

Penyelenggaraan

Peraturan

Menteri

Imunisasi,

Kesehatan


imunisasi

(PMK)

adalah

No.

suatu

42

tentang

upaya

untuk

menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu

penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
2.1.2

Tujuan Imunisasi
Tujuan dari imunisasi dasar adalah tercapainya kekebalan Penyakit yang

dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) pada masyarakat (Depkes RI, 2009).
Penyakit tersebut antara lain Hepatitis B, campak, pertusis (batuk rejan), difteri,
tetanus, tuberkulosis, serta poliomielitis.
2.1.3

Klasifikasi Imunisasi

Berdasarkan mekanisme kerjanya, imunisasi terbagi atas dua jenis, yaitu :
1.

Imunisasi aktif
Imunisasi aktif terdiri dari induksi tubuh untuk mengembangkan


pertahanan

terhadap

penyakit

dengan

merangsang

sistem

imun

untuk

menghasilkan antibodi dan respon imun seluler yang memberi perlindungan
terhadap agen infeksi. Disini tubuh secara aktif memproduksi sendiri antibodinya
(Behrman, 2012).
Pendekatan utama imunisasi aktif adalah penggunaan agen infeksi hidup,

biasanya dilemahkan (vaksin) dan penggunaan agen yang diinaktifkan atau
didetoksifikasi (toksoid) atau ekstraknya atau produk-produk rekombinasi spesifik
seperti pada hepatitis B. Kedua pendekatan telah digunakan untuk banyak
penyakit misalnya influenza dan poliomielitis (Behrman, 2012).
Vaksin hidup yang dilemahkan, diduga menginduksi respons imunologis
yang lebih menyerupai respons yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah daripada
vaksin mati. Vaksin yang tidak diaktifkan atau vaksin mati terdiri atas seluruh

Universitas Sumatera Utara

organisme yang diinaktifkan (misal pertusis), eksotoksin yang didetoksifikasi saja
(misal toksoid tetanus) atau endotoksin terikat pada protein pembawa,bahan
kapsul yang dapat larut (misal polisakarida penumokokus) atau bahan kapsul
gabungan (misal vaksin gabungan Haemophilus influenza B), atau ekstrak
beberapa komponen organisme (misal subunit influenza) (Behrman, 2012).
Karena organisme pada vaksin hidup memperbanyak diri dalam resipien,
produksi antigen bertambah sampai organisme ini dikurangi oleh mulainya respon
imun yang dimaksudkan untuk diinduksi. Pada resipien yang mengembangkan
respons, virus hidup yang dilemahkan (misal campak, rubella, parotitis
epidemika) diduga memberi proteksi seumur hidup dengan satu dosis. Sebaliknya

vaksin mati, kecuali antigen polisakarida yang dimurnikan, tidak menginduksi
imunitas permanen dengan satu dosis. Vaksinasi yang diulang dan booster
diperlukan untuk mengembangkan dan mempertahankan kadar tinggi antibodi
seperti IgG, IgM, dan IgA. Rangsangan antigenik yang didapatkan melalui
pemberian vaksin hidup jauh lebih besar dibandingkan dengan pemberian vaksin
yang diinaktifkan, meskipun jumlah antigen yang terdapat pada inactivated
vaccine lebih banyak dibandingkan vaksin hidup. Hal ini dikarenakan pada vaksin

hidup virusnya masih mampu bermultiplikasi pada organisme hospes (Behrman,
2012).
2.

Imunisasi pasif
Imunisasi pasif terjadi bila seseorang menerima antibodi atau produk sel

dari orang lain yang telah mendapat imunisasi aktif (Baratawidjaja, 2012).
Imunisasi pasif terdiri dari pemberian proteksi sementara melalui pemberian
antibodi yang dihasilkan secara eksogen. Imunisasi pasif bisa terjadi melalui
pemindahan antibodi transplasenta pada janin, yang memberi proteksi terhadap
penyakit selama 3-6 bulan pertama kehidupan, dan injeksi imunoglobulin untuk

tujuan pencegahan infeksi. Agen imunisasi yang digunakan adalah imunoglobulin
dan antitoksin (Behrman, 2012).
2.1.4

