Mengkaji Filsafat Penciptaan manusia men

Mengkaji Filsafat Penciptaan manusia menurut al-Qur’an
A. PENDAHULUAN
Adanya

pengaruh

paradigma

manusia

modren

yang

memperangkap

dan

memenjarakan manusia pada dataran rasio an sich . Penalaran berdasarkan tataran rasio saja
hanya bersifat ontologis-episemologis dan melupakan tataran aksiologis yang sarat dengan
muatan etika dan estetika. Melupakan etika akan mengelincirkan pola pikir manusia hanya

berfokus pada sudut pandang benar-salah dan lupa pada baik-buruk. Berfikir right or wrong
menjadikan manusia seperti mesin tak bernyawa dan lupa akan esensi penciptaan manusia.
Sejalan dengan fenomena diatas pendapatan Ali Syariati, memberikan peringatan atas
perubahan karakter dan sifat manusia atas pola pikir modrenisme sebagai berikut:
Bahaya yang paling besar yang di hadapi manusia modren bukanlah ledakan bom
atom, tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan yang ada dalam diri manusia telah
mengalami kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta sekarang adalah
sebuah ras yang non manusiawi. Inilah mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai
dengan Tuhan dan kehendak alam fitrah. Ia telah dijual dan dia sendiri yang harus
membayar harganya. Ia berbaris di depan rumah”perampok” menanti giliran untuk di
rampok1
Bisa dipahami bahwa bom atom adalah benda mati. Ia hanya akan meledak kalau di
gerakan oleh manusia. Manusia akan bergerak karena di pandu akal pikiran dan gerak
hatinya. Hal ini merupakan gambaran kongkrit kalau manusia terperangkap pada ilmu
pengetahuan manusia modren dalam dunia materi yang akut. Keterperangkapan tersebut
mengubah pola pikir, tindak tanduk, tujuan hidup serta menjerumuskan manusia kedalam
jurang kenistaaan, kebathilan, kedholiman kedurjanaan dengan tunggangan jutaan nafsu yang
tak terpuaskan. Keterperangkapan itu mengakibatkan mereka lupa akan substansi dan esensi
penciptaan manusia.
Para ilmuan lupa atau pura-pura lupa terhadap dampak-dampak negatif yang

ditimbulkan dari temuan-temuan ilmiah mereka, mereka tidak peduli apakah temuan-temuan
dan teori-teori mereka itu akan bersifat destruktif atau konstruktif bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, saat ada yang
1

melontarkan sebuah pertanyaan, dalam diskusi tentang

Sumarna, 2005, hal.47

Page 1 of 16

executive compensation, mengapa para eksekutif cenderung untuk mengendalikan laba (othak
athik gathuk) agar ia memperoleh bonus? Tidakkah kelakuan semacam itu merupakan
tindakan yang tidak etis dan tidak bermartabat? Jawabannya adalah, itulah fakta empiris yang
telah menjadi mind set. Hasilnya adalah ia akan menjadi “teori” dan memperkuat “teori” yang
ada dan diyakini sebagai sebuah kebenaran, yang sambung menyambung, merajut dan
menjadi building block, yang tentu lupa pada dimensi etika, lupa bahwa “kelakuan” seperti
itu merupakan bentuk pengingkaran atas sifat-sifat ashabiyah manusia yang seharusnya
mampu menanggalkan sifat ego dan mengedepankan sifat cinta pada sesama, welas asih,
saling menjaga, dan meghormati eksistensi ‘sang lain’. Dia tidak menjadi manusia yang

disebut sebagai ‘ulul albab’

