Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Pt.Indonesia Asahan Aluminium Dengan Pt.Putra Tanjung Lestari Dalam Pengandaan Tenaga Keeja Outsourcing Setelah Pt.Inalum Bumn

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG OUTSOURCING DI INDONESIA A. Pengertian Outsourcing Tuntutan persaingan dalam era globalisasi dunia usaha yang ketat saat ini

  maka banyak perusahaan berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efesien. Salah satunya upaya dilakukan dengan mempekerjakan jumlah tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini

  24 dikenal dengan istilah “outsourcing”.

  “Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or

manufacturing, to a third-party company. The decision to outsource is often made

in the interest of lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at

the competencies of a particular business, or to make efficient use of labor, capital,

  25 technology dan resources”.

  24 Ariswan, Seputar Tentang Tenaga Outsourcing, outsourcing-sebagai-solusi-dunia, dari , (Diakses pada tanggal 26 januari 2015 ). 25 Defenisi Outsourcing, (Diakses pada tanggal

  Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu

  26

  proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.

  Atau dengan kata lain, Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan lain diluar perusahaan induk. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non core business unit) ataupun secara praktek

  27 semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing.

  Istilah Outsourcing tidak ditemukan secara langsung didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Didalam Pasal

  64 Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 hanya dikemukakan bahwa “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat seca ra tertulis”.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 64 tersebut, maka outsourcing atau yang disebut dengan perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dikatogorikan dalam dua kelompok, yaitu: penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk dikerjakan ditempat perusahaan lain tersebut, atau penyedia jasa pekerja, yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan. Yang pertama titik-beratnya terletak pada produk kebendaan, sedangkan yang kedua,

  28 orang-perorangan yang jasanya dibutuhkan. 26 27 Chandra Suwondo, Op. cit., hal. 3. 28 Ariswan, Op.cit.

  Sehat Damanik, outsourcing dan perjanjian kerja menurut UU No.13 Tahun 2003

  Outsourcing , melalui ketentuan Pasal 64 diatas dapat dikelompokkan dalam

  dua bagian, yaitu : a.

  Penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk dikerjakan ditempat perusahaan lain; atau b.

  Penyediaan jasa tenaga kerja oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang dipekerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan.

  Maka jenis dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yaitu dapat berupa : 1.

  Perjanjanjian pemborongan pekerjaan atau

  29 2.

  Penyediaan jasa pekerja/buruh.

  Perjanjian pemborongan pekerjaan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan merupakan salah satu jenis dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, dalam melakukan perjanjian pemborongan pekerjaan ini disyaratkan harus dilaksanakan melalui perjanjian secara tertulis (Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

  Secara limitative Undang-Undang Ketenagakerjaan atau UUK menetapakan bahwa jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain dan dilakukan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 65 ayat (2) UUK ): a.

  Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama b.

  Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi 29 pekerjaan

  Agusmidah, Dinamika dan Kajian teori Hukum ketenagakerjaan di Indonesia, ( Bogor: c.

  Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan

  30 d.

  Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Lebih lanjut Pasal 65 UUK mengatur sebagai berikut : a.

  Perusahaan lain sebagai perusahaan pelaksana penerima sebagian pekerjaan harus berbentuk badan hukum.

  b.

  Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain tersebut sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  c.

  Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

  d.

  Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakanya.

  e.

  Hubungan kerja tersebut dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

  f.

  Apabila syarat-syarat penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan tidak dipenuhi dan atau jika perusahaan lain selaku penerima pekerjaan tidak berbentuk badan hukum maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

  g.

  Hubungan kerja tersebut dapat berupa PKWTT atau PKWT.

  30

  Penyediaan jasa pekerja /buruh, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain dapat pula dilakukan dengan sistem penyediaan jasa pekerja/buruh. Jika jenis pertama diistilahkan dengan outsourcing pekerjaan maka jenis kedua ini dapat diistilahkan sebagai outsourcing pekerja/buruh.

  Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang berupa penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berikut: 1.

  Tidak untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, tetapi untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

2. Penyedia jasa pekerja/buruh memenuhi syarat sebagai berikut: a.

  Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b.

  Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UUK dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c.

  Perlindungan upah dan kesehjahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d.

  Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

  3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenakerjaan.

4. Apabila terjadi pelanggaran atas beberapa hal berikut: a.

  Pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan inti bukan penunjang; b.