Proses Imun dalam Vaksinasi
Prinsip dasar dalam vaksinasi adalah proses imunisasi aktif, dimana agen

penyakit yang dimasukkan ke dalam tubuh, baik yang hidup maupun yang sudah

Universitas Sumatera Utara

diinaktifkan, akan merangsang sistem imun untuk memulai proses imunitas.
Respon imun diawali dengan adanya proses inisiasi terhadap antigen yang masuk
ke dalam tubuh. Antigen yang masuk akan dikenali sebagai benda asing melalui
suatu “sinyal bahaya” yang pada akhirnya akan merangsang reseptor tertentu.
Proses inisiasi ini biasanya terjadi di jaringan non-limfoid dan sel yang berperan
pada proses ini adalah makrofag jaringan dan sel dendrit. Sel dendrit berfungsi
sebagai APC (Antigen Presenting Cell) yang berperan pada awal pengenalan
protein asing, mengawali respon imunitas seluler dan humoral yang mengaktifkan
sel T naif, Th(T helper), CTL (Cytotoxic T Lymphocyte), dan sel B. Sel dendrit

merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis di tempattempat mikroba dan antigen masuk serta di tempat yang mungkin dikolonisasi
oleh mikroba, seperti di kulit, epitel hampir semua organ, kelenjar limfoid, dan
sinus marginal limfatik aferen (Baratawidjaja, 2012) .
Antigen yang terikat di reseptor sel dendrit kemudian masuk ke dalam sel
secara endositosis, dan dihancurkan oleh vesikel lisosom yang mengandung enzim
hidrolitik multipel, sehingga menjadi bentuk peptida. Peptida yang terbentuk
kemudian akan berikatan dengan MHC-II yang disintesis oleh retikulum
endoplasma, dan ditransport ke permukaan sel. Proses ini dinamakan Exogenous
Antigen Processing. Sementara bila antigen bersifat intraselular, maka enzim

protease yang ada di sitosol akan langsung menghancurkan antigen menjadi
peptida dan ditransport ke retikulum endoplasma kasar yang sudah berisi MHC-I,
dan kemudian ditransport ke permukaan sel. Proses ini dinamakan Endogenous
Antigen Processing (Beverley, 2014). Sel dendrit kemudian mempresentasikan

peptida ke sel T CD4+ melalui MHC-II atau ke sel T CD8+ melalui MHC-I,
sehingga

dapat


mengaktifkan

sel

CD4+

dan

CD8+

secara

langsung

(Baratawidjaja, 2012).
Pada saat yang sama, melalui kontrol kemokin dan reseptornya, sel
bermigrasi dari jaringan ke aliran nodus limfe. Jaringan akan mengeluarkan
reseptor kemokinnya melalui perangsangan oleh sinyal bahaya yang dimiliki oleh
antigen dan oleh sinyal yang berasal dari sitokin inflamasi seperti Tumor
Necroting Factor dan Interleukin. Hal ini memungkinkan sel dendrit menerima


Universitas Sumatera Utara

sinyal kemokin yang berasal dari nodus limfe. Selama proses migrasi dan entri sel
dendrit ke dalam nodus, sel dendrit juga mengalami maturasi sel (Beverley, 2014).
Imunitas yang terbentuk pada respon imun terbagi dua, yaitu imunitas
selular dan imunitas humoral. Aktivasi sel CD4+ dan CD8+ merupakan respon
imun spesifik selular. CD4+ yang teraktivasi nantinya akan mengaktifkan
makrofag yang memproduksi IFN gamma dan CD8+ yang akan membunuh
mikroba serta melisis sel terinfeksi (Baratawidjaja, 2012).
Respon imun humoral terdiri atas pembentukan antibodi dan sel memori.
Sel T naif yang sudah berdiferensiasi menjadi T helper kemudian akan
merangsang proliferasi dan diferensiasi klon sel B spesifik menjadi sel B efektor
dan sel B memori. Sel B efektor kemudian akan berdiferensiasi lagi menjadi sel
plasma. Sel plasma inilah yang kemudian akan mensekresikan berbagai jenis
imunoglobulin (Ig) yang terdiri atas IgM, IgG, IgE, IgA, dan IgD. Masing –
masing imunoglobulin ini memiliki dampak imunologis yang berbeda-beda
tergantung proses infeksinya. Sel memori berperan pada invasi oleh agen infeksi
yang sudah dikenali oleh tubuh. Ketika tubuh diserang oleh antigen yang sama,
tubuh akan langsung merespon dengan mensekresikan imunoglobulin spesifik

lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan proses infeksi pertama kali. Hal inilah
yang dimanfaatkan pada proses vaksinasi, sehingga seseorang yang sudah
memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan saat infeksi yang berikutnya (Baratawidjaja, 2012).
2.1.5

Sasaran Imunisasi
Sasaran imunisasi berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No.