2

yang sering diterjemahkan sebagai sosok manusia yang

memadukan antara fikir (rasio) dan dzikir (rasa dan intuisi)
Sebagai akibat pandangan rasionalisme empiris yang memiliki sudut pandang
“obyektif” terhadap ilmu pengetahuan, maka rasionalisme empiris itu, kemudian diberi
stempel dan label baru yang lebih keren dan menjual, yaitu: “Manusia modren”. Sebutan
manusia modren itu dimunculkan karena, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut,
cenderung berpola positif. Manusia modren diklaim sebagai metoda, cara dan epistimologi
ilmu pengetahuan yang tidak lagi memerlukan kritik terhadap bangunan yang sudah ada.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan sebagai konstalasi fakta, teori dan metoda sesungguhnya
tidak lebih dari sekedar kumpulan berbagai sumbangan ‘sejarah’ berupa perjalanan panjang
ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Ia berkembang sedikit demi
sedikit, item demi item, step by step, tempel menempel, berurutan saling melengkapi secara
relasional yang saling merajut kemudian menjadi suatu bentuk bangunan ilmu pengetahuan
yang semakin lama semakin membesar, semakin meluas dan semakin mendalam, kukuh dan
kokoh persis laksana membangun sebuah gedung – building block. Dengan demikian, dalam

pandangan seperti itu, memberikan arti kepada kita bahwa, ilmu pengetahuan tidak
diciptakan, tetapi pengetahuan hanyalah sekedar dibangun dan/atau ditemukan. Sang
Pencipta dan Sang Pemilik alam semesta ini lah Creator yang menciptakan ilmu
pengetahuan, Dia lah kebenaran haqiqi dan Maha Sempurna. Kita semua, hanyalah sosok
pembaca saja, bukan author, namun sekedar berposisi sebagai homo reader, an sich.
Malangnya, manusia modren yang dipandang dan dipersepsikan sebagai suatu
“bangunan” teori yang kokoh itu (building block), ternyta, bangunan yang diidamkan tersebut
2

.

QS, 39:9
Page 2 of 16

serasa roboh bersamaan dengan robohnya keyakinan posivistik. Manusia modren, yang
dipersepsikan sebagai suatu “jejaring” kesalinghubungan yang hadir dalam fenomena,
digugat dan dihujat. Kenapa? Karena bila mana building block itu benar, tentunya keberadaan
manusia modren dewasa ini seharusnya telah memiliki suatu ‘hirarkhi’ yang kukuh dan
kokoh. Namun, kenyataannya sampai saat ini, hirarkhi itu tidak ada, tidak pernah ada, tidak
terbukti dan tidak dijumpai keberadaan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang mutlak. Fisika

pun, tidak lagi digadang-gadang sebagai suatu “pengetahuan ideal” yang menjadi barometer
dan fondasi atas berbagai pengembangan ilmupengetahuan. Bahkan, saat ini, ia malah
dipertanyakan dan digugat kesahihannya sebagai “hakim metodologi”.
Semua itu terjadi karena, pencapaian pengetahuan positif diyakini sebagai sesuatu
yang bersifat ‘absolut’ dan ‘pasti’. Kini, seluruh bangunan konsep, teori dan temuan ilmiah
diyakini itu harus dibongkar, karena ia hanya bersifat “terbatas” dan sekedar “perkiraan” saja,
suatu kebenara yang bersifat sementara, katena tidak mungkin ada ‘kemutlakan’ dalam
kebenaran.
Ilmu pengetahuan, tidak mungkin mampu memahami seluruh realistas secara definitif
dan lengkap. Ilmu pengetahuan juga tidak selalu benar dan tidak pernah bisa dijadikan
“kebenaran muttlak”. Ilmu pengetahuan, hanyalah sebagai bagian kecil, minimal dan terbatas
deskripsi tentang realitas yang bersifat tidak terbatas. Kebenaran mutlak hanya milik Sang
Pencipta, Maha Agung, Maha Besar, Dan Maha dalam segalanya.
Maka disini penulis mencoba membahas tujuan penciptaan manusia atas fenomena
pandangan manusia modren untuk apa manusia di ciptakan.

Page 3 of 16

r
q

A
m
p
c
e
P
jn
u
T
t
f
a
ils
F
B. PEMBAHASAN

B.1 Kerangka pemikiran filsafat Penciptaan Manusia

B.2 Tujuan Penciptaan Manusia


Pada pembahasan ini kita akan mencoba menganalisa beberapa ayat al-Quran yang di

dalamnya telah menyiratkan tentang filsafat, arah, sasaran, maksud, dan tujuan penciptaan, di
antaranya, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Qs. AlBaqarah [2]: 30)

“Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Qs. Al-An’am [6]: 165)

Berdasarkan ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan penciptaan manusia,

dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah dijadikannya manusia sebagai
khalifah dan penerus Tuhan.

