BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra, 2009) - Hubungan Antara 7-Point Subjective Global Assessment Dengan Phase Angle Dan Kualitas Hidup Pada Penyakit Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis Reguler

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

  2.1.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra, 2009)

  Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, yang umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Sedangkan gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana akan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Kriteria PGK dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

  1. Kerusakan ginjal yang terjadi >3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

  a. kelainan patologis

  b. terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,atau kelainan dalam tes pencitraan

  2

  2. LFG <60ml/mnt/1,73m selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

  2.1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra, 2009)

  PGK diklasifikasikan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

2 LFG (ml/mnt/1,73m ) = (140-umur) x berat badan *)

  72 x creatinine plasma (mg/dl)

  • ) pada perempuan dikalikan 0,85 Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2.

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

  Derajat Penjelasan LFG

  2

  (ml/mnt/1,73m )

  1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

  2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89 ↓ ringan

  3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59 ↓ sedang

  4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29 ↓ berat

  5 Gagal ginjal <15 atau dialysis

2.1.3 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra, 2009)

  Penatalaksanaan PGK meliputi: a.

  Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya b.

  Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid c. Memperlambat perburukan fungsi ginjal d.

  Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi f. Terapi pengganti ginjal

  Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) diperlukan pada penderita PGK stadium terminal, ketika LFG <15

  2

  ml/mnt/1,73m , dimana ginjal tidak dapat mengkompensasi kebutuhan tubuh untuk mengeluarkan zat-zat sisa hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui pembuangan urin, mengatur keseimbangan asam-basa dan keseimbangan cairan serta menjaga kestabilan lingkungan dalam (Suharjono dan Susalit, 2009).

  Tujuan terapi pengganti ginjal untuk mempertahankan kehidupan, meningkatkan kualitas hidup sehingga penderita dapat beraktifitas seperti biasa serta mempersiapkan transplantasi ginjal

  '

  apabila memungkinkan. Terapi pengganti ginjal yang tersedia saat ini ada 2 pilihan: dialisis dan transplantasi ginjal. Ada 2 metode dialisis yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis (Suwitra, 2009).

2.2 Hemodialisis

  Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh para penderita PGK stadium terminal. Dalam suatu proses hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin ke dalam kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat sintetis yang berlubang kecil ditengahnya. Darah mengalir di dalam lubang serat sementara dialisat mengalir diluar serat, sedangkan dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel tempat terjadinya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik melintasi membran dialyzer dengan cara menerapkan tekanan negatif kedalam kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan zat-zat terlarut berpindah dari darah kedalam cairan dialisat untuk selanjutnya dibuang (Suharjono dan Susalit, 2009).

Gambar 2.1 Proses hemodialisis

  2.2.1 Indikasi Hemodialisis (Suharjono dan Susalit, 2009)

  Pada umumnya indikasi dilakukannya HD pada penderita PGK stadium terminal adalah bila LFG <5 mL/menit. Keadaan pasien dengan LFG <5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila telah terjadi: a.

  Kelebihan cairan (volume overload) b.

  Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata c. Kalium serum >6 mEq/L d.

  Ureum darah > 200 mg/dL e. pH darah < 7,1 f. Anuria berkepanjangan ( >5 hari)

  2.2.2 Malnutrisi pada Hemodialisis

  Malnutrisi adalah kondisi berkurangnya nutrisi tubuh, atau suatu kondisi terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrisi, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan metabolik, penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya massa tubuh.

  Pasien PGK tahap akhir yang dilakukan hemodialisis memiliki risiko malnutrisi akibat beberapa faktor yang berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal. Hal ini termasuk mual, anoreksia, perubahan rasa, lemah dan restriksi diet (Lavile dan Fuoque, 2000). Status nutrisi dan kemampuan fungsional juga dapat dipengaruhi oleh anemia, asidosis metabolik dan dialisis tidak adekuat, hal ini dapat dideteksi dengan menggunakan pengukuran hemoglobin, ferritin dan urea reduction ratio(URR).

