Barometer Sosial 2015 Persepsi Warga Ten

Sosial, Sumber dan Faktor Ketimpangan Sosial

Barometer Sosial 2015

Tim Penyusun : Alindra Primaldhi

Bagus Takwin Daniel Hutagalung Hamong Santono Paksi Walandow Siti Khoirun Ni’mah Sugeng Bahagijo

Desain / Layout : Amindari Nadia Fitriyanti

Foto Cover: Syed Afdhal Harits A.

Penerbit: INFID, Mei 2015

Untuk kutipan: “Bagus Takwin dkk, 2015. Barometer Sosial 2015; Persepsi Warga Tentang Kualitas Program Sosial, Sumber dan Faktor Ketimpangan Sosial.

Foto: unplash.com

Daftar Isi

Daftar Isi iii Kata Pengantar

Ringkasan vii

1. Mengapa mengukur Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial Dari Perspektif Warga

2. Barometer Sosial

2.1. Kebutuhan Akan Program Sosial

2.2. Indeks Barometer Sosial Nasional

2.3. Penilaian Warga Mengenai Program Sosial Nasional

2.4. Penilaian Warga Mengenai Program Sosial Yang Diselenggarakan Oleh

25 Kementerian, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota/Kabupaten

3. Ketimpangan Sosial

3.1. Sumber Ketimpangan Sosial

3.2. Derajat Ketimpangan

3.3. Indeks Ketimpangan Sosial 2015

3.4. Penyebab Ketimpangan Pihak Yang Harus Bertanggung Jawab

3.5. Cara Mengatasi Ketimpangan

3.6. Ketimpangan Antara Perempuan dan Laki-laki

3.7. Perlakuan Diskriminatif

6. Daftar Pustaka

BAROMETER SOSIAL 2015

BAROMETER SOSIAL 2015

Foto: Amindari N.F

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, sehingga kami berhasil menyelesaikan Laporan Survei Barometer Sosial. Laporan yang ada di tangan teman-teman semua, merupakan salah satu wujud komitmen INFID dalam meningkatkan kualitas pembangunan di Indonesia.

Survei Barometer Sosial merupakan sebuah produk produk pemantauan dan audit sosial terhadap kinerja dan capaian pembangunan dengan menggunakan kebijakan-program sosial sebagai indikatornya. Survei ini merupakan bentuk akuntabilitas sosial dimana warga menilai berbagai program kebijakan sosial yang telah dijalankan Pemerintah selama ini, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Subsidi Pupuk, Jaminan Persalinan (Jampersal), dan sebagainya. Tidak hanya itu, Laporan Survei Barometer Sosial tahun ini juga dilengkapi dengan pengukuran persepsi warga mengenai sumber, faktor dan cara mengatasi ketimpangan sosial.

Pelaksanaan Survei Barometer Sosial dilakukan selama dua bulan sejak akhir Januari 2015 hingga Maret 2015, di 34 Provinsi dengan jumlah responden sebanyak 2.500 orang. Survei Barometer Sosial merupakan survei yang kedua, setelah yang pertama dilakukan pada tahun 2014.

BAROMETER SOSIAL 2015

Hasil Survei Barometer Sosial ini, kiranya dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas program-program sosial yang telah dijalankan selama ini dan menambah jenis-jenis program sosial bagi warga di masa mendatang. Pengambil kebijakan diharapkan juga bisa memanfaatkan metode Survei Barometer Sosial sebagai salah satu alat untuk mengukur kinerja pembangunan yang telah dijalankan, sebagai bentuk akuntabilitas pembangunan dari pemerintah. Bagi masyarakat sipil, hasil survei ini bisa menjadi rujukan dalam melakukan kajian lebih lanjut dan kerja-kerja advokasi kebijakan pembangunan ke depan.

Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu pelaksanaan Survei Barometer Sosial.

Jakarta, 20 April 2015

Hamong Santono Senior Program Oficer Post-2015 Development Agenda

BAROMETER SOSIAL 2015

vi

Ringkasan

Barometer Sosial sebagai produk pemantauan dan audit sosial terhadap kinerja dan capaian pembangunan dengan menggunakan kebijakan-program sosial sebagai indikatornya sudah dua kali diadakan. Setelah pengukuran Barometer Sosial 2014 yang mengukur kinerja capaian pembangunan melalui program sosial tahun 2013, kini INFID melakukan pengukuran Barometer Sosial 2015 yang mengukur kinerja capaian pembangunan tahun 2014. Keduanya dilakukan dengan metode survey menggunakan kuesioner. Pengukuran Barometer Sosial 2015 melibatkan 2500 responden dari 34 provinsi di Indonesia.

Kali ini selain pengukuran Barometer Sosial, dilakukan juga pengukuran persepsi warga mengenai sumber, faktor dan cara mengatasi ketimpangan sosial. Baik Barometer Sosial maupun Ketimpangan Sosial merupakan indikator dari keadilan sosial. Keduanya berangkat dari konsep dasar perlunya keadilan sosial diperjuangkan. Barometer Sosial yang menjadi indikator dari seberapa jauh negara mengupayakan keadilan sosial melalui bantuan-bantuan sosial dapat juga dipahami sebagai upaya untuk mengetahui seberapa jauh upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan sosial.

Di sisi lain, pengukuran ketimpangan sosial menurut warga dapat memberikan pemahaman mengenai makna ketimpangan sosial menurut warga, di ranah mana berlangsungnya, faktor yang berperan, dan cara untuk mengatasinya menurut warga.

vii

BAROMETER SOSIAL 2015

Secara keseluruhan, Indeks Barometer Sosial yang diperoleh Indonesia tahun 2015 adalah 5,56 (dari skala 1-10) yang masuk dalam kategori “agak mengupayakan Pencapaian Keadilan Sosial”. Indeks ini lebih tinggi sedikit dari yang diperoleh pada tahun 2014 yang juga mencapai skor 5,3 meski kategorinya tidak berbeda. Indeks Barometer Sosial 2015 mengindikasikan bahwa pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia sudah menjalankan beberapa program sosial tetapi dalam penilaian warga pelaksanaan program itu belum optimal karena masih ada ketidakkesesuaian dengan kebutuhan warga, sasaran penerima bantuan yang belum tepat, prosedur pelaksanaan yang sulit dan berbelit-belit, serta ketidaksesuaian barang/jasa/uang dengan kebutuhan dan pelaksana yang menyimpang dari aturan. Warga pun menilai program sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia masih sulit diperoleh dan informasinya tidak jelas.

