Teori Portofolio Berdasarkan Model Index

Teori Portofolio Berdasarkan Model Index

Makalah
Teori Portofolio dan Analisis Investasi

Dosen Pengampu:
Wawan Sadtyo Nugroho, M. Si, Ak, CA

Disusun Oleh :
Agus Budiarto

14.0102.0011

Feny Adita

15.0102.0017

Sinta Aslivia

15.0102.0058


Tri Mugiarti

15.0102.0065

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2018

BAB I
PENDAHULUAN
Pasar modal merupakan salah satu tonggak penting dalam perekonomian
dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar
modal sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi
keuangannya. Secara formal pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar untuk
berbagai instrumen keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang bisa
diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri, baik yang
diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta. Ada
beberapa daya tarik pemodal untuk melakukan investasi dalam pasar modal.
Pertama, pasar modal diharapkan akan bisa menjadi alternatif penghimpunan dana
selain sistem perbankan. Kedua, pasar modal memungkinkan para pemodal

mempunyai berbagai pilihan investasi yang sesuai dengan preferensi risiko mereka
( Husnan, 2005:3 ).
Dalam dunia bisnis yang sebenarnya hampir semua melakukan investasi
mengandung unsur ketidak pastian atau risiko. Pengembalian dan risiko memiliki
hubungan yang sangat erat dimana semakin besar tingkat pengembalian yang
diharapkan maka semakin besar pula tingkat risiko yang dihadapi. Adanya
perbedaan dalam memandang risiko ini maka perlu adanya pengelolaan kesempatan
investasi, yaitu dengan penciptaan berbagai pengelolaan investasi alternatif.
Dengan adanya keadaan tersebut, pilihan investasi tidak dapat hanya mengandalkan
tingkat keuntungan yang diharapkan. Dalam menghadapi risiko, investor akan
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu investor yang menghindari risiko, investor yang
mempertimbangkan risiko, dan investor yang menyukai risiko.
Investor memilih portofolio yang memberi kepuasan melalui risiko dan
return. Portofolio dikategorikan efisien apabila memiliki tingkat risiko yang sama,
mampu memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi, atau mampu
menghasilkan tingkat keuntungan yang sama, tetapi dengan risiko yang lebih
rendah. Menurut Tandelilin (2010:157) Portofolio optimal adalah portofolio yang
dipilih seorang investor dari sekian banyak pilihan yang ada pada kumpulan
portofolio yang efisien. Untuk menganalisis portofolio, diperlukan sejumlah
prosedur perhitungan melalui sejumlah data sebagai input tentang struktur

portofolio. Model-model analisis portofolio yang dapat digunakan oleh investor
antara lain adalah model Markowitz dan model indeks tunggal. Model Markowitz
membatasi pilihan investor hanya pada portofolio yang terdiri dari aset berisiko,
padahal pada kenyataannya investor bebas memilih portofolio yang juga terdiri dari
aset bebas risiko. Sedangkan Model indeks tunggal didasarkan pada pengamatan
bahwa harga dari suatu sekuritas berfluktuasi searah dengan indeks pasar. Menurut
Jogiyanto (2010:339) Model indeks tunggal merupakan penyederhanaan dari model
Markowitz.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Model Indeks Tunggal: Penyederhanaan Analisis Portofolio
Teori yang pertama kali dikemukakan oleh Harry Markowitz pada tahun
1956 mengalami perkembangan dan penyederhanaan yang membawa dampak
besar pada implementasi teori tersebut dalam dunia keuangan. Penyederhanaan
bukan hanya dalam artian input yang dipergunakan, tetapi juga bagaimana
menaksir input yang diperlukan untuk analisis.
1. Masukan untuk Analisis Portofolio
Ketika melakukan analisis portofolio, perhatian akan terpusat pada
dua parameter, yaitu tingkat keuntungan yang diharapkan dan deviasi standar

tingkat keuntungan portofolio yang efisien. Tingkat keuntungan yang
diharapkan dari portofolio dinyatakan sebagai berikut:
E (Rp) = ∑ X iE (Rp)
Sedangkan deviasi standar portofolio dinyatakan sebagai:
σp = [ ∑ X12 σi + ∑∑ Xi Xj σij ] 1/2
Jika ingin melakukan analisis portofolio yang terdiri dari 5 saham
(atau sekuritas)
misalnya, maka untuk menaksir E(R) perlu menaksir
tingkat keuntungan yang diharapkan dari masing-masing saham yang
membentuk portofolio tersebut. Perlu penaksiran lima tingkat keuntungan
yang diharapkan. Untuk menaksir tingkat keuntungan yang diharapkan dari
suatu portofolio, perlu menaksir jumlah
tingkat keuntungan
yang
diharapkan sebanyak jumlah saham yang membentuk portofolio tersebut.
Sebaliknya jika ingin menaksir σp sebelumnya harus menaksir variance (atau
deviasi standar) dari saham-saham yang membentuk portofolio tersebut dan
koefisien korelasi antar tingkat keuntungan (atau covariance). Jumlah
koefisien korelasi yang perlu ditaksir ini akan meningkat dengan cepat
apabila memperbesar saham-saham yang ada dalam portofolio. Formula yang

