Implementasi Penanganan Pneumonia pada Balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

  Puskesmas adalah suatu organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Menurut Depkes RI (2008) puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja.

  Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas merupakan pelayanan yang menyeluruh dan meliputi pelayanan kreatif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditunjukan kepada semua penduduk dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak dari pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia (Husni dkk, 2012).

2.1.1 Visi dan Misi Puskesmas

  Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang

  9 bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi- tingginya. Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama, yakni :

  1. Lingkungan Sehat

  2. Perilaku Sehat

  3. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, serta

  4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan Misi tersebut adalah : 1.) Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya

  Puskesmas akan selalu menggerakan pembangunan sektor lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan yaitu pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negative terhadap kesehatan, setidak- tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.

  2.) Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.

  3.) Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi pengelolaan dan sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat 4.) Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.

  Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatkan yang dilakukan puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan

2.2 Pengertian ISPA dan Pneumonia

2.2.1 Pengertian ISPA

  Istilah ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut mengandung tiga unsur yang masing

  • – masing mempunyai arti sebagai berikut : 1.

  Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.

  2. Saluran pernafasan adalah organ tubuh mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura, sehingga secara anatomis ISPA mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (ternasuk jaringan paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.

  3. Akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. 14 hari diambil sebagai infeksi akut

  Dengan demikian yang dimaksud dengan ISPA adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran pernafasan bagian atas, yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Sjenileida, 2002)

  2.2.2 Pengertian Pneumonia

  Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau nafas cepat.

  Penyakit ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Secara klinis pada anak yang lebih tua selalu disertai batuk dan nafas cepat dan tarikan dinding dada ke dalam. dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Namun pada bayi seringkali tidak disertai batuk (Profil Puskesmas Bandar Khalipah, 2013).

  2.2.3 Penyebab Pneumonia

  1. Pneumonia Karena Infeksi Bakteri Bakteri pada umumnya muncul antara lain :

  a. Pneumonia karena infeksi Streptococus pneumonia Streptococus adalah penyebab pneumonia bakteri yang paling sering, terutama pada anak kecil. Streptococus pneumonia sudah ada di kerongkongan manusia yang sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua, malnutrisi, bakteri akan segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan (Misnadiarly, 2008).

  Penyakit ini ditandai dengan gejala akut seperti demam, nyeri pada bagian dada dan pernapasan cepat yang sering disertai suara mendengkur. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan konsolidasi segmen atau lobus dan dikonfirmasi dengan rontgen (Hull dan Johston, 2008).

  Stadium dari pneumonia karena Pneumococcus adalah sebagai berikut : i.

  Kongesti (4-12 jam pertama) : eksudat serosa masuk ke dalam alveolus dari pembuluh darah yang bocor. ii.

  Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): paru-paru tampak merah dan tampak bergranula karena sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveolus. iii.

  Hepatisasi kelabu (3-8 hari): paru-paru tampak abu-abu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi dalam alveolus yang terserang. iv.

  Resolusi (7-11 hari): eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali kepada struktur semula (Husni dkk, 2012).

  b. Pneumonia karena infeksi Haemophilus Influenza tipe B Di seluruh dunia dilaporkan bahwa infeksi ini merupakan penyebab kedua tersering pada pneumonia bakteri. Rontgen toraks biasanya memperlihatkan pola bronkopneumonia yang menyebar dan tidak memperlihatkan bayangan pada lobus. Umunya berespon terhadap pengobatan amoksilin oral (Hull dan Johnston, 2008).

  c. Pneumonia karena Infeksi Stafilokokus aurerus

  Stafilokokus aurrus merupakan infeksi sekunder yang sering menyerang pasien rawat inap yang lemah, dan cenderung menyebabkan bronkopneumoni.

  Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam yang tinggi dan septicemia, disertai konsolidasi segmen atau lobus yang mungkin akan mengakibatkan komplikasi empisema atau pneumutoraks yang memerlukan drainase (Hull dan Johnston, 2008).

  d. Pneumonia karena infeksi Klebsiella sp Ciri khas dari pneumonia jenis ini adalah sputu m kental yang disebut ‘Red

  Currant Jelly’. Kebanyakan pasien klebsiella adalah laki-laki usia pertengahan atau tua yang menjadi peminum alcohol kronik atau yang menderita penyakit kronik lainnya (Price, Sylvia Anderson dan Wilson, 2006).

  e. Pneumonia karena Infeksi Pseudomonas sp Pneumonia jenis ini paling sering ditemukan pada pasien yang sakit berat yang dirawat dirumah sakit, atau yang mengalami supresi sistem pertahanan tubuh

  (misal, pasien dengan leukimia atau transplantasi ginjal yang mendapat obat imunosupresif dosis tinggi. Infeksi Pseudomonas sering kali diakibatkan kontaminasi peralatan ventilasi (Price, Sylvia Anderson dan Wilson, 2006).

  2. Pneumonia karena Infeksi Virus Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Saat ini makin banyak virus yang berhasil diidentifikasi. Sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun apabila infeksi terjadi bersamaan dengan influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

  3. Pneumonia karena Infeksi Mikoplasma Pneumonia jenis ini berbeda gejala dan tanda-tanda fisiknya bila dibandingkan dengan pneumonia pada umumnya. Karena diduga disebabkan oleh virus yang belum ditemukan dan sering disebut pneumonia yang tidak tipikal (Atypical Pneumonia). Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas . angka tersebar luas. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).

