Majelis Taklim Perempuan Transformasi Ot

MAJELIS TAKLIM PEREMPUAN, TRANSFORMASI OTORITAS, DAN PERUBAHAN SOSIAL DI MASYARAKAT

Women Islamic Prayer Groups, Transformation of Authority, and Social Change in Society

Khaerul Umam Noer 1

Abstrak

Majelis taklim perempuan adalah institusi pendidikan bagi perempuan yang membuka diri tanpa melihat batasan kelas, usia, maupun etnisitas. Majelis taklim perempuan adalah area perebutan kekuasaan, antara kiai, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dan negara di satu sisi, dengan para jamaah dan ustazah di sisi lainnya. Tulisan ini memfokuskan pada bagaimana majelis taklim perempuan berjuang untuk memperoleh kemerdekaannya, mengambilalih otoritas tafsir, dan mendorong perubahan struktur sosial keagamaan di masyarakat. Dengan melihat bagaimana konteks periode tahun 1990an hingga tahun 2004, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana keruntuhan Orde Baru pada tahun 1998 membawa titik balik dalam majelis taklim perempuan. Tulisan ini akan menjawab dua hal penting: Pertama , bagaimana majelis taklim perempuan bergerak untuk memperoleh kebebasannya dari kekuasaan kiai, DKM, dan negara? Kedua , apa implikasi dari gerakan tersebut di masyarakat dan bagaimana gerakan tersebut menjadi pemicu bagi perubahan sosial di masyarakat? Kedua pertanyaan tersebut menjadi sangat krusial dalam melihat bagaimana majelis taklim perempuan mampu bertindak sebagai aktor yang berperan aktif dalam perubahan sosial. Dengan mengambil latar di tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Bekasi, tulisan ini diharapkan akan membuka perspektif baru, bahwa majelis taklim perempuan – yang selama ini terabaikan dalam diskursus ilmu sosial – memiliki peran penting dalam perubahan sosial yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Kata kunci: majelis taklim perempuan, ustazah, kiai, transformasi otoritas, perubahan sosial

Women Islamic prayer groups are educational institutions for women who open themselves regardless of class boundaries, age, or ethnicity. It is the area of struggle, between kiai, Mosques Prosperity Council (DKM) and the state on one side, with the members of women Islamic prayer groups and ustazah on the other. This paper focuses on the struggle of women Islamic prayer groups to gain the independence, to take over the authority of interpretation, and to encourage social changes in society. By looking the context of the period of the 1990s to 2004, this paper will explain how the collapse of the New Order in 1998 brought a turning point in women Islamic

1 Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, pengajar di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan anggota Asosiasi Antropologi Indonesia. Kontak di

umam_noer@yahoo.com.

prayer groups. This paper will answer two important questions: First, how women Islamic prayer groups gain their freedom from the power of kiai, DKM, and the state? Second, what are the implications of their movement in society and how this movement became the trigger for social change? Both of these questions is crucial in seeing how women Islamic prayer groups act as an actor who played an active role in social change. By taking a background in three districts in the Regency of Bekasi, this paper will open up new perspectives, that women Islamic prayer groups - who have been neglected in social science discourse - has an important role in social change.

Keywords: women Islamic prayer groups, ustazah, kiai, tranformation of authority, social change

Pendahuluan

Penelitian mengenai pengajaran dan penafsiran agama Islam di masyarakat seringkali menjustifikasi kiai sebagai sosok satu-satunya yang memiliki hak otoritatif terhadap pengajaran dan penafsiran agama (Burhanudin 2003, Turmudi 2004). Di sisi yang berbeda, pembahasan mengenai sosok tersebut seringkali melupakan persoalan perempuan didalamnya. Perempuan seringkali tidak memiliki peran dalam proses pengajaran dan penafsiran agama Islam di masyarakat (Agustina dan Marcoes-Natsir 2002, Dzuhayatin 2003). Hal ini merupakan simplifikasi atas persoalan yang sesungguhnya terjadi. Dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki satu wadah khusus yang turut membantu dalam proses pengajaran dan pelembagaan agama Islam

di masyarakat, dalam hal ini majelis taklim perempuan 2 (Weix 1998, Arimbi 2004, Noer 2009a, Noer 2009b). Tulisan ini memfokuskan pada pergerakan majelis taklim

perempuan untuk mandiri dari kekuasaan kiai, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), dan negara; bagaimana gerakan tersebut mendorong perubahan sosial di masyarakat, dan menjadikan para ustazah sebagai elite agama baru di masyarakat.

2 Secara etimologis, majelis taklim berarti “lembaga atau organisasi sebagai wadah pengajian”, “sidang pengajian” dan “tempat pengajian” (KBBI, 2005:699). Ensiklopedi Islam (1994 3:120)

mendefinisikan majelis taklim sebagai tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam. Majelis taklim juga dapat didefinisikan sebagai tempat pengajaran dan/atau pengajian bagi orang-orang yang ingin mendalami ajaran agama Islam. Kementerian Agama mendefinisikan majelis taklim sebagai “...salah satu lembaga pendidikan diniyah non formal yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia bagi jemaahnya, serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.” Secara khusus Kementerian Agama (2008:4-5) merumuskan enam fungsi majelis taklim, yaitu: fungsi keagamaan, fungsi pendidikan, fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi seni dan budaya, dan fungsi ketahanan bangsa.

Tulisan ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan mendasar: Pertama , apa yang mendorong majelis taklim perempuan bergerak? Bagaimana majelis taklim perempuan bergerak untuk memperoleh kebebasannya dari kekuasaan kiai, DKM, dan negara? Kedua , apa implikasi dari gerakan tersebut di masyarakat? Bagaimana gerakan tersebut menjadi motor bagi perubahan sosial di masyarakat? Hal ini krusial untuk dilakukan, mengingat belum ada penelitian yang secara signifikan memberikan gambaran yang utuh mengenai dinamika majelis taklim perempuan dan bagaimana majelis taklim perempuan – melalui para ustazah – menjadi motor penggerak perubahan sosial di masyarakat.