  Tidak terpenuhi syrat a, b, dan d pada poin diatas; c. Perusahaan Penyedia jasa pekerja/buruh tidak berbadan hukum dan tidak memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan;

  Maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara

  31 pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

  Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu

  proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Hal-hal yang didelegasikan dalam outsourcing adalah suatu fungsi dan proses bisnis

  32 tertentu untuk disisipkan dalam operasional bisnis perusahaan secara keseluruhan.

  Sehingga dapat dikatakan bahwa outsourcing adalah salah satu hasil samping dari Businesss Process Reengineering atau sering disebut dengan BPR.

  BPR adalah perubahan yang dilakukan secara mendasar oleh satu perusahaan 31 32 Ibid, hal. 55.

  dalam pengelolaanya, yang bukan sekedar bersifat perbaikan. BPR merupakan pendekatan baru dalam manajemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berbeda dengan pendekatan lama yakni (continuous improvement process) atau proses peningkatan berkelanjutan. Dengan menerapkan BPR secara efektif dan efisien memiliki kompetensi baru dengan menjual proses bisnis yang dimilikinya kepada pihak lain (outsource). Bagi perusahaan yang ingin fokus pada pengembangan proses bisnisnya dengan menitikberatkan pada core competency yang dimiliki, perusahaan dapat mengalihkan aktivitas non value added pada perusahaan lain sebagai pihak ketiga yang menyediakan sumber daya, sebagai contoh: recruitment. Proses ini dapat menjadi lebih mudah dengan adanya standar manajemen proses yang dapat memberikan kepastian pada pihak perusahaan yang

  33

  memanfaatkan jasa outsourcing. BPR dilakukan untuk memberikan respons atas perkembangan ekonomi secara global serta kemajuan teknologi yang pesat, yang

  34 menimbulkan persaingan global secara ketat.

  Di bidang ketenagakerjaan, outsourcing dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada perusahaan yang terlibat, yakni perusahaan yang khusus menyeleksi, melatih dan mempekerjakan tenaga kerja yang menghasilkan suatu produk/jasa tertentu untuk kepentingan perusahaan lainya. Dengan demikian, perusahaan yang

33 Businesss Process Reengineering and Langkah Langkah Reengineering Proses Bisnis,

  https://vtrhiwahyu.wordpress.com/2013/03/26/business-process-reengineering-and-langkah- langkah-reengineering-proses-bisnis/ ( Diakses pada tanggal 14 maret 2015). 34 kedua tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan tenaga kerja yang

  35 bekerja padanya; hubungan hanya melalui perusahaan penyedia tenaga kerja.

  Pengertian outsourcing (alih daya) secara khusus didefenisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach

  to Outsourcing : Decisions and Intiatives, djabarkan “strategic use of outside

parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and

  36 respurces.”

  Beberapa pakar serta praktisi outsourcing dari Indonesia juga memberikan defenisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa

  37 outsourcing ).

  Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jendral Pembinaan Hubungan industrial Departemen tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefenisikan pengertian outsourcing sebagai memborongkan suatu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada

  38 perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.

  Pelaksanaan perjanjian outsourcing dalam bentuk memperkerjakan/menagambil jasa perorangan jauh lebih kompleks. Dalam memperkerjakan pekerja, maka penandatangan kontrak kerja akan dilakukan antara perusahaan yang merekrut/melatih tenaga kerja dengan perusahaan yang 35 36 Ibid, hal. 3.

  Roy Jeremy, Defenisi Outsourcing, (Diakses pada tanggal 14 maret 2015). 37 38 Chandra Suwondo, Op. cit, hal. 2.

  Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (alih daya), Ditinjau dari Aspek Hukum

Ketenagkerjaan Tidak Mengaburkan Hubungan Industrial, menampung penempatan tenaga kerja dan antara pekerja dengan perusahaan yang menerima dan melatih pekerja. Dengan demikian hubungan kerja, dalam artian hubungan antara majikan dan pekerja, hanya tercipta antara pekerja dengan perusahaan yang merekrut pekerja dan bukan dengan perusahaan tempat pekerja

  39 melakukan pekerjaanya.

  Mengingat jalinan hubungan kerja yang tercipta adalah antara tenaga kerja dengan perusahaan perekrut pekerja, serta antara perusahaan perekrut tenaga kerja dengan perusahaan yang menampung penempatan tenaga kerja, maka segala pengupahan dan hak-hak pekerja lainya akan dibayarkan dan diterima melalui

  40 perusahaan perekrut tenaga kerja awal.

