Monopoli perdagangan VOC di Cirebon

LATAR BELAKANG
Perdagangan yang terjadi di Nusantara sudah berlangsung sejak beribu–ribu
tahun lamanya. Perdagangan yang dilakukan dengan bangsa asing sudah terjalin seperti
dengan bangsa Cina, India, dan Arab. Barang komoditi yang diperjualbelikan seprti
keramik yang berasal dari Cina, karpet yang dari Bangsa Arab, dan lain sebagainya.
Sedangkan barang komoditi yang berasal dari Nusantara itu berupa rempah-rempah
yang dilakukan dengan cara barter. Sesuai dengan perkembangannya perdagangan di
Nusantara mulai mengalami kemajuan setelah mengenal mata uang dan mata uang
tersebut berlaku untuk barang-barang komoditi yang diperjualbelikan di Nusantara.
Sekitar abad ke-15 tepatnya pada tahun 1453 menurut Ricklefs (2008:40)
terjadilah suatu peristiwa ditutupnya laut tengah dimana laut tengah merupakan
penghubung untuk barang komoditi yang berasal dari timur atau Asia menuju ke barat
atau Eropa, oleh sebab itulah bangsa Eropa terpaksa untuk mencari barang komoditi
yang berasal timur atau Asia seperti rempah-rempah langsung menuju sumber barang
komoditi tersebut tanpa melalui jalur perdagangan di laut tengah. Bangsa Eropa yang
mempelopori mencari jalur perdagangan yang baru adalah Portugis dan Spanyol atas
perintah dari pihak gereja. Beberapa tahun setelahnya bangsa Eropa yang lain mengikuti
jejak kedua negara tersebut salah satunya Belanda.
Pada tahun 1595, ekspedisi Belanda yang pertama siap berlayar ke Hindia timur.
Sebanyak 4 buah kapal dengan 249 awak dan 64 pucuk meriam berangkat dibawah
pimpinan Cornelis de Houtman. Pada bulan juni 1596 kapal-kapal de Houtman tiba di

Banten yang merupakan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat. Di Banten orang-orang
Belanda terlibat dalam konflik baik dengan orang-orang Portugis maupun dengan
orang-orang pribumi. De Houtman meninggalkan Banten dan berlayar ke timur dengan
menyusuri pantai utara Pulau Jawa. Di sepanjang perjalanan dari Jawa bagian barat
sampai ke timur banyak sekali berjatuhan korban dari pihak Belanda maupun pengusa
lokal. Sampai pada tahun 1597, sisa-sisa ekspedisi itu kembali ke negeri Belanda

dengan membawa cukup banyak rempah-rempah di atas kapal mereka menunjukan
bahwa mereka mendapat keuntungan (Ricklefs 2008:50) .
Pada tahun 1598 dimulailah zaman yang dikenal sebagai zaman pelayaranpelayaran liar atau tidak teratur (wilde vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan
ekspedisi Belanda yang saling bersaing untuk memperoleh rempah-rempah Nusantara.
Maka dari itu untuk menghindari secara terus menerus persaingan yang terjadi diantara
perusahaan-perusahaan Belanda dibentuklah VOC

(Vereenigde Oost Indische

Compagnie) atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur pada bulan Maret 1602. Tujuan
didirikannya VOC ini untuk menggabungkan perseroan-perseroan yang saling bersaing
yang diwakili oleh sistem majelis (kamer) untuk masing-masing dari enam wilayah di
negeri Belanda. (Ricklefs 2008:50).

