Peranan pemuda dalam perjuangan islam di

BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian pemuda
Pesan agung yang diilustarsikan dalam Q.S Ar- Ruum ayat 54 : adalah
cerminan siklus kehidupan manusia yang awalnya lemah, kemudian menjadi kuat,
lalu kembali menjadi lemah.
Pemuda adalah lambang keberanian yang tak pernah luntur, pemuda adalah
lambang kekuatan yang tak hancur,pemuda adalah lambang semangat yang tak
pernah mundur, karan pemuda memainkan peranan yang jitu yang mempunyai
potensi serta energi yang sangat besar dan dapat dibanggakan.
Pemuda adalah sosok yang suka berkreasi, idealis, dan memiliki keberanian serta
menjadi inspirator dengan gagasan dan tuntutannya. Generasi muda adalah
penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya. Pemuda adalah motor penggerak
utama perubahan. Pemuda diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan
dan kejumudan masyarakat. Di dalam masyarakat pemuda merupakan suatu
identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber
insani bagi pembangunan bangsanya karena pemuda sebagai harapan bangsa
dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai masa muda akan menguasai masa
depan. (Madjid, Nurcholis, 1999, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta,
paramidina)


Princeton mendefinisikan kata pemuda (youth) dalam kamus Webstersnya
sebagai sebuah kehidupan yang berdiri di rentang masa kanak-kanak dan masa
dewasa dimasa inilah seorang pemuda bersifat labil, kontrol emosi dan kestabilan
pendirian masih bisa dipengaruhi oleh pihak luar. Seorang pemuda mempunyai
ciri yang khas yang menggambarkan seperti apa ia terlihat yang menunjukkan
kepribadiannya.
Pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan
dengan masalah “nilai”, hal ini sering lebih merupakan pengertian ideologis dan
cultural dari pada pengertian ilmiah, misalnya “Pemuda harapan bangsa” atau
“Pemuda pemilik masa depan” dan lain sebagainya yang kesemuanya itu
merupakan beban moral bagi pemuda untuk memberikan konstribusi pada masa
depan masyarakat. Tetapi dilain pihak pemuda menghadapi persoalan-persoalan
saat terjadinya globalisasi mendunia yang diantaranya itu seperti narkoba,
kenakalan remaja, dan terbatasnya lapangan kerja.
Masa muda adalah suatu fase dalam siklus kehidupan manusia. Fase ini
berproses ke arah perkembangan dan perubahan – perubahan yang bersifat
transisional. Dalam proses inilah setiap individu pemuda akan selalu berhadapan
dengan tantangan – tantangan baik yang timbul dari proses pertumbuhan
kepribadiannya maupun tantangan yang muncul dari lingkungannya. Faktor
lingkungan mempengaruhi proses pendewasaan yang berpangkal tolak dari

lingkungan keluarga dan juga lingkungan masyarakat.

Perubahan – perubahan sosial budaya yang bergerak cepat pada era globalisasi
dan modern ini sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, banyaknya
jumlah penduduk dan krisis multi dimensi telah mempengaruhi perubahan pada
masyarakat

secara

mendasar.

(http://rifaltw.blogspot.co.id/2013/10/pemuda-

harapan-islam-dalam-menghadapi.html?m=1)
Pengaruh perubahan – perubahan tersebut juga dirasakan oleh pemuda sebagai
masalah yang telah menyangkut kepentingannya dimasa kini dan tantangan yang
dihadapinya dimasa depan.
Dengan demikian masalah generasi muda sebenarnya tidak terpisah dari
masalah dari masyarakat pada umumnya, sebab pemuda pada hakekatnya
merupakan bagian yang berkesinambungan dengan masyarakat.


B. Pengertian Globalisasi
Secara bahasa globalisasi diambil dari kata globe, yang berarti bola dunia.
Globalisasi merupakan suatu gejala terbentuknya sistem organisasi dan
komunikasi yang mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama antara masyarakat
di seluruh dunia karena adanya kemajuan transportasi dan komunikasi sehingga
memperlancar interaksi antarwarga dunia. Atas nama “tatanan dunia baru” itulah
globalisasi dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan
batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya.
Menurut John Tom Linson dalam sebuah tulisan “Cultural Globalization:
Placing and Displacing the West” sebagaimana dikutip oleh Amer Al-Roubaie