Dalam survey Barometer Sosial 2015 ditemukan bahwa kebutuhan akan program sosial di Indonesia masih tergolong sangat tinggi. Bahkan kebutuhannya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan bantuan usaha. Masih ada deprivasi kebutuhan dasar dan kurangnya pemenuhan hak Ekosob pada warga Indonesia. Program sosial yang diselenggarakan di Indonesia belum didasari oleh hasil analisis kebutuhan program sosial. Alasan pemilihan program-program itu tidak jelas. Melalui survey ditemukan juga bahwa kebanyakan warga menilai program sosial yang diselenggarakan Pemerintah bermanfaat. Namun warga menilai banyak orang yang membutuhkan bantuan melalui program sosial tidak bisa mendapatnya. Pemberian bantuan tidak merata pada orang yang membutuhkan.

BAROMETER SOSIAL 2015

viii

Ada banyak kesulitan bagi mereka yang memerlukan bantuan untuk bisa mendapatkannya. Kebanyakan warga juga menilai barang/uang/jasa yang diterima dari program sosial tidak sesuai dengan yang semestinya serta belum dapat memenuhi kebutuhan. Kesesuaiannya di bawah 50%. Selain itu, warga menilai prosesnya lambat dan sulit, serta pada praktiknya membebani penerima bantuan mulai dari pendaftaran hingga saat menerima bantuan. Ditambah lagi, pelayanannya tidak memuaskan.

Berdasarkan persepsi warga, ada indikasi bahwa sebagian besar kriteria keadilan distributif belum terpenuhi. Program sosial yang diselenggarakan pemerintah memang dinilai bermanfaat, tetapi belum mencapai target orang yang membutuhkan dan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian program sosial belum dapat memenuhi kebutuhan. Akses terhadap bantuan tidak merata, proses sulit, panjang, berbelit-belit, membebani, dan pelayanan tidak memuaskan juga mengindikasi masih belum terpenuhinya kriteria keadilan distributif.

Warga menilai informasi mengenai keberadaan program sosial tidak jelas. Mereka menilai pelaksanaan program sosial tidak sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan. Pelaksanaannya banyak menyimpang dari prosedur yang semestinya dijalankan. Ini mengindikasikan belum terpenuhinya kriteria keadilan prosedural. Selain aturan program sosial tidak jelas dan ada penyimpangan dari aturan, konsep dan perencanaan program sosial pun tidak matang. Penentuan program sosial belum melibatkan semua stake-holder serta banyak warga tidak terpapar informasi mengenai keberadaan program sosial.

ix

BAROMETER SOSIAL 2015

Instansi pemerintah dipersepsi sudah menyelenggarakan program sosial oleh kebanyakan warga, kecuali Kementerian Pertanian. Kualitas penyelenggaraan program sosial oleh instansi pemerintah dipersepsi sudah baik atau sangat baik oleh kebanyakan warga, kecuali yang diselenggarakan Kementerian Pertanian. Secara umum program sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dinilai bermanfaat oleh kebanyakan warga.

Dari survey yang mengukur persepsi warga mengenai ketimpangan diperoleh hasil bahwa hal yang paling berperan menghasilkan ketimpangan sosial adalah perbedaan penghasilan, disusul dengan perbedaan kepemilikan harta benda, perbedaan kesejahteraan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesempatan pekerjaan. Warga mempersepsi masih ada ketimpangan dalam berbagai ranah yang berlangsung di sekitar mereka disertai dengan perlakuan diskriminatif. Itu menyumbang pada berlangsungnya ketimpangan sosial secara keseluruhan.

Indeks ketimpangan sosial tahun 2015 adalah 5,06. Artinya, seluruh responden menilai ada ketimpangan di 5 dari 10 ranah sumber ketimpangan. Secara keseluruhan, 80% responden (dari total sampel 2500) mempersepsikan adanya ketimpangan setidaknya pada satu ranah. Bisa dikatakan, 8 dari 10 warga Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan.

BAROMETER SOSIAL 2015

Warga mempersepsi penyebab ketimpangan sosial yang utama adalah pendidikan yang tidak merata, kesempatan kerja tidak merata, pemerintah tidak bekerja dengan baik, dan hukum yang tidak berfungsi dengan baik. Menurut warga yang harus bertanggungjawab mengatasi ketimpangan sosial adalah pemerintah, setiap individu, kepala keluarga, pemilik perusahaan, partai politik, orang kaya dan lembaga keuangan internasional. Sedangkan cara untuk mengatasi ketimpangan menurut warga adalah pemberantasan korupsi, pemerintah bekerja dengan baik, pemerataan pendidikan, pemerataan kesempatan kerja, penegakan hukum, jaminan keamanan bagi warga, dan pemerataan penghasilan.

Dari survey pengukuran Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial tahun 2015, dapat disimpulkan bahwa keadilan sosial sebagai perwujudan kesempatan dan peluang hidup yang setara belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah pusat, kementerian, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pemberdayaan setiap individu di Indonesia untuk mengejar arah kehidupan yang ditentukannya sendiri, dan untuk terlibat dalam partisipasi sosial yang luas belum berlangsung merata. Masih ada banyak pengaruh latar belakang sosial dan ketidaksamaan titik awal terhadap kesempatan untuk mengejar arah kehidupan dan kesejahteraan warga Indonesia. Masih banyak individu di Indonesia yang belum diberdayakan untuk mengejar arah kehidupan yang ditentukannya sendiri, dan untuk terlibat dalam partisipasi sosial yang luas.

xi

BAROMETER SOSIAL 2015

Dapat disimpulkan juga bahwa penentuan program sosial apa yang diselenggarakan oleh pemerintah nasional, kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota belum berdasarkan analisis kebutuhan yang memadai. Berdasarkan hasil pengukuran ini, tampak belum ada konsep, standar, dan prosedur yang jelas dari program sosial yang dijalankan Pemerintah Indonesia. Untuk memperbaiki keadaan ini diperlukan audit independen dari pihak di luar pemerintah untuk mengevaluasi dan menghasilkan usulan perbaikan pelaksanaan program sosial.

Audit ini merupakan bagian dari sistem pengontrolan kualitas pelaksanaan program sosial, termasuk di dalamnya kontrol terhadap kualitas bantuan, kualitas pelayanan, efektivitas dan eisiensi prosedur pemberian bantuan, kemudahan akses warga terhadap program sosial, efek dan manfaat dari bantuan, serta keberlanjutannya. Sistem kontrol itu harus menjangkau setiap kementerian terkait program sosial, provinsi, dan kabupaten/kota.

BAROMETER SOSIAL 2015

xii

MENGAPA MENGUKUR BAROMETER SOSIAL DAN KETIMPANGAN SOSIAL DARI PERSPEKTIF WARGA?