  4. Pneumonia Jenis Lain

  Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carini Pneumonia (PCP) yang diduga disebabkan oleh jamur. PCP dan biasanya menjadi tahap awal serangan penyakit pada pengidap HIV/AIDS (Misnadiarly, 2008). Pneumonia Carini belakangan ini menjadi infeksi berat yang fatal bagi penderita AIDS akibat kelemahan sistem kekebalan tubuh mereka. PCP merupakan infeksi oportunistik dan dapat juga terjadi pada pejamu dengan gangguan imunitas seperti pasien yang mendapat terapi imunisupresif untuk pengobatan kanker atau transplantasi organ (Price, Sylvia Anderson dan Wilson, 2006).

  Pneumonia lain yang lebih jarang adalah disebabkan oleh masuknya makanan, cairan, gas, debu, maupun jamur. Ricketsia juga masuk golongan antara virus dan bakteri yang menyebabkan demam Rocky Mountai, demam Q, Tipus dan Psittacocis (Misnadiarly, 2008).

2.2.4 Klasifikasi Pneumonia

  Menurut Brunner dan Suddarth (2002) berdasarkan agen penyebab dikategorikan sebagai : a. Pneumonia Bakterialis

  Pneumonia yang disebabkan oleh, Pneumonia Streptokokus; Pneumonia Stafilokokus; Pneumonia Klebsiella; Pneumonia Pseudomonas; Haemophilus Influenza.

  b. Pneumonia Atipikal Pneumonia atipikal beragam gejalanya, tergantung kepada agen penyebab,

  Penyakit Legionnaires ; Pneumonia Mikoplasma; Pneumonia Virus; Pneumonia Pneumosistis Carinii (PPC); Pneumonia Fungi; Pneumonia Klamidia; Tuberkulosis.

  2.2.5 Gejala dan Tanda Pneumonia

  a. Gejala Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala (Misnadiarly, 2008).

  b. Tanda Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain : Batuk nonproduktif ; Ingus (nasal discharge) ; suara napas lemah ;

  Penggunaan otot bantu napas ; Demam ; Cyanosis (kebiru-biruan) ; Thorax photo menunjukan infiltrasi melebar ; Sakit kepala; Kekauan dan nyeri otot; Sesak napas; Menggigil; Berkeringat; Lelah; Terkadang kulit menjadi lembab ; Mual dan muntah

  2.2.6 Faktor Resiko Pneumonia Balita

  Beberapa faktor resiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai, membedong anak ( menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin A.

  Sedangkan faktor resiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosio ekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai dan menderita penyakit kronis.

  Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 4 (empat) faktor, yaitu : faktor anak, faktor ibu, faktor sosio ekonomis, faktor lingkungan.

a. Faktor Anak

  1. Umur Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok anak berumur antara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan resiko pneumonia, disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang saluran pernapasan yang relatif masih sempit.

  Menurut hasil penelitian oleh Sulaeman dan Endang Sutisna (2011), menyatakan bahwa usia anak berhubungan dengan kejadian pneumonia balita. Anak yang berusia lebih muda, beresiko untuk menderita pneumonia 2,48 kali lebih besar dengan anak yang berusia lebih tua.

  2. Status Gizi Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan 3 hal, yaitu antara berat badan terhadap umur, tinggi/panjang badan terhadap umur, dan berat badan terhadap tinggi/panjang badan dengan rujukan standar yang telah ditetapkan. WHO merekomendasikan baku WHO

  • –NCHS (National Center of Health Statistic, USA) sebagai referensi penentuan status gizi balita.
Status gizi merupakan salah satu indikator kesehatan dan kesejahteraan anak. Problem status gizi berupa malnutrisi. Balita dengan keadaan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat”, bahkan serangannya lebih lama.

  Beberapa penelitian prospektif yang pernah dilakukan yang membahas insidens dan keganasan ISPA pada anak-anak bergizi buruk dinegara berkembang secara konsisten menunjukan bahwa anak-anak bergizi buruk di negara berkembang secara konsisten bahwa anak-anak kelompok gizi buruk mengalami peningkatan resiko untuk terjadinya penyakit ISPA.

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulaeman dan Endang Sutisna (2011), menyatakan bahwa balita yang status gizinya kurang mempunyai resiko untuk menderita pneumonia 3,19 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang status gizinya baik.

  3. Jenis Kelamin Dari penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang balita berjenis kelamin laki- laki (52,9%) dibandingkan perempuan.

  4. Status Imunisasi Imunisasi bertujuan memberikan kekebalan kepada anak terhadap penyakit dan menurunkan angka kematian dan kesakitan yang disebabkan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Seperti diketahui 43,1% - 76,6% kematian

  ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Bila anak sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan Campak, dapat diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat.

  Berdasarkan penelitian di Dian Rahayu pada tahun 2007, menunjukan hubungan antara status imunisasi campak dan timbulnya kematian akibat pneumonia, antara lain anak-anak yang belum pernah menderita campak dan belum mendapatkan imunisasi campak mempunyai resiko meninggal yang lebih besar.