dipergunakan untuk menghitung jumlah koefisien korelasi antar tingkat
keuntungan adalah N(N - 1)/2. Dalam hal ini N adalah jumlah sekuritas yang
dipergunakan untuk membentuk portofolio tersebut.
Dapat dilakukan perhitungan koefisien korelasi, variance dan tingkat
keuntungan yang diharapkan berdasarkan atas data tahun-tahun yang lalu.
Tetapi untuk keperluan analisis dan pengambilan keputusan yang
berkepentingan dengan nilai variabel-variabel tersebut di masa yang akan
datang, bukan dengan nilai historisnya. Seandainya nilai variabel-variabel
tersebut relatif stabil, maka bisa melakukan estimasi dengan baik dengan
menggunakan data historis. Untuk keperluan analisis portofolio memang
disyaratkan bahwa data yang digunakan harus mempunyai sifat stationary.
Stationarity ini ditunjukkan dari stabilnya nilai mean dan variance. Kalau
suatu series bersifat stationary berarti untuk variabel tingkat keuntungan yang

diharapkan dan deviasi standar, data historis memang sedikit banyak bisa
dipergunakan untuk menaksir nilai di masa yang akan datang, tetapi tidak
untuk koefisien korelasi.
2. Konsep Model Indeks Tunggal
Jika dilakukan pengamatan maka akan nampak bahwa pada saat
"pasar" membaik (yang ditunjukkan oleh indeks pasar yang tersedia) harga

saham-saham individual juga meningkat. Demikian pula sebaliknya pada
saat pasar memburuk maka harga saham-saham akan turun harganya. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat keuntungan suatu saham tampaknya berkorelasi
dengan perubahan pasar. Kalau perubahan pasar bisa dinyatakan sebagai
tingkat keuntungan indeks pasar, maka tingkat keuntungan suatu saham bisa
dinyatakan sebagai:
Ri = ai + βi Rm
Keterangan:
ai = bagian dari tingkat keuntungan saham i yang tidak dipengaruhi oleh
perubahan pasar. Variabel ini merupakan variabel yang acak.
Rm = tingkat keuntungan indeks pasar. Variabel ini merupakan variabel yang
acak.
βi = beta, yaitu parameter yang mengukur perubahan yang diharapkan pada
Rj kalau terjadi perubahan pada Rm
Persamaan tersebut hanyalah memecah tingkat keuntungan suatu
saham menjadi dua bagian, yaitu yang independen dari perubahan pasar dan
yang dipengaruhi oleh pasar. Menunjukkan kepekaan tingkat keuntungan
suatu saham terhadap tingkat keuntungan indeks dasar. βi sebesar 2 berarti
bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) tingkat keuntungan indeks pasar
sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) Rj sebesar 20%.

Parameter a, menunjukkan komponen tingkat keuntungan yang tidak
terpengaruh oleh perubahan indeks pasar. Parameter ini bisa dipecah menjadi
dua, yaitu, αi (alpha) yang menunjukkan nilai pengharapan dari ai, dan ei, yang
menunjukkan elemen acak dari ai. Dengan demikian maka
ai = αi + ei
Dengan ei mempunyai nilai pengharapan sebesar nol. Persamaan tingkat
keuntungan suatu saham sekarang bisa dinyatakan sebagai berikut.
Ri = αi + βi Rm + ei
Persamaan tersebut merupakan persamaan regresi linier sederhana yang
dihitung dengan R sebagai variabel tergantung dan Rm sebagai variabel
independen. Cara penghitungan regresi secara manual diberikan pada
Apendiks Bab ini, meskipun penggunaan paket program statistik akan sangat
mempercepat perhitungan kita. Perhatikan sekali lagi bahwa Rm dan ei, adalah
variabel random. Karena itu cov (ei,Rm ) = 0. Kemudian diasumsikan bahwa ei
independen terhadap ej, untuk setiap nilai i dan j, formal bisa dinyatakan bahwa
E (ei,ej,) = 0.

Indeks tunggal bisa diringkas sebagai berikut:
Persamaan dasar
Ri = αi + βi Rm + ei

untuk setiap saham i = 1,.,N
Berdasarkan pembentukan saham
E (ei) = 0
untuk setiap saham i = 1,.,N
Berdasarkan asumsi
(1) lndeks tidak berkorelasi dengan unique return:
E[ ei (Rm – E (Rm)) ] = 0
untuk setiap saham i = 1,.,N
(2)Sekuritas hanya dipengaruhi oleh pasar:
E (ei ej) = 0
untuk setiap pasangan saham
i = 1,..,N dan j = 1,.,N, tetapi i ≠ j
Per definisi
Variance ei = E(ei)2 = σei2
untuk semua saham i = 1,..,N
2
Variance Rm = σm
Untuk sekuritas, penggunaan model indeks tunggal menghasilkan tingkat
keuntungan yang diharapkan, deviasi standar tingkat keuntungan dan
covariance antar saham sebagai berikut,