1611 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi adalah:
1. Bayi (sebelum 1 tahun)
2. Anak usia sekolah dasar
3. Wanita usia subur (15-39 tahun) dan ibu hamil serta calon pengantin.
2.1.6

Lima Imunisasi Dasar Lengkap
Pemerintah menyusun program pemberian lima imunisasi dasar lengkap

pada bayi sebelum 1 tahun yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, DPT,


Universitas Sumatera Utara

Polio dan Campak. Penyakit tersebut dapat menyebabkan derita fisik dan mental
berkepanjangan bagi anak, kecacatan, bahkan kematian (Depkes RI, 2009).
Berikut adalah jenis imunisasi dasar lengkap (Ranuh, 2008) :
Tabel 2.1. Lima Imunisasi Dasar Lengkap
Jenis vaksin
Polio

Dosis dan cara pakai
2 tetes (0,1 ml) oral
untuk Oral Polio
Vaccine (OPV).
0,5 ml secara subkutan
untuk Inactivated
Poliomyelitis Vaccine
(IPV).
Diberikan 4 kali
berturut-turut dengan
jarak 2 bulan.
0,10 ml untuk anak.
0,05 ml untuk bayi baru
lahir.
Diberikan secara
intradermal pada umur

5mm, menderita atau
berisiko HIV,
imunokompromais,
menderita gizi buruk,
demam tinggi, infeksi
kulit yang luas, pernah
sakit tuberkulosis, dan
kehamilan.

Ulkus lokal yang
superfisial 3 minggu
setelah penyuntikan
dan akan sembuh
dalam 2-3 bulan serta
meninggalkan luka
parut.

Campak

0,5 ml secara subkutan
pada umur 9 bulan.

Kehamilan, anak dengan
imunodefisiensi primer,
pasien TB yang tidak
diobati, dan pasien
imunokompromais.

Demam lebih dari
39,5°C dan ruam
pada kulit. Gangguan
fungsi sistem saraf
pusat sangat jarang
terjadi.

DTP

0,5 ml secara
intramuskular sebanyak
3 kali dengan jarak
pemberian 2 bulan.

Riwayat anafilaksis pada
pemberian vaksin
sebelumnya, ensefalopati
sesudah pemberian
vaksin pertusis
sebelumnya.

Hepatitis B

0,5 ml secara
intramuskular sebanyak
3 kali.

Sampai saat ini tidak ada
kontra indikasi absolut
untuk pemberian vaksin
VHB.

Reaksi lokal
kemerahan, bengkak
dan nyeri pada lokasi
injeksi, demam
ringan hingga kejang
demam, anak
menangis dan gelisah
selama beberapa jam
pasca penyuntikan,
reaksi anafilaksis
terkait pemberian
vaksin pertusis.
Reaksi lokal yang
ringan dan bersifat
sementara, kadangkadang dapat
menimbulkan demam
ringan untuk 1-2 hari.

BCG

Universitas Sumatera Utara

2.1.7

Jadwal Pemberian Imunisasi

Gambar 2.1. Jadwal Imunisasi
Sumber : http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anakidai.html
2.1.8

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Reaksi lokal maupun sistemik yng tidak diinginkan dapat terjadi pasca

imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang berat
dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi terjadi segera
setelah dilakukan vaksinasi (dalam 48 jam), namun bisa juga reaksi tersebut
muncul kemudian (hari-bulan) (Hadinegoro, 2000). Pasien dan keluarga harus
diberi informasi mengenai risiko dan keuntungan vaksinasi dan tentunya tentang
penyakit yang akan dicegah (Ranuh, 2008).
KIPI yang paling sering terjadi dibagi atas 5 penyebab utama, yaitu:
1. Kesalahan Program/Teknik Pelaksanaan
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan
teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tatalaksana pemberian vaksin, misalnya dosis antigen (terlalu
banyak), lokasi dan cara menyuntik, sterilisasi semprit dan jarum suntik, Tindakan
asepsis dan antiseptik, kontaminasi vaksin dan peralatan suntik, penyimpanan