Dan yang dimaksud dengan penerus Tuhan adalah bahwa Tuhan meletakkan sebagian

dari sifat yang dimiliki-Nya dalam diri manusia sebagai sebuah amanah dimana jika manusia
mengaktualkan potensi yang dimilikinya ini, maka mereka akan bisa meraih tingkatan

Page 4 of 16

tertinggi dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat tersebut, tujuan dari

penciptaan tak lain adalah manusia sempurna.

ْ ُ‫ق‬
‫ن‬
ِ َ ‫ب الْعَال‬
ّ ‫ي لِلّهِ َر‬
ْ ‫م‬
ّ ِ‫ل إ‬
ُ ُ ‫ي وَن‬
َ ‫م‬
َ ‫حيَايَ َو‬
َ َ‫ي و‬
َ ‫ن‬
َ ْ ‫مي‬
ْ ِ ‫مات‬
ْ ِ ‫سك‬
ْ ِ ‫صلَت‬
Pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup,
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)
Berdasarkan ayat di atas, kehidupan, ibadah bahkan kematian seorang manusia adalah

berasal dari Tuhan, oleh karena itu, dalam seluruh keadaan kehidupannya manusia harus
melakukan penghambaan kepada Tuhan.

َ ‫َﻭ َﻣ‬
‫ُﻭﻥ‬
ِ ‫ﻹﻧﺲَ إِّﻻ ﻟِﻴَﻌْ ﺒُﺪ‬
ِ ‫ﺎﺧ َﻠ ْﻘﺖُ ْﺍﻟﺠِﻦّ َﻭ ْﺍ‬
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” (Qs. Al-Dzariyyat [51]: 56)
Ayat di atas menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk ibadah
dan penghambaan Tuhan, yaitu manusia harus menyerahkan dirinya untuk melakukan
penghambaan kepada Tuhan dan tidak menundukkan kepalanya kecuali di hadapan-Nya.
Dengan mencermati ayat di atas, kita akan menemukan beberapa poin berikut:
1. Pada ayat ini, redaksi “… melainkan supaya mereka menyembah-Ku” menunjukkan
dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah Tuhan”, dan bukan
bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”, karena hal ini bisa dilihat dari
ayat yang mengatakan “… supaya mereka menyembah-Ku“, bukannya mengatakan “Akulah
yang menjadi sembahan mereka” Pada dasarnya yang ingin disampaikan adalah bahwa
manusia itu harus secara sadar, berpengetahuan, dan bebas menjadi hamba Tuhan. Manusia
harus yakin bahwa Tuhanlah yang layak untuk disembah dalam segala bentuknya. Tuhan
tidak ingin memaksa makhluk dan ciptaannya untuk menyembahnya. Dengan demikian,

manusia dan makhluk adalah penyembah Tuhan yaitu bahwa ia senantiasa menyembah-Nya.
Jadi titik tekan penyembahan dan ibadah di sini adalah bahwa manusia dan makhluk sebagai
subyek yang menyembah, bukan obyek yang disembah (baca: Tuhan).

Page 5 of 16

2. Yang dimaksud dengan ibadah di sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah (seluruh
ciptaan), karena sebagaimana kita ketahui seluruh eksistensi alam penciptaan ini, masingmasing melakukan ibadah dengan bahasa takwiniyyah mereka, dalam salah satu ayatnya
Allah Swt berfirman, “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada
di bumi” dan jika yang dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah, maka
ayat ini tidak hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja. (Tafsir Al-Mizan, J. 36, hal.
298-302)
Pada tempat lain Dia berfirman, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan
kembali kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 156)
Ayat di atas menyatakan bahwa selain manusia berasal dari Tuhan, Dia juga merupakan
tempat tujuan manusia, karena awal manusia adalah dari Tuhan dan akhirnya pun menuju ke
arah-Nya. Sesuai dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah
melakukan perjalanan ke arah Tuhan. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan mengetahui
bahwa kalimat yang disebutkan di atas adalah “kembali kepada-Nya” dan bukan “kembali di
dalam-Nya” sehingga hal ini tidak akan mengarahkan kita pada yang dilakukan oleh sebagian

