Kebijakan Pengupahan di Indonesia (Studi Analisis : Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan)

BAB II
KEADAAN UMUM PENGUPAHAN DI INDONESIA DAN TINJAUAN
KEBIJAKAN PERATURAN PEMERINTAH NO.78 TAHUN 2015

2.1

Sejarah Sistem Pengupahan di Indonesia secara umum
Sistem pengupahan di Indonesia mengalami perkembangan dari fase ke

fase sesuai keadaan ekonomi politik dan pemerintahan yang berkuasa. Hal ini
menunjukan adanya pola yang berbeda antara pra kemerdekaan, pasca
kemerdekaan, orde lama, orde baru , dan era reformasi. Sejak pertama sekali
pemberlakuan sistem tanam paksa yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1830
dengan tujuan meningkatkan pengerukan dan penjarahan kekayaan Indonesia
terhadap alam maupun manusianya. Maka, proses pembangunan berbagai industri
dalam jumlah massal juga beriringan dilaksanakan diberbagai wilayah Indonesia.
Industri yang dibangun pada saat itu dalam bentuk perkebunan dan transportasi,
sebagai kebutuhan pokok atas penopang kegiatan perekonomian Belanda untuk
melakukan perdagangan di pasar dunia.
Dengan pemberlakuan sistem tanam paksa dan pembangunan berbagai
industri perkebunan dan transportasi, maka rakyat dengan jumlah besar

dimobilisasi oleh pemerintahan Belanda untuk bekerja secara terpaksa tanpa ada
kepastian imbalan yang cukup dari para pengusaha guna menjalankan kegiatan
produksi industri. Meskipun tidak ada aturan tetap tentang pemberian imbalan
kerja atau upah kepada para buruh perkebunan dan transportasi pada saat itu,
tetapi upah atau imbalan kerja dalam bentuk lain telah diterapkan oleh para
pengusaha industri terhadap para buruhnya, walaupun kualitas imbalan tersebut
hanya cukup untuk mempertahankan hidup buruh agar tetap bisa hidup dan
bekerja. Maka sejak saat itu, upah atau imbalan kerja terhadap para buruh yang
bekerja di industri-industri milik pengusaha swasta maupun negara jajahan mulai
dikenal dikalangan rakyat Indonesia sebagai unsur penting dalam kehidupan
buruh.

35

Universitas Sumatera Utara

Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan tonggak perubahan
sistem perburuhan khususnya terhadap persoalan pengupahan di Indonesia.
Sebagai akibat dari perubahan kedaulatan pemerintahan di Indonesia dari kolonial
Belanda ke pemerintahan Indonesia dengan berbagai perangkat hukum dan dasar

negaranya sendiri. Dibawah kepemerintahan Indonesia yang baru saja
memerdekakan diri, berbagai Undang-Undang diterbitkan termasuk UndangUndang yang berkaitan terhadap perburuhan, antara lain UU No. 12 Tahun 1948
tentang kerja, UU No. 23 tahun 1948 tentang pengawasan perburuhan, UU No. 21
tahun 1954 tentang perjanjian kerja majikan dan buruh yang didalamnya juga
tertuang tentang sistem pengaturan pengupahan buruh.
Sistem pengupahan buruh di masa kepemimpinan Presiden Soekarno (orde
lama) sebagai Presiden Indonesia pertama. Banyak dipengaruhi oleh berbagai
pendapat dan ajuan serikat-serikat buruh yang memiliki keanggotaan cukup besar
dan sifat perjuangan sejati buruh seperti antara lain : SOBSI (Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia) pada tahun 1946-1966 , GASBRI (Gabungan Serikata
Buruh Revolusioner Indonesia) 1946, dan SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan
Republik Indonesia) pada tahun 1947-1957. Meskipun tidak ada aturan tetap
terkait standart atau batas terendah tentang besaran upah atau bentuk upah buruh,
akan tetapi kehidupan kaum buruh pada saat itu yang bersumber dari upah dan
imbalan lainnya mampu mencukupi kehidupan buruh itu sendiri beserta
keluarganya, dimana para buruh selain diberikan upah dalam bentuk uang oleh
majikan atau pemilik industri, juga disediakan barang kebutuhan sandang, pangan,
dan papan seperti beras, susu, jagung, pakaian, bahkan rumah tempat tinggal
buruh. Pemberian barang sandang, pangan, dan papan tersebut tidak dibatasi dari
jumlah kebutuhan buruhnya. Artinya jika buruh telah berkeluarga, maka

pemberian barangnya harus berdasarkan kepada jumlah keluarga buruh tersebut.
Kondisi ini lah yang menciptakan istilah pemikiran rakyat Indonesia saat ini
bahwa banyak anak, banyak rezeki.

36

Universitas Sumatera Utara

2.1.1

Orde Lama
Pada masa orde lama adalah masa keemasan bagi buruh dimana kebijakan

tentang perburuhan begitu baiknya dikeluarkan. Kebijakan perlindungan terhadap
buruh lahir akibat peran buruh yang begitu masif dalam merebut kemerdekaan.
Peran baru dengan keterlibatannya dalam gerakan Kemerdekaan Nasional, melalui
yang disebut dengan “Lasykar Buruh, Kaum Buruh dan Serikat Buruh Indonesia ”,
aktif dalam perjuangan merebut Kemerdekaan Indonesia. Sumbangan bagi
keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa Revolusi Fisik (1945-1949),
menjamin gerakan buruh tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia

mandapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam pembentukan
kebijakan dan Hukum Perburuhan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah
mengherankan bahwa pada masa Kemerdekaan Indonesia ada beberapa peraturan
Hukum Perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti amat
protektif atau melindungi kaum buruh.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Keselamaatan Ditempat
Kerja diterbitkan oleh pemerintah sementara dibawah Sjahrir, Undang-Undang ini
beralih memberi sinyal beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru
ini, yang mana sebelumya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung
liberal atau dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip “ no work no pay”.
Kemudian menyusul lagi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang
Perlindungan Buruh, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang
Pengawasan

Perburuhan,

Undang-Undang

ini


mencakup

banyak

aspek

perlindungan bagi buruh. Seperti larangan diskriminasi ditempat kerja, ketentuan
40 jam kerja dan 6 hari kerja seminggu, kewajiban perusahaan untuk
menyediakan fasilitas perumahan, larangan mempekerjakan anak dibawah umur
14 tahun, termasuk juga menjamin hak perempuan untuk mengambil cuti haid 2
hari dalam sebulan dan cuti meahirkan 3 bulan. Undang-Undang ini bisa
dikatakan paling maju di Regional Asia pada waktu itu, yang kemudian menjadi
dasar utama kebijakan legislasi Hukum Perburuhan di Indonesia yang prospektif.