  Penelitian telah menunjukkan insiden malnutrisi sebesar 20% sampai 80% pada pasien hemodialisis (Annes, 2004; Herselman et al., 2000). de Mutsert dkk (2009), yang meneliti 1.601 pasien hemodialisis menemukan 28% pasien hemodialisis mengalami malnutrisi dengan menggunakan 7-point SGA, namun harus di pertimbangkan bahwa penelitian di negara berkembang menunjukkan persentasi yang lebih tinggi. Pasien yang menjalani hemodialisis memiliki risiko besar terhadap malutrisi, pengawasan ketat dari status nutrisi diperlukan untuk memfasilitasi terapi nutrisi. Insiden malnutrisi yang tinggi pada hemodialisis telah menunjukkan korelasi yang kuat dengan morbiditas dan mortalitas (CANUSA, 1996; Herselman et al., 2000; Johansen et al., 2003).

  Beberapa studi (Asfar et al., 2006; Blondin and Ryan, 1999; Faintuch et al., 2006; Dwyer et al., 1998; Herselman et al., 2000) meneliti metode apa yang paling baik mengidentifikasi malnutrisi pada PGK yang menjalani hemodialisis, metode tersebut meliputi SGA, antropometri, laboratorium, BIA, magnetic resonance imaging (MRI) dan dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA). Data prospektif menunjukkan bahwa indeks massa tubuh yang tinggi dapat menjadi prediksi menurunkan morbiditas dan mortalitas pada populasi hemodialisis (Zadeh et al., 2005), namun bukti terbaru mengindikasikan bahwa berat badan yang turun dan penurunan nafsu makan adalah faktor pencetus penting untuk malnutrisi dan prediktor independen dalam progresivitas dari PGK (Burrowes et al., 2005; de Mutsert et al., 2006). Oleh karena itu, walaupun terjadi peningkatan populasi dengan kelebihan berat badan dan obesitas, ada bukti yang cukup untuk mendukung kebutuhan untuk metode penilaian gizi yang konsisten untuk mendeteksi gejala yang mengarah ke penurunan berat badan yang tidak disengaja, penurunan massa tubuh, dan diagnosis malnutrisi.

  MRI dan DEXA memiliki validitas yang sangat baik dan dapat diaplikasikan, namun penggunaan sehari-hari terbatas akibat biaya, fasilitas dan waktu. BIA lebih murah dan cocok untuk pasien, tetapi terdapat keraguan dalam mengukur pasien dengan kelebihan cairan dan tidak semua instalasi hemodialisis memiliki BIA (Faintuch et al., 2006). Di lain pihak, SGA lebih cepat dan mudah untuk dilakukan serta tidak mahal, hal ini juga direkomendasikan oleh Kidney Disease

  Outcomes Quality Initiative (KDOQI) (2000), sebagai metode untuk menilai nutrisi pada populasi PGK tahap akhir secara rutin.

2.3 Subjective Global Assessment (SGA)

  Subjective Global Assessment pertama kali dideskripsikan oleh Detsky et al, tahun 1984 . Digunakan untuk menilai malnutrisi pada pasien, tanpa membutuhkan analisa komposisi tubuh secara lengkap. Komponen pemeriksaan fisik yang dievaluasi adalah kehilangan lemak subkutan dan otot, edema sentral dan perifer. Komponen anamnesis meliputi perubahan berat badan dalam enam bulan ini dan dua minggu terakhir, asupan makanan, gejala gastrointestinal dalam dua minggu terakhir, serta kapasitas fungsional (Detsky et al., 1984).

  SGA yang orisinil pada awal mulanya dibagi menjadi 3 bagian dengan skor A, B dan C (A – nutrisi baik, B – malnutrisi ringan sedang, C – malnutrisi berat). Namun KDOQI merekomendasikan penggunaan 7-point SGA sebagai pengukuran klinis yang sah dan berguna dalam menentukan status nutrisi pada pasien dengan dialisis reguler. Pengukuran 7-point SGA pada dasarnya hampir sama dengan SGA orisinil namun komponen yang diukur dikurangi menjadi 4 komponen yaitu perubahan berat badan dan gejala gastrointestinal sebagai komponen riwayat medis dengan nilai 60%, kemudian evaluasi lemak subkutan dan evaluasi otot sebagai komponen pemeriksaan fisik dengan nilai 40%, hal ini dikarenakan SGA orisinil memiliki bias pada asupan makanan, kapasitas fungsional, status penumpukan cairan bila digunakan pada pasien PGK tahap akhir. Penilaiannya lebih diperdalam menjadi 7 bagian penilaian dimana skor 6/7 dikatakan nutrisi baik, 3/4/5 dikatakan malnutrisi ringan sedang, dan 1/2 dikatakan malnutrisi berat(CANUSA, 1996; Visser et al., 1999).