para sufi, dimana mereka meyakini bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kefanaan dalam
Tuhan, melainkan kita harus mengatakan bahwa manusia memiliki perjalanan ke arah-Nya,
yaitu perjalanan ke arah kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan gerakan kesempurnaannya
inilah manusia harus menarik dirinya ke arah Tuhan.
“Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya.
Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. Al-Maidah [5]: 18)
“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali
(semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42, dan Qs. Fathir [35]: 18)
“Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs. Fathir [35]: 4, dan Qs.
Al-Hadid [57]: 5)
“Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. As-Syura [42]: 53)
“… kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs. As-Sajdah [32]:
11, dan Qs. Al-Jatsiyah [45]: 15)

Page 6 of 16

“Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya….” (Qs. Al-Maidah [5]: 48, dan Qs.
Hud [7]: 4)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha
yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq [84]: 6)
Ayat di atas pun menempatkan manusia sebagai pekerja keras yang bergerak dan
berusaha menuju ke arah sumber keberadaan.
Berdasarkan ayat di atas, manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan
keseluruhan aturan-aturan al-Quran pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini,
yaitu perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan yaitu apa
makna dan mafhum dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya?
Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa berdekatan
dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam menjawab pertanyaan ini
harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara dengan kesempurnaan dan Tuhan pun
merupakan wujud murni dan kesempurnaan yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada
dalam tingkatan wujud lebih tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan
Tuhan. Oleh karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan
kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin dekat
kepada Tuhan.
Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia
telah

melewati

tahapan-tahapan

wujud,

dan

wujud

yang

dimilikinya

ini

telah

mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari
ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya
manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk
membersihkan dan mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke
arah kesempurnaan mutlak.
Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju
interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih
dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan inipun memiliki tahapan dimana setiap

Page 7 of 16

individu yang melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia
pun akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan.
Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam lintasan
menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang diambilnya untuk
menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih ‘dekat’ lagi kepada-Nya.
Pada surah Hud ayat 118, Allah Swt berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah
menciptakan mereka.”
Ayat di atas mengatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu manusia
diciptakan untuk menerima rahmat Tuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan untuk (menerima
rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud: 119)
Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan rahmat. Dengan
ibarat lain, apa yang dimaksud dengan pernyataan yang mengatakan bahwa manusia
diciptakan untuk rahmat?
Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan rahmat tak lain adalah bimbingan dan
hidayah Ilahi yang akan menjadi bagian dari kondisi manusia supaya mendapatkan
kebahagiaan yang hakiki. Dengan perkataan lain, rahmat adalah hidayah takwiniyyah dan
tasyri’iyyah yang menyebabkan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.
Dengan uraian ini, antara ayat di atas dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56) tidak ada
sedikitpun perbedaan, karena dengan melalui ibadah dan rahmat, seluruh potensi wujud
manusia bisa ditinggikan dan akan memperoleh kesempurnaan akhir wujud dirinya.
Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang
lebih baik amalnya…” (Qs. Hud [11]: 7) “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang
ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka
yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup supaya