37

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang
dinamis, lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian

Perburuhan antara serikat buruh dan majikan yang sungguh amat terasa nuansa
demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang
Tahun 1956 yang meratifikasi konvensi ILO No.98 tentang Hak Berorganisasi
sekaligus menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum.
Kemudian dihasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang memberikan
proteksi yang amat kuat kepada para buruh atau pekerja dengan kewajiban
meminta izin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) untuk
Pemutusan Hubungan Kerja.
Pada jaman Orde Lama upah diberikan dalam dua bentuk yaitu upah
nominal dan tunjangan natura guna menjamin pemenuhan kebutuhan fisik buruh
dan keluarganya berupa beras, ikan asin, minyak goreng, dll. Bahkan dikenal
istilah Catu-11 terdiri dari 11 jenis kebutuhan pokok sehari-hari bagi buruh dan
keluarga yang diberikan oleh perusahaan. Dengan demikian kebutuhan fisik buruh
dan keluarganya dijamin, disamping juga menerima upah dalam bentuk uang
nominal. Sisa-sisa catu 11 tersebut sampai sekarang masih ditemukan di
perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, contohnya: tunjangan beras dan
minyak goreng setiap bulan yang diberikan pengusaha.
2.1.2


Orde Baru
Pada masa Orde Baru merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan

kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan pemerintah
pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru pulalah, telah terjadinya pembelengguan
disegala sektor, dimulai dari sektor hukum/undang-undang, perekonomian/bisnis,
kebebasan informasi/ pers dan lain-lain. Orde Baru memang mewarisi kondisi
ekonomi yang porak poranda. Karena itu, salah satu tugas utama yang diemban

38

Universitas Sumatera Utara

oleh Orde Baru dibawah Komando Soeharto adalah menggerakkan kembali roda
ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor paling penting untuk
menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru. Rezim Soeharto menerapkan
strategi modernisasi difensif (devensive modernisation) dimana penguasa
berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan ekonomis ini, pertimbanganpertimbangan politik yang mendasarinya juga merupakan aspek yang penting

dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru.
Agenda utama rezim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah
mencegah kebangkitan kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal,
seperti gerakan buruh yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde
Baru sejak awal adalah kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis
masa, entah partai politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab
kerapuhan dan kehancuran Orde Lama. Kondisi perburuhan di Indonesia selama
Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model akomodasi diatas.
Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung terus menerus dengan
dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan signifikan sejak dekade 1980
bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan pemerintah harus
mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Peraturan tentang ketenagakerjaan yang
menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
yang kental dengan militerisme. Dalam pelaksanaan Undang undang dalam
periode ini pemerintah bertujuan untuk menekan serikat buruh yang menjadi
wadah aspirasi buruh , begitu juga dalam hal pengupahan. Sehingga ada korelasi
ketika serikat buruh diredam dengan upah yang diterima oleh buruh. Maka tidak
jarang kebijakan pengupahan merugikan buruh atau pekerja.
Sementara dalam kebijakan pengupahannya, orde baru memperkenalkan
skema Kebijakan upah minimum di Indonesia pertama kali pada awal tahun 1970an.

Meskipun sudah memiliki sejarah yang cukup panjang, implementasi dari kebijakan

39

Universitas Sumatera Utara

upah minimum ini tidak begitu tegas pada awal-awal pelaksanaan dan dampaknya
tidak terlalu besar terhadap pasar tenaga kerja36. Dalam penelitiannya Sugiyarto dan
Endriga37 mengatakan dalam periode orde baru tersebut upah minimum ditetapkan
jauh berada dibawah tingkat keseimbangan upah menunjukkan bahwa upah
minimum tidak mengikat bagi sebagian besar pekerja. Lebih lanjut, Sugiyarto dan
Endriga menegaskan bahwa upah minimum di Indonesia relatif tidak dipaksakan
dan digunakan hanya sebagai tujuan yang bersifat simbolis.
Sistem upah minimum kemudian berkembang dan diterapkan oleh rezim
Soeharto tahun 1981 melalui UU No. 08 Tahun 1981 tentang perlindungan upah
buruh. Melalui undang-undang tersebut pengupahan buruh diubah menjadi hanya
dalam bentuk uang yang jumlahnya didasarkan dari kebutuhan hidup buruh secara
lajang. Kondisi kebutuhan hidup buruh menjadi dasar Upah Minimum Regional
(UMR) Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Sejak penerapan sistem pengupahan buruh dalam bentuk upah minimum, maka

kehidupan kaum buruh secara bertahap semakin terperosok ke dalam jurang
kemiskinan dan kemelaratan sebab kenaikan upah buruh hanya berdasarkan
kebutuhan hidup buruh tanpa memperhatikan kenaikan harga barang yang
menjadi kebutuhan hidup buruh. Selain itu, upah minimum merupakan praktek
politik upah murah yang sengaja dipertahankan oleh para pengusaha besar dan
pemerintahan Indonesia yang tunduk kepada kepentingan mereka untuk meraup
keuntungan berlipatganda. Upah minimum buruh menjadi harga minimum
pemakaian tenaga kerja di Indonesia oleh para pengusaha ditengah angka
pengangguran yang begitu besar karena tidak mampu terserap oleh industri yang
jumlahnya terbatas di Indonesia.

36

Martin Rama. 1996. The Cosequences Of Doubling The Minimum Wage. The Case Of Indonesia. World
bank policy research working paper No. 1643. World Bank. Washington D. C. Hal 864
37

Sugiyarto, G. and B. A. Endriga. 2008. Do Minimum Wages Reduce Employment and Training? . Asian
Development Bank Economics and Research Department Working Paper Series No. 113.


40

Universitas Sumatera Utara

Kebijakan upah minimum mulai digunakan sebagai instrument yang penting
bagi kebijakan pasar tenaga kerja oleh pemerintah Indonesia pada akhir tahun
1980an. Hal ini berawal dari adanya

tekanan

internasional sehubungan

dengan pelanggaran terhadap standart kerja Internasional di Indonesia pada saat
itu, secara khusus pada sektor-sektor usaha yang berorientasi ekspor. Secara lebih
spesifik, sebuah perusahaan multinasional terkenal milik Amerika Serikat yang
beroperasi di Indonesia pada waktu itu diprotes oleh sebuah organisasi persatuan
perdagangan Amerika Serikat (AFL-CIO) dan juga oleh beberapa aktivis hak
asasi manusia internasional akibat penetapan upah yang rendah dan kondisi kerja
yang buruk. Dalam kasus ini, tekanan internasional telah memaksakan untuk
terciptanya sebuah klausa sosial yang disebut juga dengan General Scheme
Preferences (GSP) yang mana berisi penolakan atas produk dari negara yang
sedang berkembang, termasuk Indonesia, dimana standar kerjanya masih berada di
bawah standar yang diakui secara internasional38.
Dalam prakteknya, kondisi ini memaksa pemerintah Indonesia untuk mau
tidak mau menjadi lebih perhatian terhadap kebijakan ketenagakerjaan mereka,
termasuk didalamnya kebijakan upah minimum. Hal ini dilakukan dengan cara
menaikkan upah minimum tiga kali lipat secara nominal (atau dua kali lipat
secara riil) pada akhir tahun 1980an agar sejalan dengan biaya Kebutuhan Fisik
Minimum (KFM). KFM sendiri diukur oleh biaya dari paket konsumsi minimum,
termasuk didalamnya makanan, perumahan, pakaian, dan beberapa jenis barang
yang lain untuk pekerja lajang dalam satu bulan.
Adapun Kebutuhan Fisik Minimum seorang pekerja dihitung dari kebutuhan
minimum pekerja untuk kalori, protein, vitamin dan mineral lainnya. Dengan kata
lain KFM adalah kebutuhan minimum pekerja yang dibutuhkan selama satu bulan

38

Gall, G. 1998. The Development of the Indonesian Labour Movement. International Journal of Human
Resources Management, 9(2).