1. Tingkat keuntungan yang diharapkan,
(Ri) = αi + βi E (Rm)
2. Variance tingkat keuntungan
αi2 = βi σm2 + σei2
3. Covariance tingkat keuntungan sekuritas i dan j
σij = βi βj σm2
Model tersebut menunjukkan bahwa tingkat keuntungan yang
diharapkan terdiri dari dua komponen; bagian yang unik, yaitu αi dan bagian
yang berhubungan dengan pasar, yaitu βi E (Rm). Demikian juga variance
tingkat keuntungan terdiri dari dua bagian, yaitu risiko yang unik (σei2) dan
risiko yang berhubungan dengan pasar βi σm2. Sebaliknya covariance sematamata tergantung pada risiko pasar. Model indeks tunggal menunjukkan bahwa
satu-satunya alasan mengapa saham-saham "bergerak bersama" adalah
bereaksi terhadap gerakan pasar.
3. Model Indeks Tunggal untuk Portofolio
Salah satu alasan dipergunakannya model indeks tunggal adalah untuk
mengurangi jumlah variabel yang harus ditaksir. jika melakukan analisis
portofolio maka pada dasarnya kita harus memperkirakan E(Rp ) dan σp. Jika
mempunyai 10 sekuritas yang membentuk portofolio, maka untui menaksir
E(Rp) perlu menaksir sepuluh tingkat keuntungan sekuritas. Untuk menaksir σp
perlu menaksir sepuluh variance tingkat keuntungan dan empat puluh lima

covarince.
Model indeks tunggal akan mampu mengurangi jumlah variabel yang
perlu ditaksir karena untuk portofolio model indeks tunggal mempunyai
karakteristik sebagai berikut. Beta portofolio (βp) merupakan rata-rata

tertimbang dari beta saham-saham yang membentuk portofolio tersebut.
Dinyatakan dalam rumus,
βp = x i βi
Demikian juga alpha portofolio αp, adalah
αp = xi αi
Dengan demikian persamaan (5.4) bisa dituliskan menjadi
E(Rp) = αp = βp + βp E (Rm)
Untuk variance portofolio, αp2, rumusnya bisa dinyatakan sebagai,
αp2 = βp2+ σm2 + ∑ xiσ ei2
Apabila pemodal menginvestasikan dananya dengan proporsi yang sama pada
N saham, maka variance portofolio bisa dinyatakan sebagai,
σp2 = βp2 σm2 + (1/N) [ ∑ (1/N) (σei2) ]
Apabila nilai N menjadi makin besar (artinya makin banyak saham yang
dipergunakan untuk membentuk portofolio), makin kecillah nilai term kedua
dari persamaan tersebut. Karena term tersebut menunjukkan risiko sisa

(residual risk atau unsystematic risk) maka ini berarti bahwa sumbangan risiko
sisa terhadap risiko portofolio menjadi makin kecil jika memperbesar jumlah
saham yang ada dalam portofolio. Jika mempunyai N yang besar sekali, maka
term tersebut akan menjadi sangat kecil dan mendekati nol. Sedangkan term
yang pertama disebut sebagai systematic risk. Penjumlahan kedua terms
tersebut disebut sebagai risiko total dari portofolio (σp2).
Risiko yang tidak bisa dihilangkan kalau kita membentuk portofolio yang terdiri
dari sekuritas yang makin banyak, merupakan risiko yang berkaitan dengan βp.
Kalau kita rnenganggap risiko residual mendekati nol, maka risiko portofolio
mendekati
σp2 = [β p2 σm2 ]1/2 = β p σm = [ ∑ Xi β i ]
Karena nilainya sama σm, tidak peduli saham apapun yang kita analisis, ukuran
kontribusi risiko suatu saham terhadap risiko portofolio yang terdiri dari banyak
saham akan tergantung pada β1.
Risiko sekuritas individual adalah βi2 σm2 + σei2. Karena pengaruh σei2 pada
risiko portofolio dapat dikurangi jika portofolio terdiri dari makin banyak
saham, maka σei2 sering disebut sebagai diversifiable risk. Tetapi pengaruh βi2
σm2 pada risiko portofolio tidak dapat dikurangi dengan menambah sekuritas
dalam portofolio. Oleh karena itu, βi merupakan nondiversifiable risk. Karena
diversifiable risk bisa dihilangkan dengan memperbesar jumlah sekuritas
dalam portofolio, βi sering dipakai sebagai pengukur risiko portofolio.
4. Menaksir Beta
Penggunaan model indeks tunggal memerlukan penaksiran beta dari
saham-saham yang akan dimasukkan ke dalam portofolio. Para analis bisa
menggunakan judgement dalam menentukan beta. Dapat juga menggunakan
data historis untuk menghitung beta waktu lalu yang dipergunakan sebagai