  Namun demikian, Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia telah memberikan batasan-batasan penggunaan tenaga kerja melalui outsourcing, yaitu hanya terhadap bagian-bagian yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis utama suatu perusahaan. Dalam praktiknya tenaga kerja yang paling banyak di-

  41 outsource adalah tenaga satuan pengamanan (satpam /sekuriti ).

  Perjanjian hubungan kerja biasa, pekerja mempunyai hubungan langsung dengan pengusaha yang mempekerjakanya. Dalam hubungan langsung tersebut, pengusaha akan membayarkan segala hak pekerja secara langsung, demikian juga sebaliknya, pekerja memberikan tenaganya secara langsung kepada perusahaan yang merekrutnya. Hal ini tidak berlaku pada hubungan kerja melalui outsourcing, dimana pembayaran dilakukan melalui pengusaha ke pengusaha dan pengusah pekerja. 39 40 Sehat Damnik, Op. Cit, hal. 4 . 41 Ibid.

  Terdapat kesederhanaan bagi perusahaan tempat pekerja dipekerjakan, yaitu perusahaan tersebut tidak perlu lagi mengurusi masalah perekrutan dan pelatihan tenaga kerja. Mereka tinggal menetukan kriteria tenaga kerja yang diperlukan dan meyodorkannya kepada perusahaan outsourcing. Keuntungan lainya adalah, perusahaan tersebut tidak lagi dipusingkan oleh urusan pesangon, THR, PHK, dan masalah ketenagakerjaan lainya, karena hal ini diambil-alih oleh perusahaan

  42 outsourcing .

  Hal ini menunjukkan, outsourcing dapat dikatakan sebagai penyerahan kegiatan perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam kontrak perjanjian. Ada tiga (3) unsur penting dalam outsourcing, yaitu: 1.

  Terdapat pemindahan fungsi pengawasan.

  2. Ada pendelegasian tanggung jawab atau tugas suatu perusahaan.

  3. Dititik beratkan hasil atau output yang ingin dicapai perusahaan.

  Dari beberapa defenisi yang dikemukakan diatas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing, yaitu adanya penyerahan sebagai kegiatan perusahaan pada pihak lain, yang diharapkan memberikan hasil berupa peningkatan kinerja agar dapat lebih kompetitif dalam menghadapi perkembangan ekonomi dan

  43 teknologi global.

B. Sejarah Outsourcing

  Cikal bakal penerapan prinsip-prinsip outsourcing sesungguhnya sudah dimulai pada zaman Yunani dan Romawi kuno. Pada masa itu, akibat kekurangan 42 43 Ibid.

  Tris Umar Nofa, Pengertian outsourcing, diakses dari (tanggal 29 kemampuan pasukan dan tidak tersedianya ahli-ahli bangunan, dan bangsa Yunani dan Romawi kerap kali memyewa prajurit asing untuk berperang dan ahli

  • – ahli

  44 bangunan untuk membangun kota dan istana.

  Di Indonesia sendiri, sistem outsourcing telah dikenal sejak zaman sebelum kemerdekaan. Pada masa-masa awal kedudukan Belanda di Indonesia, banyak tenaga kerja yang bekerja dalam sektor perkebunan yang investor besarnya adalah Belanda. Mereka didatangkan dari berbagai tempat lain di Indonesia dan dipekerjakan diperkebunan yang ada di Deli Serdang. Dalam bekerja, mereka akan dikendalikan oleh seorang petugas Belanda yang disebut mandor. Upah untuk mandor tersebut pun didapat dari 7.5% upah keseluruhan kuli. Semakin lama, nasib para kuli tersebut kian buruk karena upah yang diharapakan setelah bertahun-tahun bekerja ternyata dihitung lunas dalam pembayaran hutang atas biaya pemberangkatan serta akomodasi mereka selama perjalanan dan bekerja disana. Masa-masa tersebutlah yang menjadi masa sulit bagi rakyat selama kedudukan

45 Belanda di Indonesia.

  Sejalan dengan terjadinya Revolusi Industri, maka perusahaan-perusahaan berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam memenangkan persaingan. Pada tahap ini, kemampuan untuk mengerjakan sesuatu saja tidak cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan

  46 kesangggupan untuk menciptakan produk paling bermutu dengan biaya rendah.