41

Universitas Sumatera Utara

berkaitan dengan kondisi fisiknya dalam melakukan pekerjaan. Secara rinci
kebutuhan fisik minimum pekerja adalah sebagai berikut:
1. KFM untuk Pekerja Lajang, yaitu 2600 kalori per hari.
2. KFM (K-0) untuk Pekerja dengan istri tanpa anak, yaitu 4800 kalori per
hari.
3. KFM (K-1) untuk Pekerja dengan istri dan satu orang anak yaitu 6700
kalori per hari.
4. KFM (K-2) untuk Pekerja dengan istri dan dua orang anak yaitu 8100
kalori per hari.
5. KFM (K-3) untuk Pekerja dengan istri dan tiga orang anak yaitu 10.000
kalori per hari.
Tabel 2.1
Upah Minimum di Berbagai Sektor, 1987-1999 (dalam rupiah)39
Sektor

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1994

1995

1999*

1. Pertanian

46.362

50.266

67.538

100.500

134.470

149.699

240.439

240.439

290.103

2. Pertambangan

145.973

146.081

185.187

218.241

321.750

368.807

487.299

487.299

536.117

3. Industri

98.627

115.701

130.263

171.957

186.086

187.800

206.907

206.907

325.083

4. Listrik

80.608

80.608

94.998

105.751

130.990

150.782

295.514

326.146

398.734

5. Bangunan

96.356

96.236

119.892

221.240

176.338

247.336

172.865

172.865

240.046

6. Perdagangan

159.142

209.313

212.896

227.611

250.343

305.080

326.146

326.146

403.913

7. Perhubungan

115.509

115.509

117.678

133.671

168.800

223.145

466.757

466.757

503.100

8. Jasa

71.597

102.146

112.000

157.585

223.252

234.686

234.683

234.683

289.357

39

Sumber: Prijono. 2003. Kebijakan Upah : Tantangan Di Tengah Suasana Krisis Ekonomi. Jurnal populasi
XIV (1). Bapennas. Hal 10

42

Universitas Sumatera Utara

Dalam kebutuhan pekerja, terdapat dua komponen yang menentukan
tingkat upah minimum, yaitu kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan
hidup minimum (KHM). Berbagai bahan yang ada dalam komponen KFM dan
KHM kemudian dinilai dengan harga yang berlaku sehingga menghasilkan tingkat
upah. Karena harga sangat bervariasi antardaerah, serta adanya situasi-situasi
lokal yang tidak mungkin berlaku secara nasional, maka tingkat upah minimum
tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah atau lebih sering
dikenal dengan upah minimum regional (UMR). Sesuai dengan istilahnya,
penentuan upah minimum didasarkan pada kebutuhan fisik minimum (KFM)
kurang memperhatikan kebutuhan non fisik. Sedangkan penentuan tingkat upah
dengan berpedoman kepada kebutuhan hidup minimum (KHM) memberikan
perhatian yang besar kepada pemenuhan kebutuhan non fisik di samping
kebutuhan fisik. Karena itu, sangat wajar apabila penentuan upah didasarkan pada
kebutuhan hidup minimum (KHM).
Dalam perkembangannya pengukuran KFM sendiri kemudian direvisi
pada 1996 oleh Dewan Pengupahan Nasional dengan membuat sebuah paket
konsumsi yang lebih luas baik secara kualitas maupun kuantitas dan dikenal
dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dalam rangka untuk meningkatkan
standar hidup pekerja. Beberapa komponen juga ditambahkan seperti komponen
pendidikan dan rekreasi. Berdasarkan kebijakan Menteri Tenaga Kerja No
61/1995, KHM diukur oleh paket konsumsi yang detail yang terdiri dari 43 jenis
barang, dimana termasuk didalamnya 11 jenis barang dalam kelompok makanan,
19 jenis dalam kelompok perumahan, 8 jenis dalam kelompok pakaian, 5 jenis
termasuk dalam kelompok yang lain, yang mana meningkat15% sampai 20% lebih
dari KFM dalam rupiah. Perubahan komponen menjadi KHM diselaraskan dengan
munculnya ketentuan upah minimum Permenaker Nomor 03 Tahun 1997 tentang
upah minimum regional yang hanya berlaku selama 2 tahun.

43

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 : Persentase Terpenuhinya KHM dalam UMR Tahun 1996 dan
199740
1996
No.

Daerah

1997
UMR/

UMR
KHM
(Rp)

I

UMR
KHM

KHM
(%)

(Rp)

UMR/
KHM
(%)

UMR > 100% KHM Tahun 1996
D.I. Aceh

1.

111
115500

102950

112

128000

115293

2.

Sumatera Selatan

138000

122060

113

151000

132557

114

3.

Sumatera Barat

108000

104003

104

119000

114372

104

4.

Kalimantan Selatan

114000

108750

105

125000

118338

105

II

UMR > 90-100% KHM Tahun
1996

5.

Riau
- Luar Batam

138000

149422

92

151000

156893

97

- Pulau Batam

200500

223506

99

235000

238950

98

6.

Jambi

108000

102593

90

119500

130180

92

7.

Sumatera Selatan
- Daratan

115500

125696

92

127500

135626

94

- Pulau Bangka Belitung

-

-

-

135500

140625

96

8.

Lampung

114000

125493

91

126000

132395

95

9.

DKI Jakarta

156000

160508

97

172500

173349

100

10.

Jawa Barat
- Wilayah I

156000

155073

101

172500

170348

101

- Wilayah II

142500

148997

96

157500

162258

97

- Wilayah III

132000

136603

97

145500

147941

98

40

Ibid, hal 11

44

Universitas Sumatera Utara

- Wilayah IV

129000

133360

94

139000

142695

97

- Wilayah I

120000

118517

101

132500

130345

102

- Wilayah II

117000

117495

100

127500

128410

99

- Wilayah III

111000

116859

95

121000

125623

96

- Wilayah IV

108000

114238

95

116500

120235

97

- Wilayah V

105000

111023

95

-

-

-

12.

Jawa Tengah

102000

112178

91

113000

123115

92

13.

Bali

127500

128645

99

141500

141381

100

14.

Sulawesi Tenggara

109500

122040

90

121000

130644

93

15.

Bengkulu

115500

123141

94

127500

132377

96

16.

Kalimantan Timur

138000

150664

92

153000

162717

94

17.

Nusa Tenggara Barat

97500

101546

96

108000

108654

99

III

UMR > 90% KHM Tahun 1996

18.

D.I. Yogyakarta

96000

110959

87

106000

119281

89

19.

Kalimantan Barat

114000

129828

88

126500

137618

92

20.

Kalimantan Tengah

124500

160437

78

138000

162202

85

21.

Maluku

123000

160437

85

136000

154259

88

22.

Nusa Tenggara Timur

96000

145527

72

106500

134741

79

23.

Sulawesi Utara

108000

132750

88

118000

126456

93

24.

Sulawesi Selatan

102000

127750

80

112500

129291

87

25.

Sulawesi Tengah

96000

115569

83

106500

123659

86

26.

Irian Jaya

154500

179551

86

170000

193789

88

27.