mengintisarikan

globalisasi

sebagai

“Proses


hubungan

yang

rumit

antarmasyarakat yang luas di dunia, antarbudaya, institusi dan individual.
Globalisasi merupakan proses sosial yang mempersingkat waktu dan jarak dari
pengurungan waktu yang diambil baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jadi dengan dipersingkatnya jarak dan waktu, dunia dilihat seakan-akan semakin
mengecil dalam beberapa aspek, yang membuat hubungan manusia antara yang
satu dengan yang lain semakin dekat.” Globalisasai terjadi pada setiap negara,
tidak ada satu organisasi atau satu negara pun yang mampu mengendalikannya.
Simbol dari sistem global adalah luasnya jaringan. Akbar S. Ahmed dan Hastings
memberi

batasan

bahwa


globalisasi

“pada

prinsipnya

mengacu

pada

perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi,
transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh
menjadi hal yang bisa dijangkau dengan mudah.
Teori globalisasi menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya
global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya
sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola
konsumsi dan konsumerisme global, munculnya even-even olahraga internasional,
penyebaran dunia pariwisata, menurunnya kedaulatan negara bangsa, timbulnya
sistem militer global (baik dalam bentuk peace keeping force, pasukan
multinasional maupun pakta pertahanan regional dan lain-lain), pengakuan

tentang terjadinya krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem
kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), munculnya lembaga-lembaga politik
dunia (seperti PBB), munculnya gerakan-gerakan politik global, perluasan konsep

demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama
dunia.
Berangkat dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa globalisasi
merupakan ancaman dan sekaligus tantangan. Pertama, sebagai ancaman. Dengan
alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon, VCD, DVD dan
internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola atau
internet, kita dapat menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur. Kita dapat
terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Kondisi ini
diboncengi neoliberalisme dan modernisasi melaju diiringi pesatnya revolusi
IPTEK. Dunia tanpa batas yang menganut aliran kebebasan, kebebasan
berkreatifitas, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi. Kondisi tersebut
secara tidak langsung telah melahirkan budaya baru dan mempengaruhi tatanan
budaya maupun agama.
Bukan hanya itu, kecanggihan teknologi yang metransformasikan nilai-nilai
budaya luar bisa mereduksi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kehidupan
budaya dan beragama. Rahardi Ramelan menunjukkan kenyataan bahwa

globalisasi ini adalah arus perubahan budaya. Dalam kebiasaan makan dan minum
misalnya, hamburger, pizza, sushi, ginseng, capucino dan lain-lain, sudah
dinikmati warga di kota-kota kecil. Ponsel menjadi bagian dari perangkat
“pakaian” para remaja. Liberalisasi pasar telah melahirkan apa yang disebut
budayawan Romo Mangun (JB Mangunwijaya Pr) sebagai diaspora kultural.
Kedua, sebagai tantangan. Di pihak lain, jika globalisasi itu memberi pengaruh
hal-hal, nilai dan praktik yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi

umat manusia terutama pemuda untuk mampu menyerapnya, terutama sekali halhal yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal atau nasional, terutama
sekali nilai agama.
Sebagai tantangan, globalisasi menuntut semua orang untuk membekali diri
dengan ilmu pengetahuan dan wawasan yang memadai tentang ilmu rohaniyah.
Dalam konteks agama, para pemuda yang akan menjadi pemeran utama di masa
depan dituntut mempunyai kepedulian dan perhatian yang serius terhadap agama
mereka dengan memahaminya, sehingga agama mereka tidak tenggelam dalam
arus dan gelombang dari pengaruh globalisasi. (Ibid, hlm : VI)
Globalisasi adalah suatu proses perubahan sosial yang menyebabkan
seseorang, sekelompok orang, atau suatu negara saling dihubungkan dengan
masyarakat atau negara lain akibat kemajuan teknologi komunikasi di seluruh
penjuru dunia.

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu
keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau worldculture). (Lucian W.
Pye)
Globalisasi adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia. (KBBI, TT)
Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali defini kerja,
sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandang
sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan
membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain,

mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas – batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Disisi lain ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung
oleh negara – negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan
negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain
adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara – negara yang
kuat dan kaya praktis akan mengedalikan ekonomi dunia dan negara – negara
kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi
cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh
terhadap bidang – bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte
merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah globalisasi pada tahun