1. Mengapa mengukur barometer sosial dan ketimpangan sosial dari perspektif warga?

Barometer Sosial adalah produk pemantauan dan audit sosial tahunan terhadap kinerja dan capaian pembangunan yang berupaya mengukur kinerja dan capaian itu dari kacamata warganegara. Seperti yang sudah dicanangkan, hasil pengukuran akan dilansir setiap tahun. Setelah pengukuran Barometer Sosial 2014 yang mengukur kinerja capaian pembangunan melalui program sosial tahun 2013, kini INFID melakukan pengukuran Barometer Sosial 2015 yang mengukur kinerja capaian pembangunan tahun 2014. Kali ini selain pengukuran Barometer Sosial, INFID bekerja sama dengan Oxfam Indonesia juga akan mengukur ketimpangan sosial menurut pandangan warga Indonesia.

Baik Barometer Sosial maupun Ketimpangan Sosial merupakan indikator dari keadilan sosial. Keduanya berangkat dari konsep dasar perlunya keadilan sosial diperjuangkan. Barometer Sosial yang menjadi indikator dari seberapa jauh negara mengupayakan keadilan sosial melalui bantuan-bantuan sosial dapat juga dipahami sebagai upaya untuk mengetahui seberapa jauh upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan sosial. Di sisi lain, pengukuran ketimpangan sosial menurut warga dapat memberikan pemahaman mengenai apa makna ketimpangan sosial menurut warga, di ranah mana dan apa saja ketimpangan sosial yang dipersepsi warga.

BAROMETER SOSIAL 2015

Dari pemahaman itu dapat juga diperoleh pemahaman mengenai upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan yang kemudian perlu ditindak-lanjuti dengan kebijakan program sosial yang tepat. Hasil pengukuran ketimpangan sosial ini melengkapi hasil pengukuran Barometer Sosial sehingga dapat memberikan pemahaman secara lebih komprehensif mengenai keadilan sosial dan usaha-usaha untuk mencapainya.

Variabel sikap atau persepsi ketimpangan ketika dihadapkan dengan variabel yang ketimpangan “nyata” dapat memperkirakan ketimpangan seperti pendapatan dan kondisi hidup. Menurut Han, Janmaat, Hoskins, dan Green (2012), persepsi ketimpangan penting untuk setidaknya tiga alasan. Pertama, situasi tempat individu merasa ada kesenjangan dalam masyarakat mereka, kesadaran itu dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku mereka. Proses pengaruh ini bersifat kompleks, dan dipengaruhi oleh banyak faktor tetapi dalam berbagai studi dibuktikan adanya hubungan pengaruh antara persepsi ketimpangan dengan sikap dan tingkah laku individu. Bersamaan dengan persepsi ketimpangan, budaya dan ideologi yang berbeda di waktu dan tempat tertentu juga mempengaruhi bagaimana individu memandang ketidaksetaraan.

Osberg dan Smeeding (2006) menemukan bahwa orang-orang umumnya cenderung meremehkan besarnya kesenjangan yang nyata, dan bahwa ada perbedaan besar antara negara-negara Barat dalam tingkat meremehkan. Selain itu, berbagai negara juga berbeda dalam pemahaman mereka tentang wujud distribusi pendapatan yang adil (Kelley dan Evans, 1993).

3 BAROMETER SOSIAL 2015

Akibatnya, masyarakat yang paling tidak setara mungkin tidak memiliki tingkat tertinggi kemarahan publik sebagai reaksi terhadap ketimpangan yang mereka hadapi. Terlepas dari apakah persepsi ketimpangan akurat atau tidak, persepsi ini cenderung mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang.

Alasan kedua pentingnya persepsi ketimpangan adalah bahwa secara teoretik ini sangat terkait dengan kohesi sosial seperti partisipasi sipil dan politik. Jika orang menganggap bahwa ada masalah sosial yang perlu ditangani, misalnya ketimpangan yang mereka nilai tidak adil, mereka lebih mungkin terlibat dalam tindakan sipil atau politik dalam upaya untuk mengubah situasi menjadi lebih baik (Haste 2004, Meyer 2007). Persepsi ketimpangan relevan dengan proses politik dan mempengaruhi tingkah laku memilih dalam Pemilu. Jika politikus dihadapkan dengan ketidakpuasan yang meluas tentang ketimpangan, mereka memiliki insentif untuk bertindak atas masalah (Luebker, 2004).

Alasan ketiga pentingnya persepsi ketimpangan adalah apa yang dapat dilakukan dengan efek sosial persepsi itu. Penelitian tentang persepsi ketimpangan masih sangat sedikit. Secara khusus, penelitian komparatif yang menyelidiki perbedaan lintas provinsi dan lintas-nasional dalam hal hubungan antara persepsi kesenjangan dan dampaknya secara sosial secara praktis tidak ada. Di satu sisi, tidak ada hubungan langsung antara ketimpangan aktual dan persepsi ketimpangan, namun di sisi lain, hal itu ada indikasi dari hubungan antara persepsi ketimpangan dan hasil-hasil sosial seperti yang ditemukan oleh Han, Janmaat, Hoskins, dan Green (2012).

BAROMETER SOSIAL 2015

Dengan pertimbangan ini, ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi kekurangan pengetahuan dalam permasalahan ini. Studi lain yang dilakukan oleh Niehues (2014) menunjukkan bahwa pesepsi ketimpangan atau penilaian subyektif mengenai ketimpangan sosial seringkali tidak sejalan dengan ketimpangan aktual.

Tetapi persepsi subyektif terhadap ketimpangan lebih menentukan usaha dan praktik distribusi sumber daya ke seluruh warga. Persepsi subyektif mengenai ketimpangan berkorelasi dengan terbentuknya pandangan kritis mengenai ketimpangan yang menggugah perubahan cara dan jenis distribusi sumber daya. Bahkan, dalam studi itu tidak ditemukan korelasi antara ketimpangan aktual dan pandangan kritis mengenai ketimpangan. Dengan dasar ini, pengukuran persepsi ketimpangan warga adalah hal penting dan perlu dilakukan.

Dengan survey ini ingin diketahui bagaimana dan sejauh mana program- program sosial yang dijalankan pemerintah sampai dan tersaji kepada warga. Keberadaan program sosial saja tidak serta merta menjamin hadirnya manfaat dan menyumbang pada kesejahteraan warga. Banyak aspek terkait pelaksanaan program sosial yang ikut menentukan keberhasilan program itu, seperti akses warga terhadap program, informasi mengenai program, tepat atau tidaknya sasaran program, jelas atau tidaknya pengaturannya,sulit atau mudahnya warga mendapatkan bantuan, dan lain-lain.