Selain itu VOC merupakan alat organisasi Belanda dalam peperangan melawan
Portugis dan Spanyol dalam hal perluasan wilayah kekuasaan di Nusantara. Hal ini
dikarenakan Bangsa Belanda pada saat itu sedang berperang melawan kedua negara
tersebut. Usaha VOC untuk mengatur semua kepentingannya di Nusantara yaitu
mendirikan Batavia sebagai suatu kesatuan pimpinan dalam keadaan perang dan
menjadi pusat pemerintahan bagi VOC di Nusantara seperti halnya dengan Portugis
yang mempunyai pusat di Goa. Tujuan pendirian pusat pemerintahan di Batavia ini pun
sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kepentingannya yaitu melawan Portugis
dan Spanyol yang berada di Nusantara (Burger,1962:50).
Dalam perkembangannya VOC di Nusantara melakukan perdaganganperdagangan dengan Sumatera tengah yaitu pada tahun 1642 di Palembang dan pada
tahun 1643 di Jambi dan berbagai wilayah lainnya di Nusantara. Menurut Burger
(1962:59-60) hubungan perdagangan itulah yang menjadi faktor penyebab penurunan
atau mundurnya perdagangan laut di Nusantara. Berbagai hal yang dilakukan VOC
dalam perdagangan, seperti persaingan dengan para pedagang pribumi maupun para
pedagang asing. Persaingan dengan para pedagang ini pihak VOC melakukannya
dengan memperjual-belikan barang komoditi yang kualitasnya lebih bagus. Selain itu

usaha kekerasanpun sering dilakukan untuk menguasai suatu wilayah atau pusat
perdagangan. Pada awalnya persaingan perdagangan itu belum memberikan dampak
pokok terhadap kemunduran perdagangan atau pelayaran orang-orang Jawa, karena

pada saat itu sekitar pertengahan abad 17 VOC belum melakukan kebijakan monopoli
perdagangan di Jawa. Akan tetapi pada akhir abad 17 VOC melakukan monopoli
perdagangan. Monopoli perdagangan yang pertama di pulau Jawa yaitu di Mataram.
Monopoli perdagangan itu mengakibatkan perdagangan di Mataram mengalami
kemunduran. Akan tetapi kemunduran perdagangan di Mataram itu tidaklah mencegah
timbulnya atau berkembangnya perdagangan di berbagai wilayah di Nusantara salah
satunya di Cirebon.
Cirebon yang merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar bangsa. Cirebon juga terletak diantara Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Berita tentang nama Cirebon menurut Tome Pires yang menyebut Cirebon dengan
Chorobon menurut catatan Pires, Cirebon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan
selalu ada empat sampai lima kapal yang berlabuh disana. Sejak awal berdirinya, kota
pelabuhan Cirebon menduduki posisi yang sentral dibidang pelayaran dan perdagangan
di Jawa Barat. Dibidang pelayaran Cirebon yang merupakan kota pelabuhan menjadi
salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa memiliki peran sebagai pusat
perdagangan. Perdagangan dilakukan tidak hanya dengan penduduk setempat melainkan
ada pula hubungan perdagangan dengan bangsa asing yang pada waktu musim-musim
tertentu datang dan bahkan banyak pedagang asing yang menetap di Cirebon. Komoditi
yang dihasilkan dari wilayah Cirebon adalah bahan pangan seperti sayur-sayuran, air
tawar, beras dan sebagainya untuk persediaan para saudagar lokal maupun asing dalam

perjalanan. Khusus mengenai beras, Tome Pires memberitakan bahwa Cirebon justru
berkaitan dengan kenyataan Cirebon dan daerah sekitarnya menghasilkan beras yang
berlimpah sehingga dapat diekspor sampai ke Malaka. Dan dari daerah pedalaman
Cirebon diekspor pula kayu dengan kualitas yang baik.(Zuhdi,1996:116-117)
Pada periode sebelum kedatangan VOC para pedagang islam menduduki posisi
yang sentral baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik. Pada abad 14 M