Timor-Timur

126000

166564

76

138000

171561

80

11.

Jawa Timur

45

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Masa Reformasi Dan Paska Reformasi
Setelah jatuhnya orde baru, Indonesia memulai masa perubahan dengan

lahirnya era reformasi. Di era reformasi terdapat perubahan yang signifikan baik
dari segi ekonomi, politik, dan sosial. Begitu juga halnya dengan kebijakan
perburuhan. Setahap demi setahap ruang yang diberikan kepada buruh untuk
mendapatkan haknya baik itu upah, jam kerja, tunjangan kerja, keselamatan kerja
dsb mulai diperbaharui meskipun pada esensinya tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Kebijakan pengupahan yang muncul pada periode ini yaitu
Permenaker Nomor 01 Tahun 1999 tentang upah minimum menggantikan
permenaker no. 03 Tahun 1997 tentang Upah Minimum Regional yang berlaku
hanya 2 tahun.
Dalam Peraturan ini, Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang
terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap41. Upah minimum terdiri dari
UMR Tingkat 1, UMR Tingkat II, UMSR Tingkat I dan UMSR tingkat II42.
UMR Tingkat 1 dan UMR Tingkat II ditetapkan dengan mempertimbangkan43 :
a. Kebutuhan
b. Indeks harga konsumen(IHK);
c. Kemampuan,perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
d. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah ;
e. Kondisi pasar kerja;
f. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
Sedangkan UMSR Tingkat 1 dan UMSR Tingkat II ditetapkan
berdasarkan faktor pertimbangan diatas tadi ditambah pertimbangan kemampuan
perusahaan secara sektoral44. Penetapan besaran upah minimum dilakukan oleh

41

Pasal 1 ayat 1 Permenakertrans No.1 tahun 1999 Tentang Upah minimum
Pasal 3 Permenakertrans No.1 tahun 1999 Tentang Upah minimum
43
Pasal 6 ayat 1 Permenakertrans No.1 tahun 1999 Tentang Upah minimum
44
Pasal 6 ayat 2 Permenakertrans No.1 tahun 1999 Tentang Upah minimum

42

46

Universitas Sumatera Utara

menteri tenaga kerja45 dan diadakan peninjauan besaran upah minimum selambatlambatnya 2 (dua) tahun sekali. Upah minimum ini hanya berlaku bagi pekerja
yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun46. Peraturan menteri ini
kemudian diperbaiki melalui Kepmenakertrans No : Kep-226/Men/2000 Tentang
Perubahan Pasal-Pasal Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999
Tentang Upah Minimum. Dalam keputusan ini, terjadi perubahan beberapa istilah
yaitu;
1. Upah Minimum Regional tingkat 1 (UMR Tk.1) diubah menjadi Upah
Minimum Propinsi (UMP).
2. Upah Minimum Regional Tingkat II (UMRTk.II) diubah menjadi "Upah
Minimum Kabupaten/Kota.
3. Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat 1(UMSR Tk.I) diubah menjadi
Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMS Propinsi).
4. Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II (UMSR Tk.II)diubah
menjadi

Upah

Minimum

Sektoral

Kabupaten/kota

(UMS

Kabupaten/Kota).
Secara umum tingkat upah minimum di Indonesia ditetapkan pada level
propinsi. Sebelum otonomi daerah pemerintah pusat (dalam hal ini Kementrian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi) menetapkan tingkat upah minimum setiap
propinsi didasarkan pada rekomendasi dari pemerintah daerah (propinsi),
sedangkan setelah otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kebebasan dalam
menentukan tingkat upah minimumnya. Sebelum otonomi daerah, propinsi secara
umum hanya memiliki satu tingkat upah minimum dan berlaku untuk seluruh
wilayah kota/kabupaten, sedangkan setelah otonomi daerah, setiap kota/kabupaten
diberi kebebasan untuk menentukan tingkat upah minimumnya sepanjang tidak
berada di bawah tingkat upah minimum propinsi.
45
46

Pasal 4 ayat 1 Permenakertrans No.1 tahun 1999 Tentang Upah minimum
Pasal 13 ayat 2 Permenakertrans No.1 tahun 1999 Tentang Upah minimum

47

Universitas Sumatera Utara

Sebagai bagian dari perubahan regim politik dari sentralisasi menjadi
desentralisasi, kewenangan penetapan tingkat upah minimum juga dipindahkan
kepada tingkat propinsi dan kota/kabupaten yang mana bekerja sama dengan
komisi upah pada tingkat daerah. Setiap komisi upah terdiri dari perwakilan dari
dinas ketenagakerjaan, pengusaha, perwakilan serikat pekerja dan beberapa
penasehat ahli dari perguruan tinggi. Adapun tujuan utama dari kebijakan
desentralisasi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas ekonomi, efisiensi, dan
persamaan akses terhadap pelayanan publik. SMERU47 juga berpendapat bahwa
desentralisasi kewenangan ke level pemertintahan yang lebih rendah dalam
penetapan UMR juga bertujuan untuk membagi resiko dalam bernegosiasi dengan
serikat pekerja di setiap daerah, seperti misalnya demonstrasi besar ketika upah
minimum naik atau berubah. Lebih lanjut, pemerintah daerah juga dianggap lebih
mengerti tentang masalah dan kondisi ketenagakerjaan daerahnya dibandingkan
pemerintah pusat sehingga desentralisasi adalah mutlak untuk harus dilakukan.
Berdasarkan peraturan pemerintah, pemerintah daerah pada tingkat
propinsi menetapkan upah minimum untuk setiap wilayah daerahnya, sedangkan
kota/kabupaten memiliki pilihan untuk mengikuti atau menetapkan upah minimum
diatas tingkat upah minimum propinsi tetapi tidak berada di bawah upah minimum
propinsi (UMP). Namun pelaksanaannya cukup bervariasi antar propinsi.
Beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Sumatera utara dan banyak propinsi di
luar Jawa tetap menggunakan UMP untuk upah minimum daerahnya. Disisi yang
lain beberapa propinsi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali
memilih untuk memiliki upah minimum pada tingkat kota/kabupaten.
Berdasarkan peraturan pemerintah, dalam menentukan tingkat upah
minimum beberapa komponen pertimbangannya adalah :

47

1.

Biaya Kebutuhan Hidup Minimum (KHM)

2.

Indeks harga konsumen (IHK)

SMERU . 2003. Penerapan Upah Minimum di Jabotabek dan Bandung . Technical Report

48

Universitas Sumatera Utara

3.

Kemampuan, pertumbuhan dan keberlangsungan dari perusahaan

4.

Tingkat upah minimum antar daerah

5.

Kondisi pasar kerja

6.

Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita

Kemudian dalam penetapan upah minimum, pada tahun 2003 diterbitkan
UU No.13 tahun 2003 yang dianggap pemerintah akan mampu memberikan
perlindungan upah bagi buruh, dan disisi lain mampu memberikan ruang bagi
pengusaha agar tetap mampu memberikan upah sesuai dengan kemampuan
perusahaan. Dalam UU ini dikatakan bahwa tujuan dari kebijakan pengupahan
adalah untuk pencapaian kebutuhan hidup layak seorang buruh/pekerja. Sebagai
pelaksanaan Pasal 89 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan maka Penetapan

Komponen kebutuhan hidup minimum

(KHM) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.81
Tahun 1995 tanggal 29 Mei 1995 yang kemudian diubah dan disesuaikan melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak. Dalam peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi Republik Indonesia No.17 Tahun 2005 yang dimaksud dengan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi
oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik,
non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan .

Kemudian diatur tentang pedoman survey harga penetapan nilai
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Menteri
Tenagakerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.17 Tahun 2005 pasal 3 ayat
(5) yaitu melalui tahapan sebagai berikut :


Pembentukan tim oleh Ketua Dewan atau Bupati/Walikota

1. Tim terdiri dari unsur tripartit yang diketuai oleh wakil dari Badan Pusat
Statistik (BPS).

49

Universitas Sumatera Utara

2. Daerah yang telah membentuk Dewan Pengupahan, anggota tim berasal
dari anggota Dewan Pengupahan.
3. Daerah yang belum membentuk Dewan Pengupahan, Bupati/Walikota
membentuk tim yang berunsur Tripartit dengan memperhatikan system
keterwakilan.
4. Jumlah tim ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dengan keanggotaan
masing-masing tim 4 orang yang terdiri dari Pemerintah, Organisasi


Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi 2 : 1 : 1.
Tim menetapkan metode survei

1. Kuisioner : Kuisioner memuat hal-hal yang perlu ditanyakan kepada
responden untuk memperoleh informasi harga barang/jasa sesuai dengan
jenis-jenis kebutuhan dalam komponen KHL.
2. Pemilihan Tempat Survey : Survei harga dilakukan di pasar tradisional
yang menjual barang secara eceran bukan pasar induk atau pasar swalayan
dan sejenisnya.Untuk jenis kebutuhan tertentu, survei harga dapat
dilakukan di tempat lain yang sesuai dengan jenis kebutuhan tersebut.
Beberapa kriteria pasartempat survei harga antara lain: Bangunan fisik
pasar relatif besar – Terletak di daerah kota, komoditas yang dijual
beragam, banyak pembeli,waktu keramaian berbelanja relatif panjang.
3. Survei kebutuhan yang bukan termasuk pangan dan sandang tidak
dilakukan di pasar tradisional sebagai berikut :
-

Listrik : yang disurvei adalah rekening listrik tempat tinggal pekerja
berupa satu kamar sederhana yang memakai daya listrik sebesar 450 watt

-

Air : survei dilakukan di PAM, tarif rumah tangga yang mengkonsumsi air
bersih sebanyak 2.000 liter per bulan.

-

Transport: tarif angkutan kota di daerah yang bersangkutan untuk satu kali
jalan.

-

Harga tiket rekreasi disurvei di tempat rekreasi.

-

Pangkas rambut: di tukang cukur untuk pria dan salon untuk wanita.

50

Universitas Sumatera Utara

-

Sewa kamar: untuk mengetahui harga sewa kamar, diambil tiga sampel
harga sewa kamar dengan lokasi yang berbeda dimana umumnya pekerja



tinggal.
Waktu Survei

1. Survei dilakukan pada minggu pertama setiap bulan.
2. Waktu survei ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpengaruh oleh
fluktuasi harga akibat perubahan kondisi pasar, misalnya antara lain saat


menjelang bulan puasa dan hari raya keagamaan.
Responden

1. Responden yang dipilih adalah:
2. Pedagang yang menjual barang-barang kebutuhan secara eceran.Untuk
jenis-jenis barang tertentu, dimungkinkan memilih responden yang tidak
berlokasi di pasar tradisional seperti meja/kursi, tempat tidur, kasur dan
lain-lain.
3. Penyedia jasa seperti tukang cukur/salon, listrik, air dan angkutan umum.
4. Pemilihan responden perlu memperhatikan kondisi sebagai berikut:
Apakah yang bersangkutan berdagang pada tempat yang tetap/permanen/
tidak berpindah-pindah, apakah yang bersangkutan menjual barang-barang
eceran, apakah yang bersangkutan mudah diwawancarai, jujur dan


responden harus tetap/tidak berganti-ganti.
Metode Survei Harga

Data harga barang dan jasa diperoleh dengan cara menanyakan harga barang
seolah-olah petugas survei akan membeli barang, sehingga dapat diperoleh
harga yang sebenarnya (harus dilakukan tawar menawar). Survei dilakukan
terhadap tiga orang responden tetap yang telah ditentukan sebelumnya.


Pelaporan

Dewan Pengupahan Kabupaten/ Kota atau Bupati/ Walikota menyampaikan
laporan hasil survei berupa form isian KHL kepada Dewan Pengupahan
Propinsi

setiap

bulan.

Dewan

Pengupahan

Propinsi

menyampaikan

51

Universitas Sumatera Utara

rekapitulasi nilai KHL seluruh Kabupaten/Kota di Propinsi yang bersangkutan
kepada Dewan Pengupahan Nasional secara periodik setiap bulan.
Kemudian dalam pasal 2 ayat (2) dilampirkan standar KHL yang terdiri dari :


Makanan & Minuman (11 item)



Sandang (9 item)



Perumahan (19 item)



Pendidikan (1 item)



Kesehatan (3 item)



Transportasi (1 item)



Rekreasi dan Tabungan (2 item)
Tabel 2.3 : Komponen Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Berdasarkan Permenaker No.17 Tahun 200548