Secara khusus perlu dijelaskan, bahwa tulisan ini akan difokuskan pada periode tahun 1990an hingga tahun 2004. Pembagian waktu tersebut ke dalam tiga periode: 1990an-1994 sebagai periode awal bibit perubahan, 1994-1998 sebagai periode interaksi dan negosiasi, dan periode 1998-2004 sebagai periode gesekan dan perubahan struktur sosial. Sebagaimana akan dijelaskan, periode 1994 sampai 2004 adalah masa masa-masa penting dalam masyarakat tempat penelitian ini dilakukan, karena majelis taklim perempuan berhasil keluar dari cengekeraman kiai, musala dan/atau DKM, dan negara di satu sisi; serta mendorong perubahan sosial dan sukses menempatkan para ustazah dalam struktur sosial di masyarakat di sisi lainnya.

Penelitian ini dilakukan pada Mei 2008 hingga Mei 2009, dan mengambil lokasi di 21 majelis taklim perempuan yang tersebar di tiga kecamatan di Kabupaten Bekasi, yakni Babelan, Tarumajaya, dan Tambun Utara. Penelitian ini mempergunakan metode etnografi, dengan melakukan wawancara pada 38 informan yang terdiri atas pimpinan majelis taklim, pimpinan musala dan/atau DKM, pendiri Rusydatul Ummah, kiai dan ustazah yang terlibat dalam majelis taklim. Wawancara difokuskan pada upaya rekonstruksi historis majelis taklim, utamanya pada periode 1990an hingga tahun 2004. Terkait dengan organisasi Rusydatul Ummah, peneliti melakukan kajian dokumentasi acara maupun dokumen pendukung lainnya. Selain itu, mengingat penelitian ini akan bersinggungan dengan berbagai teks rujukan, maka peneliti juga melakukan tinjauan teks dengan membaca berbagai kitab yang dipergunakan dalam majelis taklim.

Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian: bagian pertama merupakan bibit perubahan, terletak pada era 1990an hingga tahun 1994, ketika para ustazah mulai muncul dalam peta sosial keagamaan dan ketika pemerintah mulai menginvasi majelis taklim perempuan untuk mendorong program-programnya. Bagian kedua adalah masa negosiasi, yakni pada tahun 1994-1998, dimulai dengan kelahiran organisasi Rusydatul Ummah, sebuah organisasi yang mewadahi tidak kurang dari dua ratus majelis taklim perempuan, dan bagaimana para ustazah mempergunakan Rusydatul Ummah untuk melakukan negosiasi terhadap – saya menyebutnya sebagai – triumvirat kekuasaan: kiai, musala dan/atau DKM, dan pemerintah. Bagian ketiga adalah perubahan sosial, yakni pada tahun 1998-2004, difokuskan pada bagaimana runtuhnya Orde Baru berdampak pada lepasnya majelis taklim perempuan dari cengkeraman kiai dan dewan kemakmuran masjid, dan bagaimana implikasinya dalam perubahan sosial di masyarakat.

Menyemai bibit perubahan: kemunculan para ustazah

Sulit untuk menyatakan dengan pasti sejak kapan perubahan sosial di masyarakat yang menjadi fokus penelitian berlangsung, namun saya dapat memulai pada dua peristiwa yang terjadi pada medio 1990an, yaitu kemunculan para perempuan terdidik dalam peta sosial keagamaan di masyarakat – merekalah para ustazah, dan kebijakan pemerintah untuk menggalakkan program Pembinaan Keluarga Berencana atau PKK. Kedua peristiwa tersebut adalah dua sisi dari koin yang sama, di mana keduanya bermuara pada satu hal yang sama: majelis taklim perempuan.

Kemunculan para ustazah dalam peta sosial keagamaan tidak dapat dipisahkan dari berdirinya Madrasah Albaqiyatussalihat pada tahun 1964. 3 Ketika angkatan awal

dari madrasah ini lulus pada tahun 1970, KH. Noer Alie memerintahkan para alumninya untuk melanjutkan pendidikan mereka di universitas Islam, khususnya di Timur Tengah. Medio 1980an, adalah masa ketika para alumni ini menamatkan

3 Madrasah ini adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh KH. Noer Alie yang dikhususkan untuk mendidik anak perempuan, yang pada tahun 1986 berganti nama menjadi Pondok Pesantren

Attaqwa Putri hingga saat ini (Noer 2014).

pendidikan mereka dan kembali ke masyarakat. Kehadiran para alumni dari menamatkan pendidikan mereka, baik di Timur Tengah maupun di dalam negeri, membuka awal perubahan: karena Madrasah Albaqiyatussalihat jelas tidak mungkin menampung mereka seluruhnya sebagai tenaga pengajar, maka KH. Noer Alie memutuskan untuk menempatkan mereka di majelis taklim prempuan dan menjadikan majelis taklim perempuan menjadi majelis taklim yang mandiri.

Pada awalnya hanya satu majelis taklim perempuan di wilayah Ujungharapan, yakni majelis taklim yang dilaksanakan di Masjid Albaqiyatussalihat setiap hari minggu, sedangkan di luar itu majelis taklim dilaksanakan secara bersama-sama. Meskipun dikatakan terbuka untuk laki-laki dan perempuan, namun jamaah yang lebih banyak adalah jamaah laki-laki, karena pada waktu itu majelis taklim dilaksanakan setelah salat zuhur di berbagai musala yang ada di wilayah ini. Melihat adanya kebutuhan untuk menyelenggarakan kegiatan majelis taklim khusus bagi perempuan, maka dimulailah pemisahan dengan penjadwalan waktu taklim yang berbeda, majelis taklim bagi kaum ibu pada siang hari, sedangkan majelis taklim bagi kaum bapak pada malam hari. Persoalan mengenai siapa yang mengajar juga terselesaikan, yakni dengan meminta para alumni yang tidak terserap di Madrasah Albaqiyatussalihat untuk mengajar di majelis taklim perempuan yang ada di setiap musala.

Keputusan untuk memisahkan kegiatan taklim bagi laki-laki dan perempuan membawa efek lanjutan, yakni dengan munculnya elite agama baru di masyarakat. Jika sebelumnya hanya dikenal kiai dan ustaz – yang memang merujuk pada jenis kelamin laki-laki, maka lahirlah ustazah. Kelahiran para ustazah sebagai elite agama baru di masyarakat berhutang besar pada KH. Noer Alie yang tidak hanya memfasilitasi, namun juga mendorong keberadaan mereka. Meskipun demikian, ada dua hal krusial yang pada saat itu belum dimiliki oleh para ustazah: hak untuk memutuskan materi yang akan diajarkan dan hak untuk memutuskan kitab apa yang akan dipergunakan. Kedua domain ini masih dipegang sepenuhnya oleh KH. Noer Alie melalui Dewan Masjid Attaqwa.