  Selain itu, dari hasil pengamatan selama 58 tahun periode penelitian di Amerika Serikat terhadap kematian karena pneumonia balita yang diamati sejak tahun 1939 sampai 1996 menunjukan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia.

  5. Berat Badan Lahir Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama terjadi pada bulan-bulan pertama kelahiran, sebagai akibat dari pembentukan zat anti kekebalan yang kurang sempurna sehingga leih mudah terkena penyakit infeksi terutama pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (WHO, 2011).

  6. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi pathogen yang masuk ke dalam tubuh. Jenis proteksi pasif berupa anti bacterial dan anti viral yang dapat menghambat kolonisasi oleh spesies gram negative. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan bayi dapat mengurangi insiden dan keparahan penyakit infeksi.Penelitian Dian Rahayu (2007) menunjukan bahwa ASI menlindungi bayi terhadap berbagai penyakit infeksi dan infeksi usus.

  7. Riwayat terserang campak Bayi dan anak balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat kekebalan alami terhadap terjadinya pneumonia sebagai komplikasi campak.

  8. Pemberian vitamin A Menurut Dian Rahayu (2007) dikatakan bahwa ada hubungan antara pemberian vitamin A dengan resiko terjadinya ISPA. Penelitian ini mengungkapkan bahwa anak dengan Xerophtalamin ringan memiliki resiko dua kali menderita ISPA, terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Herman (2002), dinyatakan bahwa balita yang tidak pernah mendapatkan vitamin A dosis tinggi lengkap mempunyai faktor resiko untuk menderita pneumonia 4 kali dibandingkan dengan balita yang mendapatkan vitamin A dosis tinggi lengkap.

b. Faktor Ibu

  1. Pendidikan Ibu Pendidikan adalah suatu proses yang unsure - unsurnya terdiri dari masukan yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.

  Pendidikan baik formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat pemahamannya terhadap pencegahan dan implementasi penyakit pada bayi dan anak balitanya.

  Berdasarkan hasil penelitian oleh Husni dkk (2012), balita yang lahir dari ibu yang berpendidikan rendah mempunyai resiko 2,037 kali lebih besar untuk menderita pneumonia bila dibandingkan dengan balita yang lahir dari ibu berpendidikan tinggi.

  2. Pengetahuan Ibu Pengetahuan ibu tentang pneumonia dapat diperoleh baik dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman orang lain. Pengetahuan yang mencakup cara mengenal pneumonia dan pengelolaan pneumonia akan berpengaruh menurunkan angka kematian dan angka kesakitan akibat penyakit pneumonia.

c. Faktor Lingkungan

  1. Pencemaran Udara di Dalam Rumah Udara yang bersih merupakan komponen yang utama didalam rumah yang sangat diperlukan manusia untuk hidup sehat. Sirkulasi udara yang bersih berkaitan dengan ventilasi. Kebanyakan rumah di perkotaan tidak mempunyai jendela dan lubang angin karena kepadatan bangunan sehingga tidak ada sinar matahari yang masuk, sehingga udara terasa pengap. Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dan untuk pernapasan dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga memudahkan timbulnya penyakit ISPA. Hal seperti ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang baik dan dapur terletak di dalam rumah atau bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain. Resiko pada bayi dan balita lebih tinggi karena bayi dan anak balita lebih lama berada dalam rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih meningkat

  2. Kepadatan Hunian Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah. Tempat tinggal yang sempit, penghuni yang banyak, kurang ventilasi, kurang pengertian akan perilaku hidup bersih dan sehat dapat mempermudah terjadinya penularan ISPA/ pneumonia. Ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dan kematian karena bronchopneumonia pada bayi

  3. Jarak ke Fasilitas Kesehatan Bayi atau anak balita yang bertempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan bisa terserang ISPA lebih cenderung menderita pneumonia atau pneumonia berat karena terlambat mendapat pertolongan.

  Hasil penelitian oleh Hatta (2001) menyatakan jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia balita.

  Dengan OR=0,436 dikatakan bahwa balita yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang lebih jauh dari sarana kesehatan.

  4. Wilayah tempat tinggal Orang yang tinggal di perkotaan lebih mudah untuk ke fasilitas pelayanan kesehatan disbanding dengan orang yang tinggal di pedesaan.

d. Faktor Sosial Ekonomi

  Tingkat Pengeluaran Per Kapita Keluarga Keluarga dengan tingkat pengeluaran yang tinggi diperkirakan mempunyai pendapatan yang tinggi, sehingga berpeluang lebih besar untuk mencukupi makanan untuk bayi dan balitanya dengan gizi yang lebih baik agar terhindar dari ISPA/ pneumonia. Di samping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang yang besar untuk mempunyai rumah yang lebih memenuhi syarat rumah sehat sehingga terhindar dari serangan ISPA. Menurut hasil penelitian Juliastuti (2000), menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sosial ekonomi dengan kejadian pneumonia balita. Balita dari keluarga dengan status ekonomi kurang, mempunyai resiko 3,15 kali terserang pneumonia dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan status ekonomi tinggi/baik.