1985.
Dalam era globalisasi, peristiwa yang terjadi di suatu negara dapat diketahui
dengan cepat oleh bangsa atau negara lain. Hubungan yang lebih efektif ini
menyebabkan unsur-unsur budaya asing menjadi mudah masuk ke suatu negara,
karena globalisasi itu menuntut adanya sikap keterbukaan dan kebebasan. Unsurunsur ini tidak semuanya baik dan cocok bagi suatu masyarakat atau negara.
Unsur yang positif antara lain ilmu pengetahuan, cara berpikir kritis, rasional, dan
menghargai waktu. Sedangkan dampak negatif dari globalisasi antara lain adalah
bergesernya norma dan nilai moral dalam masyarakat sehingga menjadi lebih
lunak (bisa ditawar) dan juga sikap saling mempengaruhi di era globalisasi yang
menyebabkan benturan nilai-nilai tata kehidupan, antara nilai baik dan buruk.
(http://globalizationpapers.blogspot.co.id/)

C. Islam di era Globalisasi
Era globalisasi telah membawa telah membawa manusia pada kemajuan
peradaban. Era ini ditandai dengan adanya penemuan – penemuan baru dan
kemajuan di berbagai bidang. Sebagian umat Islam mengalami kekhawatiran
ketika membicarakan wacana globalisasi. Globalisasi bagi sebagian umat Islam
dianggap sebagai faktor yang dapat menghancurkan nilai-nilai luhur agama dan
identitas umat Islam dari pengaruh negatif berbagai pemikiran dan aliran baru,
baik di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun

dari Barat. Namun, pada saat yang sama sebagian umat Islam juga cenderung
menerima apa yang datang dari Timur maupun Barat tanpa melakukan reserve.
mereka menganggap bahwa apa yang datang dari negara-negara maju dapat
menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan. Kedua kelompok
tersebut sering terlibat dalam debat dan perselisihan panjang yang kadang
menghabiskan waktu dan energi. Seperti, perdebatan mengenai sikap terhadap
peradaban Barat atau sikap orientalisme di Barat, globalisasi saat ini dan isu
kontemporer lainnya.(Hamdi Zaqzuq,2001:3)
Sementara pada saat yang sama, kita lihat sebagian umat islam yang
lainbjustru cenderung menerima globalisasi tanpa menelaah dengan kritis dan
rasional terlebih dahulu. Bahkan mereka mengklaim orang – orang yang
menolaknya sebagai kelompok yang terbelakang, bodoh, konservatif, dan out of
date. Sehingga pada akhirnya kedua kelompok tersebut sampai pada titik
kulminasi perdebatan, yang tak seharusnya hal tersebut diperdebatkan. Serta

menyita banyak waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk hal yang
bermanfaat.
Nah, dari eksposisi diatas, idealnya, kita sebagai generasi muda islam yang
hidup di kalangan pesantren tidak menjadi kelompok yang menolak ataupun
mendukung terhadap globalisasi. Tetapi kita harus lebih kritis – konstruktif dalam

menyikapi globalisasi yang terjadi di setiap lini kehidupan.
Jika kita bertindak sebagai kelompok yang menolak pada realitas ini dan
terus mengisolasi diri dari arus globalisasi yang terus mengalir bersama kehidupan
manusia di berbagai bidang, justru kita akan semakin tidak terpandang dalam
percaturan dunia ekonomi, politik, dan budaya. Sebab islam bukanlah sekedar
sekumpulan doktrin teolofis dan ritual, tetapi juga dinamika historis yang dinamis,
dan penganutnya harus berpartisipasi dalam mewarnai setiap perkembangan
zaman dan dapat berinteraksi dengannya dengan baik tanpa menghilangkan
identitas religius yang menyatu dalam diri mereka. Islam sebagai dinamika
historis, juga harus menunjukkan diri sebagai entitas inklusif yang ramah dan
toleran kepada entitas – entitas lain yang juga berkembang di sepanjang sejarah.
Islam sebagai agama juga mempunyai sandaran pokok dalam menjalankan
roda kehidupan, yaitu al quran dan hadits. Maka dalam merespon globalisasi tidak
langsung tergesa – gesa menolaknya atau menerimanya tanpa melakukan
penelaahan terlebih dahulu.
Bidang ekonomi merupakan salah satu isu globalisasi. Salah satu bentuk
implementasinya adalah realisasi pasar bebas dengan piranti pendukungnya,

seperti hilangnya sekat penghalang bagi transaksi perdagangan, dibukanya pintu
jual beli tanpa proteksi dan menjamurnya konglomerasi perekonomian raksasa
yang banyak menguasai negara-negara maju. Dalam bidang ekonomi, ajaran Islam
menekankan penting pemenuhan terhadap kebutuhan materil guna meningkatkan
kesejahteraan

