PERLINDUNGAN HAK HAK MASYARAKAT LOKAL DA

PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT LOKAL DALAM
PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA SUMBER INDUSTRI
KREATIF: PERSFENTIF HUKUM INTERNASIONAL
Studi Kasus Perlindungan Karya Sastra Masyarakat Bugis, La Galigo
Rusmana bin Sayidin

I.

Pendahuluan
Arus transformasi masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat
industri, baik langsung ataupun tidak langsung, telah membawa pergeseran sistem
nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya barat yang
dalam tata interaksi masyarakat dunia relatif memiliki pengaruh yang dominan
telah mengikis sedikit demi sedikit nilai-nilai masyarakat lokal yang umumnya
hidup di negara-negara

berkembang. Untuk

nilai-nilai yang sifatnya

fundamental, hal ini tidak jarang menimbulkan


benturan dan reaksi dari

masyarakat lokal yang merasa diintervensi oleh nilai-nilai yang mereka anggap
tidak sesuai dengan jiwa masyarakat lokal.
Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) adalah salah satu contoh konkrit
dimana nilai-nilai individualistic dan monopolistic berhadapan dengan karakter
masyarakat Indonesia yang bersifat komunal dan menghargai kehidupan harmonis
dengan sesama.
Di Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang HKI
sesungguhnya tidak disasarkan pada kepentingan atau kebutuhan dari mayoritas
penduduknya sendiri. Pembentukan perundang-undangan HKI lebih banyak di
dasarkan pada kebutuhan untuk menyesuaikan diri terhadap kecenderungan
perdagangan global.1

1

Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, (CV. Nuansa Aulia, 2009), 15.

1


Menurut Frederick Abbott sistem perlindungan HKI merugikan negaranegara berkembang.2 Akan tetapi mengap Indonesia tetap memberlakukan HKI
meski terbukti tidak sepenuhnya bermanfaat? Menurut Agus Sarjono hal itu
dilakukan

tidak lain karena Indonesia harus menyesuaikan diri terhadap

kesepakatan-kesepakatan internasional agar supaya dapat diterima

sebagai

anggota masyarakat dunia, serta tidak dikucilkan dalam dari arus perdagangan
global.3 Dengan kata lain, diterapkannya HKI di Indoensia lebih disebabkan
factor “keterpaksaan” ketimbang faktor kebutuhan.
Terkait dengan pelaksanaan HKI ini, salah satu isu menarik untuk dibahas
adalah mengenai perlindungan pengetahuan tradisional.

Seperti kita ketahui,

diadopsinya HKI dalam sistem hukum nasional, bagaimanapun telah “memaksa”

kita untuk merubah paradigma dalam melihat suatu pengetahuan tradisional dari
suatu obyek yang perlu tetap dijaga kegratisannya menjadi obyek yang bernilai
ekonomis.

4

Persoalannya, seberapa jauh sistem perlindingan HKI yang bernilai

individualistic dan monopolistik cocok bagi perlindungan pengetahuan tradisional
yang berakar pada nilai budaya komunal? Dalam menjawab pertanyaan tersebut,
penulis mencoba mengetengahkan salah satu kasus perlindungan karya sastra
masyarakat Bugis, I La Galigo.

I La Galigo adalah karya sastra orang Bugis

dalam bentuk rangkaian puisi yang tebalnya lebih dari 6.000 halaman.5
Sebagai sebuah pengetahuan tradisional, tidak ad keraguan bahwa I La
Galigo adalah hasil karya dan milik masyarakat Bugis, meskipun saat ini sebagain
besar masyarakat Bugis mungkin tidak mengenal karya sastra tersebut.
Persoalannya muncul justru ketika I La Galigo dimanfaatkan oleh pihak asing

secara ekonomis. Seperti kita ketahui bahwa I La Galigo, pernah dipentaskan

2

Frederick Abbott, et al. The International Intelectual Proverty Sistem : Commentary and Materials Part
One. (Kluwer law International, 1999), 8, sebagaimana di kutif Agus Sarjono, Ibid, 18.
3

Agus Sarjono, Ibid., 18.