  Sekitar tahun 1950-an sampai dengan tahun 1950-an sampai dengan tahun 1960-an, berbagai pertemuan ekonomi dunia telah mendorong munculnya ide-ide 44 45 Sehat Damanik, Op. cit.

  Nyimas Halimah Tusyakdiah, Manajemen SDM : outsourcing, (Diakses pada tanggal 29 maret 2015). 46 ke arah diversifikasi usaha, dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang usaha tersebut juga ikut melahirkan keinginan memaksimalkan keuntungan tanpa harus

  47 mengeluarkan biaya yang maksimal atau efesiensi bagi dunia usaha.

  Tahun 1970 hingga tahun 1980, dunia usaha memasuki masa persaingan global, namun mengalami kendala karena kurangnya persiapan akibat struktur manajemen yang membengkak. Akibatnya, resiko usaha dalam segala hal, termaksuk resiko ketenagakerjaan pun meningkat. Tahap ini merupakan awal timbulnya pemikiran outsourcing di dunia usaha. Maka untuk meningkatkan keluwesan dan kreatifitas dalam berusaha, banyak perusahaan besar membuat strategi baru dalam berbisnis dengan cara fokus pada bisnis inti (core business), mengindentifikasi proses yang kritikal, dan memtuskan hal-hal yang harus di-

  48 outsource.

  Gagasan awal berkembangnya outsourcing adalah untuk membagi resiko resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan. Pada tahap awal

  

outsourcing belum diidentifikasikan secara formal sebagai strategi bisnis, hal ini

  terjadi karena banyak perusahaan yang semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian tertentu yang bias mereka kerjakan, sedangakan untuk bagian-bagian

  49 yang tidak bisa dikerjakan secara internal dikerjakan melalui outsource.

  Sekitar tahun 1990, outsourcing telah mulai dirasakan manfaat dan perannya oleh dunia usaha sebagai jasa pendukung. Tingginya persaingan telah menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan pengurangan biaya. Perusahaan mulai melakukan alih daya atas fungsi-fungsi yang penting bagi perusahaan akan tetapi tidak berhubungan langsung dengan (core business) 47 48 Ibid, hal.7. 49 Chandra Suwondo, Op.cit, hal. 4. perusahaan. Dalam perkembangan selanjutnya, outsourcing tidak lagi membagi resiko, melainkan berkembang lebih kompleks. Michael F. Corbett, Pendiri The

  

Outsourcing Institute dan Presiden Direktur dari Michael F. Corbett & Associates

  Consulting Firm, mengemukakan bahwa outsourcing telah menjadi alat manajemen. Lebih dari itu, outsourcing bukan hanya membantu menyelesaikan

  50 masalah, tetapi juga mendukung tujuan dan sasaran bisnis.

  Di Indonesia, praktik outsourcing sudah dikenal pada masa penjajahan kolonial Belanda. Hal itu bisa dilihat pengaturanya dalam Pasal 1601 b KUHPerdata. Dalam pasal itu disebutkan bahwa perjanjian pemborongan kerja adalah suatu persetujuan, dimana pihak kesatu yakni pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yakni pemberi kerja, dengan harga yang telah ditentukan.

  Walaupun praktik outsourcing sudah lama dikenal di Indonesia, namun perkembanganya sangat lambat. Ditenggarai bahwa salah satu faktor penghambat perkembangan tersebut adalah kurangnya dukungan dari segi penciptaan peraturan perundang-undangan. Salah satu faktor penghambat perkembangan tersebut, adalah kurangnya dukungan dari segi penciptaan peraturan. Kurangnya peraturan pendukung berdampak pada lambatnya sosialisasi serta rendahnya pemahaman masyarakat atas keuntungan-keuntungan pemanfaatan pada

  outsourcing

  51

  perusahaan. Bahkan Undang-Undang Ketengakerjaan lama (Undang-Undang Nomor 25 Thun 1997) tidak mengatur satupun tentang outsourcing.

  Mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktik ketenagkerjaan, maka peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ketengakerjaan menjadi faktor 50 51 Ibid, hal.8.

  penting dalam memacu perkembangan outsourcing di Indonesia. Legalisasi penggunaan jasa outsourcing baru terjadi pada tahun 2003, yakni dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan, dimana ketentuan mengenai outsourcing diatur dalam tiga Pasal yaitu Pasal 64, 65, dan 66.