  7-point SGA memiliki hubungan dengan beberapa marker nutrisi lain

  seperti BMI, persentase lemak tubuh, dan mid arm muscle circumference (MAMC) dan lebih sensitif dalam mendeteksi variasi yang kecil terhadap status nutrisi dan lebih mempunyai faktor prediksi yang kuat terhadap morbiditas, mortalitas atau berbagai hasil klinis dibandingkan SGA orisinil pada pasien PGK dengan dialisis peritoneal maupun hemodialisis

  (CANUSA, 1996; Visser et al., 1999; Steiber et al., 2007). Dalam suatu penelitian prospektif, multicenter yang dilakukan oleh de Mutsert et al (2009), didapatkan skor 7-point SGA pada malnutrisi sedang memiliki

  

Hazard Ratio (HR) 1,6 (CI: 1,3-1,9) dan skor malnutrisi berat memiliki HR

  2,1 (CI: 1,7-2,5). Nilai HR tersebut semakin tinggi bila dihubungkan secara dependen terhadap waktu.

Tabel 2.3 Komponen penilaian SGA, perhitungan SGA yang direkomendasikan KDOQI, terdiri dari 4 komponen (terlampir pada tabel dengan tulisan miring)

2.4 Kualitas Hidup

  SF-36 merupakan instrumen non spesifik yang biasanya digunakan pada hampir semua penelitian penyakit kronis dan bisa juga digunakan untuk menilai kualitas hidup pada populasi yang sehat. SF-36 telah terbukti dapat dipakai untuk menilai kualitas hidup penderita penyakit kronis termasuk pasien hemodialisis (Mingardi et al., 1999; Zadeh et al., 2001).

  SF-36 berisi 36 pertanyaan yang terdiri dari 8 skala antara lain (John et al, 1998): a.

  Fungsi fisik (Physical Functioning) Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, dan gerak badan. Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas tersebut, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan melakukan semua aktivitas fisik termasuk latihan berat.

  b.

  Keterbatasan akibat masalah fisik (Role of Physical) Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar kesehatan fisik mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik menimbulkan masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain tidak dapat melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam melakukan aktivitas tertentu atau kesulitan di dalam melakukan aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan masalah terhadap pekerjaan ataupun aktivitas sehari-hari.

  c.

  Perasaan sakit/ nyeri (Bodily Pain) Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri dan pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal baik di dalam maupun di luar rumah. Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit yang sangat berat dan sangat membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada keterbatasan yang disebabkan oleh rasa nyeri. d.

  Persepsi kesehatan umum (General Health) Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan termasuk kesehatan saat ini, ramalan tentang kesehatan dan daya tahan terhadap penyakit. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan terhadap kesehatan diri sendiri yang memburuk. Nilai yang tinggi menunjukkan persepsi terhadap kesehatan diri sendiri yang sangat baik.

  e.

  Energi/ Fatique (Vitality) Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan, capek, dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek, dan lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh semangat dan berenergi.

  f.

  Fungsi sosial (Social Functioning) Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik atau masalah emosional yang me gg ggu aktivitas sosial normal. Nilai yang rendah menunjukkan gangguan yang sering. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan.

  g.

  Keterbatasan akibat masalah emosional (Role Emotional) Terdiri dari 3 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat dimana masalah emosional mengganggu pekerjaan atau aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai yang rendah menunjukkan masalah emosional mengganggu aktivitas termasuk menurunnya waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas, pekerjaan menjadi kurang sempurna, dan bahkan tidak dapat bekerja seperti biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak adanya gangguan aktivitas karena masalah emosional.

  h.

  Kesehatan mental (Mental Health) Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental secara umum termasuk depresi, kecemasan, dan kebiasaan mengontrol emosional. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan tenang, bahagia, dan penuh kedamaian.

  Skala SF-36 ini kemudian dibagi menjadi 2 dimensi, dimana persepsi kesehatan umum, energi, fungsi sosial, dan keterbatasan akibat masalah emosional disebut sebagai dimensi “Kesehatan Mental” (Mental

  Component Scale) , sementara fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah fisik,

  perasaan sakit/ nyeri, persepsi kesehatan umum dan energi disebut sebagai dimensi “Kesehatan Fisik” (Physical Component Scale). Masing-masing skala dinilai 0-100, dimana skor yang lebih tinggi menandakan kualitas hidup yang lebih baik.