taksiran beta di masa yang akan datang. Ditemukan berbagai bukti bahwa beta
historis memberikan informasi yang berguna tentang beta di masa yang akan
datang (sebagai misal, Brealey and Myers, 1991, h. 183). Para analis sering
menggunakan beta historis sebelum menggunakan judgement untuk
memperkirakan beta di masa yang akan datang.
a. Menaksir Beta Historis
Persamaan menunjukkan bahwa,
Ri = αi + βi Rm + ei
Persamaan ini merupakan persamaan regresi linier sederhana, yang bisa
dipecahkan dengan rumus regresi. Berbagai program statistik untuk
dipergunakan di komputer juga tersedia untuk menghitung persamaan
tersebut. Informasi yang diperlukan adalah series tentang tingkat
keuntungan suatu saham (Ri,) dan tingkat keuntungan indeks pasar (Rm).
Hasil perhitungan tersebut kalau di-plot-kan dalam suatu gambar akan
nampak seperti berikut:
Beta menunjukkan kemiringan
(slope) garis regresi tersebut, dan
α menunjukkan intercept dengan
sumbu Rit. Semakin besar beta,
semakin curam kemiringan garis
tersebut,
dan
sebaliknya.
Penyebaran
titik-titik
pengamatan di sekitar garis
Gambar Penggambaran Beta
regresi tersebut menunjukkan
2
risiko sisa (σei ) sekuritas yang diamati. Semakin menyebar titik-titik
tersebut, semakin besar risiko sisanya. Beta juga bisa dihitung dengan
menggunakan rumus,
βi = (σim / σm2) dan untuk alpha, bisa dihitung dengan
αi = E (Rit) – βp E (Rmt)
Nilai βi , dan αi , yang dihitung dengan persamaan regresi merupakan
taksiran dari beta dan alpha yang sebenamya. Taksiran tersebut tidak luput
dari kesalahan (subject to error ). Berbagai properti statistik, seperti nilai-t,
nilai F, dan koefisien determinasi perlu diperhatikan untuk menggunakan
nilai-nilai taksiran tersebut. Beta sekuritas individual cenderung
mempunyai koefisien determinasi (yaitu bentuk kuadrat dari koefisien
korelasi) yang lebih rendah dari beta portofolio. Koefisien determinasi
menunjukkan proporsi perubahan nilai R1 yang bisa dijelaskan oleh Rm.
Dengan demikian semakin besar nilai koefisien determinasi semakin
akurat nilai estimated beta tersebut. Beta portofolio umumnya lebih akurat
dari beta sekuritas individual karena dua hal. Pertama, beta mungkin
berubah dari waktu ke waktu. Ada sekuritas yang betanya berubah menjadi

lebih besar, ada pula yang mengecil. Pembentukan portofolio
memungkinkan perubahan tersebut menjadi saling meniadakan, atau paling
tidak mengecil. Kedua, penaksiran beta selalu mengandung unsur kesalahan
acak (random error ). Pembentukan portofolio memungkinkan kesalahan
tersebut diperkecil. Karena itu, semakin banyak sekuritas yang
dipergunakan untuk membentuk portofolio, semakin besar nilai koefisien
determinasinya. Dengan demikian maka beta portofolio historis akan
merupakan predictor beta masa depan yang lebih baik dibandingkan dengan
beta sekuritas individual.
b. Menyesuaikan Taksiran Beta Historis
Blume
(1971)
mengamati beta dari berbagai
portofolio pada dua periode
yang berurutan, yaitu beta
pada periode Juli 1954-Juni
1961 dan periode Juli 1961Tabel Beta berbagai portofolio yang
Juni 1968. Beta-beta periode
disusun sesuai peringkatnya untuk dua
pertama tersebut disusun
periode waktu yang berurutan.
menurut
peringkatnya,
dimulai dari beta yang terkecil sampai dengan beta yang terbesar.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa
apabila pada periode pertama beta suatu portofolio kecil, yaitu di bawah
satu, maka pada periode berikutnya akan terjadi kenaikan. Sebagai misal,
beta portofolio pertama adalah 0,393 pada periode pertama, kemudian beta
portofolio ini meningkat menjadi 0,620 pada periode kedua. Sebaliknya
untuk portofolio yang mempunyai beta tinggi, lebih besar dari satu. Pada
periode berikutnya beta portofolio tersebut menurun. Ada kecenderungan
bahwa nampaknya beta portofolio- portofolio tersebut, dalam jangka
panjang akan bergerak di sekitar satu. Berdasarkan fenomena tersebut
Blume kemudian merumuskan teknik untuk menyesuaikan beta historis
yaitu meregresikan ke arah satu. Kalau beta-beta pada periode kedua
diregresikan dengan beta-beta pada periode pertama, akan diperoleh
persamaan
βi2 =0,343 + 0,677 β91
βi2, menunjukkan beta untuk sekuritas i pada periode 2, dan βi2,
menunjukkan beta untuk sekuritas i pada periode 1. Jadi apabila kita
menghitung beta suatu sekuritas pada periode pertama sebesar 2, maka pada
periode yang akan datang kita akan rnemperkirakan bahwa beta sekuritas
tersebut adalah 0,343 + 0,677 (2) = 1,697 , dan bukan 2. Persamaan tersebut
bisa digambarkan sebagai berikut.