5 BAROMETER SOSIAL 2015

Survey ini ingin menggali aspek-aspek ini sehingga pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pelaksanaan program sosial di Indonesia dapat diperoleh. Survey ini juga ingin mengetahui persepsi warga terhadap ketimpangan yang ada di Indonesia. Dengan pemahaman itu evaluasi dan perbaikan program sosial dan kebijakan mengatasi ketimpangan sosial dapat dilakukan secara lebih memadai.

Pengukuran indeks Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial ini merupakan bagian dari tugas INFID sebagai organisasi masyarakat sipil yang memiliki mandat memantau pembangunan, dan berdasarkan hasil pemantauan itu, berupaya mengubah kebijakan dan program pembangunan agar menjadi lebih inklusif, bermanfaat, imparsial, dan tidak diskriminatif. Dalam menjalankan mandatnya, INFID menaruh perhatian besar terhadap kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan belum adanya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Pengukuran yang dilakukan kali ini merupakan usaha untuk melengkapi bentuk pemantauan pembangunan Indonesia yang selama ini sudah dilakukan oleh INFID. INFID telah melakukan berbagai bentuk pemantauan pembangunan melalui penelitian dan kajian baik kajian dokumen maupunpenelitian lapangan penting dan bermanfaat. Dengan pengukuran ini diharapkan pemantauan INFID memiliki daya pengaruh yang lebih luas, dan dipublikasikan kepada khalayak luas oleh media massa dan menjadi perhatian publik.

Dengan dasar itu, pengukuran Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial dilakukan oleh INFID secara rutin.

BAROMETER SOSIAL 2015

Tujuan pengukuran Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial dari perspektif warga adalah:

1. Menghasilkan alat advokasi pembangunan yang kuat dan secara bersama melibatkan partisipasi anggota INFID di berbagai kota di Indonesia;

2. Menghasilkan laporan pemantauan pembangunan yang reguler dan mudah dimengerti dan dipahami oleh publik, media massa dan pengambil kebijakan;

3. Menyediakan feedback dan evaluasi mengenai kinerja dan capaian kebijakan-program sosial bagi pengambil kebijakan di nasional dan daerah mengenai kinerja serta capaian program sosial.

Dengan pengukuran Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial diharapkan dapat dihasilkan sebuah bentuk pemantauan pembangunan yang secara metodologis kuat dan bertanggungjawab. Seperti yang sudah berlangsung sebelumnya ketika INFID melansir Barometer Sosial 2014, diharapkan hasil Barometer Sosial 2015 pun diliput oleh banyak media massa utama Indonesia dan akhirnya menjadi perhatian pengambil kebijakan.

7 BAROMETER SOSIAL 2015

Foto: Syed Afdhal

BAROMETER SOSIAL

2.1 Kebutuhan Akan Program Sosial

Secara umum kebutuhan akan program sosial di Indonesia hingga di tahun 2015 ini masih tergolong sangat tinggi. Sama dengan di tahun 2013, warga masih sangat membutuhkan program sosial, terutama di bidang pelayanan kesehatan, pembiayaan pendidikan, penyediaan pekerjaan, bantuan usaha, pinjaman ringan, subsidi pertanian dan program pensiun. Bahkan kebutuhannya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Adanya kebutuhan tersebut cukup merata di hampir semua provinsi. Dua graik berikut ini memperlihatkan persentase kebutuhan akan bantuan masyarakat.

Graik 1: Jenis bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat

N= 2500

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 2: Program sosial yang dibutuhkan masyarakat

N= 2500

Hasil ini bisa menjadi indikasi dari adanya deprivasi berbagai kebutuhan dasar pada warga negara Indonesia. Sementara ini, bantuan-bantuan yang dibutuhkan itu, dalam penilaian warga, belum jadi prioritas pemerintah, jumlahnya sangat sedikit, dan pelaksanaan dari program yang ada pun masih belum optimal karena masih terjadi penyimpangan dari aturan, tidak tepat sasaran, dan prosesnya masih berbelit-belit sehingga merepotkan warga yang berhak menerimanya. Hasil survey mengenai kebutuhan sosial ini mengindikasikan belum adanya analisis kebutuhan program sosial. Alasan dari penentuan program sosial apa yang diberikan kepada warga belum jelas.

11 BAROMETER SOSIAL 2015

2.2 Indeks Barometer Sosial Nasional

Seberapa jauh usaha Pemerintah Indonesia dan pemerintah provinsi mengupayakan pencapaian keadilan sosial melalui program-program sosial di tahun 2014? Bagaimana jika dibandingkan dengan tahun 2013?

Secara keseluruhan, Indeks Barometer Sosial yang diperoleh Indonesia tahun 2015 adalah 5,6 (dari skala 1-10) yang masuk dalam kategori “agak mengupayakan Pencapaian Keadilan Sosial” . Indeks ini lebih tinggi sedikit dari yang diperoleh pada tahun 2014 yang juga mencapai skor 5,3 meski kategorinya tidak berbeda.

Pengukuran Barometer Sosial 2015 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 usaha Pemerintah Indonesia masih tergolong “agak mengupayakan pencapaian keadilan sosial” . Artinya, beberapa program sosial sudah dijalankan tetapi dalam penilaian warga pelaksanaan program itu belum optimal, baik dalam kesesuaian dengan kebutuhan warga, prosedur pelaksanaannya, maupun manfaat yang diperoleh warga.

Graik berikut ini menggambarkan Indeks Barometer Sosial setiap provinsi.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 3 : Skor IBS 2015 Nasional dan perbandingannya dengan provinsi

N= 2500

13 BAROMETER SOSIAL 2015

2.3 Penilaian Warga Mengenai Program Sosial Nasional

Bagaimana penilaian warga mengenai kinerja program sosial nasional, mencakup PNPM, PKH, Jampersal, Jamkesmas, Subsidi Pupuk, dan BOS? Bagaimana pelaksanaan program-program itu?

Apakah program-program itu sudah memenuhi kriteria keadilan distributif yang mencakup manfaat, tepat sasaran, sesuai dengan dan memenuhi kebutuhan, barang/jasa/uang yang diterima sesuai dengan yang semestinya, adanya akses terhadap bantuan, dan proses yang mudah?

Apakah program-program itu memenuhi kriteria keadilan distributif yang mencakup adanya aturan yang jelas, transparan dan melibatkan stake-holder, pelaksanaan sesuai aturan, serta informasinya jelas?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di sini dijawab oleh warga melalui survey Barometer Sosial. Di sini disajikan jawaban-jawaban warga yang menjadi responden survey dalam bentuk graik.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 4 : Kebermanfaatan program sosial

N= 2500

Secara umum program-program sosial itu dinilai bermanfaat oleh warga. Program-program yang diselenggarakan pemerintah dinilai memberikan manfaat bagi penerimanya dan memang dibutuhkan. Jika dari jenis dan bentuk bantuan yang diterima warga menilai program-program itu perlu diteruskan dan diperbesar jangkauannya.