Di sisi yang berbeda, dalam kurun waktu yang bersamaan, terdapat satu peristiwa lain yang juga muncul: kepentingan negara untuk membentuk citra Di sisi yang berbeda, dalam kurun waktu yang bersamaan, terdapat satu peristiwa lain yang juga muncul: kepentingan negara untuk membentuk citra

tersebut. 4 Majelis taklim perempuan yang tersebar di seluruh musala menjadikan majelis

taklim perempuan sebagai medium paling ideal dalam mendekati perempuan, dan hal ini disadari betul oleh perangkat desa. Instrumentasi negara atas majelis taklim perempuan menjadi sangat krusial untuk dilakukan, utamanya untuk menyebarkan program-program PKK di masyarakat, dan untuk melakukan hal itu, maka pihak pertama yang harus didekati adalah Dewan Masjid Attaqwa (DMA) yang membawahi seluruh musala yang ada di Ujungharapan. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tahun 1991 adalah titik balik, ketika Bupati Bekasi meminta kesediaan dari DMA untuk mensukseskan program-program pemerintah di masyarakat dengan memanfaatkan jaringan musala dan majelis taklim yang ada dibawahnya, dan hal ini dilakukan dengan munculnya instruksi DMA kepada seluruh musala dan majelis

4 Salah satu karakteristik unik dari masyarakat di Ujungharapan – hingga saat ini – adalah tidak berfungsinya lembaga RT/RW. Masyarakat akan bingung jika ditanyakan alamat RT/RW, namun

mereka akan langsung paham jika yang disebut adalah nama musala. Keberadaan musala menjadi elemen penting untuk mengidentifikasikan tempat tinggal mereka. Di sisi lain, keberadaan musala menjadi penting sebab setiap musala yang ada di wilayah Ujungharapan, dapat dipastikan memiliki majelis taklim, baik majelis taklim laki-laki maupun majelis taklim perempuan. Keberadaan majelis taklim menjadi krusial tidak hanya karena ada di setiap musala, namun juga pada karakteristik utama majelis taklim perempuan: keanggotaan. Memang tidak ada data resmi berapa jumlah jamaah majelis taklim, utamanya pada dekade 1990an, namun saya dapat memberikan gambaran singkat bahwa pada tahun 1991 terdapat 36 musala di Ujungharapan, dengan demikian terdapat 36 majelis taklim perempuan. Jika setiap majelis taklim memiliki 50 orang jamaah, maka setidaknya terdapat 1800 orang jamaah, dan itu hampir dua pertiga dari jumlah perempuan dewasa yang ada di Ujungharapan pada saat itu (Noer 2009a). Kondisi ini dimungkinkan karena majelis taklim perempuan adalah satu-satunya lembaga pendidikan non formal yang membuka kesempatan bagi setiap perempuan untuk dapat aktif belajar di majelis taklim.

taklim untuk mendukung program pemerintah, utamanya di bidang keluarga berencana dan PKK (Noer 2009a).

Persoalan ini menarik, sebab meskipun pada tahun 1991 hampir semua majelis taklim perempuan sudah diajar oleh para ustazah, namun tidak ada satupun di antara para ustazah itu yang memegang peran kunci dalam majelis taklim, utamanya dalam penentuan bahan ajar maupun kegiatan taklim. Di sisi lain, hingga tahun 1994, tidak ada majelis taklim perempuan yang betul-betul mandiri secara organisasi dan pendanaan. Seluruh majelis taklim perempuan masih sangat bergantung pada musala, dan seluruh keputusan pimpinan musala menjadi keputusan yang harus dipatuhi oleh majelis taklim perempuan. Akibatnya, kondisi ini mempermudah instrumentasi negara atas majelis taklim perempuan. Pada akhir tahun 1991, DMA mengeluarkan edaran yang menginstruksikan seluruh musala untuk melakukan perubahan bahan ajar dan materi ajar di majelis taklim perempuan, dari sebelumnya dibebaskan tanpa pengawasan, yaitu: Pertama , seluruh materi ajar di majelis taklim perempuan menjadi seragam yakni hanya pada masalah ibadah dan tauhid. Kedua , dipergunakannya kitab

Uqudul Lujayn 5 sebagai satu-satunya kitab yang membahas mengenai kehidupan berumahtangga.

Setidaknya terdapat tiga implikasi serius dari keputusan DMA, yaitu: Pertama , keputusan DMA untuk hanya memfokuskan pada masalah ibadah dan

tauhid berimplikasi dengan tidak diajarkan materi-materi tafsir Al Quran, hadis, dan fikih (hukum Islam) yang berada di luar domain ibadah. Kedua , karena hanya kitab

Uqudul Lujayn yang dirujuk ketika membahas mengenai relasi suami-istri dalam rumahtangga, maka seluruh bahan di luar itu tidak boleh diajarkan. Ketiga , dan ini lebih krusial, keputusan itu membuat majelis taklim perempuan secara langsung menjadi bagian dari corong negara dalam pelaksanaan program-program yang berkaitan dengan perempuan. Majelis taklim perempuan menjadi medium bagi pemerintah untuk mendukung program-program, mulai dari Keluarga Berencana hingga konstruksi atas perempuan ideal dalam versi pemerintah. Gambaran ini

5 Uqudul lujayn fi bayani huququ zaujain (2000), adalah kitab karya Muhammad bin `Umar an Nawawi (w. 1897) yang membahas mengenai relasi antara suami dan istri dalam rumah tangga. Kitab

ini mendapat banyak kritik karena dianggap sangat bias gender, jika tidak mau dikatakan misoginis, dalam isinya. Kitab ini banyak mendapat kritik, salah satunya adalah Forum Kajian Kitab Kuning (FK-3, 2005).

semakin diperkuat dengan dipergunakannya kitab yang mendukung penggambaran perempuan sebagai istri salehah yang selalu patuh pada perintah suami dan ibu yang baik bagi anak-anaknya.

