Adat Istiadat Kampung Naga seni di

Adat Istiadat Kampung Naga
Kampung Naga merupakan kampung adat yang menjadi salah satu tempat wisata. Dan pastinya ada
beberapa hal yang unik di kampung wisata ini, salah satunya ialah keunikan dalam adat istiadat mereka.
Di antaranya seperti upacara-upacara adat yang dilakukan, hal-hal yang ditabukan, tempat-tempat yang
ditabukan, adat terhadap waktu sampai religi dan sistem kepercayaan.

Upacara-Upacara Adat yang Dilakukan
Upacara-upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga ialah :
1. Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu.
Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa
kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing
orang, karena pada dasarnya merupakan usaha untuk menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan adat istiadat. Warga Kampung Naga sangat patuh terhadap aturan adat. Selain
karena penghormatan kepada leluhurnya, juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar
dikhawatirkan akan menimbulkan malapetaka.
2.

Hajat Sasih

persiapan upacara adat

Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Kampung Naga, baik yang bertempat
tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah
untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta
menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada
warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
1. Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
2. Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
3. Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18

4. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
5. Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan
dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat
dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama Islam dapat dijalankan secara
harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya para
peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri
dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka
berwudhu di tempat itu juga, kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan

menuju masjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk kedalam sembari
menganggukkan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda
penghormatan dan merendahkan diri, karena masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Kemudian
masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi
tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh atau tetua kampung, selesai mandi kemudian berwudhu dan
mengenakan pakaian upacara, mereka tidak menuju ke masjid melainkan ke Bumi Ageng. Di Bumi
Ageng ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap
kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam.
Para peserta yang berada di dalam masjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu.
Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang
makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan
kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam, selain kuncen tidak ada yang boleh masuk ke dalam. Adapun Lebe dan
Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen, kemudian keluar lagi dan tinggal
bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin )
kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam.
Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia
mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah
membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing

berdoa dalam hati untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta.
Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan
diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri
kuncen dengan cara berjalan merangkak. Setelah bersalaman, para peserta keluar dari makam, diikuti oleh

punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" masjid. Sebelum disimpan, sapu
lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan
di Bumi Ageng.
Acara selanjutnya diadakan di masjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam
masjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi.
Kemudian ia memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan
meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan
air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya
lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi.
Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta
upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara, dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi
tumpeng ini ada yang langsung dimakan di masjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan
bersama keluarga mereka.
3. Perkawinan

Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah
selesainya akad nikah. Adapun tahap-tahap upacara tersebut antara lain ialah upacara sawer, nincak endog
(menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan
munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran,
tepat di muka pintu. Mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. Panyawer
mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. Ketika melantunkan syair sawer,
penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin.
Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. Isi syair sawer
berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer, acara kemudian dilanjutkan dengan upacara nincak endog. Endog (telur)
disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan
mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam
rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu.
Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing
pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam
'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum
Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan.
Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara

yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua

mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di
depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil
membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. Kedua mempelai bersujud sungkem
kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih
kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka (para tamu). Masing-masing
mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit,
ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya,
baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima
kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua
mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan
akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan
rumah tangga mereka.

Hal-Hal yang Ditabukan
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh,

khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.
Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan
dipatuhi oleh setiap warga Kampung Naga. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah
rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu.
Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau
papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah
Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh
dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu
membuat rumah tembok atau gedong.
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah
tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat
Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu
belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang
sejajar dalam satu garis lurus.

bentuk rumah masyarakat Kampung Naga
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan
pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan
kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan

leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk
kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh
kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian
wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah
Kampung Naga.
Adapun pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari selasa, rabu, dan sabtu. Masyarakat
kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga. Masyarakat
Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat
Kampung Naga. Sementara itu, di tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat
Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna (di Tasik) berdekatan
dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.
Warga Kampung Naga tidak mengenal alat musik kecuali Angklung dan Sejak. Mereka juga tidak
mengenal alat-alat musik lain seperti gitar, biola, piano, drum, suling, pianika, dsb. Meskipun begitu,
mereka suka mendengar musik melalui radio. Musik kesukaan mereka adalah musik dangdut.
Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung
Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan
Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat
Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi
semua keturunannya.
Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak

seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi
secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib

tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai
makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga.
Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati, seperti Pangeran
Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai
pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju,
Kabupaten Tasikmalaya, yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau
disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya,
menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram
Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati
Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.