hidupnya

sehingga

dapat

menjalankan

agamanya

secara kaffah. Meskipun dunia Muslim memiliki manifestasinya sendiri tentang
materialisme dan hedonisme, namun konsep manusia ekonomi rasional dalam
pengertian sosial-Darwinis, utilitarian dan materialis dalam kaitannya dengan
pemenuhan kepentingan diri sendiri dan maksimalisasi kekayaan dan pemenuhan
kebutuhan tidak mendapatkan perhatian intelektual sama sekali. Sekalipun
keseimbangan antara aspek materiil dan spritual pada umumnya dapat
dipertahankan dalam inti pemikiran Islam, namun terdapat juga penyimpanganpenyimpangan. Kaum sufi menekankan kepuasan spritual dan mengabaikan
kemakmuran

materiil

karena

memandang

bahwa

kekayaan

memiliki

kecenderungan mendorong arogansi dan berbuat salah.( M. Umer Chapra,
2001:54-55)
Kaum Muslim menghadapi banyak persoalan dan keprihatinan berkaitan
dengan ekonomi. Dalam riset yang dilakukan oleh John L. Esposito dan Dalia
Mogahed, banyak responden yang menyatakan bahwa persoalan ekonomi
merupakan persoalan yang banyak disorot oleh umat Islam. Kondisi ekonomi
yang lebih baik, kesempatan kerja, standar hidup yang lebih baik, yang diikuti
oleh kebutuhan untuk memperbaiki hukum dan ketertiban, menghilangkan
ketegangan dan peperangan sipil dan mempromosikan ideal demokrasi di dalam
sistem politik mereka, serta mendongkrak status dan kemandirian internasional
negara mereka agar lebih dihargai oleh pihak lain dan menghentikan campur
tangan luar.( John L. Esposito dan Dalia Mogahed, 2007: 49)

Dalam bidang politik, umat Islam dihadapkan dengan isu-isu penting, seperti
demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme politik. Sistem demokrasi adalah
sistem yang memungkinkan masyarakat untuk menuntut diterapkannya prinsipprinsip keadilan. Fungsi normatif utama dari tatanan politik yang demokratis
adalah menjamin dan melindungi wilayah kebebasan individu, yakni menjamin
hak individu untuk menjalani hak individu untuk menjalani kehidupan menurut
pilihannya masing-masing.( Budhy Munawar-Rachman,2010:130)
Samuel P. Hutington, salah seorang Guru Besar ilmu politik di Harvard
University menganggap bahwa demokrasi adalah peradaban Barat dan meragukan
jika konsolidasi demokrasi bisa terjadi di peradaban non-Barat. secara khusus ia
menyebut kriteria sikap, kepercayaan pada aturan hukum dan komitmen terhadap
individualisme, di samping pemisahan antara gereja dan negara, pengalaman
dengan lembaga representatif dan pluralisme sosial. Kriteria budaya demokrasi
tersebut diyakini hanya dapat dihasilkan oleh peradaban Barat dan tidak oleh yang
lain.
Hutington juga meragukan demokrasi dalam Islam karena menurutnya
ketidakmungkinan demokrasi dalam masyarakat Muslim berakar sangat kuat
dalam budaya dan tradisi politik Islam. Islam memiliki sistem politik
komprehensif yang sudah teruji dalam sejarah panjang masyarakat Muslim.
Menurut Bernard Lewis, sistem ini bukanlah demokrasi dan didalamnya tidak
ditemukan unsur demokrasi yang signifikan. Keyakinan terhadap syariah, sistem
hukum yang mengatur semua aspek kehidupan kaum Muslim, boleh jadi