4

Ranggalawe Suryasaladin, Masalah Perlindungan HKI Bagi Traditional Knowledge, 2008.

5

Muhammad Salim, “I La Galigo, "Bissu", dan Keberadaannya, Harian Kompas, 04 April 2004

2


untuk pertama kalinya di Esplanade, Singapura, 12-13 Maret 2004 dan
disutradarai Robert Wilson.6
Pementasan oleh pihak asing tersebut nyatanya telah menimbulkan pro
dan kontra. Ada yang berpandangan bahwa ha tersebut telah melanggar hak-hak
masyarakat lokal sebagai pemilik dari pengetahuan tradisional tersebut. Tapi ada
juga yang berpandangan bahwa hal tersebut justru perlu didukung karena
pementasan I La Galigo tersebut secara tidak langsung akan memperkenalkan dan
mempromosikan I La Galigo ke masyarakat internasional.
Karena itu ketika masyarakat mempertanyakan sejauhmana legalitas dari
pementasan I La Galigo oleh pihak asing tersebut, dalam hal ini memang tidak
mudah untuk menjawabnya. Sebab, dalam menilai aktivitas eksploitasi I La
Galigo, betapapun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan komitmen dan
norma-norma hukum yang sejak tahun 1982 telah dikukuhkan dalam UndangUndang (UU) Hak Cipta. Di antaranya- yang paling relevan- adalah ketentuan
dalam Pasal 10, bahwa negara memegang hak cipta atas karya peninggalan
sejarah, prasejarah, dan benda-benda budaya. Negara juga memegang hak cipta
atas hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama dalam kaitan
penggunaannya oleh pihak luar negeri. Bahkan, UU Hak Cipta Tahun 2002 lebih
menegaskan lagi kewajiban orang asing agar meminta izin jika bermaksud
mengumumkan atau memperbanyak karya-karya seperti itu.
Dalam menelaah permasalahan tersebut, penulis berangkat dari asumsi

bahwa HKI sebagai suatus sistem nilai yang berasal dari dunia barat tidak sejalan
dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat tradisional, meski dalam tataran
praktis hal tersebut tidak begitu saja dapat ditolak kehadirannya. Yang perlu
dipikirkan adalah bagaimana agar sistem HKI tersebut dapat diadopsi dan
diintepretasikan sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodir dan melindungi

6

Ratna Sarumpaet, “I La Galigo“: Panggung Megah, Miskin Makna”, Harian Kompas, 21 Maret 2004.

3

sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat tradisional, termasuk dalam
melindungi nilai budaya masyarakat tersebut.

II.

HKI Sebagai Norma Hukum Baru
HKI pada umumnya berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan
informasi yang niemiliki nilai komersial. HKI adalah kekayaan pribadi yang dapat dimiliki

dan diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya.7 Sebagai suatu norma
hukum, hukum HKI merupakan salah satu bagian sistem hukum yang merupakan
salah satu bagian tatanan nilai dalam masyarakat. HKI tidak bisa tidak merupakan
sistem yang dipengaruhi masyarakat dan mempengaruh masyarakat baik di
tatanan

masyarakat

modern

maupun

masyarakat

tradisional

di

negara


berkembang.
Lantas apa yang mendasari pentingnya perlindungan HKI? Justifikasi
yang paling mendasar adalah bahwa seseorang yang telah mengeluarkan usaha
kedalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk memiliki dan mengontrol
apa yang telah mereka ciptakan. Pendekatan ini menekankan pada kejujuran dan
keadilan.

Sebagai dasar dari pengakuan tersebut dimuat dalam Pasal 27 (2)

Deklarasi Hak Asasi Manusia se Dunia, dimana setiap orang memiliki hak untuk
mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari
ciptaan ilmiah, kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta.
Justifikasi lain adalah sebagai wujud dari imbalan dan dorongan bagi orang
untuk lebih kreatif dalam melakukan penciptaan/menemukan sesuatu invensi.
Dalam hal ini perlindungan terhadap HKI dilihat sebagai upaya bagi terciptanya
iklim yang kondusif bagai tumbuh dan terpeliharanya kreatifitas masyarakat.8

7

Tim Lindsay, Eddy Damian, Simo Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar

(Alumni, Bandung: 2006), 3.
8

Ibid, 13

4

III.