Page 8 of 16

Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Tuhan menciptakan manusia supaya bisa diketahui
manakah manusia yang baik dan manakah yang buruk. Manakah manusia yang melakukan
perbuatan yang baik dan shaleh serta manakah yang melakukan perbuatan yang tercela dan
tak shaleh.
Menurut ayat-ayat ini, masing-masing manusia yang memiliki perbuatan lebih baik,
berarti dia telah lebih mendekatkan dirinya pada tujuan penciptaan. Pada dasarnya, ayat-ayat
ini menempatkan tujuan penciptaan manusia pada lintasan manusia menuju ke arah
kesempurnaan keberadaannya.
B.3 Khalifah dan Tujuan Penciptaan
Potensi manusia yang terdiri dari pendengaran, penglihatan dan hati (akal) merupakan
instrumen yang diberikan oleh Allah untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab
yang dibebankanNya. Sebab dengan semuanya itu manusia dapat memperoleh kelebihankelebihan sehingga dapat menjalankan amanah : beribadah dan manjalankan fungsi
kekhilafahan. Dengan kekhilafahan ini, manusia mendayagunakan potensinya tersebut untuk
membimbing alam. Bagi mereka yang khianat terhadap segenap potensi yang diberikanNya
tersebut, ia akan mendapat kerugian dan Allah swt memberi julukan kepada mereka :
bagaikan hewan ternak, seperti anjing, seperti monyet, seperti babi, seperti kayu, seperti batu,
seperti laba-laba dan seperti keledai.
Bagi yang menyadari potensi-potensi yang telah diberikan dan beribadah kepada Allah
(berislam) maka status khilafah disandangnya. Khilafah bukan berarti pemilik asal, tetapi ia
hanya bertindak selaku pemelihara alam yang Allah telah ciptakan. Maka mendayagunakan
alam dan menjalankan fungsi kekhilafahan harus selaras dengan kehendak Sang Pemilik
Alam dan tidak menentangNya.
Terdapat beberapa prinsip dalam kekhalifahan. Khilafah menurut etimologi dapat berarti
perwakilan, jadi karena manusia mendapat kepercayaan dari Allah SWT bukan pemilik yang
hakiki maka dengan prinsip khalifah ini adalah untuk mewakili kekuasaanNya di bumi,

Page 9 of 16

Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan.
Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orangorang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit
ari.(QS.Fathir:13)
Sebagai Khalifah, manusia harus memperhatikan manusia harus bertindak sesuai dengan
kehendak yang mewakilkan kepadanya yaitu Allah SWT.
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Al Insan : 30)
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak
ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan (dengan Dia).(Al Qasas:68)
Tidak juga menentang peraturan
( 6 ) sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
( 7 ) dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
( 8 ) dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
( 9 ) Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
( 10 ) dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
(11) sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka
(QS Al Aadiyaat: 6-11)
B.4 Ibadah dan Tujuan Penciptaan.
Ketika dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan adalah ibadah, sebagian menyangka
bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah hanyalah melaksanakan amalan-amalan dan
ritual-ritual yang bernama doa seperti shalat, puasa dan bermacam-macam zikir.
Apakah hakikat ibadah dan penyembahan hanyalah seperti ini? Tentu saja tidak. Karena
doa hanyalah bagian dari ibadah. Berdasarkan pandangan dunia Al-Quran, setiap gerakan dan
perbuatan positif yang dilakukan oleh manusia merupakan ibadah, dengan syarat, gerak dan
perbuatan tersebut harus dilakukan berdasarkan pada motivasi untuk mendekat pada
rububiyyah dan dilakukan berlandaskan pada nilai-nilai kewajiban Ilahi.
Page 10 of 16

Oleh karena itu, definisi dari petani yang pada pertengahan malam menggunakan tangantangan kasarnya untuk mengairi perkebunan dan lahan pertaniannya demi menyejahterakan
kehidupannya dan keluarganyam para pekerja yang bergelimang dengan suara-suara bising
mesin-mesin pabrik dari pagi hingga malam hari, dokter yang berada di ruang operasi dengan
seluruh daya dan konsentrasinya untuk menyelamatkan jiwa manusia, seorang dosen yang
melakukan observasi dan pengkajian pada tengah malam untuk memecahkan kesulitan
pemikiran manusia, dan sebagainya, jika dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka setiap
saat baginya berada dalam keadaan ibadah.
Ringkasnya, tujuan dari semua amal, perbuatan dan perilaku manusia adalah untuk Allah
Swt, yaitu manusia akan sampai pada tahapan dimana bahkan makan, minum, tidur,, hidup
dan matinya, keseluruhannya adalah untuk Allah Swt, sebagaimana dalam salah satu firmanNya, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (Qs. Ali-Imran: 191)
Berdasarkan apa yang telah kami katakan, ibadah -yang dalam agama Islam merupakan
filosofi dan tujuan penciptaan- memiliki suatu karakteristik penting yang sama sekali tidak
dipunyai oleh satu agama atau mazhab manapun hingga sekarang ini selain agama Islam,
karakteristik itu adalah meliputi aktivitas-aktivitas manusia, apakah manusia itu sedang
berdoa kepada Tuhannya, melakukan shalat, dan mensucikan dirinya, maupun sedang sibuk
dan melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah keluarga, atau
menjalin hubungan yang erat dengan istri, anak-anak, dan kedua orang tua. Sementara ibadah
dalam mazhab dan agama yang lain hanya berkaitan dengan upacara doa dan menjalin
hubungan dengan Tuhan secara resmi, dan tidak mencakup kegiatan-kegiatan budaya, politik,
ekonomi, keluarga, dan yang sejenisnya. Sesuai dengan firman Allah SWT.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.(QS. Al Baqarah : 208)
B.5. Kondisi terkini terkait Tujuan Penciptaan Manusia