Resistensi muncul di kalangan majelis taklim, utamanya dengan dihapuskannya materi tafsir, hadis dan fikih, yang hanya difokuskan pada masalah ibadah dan tauhid, juga dengan dipergunakannya kitab Uqudul Lujayn sebagai rujukan utama dalam materi akhlak, namun resistensi ini terbentur pada satu persoalan mendasar, bahwa majelis taklim perempuan terikat sepenuhnya pada musala dan DMA. Konsekuensi logis dari hal ini adalah ketidakmampuan majelis taklim perempuan untuk melakukan negosiasi dengan pihak musala dan DMA, terutama dengan dipergunakannya majelis taklim perempuan sebagai alat kampanye negara dalam menginformasikan dan mengimplementasikan program-programnya. Penguasaan majelis taklim perempuan oleh negara yang dilakukan melalui tangan DMA merupakan bibit awal dari sebuah perubahan besar yang mengubah peta sosial keagamaan masyarakat, dan bibit itu mencapai momentumnya pada tahun 1994 dengan berdirinya Rusydatul Ummah.

Negosiasi: Rusydatul Ummah, ustazah, dan DKM

Pada Februari 1994, Korps Ikatan Keluarga Abituren Attaqwa Putri (KORIKAAWATI) mengadakan seminar dakwah bagi para lulusannya yang merupakan ustazah di berbagai majelis taklim. Salah satu persoalan yang menjadi titik utama pembicaraan adalah keresahan dari berbagai majelis taklim perempuan, di mana mereka bertindak sebagai guru dalam majelis taklim tersebut, akan tekanan dari DMA dan DKM tempat majelis taklim perempuan bernaung untuk mengubah total materi ajar dalam bidang fikih, terutama dengan dihilangkannya pembahasan mengenai fikih mawaris (hukum waris Islam). Keresahan ini merupakan titik kulminasi dari kebijakan DMA – untuk wilayah Ujungharapan – dan DKM di berbagai tempat yang mengikuti kebijakan pemerintah, yang kebijakan tersebut berdampak langsung pada pengajaran di majelis taklim perempuan. Dari pertemuan tersebut sebuah keputusan besar diambil: menggabungkan seluruh majelis taklim ke dalam satu organisasi induk: Rusydatul Ummah.

Rusydatul Ummah atau Forum Komunikasi Dakwah Antarmajelis Taklim adalah organisasi yang menaungi seluruh majelis taklim perempuan di wilayah Kabupaten Bekasi (Babelan, Tarumajaya, Bekasi Utara, Tambun Utara, Cikarang), Kota Bekasi dan Jakarta Timur. Pada saat berdirinya pada tahun 1994, tercatat tidak kurang dari 264 majelis taklim yang bernaung di bawah Rusydatul Ummah. Meski dalam rumusannya Rusydatul Ummah bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan peran majelis taklim perempuan di masyarakat, namun salah satu faktor yang paling krusial tidak lepas dari keresahan dan kekecewaan para ustazah terkait dengan pengambilalihan majelis taklim perempuan oleh DKM dan DMA tempat berbagai majelis taklim perempuan bernaung. Dengan berdirinya Rusydatul Ummah sebagai organisasi induk, maka seluruh majelis taklim perempuan yang semula terpencar- pencar berkumpul menjadi satu.

Kemunculan Rusydatul Ummah sebagai organisasi induk membawa perubahan dalam peta relasi antara majelis taklim perempuan dan DKM/DMA, salah satunya adalah dua instruksi Rusydatul Ummah kepada seluruh anggota majelis taklim perempuan – dalam peringatan milad satu tahun Rusydatul Ummah pada peringatan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad di Pondok Pesantren Attaqwa Putri pada tahun 1995 – untuk mandiri secara organisasi dan ekonomi. Kemandirian organisasi majelis taklim perempuan menjadi titik awal perubahan di majelis taklim perempuan. Ketika instruksi ini dimunculkan, baru sebagian majelis taklim perempuan yang dipimpin oleh perempuan, sedangkan sebagian lainnya masih dipegang oleh pimpinan musala atau ketua DKM. Instruksi ini ditanggapi beragam oleh majelis taklim perempuan, khususnya yang masih dipimpin oleh pimpinan musala atau ketua DKM, mengingat sebagian dari majelis taklim perempuan masih sangat bergantung pada musala dan/atau DKM, sehingga keputusan untuk menentukan siapa yang menjadi pimpinan majelis taklim perempuan masih menjadi domain dari pimpinan musala dan/atau ketua DKM.

Salah satu solusi untuk memecah kebuntuan ini terletak pada instruksi kedua: kemandirian ekonomi majelis taklim perempuan. Persoalan keuangan memang menjadi persoalan krusial yang membelit majelis taklim perempuan, karena selama ini majelis taklim perempuan sangat bergantung pada DKM tempat mereka bernaung.

Hal ini tidak lepas dari keberadaan majelis taklim perempuan yang memang mengambil tempat di masjid dan/atau musala dan mempergunakan fasilitas yang telah ada, sehingga keuangan di majelis taklim perempuan praktis hanya untuk kegiatan taklim, bahkan beberapa majelis taklim perempuan menggantungkan sepenuhnya keuangannya dari kas DKM untuk biaya taklim. Menyadari bahwa posisi rentan majelis taklim perempuan terletak pada keuangan, maka Rusydatul Ummah mendorong seluruh anggotanya untuk mandiri secara ekonomi dengan cara menggalakkan pengumpulan infak anggotanya untuk keperluan taklim masing- masing.

Selama ini dana untuk penyelenggaraan taklim tidak pernah dipertimbangkan secara serius, sebab kegiatan majelis taklim perempuan dapat dipastikan mempergunakan fasilitas masjid atau musala dan seluruh acaranya diisi oleh jamaah taklim – kecuali ustazah, sehingga biaya untuk menyelenggarakan taklim praktis hanya untuk honorarium ustazah yang bersangkutan. Di sisi yang berbeda, sebagian besar musala tempat majelis taklim perempuan bernaung memang melarang bagi taklim untuk mengumpulkan dan mengatur keuangan internal, sebab secara organisasi, majelis taklim perempuan berada di bawa struktur musala. Instruksi ini ditanggapi dengan serius oleh majelis taklim perempuan, sebab hal ini akan membuka jalan bagi majelis taklim perempuan untuk mengatur rumahtangganya sendiri dan terlepas dari ketergantungan dengan masjid atau musala.