Universitas Sumatera Utara

vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, dan tidak
memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra) (Ranuh,
2008).
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin
dengan batch yang sama tetapi tidak terdapat masalah, atau apabila sebagian
populasi setempat dengan karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tetapi justru
menunjukkan masalah tersebut (Ranuh, 2008)
2. Reaksi Suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat
suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing,
mual, sampai sinkope. Hal ini adalah peristiwa yang normal dialami oleh tubuh
ketika jaringan mengalami cedera, yang dalam hal ini diakibatkan penggunaan
jarum suntik. Peristiwa ini disebut dengan reaksi radang akut yang memiliki 5
tanda khas, yaitu rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor
(pembengkakan), dan fungsio laesa (perubahan fungsi) (Price, 2006). Namun
munculnya tanda-tanda tersebut setelah pemberian imunisasi membuat ibu takut
dan menganggap anaknya berada dalam bahaya, sehingga ibu menjadi enggan
untuk memberikan imunisasi.
3. Reaksi Vaksin
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara
klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat
seperti reaksi anafilaksis sistemik dan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah
teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh
produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai
tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan
obat atau vaksin lain (Ranuh, 2008).

Universitas Sumatera Utara

4. Koinsiden
Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini terjadi secara
kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi
setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi (Ranuh,
2008).
5. Sebab tidak diketahui.
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan
ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam
kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI
(Ranuh, 2008).
2.1.9

Kontraindikasi Pemberian Imunisasi
Imunisasi dikontraindikasikan pada anak yang berisiko tinggi untuk

mendapatkan infeksi (Ranuh, 2008). Anak yang berisiko tinggi terhadap infeksi
ini juga harus dikenali dari awal untuk mengurangi angka Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) (Hadinegoro, 2000). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya
berupa:
1. Pasien Imunokompromais
Imunokompromais adalah kondisi dimana sistem imun seseorang tertekan,
berkurang atau kehilangan kemampuan melakukan fungsi utamanya untuk
melawan infeksi (Okafor, 2012). Kondisi ini dapat terjadi pada penyakit defisiensi
imun kongenital dan defisiensi imun didapat seperti pada leukemia, limfoma,
pasien dengan pengobatan alkylating agents, antimetabolik, kortikosteroid
sistemik dosis tinggi dan lama (Ranuh, 2008).
Pemberian kortikosteroid, alkylating agents, maupun radioterapi dan
kemoterapi dapat menekan sistem imun seseorang, sehingga tidak boleh diberikan
vaksin hidup karena akan berakibat fatal disebabkan vaksin akan bereplikasi
dengan hebat karena tubuh tidak mengontrolnya (Ranuh, 2008). Begitu pula pada
pasien dengan HIV/AIDS yang mana terjadi penekanan pada sistem imun yang
ditandai dengan penurunan kadar Limfosit T (CD4+ dan CD8+), menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

anak tidak mampu memberikan respon imun seperti pada anak normal lainnya
(Setiawan, 2009).
Anak sering sakit atau rentan infeksi merupakan salah satu penanda
adanya masalah pada imunitas seorang anak (Okafor, 2012) meskipun bisa juga
disebabkan oleh kondisi malnutrisi. Kondisi malnutrisi sendiri pada akhirnya akan
menyebabkan berkurangnya kadar protein yang merupakan bahan baku utama
pada proses pembentukan antibodi, sistem komplemen dan respon imun seluler
(Brooks, 2008). Hal ini yang menyebabkan ibu dari anak yang sering sakit
cenderung tidak memberikan imunisasi untuk anaknya secara lengkap. Ibu takut
apabila anaknya diberi imunisasi, maka anaknya justru akan jatuh sakit akibat
sistem imun yang tidak adekuat (Prayoga, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Favin (2012) menyebutkan bahwa
seringkali anak tidak mendapatkan imunisasi akibat salah persepsi mengenai
kontraindikasi imunisasi. Misalnya bahwa anak yang sakit tidak boleh
diimunisasi, anak tidak seharusnya mendapat multipel vaksinasi pada saat yang
sama, anak usia >12 bulan terlalu “tua” untuk imunisasi campak, dan anak dengan
berat badan kurang tidak boleh mendapat imunisasi.
2. Pernah mendapat KIPI pada imunisasi terdahulu
Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah
imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya dengan pengawasan dokter
(Ranuh, 2008).
3. Pasien transplantasi sumsum tulang
Resipien transplantasi sumsum tulang alogenik akan menjadi defisiensi
imun akibat pengobatan imunosupresi terhadap penyakit primer, kemoterapi dan
radioterapi yang diberikan pada pejamu, reaktivitas imunologi antara organ
implan terhadap pejamu, serta pengobatan imunosupresi yang diberikan setelah
transplantasi diberikan (Ranuh, 2008).
4. Bayi prematur
Pada bayi prematur, respons imun kurang (belum matang) bila
dibandingkan bayi cukup bulan, sehingga dikhawatirkan bila diberikan vaksin

Universitas Sumatera Utara

maka tubuh bayi prematur tidak mampu memberikan respon sebagaimana
mestinya (Ranuh, 2008).