perdagangan dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang muslim. Dari cerita
Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi bahwa terjadi perpindahan Bandar
perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya terlertak pada Bandar Muhara Jati di
dukuh Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu ke Caruban. Alasan mengapa Bandar
dagang dipindahkan, menurut cerita Bandar dagang di Muhara jati mulai berkurang
keramaiaannya. Caruban sendiri dibangun oleh Walangsungsang atau Ki Samadullah
atau Cakrabumi sebagai kuwu dan seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandarbandar di Cirebon makin ramai dan makin baik untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir,
Arab, Cina, Campa, dan lainnya, hal ini diungkap oleh Anwar Falah (Susanto Zuhdi,
1997:56). Dalam bidang politik sejak pertama kali islam masuk ke wilayah Cirebon
pada awal abad ke 15. Sunardjo (1983:37-45) yang menjadi kepala pemerintahan di
Cirebon yaitu seseorang yang mempunyai latar belakang Islam sampai pada masa
pemerintahan kesultanan-kesultanan Cirebon yaitu pada abad ke 17, pemerintahan di
Cirebon tetap dipimpin oleh orang beragama Islam. Oleh karena itu para pedagang

Islam yang berasal dari negeri seberang sangat dihormati di Cirebon. bahkan sampai
pada periode kedatangan VOC di Cirebon.
VOC di Nusantara Menurut Leirissa (Susanto Zuhdi,1996:78) mulai
menancapkan pengaruhnya di Cirebon ketika VOC berhasil mengembalikan ketiga
penguasa Cirebon (Martawijaya, Kartawijaya, dan Wangsakerta) yang ditangkap
Trunojoyo dan diserahkan pada Sultan Banten. Setelah itu Kesultanan Cirebon
mengalami konflik baik internal maupun eksternal, konflik eksternal diawali dimana
Sultan Banten mengangkat Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh (1678) dan
Pangeran

Kartawijaya

sebagai

Sultan Anom

(1679).

Selanjutnya,


keduanya

dikembalikan ke Cirebon sehingga Cirebon terbagi 3: Kesultanan Kasepuhan di bawah
Pangeran Martawilaya yang digelari Sultan Raja Syamsuddin atau Sultan Sepuh I,
Kesultanan Kanoman di bawah Pangeran Kartawijaya atau Sultan Muhamad Badriddin
atau Sultan Anom I, dan Kacirebonan yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta
dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Cirebon.
Tindakan Sultan Tirtayasa ini tampaknya dimaksudkan agar Cirebon menjadi daerah

buffer (penyangga) antara Banten dengan Batavia dan Mataram, dan juga agar kedua
Sultan Cirebon membantu Banten dalam upaya menaklukan Sumedang dan daerahdaerah Priangan lainnya. Pihak kerabat Cirebon sendiri tampaknya menerima keadaan
ini, dengan prasangka baik, mengingat Banten dan Cirebon didirikan oleh leluhur yang
sama yaitu Sunan Gunung Jati.
Konflik internal yang terjadi diantaranya yaitu ketika Pangeran Martawijaya
atau Sultan Sepuh I mendirikan keraton yang baru di sebelah barat keraton Pakungwati
dan disebut dengan keraton Kasepuhan, sedangkan Pangeran Kartawijaya atau Sultan
Anom I mendirikan keraton yang letaknya kurang lebih satu kilometer sebelah utara
keraton Pakungwati yang dikenal dengan keraton Kanoman. Sementara itu, Pangeran
Wangsakerta tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri, namun berdiri
sebagai kaprabonan (paguron) (Sunardjo, 1996: 39,41). Ketiga penguasa Cirebon ini

berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa
ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan Anom,
juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan
Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat
kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal.
Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri menjadi
vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian Sultan Banten
dan selalu menyebut mereka panembahan (Sunardjo, 1996:42, 51).
Hubungan antara VOC dan Cirebon belum banyak menarik perhatian para
peneliti, dibandingkan dengan hubungan Mataram dengan VOC. Bila dilihat situasi
politik pada abad ke-17 hingga abad ke-18, Cirebon dari sebuah kesultanan yang
berwibawa tinggi karena Sunan Gunung Jati selain sultan juga adalah wali, mengalami
degradasi hingga terpecah-pecah dalam beberapa pusat kekuasaan. Hal ini sangat
menyedihkan tentu saja karena perpecahan terjadi akibat masing-masing keturunan
saling berebut kepentingan dan akhirnya situasi ini dimanfaatkan pihak ketiga yaitu
VOC untuk merebut kekuasaan dan menjadikan Cirebon sebagai vassal. Selain dari
bidang politik VOC juga berhasil menanamkan dominasinya dalam bidang ekonomi