  Undang- Undang Ketenagkerjaan ini mengatur bidang-bidang memungkinkan untuk di-outsource, yaitu bagian-bagian yang tidak berkaitan dengan bisnis inti. Melalui peraturan tersebut, pada tahun 2003 telah mulai tumbuh kesadaran perusahaan-perusahaan besar untuk menggantikan tenaga kerja yang tidak berhubungan lansung dengan bisnis inti perusahaan, seperti satpam, akunting,

  52 office boy , dan lain-lain.

  Sebagai revisi, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Ketengakerjaan tersebut menyatakan bahwa kebutuhan perusahaan untuk menjalankan produksi dapat menggunakan suplai tenaga kerja oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Dalam kesempatan bersama, tenaga kerja harus tunduk pada perusahaan penyalur dan perusahaan tempatnya bekerja. Upah dapat diterima jika tenaga kerja tersebut telah melakukan pekerjaan yang diberikan, dan patuh pada semua ketentuan perusahaan tempatnya bekerja. Kesepakatan tentang upah ditentukan oleh perusahaan penyalur dan perusahaan tidak bisa menuntut pada

  53 perusahaan tempatnya bekerja.

  52 53 Ibid .

C. Outsourcing Dalam Peraturan Ketenagakerjaan Di Indonesia

  Pengaturan Hukum outsourcing (alih daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (Pasal 64, 65, dan 66), Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004), Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. : KEP. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelakssanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan Menteri Tenaga Kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang

  13 Tahun 2003 tentang

54 Ketengakerjaan. Peraturan Menteri Tenga Kerja Dan Transmigrasi Republik

  Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.

  Kementrian Tenaga Kerja dan Transportasi (Kemenakertrans) dengan menerbitkan Surat Edaran No. B.31/PHIJKS/I/2012 tentang pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011.

  Tahun 2011, Mahkamah Kostitusi (MK) telah mengabulkan sebagian uji materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan Didik Suprijadi, pekerja dari Alinsi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML). Berikut adalah isi Amar Putusan MK Nomor 27/PUU-

55 IX/2011 itu:

  54 Paket kebijakan Perbaikan iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk

  

dilakukan revisi dalm Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan

Hubungan Kerjam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangaon, Izin Tenaga Kerja Asing Dan Istirahat Panjang. 55 Putra-Putri-Indonesia,

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 2.

  Menyatakan frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik

  Indonesia sebagaimana mestinya. Karena putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka dua pasal yang ada di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 itupun berubah dengan dihilangkannya kalimat „perjanjian kerja waktu tertentu‟ dan „perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

  Sebelum melihat dampaknya, lebih baik mengetahui lebih dulu dua Pasal yang berkaitan dengan Keputusan ini, yaitu Pasal 65 ayat 7 dan Pasal 66 ayat 2b.

  56 Pertama kita lihat Pasal 65 ayat 7, dan ayat 1 dan 6 karena saling terkait.

  56

  Pasal 65 ayat 1 berbunyi, "Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis."

  Pasal 65 ayat 6 berbunyi, "Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya."

  Pasal 65 ayat 7, "Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59." Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga terkait dengan Pasal 59 yang berbunyi demikian: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : 1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

  3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau 4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

  (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan

  (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

  (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

  (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

  (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

  Keputusan Mahkamah Konsitusi juga menyentuh Pasal 66 ayat 2 berbunyi: "Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat

  57

  sebagai berikut : 1.

  Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasapekerja/buruh;

  2. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; Setelah dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-

  IX/2011 ini, maka istilah 'perjanjian kerja waktu tertentu' tidak dapat lagi dimuat pada Pasal 65 ayat 7 dan pada pasal 66 ayat 2b. Dengan kata lain konsep

  

outsourcing tidak berlaku terhadap pekerjaan apapun, kecuali memenuhi kriteria

  Pasal 59. Pekerjaan accounting, admin assistant atau sekretaris tidak dapat lagi di-

  

outsourcing. Itu semua menjadi pekerjaan waktu tidak tetap sebab pekerjaan itu

bukan musiman, bukan juga untuk sementara.

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat disebut sebagai suatu kodifikasi dari berbagai ketentuan ketenagakerjaan yang sebelumnya terpisah-pisah. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, ada sekitar 15 Ordonansi dan Peraturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk mengatur persoalan 57 ketenagakerjaan. Dengan berlakunya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor13 Tahun 2003 ini, maka ke-15 Ordonansi dan Peraturan tersebut telah dinyatakan

  58 tidak berlaku.