Terdapat dua implikasi penting dari terkumpulnya infak ini, yaitu: Pertama , untuk kali pertama majelis taklim perempuan menikmati kebebasan untuk mengatur uang yang mereka miliki. Kedua , dengan adanya uang kas internal taklim, maka majelis taklim tidak perlu lagi bergantung pada kas musala dan/atau DKM, sehingga mereka dapat mengajukan pimpinan taklimnya sendiri. Poin kedua lebih krusial bagi majelis taklim perempuan, sebab hal ini merupakan awal dari negosiasi antara majelis taklim perempuan dengan pihak musala dan/atau DKM, di mana gejala ini muncul dan berlangsung di hampir semua majelis taklim perempuan di bawah Rusydatul Ummah. Dalam hal ini, tentu saja pihak yang paling berperan ketika berhadapan musala dan/atau DKM adalah para ustazah yang menjadi pengajar di majelis taklim tersebut. Argumen utama dari keinginan majelis taklim perempuan untuk mandiri Terdapat dua implikasi penting dari terkumpulnya infak ini, yaitu: Pertama , untuk kali pertama majelis taklim perempuan menikmati kebebasan untuk mengatur uang yang mereka miliki. Kedua , dengan adanya uang kas internal taklim, maka majelis taklim tidak perlu lagi bergantung pada kas musala dan/atau DKM, sehingga mereka dapat mengajukan pimpinan taklimnya sendiri. Poin kedua lebih krusial bagi majelis taklim perempuan, sebab hal ini merupakan awal dari negosiasi antara majelis taklim perempuan dengan pihak musala dan/atau DKM, di mana gejala ini muncul dan berlangsung di hampir semua majelis taklim perempuan di bawah Rusydatul Ummah. Dalam hal ini, tentu saja pihak yang paling berperan ketika berhadapan musala dan/atau DKM adalah para ustazah yang menjadi pengajar di majelis taklim tersebut. Argumen utama dari keinginan majelis taklim perempuan untuk mandiri

Setelah sukses memisahkan kekuasaan musala dan/atau DKM dari majelis taklim perempuan, dan dengan kemandirian ekonomi yang dimiliki majelis taklim perempuan, pada ulang tahun ketiga Rusydatul Ummah tahun 1997, Rusydatul Ummah kembali mengeluarkan seruannya: mendirikan majelis taklim yang terpisah dari musala dan/atau masjid. Seruan ini boleh jadi seruan yang memicu pergerakan besar-besaran dari majelis taklim perempuan. Jika sebelumnya majelis taklim perempuan sepenuhnya bergantung pada musala dan/atau DKM, kemudian secara perlahan-lahan mencapai kemandirian secara ekonomi yang berimplikasi pada suksesnya memisahkan kekuasaan musala dan/atau DKM dari majelis taklim, maka seruan mendirikan tempat khusus untuk kegiatan majelis taklim perempuan menjadi penanda utama dari kemandirian majelis taklim perempuan.

Tempat taklim bukan hanya sekedar tempat untuk melaksanakan kegiatan majelis taklim, namun menjadi titik balik dari hubungan antara majelis taklim perempuan dan para ustazah di satu sisi dengan pimpinan musala dan/atau DKM di sisi lain. Dengan berdirinya tempat taklim yang terpisah dari musala dan masjid, meski masih dalam komplek yang sama, maka majelis taklim perempuan menunjukkan bahwa mereka memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri ketika berhubungan dengan pimpinan musala dan/atau DKM. Hal ini menarik, sebab gerak majelis taklim perempuan berbeda dengan majelis taklim laki-laki. Jika majelis taklim perempuan menuntut pemisahan tempat taklim dari bangunan musala atau masjid, majelis taklim laki-laki justru memilih untuk menyelenggarakan kegiatan taklim di dalam musala atau di rumah penduduk. Bangunan tempat taklim sepenuhnya menjadi milik bagi majelis taklim perempuan.

Periode negosiasi ini merupakan titik balik dari hubungan antara majelis taklim perempuan dengan musala dan/atau DKM. Periode ini ditandai dengan adanya pergeseran pola kekuasaan, dari sepenuhnya dipegang oleh musala dan/atau DKM menuju kemandirian penuh. Majelis taklim perempuan perlahan memiliki posisi dalam negosiasi dengan musala dan/atau DKM. Pada dasarnya, terdapat enam hal Periode negosiasi ini merupakan titik balik dari hubungan antara majelis taklim perempuan dengan musala dan/atau DKM. Periode ini ditandai dengan adanya pergeseran pola kekuasaan, dari sepenuhnya dipegang oleh musala dan/atau DKM menuju kemandirian penuh. Majelis taklim perempuan perlahan memiliki posisi dalam negosiasi dengan musala dan/atau DKM. Pada dasarnya, terdapat enam hal

Di antara enam poin negosiasi antara majelis taklim perempuan dan ketua musala dan/atau DKM, poin pertama dan kedua adalah persoalan yang paling krusial. Seluruh informan penelitian misalnya, menggambarkan bagaimana resistensi ketua musala dan/atau DKM terkait dua poin di atas, yakni pada pemilihan ustazah dan materi taklim. Dalam perspektif ketua musala dan/atau DKM, sebagaimana telah terjadi bertahun lampau, pemilihan ustazah dan materi taklim adalah otoritas mereka sepenuhnya, sehingga permohonan majelis taklim perempuan untuk mengangkat ustazah adalah permintaan yang di luar kewenangan mereka. Dari perspektif majelis taklim perempuan, permintaan untuk mengangkat ustazah dan menentukan materi taklim adalah hal yang wajar karena secara faktual merekalah yang belajar, sehingga mereka menganggap diri mereka lebih tahu apa yang mereka butuhkan.

Negosiasi ini menghasilkan keputusan yang menarik. Dari dua belas majelis taklim yang menjadi subjek penelitian, seluruhnya menghasilkan kesepakatan yang sama: pembagian waktu belajar di taklim. Pembagian waktu belajar di majelis taklim perempuan adalah hal yang menarik, sebab pada saat itu, umumnya kegiatan majelis taklim perempuan dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Dengan pembagian waktu taklim, alih-alih mengurangi kegiatan taklim, justru kegiatan taklim semakin sering dilakukan, yakni setiap seminggu sekali. Pengaturannya sederhana: majelis taklim tetap menerima ustaz/ustazah yang ditunjuk – dengan materi yang ditentukan – oleh ketua musala dan/atau DKM untuk mengajar mereka di minggu pertama dan ketiga, sedangkan mereka belajar dengan ustazah dan materi yang mereka tentukan sendiri pada minggu kedua dan keempat. Dengan demikian, setiap majelis taklim secara otomatis memiliki dua orang pengajar dengan dua materi ajar.