2.2.7 Diagnosis dan Tatalaksana Pneumonia

  a. Pneumonia Ringan Diagnosa

  Disamping batuk atau sukar bernapas, Cuma terdapat napas cepat. Napas cepat yang ada pada anak umur 2 bulan

  • – 11 bulan yaitu ≥ 50 kali/menit. Sedangkan pada anak umur 1 – 5 tahun adalah ≥ 40 kali/menit.

  Tatalaksana i.

  Anak di rawat jalan ii. Pemberian antibiotik: kontrimoksasol (4mg TMP/kg BB/kali) dalam 2 kali sehari selama 3 hari atau amoksilin (25 mg/kg BB/kali) dalam 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.

  b. Pneumonia Berat Diagnosa

  Batuk atau kesulitan dalam bernapas ditambah salah satu yang ada dalam hal berikut ini : Kepala terangguk-angguk, Pernapasan cuping hidung, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, Foto dada menunjukan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll).

  Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: i.

  Napas cepat : a. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit

  b. Anak umur 2- 11 bulan : ≥ 50 kali/menit c. Anak umur 1- 5 tahun : ≥ 40 kali/menit

d. Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit ii.

  Suara merintih (grunting) pada bayi muda. iii.

  Pada auskultasi terdengar crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara pernapasan bronkial.

  Bila keadaan yang sangat berat dapat dijumpai : tidak dapat menyusui, kejang, letargis, atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat.

  Tatalaksana i. Anak dirawat di rumah sakit. ii. Terapi antibiotik, seperti amoksilin/ampisilin, kloramfenikol. iii. Terapi oksigen seperti, pulse oximetry, nasal prongs (WHO et al, 2009).

2.2.8 Pencegahan Pneumonia I.

  Hindarkan bayi/balita dari paparan asap rokok, polusi udara, serta tempat keramaian yang berpotensi menghasilkan penularan dan polusi tidak baik.

II. Hindarkan bayi/balita dengan pasien yang terkena ISPA.

  III.

  Pemberian ASI secara rutin. IV. Segera berobat jika anak kita mengalami panas, batuk, pilek. Terlebih jika disertai suara serak, sesak napas, dan adanya tarikan pada otot di antara rusuk (retraksi).

V. Periksakan kembali jika dalam 2 hari belum menampakkan perbaikan dan segera ke Rumah Sakit jika kondisi anak memburuk.

  VI. Imunisasi Hib untuk memberikan kekebalan terhadap Haemphilus influenza, vaksin Pneumokokal Heptavalen (mencegah IPD=Invasive pneumococcal

  disease ) dan vaksinasi influenza pada anak dengan resiko tinggi, terutama usia

  6-23 bulan (Misnadiarly, 2008)

2.3 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

  Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau dalam bahasa inggris yaitu

  

Integrated Management Of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu manajemen

  melalui pendekatan terintegrasi/terpadu dalam tata laksana balita sakit yang dating di pelayanan kesehatan, baik mengenai beberapa klasifikasi penyakit, status gizi, status imunisasi, maupun penanganan balita sakit tersebut dengan konseling yang diberikan (Depkes, 2008).

  MTBS bukanlah merupakan suatu program kesehatan, tetapi suatu standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan tingkat dasar. World Health Organization (WHO) memperkenalkan konsep pendekatan MTBS yang merupakan strategi dalam upaya pelayanan kesehatan yang ditunjukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan pada bayi dan anak balita di negara-negara berkembang (Depkes, 2011).

  2.3.1 Sejarah MTBS di Indonesia Strategi MTBS mulai diperkenalkan di Indonesia oleh WHO pada tahun 1996.

  Modul MTBS telah diadaptasi pada tahun 1997 atas kerjasama antara Kemenkes RI, WHO, Unicef, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sejak itu penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap dan up to date dalam modul MTBS dilakukan secara berkala sesuai perkembangan program kesehatan di Depkes dan ilmu kesehatan anak melalui IDAI.

  Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi, namun belum seluruh puskesmas mampu menerapkan karena berbagai sebab, diantaranya belum adanya tenaga kesehatan yang sudah terlatih MTBS dan sarana prasarana untuk pelaksanaan kegiatan (Depkes, 2008).

  2.3.2 Sasaran

  Sasaran MTBS adalah anak umur 0-5 tahun dan dibagi menjadi dua kelompok sasaran, yaitu : a. kelompok usia 1 hari sampai 2 bulan (usia < 2 bulan) b. kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun.

  2.3.3 Tujuan

  Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditunjukan untuk menurukan angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti Puskesmas.

  2.3.4 Manfaat MTBS

  MTBS telah digunakan oleh lebih dari 100 negara dan terbukti dapat :

  a. Menurunkan angka kematian balita b. Memperbaiki status gizi

  c. Meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan

  d. Memperbaiki kinerja tenaga kesehatan

  e. Memperbaiki kualitas pelayanan dengan biaya lebih murah Selain itu, kegiatan MTBS memiliki tiga komponen yang khas serta menguntungkan,yaitu :

  1. Memperbaiki sistem kesehatan (perwujudan terintegrasinya banyak program kesehatan dalam satu kali pemeriksaan MTBS).

  2. Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan).