Hak-Hak Komunal vs Hak-Hak Individu
Kegagalan sistem HKI moderen untuk melindungi pengetahuan tradisional berawal
dari sikap pandang yang lebih mementingkan pada perlindungan hak individu bukan hak
masyarakat. Dalam masyarakat komunal, kedudukan individu tidak lebih tinggi di
banding masyarakat. Indovidu adalah bagian dari masyarakat. 9 Memang individu
menurut paham masyarakat tradisional bukanlah individu yang kehilangan hakhak individunya. Akan tetapi hak-hak individualnya itu tidak terlalu ditonjolkan
sebagaimana

pada paham individualism. Orientasinya adalah kedamaian dan

kebahagiaan hidup bersama yang lebih bernilai spiritual ketimbang material.10

Bagi masyarakat Indoensia, karena faktor budaya masyarakat yang bersifat
komunal menyebabkan mereka sulit untuk menerima konsep-konsep HKI yang
menonjolkan hak-hak pribadi.

11

Masyarakat asli Indonesia pada umumnya tidak

mengenal konsep-konsep yang bersifat abstrak termasuk konsep tentang HKI.
Masyarakat Indonesia umumnya tidak pernah membayangkan bahwa buah fakiran
(intellectual creation) adalah kekayaan (property) sebagaimana cara berfikir
orang-orang barat. HKI adalah sesuatu yang abstrak sedangkan masyarakat lokal
adalah masyarakat yang berfikir konkrit dan sederhana.12 Cara berfikir orang
Indonesia dengan orang barat tentang hak kebendaan sama sekali berbeda.
Pandangan masyarakat yang berbeda, yang muncul berkenaan dengan
rezim HKI tersebut di atas, pada hakikatnya mencerminkan adanya perbedaan
pandangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat barat. Masyarakat barat
melihat dari sudut pandang teori pembangunan (development theory) yang
memandang bahwa sumberdaya yang terdapat di muka bumi sebagai sesuatu yang
dapat di eksploitasi. Sebaliknya, masyarakat tradisional memandang bahwa


9

Supomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), 10
sebagaimana di kutip Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, Ibid, 110.
10

Agus Sarjono, Ibid., 110.

11

Ibid., 26.

12

Ibid., 112.

5

manusia hanyalah merupakan custodian dari sumber daya yang terdapat di bumi
ini.13
Perbedaan pandangan tersebut pada akhirnya

melahirkn perbedaan

konsep mengenai kepemilikan (ownership), kekayaan (property), hasil karya cipta
(creation), dan penemuan (discovery atau invention). Apa yang menurut
masyarakat modern dianggap sebagai kekayaan milik pribadi, oleh masyarakat
tradisional dianggap sebagai milik bersama karea diperoleh dan berasal dari
lingkungan

masyarakatnya.14

Bagi

masyarakat

tradisional,

pengetahuan

tradisional adalah warisan budaya yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja,
terutama anggota masyarakat yang bersangkutan.
Dalam konsep HKI, kekayaan intelektual dapat dimiliki seorang atau sekelompok
individu yang dapat diketahui. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh hak milik
individu mencerminkan kepercayaan dasar - biasanya dianggap sebagai hal yang
diperhatikan negara barat, meskipun hal ini dapat dipersoalkan dan bahwa manfaat ekonomi
merupakan acuan utama untuk berkarya. Hak kepemilikian pribadi kemudian diperkenalkan
untuk memperbolehkan pemanfaatan ekonomi.15
Banyak karya-karya tradisional diciptakan oleh masyarakat tradisional secara
berkelompok - berarti orang banyak memberi sumbangan terhadap produk akhir. Banyak
pengetahuan tradisional seringkali ditemukan secara kebetulan. Lagipula, karya-karya dan
pengetahuan tradisional juga dapat dikembangkan oleh orang berbeda selama jangka waktu
panjang (barangkali selama beberapa abad). Bahkan, lebih penting lagi, banyak masyarakat
tradisional tidak mengenal konsep hak individu, bagi mereka harta berfungsi sosial dan
bersifat milik umum. Karena itulah, para pencipta dalam masyarakat tradisional tidak berniat
atau ingin mementingkan hak individu atau hak kepemilikan atas karya-karya mereka.16

13

Ibid., 47.