  Meskipun di dalamnya tidak pernah ditemukan kata outsourcing secara langsung, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan Tonggak baru yang mengatur dan melegalisasi masalah outsourcing. Istilah yang dipakai dalam Undang-Undang tersebut adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau

  59 penyediaan jasa pekerja/buruh.

  Ketentuan yang mengatur ousourcing ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

  Didalam Pasal 64 disebutkan bahwa, perusahaan dapat menyerahakan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Oleh karena ketentuan pasal tersebut lebih merupakan pilihan bebas, maka pemanfaat bukanlah Sesuatu yang wajib melainkan terserah pada perhitungan

  outsourcing untung-rugi pengusaha.

  Undang-Undang Ketenagakerjaan ini telah membatasi pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain melalui pemborongan atau outsourcing.

  Kewajiban bagi pengguna jasa tenaga kerja, yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1), pengguna jasa tenaga kerja tidak boleh menggunakan tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubung langsung dengan proses produksi, kecuali untuk jasa penunjang atau kegiatan yang tidak

  60 berhubungan langsung dengan proses produksi. 58 59 Sehat Damanik, Op.cit, hal.12. 60 Ibid.

  Saifudien, Sekilas tentang outsourcing di Indonesia, ( Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Namun tidak semua pekerjaan dapat diserahkan untuk dikerjakan perusahaan lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) UUK. Realisasi hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya dibuat secara tertulis. Perjanjian kerja tersebut dapat didasarkan pada perjanjian kerja tidak waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Syarat perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Pasal 59, yaitu: a.

  Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b.

  Pekerjaan yang pengerjaannya diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c.

  Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d.

  Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, produk tambahan yang masih dalm percobaan atau perjajakan.

  Pemenuhan persyaratan terjadi diatas merupakan suatu keharusan, karena kelalaiaan dalam pemenuhan syarat tersebut berakibat pada beralihnya status hukum hubungan kerja pekerja/ buruh dari perusahaan penerima pemborongan menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

  Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Pembatasan kegiatan yang dapat di-outsource tersebut ditunjukkan untuk

  61 melindungi terjadinya kesewenang-wenangan terhadap pekerja lama.

  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada satu sisi telah berupaya untuk melindungi pekerja/buruh dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan penusaha outsourcing, dan

  62 pada sisi lain telah juga membuka peluang terjadinya efesiensi bagi pengusaha.

2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) RI No.:

  KEP-101/MEN/VI2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.

  Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi (Permenakertrans) ini dibuat untuk memenuhi perintah Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut memerintahakan pembuatan peraturan pelaksana mengenai tata-cara perizinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

  Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi (Permenakertrans) ini disebutkan bahwa perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum, yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan. Permenakertrans ini tidak merinci secara tegas jenis badan hukum apa saja yang diizinkan dalam usaha ini. Agar dapat melayani penyediaan jasa pekerja/buruh, maka perusahaan dimaksud harus memiliki izin

  61 62 Sehat Damanik, Op.cit.

  operasional dari instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan di

  63 kabupaten/kota sesuai dengan domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

  Apabila perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjajian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat: a.

  Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa; b.

  Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa, sehingga perlindungan, upah dan kesehjateraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jsa pekerja/buruh; c.

  Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada diperusahaan pemberi pekerja, dalam hal terjadi penggantian perusahaan

  64 penyedia jasa pekerja/buruh.

  Perjanjian antara dua perusahaan tersebut selanjutnya didaftarkan pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

  Dalam hal perusahaan mempekerjakan pekerja pada lebih dari satu Kabupaten/Kota, tetapi masih dalam satu Provinsi, pendaftaran dilakukan pada instansi ketenagakerjaan dibidang ketenegakerjaan Provinsi. Sedangkan apabila 63 64 Ibid .

  pelaksanaan pekerjaan dilakukan pada dua provinsi atau lebih, maka pendaftaran

  65 akan dilakukan pada Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Industrial.

  Peraturan Permenakertrans ini, belum ada peraturan yang mengatur mengenai penentuan bidang-bidang apa saja yang termaksud dalam core bisiness dan yang bukan core business. Bahkan dalam Pasal 4 Permenakertrans ini memberi kebebasan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemberi kerja untuk menentukan jenis pekerjaan yang akan dilakukan, dalam sebuah

  66 perjanjian.