Tempat yang ditabukan oleh masyarakat Kampung Naga yaitu
Selanjutnya, ada beberapa tempat yang ditabukan oleh masyarakat Kampung Naga, antara lain :

hutan larangan seberangan Sungai Ciwulan
1. Hutan Larangan : tempat ini ditabukan untuk dijaga kelestariannya. Disana juga terdapat makam
para leluhur Kampung Naga yang sangat dihormati jasa-jasanya sewaktu beliau masih hidup. Di

samping itu, para tamu atau wisatawan dari luar Kampung Naga tidak boleh masuk dan
mengambil photo di dalamnya, karena itu sudah menjadi peraturan yang dibuat oleh para warga
Kampung Naga. Hanya ”juru kunci” lah yang dapat masuk ketempat itu dengan melakukan ritual
khusus dengan berpakaian baju putih.
2. Hutan Lindung : kurang lebih sama seperti Hutan Larangan, Hutan ini di jaga kelestariannya. Para
turis asing dan lokal juga tidak boleh memasuki area hutan lindung, karena berfungsi untuk
menjaga kelestarian sumber daya alam dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan warga
Kampung Naga. Dan warga setempat pun tidak di perbolehkan untuk menebang pohon secara liar,
karena dapat mengganggu keseimbangan ekosistem alam.
3. Bumi Ageng : merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga. Pada tahun 1956,
tempat ini dibakar oleh DI/II. Kemudian tempat ini dibangun kembali. Sekarang tempat itu adalah

duplikatnya dan sekarang ditempati oleh seorang warga perempuan berumur 74 tahun (data tahun
2009). Selain itu, penduduk pun dilarang untuk mendekati dan masuk ke rumah tersebut,
terkecuali untuk para kuncen, dimana enam tahun sekali mengunjungi tempat tersebut. Fungsi dari
Bumi Ageng adalah sebagai tempat untuk pembuatan makanan yang ditujukan apabila pak kuncen
mau pergi mengunjungi makam yang ada di hutan larangan. Hal ini merupakan syarat utama
dalam acara ritual yang dilakukan pak kuncen di makam tersebut. Para tamu juga tidak
diperkenankan untuk mengambil photo dari jarak dekat, mereka harus mengambil gambarnya dari
jarak kurang lebih lima belas meter (15 m).

4. Sungai Ciwulan : untuk para turis lokal maupun asing tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam
sungai tersebut, karena mereka tidak tahu seluk- beluk tempat mana saja yang dalam atau
dangkal. Di tambah terdapat palung di dasar sungai tersebut. Jadi untuk mengantisipasi terjadi halhal yang tidak di inginkan seperti terbawa arus atau tenggelam, mereka tidak boleh mendekati area
perairan sungai.

Adat terhadap Waktu
Di samping memiliki tempat yang ditabukan, masyarakat Kampung Naga juga memiliki adat yang khas,
yaitu kepercayaan terhadap waktu. Hal ini terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut
palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk. Pantangan atau tabu
untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan,
hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan
jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Ramadhan. Pada bulan-bulan tersebut, dilarang atau tabu
mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan
menentukan hari baik didasarkan kepada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang
tercantum dibawah ini :
BULAN

HARI

TANGGAL


Muharam

Sabtu-Minggu

11,14

Sapar

Sabtu-Minggu

1,20

Maulud

Sabtu-Minggu

1,15

Silih Mulud

Senin-Selasa

10,14

Jumalid Awal

Senin-Selasa

10,20

Jumalid Akhir

Senin-Selasa

10,14

Rajab

Rabu-Kamis

12,13

Rewah

Rabu-Kamis

19,20

Puasa/Ramadhan

Rabu-Kamis

9,11

Syawal

Jum'at

10,11

Hapit

Jum'at

2,12

Rayagung

Jum'at

6,20

Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut, dilarang atau tabu untuk menyelenggarakan pesta atau
upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan dengan
hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk
memulai suatu pekerjaan, seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain,
perhitungannya juga didasarkan kepada hari-hari sial atau nahas yang terdapat pada setiap bulannya.

Religi dan Sistem Kepercayaan
Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat
lainnya mereka juga sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya
walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, namun syariat Islam yang mereka jalankan agak
berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga, dalam menjalankan
agamanya harus seperti patuh terhadap warisan nenek moyang. Pengajaran mengaji bagi anak-anak
dikampung Naga dilaksanakan pada malam senin dan malam kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua
dilaksanakan pada malam jumat. Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung
Naga sama dengan Lebaran dan Idul Adha.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan
nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari
ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sebagai sesuatu
yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga, berarti sama saja
melanggar adat dan tidak menghormati karuhun. Sehingga hal ini dipercaya pasti akan menimbulkan
malapetaka.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada makhluk halus masih dipegang kuat. Percaya
adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam
"leuwi". Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang menganggu atau menakut-nakuti manusia
pada malam hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan
hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan
tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga
disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah
Eyang Singaparna, Bumi Ageng dan Masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat
Kampung Naga.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan
bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan
tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas
sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan

selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat
antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh
kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk
halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka
menyimpan "sasajen" (sesaji).