14

Ibid., 47.

15

Tim Lindsay, dkk., Ibid., 261.

16

Ibid., 261.

6

Kadang-kadang ada seorang wakil masyarakat yang memegang dan mengontrol
informasi atau karya atas nama masyarakat, tetapi dapat dikatakan juga bahwa kepemilikan
yang sungguh-sungguh tidak dapat dialihkan kepada wakil tersebut sesuai dengan syaratsyarat sistem HKI konvensional (misalnya, melalui sebuah kontrak). Dengan demikian sering
sulit sekali untuk menetapkan pemilik kekayaan tradisional yang dilindungi sistem hukum
HKI. Jika dilihat dari sudut pandang hukum, jarang ada seseorang dari masyarakat tradisional
yang berhak mengajukan tuntutan terhadap pelanggar. Kelemahan ini merupakan halangan
penting dan menyebabkan hampir semua bentuk HKI tidak dapat diterapkan untuk
melindungi karya-karya dan pengetahuan tradisional.17

IV.

Masalah Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Dalam Wacana HKI
Masyarakat Internasional dengan pelbagai usaha mencoba melindungi Pengetahuan
Tradisional atau Karya-karya Tradisional yang dalam UUHC 2002 dicakup dengan istilah
Folklore. Namun, usaha-usaha ini hasilnya belum cukup memadai. Salah satu usaha pertama
masyarakat internasional adalah Konferensi Diplomatik Stockholm 1967, yang dalam salah
satu rekomendasinya menetapkan perlu diberikannya perlindungan terhadap perwujudan
suatu Folklore melalui Hukum Hak Cipta, Usaha ini, menghasilkan pengaturan tentang
Folklore dalam Revisi Konvensi Bern 1971, Pasal 15 (4). Pasal ini mengatur perlindungan
atas ciptaan-ciptaan yang tidak diterbitkan oleh Pencipta yang tidak diketahui, yang dianggap
sebagai warga negara dari negara peserta Konvensi Bern. Negara bersangkutan akan
menunjuk Badan Berwenang dalam negaranya untuk mewakili Pencipta yang tidak
diketahui dan melindungi Ciptaan-ciptaannya. Badan Berwenang yang dibentuk ini harus
dilaporkan keberadaannya kepada WIPO. Meskipun demikian, WIPO sampai tahun 1995
belum pernah menerima satu laporanpun dari negara-negara peserta Konvensi Bern tentang
keberadaan Badan Berwenang di sesuatu Negara.18
Pasal 15 (4) Konvensi Bern telah mendapat tempat pengaturannya dalam Pasal 10
UUHC 1997 maupun UUHC 2002, walaupun hingga saat ini efektivitasnya belum tampak

17

Ibid., 262.

18

Ibid., 276.

7

hasilnya dalam memecahkan masalah-masalah Pengetahuan Tradisional atau Folklore seperti
dimaksud dalam UUHC. Selain itu, Badan Berwenang yang ditunjuk Pemerintah untuk
mewakili Pencipta yang tidak diketahui sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Bern
belum menjadi kenyataan.
Untuk melindungi Ciptaan-ciptaan yang tidak diketahui Penciptanya dan dapat
dikategorikan sebagai Folklore, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan pelbagai usaha
untuk pengaturannya. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976
pengaturan Folklore telah dimuat dalam Tunis Model Law on Copyright for Developing
Countries, WIPO pada tahun 1985 telah juga mengaturnya dalam Model Provisions for
National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and
Other Prejudical Actions.
Dalam Tunis Model Law dikemukakan bahwa kepada negara-negara berkembang
dianjurkan untuk:


mengatur secara terpisah perlindungan Folklore/Karya-karya Tradisional dengan
ketentuan-ketentuan antara lain:





Jangka waktu perlindungan tanpa batas waktu;
Mengecualikan Karya-karya Tradisional dari keharusan adanya bentuk yang berwujud
(fixation)',