  Keluarnya Permenakertrans ini maka pengaturan terhadap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh telah terpenuhi, sehingga pedoman pelaksanaan dalam

  67 pengawasan atas setiap pelanggaran dapat diterapkan dengan tegas.

3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor :

  KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

  Sama dengan Permenaker KEP-101 di atas, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Kepmenaker ini juga merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal-hal yang diatur dalam Kepmenaker ini menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi ketika perusahaan menyerahkan pekerjaanya kepada perusahaan lain. Di antara beberapa syarat tersebut adalah bahwa penyerahan pekerjaan harus dibuat dan ditandatangani kedua belah pihak secara tertulis melalui perjanjian pemborongan 65 66 Ibid.

  James Purba, Pro kontra hukum tanah air, Kepmenakertrans,online.com, (Diakses pada tanggal 30 maret 2015). 67 pekerjaan. Penerima pekerjaan yang menandatangani perjanjian pemborongan tersebut harus merupakan perusahaan yang berbadan hukum dan mempunyai izin

  68 usaha dari ketenagkerjaan.

  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Kepmenaker ini juga mengharuskan adanya jaminan atas pemenuhan seluruh hak-hak pekerja.

  Syarat lainya adalah, penyerahan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan hanya dapat dilakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan utama perusahaan, melainkan hanya berupa kegiatan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor

  19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.

  Berdasarkan beberapa penjelasan tentang outsourcing atau didalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikenal dengan PKWT dan PKWTT serta penjelasan atau Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011. Oleh karenanya dengan diterbitkan Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, yang merupakan hukum positif.

  Materi yang termuat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusaaan Lain tersebut antara lain: 68

  1. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan terbatas yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan. (Pasal 1 ayat 3).

  2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi syarat secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan peleksanaan pekerjaan; (Pasal 3 ayat 2 sub a)

3. Outsourcing yang dibenarkan oleh Permenakertrans tersebut meliputi : a.

  Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); b.

  Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); c. Usaha tenaga pengamanan (security/ satuan pengamanan); d.

  Usaha jasa pertambangan dan permiyakan; dan e. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

  Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain ini, memiliki beberapa poin muatan dan apa

  69 implikasi dari penerapan Permenaker outsourcing ini.

  A.

  Konsideran.

  Pada bagian konsideran, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain, outsourcing ini disebut merujuk pada Uundang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan 69 Juanda Pangaribuan, Membaca muatan dan implikasi Permenaker outsourcing, berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, Uundang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) dan Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009.

  Masih pada bagian konsideran, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi outsourcing ini menjelaskan bahwa dua Kepmenakertrans yang mengatur mengenai outsourcing dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Hal ini ditegaskan pada bagian Ketentutan Penutup yang menyatakan dua Keputusan Mentri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi itu sudah tak berlaku sejak diundangkannya Permenaker outsourcing.

  Dua Keputusan Menteri itu adalah Kepmenakertrans Nomor. KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans Nomor Kep. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

  Memperhatikan konsideran dan ketentuan penutup tersebut, Permenaker outsourcing bukan aturan perubahan dari dua Kepmenakertrans itu.

  Melainkan peraturan pengganti. Maka, semua ketentuan dalam dua

  70 Kepmenakertrans tersebut tidak lagi berlaku sebagai hukum positif.

  B.

  Penyerahan Pekerjaan dan Alur Kegiatan.

  Permenaker outsourcing mengatur dua cara penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain. Ketentuan itu tidak berbeda dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penyerahan pekerjaan kepada perusahaan 70 lain itu bisa dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh (PJP/B). Untuk dapat menyerahkan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan, pemberi kerja harus terlebih dahulu menentukan bidang mana dari proses kegiatan perusahaannya yang dikategorikan sebagai pekerjaan penunjang.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Ind

0 0 27

BAB 1 PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Indonesia

0 0 13

Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN - Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

0 0 23

Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

0 0 10

BAB II PENGATURAN HUKUM ABORSI TERHADAP KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN - Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia

0 5 37

BAB I PENDAHULUAN - Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia

0 1 25

Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia

0 0 10

BAB II PENGATURAN PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT OLEH INDUSTRI JASA KEUANGAN A. Ruang Lingkup Industri Jasa Keuangan Bank - Tanggung Jawab Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pencegahan Dan Penghimpunan Dana Ilegal Di Masyarakat

0 0 44

BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang - Tanggung Jawab Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pencegahan Dan Penghimpunan Dana Ilegal Di Masyarakat

0 0 18