Beta periode 2

0,677

0,34
3

Beta periode 1
Hubungan antara beta pada periode 1 dengan beta pada periode 2, hasil
pengamatan Blume
Teknik yang dikemukakan oleh Blume tersebut telah diuji secara
empiris, dan hasilnya ternyata memang lebih baik daripada seandainya kita
menggunakan beta yang tidak disesuaikan (Klemkosky and Martin, 1975).
Pengujian dilakukan terhadap kemampuan meramalkan teknik tersebut
untuk tiga periode yang setiap periodenya terdiri dari lima tahun, saham
individual maupun portofolio yang terdiri dari sepuluh sekuritas.
Penggunaan beta bukan hanya mengurangi jumlah variabel yang harus
ditaksir, beta yang disesuaikanjuga relatif lebih akurat sebagai penaksir beta
di masa yang akan datang dibandingkan dengan beta historis yang tidak
disesuaikan, dan juga dengan koefisien korelasi historis.
c. Beta Fundamental
Penggunaan beta bukan hanya bisa memperkecil jumlah variabel
yang harus ditaksir dan penggunaan data (beta) historis (setelah
disesuaikan) lebih bisa diandalkan, tetapi penggunaan beta juga
memungkinkan kita mengidentifikasikan faktor-faktor fundamental yang
mungkin mempengaruhi beta tersebut. Faktor-faktor fundamental ini yang
tidak bisa diidentifikasikan jika menggunakan matrik koefisien korelasi
historis. Belum bisa diidentifikasikan faktor apa yang menyebabkan,
misalnya, koefisien korelasi saham i dengan j ternyata rendah (atau tinggi)
pada periode waktu tertentu.
Beta merupakan ukuran risiko yang berasal dari hubungan antara
tingkat keuntungan suatu saham dengan pasar. Risiko ini berasal dari
beberapa faktor fundamental perusahaan dan faktor karakteristik pasar
tentang saham perusahaan tersebut. Faktor-faktor yang diidentifi kasikan
mempengaruhi nilai beta adalah:
1) Cyclicality. Faktor ini menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan
dipengaruhi oleh konjungtur perekonomian. Saat kondisi perekonomian
membaik, semua petusahaan akan merasakan dampak positifnya.
Demikian pula pada saat resesi semua perusahaan akan terkena dampak
negatifnya. Yang membedakan adalah intensitasnya. Ada perusahaan

yang segera membaik (memburuk) pada saat kondisi perekonomian
membaik (memburuk), tetapi ada pula yang hanya sedikit terpengaruh.
Perusahaan yang sangat peka terhadap perubahan kondisi perkonomian
merupakan perusahaan yang mempunyai beta yang tinggi dan
sebaliknya.
2) Operating leverage. Menunjukkan proporsi biaya perusahaan yang
merupakan biaya tetap. Semakin besar proporsi biaya tetap maka
semakin besar operating leverage-nya. Perusahaan yang mempunyai
operating leverage yang tinggi akan cenderung mempunyai beta yang
tinggi, dan sebaliknya.
3) Financial leverage. Perusahaan yang menggunakan hutang adalah
perusahaan yang mempunyai financial leverage. Semakin besar
proporsi hutang yang dipergunakan, semakin besar financial leveragenya. Jika menaksir beta saham, maka menaksir beta equity. Semakin
besar proporsi hutang yang dipergunakan oleh perusahaan, pemilik
modal sendiri akan menanggung risiko yang makin besar. Sehingga
semakin tinggi financial leverage, semakin tinggi beta equity.
Beberapa peneliti (Beaver, Kettler, and Scholes, 1970) mencoba
merumuskan beberapa variabel akuntansi untuk memperkirakan beta.
Variabel-variabel yang dipergunakan diantaranya adalah:
1. Dividend Payout, yaitu perbandingan antara dividen per lembar saham
dengan laba per lembar saham.
2. Pertumbuhan aktiva, yaitu perubahan aktiva per tahun.
3. Leverage, yaitu rasio antara hutang dengan total aktiva.
4. Likuiditas, yaitu aktiva lancar dibagi dengan hutang lancar.
5. Asset size, yaitu nilai kekayaan total.
6. Variabilitas keuntungan, yaitu deviasi standar dari earnings price ratio.
7. Beta akunting, yaitu beta yang timbul dari regresi time series laba
perusahaan terhadap rata-rata keuntungan semua (atau sampel)
perusahaan.
Variabel (1) diharapkan mempunyai hubungan yang negatif dengan
beta. Variabel (2) dan (3) diharapkan mempunyai hubungan yang positif.
Variabel (4) diharapkan mempunyai hubungan negatif, dan variabel (5) dan
(6) mempunyai hubungan positif. Beta akunting diharapkan mempunyai
hubungan yang positif dengan beta pasar. Korelasi setiap faktor tersebut
dengan beta menunjukkan hasil yang sesuai dengan pengharapan.
Sedangkan untuk menguji apakah variabel-variabel tersebut memang
mempengaruhi beta, dilakukan uji regresi berganda, dimana variabel
tergantungnya adalah beta.