2.2

Pelaksanaan Imunisasi di Indonesia

2.2.1

Program Imunisasi di Indonesia
Kegiatan imunisasi di Indonesia diselenggarakan sejak tahun 1956. Mulai

tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis,
Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B.
Untuk pelaksanaan Program Pengembangan Imunisasi ini, pemerintah
membuat beberapa strategi, diantaranya :
1. Pelaksanaan Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional (GAIN) UCI, yang
meliputi:
a. Penguatan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) dengan memetakan
wilayah berdasarkan cakupan dan analisa masalah untuk menyusun kegiatan
dalam rangka mengatasi permasalahan setempat.
b. Menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan termasuk tenaga, logistik
(vaksin, alat suntik dan safety box), biaya dan sarana pelayanan.
c. Pemberdayaan masyarakat melalui tanaman obat keluaga, TOMA, aparat
desa dan kader.
d. Pemerataan jangkauan terhadap semua desa/kelurahan yang sulit atau tidak
terjangkau pelayanan.
2. Membangun kemitraan dengan lintas sektor, lintas program dalam
meningkatkan cakupan dan jangkauan, misalnya dengan program malaria, gizi
dan KIA.
3. Advokasi, sosialisasi dan pembinaan terhadap kader-kader imunisasi di tiap
tingkatan administrasi.
Pelayanan imunisasi bisa dilakukan di beberapa tempat seperti
puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit, klinik, bidan praktik, dokter

Universitas Sumatera Utara

praktik (di dalam gedung/komponen statis)

atau di luar gedung (komponen

dinamis) seperti posyandu, di sekolah, atau melalui kunjungan rumah.
Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh dokter dan dokter spesialis. Selain
dokter dan dokter spesialis, bidan, perawat, serta tenaga terlatih dapat
melaksanaan pelayanan imunisasi wajib sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (PMK No. 42 tentang Penyelenggaraan Imunisasi).
2.2.2

Evaluasi Program Imunisasi
Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui hasil ataupun proses

kegiatan bila dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam
kegiatan evaluasi dilakukan secara berkala dalam imunisasi. Salah satunya adalah
dengan melakukan survei cakupan imunisasi. Cakupan imunisasi yang diharapkan
adalah minimal 80% secara merata baik di desa/kelurahan, kabupaten/kota, dan
provinsi. Tujuan utama survei ini adalah untuk mengetahui tingkat cakupan
imunisasi dan tujuan lainnya adalah untuk memperoleh informasi tentang
distribusi umur saat diimunisasi, mutu pencatatan dan pelaporan, sebab kegagalan
imunisasi dan tempat memperoleh imunisasi.
Cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata di seluruh
wilayah. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya daerah kantong yang
akan mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Cakupan imunisasi
dicatat di setiap tingkatan administrasi yaitu desa/kelurahan, kabupaten/kota, dan
provinsi. Cakupan imunisasi di tingkat desa/kelurahan dan kabupaten/kota akan
mempengaruhi cakupan imunisasi provinsi dimana desa atau kota tersebut berada
(PMK No. 42 tentang Penyelenggaraan Imunisasi).

2.3

Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap
Menurut

Green dan Kreuter (1999) dalam Dwiastuti (2013) tingkat

kesehatan manusia dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor perilaku (behavior
causes) dan faktor non perilaku (non behavior causes), yang dibentuk oleh 3

faktor, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

2.3.1

Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko internal yang akan mempengaruhi

tindakan pemberian imunisasi dasar lengkap. Adapun yang termasuk dalam faktor
predisposisi adalah:
1.

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku

seseorang karena pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan
kebiasaan masyarakat. Pengetahuan yang meningkat dapat mengubah persepsi
masyarakat tentang penyakit. Meningkatnya pengetahuan juga dapat mengubah
kebiasaan masyarakat dari yang positif menjadi lebih positif, selain itu
pengetahuan juga membentuk kepercayaan.
a.