Page 11 of 16

Sejak Immanuel Kant berhasil mengawinkan rasionalisme dengan empirisme, aliran
manusia modren mempunyai kedidagdayaan ampuh yang pervasif(Achsin, 2006, hal.41) .
Pengaruh pandangan ini mencengkeram kuat terhadap berbagai perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa-masa berikutnya. Pada perkembangan selanjutnya, dengan tangan
dingin dan polesan cerdas August Comte manusia modren menjadi lebih kukuh dan
kemudian mendominasi jagad pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan(Achsin, 2006,
hal.42). Paham Manusia modren laksana virus ganas yang meracuni alam pikiran manusia
yang menerobos masuk ke relung-relung pikiran yang terdalam. Comte, memperkokoh
bangunan manusia modren itu dengan membuat kriteria baru dan baku. Menurut comte, ilmu
pengetahuan harus memiliki dua sifat dasariah yaitu: eksplanatoris dan prediktif. Sebuah ilmu
pengetahuan harus bercirikan mampu menjelaskan dan sekaligus menjadi alat prediksi yang
akurat. Sebuah ilmu pengetahuan harus pasti, nyata, dan berguna, diluar kedua kriteria itu, ia
bukan ilmu pengetahuan.
Untuk menjadi berkriteria seperti itu, Comte kemudian meracik formula baku.
Formula itu adalah: Pertama, obyektif dan bebas nilai, berarti harus terjadi dikhotomi tegas
antara ‘fakta’ dan nilai. Doktrin ini mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan
semesta dengan bersikap imparsial – netral. Kedua, fenomenalisme (eksplanatoris) artinya
semua bentuk yang tidak tampak harus diabaikan, yang berarti semua gejala alam harus dapat
dijelaskan dan ketiga, verifikasi-empiris, semesta harus direduksi menjadi fakta-fakta ‘keras’
yang harus dapat diamati secara empiris, indrawi. Keempat, naturalisme berarti semesta
adalah objek yang bergerak secara mekanikal – deterministik persis seperti cara bekerjanya
jaru mjam. Dengan keempat argumen itu, membuat pengaruh manusia modren mempu
menyeruak masuk kemana-mana, menjadi synap ke segala bidang ilmu pengetahuan dan
filsafat. Ia menjadi barometer dan mind-set bagi filosof serta ilmuwan dalam berbagai
perkembangan dan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan pada masa berikutnya.
Namun manusia modren dengan prinsip value-free nya itu seperti itu, ternyata ia
membawa dampak pola pikir yang destruktif. Pola pikir manusia modren, ternyata
menggelincirkan ilmuwan menjadi robot-robot tak berperasaan. Sosok manusia pintar, namun
tidak bernurani. Paham Manusia modren juga bertanggung jawab atas kekeringan dan
kekosongan kekayaan batin manusia yang parah. Pola pikir manusia modren semacam itu,
lebih banyak didasarkan atas jebakan pola pikir yang technological minded. Pola pikir ini
misalnya adalah, bilamana kita jumpai besi yang putus, patah dan penyok, untuk
Page 12 of 16