No

Komponen

I

MAKANAN DAN MINUMAN

1. Beras Sedang

Kualitas/Kriteria

Jumlah
Kebutuhan

Sedang

10 kg

Sedang

0.75 kg

2. Sumber Protein :

a. Daging

48

Permenakertrans No.17 Tahun 2005 Tentang Komponen hidup layak

52

Universitas Sumatera Utara

b. Ikan Segar

Baik

1.2 kg

c. Telur Ayam

Telur ayam ras

1 kg

3. Kacang-kacangan : tempe/tahu

Baik

4.5 kg

4. Susu bubuk

Sedang

0.9 kg

5. Gula pasir

Sedang

3 kg

6. Minyak goreng

Curah

2 kg

7. Sayuran

Baik

7.2 kg

8. Buah-buahan (setara
pisang/pepaya)

Baik

7.5 kg

9. Karbohidrat lain (setara tepung
terigu)

Sedang

3 kg

10. Teh atau Kopi

Celup/Sachet

4 Dus isi 25 = 75
gr

11. Bumbu-bumbuan

Nilai 1 s/d 10

15%

JUMLAH

II

SANDANG

53

Universitas Sumatera Utara

12. Celana panjang/ Rok

Katun/sedang

6/12 potong

13. Kemeja lengan pendek/blouse

Setara katun

6/12 potong

14. Kaos oblong/ BH

Sedang

6/12 potong

15. Celana dalam

Sedang

6/12 potong

16. Sarung/kain panjang

Sedang

1/12 helai

17. Sepatu

Kulit sintetis

2/12 pasang

18. Sandal jepit

Karet

2/12 pasang

19. Handuk mandi

100cm x 60 cm

2/12 potong

20. Perlengkapan ibadah

Sajadah, mukena

1/12 paket

21. Sewa kamar

Sederhana

1 bulan

22.Dipan/ tempat tidur

No.3 polos

1/48 buah

23. Kasur dan Bantal

Busa

1/48 buah

JUMLAH

III

PERUMAHAN

54

Universitas Sumatera Utara

24. Sprei dan sarung bantal

Katun

2/12 set

25. Meja dan kursi

1 meja/4 kursi

1/48 set

26. Lemari pakaian

Kayu sedang

1/48 buah

27. Sapu

Ijuk sedang

2/12 buah

a. Piring makan

Polos

3/12 buah

b. Gelas minum

Polos

3/12 buah

c. Sendok garpu

Sedang

3/12 pasang

29. Ceret aluminium

Ukuran 25 cm

1/24 buah

30. Wajan aluminium

Ukuran 32 cm

1/24 buah

31. Panci aluminium

Ukuran 32 cm

2/12 buah

32. Sendok masak

Alumunium

1/12 buah

33. Kompor minyak tanah

16 sumbu

1/24 buah

34. Minyak tanah

Eceran

10 liter

28. Perlengkapan makan

55

Universitas Sumatera Utara

IV

35. Ember plastik

Isi 20 liter

2/12 buah

36. Listrik

450 watt

1 bulan

37. Bola lampu pijar/neon

25 watt/15 watt

6/12 (3/12) buah

38. Air Bersih

Standar PAM

2 meter kubik

39. Sabun cuci

Cream/deterjen

1.5 kg

Tabloid/4 band

4 buah/ (1/48)

a. Pasta gigi

80 gram

1 tube

b. Sabun mandi

80 gram

2 buah

c. Sikat gigi

Produk lokal

3/12 buah

d. Shampo

Produk lokal

1 botol 100 ml

PENDIDIKAN

40. Bacaan/radio

JUMLAH

V

KESEHATAN

41. Sarana Kesehatan

56

Universitas Sumatera Utara

e. Pembalut atau alat cukur

Isi 10

1 dus/set

42. Obat anti nyamuk

Bakar

3 dus

43. Potong rambut

Di tukang
cukur/salon

6/12 kali

Angkutan umum

30 hari (PP)

45. Rekreasi

Daerah sekitar

2/12 kali

46. Tabungan

(2% dari nilai 1 s/d
45)

JUMLAH

VI

TRANSPORTASI

44. Transportasi kerja dan lainnya

JUMLAH

VII

REKREASI DAN TABUNGAN

JUMLAH

Mekanisme proses penetapan Upah Minimum berdasarkan standar KHL
pada permenaker no.17 tahun 2005 adalah sebagai berikut :

57

Universitas Sumatera Utara



Ketua Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota membentuk tim
survei yang anggotanya terdiri dari unsur tripartit: perwakilan serikat pekerja,
pengusaha, pemerintah, dan pihak netral dari akademisi.



Berdasarkan Kepmen No. 17 tahun 2005 yang mengatur standar KHL, tim
survei Dewan Pengupahan melakukan survei harga untuk menentukan nilai
harga KHL yang nanti hasilnya akan diserahkan kepada kepala daerah
(Gubernur dan atau Bupati/Walikota) masing-masing.



Survei dilakukan setiap satu bulan sekali dari bulan Januari s/d September ,
sedang untuk bulan Oktober s/d Desember dilakukan prediksi dengan
membuat metode least square. Hasil survei tiap bulan tersebut kemudian
diambil rata-ratanya untuk mendapat nilai KHL.



Nilai KHL ini akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam
penetapan upah minimum yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa
kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Upah bagi pekerja dengan masa kerja 1
(satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja atau serikat
pekerja dengan pengusaha di perusahaan bersangkutan.



Berdasarkan

nilai

harga

survei

itu,

Dewan

Pengupahan

juga

mempertimbangkan faktor lain seperti: produktivitas, pertumbuhan ekonomi,
usaha yang paling tidak mampu, kondisi pasar kerja dan saran/pertimbangan
dari Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota.


Gubernur nantinya akan menetapkan besaran nilai upah minimum. Penetapan
Upah Minimum ini dilakukan 60 hari sebelum tanggal berlakunya yaitu
setiap tanggal 1 Januari.
Akan tetapi dalam pelaksanaanya Permenaker no.17 tahun 2005 tidak

sepenuhnya melindungi buruh terhadap hak normatifnya dimana ketentuan
tentang penetapan upah hanya diperuntukan bagi seorang pekerja/buruh lajang,
artinya disini ada pembatasan untuk buruh yang berkeluarga untuk sejahterah,

58

Universitas Sumatera Utara

karena tidak sepenuhnya dicantumkan kebutuhan hidup layak bagi seorang
buruh/pekerja yang telah berkeluarga. Kemudian salah satu hal yang tidak pernah
berubah adalah standar barang dan jasanya serta kualitasnya sehingga permen 17
thn 2005 sangat jelas mengatakan bahwa buruh Indonesia, tidak boleh
berkeluarga, buruh Indonesia tidak boleh tinggal ditempat yang lebih baik dan
buruh di Indonesia juga tidak boleh memiliki rumah dan lain sebagainya semua
barang dan jasa yang menjadi dasar perhitungan adalah barang dan jasa kelas 3
atau kualitas sedang bawah.
Selain itu dari Survei yang dilakukan salah satu serikat buruh yaitu
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) terdapat beberapa komponen dalam
KHL secara kwalitas justru mengalami penurunan seperti terlihat pada bagan di
bawah ini :
Tabel 2.4 : Perbandingan NilaI Kwalitas dan Kwantitas KHM dengan KHL49

NO

KEPERLUAN

1.

Beras

2.

MUTU

KONSUMSI

MUTU

KONSUMSI

JENIS

SEBULAN

JENISI

SEBULAN

KHM

KHM

KHL

KHL

Kw sedang

12 Kg

Kw sedang

10 Kg

Sumberkarbohidrat Kw sedang

6 Kg

Kw sedang

3 Kg

3.

The

Kw sedang

0,3 Kg

Teh celup

25 Buah

4.

Kopi

Kw sedang

0,5 Kg

4 Bungkus

300 Gram

@75 Gram
5.

Sewa Runah

Type 21

6.

Tempat Tidur

7.
8.

1/12

Kamar

1 Bulan

Nomor 3polos 1/36

Sederhana

1/48

Kasur danBantal

Kain strip

1/24

Busa

1/48

Meja danKursi

KwSedang

1/36

KwSedang

1/48

49

Laporan Survei DPP GSBI tentang kualitas KHL dalam Permenaker No.17 tahun 2005
“http://www.infogsbi.org/2011/12/beberapa-masalah-dalam-permenaker-17.html”

59

Universitas Sumatera Utara

9.

Gelas Minum

KwSedang

10.