  3. Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam tata laksana kasus balita sakit (selain dokter, tenaga kesehatan non dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien apabila sudah dilatihan

2.3.5 Materi MTBS

  Materi MTBS terdiri atas langkah :

  1. Penilaian Bagan penilaian anak sakit terdiri dari petunjuk langkah untuk mencari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penyakit yang dilakukan penilaian oleh

  MTBS adalah :

  a. Penilaian dan klasifikasi batuk atau sukar benafas

  b. Penilaian dan klasifikasi diare c. Penilaian dan klasifikasi demam (demam untuk malaria, demam untuk DBD, demam untuk campak) d. Penilaian dan klasifikasi masalah telinga

  e. Memeriksa status gizi

  f. Memeriksa anemia

  g. Memeriksa status anemia

  h. Memeriksa pemberian vitamin A i. Menilai masalah/keluhan lain (Depkes RI, 2008).

  2. Klasifkasi Penyakit Klasifikasi dalam MTBS merupakan suatu keputusan penilaian untuk menggolongkan tingkat keparahan penyakit. Klasifikasi bukan merupakan diagnosis penyakit yang spesifik. Setiap Klasifikasi penyakit mempunyai nilai suatu tindakan sesuai dengan klasifikasi tersebut dan mempunyai warna dasar, yaitu : a. Merah : Penanganan segera atau perlu dirujuk

  b. Kuning : Pengobatan spesifik di pelayanan kesehatan

  c. Hijau : Perawatan di rumah

  3. Identifikasi Tindakan Dari klasifikasi baru bisa ditentukan tindakan apa yang akan dilakukan.

  4. Pengobatan Bagan pengobatan berupa petunjuk cara berkomunikasi dengan baik serta efektif dengan ibu dalam memberikan obat dan dosis pemberian obat, baik obat yang harus diberikan di klinik maupun obat yang harus diteruskan di rumah.

  5. Konseling

  Alur konseling merupakan nasehat perawatan termasuk pemberian makan dan cairan di rumah dan nasehat kapan harus kembali segera maupun kembali untuk tindak lanjut.

  6. Perawatan di rumah dan kapan kembali (Depkes, 2008).

2.3.6 Strategi Menuju MTBS a.

  Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita, mengenali dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami gangguan dalam pertumbuhan melalui revitalisasi Posyandu.

  b.

  Peningkatan kemampuan tenaga dalam memanajemen dan melakukan tata laksana gizi buruk untuk mendukung fungsi Posyandu yang dikelola oleh masyarakat melalui revitalisasi puskesmas.

  c.

  Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok rawan melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul vitamin A, MP- ASI, dan makanan tambahan.

  d.

  Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi, dan sosialisasi tentang makanan sehat dan bergizi seimbang dan pola hidup yang bersih dan sehat.

  e.

  Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan swasta/dunia usaha masyarakat untuk mobilisasi sumber daya dalam rangka meningkatkan daya beli keluarga untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi seimbang.

  f.

  Meningkatkan perilaku sadar gizi dengan :

  1. Memantau berat badan

  • – 6 bulan

  h. Advokasi dan pendampingan MTBS 1.

  Improving case management skills of first level workers through training and

follow up yaitu, meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan dalam tatalaksana

  1. Komponen I

  Dalam rencana aksi MTBS 2009-2014 Kementrian Kesehatan RI menetapkan ada 3 komponen dalam penerapan strategi MTBS, yaitu :

  3. Melakukan pendampingan di semua Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota (Wibowo, 2008).

  2. Diskusi dan rapat kerja dengan DPRD secara berkala tentang pelaksanaan dan anggaran MTBS.

  Menyiapkan materi/strategi advokasi MTBS.

  2. Pendampingan pemberian makanan tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi anak 6

  Memberikan pearawatan/pengobatan di Rumah Sakit dan Puskesmas pada anak balita gizi buruk disertai penyakit penyerta.

  g. Intervensi gizi dan kesehatan dalam MTBS 1.

  5. Memberikan suplementasi gizi sesuai anjuran

  4. Makan beraneka ragam

  3. Menggunakan garam beryodium

  2. Memberi ASI eksklusif pada bayi 0

  • – 23 bulan dan PMT pemulihan pada anak 24 – 59 bulan kepada balita gizi kurang baik yang memiliki penyakit penyerta ataupun tidak ada penyakit penyerta.

2.3.7 Komponen MTBS

  kasus balita sakit menggunakan pedoman MTBS yang telah diadaptasi (dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan).

  2. Komponen II

  Ensuring that health facility supports reqired to provide effective IMCI care

are in place yaitu memperbaiki sistem kesehatan agar penanganan penyakit pada

  balita lebih efektif.