menyambung dan memperbaiki besi itu seperti semula, tentu solusinya hanya dengan cara
diteter, dilas, disambung dan dikethok. Tidak mungkin besi itu akan kembali seperti semual
melalui do’a yang khusu’ dan berdzikir. Namun, suasana itu akan sangat berbeda sekali
dengan keadaan pada saat kita dalam situasi sedang menanam pohon mangga. Mangga itu
akan disiram dan kemudian kita tawakkal kepada Yang Maha Kuasa dan kemudian
memanjatkan do’a dan berharap mudah-mudahan ia tumbuh subur dan berbuah banyak.
Padahal kondisi yang kedua itu, terdapat ‘sesuatu’ yang tidak bisa dikendalikan. (Achsin,
2006, hal.42)
Pola pikiran yang pertama, yang technological minded dan mekanistik itu lah yang
menjadi pilihan pandangan kaum positivis. Karena itu, dengan pola pandang manusia modren
seperti itu, manusia modren mampu meraih zaman kejayaan yang disebut juga sebagai zaman
kebangkitan teknologi dengan ‘revolusi industri’ sebagai monumen dan tonggak
bersejarahnya. Sedangkan, pada pandangan yang kedua itu, terdapat sifat transenden dan
spiritual serta menyadari bahwa sang diri ini (self) membutuhkan uluran tangan The Other,
belaian tangan dan kasih dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Disamping itu, kriteria value free itu juga membuat ilmuwan buta akan kepentingan
sesungguhnya yang melandasi tujuan desariah sebuah penelitian ilmiah. Kebutaan itu
membuat dominasi teknologi juga semakin menjadi-jadi. Ekses negatif dan dampak
perusakan etis yang ditimbulkan oleh teknologi adalah berupa pencemaran dan kerusakan
lingkungan, aborsi, kloning, dan kerusakan moral lainnya. Diktum manusia modren yang
terkenal berbunyi: ‘apa saja yang bisa dilakukan, boleh dilakukan’ mengancam eksistensi
manusia. Permisifme semacam itu merupakan bentuk pengabadian etika, moralitas, tujuan
dan makna hidup dan kehidupan. Lupa terhadap sangkan paraning dumadi, artinya ia lupa
asal-usulnya dan kemana manusia akan kembali. Manusia mengalami kesulitan yang luar
biasa untuk mengarahkan dirinya dalam suasana manunggal antara kawula dan gusti.
Manusia mengalami banyak kendala dalam mendekat dan menyatu, panunggalan dengan
Sang Pencipta. Seiring dengan akibat seperti itu, tidak lah salah manakala Triyuwono (2000,
hal:43), mengatakan bahwa manusia modren lebih berfokus kepada rasionalitas tujuan dan
mengesampingkan rasionalitas nilai. Sebagai akibatnya, Outcomes yang ditawarkan tidak
lebih hanyalah sebuah transaksional maksimalisasi “utilitas hedonis” sebagai ruh absolut atau
“The Geist”nya. Ruh absolut dalam utilitas hedonis itu, melenyapkan bentuk kesungguhan
dan ketabahan dalam diri manusia. Manusia dipaksa untuk berkompetisi dalam suatu
Page 13 of 16