melalui perjanjian pada tahun 1681, antara Cirebon dengan VOC yang sangat
mempengaruhi perjalanan Cirebon sebagai kota dagang adalah bahwa VOC

mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor seperti
lada, kayu, gula, beras dan produk lain.
Keadaan perekonomian di Cirebon itu diperjelas oleh Sulistiyono (Susanto
Zuhdi,1996:121). Apapun yang dikehendaki oleh VOC yang semuanya itu bebas dari
bea impor yang sebelumnya pernah dikenakan oleh Keraton sebesar 2% dari nilai
barang. Perjanjian itu jugan mengartur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan
lisensi dari VOC dan sangat dibatasi. Tidak semua kapal boleh masuk kecuali atas izin
dari VOC. Dan tanaman lada yang diusahakan di wilayah Cirebon diatur oleh VOC dan
VOC pula yang menentukan harganya. Dengan adanya perjanjian tersebut maka secara
politis maupun militer Cirebon telah berada dibawah perlindungan langsung dari VOC.
Dalam situasi seperti ini kedudukan para penguasa Cirebon tidak lebih hanya sebagai
perantara antara VOC dengan masyarakat pedesaan di pedalaman. Sebagai konsekuensi
selanjutnya kerton semakin berorientasi ke dalam (inward orientation) dengan
mengembangkan kehidupan kesenian, kerohanian, gaya hidup, dan upacara-upacara
keraton yang adiluhung dengan landasan ekonomi agraris yang berpusat di keraton.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, masalah utama yang
dikaji adalah “Monopoli perdagangan Verenigde Oost Indische Compagnie di Cirebon
1681-1705 (Dampaknya terhadap kehidupan ekonomi dan politik di Cirebon)”. Terdapat

beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa latar belakang VOC melakukan monopoli perdagangan di Cirebon?
2. Bagaimana dampak monopoli perdagangan VOC terhadap kehidupan
ekonomi masyarakat Cirebon?
3. Bagaimana dampak monopoli perdagangan VOC terhadap kehidupan politik
Kesultanan Cirebon?

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang Monopoli Perdagangan
Verenigde Oost Indische Compagnie di Cirebon pada tahun 1681-1705 dan dampaknya
terhadap kehidupan ekonomi dan politik di Cirebon. Selain itu penulisan karya ilmiah
ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui latar belakang VOC melakukan monopoli perdagangan di Cirebon.
2. Mengetahui dampak monopoli perdagangan VOC terhadap kehidupan ekonomi
masyarakat Cirebon.
3. Mengetahui dampak monopoli perdagangan VOC terhadap kehidupan politik
Kesultanan Cirebon.

MANFAAT PENELITIAN
1. Secara Teoritik

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan
mengenai dua konsep yaitu ekonomi dan politik. Dimana dua konsep
tersebut dalam kehidupan bernegara seringkali saling mempengaruhi satu
sama lain.
2. Secara praktik
a. Manfaat bagi penulis adalah sebagai salah satu karya ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
b. Bagi lembaga terkait adalah memperkaya pengetahuan akan sejarah lokal
yang ada di daerahnya sendiri.
c. Karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan, pemikiran dan
perbandingan dalam penulisan sejarah lainnya.
KAJIAN PUSTAKA
1.