Solusi ini semakin menarik, sebab secara tidak langsung mendorong para jamaah untuk semakin intens bertemu setiap minggunya, dan intensitas ini juga berpengaruh pada mobilisasi infak yang dikumpulkan oleh pimpinan majelis taklim. Hal ini agaknya terlambat disadari oleh para ketua musala dan/atau DKM, terutama dengan semakin banyaknya kegiatan keagamaan di luar kegiatan rutin taklim yang tidak lagi bergantung pada kas musala dan/atau DKM. Perlahan majelis taklim perempuan memiliki kas yang terpisah, yang seringkali – sebagaimana diakui oleh para pimpinan taklim dan ketua musala – lebih besar dari kas musala dan/atau masjid. Persoalan lain yang juga tidak dipertimbangkan dari keputusan untuk membagi waktu taklim adalah kesulitan bagi para ketua musala dan/atau DKM untuk melaksanakan instruksi dari pihak DMA dan pemerintah untuk mengendalikan majelis taklim perempuan.

Jika sebelumnya majelis taklim perempuan sepenuhnya berada di bawah kendali musala dan/atau DKM, baik secara finansial maupun otoritas pengajaran, maka dengan semakin mandirinya majelis taklim perempuan, maka semakin sulit bagi musala dan/atau DKM untuk melakukan pengawasan terhadap majelis taklim perempuan. Konsekuensi lanjutannya adalah kesulitan yang dihadapi untuk melakukan instrumentasi majelis taklim perempuan untuk kepentingan negara. Hal ini dikarenakan majelis taklim perempuan memiliki dua waktu pengajaran, di mana salah satunya adalah kewenangan internal majelis taklim sebagai akibat dari negosiasi mereka, sehingga hanya pada waktu taklim di mana mereka belajar dengan guru dan materi yang telah ditentukan oleh ketua musala dan/atau DKM saja majelis taklim perempuan tunduk pada kemauan ketua musala dan/atau DKM, sedangkan pada waktu lainnya mereka menolak untuk tunduk karena sesuai dengan kesepakatan, bahwa majelis taklim perempuan memiliki otonomi tersendiri. Kompleksitas masalah yang muncul menjadikan majelis taklim perempuan seringkali berperan ganda dengan berdiri di dua sisi yang berbeda. Di satu sisi mereka tunduk pada aturan musala dan/atau DKM, namun di sisi yang lain mereka otonom karena berhak untuk mengatur rumahtangganya sendiri. Di satu sisi mereka menjadi sangat patuh pada keberadaan negara dalam majelis taklim perempuan, dengan pengajaran materi yang Jika sebelumnya majelis taklim perempuan sepenuhnya berada di bawah kendali musala dan/atau DKM, baik secara finansial maupun otoritas pengajaran, maka dengan semakin mandirinya majelis taklim perempuan, maka semakin sulit bagi musala dan/atau DKM untuk melakukan pengawasan terhadap majelis taklim perempuan. Konsekuensi lanjutannya adalah kesulitan yang dihadapi untuk melakukan instrumentasi majelis taklim perempuan untuk kepentingan negara. Hal ini dikarenakan majelis taklim perempuan memiliki dua waktu pengajaran, di mana salah satunya adalah kewenangan internal majelis taklim sebagai akibat dari negosiasi mereka, sehingga hanya pada waktu taklim di mana mereka belajar dengan guru dan materi yang telah ditentukan oleh ketua musala dan/atau DKM saja majelis taklim perempuan tunduk pada kemauan ketua musala dan/atau DKM, sedangkan pada waktu lainnya mereka menolak untuk tunduk karena sesuai dengan kesepakatan, bahwa majelis taklim perempuan memiliki otonomi tersendiri. Kompleksitas masalah yang muncul menjadikan majelis taklim perempuan seringkali berperan ganda dengan berdiri di dua sisi yang berbeda. Di satu sisi mereka tunduk pada aturan musala dan/atau DKM, namun di sisi yang lain mereka otonom karena berhak untuk mengatur rumahtangganya sendiri. Di satu sisi mereka menjadi sangat patuh pada keberadaan negara dalam majelis taklim perempuan, dengan pengajaran materi yang

Dinamika majelis taklim perempuan sejatinya membawa satu implikasi serius yang tidak pernah dipertimbangkan oleh ketua musala dan/atau DKM ketika memberikan hak bagi majelis taklim perempuan untuk mengatur rumahtangganya sendiri, yaitu semakin kuatnya posisi ustazah dalam majelis taklim perempuan. Peran dan posisi ustazah tidak pernah sekuat saat ini jika majelis taklim perempuan masih belum memiliki otonominya yang dimulai dengan pemisahan kekuasaan antara majelis taklim perempuan dan pimpinan musala dan/atau DKM. Adalah fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa gerak majelis taklim perempuan turut pula membuka ruang gerak bagi ustazah. Dalam hal ini, antara ustazah dan majelis taklim perempuan seperti dua sisi dari koin yang sama. Satu sama lain saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Majelis taklim perempuan membutuhkan ustazah untuk memberikan pengetahuan bagi mereka, pengetahuan yang sebelumnya dikekang sepenuhnya oleh negara melalui kekuasaan ketua musala dan/atau DKM. Sedangkan ustazah membutuhkan majelis taklim perempuan untuk memperoleh posisi mereka dalam peta sosial keagamaan di masyarakat. Hubungan ini semakin menguat ketika dua peristiwa terjadi di tahun 1998, yaitu jatuhnya Soeharto dan seruan untuk memisahkan diri dari musala dan/atau DKM.

Keruntuhan dominasi negara dan kebangkitan majelis taklim perempuan

Hingga medio 1998, hubungan antara ustazah dan majelis taklim perempuan di satu sisi dengan kiai, negara dan ketua musala dan/atau DKM di sisi lainnya selalu dalam pergulatan, utamanya pada upaya kemandirian majelis taklim perempuan dalam mengatur internal rumahtangga majelis taklim. Upaya ini selalu mengalami kendala karena tekanan dari pihak musala dan/atau DKM untuk menjadikan majelis taklim perempuan selalu berada di bawah koordinasi mereka. Hal ini mudah dipahami, sebab ketua musala pun berada di bawah tekanan pihak DMA, dan baik pihak DMA dan DKM berada dalam pengawasan dan kendali negara. Pengaturan ini berada pada dua domain dasar, materi yang akan diajarkan dan penafsiran ajaran agama Islam.