15 BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 5 : Ketepatan sasaran program sosial

N= 2500

Kebanyakan warga menilai barang/uang/jasa yang diterima dari program sosial tidak sesuai dengan yang semestinya serta belum dapat memenuhi kebutuhan. Menurut responden kesesuaiannya di bawah 50%. Kebijakan program sosial belum dapat mengidentiikasi kebutuhan masyarakat secara memadai sehingga penentuan jenis bantuan dan kepada siapa itu akan diberikan belum dilakukan secara tepat.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 6 : Kesesuaian barang/uang/jasa yang diterima dari program sosial

N= 2500

Tetapi menurut warga banyak orang yang membutuhkan bantuan melalui program sosial tidak bisa mendapatkannya. Lebih dari 50% responden menilai program sosial tidak tepat sasaran.

17 BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 7: Kecepatan proses program sosial

N= 2500

Dalam pelaksanaannya, program sosial yang diselenggarakan pemerintah memakan waktu yang panjang . Rentetan prosedur yang terlalu panjang dan banyaknya persyaratan yang dibebankan kepada warga menyebabkan proses pelaksanaan pemberian bantuan jadi lama. Kebanyakan warga yang menilai prosesnya lambat. Lebih dari 50% responden yang menilai proses bantuan sosial lambat atau sangat lambat.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 8 : Kemudahan mendapatkan bantuan dari program sosial

N= 2500

Selain itu, masih banyak warga yang sulit untuk mendapatkan bantuan melalui program sosial. Lebih dari 50% responden menilai proses mendapatkan bantuan sulit atau sangat sulit. Selain prosedur yang panjang dan berbelit-belit, data warga yang membutuhkan bantuan tidak sesuai dengan apa yang ada di masyarakat. Akibatnya banyak warga yang harus mendaftar ulang dari awal dan mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan.

19 BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 9: Keterbebanan warga oleh program sosial

N= 2500

Banyak warga menganggap program sosial justru membebani mereka karena proses yang berbelit-belit, lama, prosedur yang rumit, dan bantuan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Warga harus mengeluarkan banyak waktu, biaya dan tenaga untuk bisa mendapatkan bantuan dari program sosial.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 10 : Kepuasan terhadap pelayanan program sosial

N= 2500

Kebanyakan warga menilai pelayanan dalam program sosial tidak memuaskan. Tingkat kepuasan terhadap pelayanan program sosial tergolong rendah. Dalam pelaksanaannya, program sosial diberikan di tempat-tempat tidak nyaman untuk didatangi banyak orang pada saat bersamaan karena ruangnya terlalu sempit dan jaraknya jauh. Pengaturan waktu pemberian bantuan juga tidak efektif. Warga harus mengantri lama, berdesak-desakan, dan banyak yang tidak mendapat kejelasan kapan mereka akan menerima bantuan.

21 BAROMETER SOSIAL 2015

Berdasarkan persepsi warga yang sudah dipaparkan, sebagian besar kriteria keadilan distributif pelaksanaan program sosial di Indonesia tahun 2014 belum terpenuhi. Meski program sosial yang diselenggarakan pemerintah dinilai bermanfaat namun belum mencapai target orang yang membutuhkan. Program sosial yang dijalankan belum sesuai sepenuhnya dengan kebutuhan dan belum dapat memenuhi kebutuhan warga.

Akses terhadap bantuan pun tidak merata, ditambah lagi dengan proses sulit, panjang, berbelit-belit, dan membebani. Pelayanan yang diberikan para petugas pelaksana pun dinilai tidak memuaskan warga.

Untuk kriteria keadilan prosedural, pada survey ini digali persepsi warga mengenai kejelasan informasi mengenai program sosial dan kesesuaian pelaksanaan dengan aturan yang sudah ditentukan. Kejelasan informasi mencakup kejelasan infomasi mengenai tujuan, sasaran, persyaratan, prosedur dan waktu pelaksanaan program sosial.

Kesesuaian pelaksanaan dengan aturan mencakup kesesuaian prosedur, proses, standar pelayanan, pelaksana, serta jenis dan besar bantuan yang ada pada pelaksanaan sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 11 : Kejelasan informasi mengenai program sosial

N= 2500

Informasi mengenai keberadaan program sosial masih dinilai tidak jelas oleh warga . Persentase responden yang menilai informasi program sosial jelas atau sangat jelas masih rendah (rata-rata di bawah 50%).

23 BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 12: Kesesuaian pelaksanaan program sosial dengan aturan

N= 2500

Kebanyakan warga menilai pelaksanaan program sosial tidak sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan. Menurut warga terjadi banyak penyimpangan dalam pelaksanaan program sosial. Kesesuaian antara prosedur, proses, standar pelayanan, pelaksana, serta jenis dan besar bantuan yang ada pada pelaksanaan banyak yang masih belum sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan.

BAROMETER SOSIAL 2015

Berdasarkan persepsi warga, kriteria keadilan prosedural pada pelaksanaan program sosial di Indonesia tahun 2014 belum terpenuhi. Aturan program sosial belum jelas dan pelaksanaannya masih banyak yang tidak sesuai dengan aturan. Warga menilai ada penyimpangan pelaksanaan program sosial dari aturan yang sudah ditentukan. Selain itu konsep dan perencanaan program sosial tidak matang, serta penentuan program sosial belum melibatkan semua stake- holder. Informasi mengenai program sosial tidak. Banyak warga tidak terpapar informasi itu sehingga mereka tidak mengetahui seluk-beluk program sosial dan bagaimana mendapatkannya.

2.3 Penilaian Warga Mengenai Program Sosial yang Diselenggarakan Oleh Kementerian, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota/Kabupaten

Bagaimana kementerian yang terkait dengan program sosial, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mengupayakan pencapaian keadilan sosial melalui program-program sosial? Bagaimana program sosial itu dilaksanakan? Survey ini juga menjawab pertanyaan mengenai upaya kementrian tersebut. Seperti pada Barometer Sosial 2014, kementerian yang program sosialnya dinilai di sini adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

25 BAROMETER SOSIAL 2015

Graik-graik berikut ini memaparkan penilaian warga mengenai kinerja program sosial yang diselenggarakan oleh kementerian tersebut, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Apakah kementerian berikut ini, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan program sosial?

Instansi pemerintah dipersepsi sudah menyelenggarakan program sosial oleh kebanyakan warga, kecuali Kementerian Pertanian. Graik 12 memaparkan jawaban “Ya” responden atas pertanyaan “Apakah instansi pemerintah berikut ini menyelenggarakan program sosial?”