Judul buku : Sejarah Cirebon
Penulis
: P.S Sulendraningrat
Terbit
: 1985


Penerbit
Halaman

: Balai Pustaka 1985
: 107 halaman

Sebelum mengungkapkan tentang hubungan Cirebon dengan VOC, sebelumnya dalam
buku ini dijelaskan mengenai masuknya islam di Indonesia khususnya di Jawa Barat,
sislsilah sunan gunung jati baik dari dari keturunan ayah maupun ibu beserta riwayat
singkatnya, sampai pada digabungkannya wilayah indramayu, kuningan, majalengka ke
wilayah cirebon selain itu dalam buku ini dijelaskan latar belakang Cirebon tidak ersatu
dengan mataram yaitu Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit
di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan mataram. Banten curiga,
sebab cirebon dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak, mataram pun menuduh
cirebon tidak lagi sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya
dan Sultan Ageng dari banten adalah sama-sama keturunan pajajaran. Kondisi panas ini
memuncak dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura.
Ia lalu dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam
sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga menantu
Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan
Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra
panembahan Girilaya di tahan di mataram. Dengan kematian panembahan Girilaya,
terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran
Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak
Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang
untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari
mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan Girilaya yang
ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon. Bersama satu lagi
putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai penguasa kesultanan
Cirebon.
2.

Judul
Penulis
Penerbit
Terbit

: Kondisi Ekonomi Politik Kerajaan Cirebon
: Uka Tjandrasasmita
: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta.
: 1996

Dalam artikel yang dimuat dalam bentuk buku yang diterbitkan Depdikbud
dijelaskan bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon masih berkeyakinan HinduBuddha. Pada saat itu Cirebon masih dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran.
Menurut cerita tradisi Cirebon mulai memeluk agama islam sekitar tahun 1337 M yang
dibawa oleh Haji Purba. Pada abad 14 M perdagangan dan pelayaran sudah banyak
dilakukan oleh orang muslim. Dari cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi
bahwa terjadi perpindahan Bandar perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya
terlertak pada Bandar Muhara Jati di dukuh Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu
ke Caruban. Alasan mengapa Bandar dagang dipindahkan, menurut cerita Bandar
dagang di Muhara jati mulai berkurang keramaiaannya. Caruban sendiri dibangun o0leh
Walangsungsangatau Ki Samadullah atau Cakrabumi sebagai kuwu dan seterusnya.
Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di Cirebon makin ramai dan makin baik
untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina, Campa, dan lainnya (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56). Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi
di Cirebon dikuasai penuh oleh VOC. Dengan diadakannya perjanjian antara Belanda
dengan Cirebon 30 April 1681, Cirebon selalu akan memelihara kepercayaan terhadap
Belanda. Akan tetapi, seluruh komoditi perdagangan di Cirebon, dikuasai Belanda, hal
ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon. Belanda
menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya yaitu kebijakan
menanam 10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur. Juga dengan surat
perintah tanggal 1 Maret 1729. Dari gambaran diatas kita kenali bahwa pihak
kesultanan sendiri dalam menjalankan perekonomian terutama terhadap komoditikomoditi ekspor kurang, peranannya lebih banyak ditangan Belanda. Hal itu semuanya
jelas dampak negative pengaruh kolonialisme Belanda sejak perjanjian tahun 1681 dan
seterusnya.

Dengan

perjanjian-perjanjian

tersebut

Belanda

sejak

Kompeni

menginginkan penguasaan atas daerah subur produksi kopi dan lainnya dapat
terlaksana, disamping rasa ketakutannya terhadap penguasaan daerah Priangan Timur
itu dikuasai oleh Banten dan juga Mataram (Departemen Pendiidikan dan Kebudayaan,
1997:67). Selain yang telah dibahas diatas, keadaan ekonomi yang diterangkan oleh
Uka Tjandrasasmita. Dapat dilihat pula keadaan perekonomian dari sumber lainnya.

Selain perdagangan dan pelayaran. Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan
masyarakatnya yang menjadi nelayan. Cirebon juga dikenal sebagai kota udang, artinya
Cirebon juga memiliki satu komoditi dagang utama yaitu terasi, petis dan juga garam.
Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari orang asing. Orang asing tersebut
menjadi syahbandar atau yang mengantur tentang ekspor impor perdagangan. Cirebon
yang menjadi syahbandarnya yaitu orang-orang Belanda. Alasan mengapa syahbandar
diambil dari orang-orang asing, karena orang-orang asing dianggap lebih mengetahui
tentang cara-cara perdagangan. Di kota Cirebon juga terdapat pasar tertua yaitu pasar
yang terletak di timur laut alun-alun kraton Kasepuhan dan lainnya di sebelah utara
alun-alun kanoman.
3.