Bohlam

Philips

4/12

KwSedang

3/12

30 6/12

25 Watt/15

6/12

Watt / 25

Istilah KHL terlihat secara jelas sisi manipulatifnya. Sebab, upah
minimum sifatnya adalah jaring pengaman yang seharusnya merupakan bentuk
perlindungan dasar kepada buruh, yang upahnya sangat rentan berhadapan dengan
pasar tenaga kerja serta kenaikan rata-rata harga barang dan jasa. Maka,
pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan fisik, non-fisik,
maupun sosial, haruslah dijamin oleh pemerintah sebagai standar kualitas hidup
buruh. Jadi meskipun sudah berdasarkan KHL dalam penetapan upah, namun
secara kualitas tidak mengalami perubahan, dan hal itu sama sekali tidak
membawa perubahan terhadap peningkatan atau perbaikan kesejahteraan kaum
buruh. Ini karena perubahan tersebut tidak menyentuh substansi, tetapi hanya
bersifat formal. Hanya sekedar berubah nama saja. Upah buruh tetaplah
murah. Itu semua terjadi karena rezim yang berkuasa dari dulu hingga sekarang
adalah skema politik upah murah. Perubahan kebijakan di tataran regulasi hanya
untuk memperhalus praktek politik upah murah di Indonesia.
Kemudian dalam survei harga yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari
unsur tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah) di Dewan Pengupahan, tidak
berdasar pada situasi objektif, Sebab, pemilihan atas Waktu dan Tempat survei,
nyatanya memiliki persoalan tersendiri pula. Survei yang menjadi dasar penetapan
nilai KHL, dilakukan pada saat situasi harga dan pasokan masih stabil, yaitu di
sekitar pertengahan tahun. Tetapi, lonjakan kenaikan harga secara umum malahan
terjadi di penghujung tahun (khususnya di 3 bulan terakhir penghujung tahun).
Hal itulah yang menjadi selubung dari dasar alasan mengapa Upah Minimum
Provinsi selambat-lambatnya harus ditetapkan 60 hari sebelum tanggal berlakunya
upah minimum (yaitu setiap tanggal 1 Januari) dan upah minimum

60

Universitas Sumatera Utara

Kota/Kabupaten adalah 40 hari sebelumnya. Penentuan waktu survei itu, secara
gamblang menggambarkan bahwa berapapun kenaikan upah minimum buruh
tentunya akan terlibas dengan laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tahun
berikutnya.
Begitu juga dengan tempat survei yang dipilih di pasar-pasar induk atau
tradisional, yang tentu saja harganya akan jauh lebih rendah dari harga di tingkat
retail, dimana rantai perdagangannya masih pendek. Padahal kenyataannya buruh
selama ini berbelanja barang di toko-toko kelontong serta di warung-warung yang
berada di sekitar perkampungannya! Dimana harganya sudah jauh melambung
disebabkan panjangnya rantai perdagangan. Artinya, dengan dasar komponen
barang survei yang terbatas dan itupun kuantitas serta kualitasnya rendah,
penentuan waktu serta tempat survei semakin menenggelamkan hasil dari nilai
KHL yang akan dicapai.
Tabel 2.5
Upah Minimum Provinsi Tahun 2005-2011 Berdasarkan Permenaker
No.17 tahun 200550
Propinsi

2005
(Rp)

2006
(Rp)

2007
(Rp)

2008
(Rp)

2009
(Rp)

2010
(Rp)

2011
(Rp)

Aceh

620,0

820,0

850,0

1.000,0

1.200,0

1.300,0

1.350,0

Sumatera Utara

600,0

737,8

761,0

822,2

905,0

965,0

1.035,5

Sumatera Barat

540,0

650,0

750,0

800,0

880,0

950,0

1.055,0

Riau

551,5

637,0

710,0

800,0

901,6

1.016,0

1.120,0

Jambi

485,0

563,0

658,0

724,0

800,0

900,0

1.028,0

Sumatera Selatan

503,7

604,0

753,0

743,0

824,7

927,8

1.048,4

Bengkulu

430,0

516,0

644,8

683,5

728,0

780,0

815,0

Lampung

405,0

505,0

555,0

617,0

691,0

767,5

855,0

Bangka Belitung

560,0

640,0

830,0

813,0

850,0

910,0

1.024,0

“Perkembangan Upah Minimum Regional/Propinsi di Seluruh Indonesia 1997-2014 (Dalam Ribuan
Rupiah)” diakses dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1427 pada tanggal 5 Oktober 2016 pada
pukul 3:51 Wib
50

61

Universitas Sumatera Utara

Kepri

557,0

760,0

805,0

833,0

892,0

925,0

975,0

DKI Jakarta

711,8

819,1

816,1

972,6

1.069,9

1.118,0

1.290,0

Jawa Barat

408,3

447,7

447,7

568,2

628,2

671,5

732,0

Jawa Tengah

390,0

450,0

500,0

547,0

575,0

660,0

675,0

DI Yogyakarta

400,0

460,0

460,0

586,0

700,0

745,7

808,0

Jawa Timur

340,0

390,0

448,5

500,0

570,0

630,0

705,0

Banten

585,0

661,6

661,6

837,0

917,5

955,3

1.000,0

Bali

447,5

510,0

622,0

682,7

760,0

829,3

890,0

NTB

475,0

550,0

550,0

730,0

832,5

890,8

950,0

NTT

450,0

550,0

600,0

650,0

725,0

800,0

850,0

Kalimantan Barat

445,2

512,0

560,0

645,0

705,0

741,0

802,5

Kalimantan Tengah

523,7

634,3

666,0

765,9

873,1

986,5

1.134,6

Kalimantan Selatan

536,3

629,0

745,0

825,0

930,0

1.024,5

1.126,0

Kalimantan Timur

600,0

684,0

766,5

815,0

955,0

1.002,0

1.084,0

Sulawesi Utara

600,0

713,5

750,0

845,0

929,5

990,0

1.050,0

Sulawesi Tengah

490,0

575,0

615,0

670,0

720,0

777,5

827,5

Sulawesi Selatan

510,0

612,0

673,2

740,5

905,0

1.000,0

1.100,0

Sulawesi Tenggara

498,6

573,4

640,0

700,0

770,0

860,0

930,0

Gorontalo

435,0

527,0

560,0

600,0

675,0

710,0

762,5

Sulawesi Barat

n.a

612,0

691,5

760,5

909,4

944,2

1.006,0

Maluku

500,0

575,0

635,0

700,0

775,0

840,0

900,0

Maluku Utara

440,0

528,0

660,0

700,0

770,0

847,0

889,4

Papua Barat

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

1.210,0

1.410,0

1.216,0

1.316,5

1.403,0

830,7

908,8

988,8

Papua
700,0
822,5
987,0
1.105,5
RATA-RATA
507,7
602,2
667,9
743,2
INDONESIA
.*n.a = belum menggunakan standart upah minimum

Pada hakikatnya, survei harga barang dan jasa sebagai dasar penetapan
nilai KHL telah mewakili akan inflasi itu sendiri. Tetapi, dengan dasar konsepsi