Graik 13: Penyelenggaran program sosial oleh pemerintah

N= 2500

BAROMETER SOSIAL 2015

Bagaimana kualitas program sosial yang dilakukan instansi pemerintah? Kualitas penyelenggaraan program sosial oleh instansi pemerintah dipersepsi sudah baik atau sangat baik oleh kebanyakan warga, kecuali yang diselenggarakan Kementerian Pertanian. Graik 13 memaparkan jawaban “baik atau sangat baik” responden atas pertanyaan “Bagaimana kualitas program sosial yang diselenggarakan instansi pemerintah berikut?”

Graik 14: Kualitas program sosial yang diselenggarakan oleh intansi pemerintah

N= 2500

27 BAROMETER SOSIAL 2015

Seberapa bermanfaat program sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah?

Secara umum program sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dinilai bermanfaat oleh kebanyakan warga. Graik 14 memaparkan jawaban “bermanfaat atau sangat bermanfaat” responden atas pertanyaan “Apakah program sosial yang diselenggarakan instansi pemerintah berikut bermanfaat?”.

Graik 15: Kebermanfaatan program sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah

N= 2500

BAROMETER SOSIAL 2015

KETIMPANGAN SOSIAL

3. Ketimpangan Sosial

Di bab ini akan dipaparkan hasil survey persepsi warga terhadap ketimpangan sosial di Indonesia. Secara sederhana kesenjangan sosial adalah perbedaan pendapatan, sumber daya, kekuasaan dan status di dalam dan di antara masyarakat (Naidoo dan Wills 2008). Lebih rinci lagi, kesenjangan sosial merujuk pada cara di mana kategori sosial orang (menurut karakteristik seperti jenis kelamin, usia, kelas dan etnis) diposisikan berbeda-beda berkaitan dengan akses ke berbagai kemaslahatan sosial, seperti tenaga kerja pasar dan sumber pendapatan, sistem pendidikan dan kesehatan, dan bentuk-bentuk representasi dan partisipasi politik.

Konsep ketimpangan sosial dikembangkan untuk dapat memberikan gambaran perbedaan antara pendapatan rata-rata, dan apa yang didapatkan oleh orang miskin dan kaya atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dengan konsep ketimpangan sosial dapat dikenali seberapa baik warga negara yang berbeda mendistribusikan atau berbagi pendapatan yang mereka peroleh.

Survey ketimpangan sosial yang dilakukan INFID ini hendak menggali persepsi warga mengenai:

1. Ranah/aspek/hal yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di

Indonesia

2. Seberapa besar ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia

BAROMETER SOSIAL 2015

3. Penyebab ketimpangan sosial di Indonesia

4. Pihak yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang ada di Indonesia

5. Cara mengurangi ketimpangan di Indonesia

6. Ketimpangan gender di Indonesia

7. Perlakuan diskriminatif di Indonesia Pertanyaan yang diajukan dalam Survey Ketimpangan Sosial dalam IBS 2015

terdiri atas:

1. Ranah/aspek/hal apa yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di daerah anda?

2. Dalam setiap ranah/aspek/hal yang berperan itu, seberapa besar ketimpangan sosial yang terjadi di daerah anda?

3. Apa yang menyebabkan ketimpangan di daerah anda?

4. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang ada di daerah anda?

5. Apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi ketimpangan sosial di daerah anda?

6. Seberapa jauh ketimpangan gender terjadi di daerah anda?

7. Apakah ada perlakuan diskriminatif daerah anda? Seberapa jauh?

31 BAROMETER SOSIAL 2015

3.1 Sumber Ketimpangan Sosial

Apa sumber ketimpangan sosial menurut warga? Dalam persepsi mereka, seberapa jauh ketimpangan dan perlakuan diskriminatif berlangsung di masyarakat Indonesia? Bagaimana penyebaran ketimpangan di wilayah Indonesia? Survey ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui persepsi warga mengenai hal-hal tersebut. Ranah yang menjadi sumber ditentukan berdasar ranah kepuasan hidup yang mempengaruhi kesempatan, kapabilitas, kepuasan hidup dan kebahagiaan individu. Dalam pengukuran ini ranah itu terdiri atas penghasilan, harta benda yang dimiliki, kesejahteraan keluarga, pendidikan, pekerjaan, rumah/tempat tinggal, lingkungan tempat tinggal, hukum, kesehatan, dan aktivitas politik. Warga diminta menilai apakah sepuluh ranah ini merupakan sumber ketimpangan dan sejauh mana ketimpangan yang ada di setiap ranah. Hasilnya, menurut warga kesepuluh ranah itu merupakan sumber ketimpangan sosial.

Graik 16: Ranah yang menjadi sumber ketimpangan sosial

N= 2500

BAROMETER SOSIAL 2015

3.2 Derajat Ketimpangan

Graik 17: Persentase ketimpangan di setiap ranah

N= 2500

Warga mempersepsi ketimpangan terjadi di kebanyakan ranah yang dinilai. Derajat ketimpangannya pun tergolong besar, rata-rata di atas 20% responden menilai setiap ranah sangat timpang.

33 BAROMETER SOSIAL 2015

Khusus untuk penghasilan, diajukan pertanyaan mengenai kesesuaian penghasilan responden dengan yang diharapkan oleh mereka. Penghasilan dipersepsi oleh warga sebagai ranah yang paling timpang dan paling besar peranannya dalam menghasilkan ketimpangan sosial. Kebanyakan ( 50,7% ) responden menilai menilai penghasilan mereka tidak sesuai dengan harapan dan tidak layak.

Lebih dari 50% responden menilai penghasilannya tidak layak. Jika ini ditarik ke populasi, dapat dikatakan bahwa lebih dari setengah warga Indonesia dewasa menilai penghasilan yang mereka dapatkan tidak layak. Penghasilan yang mereka dapatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan primer mereka atau hanya dapat memenuhi kebutuhan primer mereka. Hanya 4,9% responden yang menilai penghasilan mereka lebih dari yang mereka harapkan.

Graik 18: Kesesuaian penghasilan dengan harapan

N= 2500

BAROMETER SOSIAL 2015

Dari sini dapat diperoleh indikasi adanya ketimpangan besar pada ranah penghasilan. Masyarakat Indonesia terbagi tiga kelompok, terdiri atas (1) warga yang berpenghasilan tidak layak, (2) warga yang berpenghasilan layak; dan (3) warga yang berpenghasilan lebih dari yang dibutuhkan.