Dalam hal ini, penting untuk memahami bagaimana hubungan simbiotik antara pemerintah dan kiai (serta DKM atau DMA). Pemerintah membutuhkan pengaruh kiai untuk mengontrol sepenuhnya apa yang diajarkan dalam majelis taklim, terutama majelis taklim perempuan, dalam hal ini pemerintah menjadikan majelis taklim perempuan sebagai medium instrumentasi dalam menyebarluaskan dan mensukseskan program-program pemerintah, utamanya program Keluarga Berencana dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga yang tidak mungkin dijalankan oleh RT/RW. Sebagai timbal-balik, maka pemerintah memberikan posisi-posisi tertentu dalam Majelis Ulama Indonesia tingkat Kabupaten/Kota sekaligus memberikan jaminan bahwa seluruh program DKM dan DMA akan selalu didukung oleh pemerintah. Hubungan simbiotik ini mempersyaratkan satu hal, yaitu bahwa majelis taklim perempuan harus selalu berada di bawah kendali dan pengawasan musala dan/atau DKM.

Kendali ini pernah mengalami guncangan dengan lahirnya organisasi Rusydatul Ummah pada tahun 1994 dan negosiasi yang seakan tanpa akhir hingga medio 1998, namun guncangan tersebut tidaklah membuat majelis taklim perempuan terbebas sepenuhnya dari kendali dan pengawasan musala dan/atau DKM. Adalah turunnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan Presiden RI pada Mei 1998 yang mengubah peta sosial keagamaan di masyarakat. Gelombang pertama dari keruntuhan Orde Baru langsung terasa hingga di tingkat supra desa, terutama dengan mandegnya berbagai program pemerintah di tingkat kecamatan. Gelombang ini berdampak pada tingkat desa, di mana pada saat itu hampir semua aparatus negara di tingkat desa mengalami kemandegan. Kekhawatiran penggantian tampuk kepemimpinan di tingkat Kabupaten/Kota menyebabkan kekhawatiran yang sama menyebar hingga tingkat desa. Di beberapa wilayah, kekhawatiran ini terbukti dengan dicopotnya beberapa camat dan kepala desa di desa-desa tetangga menyebabkan hampir seluruh aktivitas pemerintahan desa lumpuh. Meski kelumpuhan tidak terjadi di desa-desa tempat penelitian ini dilakukan, namun tidak pelak hal ini membuat roda pemerintahan di tingkat desa terganggu.

Salah satu efek yang paling terasa adalah mandegnya peran negara di tingkat pemerintah desa, dan hal ini berdampak pada berhentinya pengawasan dan kendali Salah satu efek yang paling terasa adalah mandegnya peran negara di tingkat pemerintah desa, dan hal ini berdampak pada berhentinya pengawasan dan kendali

Di sisi yang berbeda, keruntuhan Orde Baru tidak hanya menyebabkan gelombang di tingkat pemerintah desa, namun juga pada masjid-masjid dan juga para organisasi-organisasi keagamaan, termasuk majelis taklim. Jika selama ini pemerintah daerah sering mengalokasikan bantuan dana untuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan, baik yang bersifat rutin maupun aksidental – meski jumlahnya tidak besar – namun rupanya cukup menolong keberlangsungan dari masjid dan/atau musala. Pasca Mei 1998, seluruh bantuan tersebut praktis tidak dapat lagi dinikmati. Jika sebelumnya kebutuhan musala dan/atau masjid dapat tertutupi melalui bantuan- bantuan, maka pihak musala dan/atau masjid harus menggantungkan sepenuhnya pada upaya swadaya agar seluruh kegiatan dapat berjalan. Dalam hal ini, majelis taklim perempuan adalah sasaran tembak yang paling memungkinkan.

Pada saat itu majelis taklim perempuan telah menikmati kemandirian finansial, sebab mereka sukses mengumpulkan dana infak yang dikumpulkan setiap minggunya. Menarik untuk melihat bagaimana keruntuhan penguasa Orde Baru dan aparatusnya berdampak pada titik balik hubungan antara majelis taklim perempuan dan pihak musala dan/atau DKM. Jika sebelumnya majelis taklim perempuan sepenuhnya disubsidi dari kas musala dan/atau DKM, maka dengan berhentinya “dukungan” pemerintah pada masjid dan musala justru menjadikan majelis taklim

perempuan mengambilalih peran sebagai donatur bagi musala dan/atau DKM. Majelis taklim perempuan mendadak berperan sebagai bendahara tidak resmi dari musala dan/atau DKM untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan musala dan/atau DKM, perempuan mengambilalih peran sebagai donatur bagi musala dan/atau DKM. Majelis taklim perempuan mendadak berperan sebagai bendahara tidak resmi dari musala dan/atau DKM untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan musala dan/atau DKM,

Pergeseran peran ini dinikmati betul oleh majelis taklim perempuan, dan hal ini diakui sepenuhnya oleh para ustazah maupun para pimpinan majelis taklim perempuan, yang menggambarkan masa- masa tersebut sebagai masa ketika “babu berubah menjadi majikan” (Noer 2008:148). Peran majelis taklim perempuan sebagai bendahara musala dan/atau DKM semakin menguat dan mencapai momentumnya pada perayaan Milad keempat Rusydatul Ummah yang jatuh pada 14 Nopember 1998. Dalam milad tersebut, Rusydatul Ummah sukses membuktikan bahwa seluruh pendanaan berasal dari swadaya ibu-ibu majelis taklim tanpa sepeserpun bantuan dari pemerintah. Isu inilah yang kemudian bergulir kencang sepanjang acara tersebut, bahwa majelis taklim perempuan harus memanfaatkan momentum kelemahan musala dan/atau DKM dengan menjadikan majelis taklim perempuan sebagai organisasi otonom yang berhak untuk mengatur diri mereka sendiri dalam segala aspeknya.

Seruan ini merupakan titik balik terpenting dalam relasi kuasa antara majelis taklim perempuan dan para ustazah di satu sisi, dengan pihak DKM dan kiai di sisi lainnya. Jika sebelumnya ada tangan pemerintah di sana yang mengatur bagaimana gerak dan laju majelis taklim perempuan, maka dengan runtuhnya dominasi pemerintah, maka majelis taklim perempuan menuntut apa yang selama ini mereka inginkan, yaitu penolakan untuk belajar materi-materi yang selama ini “diwajibkan” oleh negara. Selama ini majelis taklim perempuan “dipaksa” untuk mempelajari materi-materi seperti akhlak dalam rumahtangga, rukun Islam dan rukun iman, maupun sifat-sifat Allah. Materi-materi yang nyaris tidak menyentuh persoalan perempuan yang mereka rasakan setiap hari. Materi-materi seperti fikih (kecuali fikih ibadah), tafsir dan hadis pada awalnya tidak dapat dipelajari, namun setelah proses negosiasi dapat diajarkan, itupun ditentukan materi dasarnya oleh pihak musala dan/atau DKM. Dengan posisi yang semakin kuat di hadapan musala dan/atau DKM, majelis taklim perempuan menuntut kemerdekaan untuk menentukan sendiri apa yang akan mereka pelajari dan dengan siapa mereka akan belajar.

