Orang Orang Kafir di Hari Natal (1)

Orang-Orang Kafir di Hari Natal
Matius 2: 1-12
Kata kafir menjadi burning isu di Indonesia dua bulan belakangan ini.1 Kafir menjadi
predikat yang dikenakan kepada orang kristen. Para pengikut Yesus dianggap melakukan
penyembahan berhala dan tidak bertuhan. Begitu gencar dakwaan kafir bagi para pengikut Yesus
sampai seorang guru besar teologi menulis surat untuk minta waktu menjelaskan kepada para
pendakwa itu bahwa kekristenan sesunggunya bukan agama pagan dan kaum kafir. Apakah
saudara-saudara terganggu dengan cap kafir tadi? Silakan tersinggung dan marah. Tapi jangan
bikin perlawanan. Peristiwa Natal justru merupakan kabar sukacita bagi orang-orang yang
dianggap kafir. Orang Yahudi sangat bangga dengan agamanya dan fanatik dengan pandangan
tentang Allah dalam dogma mereka. Begitu semangatnya mereka sampai mereka mencap orangorang non-yahudi, bangsa-bangsa yang tidak bersunat sebagai kafir. Matius, sebagai anak Yahudi
sekaligus misionaris merasa tidak nyaman dengan cap itu. Ketika menulis kitab Injil dia mulai
dengan membicarakan masalah orang-orang kafir. Ada 3 orang perempuan kafir yang disebutkan
dalam daftar leluhur Yesus. Lalu dalam peristiwa kelahiran Yesus Matius bercerita tentang orangorang majus.
Kisah tentang Orang Majus dari Timur merupakan salah satu fragmen paling indah dan
mengesankan dalam kesaksian Matius mengenai kelahiran Yesus. Agustinus (354-430)
mengatakan bahwa para Majus adalah buah sulung dari bangsa-bangsa non Yahudi. Kaum yang
secara alami dan kodrati tidak memperoleh bagian di dalam keselamatan juga diundang Allah
datang kepada Yesus. Orang Majus adalah buah sulung dari bangsa-bangsa non Yahudi. Jadi
cerita tentang Orang Majus, sebenarnya adalah cerita tentang kita yang bukan Yahudi. Allah
tidak hanya memanggil orang-orang dekatNya, bangsa Yahudi yang diwakili oleh para gembala

untuk hidup dalam perdamaian. Ia juga mengundang mereka yang non-Yahdi, yakni kaum yang
hidup jauh berserak, masing-masing dengan tradisi, cara beribadah, dan jalan hidupnya. Menurut
Matius dalam cerita Natal, Allah justru menaruh perhatian khusus kepada orang-orang kafir.
Orang Yahudi boleh jijik dan meludahi orang-orang kafir, tetapi Allah pencipta langit dan bumi
justru mengulurkan tanganNya untuk merangkul mereka. Dalam kelahiran Yesus Allah
melakukan penyeberangan batas yang ditetapkan oleh bangsa Yahudi dan meruntuhkan tembok
yang dibuat orang Israel untuk memisahkan diri dari orang-orang kafir. Kita tidak perlu marah
dan menjadi pahit dengan cap kafir. Kita haruslah bersyukur karena Allah tidak membuang muka
dari mereka yang dianggap jauh dan asing (Ef. 2:13).
Dalam tradisi Kristen orang-orang majus ini sering disamakan dengan raja-raja dari
Timur. Mereka datang ke Yesusalem untuk mencari raja yang baru lahir. Tetapi yang mereka
temui di sana adalah raja Herodes yang berencana membunuh raja yang baru lahir itu. Dua raja
disatukan dalam cerita tentang raja yang baru lahir. Lalu segera nampak sikap yang berbeda: raja
orang-orang kafir datang untuk menyembah Yesus; sedangkan raja orang-orang beriman hendak
membunuh Yesus. Para majus sebagai wakil dari orang-orang kafir menyambut keselamatan
yang ditawarkan Allah, ahli-ahli kitab Yahudi bersikap dingin. Tidak ada niat pada mereka untuk
bergabung dalam penyembahan. Matius menonjolkan perbedaan ini untuk menangani cap kafir
dari orang Yahudi kepada mereka yang non Yahudi.
Matius mau mengajak orang Yahudi untuk bergabung dalam penyembahan kepada Allah
dengan orang-orang dari bangsa-bangsa asing. Orang asing itu bukan kafir. Matius bercerita

1

Renungan dalam ibadah Malam Natal Jemaat GMIT Koinonia Kuanino, tanggal, 24 Desember 2016.