Kelompok dengan proporsi terbesar adalah kelompok warga yang berpenghasilan tidak layak. Lalu kelompok warga yang berpenghasilan layak di urutan kedua. Kemudian yang kelompok paling kecil proporsinya adalah kelompok warga yang berpenghasilan tinggi di atas kebutuhan yang mereka miliki. Keadaan ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.

Graik 19: Distribusi persepsi kesesuaian penghasilan dengan harapan per wilayah

N= 2500

35 BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 20: Distribusi persepsi kesesuaian penghasilan dengan usaha yang dilakukan per wilayah

N= 2500

Kebanyakan responden (56,4%) menilai penghasilan yang mereka peroleh sesuai dengan usaha mereka. Dalam arti mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan itu. Sebesar 40% responden menilai bahwa usaha mereka tak sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. Mereka menilai penghasilan mereka jauh dari harapan dan kecukupan pemenuhan kebutuhan mereka. Kurang dari 5% responden yang menilai bahwa penghasilan mereka lebih besar dibandingkan dengan usaha yang mereka lakukan. Persepsi ini relatif merata di berbagai wilayah kecuali di wilayah Sumatera yang lebih banyak menilai penghasilan mereka tidak sesuai dengan usaha dan menilai bahwa ketimpangan penghasilan sangat bersar terjadi di wilayah mereka.

BAROMETER SOSIAL 2015

Persepsi responden mengenai perbedaan penghasilan yang ada di Indonesia pun digali dalam pengukuran ini. Kepada responden dipaparkan data kasar rata- rata penghasilan orang Indonesia serta penghasilan sebagian profesi dan posisi jabatan di Indonesia sebagai berikut:

1. Rata-rata penghasilan orang Indonesia: Rp 2.290.587,24 per bulan;

2. 50 Juta orang Indonesia berpenghasilan Rp 20 juta per bulan;

3. Rata-rata penghasilan pilot di Indonesia Rp 50 juta per bulan; rata-rata penghasilan dokter spesialis di Indonesia Rp 50 juta per bulan;

4. Rata-Rata penghasilan anggota DPR di Indonesia Rp 46 juta per bulan;

5. Rata-rata gaji direktur utama BUMN besar di Indonesia Rp 400 juta per bulan;

6. 7-10 orang direktur perusahaan besar di Indonesia bergaji Rp 6-8 milyar per bulan.

Lalu mereka ditanya, “Menurut Anda seberapa wajar perbedaan penghasilan antara orang di Indonesia tersebut?” Mereka diminta menilai dengan opsi pilihan jawaban dari “sangat tidak wajar (1)” hingga “sangat wajar (7)”. Sebesar 66,26% menilai perbedaan penghasilan tersebut tidak wajar atau sangat tidak wajar. Penilaian ini relatif tersebar merata di lima pulau besar di Indonesia.

37 BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 21: Persepsi mengenai ketidakwajaran perbedaan penghasilan antara orang Indonesia per wilayah

N= 2500

Perbedaan penghasilan antar orang Indonesia ini sejalan dengan hasil persepsi terhadap ketimpangan penghasilan yang ditangkap warga, bahwa ada ketimpangangan penghasilan di Indonesia dan ketimpangan itu dinilai tidak wajar. Penilaian mengenai ketimpangan penghasilan ini yang berperan menghasilkan ketidakpuasan warga terhadap penghasilan yang mereka peroleh. Perbedaan yang sangat besar antara rata-rata penghasilan orang Indonesia dengan beberapa rata-rata penghasilan orang dengan profesi atau posisi jabatan tertentu, apalagi direktur perusahaan besar di Indonesia yang penghasilannya mencapai 6-8 miliar, merupakan indikasi ketimpangan yang sangat tinggi.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 22: Persepsi mengenai ketidakadilan perbedaan penghasilan antara orang Indonesia per wilayah

N= 2500

Perbedaan penghasilan antar orang Indonesia pun dinilai tidak adil oleh kebanyakan responden. Sebesar 71,5% responden menilai bahwa perbedaan penghasilan antar orang Indonesia tidak adil.

39 BAROMETER SOSIAL 2015

3.3 Indeks Ketimpangan Sosial 2015

Indeks ketimpangan di sini ditentukan berdasarkan banyaknya ranah yang dinilai warga mengalami ketimpangan. Semakin besar indeks maka semakin banyak ranah yang dinilai mengalami ketimpangan. Indeks ketimpangan sosial adalah angka yang mengindikasikasi berapa banyak ranah dalam kehidupan sosial yang dinilai warga mengalami ketimpangan.

Dengan dasar itu indeks ketimpangan sosial ini mengindikasikan berapa banyak ranah dari 10 ranah sumber ketimpangan yang dinilai timpang oleh seluruh responden.

Rentang Indeks: 1-10

0 = tidak ada ranah yang timpang

10 = ada ketimpangan di 10 ranah Indeks ketimpangan sosial tahun 2015 adalah 5,06 . Artinya, seluruh responden

menilai ada ketimpangan di 5 dari 10 ranah sumber ketimpangan. Secara keseluruhan, 80% responden (dari total sampel 2500) mempersepsikan adanya ketimpangan setidaknya pada satu ranah. Bisa dikatakan, 8 dari 10 warga Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 23: Persepsi ketimpangan sosial setidaknya pada satu ranah

N= 2500

Dilihat per wilayah, lebih dari 75% responden di Indonesia Timur, Sumatera, dan Jawa-Bali, dan Sulawesi merasakan ketimpangan setidaknya di satu ranah. Persentase paling rendah terjadi di Kalimantan, yaitu 42% responden tidak merasakan ketimpangan di ranah apapun.

Pada ranah penghasilan, ketimpangan dipersepsi oleh 57.5% responden. Ketimpangan dipersepsi oleh lebih dari setengah responden, 57%-66%, di empat wilayah yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Sulawesi, dan Indonesia Timur. Sedangkan di Kalimantan hanya sepertiga responden, yaitu 36%, yang merasakan ketimpangan di ranah ini. Ketimpangan di ranah penghasilan adalah ketimpangan yang paling banyak dirasakan oleh responden di Sumatera, Jawa-Bali, dan Sulawesi.

41 BAROMETER SOSIAL 2015

Pada ranah lingkungan tempat tinggal , ketimpangan dipersepsi oleh 44% responden. Ketimpangan di ranah ini dirasakan oleh lebih dari setengah responden di tiga wilayah, 51%-54%, yaitu di Sumatera, Jawa-Bali, dan Indonesia Timur. Sedangkan di Kalimantan ketimpangan dipersepsi oleh 28% responden dan di Sulawesi ketimpangan dipersepsi oleh 35% responden.