merupakan inti sistem politik Islam yang membedakan dengan sistem politik lain
seperti demokrasi.( Samuel P. Hutington,1995)
Antara Hutington dan Lewis memiliki pemahaman yang baik tentang watak dan
tradisi politik Islam, hingga tradisi itu mendominasi dunia Islam hingga saat ini.
Pendapat mereka tentang sekulerisme di satu sisi ada benarnya karena di beberapa
negara Islam, sistem yang mereka anut ternyata gagal dalam pelaksanaannya.
seperti rezim Imam Komeini pada saat memimpin Republik Islam Iran, Taliban di
Afganistan. Kelompok-kelompok “Islamis” yang aktif saat ini, seperti Ikhwanul
Muslimin di Mesir, Jama’ati Islami di Pakistan, FIS di Aljazair, Hizb at-Tahrir di
Palestina, Darul Islam dan Majelis Mujahidin di Indonesia juga memperkuat
pandangan mereka.[35] Namun di sisi lain, argumen mengenai sikap politik kaum
Muslim diatas, tidak dapat di generalisasi empiris seperti tesisnya Hutington dan
Lewis terhadap sikap kaum Muslim di seluruh dunia. Untuk menemukan jawaban
terhadap masalah tersebut, dibutuhkan observasi sistematis tentang relegiusitas
kaum Muslim, orientasi politik dan orientasi kaum Muslim terhadap budaya
demokrasi.
Isu hak asasi manusia dalam Islam menjadi bagian dari isu demokrasi. Barat
menganggap ajaran Islam tidak menghormati hak asasi manusia, seperti hukum
potong tangan bagi pencuri, cambuk atau rajam bagi pelaku zina dan lainnya. Dr.
Muhammad ’Abid Jabiri berpendapat bahwa potong tangan bagi pelaku pencurian
bukannya tidak menghormati hak asasi manusia, namun lebih disebabkan
karenamaqa>sid syari>ah (tujuan umum syariat) dan landasan kemaslahatan
(kebaikan) yang merupakan tujuan final dari syariat dan itu adalah “dasar dari

segala dasar”. Hukum potong tangan pada waktu itu bertujuan mewujudkan
kemaslahatan dan menyesuaikan karena pada waktu itu belum ada sistem penjara,
para sipir dan otoritas kekuasaan yang menaungi dan memberi makan para
tahanan.[36]
Salah satu norma yang pelanggarannya dapat dijatuhi hukuman rajam dalam
hukum pidana Islam adalah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah
(zina muhsan) atau adultery. Sedangkan bagi pezina yang belum menikah (zina
ghairu muhsan) atau fornication tidak dijatuhi hukuman rajam, melainkan dengan
hukumanjilid (cambuk) sebanyak seratus kali. Diluar zina muhsan tadi tidak ada
hukuman rajam. Hukuman dalam pidana Islam bertujuan untuk menegakkan
keadilan, membuat jera pelaku, memberi pencegahan secara umum/prevensi
general dan memperbaiki pelaku. Menurut Muhammad Iqbal Siddiqi, kritik-kritik
Barat yang dilancarkan terhadap hukuman perzinaan bukan semata-mata karena
tidak suka terhadap ide hukuman fisik, tetapi lebih pada perasaan moral (moral
sense) mereka belum terbangun seutuhnya. Mereka tidak memandang perzinaan
sebagai kejahatan sosial yang akan mempengaruhi masyarakat secara menyeluruh.
[37]
Bagi Maududi, seorang pemikir Islam, berpendapat bahwa dalam pandangan
Islam, manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat dalam dirinya, misalnya hak
untuk hidup, hak atas keselamatan hidup, hak untuk memperoleh kehormatan
kesuciannya bagi kaum perempuan, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
pokok, hak individu atas kebebasan, hak atas keadilan, kesamaan yang paling
utama diantara hak-hak dasar adalah hak untuk hidup.[38]

Demokrasi dan hak-hak asasi manusia di abad modern saling berkaitan, yang satu
memerlukan yang lain. Umat Islam pada skala global tidak punya sikap dan
bahasa yang sama menghadapi isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Menurut
Khaled Abou el Fadl, ada dua kelompok yang menyikapi persoalan demokrasi,
yaitu puritan dan moderat. Kelompok puritan bersikap anti terhadap semua sistem
Barat, khususnya demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi menikmati hasil
teknologinya. Di antara doktrin yang mengikat mereka adalah doktrin taat kepada
pemimpin, hampir tanpa reserve. Karena itu, ada yang menggolongkan mereka
sebagai faksi totalitarian dengan payung syariah. Pada kutub lain, kelompok
moderat juga mengatakan berpedoman kepada kitab suci (al-Qura>n), namun
tidak merisaukan apakah gagasan demokrasi dan hak asasi manusia itu berasal
dari Baratatau Timur, bagi kelompok ini selama demokrasi dan hak asasi manusia
dapat menjamin tegaknya keadila, perdamaian, moralitas dan hubungan baik
sesama manusia, tidak ada alasan untuk menolaknya. Kelompok moderat
berupaya menafsirkan kembali konsep konsensus (ijma) untuk mendukung
gagasan demokrasi berdasarkan keinginan mayoritas rakyat.[39]