1

bahwa mereka menyembah Mesias yang dinubuatkan dalam kitab suci agama Yahudi. Kalau
pada waktu kelahiran Musa, raja Mesir dianggap kafir karena memberontak terhadap Allah
dalam kisah kelahiran Yesus Mesir justru tampil sebagai pelindung Yesus raja Israel yang justru
mau dibunuh oleh Herodes raja Israel. Matius juga mau mengajak orang Yahudi melihat bahwa
orang asing yang mereka anggap kafir (para majus) memiliki penglihatan rohani yang tajam
sementara ahli-ahli kitab suci Yahudilah yang bodoh dan buta secara rohani. Mereka yang tiap
hari membaca dan menghafal kitab suci enggan untuk menyembah Yesus sementara orang-orang
kafirlah yang dituntun Allah menuju ke Betlehem dan tidak segan menyembah sang juruselamat.
Dengan tegas Matius menunjukkan hal yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh orang Yahudi,
yakni Allah dapat ditemui di tempat-tempat yang asing, di antara orang-orang kafir dan mereka
yang tidak akrab dengan kitab suci.
Orang-orang yang dianggap kafir, begitu kata Matius melihat pemenuhan janji atau
nubuat dalam PL yang ditulis dalam Yesaya 60:1-7. Yang kafir, menurut Matius justru adalah
orang-orang yang mengaku diri membaca dan mempelajari kitab suci, tetapi tidak ada niat dan

sikap penyembahan kepada Allah. Yang memenuhi hati mereka hanyalah nafsu berkuasa dan
tamak akan pujian dan sanjungan.
Orang-orang kafir itu, kata Matius datang ke Yerualem karena melihat sebuah bintang
yang terbit di Timur. Apakah ini sebuah fakta sejarah, ataukah refleksi teologis saja? Ada
pengaruh dari bintang terhadap sejarah dan hidup manusia di bumi. Majalah-majalah
menyediakan halaman khusus untuk membicarakan pengaruh bintang (zodiak). Tokoh-tokoh
ternama seperti Aleksander Agung, Kaisar Agustus atau para bijak dan filsuf seperti Plato juga
punya bintang. Menjelang kematian Sukarno... begitu gossip yang pernah saya dengar dari
kalangan mistikus Jawa muncul sebuah bintang di langit. Ini bukan hanya keyakinan yang sia-sia
dari orang-orang kafir. Bangsa Israel juga meyakini hal ini nampak dalam kisah Bileam
(Bil.24:17). Hanyalah sebuah kebodohan jika keyakinan akan pengaruh bintang dalam agama
lain dicap kafir, sementara dalam agama sendiri dianggap wahyu ilahi.
Sebuah bintang muncul di Timur. Yohanes Kepler, astrolog dari Austria membuat
kesimpulan berikut. Di sekitar abad ke-7 sebelum Kristus, terjadi pertemuan besar antara dua
bintang: Yupiter dan Saturnus. Yupiter adalah bintangnya raja yang unggul. Saturnus adalah
bintangnya keturunan Yehuda. Pertemuan dua bintang itu membentuk sebuah susunan berbentuk
ikan. Bentuk ikan menandakan akhir dunia. Para bijak di Timur yang tentu saja terus memantau
gejala alam ini menarik kesimpulan berikut: Di akhir jaman (ikan) lahir seorang raja yang sangat
berkuasa (Yupiter). Negeri Yahudi (Saturnus) adalah tempat kelahirannya (LihatLeonardo Boff:
Yesus Kristus Pembebas, 2001:172).