  3. Komponen III

  Household and community component , yaitu meningkatkan praktek /peran

  keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat, yang dikenal sebagai “Manajemen terpadu balita sakit berbasis masyarakat” (Prasetyawati, 2012)

2.4 Manajemen Terpadu Balita Sakit di Puskesmas

2.4.1 Persiapan MTBS di Puskesmas

  Puskesmas yang akan menerapkan MTBS dalam pelayanan kepada balita sakit perlu melakukan :

2.4.1.1 Diseminasi Informasi MTBS kepada seluruh tenaga Puskesmas

  Kegiatan diseminasi informasi MTBS seluruh tenaga puskesmas dilaksanakan dalam satu pertemuan dan dihadiri oleh perawat, bidan, tenaga gizi, tenaga imunisasi, tenaga obat, pengelolaa SP3, pengelola program P2M, tenaga loket dan lain-lain. Apabila dibutuhkan dapat dihadiri oleh supervisor dari Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Informasi yang harus disampaikan: Konsep umum MTBS, peran dan tanggung jawab tenaga Puskesmas dalam menerapkan MTBS (Depkes, 2008). Kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan rencana penerapan MTBS di Puskesmas yang meliputi persiapan logistic, penyesuaian alur pelayanan, penerapan MTBS di Puskesmas dan pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan MTBS (Depkes, 2008).

2.4.1.2 Rencana persiapan logistik

  Persiapan sebelum menerapkan MTBS adalah :

  1. Persiapan Obat dan Alat

  a. Obat Obat

  • – obat yang digunakan dalam MTBS adalah obat yang sudah lazim ada, kecuali beberapa obat yang belum tersedia di Puskesmas. Obat yang digunakan termasuk dalam Daftar Obat Esensial (DOEN) dan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang digunakan di Puskesmas.

  Obat - obat yang diperlukan adalah : Kotrimoksazol tablet dewasa, kotrimoksazol tablet anak, sirup kotrimoksazol, sirup amoksilin, tablet amoksilin, kapsul tetrasiklin, tablet asam nalidiksat, tablet metronidazol, tablet primakuin, tablet kina, tablet artesunate, tablet amodiakuin, tablet parasetamol, tablet albendazol, tablet pirantel pamoat, tablet besi, sirup besi, suntikan ampisilin, suntikan gentamisin, suntikan penisilin prokain, suntikan artemeter, suntikan kinin HCL, suntikan fenobarbital, suntikan diazepam, tetrasiklin atau kloramfenikol salep mata, gentian violet 1%, tablet nistatin, gliserin, vitamin A 200.000 IU, vitamin A 100.000IU, tablet zinc, aqua bides untuk pelarut, oralit 200 cc, cairan infus NaCl 0,9%, cairan infus ringer laktat, cairan infus dextrose 5%, alcohol, povidone iodine (Depkes RI, 2008).

  b. Peralatan

  Peralatan yang dapat dipergunakan dalam penerapan MTBS adalah : i. Timer ISPA atau arloji dengan jarum detik ii. Tensimeter dan manset anak iii. Infus set dengan wing needles no 23 dan 25 iv. Gelas sendok, dan teko tempat air matang dan bersih (digunakan di pojok oralit) v. Semprit dan jarum suntik: 1 ml; 2.5 ml; 5 ml; 10 ml vi. Timbangan bayi vii. Kasa/kapas viii. Termometer ix. Alat penumbuk obat x. Alat penghisap lendir xi. Pipa lambung (nasogastire tube- NGT) xii. RDT - Rapid Diagnostic Test untuk malaria xiii. Kalau mungkin Mikroskop untuk pemeriksaan malaria

  2. Persiapan formulir MTBS dan Kartu Nasihat Ibu (KNI) Formulir rawat jalan MTBS merupakan logistik pencatatan yang belum ada di puskesmas. Langkah-langkah dalam persiapan formulir MTBS dan KNI : a.

  Hitung jumlah kunjungan balita sakit per hari dan hitung kunjungan per bulan.

  Jumlah keseluruhan kunjungan balita sakit merupakan perkiraan kebutuhan formulir MTBS selama satu bulan. Formulir digunakan untuk anak umur 2 bulan sampai 5 tahun, sedangkan kebutuhan formulir pencatatan untuk bayi muda, didasarkan pada perkiraan jumlah bayi baru lahir di wilayah kerja puskesmas, karena sasaran ini akan dikunjungi oleh bidan desa melalui kunjungan neonatal. b.

  Untuk pencetakan jumlah KNI sesuai jumlah kunjungan baru balita sakit dalam sebulan ditambah perkiraan jumlah bayi baru lahir dalam sebulan.

  c.

  Selama tahap awal penerapan MTBS, cetak formulir pencatatan dan KNI untuk memenuhi kebutuhan 3 bulan pertama.

  3. Penyesuaian alur pelayanan Salah satu konsekuensi penerapan MTBS di puskesmas adalah waktu pelayanan menjadi lebih lama. Untuk mengurangi waktu tunggu bagi balita sakit, harus ada penyesuaian alur pelayanan agar memperlancar pelayanan. Penyesuaian alur pelayanan balita sakit harus disepakati oleh seluruh tenaga kesehatan yang ada di puskesmas, pembahasan dilakukan pada saat diseminasi informasi. Penyesuaian alur pelayanan MTBS disusun menggunakan model ban berjalan yaitu balita sakit menjalani langkah-langkah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang berbeda. Adapun alur pelayanan yang diterima oleh balita sakit : a. Pendaftaran

  b. Pemeriksaan dan konseling

  c. Pemberian tindakan yang diperlukan

  d. Pemberian obat

  e. Rujukan bila diperlukan (Depkes RI, 2008)