B. Pemilihan Portofolio Yang optimal
1. Model Utilitas Yang Diharapkan
Utilitas yang diharapkan yang tertinggi tidak selalu sama dengan tingkat
keuntungan yang yang diharapkan yang tinggi. Berdasarkan model ini
digunakan beberapa aksioma tentang perilaku modal dalam pengambilan
keputusan investasi. Asioma asioma tersebut adalah:
a. Para pemodal mampu memilih berbagai alternatif dengan menyusun
peringkat dari alternatif-alternatif tersebut sehingga bisa diambil
keputusan
b. Setiap peringkat alternatif-alternatiftersebut bersifat transitif artinya
kalau investasi Alebih disukai dari pada B dan B lebih disukai daripada
C maka A tentu lebih lebih disukai daripada C.
c. Para pemodal akan memperhatikan risiko alternatif yang
dipertimbangkan dan tidak memperhatikan sifat alternatif-alternatif
tersebut misal, pemodal tidak akan mempertimbangkan apakah suatu
kesempatan investasilebih padat modal atauah lebih padat kaya
d. Para pemodal mampu menentukan certainty equivalen dari setiap
investasi yang tidak pasti dengan nilai penghargaan dari investasi
tersebut
Model utilitas yang diharapkan ini menggunakan asumsi terhadap sikap
pemodal terhadap risiko. Sikap-sikap tersebut dikelompkan menjadi tiga yaitu
sikap yang riska averse (tidak menyukai risiko), risk natural (netral terhadap
risiko), dan riskseeker (menyukai risiko). Sikap yang risk averse berarti bahwa
pemodal akan menolak taruhan yang fair
Dalam analisis investasi ini disimpulkan bahwa pada pemodal adalah
risk aniverdilakukan dengan asionsl diatas, risk avertion berarti bahwa
nilaiakan selalu lebih kecil dari nilai pengharapan marilah kita perhatikan
contoh berikut ini. Misalkan ada suatu kesempatan investasi yang mempunyai
karateristiksebagai berikut.

Expeted value hasil yang diperoleh dari investasi tersebut adalah (+ Rp
5.000)(0,80) + (- Rp 2.000)(0,20) = + Rp 3.600 kalau investasi ini ditawarkan
kepada pemodal, maka nilai certainty equivalent (yang merupakan harga yang
tersedia mereka bayar) yang mereka ajukan akan lebih kecil dari nilai
pengeluaran hasil yang diperoleh misalnny hanya + Rp 2.000.
2. Penyusunan Fungsi Utilitas
Misalkan proyek diatas kita tawarkan pada seorang pemodal. Untuk
menyusun fungsi utilitas kita perlu suatu ukuran aatau indeks utilitas.
Pembentukan indeks ini bersifat sebarang, tetapi untuk mudahnya kita berikan

nilai + 1 untuk hasil + Rp 5.000 dan 0 untuk hasil – Rp 2.000 dengan demikian
maka.

Keadaan tersebut kita bisa tuliskan menjadi.
U(+ Rp 5.000) = + 1 U(- Rp 2.000) = 0
Apabila probabilitas hasil + Rp 5.000 adalah sebesar P dan probabilitas hasil
Rp 2.000 adalah sebesar (1-P), maka expecet utility investasi tersebut adalah.
P x U (+ Rp 5.000) + (1-p) x U (- Rp 2.000)
Karena U(+ Rp 5.000) = 1 dan U(-2.000) = 0 maka expecetd utility investasi
tersebut menjadi
p x 1 + (1-p) x 0 = p
Misalkan sekarang bahwa probabilitas untuk memperoleh hasil + Rp 5.000
adalah + 0,94 dan probabilitas memperoleh hasil negatif RP 2.000 adalah 0,06.
Dengan karateristik investasi tersebut nilai CE misalnya Rp 3.000 indeks
utilitas untuk keadaan tersebut adalah.
U(+ Rp 3.000) =0,94(1) +0,06(0) = 0,94
3. Bentuk Fungsi Utilitas
Fungsi utilitas dari pemodal yang mempunyai sikap risk averse
mempunyai karateristik sebagai berikut. Apabila U(W) adalah fungsi utilitas
dan U”(W) adalah derivtif kedua dari fungsi tersebut, maka U”(W) < 0 keadaan
tersebut bisa dijelaskan dalam pilihan berikut ini.

Apabila pemodal untuk memilih tidak melakukan investasi maka utiilitas
yang diharapkan dri tidak melakukan investasi tentulah lebih besar dari utilitas
yang diharapkn dri melakukan investasi. Hal ini bertri bahwa.
U(1) > (0,50) U(2) + (0,50) U(0)
Ketika kedu sisi persamaan dengan 2 dan susu kembali ketidak samaan tersebut
akan menghasilkan.
U(1) – U(0) > U(2) – U(1)