Matius menjadikan peristiwa unik dalam alam sebagai bingkai untuk melayani
pemberitaan tentang Yesus Kristus. Allah juga menggunakan gejala-gejala alam sebagai pelayan
dari perjanjian kasih karuniaNya. Raja-raja itu berangkat. Ke mana lagi kalau bukan ke
Yerusalem. Berjalan menuruti pesan bintang di Timur itu, para majus tiba di Yerusalem. Mereka
tidak salah jalan. Orang majus mengikut jalan yang benar. Tetapi mereka tidak menemukan dia
yang mereka cari. Di Yerusalem barulah mereka tahu bahwa raja orang Yahudi itu lahir di
Betlehem.
Tuhan Allah juga menggunakan kesaksian di luar Alkitab untuk memberitahukan
kehendakNya kepada manusia. Ilmu pengetahuan, filsafat, adat-istiadat, budaya, moral perasaan,
sejarah, alam semuanya menceritakan kemuliaan Allah dan memberitakan pekerjaan
tanganNya.” Tetapi pengetahuan tentang Allah dari sumber non Alkitab, tidak cukup untuk
membawa kita bertemu dengan sang Juruselamat. Orang-orang Majus itu hanya sampai ke
2

Yerusalem. Mereka baru berhasil tiba di Betlehem, “melihat Anak itu bersama Maria ibunya, lalu
sujud menyembah Dia” setelah mendengar apa kata Kitab Suci.
Pengetahuan akan Allah dari alam, dari sejarah, dari ilmu pengetahuan dan dari
pengalaman ada batasnya. Kita hanya akan dibawa sampai ke Yerusalem dan bukan Betlehem.
Kita hanya akan tahu apa itu iman. Ini tentu saja baik. Tahu tentang iman saja tidak membawa
perubahan hidup. Lihatlah sikap orang-orang di Yerusalem: pura-pura saleh, pura-pura percaya.

Hati mereka beku, nurani mereka mati. Yang ada dalam hati mereka hanya kejahatan. Mereka
hanya menjadikan iman sebagai simbol. Agama untuk gengsi! Ayat-ayat suci untuk pertahankan
status quo. Bahkan ayat-ayat bisa dipakai untuk menipu dan membodohi.
Supaya sampai ke Betlehem, “melihat Anak itu bersama Maria ibunya, lalu sujud
menyembah Dia” Alkitab harus dibaca, direnungkan dan dilaksanakan. Anak-anak di kelas
sekolah minggu biasa bernyanyi: “Baca Kitab Suci doa tiap hari kalau mau tumbuh.” Inilah yang
dilakukan orang-orang majus dari Timur. Mereka menjadikan iman sebagai sikap hidup bukan
sekedar simbol kesalehan. Para imam, Ahli Taurat dan Herodes memang membaca kita suci dan
berdoa tiap hari, tetapi mereka tidak menyimpan, merenungkan dan hidup sesuai pesan-pesan itu.
Mereka sudah di Yerusalem, tetapi tidak berhasil sampai ke Betlehem. Jadi siapakah sebenarnya
yang kafir? Matius menolong kita untuk memahami arti kata kafir dari sudut pandangan Allah,
bukan dari sudut pandang ahli-ahli agama.
Hal terakhir tentang orang majus dari Timur adalah persembahan mereka: emas,
kemenyan dan mur. Dalam banyak adegan Natal sering ditampilkan sembah sujud dari para
majus kepada Yesus berlangsung dalam sebuah kandang dan persembahan mereka diletakkan di
sisi palungan. Boleh-boleh saja, tetapi sebenarnya itu kekeliruan. Yang datang ke kandang,
melihat Yesus berbaring di palungan adalah gembala-gembala. Itu cerita kelahiran Yesus versi
Lukas. Sementara menurut Matius Yesus lahir di sebuah rumah di Betlehem (2:11). Jadi kalau
kita mau setia dengan cerita versi Matius, para majus itu tiba di rumah tempat Yesus dilahirkan,
Di situ mereka sujud menyembah dan memberikan persembahan-persembahan.