Tuntutan ini juga menjadi salah satu seruan terpenting dalam acara milad tersebut, di mana dalam berbagai ceramah oleh para ustazah, majelis taklim Tuntutan ini juga menjadi salah satu seruan terpenting dalam acara milad tersebut, di mana dalam berbagai ceramah oleh para ustazah, majelis taklim

Gesekan ini dimulai dari terlemparnya para ustaz dari majelis taklim perempuan. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa salah satu hasil negosiasi antara majelis taklim perempuan dengan pihak musala dan/atau DKM adalah pembagian waktu taklim, di mana majelis taklim perempuan akan mempelajari dua materi dari dua guru yang berbeda. Satu materi dan guru adalah pilihan dari pihak musala dan/atau DKM, sedangkan satu materi dan guru lainnya adalah pilihan dari internal majelis taklim perempuan sendiri. Hal ini berlangsung ketika majelis taklim perempuan masih berada di bawah dominasi dari pihak musala dan/atau DKM, namun dengan berubahnya posisi tersebut, maka majelis taklim perempuan mulai melakukan perubahan dalam pengajaran, mereka menolak untuk diajar oleh para ustaz. Tuntutan ini menarik, sebab alasan mereka bukan karena mereka tidak mengakui keilmuan ustaz yang mengajar, melainkan karena mereka beranggapan bahwa keberadaan ustaz dalam struktur pengajaran di majelis taklim perempuan adalah bentuk subordinasi dari pihak musala dan/atau DKM. Ustaz dipandang sebagai aparatus dan perpanjangantangan dari musala dan/atau DKM, sehingga penolakan terhadap ustaz merupakan langkah awal perlawanan terhadap kekuasaan musala dan/atau DKM.

Hal menarik lainnya, bahwa gesekan ini berlangsung tidak hanya pada majelis taklim perempuan yang menjadi fokus penelitian, namun merata di seluruh majelis taklim perempuan yang bernaung di bawah organisasi Rusydatul Ummah. Di titik inilah sesuatu yang menarik terjadi, bahwa para ustaz memang terlempar dari majelis taklim perempuan, namun mereka tetap dipertahankan oleh pihak musala dan/atau DKM. Posisi mereka justru menguat di majelis taklim laki-laki. Kondisi ini menyebabkan munculnya dua entitas pengajian: majelis taklim perempuan yang diajarkan oleh para ustazah dan majelis taklim laki-laki yang diajarkan oleh para Hal menarik lainnya, bahwa gesekan ini berlangsung tidak hanya pada majelis taklim perempuan yang menjadi fokus penelitian, namun merata di seluruh majelis taklim perempuan yang bernaung di bawah organisasi Rusydatul Ummah. Di titik inilah sesuatu yang menarik terjadi, bahwa para ustaz memang terlempar dari majelis taklim perempuan, namun mereka tetap dipertahankan oleh pihak musala dan/atau DKM. Posisi mereka justru menguat di majelis taklim laki-laki. Kondisi ini menyebabkan munculnya dua entitas pengajian: majelis taklim perempuan yang diajarkan oleh para ustazah dan majelis taklim laki-laki yang diajarkan oleh para

yang tidak pernah ada sebelumnya. Majelis taklim perempuan menjadi satu-satunya wadah yang mengikat seluruh perempuan kedalamnya, dan majelis taklim perempuan semakin menguat seiring dengan semakin mapannya mereka dalam mengatur rumahtangga mereka sendiri.

Merebut kuasa tafsir: Perempuan dan perubahan sosial

Semakin kuatnya majelis taklim perempuan membawa tiga implikasi penting yang menyebabkan berubahnya struktur sosial keagamaan di masyarakat, yaitu: Pertama , hilangnya posisi kiai di majelis taklim perempuan; kedua , pengambilalihan otoritas pengajaran dan penafsiran ajaran agama dari para kiai dan ustaz ke tangan ustazah; dan ketiga , semakin mapannya posisi ustazah dengan menjadikan diri mereka sebagai elite agama baru di masyarakat. Ketiga konsekuensi ini muncul dan saling terkait satu dengan lainnya, dan mencapai momentumnya pada milad kesepuluh Rusydatul Ummah pada tahun 2004.

Adalah penting untuk mengingat, bahwa tiga pilar dasar yang selama ini menghimpit majelis taklim perempuan: kiai, musala dan/atau DKM, dan negara mengalami guncangan hebat pasca 1998. Guncangan ini dimulai dari runtuhnya kuasa negara yang merasuk pada instrumentasi kiai dan musala dan/atau DKM untuk kepentingan negara. Meski demikian, masih terdapat dua kaki lainnya, kiai dan musala dan/atau DKM, namun sayangnya, satu kaki utama – yakni musala dan/atau DKM pun mengalami keterpurukan. Di tengah keterpurukan musala dan/atau DKM dalam mengelola keuangan yang berdampak pada semakin merdekanya majelis taklim perempuan dari kendali dan pengawasan mereka, mendorong perubahan besar- besaran dalam struktur sosial keagamaan di masyarakat.

Konsekuensi dari otonomi majelis taklim perempuan secara penuh menyebabkan fragmentasi besar-besaran, dalam hal ini masyarakat seakan terbelah menjadi dua bagian berdasarkan jenis kelamin mereka. Masing-masing memperkuat diri berdasarkan basis loyalitas dari jamaahnya. Namun majelis taklim perempuan Konsekuensi dari otonomi majelis taklim perempuan secara penuh menyebabkan fragmentasi besar-besaran, dalam hal ini masyarakat seakan terbelah menjadi dua bagian berdasarkan jenis kelamin mereka. Masing-masing memperkuat diri berdasarkan basis loyalitas dari jamaahnya. Namun majelis taklim perempuan

kiai di majelis taklim perempuan. 6 Salah satu efek terbesar dari kemandirian majelis taklim perempuan terhadap