Judul
: Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon
Penulis
: Bockani, Sanggupri, dkk
Penerbit
: CV. Sukerejo Bersinar
Terbit
: 2001
Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon
sendiri mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari
bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon
mempunyai ati sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura
1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana
sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon
menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah
seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak
inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam. Sebelum berdirinya
kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah
Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir
dipimpin oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman
dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya. Keduanya adalah saudara Prabu
Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah dengan Ratu
Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di

bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan.
4.
Judul
: Sejarah daerah Jawa Barat

Penulis
: Kosoh, dkk
Penerbit
: Balai Pustaka
Terbit
: 1994
Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa.
Cirebon sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi
dan sebagai keluar –masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat
pedesaan, dengan luar daerah, maupun dari negeri lain. Perdagangan ini melalui
2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat biasanya dengan alat
transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah. Jalurnya dari
Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. 3 wilayah pedalaman
diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur mayur, buahbuahan, padi. Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu :
logam, besi, emas, perak, sutera, dan keramik. Barang-barang tersebut biasanya
berasal dari Cina. Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina
mempunyai peranan yang sangat besar karena barang-barang kebutuhan
masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang dari Cina. Mereka memakai sistem
barter yang dimaksud barter disini yaitu barter uang dengan mempergunakan
mata uang. Perdagangan Cirebon mengalami kemunduran karena adanya
5.

monopoli perdagangan dari kompeni Belanda.
Judul
: Cirebon sebagai bandar jalur sutra
Penyunting : Susanto Zuhdi (Guru Besar Sejarah UI)
Penerbit
: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta
Terbit
: 1996
Dalam buku ini yang saya dapatkan hubungan Cirebon dengan VOC dimana hal
ini belum banyak menarik perhatian para peniliti, dibandingkan dengan
hubungan Mataram dengan VOC. Baru pada tahun 1680-an VOC mengadakan
hubungan yang tetap dengan Cirebon ketika itu VOC berhasil mengembalikan
ketiga penguasa Cirebon ( Martawijaya, Kartawijaya, dan Wangsakerta) yang
ditangkap oleh Trunojoyo dan diserahkan pada Sultan Banten hubungan itu
dilandasi oleh sebuah perjanjian dimana secara teoritis Cirebon tetap menjadi
“Vasal” Mataram tetapi secara de facto menjadi protektorat VOC. Kegiatan

dalam konteks itu mencakup soal – soal politik dan ekonomi.
6.
Judul
: Kerajaan Cirebon 1479 – 1809

Penulis
Penerbit
Terbit
Dalam buku ini sya

: Unang Sunardjo SH
: Tarsito. Bandung
: 1983
mengambil periode-periode perjanan kerajaan Cirebon dari

periode Nagari-nagari Hinduu di sekitar Cirebon, periode awal nagari bercorak
islam di pesisir Cirebon, susuhunan jati Syarif Hidayatullah memimpin kerajaan
Cirebon, Masa pemerintahan Panembahan ratu kepala ke II tahun 1568 – 1649,
masa pemerintahan Panembahan Girilaya (Panembahan Ratu ke II) yang
merupakan kepala negara Cirebon ke III, 1649 – 1667, sampai pada masa
pemerintahan Kesultanan – kesultanan Cirebon.