62

Universitas Sumatera Utara

kebutuhan hidup buruh yang sangat bermasalah (yang katanya “layak” itu),
dimana komponen barang yang di survei sangat terbatas ditambah dengan
kuantitas serta kualitas barang yang rendah, ditambah lagi dengan penentuan
waktu serta tempat survei yang juga bermasalah, tentu saja nilai KHL yang
dihasilkan tidak akan dapat mewakili inflasi yang ada. Itupun, nilai KHL yang
dihasilkan ternyata merupakan salah satu bahan pertimbangan! Sangat bertubitubi dan sistematis upaya untuk menjaga upah minimum buruh agar tetap rendah.
Karena, jangankan upah minimum yang tidak sesuai KHL, yang sesuai KHL
sekalipun sudah rendah dan bermasalah.
Kemudian permenaker no.17 tahun 2005

direvisi untuk penyesuaian

karena dinilai sudah tidak lagi relevan dengan kondisi di lapangan maka di
susunlah permen no 13 tahun 2012 yang esensinya malah lebih buruk daripada
permen no 17 tahun 2005 bisa dilihat dalam permen no 13 tahun 2012 KHL di
artikan sebagai Kebutuhan hidup layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah
standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara
fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Dapat disimpulkan dari pengertian KHL di

tiap permen berbeda secara substansial permenaker no 13 tahun 2012 justru
memangkas kebutuhan buruh, karena tidak lagi ditanggung kebutuhan non
fisiknya dan kebutuhan sosialnya.
KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum merupakan
peningkatan dari kebutuhan hidup minimum (KHM) yang besarnya diperoleh
melalui survei harga. Survei harga dilakukan oleh tim yang terdiri dari unsur
tripartit yang dibentuk oleh ketua dewan pengupahan propinsi dan/atau
kabupaten/kota. Dewan pengupahan propinsi atau kabupaten/kota adalah suatu
lembaga non struktural yang bersifat tripartit, dibentuk oleh Gubernur/Bupati/
Walikota dan bertugas

memberikan saran serta pertimbangan

kepada

Gubernur/Bupati/Walikota dalam penetapan upah minimum.
Secara

sistematis

mekanisme

proses

penetapan

Upah

Minimum

berdasarkan standar komponen hidup layak (KHL) adalah sebagai berikut :

63

Universitas Sumatera Utara



Ketua Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota membentuk
tim survey yang anggotanya terdiri dari unsur tripartit: perwakilan serikat



pekerja, pengusaha, pemerintah, dan pihak netral dari akademisi.
Standar KHL ditetapkan dalam Kepmen No. 13 tahun 2012, berdasarkan
standar tersebut, tim survey Dewan Pengupahan melakukan survey harga
untuk menentukan nilai harga KHL yang nantinya akan diserahkan kepada



Gubernur Provinsi masing-masing.
Survey dilakukan setiap satu bulan sekali dari bulan Januari s/d September
, sedang untuk bulan Oktober s/d Desember dilakukan prediksi dengan
membuat metode least square. Hasil survey tiap bulan tersebut kemudian



diambil rata-ratanya untuk mendapat nilai KHL.
Nilai KHL ini akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan
dalam penetapan upah minimum yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Upah bagi pekerja dengan masa
kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja



atau serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan nilai harga survey tersebut, Dewan Pengupahan juga
mempertimbangkan faktor lain : produktivitas, pertumbuhan ekonomi,
usaha



yang

paling

tidak

mampu,

kondisi

pasar

kerja

dan

saran/pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi, kabupaten/kota.

Gubernur nantinya akan menetapkan besaran nilai upah minimum.
Penetapan Upah Minimum ini dilakukan 60 hari sebelum tanggal
berlakunya yaitu setiap tanggal 1 Januari.
Kemudian dilakukan penyesuaian dengan perkembangan kebutuhan buruh

dengan menambahkan 14 komponen menjadi 60 komponen yakni sebagai berikut :

Tabel 2.6 : Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang

64

Universitas Sumatera Utara

Dalam Sebulan Dengan 3.000 K Kalori Per Hari51
NO

KOMPONEN DAN JENIS
KEBUTUHAN

I.

MAKANAN DAN MINUMAN

KUALITAS/
KRITERIA

1

Beras

2

Sumber Protein :

JUMLAH
KEBUTUH SATUAN
AN

Sedang

10.00

Kg

a. Daging

Sedang

0.75

Kg

b. Ikan Segar

Baik

1.20

Kg

c. Telur ayam

Telur ayam ras

1.00

Kg

Tempe/tahu

Baik

4.50

Kg

4

Susu bubuk

Sedang

0.90

Kg

5

Gula pasir

Sedang

3.00

Kg

6

Minyak goreng

Curah

2.00

Kg

7

Sayuran

Baik

7.20

Kg

8

Buah-buahan (setara pisang/pepaya)

Baik

7.50

Kg

9

Karbohidrat lain (setara tepung terigu)

Sedang

3.00

Kg

3

HARGA
SATUAN

NILAI
SEBULAN

(Rp)

(Rp)

Kacang-kacangan :

10 Teh atau
Kopi
11 Bumbu-bumbuan

Celup
Sachet
(nilai 1 s/d 10)

1.00 Dus isi 25
4.00 75 gr
15.00
%

12 Celana panjang/rok/Pakaian Muslim

katun Sedang

6/12 Potong

13 Celana pendek

katun sedang

2/12

potong

14 Ikat Pinggang

Kulit sintetis,
Polos,
Tidak Branded

1/12

Buah

15 Kemeja lengan pendek/blus

setara katun

6/12 Potong

16 Kaos oblong /BH

Sedang

6/12 Potong

17 Celana dalam

Sedang

6/12 Potong

18 Sarung/kain panjang

Sedang

3/24

19 Sepatu

kulit sintetis

2/12 Pasang

JUMLAH
II.

51

SANDANG

Helai

Permenkertrans no 13 tahun 2012 Tentang Komponen Hidup Layak

65

Universitas Sumatera Utara

20 Kaos Kaki

Katun,Polyester,
Polos, Sedang

4/12 Pasang

a. Semir Sepatu

Sedang

6/12

Buah

b. Sikat Sepatu

Sedang

1/12

Buah

22 Sandal jepit

Karet

2/12 Pasang

23 Handuk mandi

100 cm x 60 cm

1/12 Potong

Sedang
Sedang
Sedang

1/12 Potong
1/12 Potong
1/12 Potong

25 Sewa kamar

dapat menampung
jenis KHL
lainnya

1.00

Bulan

26 Dipan/tempat tidur

No.3, polos

1/48

Buah

a. Kasur Busa

Busa

1/48

Buah

b. Bantal Busa

Busa

2/36

Buah

28 Seprei dan sarung bantal

Katun

2/12

Set

29 Meja dan kursi

1 meja/4 kursi

1/48

Set

30 Lemari pakaian

Kayu Sedang

1/48

Buah

31 Sapu

Ijuk Sedang

2/12

Buah

a. Piring makan

Polos

3/12

Buah

b. Gelas minum

Polos

3/12

Buah

c. Sendok dan garpu

Sedang

3/12 Pasang

33 Ceret almunium

ukuran 25cm

1/24

Buah

34 Wajan almunium

ukuran 32cm

1/24

Buah

35 Panci almunium

ukuran 32cm

2/12

Buah

36 Sendok masak

almunium

1/12

Buah

37 Rice Cooker ukuran 1/2 liter

350 watt

1/48

Buah

SNI

1/24

Buah

21 Perlengkapan pembersih sepatu :

24 Perlengkapan Ibadah :
a. Sajadah
b. Mukenah
c. Peci, dll
JUMLAH
III.

PERUMAHAN

27 Perlengkapan tidur :

32 Perlengkapan makan :

38 Kompor dan Perlengkapannya :
a. Kompor Gas 1 tungku

66

Universitas Sumatera Utara

b. Selang dan regulator

SNI

1/24

Set

c. Tabung Gas 3 kg

Pertamina

1/60

Buah

39 Gas Elpiji

@ 3 kg

2.00 tabung

40 Ember plastik

isi 20 liter

2/12

Buah

41 Gayung Plastik

Sedang

1/12

Buah

4