Pengertian pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2003).
b.

Tingkat pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu
2. Memahami
3. Aplikasi
4. Analisis
5. Sintesis
6. Evaluasi
c.

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan diantaranya

adalah : umur, minat, pendidikan, pekerjaan, informasi, kebudayaan, lingkungan
dan pengalaman (Notoatmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.

Pendidikan
Pendidikan merupakan proses belajar yang bisa dilakukan secara

individual maupun kelompok. Hasil dari proses ini adalah terbentuknya
seperangkat perilaku atau aktivitas, serta bertambahnya pengetahuan. Pengetahuan
mengenai manfaat tindakan kesehatan yang dimiliki oleh individu, akan
memberikan motivasi bagi individu tersebut untuk melakukan tindakan kesehatan
yang dimaksud, sehingga status kesehatannya akan meningkat. Pendidikan yang
tinggi terutama ibu diharapkan akan memberikan gambaran akan pentingnya
menjaga kesehatan terutama bagi bayinya (Notoadmodjo, 2007).
3.

Usia
Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Prayoga dkk (2009), ibu yang berusia

kurang dari 20 tahun kurang memiliki kesiapan secara psikologis dalam
pengasuhan anak, termasuk pemberian imunisasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Danis (2010) menyebutkan anak yang lahir dari ibu yang berusia kurang dari 20
tahun cenderung kurang mendapatkan layanan kesehatan, termasuk layanan
kesehatan yang bersifat preventif seperti pemberian imunisasi. Anak yang
imunisasinya lengkap justru lahir dari ibu yang usianya di atas 25 tahun.
4.

Kondisi ekonomi
Sosial ekonomi dalam hal ini diukur melalui pengeluaran, merupakan

faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang. Keluarga dengan
kondisi ekonomi yang baik (sejahtera) diharapkan mampu mencukupi dan
menyediakan fasilitas serta kebutuhan untuk keluarga, sehingga seseorang dengan
tingkat sosial ekonomi tinggi akan berbeda sikap dan tingkah lakunya dengan
tingkat sosial ekonomi rendah. Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang
tinggi akan mengusahakan terpenuhinya imunisasi yang lengkap bagi bayi
(mengalokasikan

dana

untuk

pengeluaran

kesehatan)

(Budioro,

2002;

Notoatmodjo, 2007).
5.

Jumlah anak
Penelitian yang dilakukan oleh Prayoga (2009) menunjukkan bahwa

secara statistik ada hubungan antara urutan anak dengan kelengkapan imunisasi
dasar. Pemberian imunisasi dasar anak pertama lebih baik dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara

kelengkapan imunisasi dasar anak bukan urutan pertama, sehingga dapat
disimpulkan semakin banyak jumlah anak dalam keluarga akan menyebabkan
imunisasi dasar anak tidak lengkap. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan dimana
anak pertama selalu menjadi pusat perhatian orangtua. Selain itu, semakin banyak
jumlah anak berimplikasi terhadap kemampuan orangtua dalam mengasuh
anaknya secara tepat. Waktu dan kemampuan (fasilitas dan dana) yang dimiliki
orangtua menjadi semakin terbatas sementara anak yang harus diasuh semakin
banyak, sehingga cenderung menyebabkan kurangnya pelayanan kesehatan yang
didapatkan oleh orangtua bagi anaknya (Danis, 2010; Konstantyner, 2011)
2.3.2

Faktor Pemungkin atau Enabling Factor
Faktor pemungkin adalah faktor eksternal yang mencakup berbagai

keterampilan dan sumber daya yang perlu untuk melakukan perilaku kesehatan.
Contohnya adalah jarak antara rumah dengan tempat layanan kesehatan, biaya,
waktu dan ketersediaan sarana prasarana kesehatan (Mubarak, 2007).
2.3.3 Faktor Penguat atau Reinforcing Factor
Faktor penguat adalah faktor eksternal yang menentukan apakah suatu
tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumbernya bisa berasal dari
petugas kesehatan ataupun tokoh setempat. Sikap petugas terhadap ibu dari bayi
yang

mendapatkan

imunisasi,

kemampuan

petugas

dalam

memberikan

penyuluhan mengenai imunisasi dan himbauan dari tokoh agama, tokoh adat,
ataupun

pejabat

setempat,

dapat

mempengaruhi

keputusan

ibu

dalam

mengimunisasikan bayinya (Mubarak, 2007).

Universitas Sumatera Utara