4. Penggunaan Model Utilitas Yang Diharapkan Untuk Memilih Investasi
Sesekali kita bisa menyusun fungsi utilitas, kita bisa menggunakanya
untuk memilih investasi yang mempunyai unsur tidak pastian. Misalkan indeks
utilitas seorang pemodal terhadap nilai nilai hasil yang diharapkan.
5. Menaksir Prefensi Resiko Permodalan
Suatu cara yang digunakan untuk menaksir prefensi risiko permodalan
adalah dengan menawarkan suatu kesempatan investasi yang beresiko, dan
investasi tersebut diniai ekuivalen dengan investasi yang bebas risiko. Cara ini
dikemukakan oleh Sharpe (1990). Misalkan suatu kesempatan investasi yang
bebas resiko memberikan Rr = 0,10. Per definisi of = 0. Sekarang misalkan
kepada seorang pemodal kita tawarkan suatu investasi (kita sebut saja investasi
A) yang mempunyai karakteristik sebagai berikut.
Probabilitas
Tingkat keuntungan
0,50
0,05
0,50
0,15
Apabila pemodal tersebut bersifat risk averse, maka tentunya ia akan
lebih menyukai investasi yang bebas resiko. E(RA) = 0,10 (sama dengan Rr
padahal deviasi standar A tidak sama dengan nol). Bagi pemodal yang risk
averse keuntugan yang pasti akan lebih disukai dari pada keuntungan yang
diharapkan kalau nilainya sama. Sekarng misalkan bahwa permodalan tersebut
menyetakan bahwa ia merasa indifference apabila kesempatan investasi yang
bersiko mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Probabilitas
Tingkat keuntungan
0,50
0,07
0,50
0,19
Investasi tersebut mempunyai E (RB)=0,13, sedangkan variance
keuntungannya adalah
02 = {(0,07-0,13)2(0,5) + (0,19-0,13)2(0,5)}
= 0,0036
Teknik yang dipergunakan oleh Sharpe (1990) adalah dengan kedua
kesempatan investasi dalam suatu diagram dengan sumbu datar variance dan
sumbu E(R). Kerena kedua investasi tersebut dinilai sama oleh permodalan

tersebut, maka keduanya tentunya berada dalam satu indifference curve.
Karena sumbu datarnya adalah variance, maka indifference curve (IC) tersebut
ditransformasikan menjadi garis lurus. Dengan demikian maka gambar IC
tersebut adalah sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut.
Apabila sumbu tegak diberi notasi sebagai Y dan sumber datar sebagai X, maka
persamaan tersebut merupakan persamaan dengan nilai
a
= 0,10
b
= (0,13-0,10)/0,0036
= 8,333
Dengan demikian persamaan indifference curve adalah E(R) = 0,10+8,333 σ 2
Dengan memasukkan serangkaian nilai E(R), maka dapat diperoleh berbagai
nilai σ2 dan σ Contoh serangkaiaan nilai ttersebut disajikan berikut ini.
E(R)
σ2
σ
0,25
0,0180
0,134
0,22
0,0144
0,120
0,20
0,0120
0,109
0,17
0,0084
0,091
0,15
0,0060
0,077
0,13
0,0036
0,060
6. Safety First Models
Model-model ini berasal dari pemikiran bahwa para pengambil
keputusan tidak mampu atau tidak mau untuk menempuh proses matematis
yang diperlukan dalam proses penyususnan expected utility model, atau tidak
mampu memilih investasi yang indifference. Istilah Sofety First menunjukan
penekanan kriteria untuk membatasi risiko pada hasil-hasil yang jelek.
Terdapat tiga kriteria yang dipergunakan dalam Sofety First.
a. Kriteria Roy
Kriteria Roy menyatakan bahwa portofolio yang terbaik adalah portofolio
yang mempunyai probabilitas terkecil untuk menghasilkan tingkat
keutungan dibawah tingkat keuntungan tertentu. Apabila Rp adalah tingkat
keuntungan minimal yang diinginkan oleh pemodal (pemodal tidak ingin
untuk memperoleh tingkat keuntungan dibawah R1) maka kriteria Roy bisa
ditulikan sebagai Minimumkan Prob (Rp < R1)
b. Kriteria kataoka
Kriteria safety first yang kedua dikembangkan oleh katoka. Kataoka
menyarankan kriteria sebagi maksimum batas bahwa dengan batasan bahwa
probabilitas tingkat keuntungan untuk sama dengan atau lebih kecil dari
batas bawah tindakat lebih besar dari angka tertentu. Sebagai misal,
maksimum R1 atau bibawahnya adalah sama dengan 5%. Apabila α adalah
probabilitas (5%) maka persoalan bisa dirumuskan menjadi maksimumkan
R1 dengan batasan pro (Rp < R1) ≤ α.
c. Kriteria Teles