2.5 Bioelectrical Impedance Analysis

  BIA ditemukan pada awal tahun 1960, merupakan alat portable yang mudah digunakan, tidak invasif, tidak tergantung operator dengan ketepatan yang tinggi.

  Ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam BIA yaitu

  impedance , resistance (R) dan capacitance (Xc). Impedance adalah istilah

  yang digunakan untuk menggambarkan kombinasi dari resistance dan

  capacitance . Resistance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang

  dihasilkan oleh cairan intrasel dan ekstrasel sedangkan capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh jaringan dan membran sel. Resistance dan capacitance berbanding lurus dengan panjang jaringan dan berbanding terbalik dengan tebal jaringan tubuh (Kyle et al., 2004a; Liedtke, 1997; Saxena and Sharma, 2008).

  Prinsip BIA adalah mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasel dan intrasel berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam serta dengan konsentrasi, mobilitas dan temperatur medium. Jaringan terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk (Kyle et al., 2004a; Liedtke, 1997).

  Elektroda BIA umumnya di tempelkan pada permukaan tangan dan kaki, pengukuran dilakukan pada temperatur ruangan normal dimana pasien tidak merasa kedinginan atau kepanasan. Pengukuran tidak boleh dilakukan segera setelah makan, minum dan olahraga.

Gambar 2.2 Teknik pengukuran komposisi tubuh dengan BIA

2.5.1 Parameter BIA dan peranannya pada pasien hemodialisis kronik

  Hasil pengukuran komposisi tubuh merefleksikan phase angle, status cairan tubuh meliputi {Total Body Water (TBW), Extra

  Cellular Water (ECW), Intra Cellular Water (ICW) dan Total Body Potassium (TBP)} dan status nutrisi tubuh {Body Cell Mass (BCM), Fat Free Mass (FFM), Fat Mass (FM), Resting Metabolic Rate

  (RMR) dan Total Protein (TP), mineral serta glikogen}(Kyle et al., 2004b).

  RMR adalah kalori minimum yang dibutuhkan setiap hari untuk menjaga fungsi vital tubuh saat istirahat. FFM meliputi seluruh tubuh kecuali FM, komponen utamanya adalah otot, organ vital, tulang dan cairan ekstraseluler. FFM diketahui berkorelasi kuat dengan morbiditas dan penampilan fisik. BCM merupakan komponen tingkat seluler dari komposisi tubuh dimana berperan dalam menghasilkan energi dan berhubungan dengan semua fungsi metabolik. TP meliputi semua komponen yang mengandung Nitrogen, dari asam amino sampai nukleoprotein. Glikogen adalah polisakarida, dijumpai pada sitoplasma sel, distribusinya terutama pada hati dan otot rangka. Glikogen berperan dalam mengontrol kadar gula darah, dimana bila tubuh kelebihan glukosa maka akan disimpan dalam bentuk glikogen terutama di hati dan otot sedangkan bila kekurangan glukosa maka glikogen pun dipecah kembali.

Gambar 2.3 Ilustrasi diagram model dua kompartemen dari komposisi tubuh. Free fat mass (FFM) dibagi menjadi extracellular water

  (ECW), extracellular solids (ECS) termasuk mineral tulang, intracellular water (ICW)), dan intracellular solids (ICS) termasuk protein viseral. ICW+ICS adalah body cell mass (BCM) (Woodrow et al., 2007).

2.5.2 Phase Angle

  Phase angle menggambarkan distribusi cairan (resistan) dan

  keutuhan membran sel (kapasitan) tubuh manusia secara relatif. PhA dipengaruhi jumlah massa sel tubuh yang merupakan kompertemen tubuh terbesar tempat terjadinya proses metabolik, gangguan membran sel dan perubahan ECW. Sehingga dikatakan PhA bergantung pada total resistan dan kapasitan tubuh, dimana berkorelasi negatif dengan resistan dan berkorelasi positif dengan kapasitan. PhA yang rendah terjadi pada keadaan adanya peningkatan ECW, kematian sel dan kerusakan membran sel atau penurunan integritas sel, sedangkan nilai PhA yang tinggi menandakan banyaknya jumlah membran sel dan BCM yang masih baik (Kyle et al., 2004b).

  Meskipun makna biologis dan efek patogennya tidak begitu dimengerti, namun PhA bermanfaat sebagai prediktor outcome dan indikator yang baik bagi progresifitas penyakit meskipun tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit tertentu (tabel 2.4) (Norman et al., 2012).