2.4.2 Penerapan MTBS di Puskesmas

  Seluruh balita sakit yang datang ke puskesmas diharapkan ditangani dengan pendekatan MTBS, bila jumlah kunjungannya tidak banyak (kurang dari 10 kasus per hari). Akan tetapi bila perbandingan jumlah tenaga kesehatan yang telah dilatih MTBS dan jumlah kunjungan balita sakit per hari cukup besar maka penerapan MTBS di puskesmas dilakukan secara bertahap, hal ini tergantung kepada apakah tenaga tersebut juga dibebani untuk menangani pasien yang bukan balita, kegiatan ke posyandu, dan lain-lain (Depkes RI, 2008). Sebagai acuan dalam pentahapan penerapan adalah sebagai berikut :

  a. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit 10 orang per hari pelayanan MTBS dapat diberikan langsung kepada seluruh balita.

  b. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit 11-20 balita per hari, memberikan pelayanan 50% kepada kunjungan balita sakit pada tahap awal dan setelah 3 bulan pertama diharapkan seluruh balita sakit mendapatkan pelayanan MTBS.

  c. Puskesmas yang memiliki kunjungan balita sakit 21-50 balita per hari, memberikan pelayanan MTBS kepada 25% kunjungan balita sakit pada tahap awal dan setelah 6 bulan pertama diharapkan seluruh balita sakit mendapatkan pelayanan MTBS (Depkes,2008).

  

Datang Datang

Gambar 2.1 Alur Pelayanan penanganan penyakit dengan MTBS yang diberikan oleh 3 orang tenaga kesehatan

  Pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang menerapkan MTBS sama dengan puskesmas yang lain yaitu menggunakan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas (SP3). Dengan demikian semua pencatatan dan pelaporan yang digunakan tidak perlu mengalami perubahan. Perubahan yang perlu dilakukan adalah konvensi

  Petugas 1. di loket : Mengisi formulir MTBS (Identitas dan status kunjungan )

  Pendaftaran +

  Memberi formulir MTBS + Family folder

  klasifikasi , identifikasi pengobatan)

  2. Konseling (cara pemberian obat di rumah , kapan kembali, pemberian makan )

  3. Pemberian kode diagnose dalam

  

SP3

  4. Tindakan yang diperlukan (pengobatan pra rujukan dan imunisasi)

  Petugas 2. di ruang periksa melakukan seluruh langkah sejak

   Pengukuran suhu bada  Penimbangan berat badan hingga konseling

1. Pemeriksaan (Memeriksa dan membuat

  Pemberian Obat Rujuk Pulang Petugas 3. Di Apotek

2.4.3 Pencatatan dan Pelaporan Hasil Pelayanan

  klasifikasi MTBS ke dalam kode diagnosis dalam SP3 sebelum masuk ke dalam sistem pelaporan.

  2.4.3.1 Pencatatan Hasil Pelayanan

  Pencatatan hasil pelayanan, yaitu kunjungan, hasil pemeriksaan sampai penggunaan obat yang tidak memerlukan catatan khusus. Pencatatan yang telah ada di puskesmas digunakan sebagai alat pencatatan. Alat pencatatan yang dapat digunakan adalah : a. Register kunjungan

  b. Register rawat jalan

  c. Register kohort bayi

  d. Register kohort balita

  e. Register imunisasi

  f. Register malaria, demam berdarah dengue, diare, ISPA, gizi, dll

  g. Register Obat

  2.4.3.2 Pelaporan Hasil Pelayanan

  Pelaporan yang digunakan adalah :

  a. Laporan bulanan 1/Laporan bulanan data kesakitan (LB1)

  b. Laporan pemeriksaan dan lembar permintaan obat (LPLPO)

  c. Laporan bulanan gizi, KIA, Imunisasi dan P2M (LB3)

  d. Laporan Minggu Diare e.Laporan kejadian luar biasa

  Diperlukan konvensi dari klasifikasi ke dalam bentuk diagnose dan menggunakan penomoran kode LB1 (Depkes RI, 2008)

2.5 Penatalaksanaan Pneumonia dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit

2.5.1 Penilaian dam Klasifikasi Anak Sakit

  i. Menanyakan kepada ibu mengenai masalah anaknya Bagan MTBS tidak digunakan bagi anak sehat yang dibawa untuk imunisasi atau bagi anak dengan keracunan, kecelakaan atau luka bakar. Tentukan apakah kunjungan merupakan kunjungan pertama atau kunjungan ulang ii. Memeriksa tanda bahaya umum

  Periksa tanda bahaya umum pada anak sakit. Anak dengan tanda bahaya umum memiliki masalah kesehatan serius dan sebagian besar perlu segera dirujuk.