Menempatkan penyembahan dan persembahan orang Majus di dalam sebuah kandang
bisa berakibat diskriminasi. Ini bisa memperkuat dogma kafir dari bangsa Yahudi, karena para
majus hanya layak disambut dalam sebuah kandang, mereka diperlakukan Allah sebagai warga
kelasi dua. Persembahan mereka, betapa pun gemerlapan wujudnya tetapi hanya cocok disimpan
dalam palungan. Matius menolak dogma itu. Ia berbicara tentang rumah. Ia hendak menegaskan
bahwa orang-orang yang dicap kafir juga dibawa sampai ke rumah oleh Allah. Penyebutan umat
pilihan dan kaum kafir hanyalah pelabelan yang diberikan manusia. Sementara Allah
memperlakukan kaum kafir setara dengan umat pilihan. Lihatlah... bintang dari Timur itu
membawa para majus sampai ke rumah.
Sekarang mengenai persembahan orang-orang majus: emas, kemenyan dan mur. Apa
artinya persembahan ini? Emas adalah pemberian kepada raja. Kemenyan menunjuk kepada
pekerjaan imam. Mur adalah minyak pembalseman untuk menghormati seseorang yang
menjalani kematian secara terhormat. Ah... orang-orang yang dianggap kafir ternyata mengenal
dan mengamini tugas yang diemban Yesus. Mereka bukan hanya tahu; mereka mengamininya.
Selama hidup dan pelayananNya Yesus melakukan pengamatan terhadap praktek
persembahan. Markus 12:41-44 menceritakan bahwa pada suatu kali Yesus duduk menghadapi
peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti
itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin
dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan
berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih

3

banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab
mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya,
semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Lagi-lagi sebuah paradoks. orang yang
memberi dalam jumlah besar tidak dianggap, sementara si janda yang hanya memberi dua peser
justru dipuji-puji. Aneh! lebay… tidak kepo Mengapa begitu?
Persembahan yang benar menurut perspektif kristen bukan sekedar berupa pemberianpemberian melainkan juga pengakuan dan penyerahan diri. Orang bisa saja memberi kepada
Tuhan dan sesama dalam jumlah besar, tetapi tanpa pengakuan dan penyerahan diri. Itu terjadi
pada masa kampanye pilkada atau masa sosialisasi diri para kandidat. Mereka memberi dari
dompet; tidak dari hati. Si penerima tidak perlu dikenal, relasi personal dan akrab sebagai subyek
dengan subyek tidak perlu. Diri si penerima disangkali atau tidak dianggap ada. Pada waktu si
penerima berhadapan dengan kesulitan dan ancaman tidak ada upaya pembelaan atau pun
pendampingan. Sebaliknya, pemberian kita bisa saja sedikit dan tidak mentereng, tetapi disertai
dengan pengakuan dan penyerahan diri. Pemberian yang keluar dari hati tidak hanya sekedar
memberi sesuatu. Hal memperoleh dan mengelolaan persembahan itu juga ikut digumuli.
Kita semua tahu kata Yesus dalam Matius 6:21, ”Karena di mana hartamu berada, di situ
juga hatimu berada.” Memberi secara benar menurut pandangan kristen artinya menyertakan hati
kita dalam pemberian yang dipersembahkan. Si pemberi tidak hanya menyerahkan sejumlah
barang atau jasa. Dia juga membangun hubungan personal. Kalau si penerima berada dalam

ancaman si pemberi akan maksimal melakukan pembelaan atau proteksi. Matius bercerita bahwa
orang-orang Majus dari Timur tidak hanya memberi, mereka juga menyembah Yesus. Dalam
pasal 2:12 dikatakan bahwa waktu pulang ke negerinya, mereka tidak lagi mampir bertemu
Herodes untuk pamit. Mereka kembali melalui jalan lain. Ini sebagai bentuk proteksi,
perlindungan terhadap bayi Yesus dari ancaman pedang dan akal bulus dari Herodes.
Matius menonjolkan pemberian para majus yang dilakukan bersamaan dengan sujudsembah untuk mengingatkan kita bahwa persembahan natal yang diberikan dari hati jauh lebih
berharga dari sekedar pemberian dari dompet dan saku. Karena si pemberi tidak sekedar
menyerahkan barang-barang, hadiah-hadiah, uang, bonus,THR ekstra dan gaji ketigabelas. Ia
juga mengevaluasi asal-usul pemberian itu dan bagaimana hubungan-hubungan yang dibangun
antar pribadi. Temuan itu dijadikan dasar bagi pertobatan, seperti yang dilakukan oleh para
majus: mereka kembali ke negerinya melalui jalan lain. Pengenalan personal akan bayi natal dan
penyembahan terhadap Dia yang mereka tunjukkan menjadi bingkai pembaharuan diri dan
perubahan perilaku. Selamat Hari Natal. Bayi itu menghendaki pemberian dari hati.

4