Di ranah kesejahteraan keluarga , ketimpangan dipersepsi oleh 49.8% responden. Setengah responden, berkisar 49%-59%, di empat wilayah mempersepsi adanya ketimpangan yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Sulawesi, Indonesia Timur. Sedangkan sebesar 33% responden di Kalimantan mempersepsi ketimpangan di ranah ini.

Di ranah kesehatan, ketimpangan dirasakan oleh 31.8% responden. Ketimpangan pada ranah ini lebih dirasakan oleh responden di wilayah Sumatera (39.1%), Jawa-Bali (39.9%) dan Sulawesi (35%). Kurang dari seperempat responden di wilayah Kalimantan (22.7%) merasakan ketimpangan di ranah kesehatan. Ketimpangan di ranah kesehatan merupakan ketimpangan yang dipersepsikan paling rendah (tidak ada ketimpangan) oleh responden di kelima wilayah.

Pada ranah rumah/tempat tinggal, ketimpangan dirasakan oleh hampir setengah responden (45,7%). Ditinjau per wilayah, ketimpangan di ranah ini dirasakan oleh setengah responden, 45% - 55%, di empat wilayah yaitu Sumatera, Jawa- Bali, Sulawesi, dan Indonesia Timur. Sedangkan di Kalimantan, kurang dari sepertiga responden merasakan ketimpangan ini (30%).

BAROMETER SOSIAL 2015

Pada ranah kesempatan mendapatkan pekerjaan , lebih dari setengah responden (53.8%) merasakan ketimpangan ini. Ditinjau per wilayah, ketimpangan dipersepsi paling tinggi di Sumatera (64%) dan Indonesia Timur (66%). Di kedua wilayah tersebut, dua per tiga responden mempersepsi adanya ketimpangan di ranah ini. Walau demikian, setengah responden di Jawa-Bali merasakan ketimpangan di ranah ini, dan lebih dari sepertiga merasakannya di Kalimantan dan Sulawesi.

Pada ranah pendidikan, ketimpangan dirasakan oleh 45,9% responden. Jika ditinjau per wilayah, maka lebih dari sepertiga responden di lima wilayah di Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan di ranah pendidikan. Ketimpangan pendidikan paling dirasakan oleh responden di Sumatera, lebih dari setengah (54%) mempersepikan adanya ketimpangan ini.

Pada ranah keterlibatan politik, ketimpangan dirasakan oleh 54.1% responden. Ketimpangan sangat di rasakan oleh responden di Indonesia Timur, lebih dari tiga perempat (78.9%) responden mempersepsi adanya ketimpangan di ranah ini. Lebih dari setengah responden Sumatera (59%) dan Jawa-Bali (53%) mempersepsi adanya ketimpangan di ranah ini. Sedangkan di Kalimantan (42%) dan Sulawesi (37%), lebih dari sepertiga responden merasakan ketimpangan di ranah ini. Ketimpangan di ranah keterlibatan politik merupakan ketimpangan utama di Kalimantan, dan Indonesia Timur.

43 BAROMETER SOSIAL 2015

Pada ranah hukum, ketimpangan dirasakan oleh 49.1% responden. Ketimpangan pada ranah hukum sangat dirasakan oleh responden Indonesia Timur. Hampir tiga perempat responden (70%) merasakan ketimpangan di ranah ini. Lebih dari setengah responden Sumatera (59%) dan Jawa-Bali (51%) mempersepsi adanya ketimpangan di ranah ini. Sedangkan di Kalimantan dan Sulawesi sekitar sepertiga masyarkat merasakan ketimpangan di ranah hukum.

3.4. Penyebab Ketimpangan dan Pihak Yang Harus Bertanggung Jawab

Apa saja penyebab ketimpangan sosial? Keadaan dan kondisi apa yang dipersepsi menyebabkan terjadinya ketimpangan di Indonesia?

Menurut persepsi warga penyebab ketimpangan sosial yang utama adalah pendidikan yang tidak merata, lalu disusul oleh pemerintah tidak bekerja dengan baik, kesempatan kerja tidak merata, penghasilan tidak merata, dan hukum yang tidak bekerja. Data mengenai penyebab ketimpangan sosial ini diperoleh dari jawaban langsung warga terhadap pertanyaan “Menurut Anda, apa yang menyebabkan ketimpangan yang terjadi di daerah Anda?” Dari jenis penyebabnya, data dari jawaban langsung ini sejalan dengan hasil perhitungan ranah mana yang paling berperan dalam menghasilkan ketimpangan sosial yang sudah dikemukan terdahulu dalam laporan ini tetapi urutannya berbeda.

BAROMETER SOSIAL 2015

Graik 24: Penyebab ketimpangan

N= 2500

Berdasarkan perhitungan bobot peran setiap ranah, diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa penghasilan, harta benda yang dimiliki, dan lingkungan tempat tinggal merupakan tiga ranah yang paling berperan menghasilkan ketimpangan sosial. Sedangkan dari hasil jawaban langsung terhadap pertanyaan apa yang menyebabkan ketimpangan, ranah pendidikan, pemerintah tidak bekerja dengan baik, dan kesempatan mendapatkan pekerjaan adalah tiga penyebab utama. Perbedaan ini menarik untuk dikaji lebih jauh dalam sebuah studi khusus.

45 BAROMETER SOSIAL 2015

Siapa yang harus bertanggungjawab mengatasi ketimpangan sosial? Pertanyaan ini menghasilkan banyak jawaban warga seperti yang dipaparkan dalam Graik 24. Jawaban warga ini bisa jadi mengindikasikan pandangan yang berbeda mengenai peran negara dan individu dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan menghasilkan kesejahteraan warga. Ada yang berpendapat bahwa pemerintah saja yang bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Ada yang berpendapat bahwa setiap orang dan kepala keluarga yang bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Ada juga yang berpendapat bahwa orang berpendidikan tinggi, partai politik, pemilik perusahaan, orang kaya dan lembaga keuangan internasional yang bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Ada juga responden yang menyatakan bahwa semua pihak itu bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Persepsi warga ini juga menarik untuk dikaji tersendiri lebih lanjut.

Graik 25: Pihak yang semestinya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan

N= 2500

BAROMETER SOSIAL 2015

3.5 Cara Mengatasi Ketimpangan

Upaya apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan sosial? Pemberantasan korupsi menempati urutan pertama sebagai cara yang perlu

dilakukan untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ada indikasi bahwa warga menilai ketimpangan yang ada di berbagai ranah yang menjadi sumber ketimpangan disebabkan oleh tidak meratanya distribusi sumber daya. Sebagian besar sumber daya dinikmati oleh kelompok oran tertentu melalui korupsi. Ini terkait dengan upaya kedua yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan menurut warga, yaitu pemerintah bekerja dengan baik.