Adanya

Hak-hak

Moral

tertentu

untuk

melindungi

dari pengrusakan dan

pelecehan Karya-karya Tradisional.
Lebih lanjut Tunis Model Law mengatur pelarangan penggunaan tanpa izin,
penyajian secara salah, penggunaan Folklore secara serampangan, pengaturan perlindungan
internasional secara timbal balik antara negara-negara pengguna Folklore. Juga ditetapkan
perlu dibentuknya Badan Berwenang disetiap negara yang mewakili kepentingan komunitaskomunitas tradisional dalam melindungi Folklore yang dimilikinya.19
Warga

negara

asing

yang

akan

menggunakan

Folklore

dari

suatu

masyarakat/komunitas tradisional perlu mendapat izin terlebih dahulu dari Badan Berwenang
19

Ibid., 277.

8

yang ditunjuk Negara, kecuali Folklore itu digunakan untuk keperluan-keperluan wajar
seperti pendidikan, penelitian atau pelestariannya. Dengan belum diaturnya hal-hal seperti
dirinci secara lebih spesifik dalam Tunis Model Law, menunjukkan bahwa pengaturan
Folklore dalam Konvensi Bern dan UUHC masih mengandung kelemahan-kelemahan
dalam pengaturan perlindungan Folklore.
Lalu bagaimana sistem hukum nasional kita mengatur perlindungan terhadap hakhak masyarakat atas pengetahuan tradisional yang mereka miliki? Isu pokok dalam
pembahasan HKI dan perlindungan pengetahuan tradisional umumnya terfokus pada
kelemahan sistem HKI dalam melindungi pengetahuan tradisional. Sistem HKI yang
berdasarkan ide liberal barat terhadap kepemilikan pelbagai kekayaan intelektual dinilai
hanya melindungi ciptaan dan invensi negara maju.20
Paling tidak ada dua alasan mengapa kebanyakan masyarakat asli atau pedesaan
tidak dapat menerima kenyataan yang tidak menyenangkan ini. Pertama, pengarang, seniman
dan pencipta dari masyarakat tradisional atau pedesaan jarang menerima imbalan finansial
yang memadai untuk kekayaan intelektual berupa Pengetahuan Tradisional yang
dieksploitasi. Kedua, penggunaan tanpa izin dari karya-karya Pengetahuan Tradisional yang
dieksploitasi ini kadang-kadang menyinggung perasaan masyarakat yang mencipta karya
Pengetahuan Tradisional tersebut. Misalnya, komersialisasi karya suci yang dilarang agama
atau adat.21 Hal ini berlaku pula pada kasus I La Galigo. Masyarakat Bugis sebagai pemilik
tidak mendapatkan benefit sharing dari pemanfaatan I La Galigo oleh pihak asing.
Harus diakui bahwa Hukum hak cipta memiliki beberapa kelemahan penting yang
menghambat pengaturan perlindungan atas karya-karya dan pengetahuan tradisional. Agar
dilindungi Hak Cipta, suatu Ciptaan harus bersifat asli dan dalam bentuk yang berwujud
(syarat "fixation"). Jangka waktu perlindungan dalam Hukum Hak Cipta yang terbatas
waktunya juga tidak tepat untuk diterapkan pada karya tradisional oleh karena kebanyakan
karya-karya ini diciptakan beberapa abad yang lalu22.

20

Ibid., 259.

21

Ibid., 260.

22

Ibid., 262.