  Tanda bahaya umum adalah:

  a. Tidak bisa minum atau menyusui

  b. Memuntahkan semuanya

  c. Kejang

  d. Letargis atau tidak sadar iii. Penilaian dan klasifikasi batuk atau sukar bernapas Anak dengan batuk atau sukar bernapas mungkin menderita pneumonia atau infeksi saluran pernapasan berat lainnya. Anak yang menderita pneumonia, paru mereka menjadi kaku, sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat, agar tidak terjadi hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia bertambah parah, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada ke dalam.

  a. Menilai batuk atau sukar bernapas Anak yang batuk atau sukar bernapas dinilai untuk: Sudah berapa lama anak batuk atau sukar bernapas, Napas cepat, Tarikan dinding dada ke dalam,

  Stridor (Depkes, 2008).

  b. Klasifikasi batuk atau sukar bernapas Pada umumnya klasifikasi mempunyai tiga lajur :

  1. Klasifikasi pada lajur merah muda berarti anak memerlukan perhatian dan harus segera dirujuk. Ini adalah klasifikasi yang berat

  2. Klasifikasi pada lajur kuning berarti anak memerlukan tindakan khusus, misalnya pemberian antibiotik, antimalaria, cairan dengan pengawasan atau pengobatan lainnya

  3. Klasifikasi pada lajur hijau berarti anak tidak memerlukan tindakan medis khusus, tenaga kesehatan mengajari ibu cara merawat anak di rumah.

  Ada tiga kemungkinan klasifikasi bagi anak dengan batuk atau sekedar bernapas

Tabel 2.1 Gejala dan Klasifikasi Pneumonia Pada Anak Umur 2 Bulan-5 Tahun

GEJALA KLASIFIKASI

  Ada tanda bahaya umum atau Tarikan dinding dada ke dalam atau PNEUMONIA BERAT atau Stridor PENYAKIT SANGAT BERAT Napas cepat PNEUMONIA

  Tidak ada tanda-tanda pneumonia atau BATUK : penyakit sangat berat BUKAN PNEUMONIA

2.6 Fokus Penelitian

  Pada prinsinya keberhasilan implementasi pneumonia dengan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) dapat di ukur melalui indikator masukan (input), proses (process), dan luaran (output). Oleh karena itu fokus penelitian dapat disusun sebagai berikut :

  Input : Output :

  Process : Implementasi

  1. Tenaga Kesehatan Balita Pneumonia penanganan ditangani dengan

  2.Pendanaan Pneumonia dengan

  MTBS

  3.Sarana, Prasarana dan MTBS peralatan

Gambar 2.2 Fokus Penelitian

  Berdasarkan gambaran diatas, dapat dirumuskan bahwa definisi focus penelitian sebagai berikut :

  1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam implementasi pneumonia dengan MTBS agar dapat berjalan dengan baik, meliputi : Tenaga Kesehatan; Pendanaan; Sarana, Prasarana dan Peralatan.

  a. Tenaga adalah ahli kesehatan yang telah mendapat pelatiham dalam MTBS dan menerapkan MTBS dalam implementasi balita yang menderita pneumonia.

  b. Pendanaan adalah adanya materi dalam bentuk uang yang digunakan untuk pelaksanaan MTBS.

  c. Sarana, Prasarana dan peralatan termasuk didalamnya yaitu: obat, peralatan untuk pemeriksaan, formulir MTBS, kartu nasihat ibu (KNI), dan ruangan khusus untuk MTBS yang mendukung terlaksananya implementasi pneumonia dengan MTBS.

2. Proses (Process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meliputi : Penilaian dan klasifikasi balita sakit.

  3. Keluaran (output) adalah hasil dari sesuatu implementasi pneumonia dengan menggunakan manajemen terpadu balita sakit (MTBS), diharapakan semua balita yang menderita pneumonia dapat ditangani dengan MTBS.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Iklim (Curah Hujan, Suhu Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) Dengan Kejadian Diare di Kota Jakarta Pusat pada Periode Tahun 2004-2013

0 0 7

Analisis Kandungan Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Formaldehid Pada Beberapa Ikan Segar Di KUB(Kelompok Usaha Bersama) Belawan, Kecamatan Medan Belawan Tahun 2015

0 0 41

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pencemaran dan Lingkungan - Analisis Kandungan Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Formaldehid Pada Beberapa Ikan Segar Di KUB(Kelompok Usaha Bersama) Belawan, Kecamatan Medan Belawan Tahun 2015

0 0 49

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Kandungan Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Formaldehid Pada Beberapa Ikan Segar Di KUB(Kelompok Usaha Bersama) Belawan, Kecamatan Medan Belawan Tahun 2015

0 0 9

ANALISIS KANDUNGAN CADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN FORMALDEHID PADA BEBERAPA IKAN SEGAR DI KUB (KELOMPOK USAHA BERSAMA) BELAWAN, KECAMATAN MEDAN BELAWAN TAHUN 2015 SKRIPSI

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Implementasi Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai

0 1 43

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang - Implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket

0 0 33

Analisis Keberadaan Candida albicans dan Aspergillus spp. Serta Keluhan Kesehatan dan Perilaku Penjual Tentang Bahaya Kesehatan pada Pakaian Bekas di Pasar Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan tahun 2015

0 1 57

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jamur 2.1.1Definisi Jamur - Analisis Keberadaan Candida albicans dan Aspergillus spp. Serta Keluhan Kesehatan dan Perilaku Penjual Tentang Bahaya Kesehatan pada Pakaian Bekas di Pasar Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan

0 0 30

Analisis Keberadaan Candida albicans dan Aspergillus spp. Serta Keluhan Kesehatan dan Perilaku Penjual Tentang Bahaya Kesehatan pada Pakaian Bekas di Pasar Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan tahun 2015

0 0 17