METODOLOGI DAN TEKNIK PENELITIAN
1. Metodologi Penelitian
Sebagaimana halnya prosedur kerja dalam penyusunan sejarah pada
umumnya, maka kajian sejarah lokal juga perlu memperhatikan empat
langkah utama dalam kegiatannya. Keempat langkah itu yaitu:
a. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani “heuriskein” yang berarti
menemukan. Jadi kegiatan ini terutama ditujukan untuk menemukan
serta mengumpulkan jejak-jejak dari peristiwa sejarah yang
sebenarnya mencerminkan berbagai aspek aktivitas manusia di waktu
yang lampau. (Widja, I Gde 1989:18), secara umum sumber sejarah
dibagi menjadi dua jenis yaitu sumber primer atau kesaksian dari
seseorang saksi yang secara langsung melihat peristiwa sejarah
tersebut melalui panca indera yang dimiliki atau secara langsung ada
pada saat peristiwa itu terjadi. Kedua adalah sumber sekunder
kesaksian dari orang yang tidak melihat secara langsung peristiwa
dan tidak ada di tempat berlangsungnya peristiwa sejarah.
b. Kritik

Kritik sumber umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama.
Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai
kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Kritik sumber
dalam metode sejarah terbagi menjadi sua yaitu kritik eksternal dan
kritik internal. Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau
pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah yang
dilakukan dengan pemeriksaan yang ketat. Sedangkan kritik internal
lebih menekankan pada aspek dalam yaitu isi dari sumber tersebut,
apakah isi dari sumber tersebut dapat dipercaya atau tidak.
c. Interpretasi
Interpretasi adalah sebuah kegiatan menuliskan dari apa yang telah
diperoleh seperti sumber-sumber. Dalam hal ini bukan hanya
keterampilan teknik pengutipan dan catatan-catatan akan tetapi
menggunakan seluruh daya pikirannya terutama pikiran-pikiran yang
bersifat kritis. Fakta-fakta yang diperoleh dikaitkan-kaitkan satu
sama lain sehingga terlihat antara fakta yang satu dengan yang
lainnya memiliki keterhubungan yang jelas.
d. Historiografi
Historigrafi memilki pengertian penulisan sejarah. Dalam tahap
historiografi

perlu

memperhatikan

prinsip

serialisasi

(urutan

peristiwa), prinsip kronologis (urutan-urutan waktu) dan prinsip
kausalitas (hubungan sebab akibat).
2. Teknik Penelitian
Dalam proses pengumpulan data dan informasi dilakukan beberapa
teknik penelitian diantaranya yaitu melalui studi literatur dan teknik
wawancara. Dalam studi literatur penulis melakukan studi kepustakaan
dengan cara mengumpulkan sumber dari buku-buku, arsip, koran, jurnal dan
buku-buku

yang

terdapat

dalam

internet

yang

sudah

dipercaya

kebenarannya. Studi literatur ini dilakukan untuk mencari sumber primer dan
sekunder dari peristiwa yang akan ditulis.

Masalah-masalah yang dihadapi dalam pencarian sumber khususnya
sumber sejarah lokal adalah kurangnya sumber primer dalam hal ini seperti
arsip dan naskah-naskah kuno yang ada di Indonesia, karena banyak naskah
kuno dan arsip-arsip mengenai peristiwa sejarah tersebut berada di Belanda.

STRUKTUR ORGANISASI PENULISAN SKRIPSI
Hasil yang diperoleh melalui telaah pistaka kemudian disusun kedalam sebuah
struktur organisasi penulisan skripsi yang terdiri dari:
BAB I, Merupakan pendahuluan dari penulisan. Dalam bab ini dijelaskan
mengenai latar belakang masalah yang di dalamnya memuat penjelasan mengapa
masalah yang diteliti timbul dan penting untuk dikaji, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II, Tinjauan Kepustakaan. Bab ini berisi tentang berbagai landasan teoritis
dan informasi sejarah bersumber pada literatur yang berkaitan dengan permasalah yang
akan dikaji.
BAB III, Metodologi Penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang metode dan
teknik penelitian yang digunakan penulis dalam mencari sumber-sumber dan cara
pengolahan sumber yang dianggap relevan dengan permasalahan yang dikaji.
BAB IV, Pembahasan. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis. Uraian
tersebut berdasarkan pertanyaan penelitian yang dirumuskan pada bab pertama.
BAB V, Kesimpulan dan saran. Pada bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan
deskripsi dan beberapa saran yang bermanfaat bagi beberapa pihak yang berhubungan
baik langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang dikaji.