9

Bagaimana dengan syarat harus berwujud? Pada intinya, hal ini berarti ide tidak
dilindungi; suatu ide harus berupa suatu wujud atau bentuk yang dapat diproduksi ulang
secara independen. Penyusunan kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan ide hanya
dilindungi apabila dituangkan dalam bentuk tertulis (diterbitkan dalam wujud buku atau
dicetak sebagai pamflet di alas kertas). Sama halnya dengan lagu, yang akan mendapat
perlindungan bila telah dicatat atau direkam; tidak cukup untuk hanya memainkan lagu itu
dengan gitar secara berulang-ulang.23
Dari aspek keaslian, Undang-undang Hak Cipta Indonesia mensyaratkan karyakarya yang dilindungi harus bersifat asli. Sebagaimana kita telah ketahui, hal ini berarti suatu
karya harus telah diciptakan oleh seorang Pencipta dan tidak boleh merupakan karya yang
meniru karya lain. Yang menjadi persoalan adalah beberapa karya tradisional telah diilhami
adat yang telah ada dan melibatkan pola yang meniru pola lain secara berulang-ulang dalam
jangka waktu panjang. Dalam masyarakat adat berlaku ketentuan bahwa suatu kebiasaan
yang tidak sama dengan kebiasaan sebelumnya dianggap melanggar peraturan adat.
Sehingga, meskipun tetap melibatkan keterampilan ahli dan usaha besar dalam mencipta,
karya-karya ini dapat disebut 'tiruan' oleh HKIm dan dengan demikian barangkali tidak
memenuhi persyaratan keaslian.
Dri sisi masa berlakunya, sebagaimana telah diketahui menurut Konvensi Bern dan
UUHC, 'perlindungan Hak Cipta mempunyai masa berlaku selama hidup Pencipta ditambah
dengan 50 tahun setelah Pencipta meninggal. Meskipun Hak Cipta dapat melindungi karya
tradisional (yaitu, yang .berwujud dan asli), masa perlindungan ini barangkali tidak
mencukupi. Dasar pemikiran pemberian perlindungan Hak Cipta adalah memberikan waktu
kepada Pencipta untuk mengeskploitasi hak-hak ekonomi ciptaannya dalam jangka waktu
tertentu, untuk memperoleh imbalan ekonomi yang adil. Hal ini dimaksudkan memberi
manfaat kepada masyarakat umum, karena tanpa dorongan ini dapat dikatakan bahwa
seorang Pencipta tidak akan berkarya, sehingga masyarakat umum tidak mempunyai akses
terhadap karya itu. Akan tetapi, dengan adanya keinginan masyarakat untuk memperoleh

23

Ibid., 262.

10

akses bebas' terhadap karya-karya yang dilindungi Hak Cipta, masa berlaku perlindungan
Hak Cipta berakhir setelah waktu terbatas ini.24
Akan tetapi, bagi masyarakat tradisional, jangka waktu ini barangkali tidak
mencukupi dikarenakan biasanya dasar pemikiran untuk membatasi masa perlindungan Hak
Cipta tidak dapat diterapkan terhadap banyak karya tradisional. Seringkali tidak perlu adanya
unsur kornersial untuk berkarya; karya sering diciptakan tidak demi alasan komersial, tetapi
demi alasan budaya dan spiritual. Lagipula, banyak karya diciptakan hanya demi penggunaan
di dalam masyarakat itu sendiri dan untuk memperbolenkan karya itu dijadikan milik umum
(publik domain) setelah jangka waktu tertentu bertentangan dengan tujuan ciptaan itu
sendiri.25
Lantas bagaimana Undang-Undang Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap
pengetahuan tradisional seperti pada kasus I La Galigo. Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta mengatur bahwa :
(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda
nasional lainnya.
(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi
milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan,
koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang
bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang
terkait dalam masalah tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah,
Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama,
perlindungannya berlaku tanpa batas waktu (Pasal 31 ayat la). Pasal ini jelas bertujuan
melindungi karya-karya tradisional. Apakah kekurangannya? Dapatkah masyarakat pedesaan
mengajukan gugatan terhadap suatu perusahaan oleh karena melanggar pasal ini?
24
25

Ibid., 264-205.
Ibid., 265.