persaingan demi meraih kemewahan hidup individual yang mengeliminasi sifat asabiyah
manusia, seperti rasa persaudaraan yang dilandasi nilai cinta antar sesamanya.
Unsur-unsur normatif yang dimiliki manusia yang membedakan manusia dengan
hewan, menjadi tereduksi pada titik terendah. Demikian juga sifat asabiyah yang mulia itu,
tereliminasi dari diri manusia. Manusia menjadi korban keganasan manusia modren. Disisi
lain, diikhotomi terhadap fakta – nilai, juga membuat akal manusia menjadi akal
instrumental, menjadi sebuah assesoris dan perangkat saja. Akal yang pada dasarnya
mempunyai sifat manipulatif, kalkulatif, dominatif hanya dipergunakan dalam berurusan
dengan perangkat teknologi, dan lupa untuk digunakan untuk berfikir mengenai tujuan
hidupnya.
Dengan paradigma manusia modren seperti itu sadar atau tidak sadar ia telah
melahirkan kerusakan alam dan menggelincirkan akhlak serta budi pekerti manusia. Budi
pekerti luhur yang merupakan kekayaan bathiniyah manusia telah dilenyapkan dari nurani
hanifah manusia. Nurani hanifah merupakan suatu fitrah untuk berkecenderungan hati dalam
berbuat bajik dan bijak, selaras dengan kehendk Tuhan, khalifatullah fil ardh, amigo dei,
memberikan rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil alamin, berkesejahteraan bagi universe.
Selaras dengan gambaran manusia modren yang seperti itu, menjadi keprihatinan
Mustofa Bisri (Lutfi, 2001, hal : 42). Budayawan dan pemikir, sosok agamawan yang penyair
itu mengatakan : apa yang dipahami – tentunya secara salah – oleh banyak orang sebagai
modernisme, tarnyata terus membawa manusia kepada kehidupan primitif, manusia modern
cenderung mendewakan akalnya dan mengapresiasi keunggulan manusia hanya dinilai dan
seberapa tinggi Intelectual Quotient – nya dengan mengesampingkan Emotional Quotientnya. Akal pikiran yang mendapatkan perhatian berlebih dan tidak diimbangi dengan perhatian
terhadap kalbu, telah terbukti membawa malapetaka atau paling sedikit tidak membawa
kepada kebahagiaan hidup yang hakiki. Namun, manusia seolah-olah menutup mata terhadap
kenyataan ini. Perhatian yang tidak seimbang ini masih terus ngotot dipertahankan. Seperti
halnya, pendidikan terus dipertahankan hanya sekedar untuk mencerdaskan otak saja, tanpa
memperhatikan hati. Demikian juga, sistem pendidikan hanya sekedar ‘mengajar’ dan tidak
‘mendidik’. Hasilnya adalah, banyaknya orang yang pintar namun tidak terdidik. Pendidikan
agama hanya disikapi sebagai ilmu dan organisasi, bukan sebagai amal dan tuntutan hidup.
Hafal nama-nama dan sifat Tuhan (asma’ul husna) sudah di anggap ma’rifat. Hafal ayat-ayat
dan hadist-hadist saja sudah dianggap ulama mumpuni dan ahli hukum(fuqohaq).
Page 14 of 16

Uraian Bisri diatas sangatlah berbeda dengan apa yang seharusnya menjadi sifat dasariah
manusia. Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta bukan untuk menjadi perusak alam
dan penghancur tatanan serta pemuas nafsu ego nya, tetapi untuk beribadah.
C. PENUTUP
Dalam ketidakberesan, carut marut, diskontunuitas seperti yang di uraikan dalam
pendahuluan dan masalah terkini atas tujuan penciptaan manusia, islam memberikan tawaran
atas tujuan penciptaan manusia. Perpaduan antara Khalifah dan Abdi menjadikan kejeniusan
akal dengan kelembutan hati. Otak Jerman-hati Mekkah. Sebuah keniscayaan yang akan
mengarah terbentuknya manusia sempurna, manusia sejati , insan kamil

Page 15 of 16

D. DAFTAR PUSTAKA
Al Quran, Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia
Al-Lum’atu al-Baidha, hal. 169.
Achsin, Menyingkap: Dampak Positivisme Terhadap Esensi Penciptaan Manusia, Tema,
Vol.7. No.1,Malang, 2006
Ahadits Matsnawi, hal. 172.
Din wa Rawon, hal. 154-158
Kalimatullah, hal. 143.
Lutfi, Muhammad Miftahul, Cahaya Kalbu, Duta Ikhwana Salam, Surabaya, 2001
Mehr-e Tobon, hal. 200-202.
Mukhtashar Bashair ad-Darajat, hal. 160.
Mustadrak Safinah al-Bihar, J. 8, hal. 215.
Niyoyesh, hal. 12.-17
Rasail Kurki, J. 3, hal. 162; Syarh Asma al-HUsna, J. 1, hal. 139.
Roh-e Rasm-e Zendegi, hal. 137.
Risalah Liqaullah, hal. 253-254.
Risalah Liqaullah, hal. 29-30.
Syarh Ushul Kafi, J. 9, hal. 62; Biharul Anwar, J. 16, hal. 406.
Sumarna, cecep.(2005)Rekonstruksi Ilmu-Dari empirik Rasional Ateistik ke Empirik
Rasional Teistik, Benang Merah Press, Bandung
Triyuwono, Iwan, Organisasi dan Akuntansi Syariah, LKIS, Yogyakarta, 2000
Tafsir Al-Mizan, J. 36, hal. 298-302.

Page 16 of 16