Kriteria safety yang terakhir adalah yang dipergunakan oleh Telser. Ia
menyarankan bahwa pemodal perlu memaksimalkan tingkat keuntungan
yang diharapkan dengan batasan bahwa probabilitas tingkat keuntungan
tersebut lebih kcil dari pada atau sama dengan limit tertentu. Dengan simbol
sebagi maksimumkan E(Rp) dengan batasan (1) prob (Rp≤R1)≤ α.
Berikut ini disajikan berbagai situasi pada saat terdapat Rf untuk berbagai
kriteria:
1. Kriteria Roy
Apabila terdapat Rf dan distribusi tingkat keuantungan bersifat normal maka
kriteria Roy akan mengakibatkan diinvestasikannya dana pada investasi
yang tidak berisiko, atau melakukan pinjaman sebesar-besarnya.
2. Kriteria Kotaoka
Pada saat terjadi Rf maka penggunaan kriteria Kataoka akan menyebabkan
diivestasikannya seluruh dana pada Rf atau melakukan pinjaman sebesarbesarnya.
3. Kriteria Telser
Dengan adannya Rf kriteria Telser akan memungkinkan terjadinnya tiga
keadaan:
a. Portofolio yang optimal terjadi pada perpotongan garis batasan
dengan garis lending dan borrowing.
b. Portofolio optimal terjadi pada jumlah peminjaman sebesarbesarnya
c. Tidak ada portofolio yang memenuhi syarat, sehingga tidak ada
portofoio ysng optimal.
7. Stochastic Dominance
Teknik ini tidak memperhatikan bagaimana distribusi tingkat
keuntunagn investasi-investasi yang sedang dipertimbangkan. Teknik ini
memperhatikan bagaimana distribusi tingkat keuntungan investasi-investasi
yang sedang dipertimbangkan. Penggunaan stochastic dominance
menggunakan tiga asumsi yang makin kuat tentang perilaku para pemodal.
Asumsi-asumsi tersebut yaitu
a. First Order Stochastic Dominance menyatakan bahwa para pemodal lebih
menyukai yang banyak dari pada yang sedikit
b. Second Ordek Stochastic Dominance menyatakan bahwa pemodal bersikap
tidak menyukai risiko
c. Third Order Stochastic Dominance menyatakan bahwa pemodalmempunyai
decreasing absolute risk aversion yang berarti bahwa dengan meningkatkan
kekayaan para pemodal, mereka akan menginvestasikan rupiah yang lebih
banyak pada kesempatan investasi yang berisiko.

Illustrasi:

Hasil
8%
10%
12%
14%
16%
18%
20%
22%
24%

Probabilitas
komulatif
A
B
0
0














1





2

Penjumlahan prob
komulatif
A
B
0
0
0





1 ⁄

1 ⁄


1

2 ⁄
3
4


1

2 ⁄
3
4

Penjumlahan prob.
Prob komulatif
A
B
0
0
0







1 ⁄

5 ⁄

6 ⁄

1 ⁄
3 ⁄
8 ⁄

12 ⁄

2 ⁄
4
9 ⁄

13 ⁄

Dalam memilih investasi yang tepat dalam kondisi seperti itu, perlu
memperhatikan asumsi yang kedua yaitu Second Order Stochastic Dominance.
Yang menyatakan bahwa pemodal bersikap risk averse. Mereka akan
merasakan utilitas yang lebih besar pda satu juta rupiah pertama yang mereka
miliki dari pada satu kuta rupiah yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Dengan begitu, pemodal akan menaruh nilai yang lebih besar pada keuntungan
yang kecil dari pada keuntungan yang besar. Iniberati bahwa pemodal
akanlebih menyukai investasi A.

Kesimpulan
Model indeks tunggal mendasarkan diri pada pemikiran bahwa tingkat
keuntungan suatu sekuritas dipengaruhi oleh tingkat keuntungan portofolio pasar.
Dengan menggunakan model indeks tunggal bisa diredusir jumlah variabel yang
perlu ditaksir, karena tidak perlu lagi ditaksir koefisien korelasi untuk menaksir
deviasi standar portofolio. Disamping itu beta juga merupakan variabel yang relatif
stabil. Dengan menggunakan modifikasi tertentu, beta historis nampaknya bisa
dipergunakan untuk'memperkirakan beta di masa yang akan datang dengan cukup
baik. Akhimya, beberapa variabel fundamental nampaknya bisa diidentifikasikan
sehingga lebih memudahkan untuk memperkirakan beta di masa yang akan datang.
Setelah memperoleh efficient frontier , langkah selanjutnya ialah memilih
portofolio yang efisien. Secara umum, portofolio yang akan dipilih pemodal akan
tergantung pada preferensi risiko pemodal tersebut. Preferensi risiko tersebut dapat
dianalisis dari fungsi utilitas yang diaharapkan maupun pertimbangan lainnya
seperti safety first dan stochastic dominance.
Analisis investasi menggunakan asumsi bahwa para pemodal bersikap ris
averse yang artinya bahwa mereka mengharapkan kompensasi tingkat keuntungan
yang semakin besar kalau mereka harus menanggung risiko yang semakin besar.
Dengan asumsi tersebut, maka portofolio yang akan dipilih adalah portofolio yang
merupakan titik singgung antara efficient frontier dengan kurva indifference
pemodal tersebut.
Pendekatan yang selanjutnya ialah denagan safety first dan stochastic
dominance. Safety first menggunakan beberapa kriteria seperti kriteria Roy, kriteria
Kataoka, dam Telser. Sedangkan pendekatan stochastic dominance merupakan
suatu teknik untuk memilih investasi yang berisiko tanpa harus menggunakan
distribusi normal untuk tingkat keuntungan

Daftar Pustaka
Bodie, Zvi, Alex Kane, dan Alan J. Marcus. 2006. Investasi. Jakarta: Salemba
Empat.
Husnan, Suad. 2001. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas.
Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.
Tandelilin, Eduardus. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.