11

Walaupun tujuan Pasal 10 ditujukan secara khusus untuk melindungi budaya
penduduk asli, akan sulit bagi masyarakat tradisional untuk menggunakanhya demi
melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa alasan. Pertama, kedudukan Pasal 10
belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UU.
Misalnya, bagaimana kalau suatu folklore yang dilindungi berdasarkan Pasal 10 (2) tidak
bersifat asli sebagaimana disyaratkan Pasal 1 (3)? Undang-undang tidak menjelaskan apakah
folklore semacam ini mendapatkan perlindungan Hak Cipta, meskipun merupakan ciptaan
tergolong folklore yang keasliannya sulit dicari atau dibuktikan.
Kedua, suku-suku etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan
gugatan terhadap orang-orang asing yang mengeksploitasi karya-karya tradisional tanpa
seizin pencipta karya tradisional, melalui Negara cq. Instansi terkait. Undang-undang
melindungi kepentingan para Pencipta Karya Tradisional apabila orang asing mendaftarkan
di luar negeri. Akan tetapi, dalam kenyataan belum ada hasil usaha Negara melindungi karyakarya tradisional yang dieksploitasi oleh bukan warna negara Indonesia di luar negeri.
Sangat tidak mungkin, Pemerintah dalam waktu dekat ini akan menangani
penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa Indonesia di luar negeri, mengingat krisis-krisis
politik, sosial dan ekonomi yang masih berkepanjangan sampai sekarang. Selain itu, instansiinstansi terkait yang dimaksud dalam Pasal 10 (3) untuk memberikan izin kepada orang asing
yang akan menggunakan karya-karya tradisional juga belum ditunjuk.
Menyikapi ketidakmampuan HKI konvensional dalam memberikan
perlindungan terhadap pengetahuan tradisional ini, Agus Sarjono26 telah
mengajukan suatu model perlindungan yang dianggap lebih tepat. Berpegang pada hasil
kajian Tim, yang menekankan pentingnya gagasan perlindungan hukum harus
diarahkan untuk mendukung para pelaku seni dan tradisi dalam mempraktekan
dan mengembangkan seni dan tradisi itu, Agus Sarjono mengetengahkan suatu
model perlindungan yang bersifat outhward looking dengan mengadopsi negative
protection system.

26

Uraian lebih lengkap lihat Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, (CV. Nuansa Aulia, 2009),
164-165.

12

Outhward looking disini diartikan sebagai bentuk fasilitas kepada pihak

luar (asing) yang berminat memanfaatkan warisan budaya Indonesia untuk tujuan
ekonomi, asalkan pemanfaatan itu dilakukan dengan penyebutan atau pengakuan
(acknowledgment)
pemanfaatan itu

terhadap

hak-hak

dapat mendatangkan

masyarakat

lokal

Indonesia,

dan

manfaat bagi masyarakat itu sendiri.

Sedangkan negative protection system perlindungan hukum yang diberikan
kepada seseorang pengemban hak, dimana pengemban hak tidak dibebani untuk
melakukan

tindakan

aktif

mengajukan

permohonan

memperoleh

hak

perlindungan, akan tetapi hukum secara otomatis memberikan perlindungan.
Meski demikian, pengemban hak tetap, untuk dapat mengajukan klaim kepada
pihak lain yang dianggap merugikan hak-haknya, tetap harus memiliki buktibukti yang memadai atas hak yang dimilikinya tersebut. 27
Melalui negative protection system,

disamping perlindungan bersifat

otomatis tanpa memerlukan roses pendaftaran, pemerintah juga dapat mengajukan
klaim kepada siapapn yang melanggar hak-hak masyarakatnya atas waisan
budaya mereka. Klaim tersebut tidak berupa larangan untuk menggunakan
warisan budya tersebut, tapi dapat berbentuk tuntutan untuk adaya equitable
benefit sharing atas pemanfaatan warisan budaya masyarakat tersebut untuk
tujuan ekonomis.
Menurut Agus Sarjono, penerapan negaritve protection ini harus didukung
oleh database sistem yang memadai. Untuk itu, perlu ada suatu program dari
pemerintah untuk menyiapkan sistem database yang memadai.
Upaya pendokumentasian merupakan upaya penting dalam melindungi
pengetahuan tradiosional. Hal ini penting untuk menyelesaikan pertikaian
seandainya ada klaim ganda atas suatu pengetahuan tradisional tertentu. Menurut
Agus Sardjono, pendokumentasian merupakan suatu defensive protection sistem
yang mengandung dua aspek, hukum dan praktis. Secara hukum, dokumentasi
pengetahuan tradisional merupakan dokumen pembanding dari suatu penemuan.
Secara praktis, database nasional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat,
27

Ibid.

13

pemerintah atau LSM untuk melakukan oposisi paten. Apabila suatu invensi
misalnya diklaim oleh pihak asing melalui paten, database akan berguna sebagai
literartur untuk melakukan penolakan terhadap paten yang akan didaftarkan atau
pembatalan paten yang telah didaftarkan. Namun syaratnya, perlu peran aktif dari
masyarakat dan pemerintah serta kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses
dokumen tersebut.
Perlindungan pengetahuan tradisional dapat juga dilakukan melalui
mekanisme Benefit Sharing yang tepat antara masyarakat lokal dan pihak asing
seperti yang dikembangkan dalam Convention on Biological Diversity (CBD)
atau Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Dalam CBD telah dibentuk suatu

working group yang merumuskan draft guidelines on access and benefit sharing.
Langkah yang perlu diambil adalah pertama dengan membangun kemampuan
nasional (capacity building). Hal ini agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan
sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional siap dalam memanfaatkan
sumber daya tersebut untuk pihak asing.

V.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebgai berikut:
1. HKI melihat suatu pengetahuan tradisional dari suatu obyek yang bernilai
ekonomis sedangkan masyratakat tradisional memandang pengetahuan
trasidioanl sebagai suatu tetap perlu dijaga kegratisannya. Pandangan
masyarakat yang berbeda, yang muncul berkenaan dengan rezim HKI tersebut
di atas, pada hakikatnya mencerminkan adanya perbedaan pandangan antara
masyarakat tradisional dan masyarakat barat.
2. Sistem perlindingan HKI konvensional yang bernilai individualistic dan
monopolistik tidak cocok bagi perlindungan pengetahuan tradisional yang
berakar pada nilai budaya komunal. Hukum hak cipta memiliki beberapa
kelemahan penting yang menghambat pengaturan perlindungan atas karya-karya dan

14

pengetahuan tradisional, khususnya berkenaan dengan syarat bersifat asli, dalam bentuk
yang berwujud (syarat "fixation"), termasuk batasan waktu pendaftaran.
3. Dalam rangka perlindungan perlindungan yang bersifat outhward looking
dengan mengadopsi negative protection system dinilai lebih tepat. Hal ini
disebabkan selain untuk menghindari batasan-batasan formal pada rezim HKI
konvensional, system ini juga dapat mendorong bagi pengambangan pengetahuan
tradisional itu sendiri.

15

Daftar Pustaka

Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009)
Muhammad Salim, “I La Galigo, "Bissu", dan Keberadaannya, Harian Kompas, 04 April 2004
Ranggalawe Suryasaladin, Masalah Perlindungan HKI Bagi Traditional Knowledge, 2008.
Ratna Sarumpaet, “I La Galigo“: Panggung Megah, Miskin Makna”, Harian Kompas, 21 Maret 2004.
Tim Lindsay, Eddy Damian, Simo Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar
(Bandung: Alumni, 2006)
Supomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978)

16

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGARUH TERPAAN LIRIK LAGU IWAN FALS TERHADAP PENILAIAN MAHASISWA TENTANG KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT MISKIN(Study Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Pada Lagu Siang Seberang Istana)

2 56 3

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MANAJEMEN STRATEGI RADIO LOKAL SEBAGAI MEDIA HIBURAN (Studi Komparatif pada Acara Musik Puterin Doong (PD) di Romansa FM dan Six To Nine di Gress FM di Ponorogo)

0 61 21

BUDAYA PESTA GILING PADA MASYARAKAT DI SEKITAR PABRIK GULA DJATIROTO DITINJAU DARI ASPEK SOSIAL EKONOMI

0 24 9

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

PENGARUH KONFLIK PEREBUTAN LAHAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA NIPAH KUNING KECAMATAN MESUJI KABUPATEN MESUJI LAMPUNG TAHUN 2012

9 59 54

SIKAP MASYARAKAT KOTA PALEMBANG TERHADAP PEMINDAHAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PASAR 16 ILIR PALEMBANG KE PASAR RETAIL JAKABARING

4 84 128

LEGALITAS UNDIAN BERHADIAH DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PESERTA UNDIAN SIGERMAS (Studi pada PT. Bank Lampung)

8 70 31