  Penelitian yang dilakukan di Medan oleh Sungkar dkk (2010), untuk melihat perbedaan nilai PhA dan parameter BIA berdasarkan jenis kelamin pada populasi sehat, diantara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari karakteristik umur, IMT, dan suku atau etnis. Nilai PhA berbeda antara jenis kelamin dimana laki-laki (6,6±0,8 ) lebih tinggi daripada perempuan (5,5±0,8 ), Penelitian Wong dkk, 2004 di Malaysia memiliki nilai PhA yang hampir sama pada populasi sehat yakni 6,9±0,9 pada pria umur 35,3±10,5 tahun dan wanita 5,8±0,6 dengan umur 38,6±11,7 tahun.

  Beberapa penelitian prospektif yang menilai beberapa parameter sebagai prediktor mortalitas pasien PGK dengan hemodialisis yang disesuaikan usia dan jenis kelaminnya, mendapatkan bahwa PhA merupakan prediktor yang kuat terhadap prognosis pasien (Maggiore et al., 1996; Saxena and Sharma, 2008; Oliveira et al., 2010). PhA juga digunakan untuk memonitor kesehatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PhA berbanding terbalik dengan usia dan secara signifikan lebih rendah pada wanita, kulit putih dan pasien diabetes (Steiber et al., 2004).

Tabel 2.4 Statistik dari prognosis PhA (Norman et al., 2012) Populasi N Nilai Nilai prognostik dibawah ambang batas Penelitian ambang batas ( )

  HIV 75 5,6 Penurunan harapan hidup: perkiraan parameter dengan tes LR: -0,799, P<0,0001. HIV 469 5,3 Penurunan harapan hidup: 463 hari vs 697 hari, p<0,0001; Peningkatan progresifisitas penyakit: 406 hari vs 670 hari, p<0,0001.

  Kanker paru 63 4,5 Penurunan harapan hidup: OR=1,25, p=0,04; Stadium IIIB 3,7 vs 12,1 bulan, stadium IV: 1,4 vs 5,0 bulan. Kanker 52 5,57 Penurunan harapan hidup: 8,6 vs 40,4 kolorecti bulan, p=0,0001; peningkatan mortalitas:

  RR=10,7, p=0,007. Kanker 58 5,08 Penurunan harapan hidup: 6,3 vs 10,2 pankreas bulan, p=0,02; penurunan RR 0,75 tiap peningkatan 1 nilai PhA. Kanker 259 5,6 Penurunan harapan hidup: 23,1 vs 49,9 payudara bulan, p=0,031; penurunan RR 0,82 tiap peningkatan 1 nilai PhA. Hemodialisis 131 L: 4,5 Penurunan harapan hidup 2 tahun: 59,3% vs 91,3%, p<0,01; Peningkata mortalitas:

  P: 4,2 RR 2,6, p<0,0001. Hemodialisis 3009 3,0 Peningkatan mortalitas: RR 2,2, p<0,05.

  3,0 – Peningkatan mortalitas: RR 1,3, P<0,05.

  4,0 Dialisis 53 6,0 Penurunan harapan hidup 5 tahun, peritoneal p=0,004; RR=0,536, p=0,01.

  Sirosis 305 5,4 Penurunan harapan hidup 4,5 tahun,

p<0,01.

Geriatri 1071 3,5 Peningkatan mortalitas 4 kali lipat dari

20%

Tabel 2.5 Data BIA pada 100 orang sehat di medan (Taufik et al., 2010)

  

Variabel Pria (n=50) Wanita (n=50) P

  Umur 27,9 ± 5,2 28,0 ± 5,5 NS

2 IMT (kg/m ) 25,3 ± 2,9 23,7 ± 3,0 NS

  BIA 1668,0 ± 109,3 1321,0 ± 58,4 S

  − RMR 30,6 ± 3,1 22,3 ± 1,8 S

  − BCM 76,1 ± 5,8 69,7 ± 6,8 S

  − FFM (%) 23,9 ± 5,8 30,3 ± 6,8 S

  − FM (%) 11,6 ± 1,5 8,0 ± 1,1 S

  − Protein 4,1 ± 0,5 3,3 ± 0,4 S

  − Mineral 499,2 ± 38,0 365,6 ± 29,7 S

  − Glikogen 6,6 ± 0,8 5,5 ± 0,8 S

  − PhA

  NS= Not Significant, S= Significant, p<0,05

2.5.3 Status nutrisi tubuh

  Nilai BCM, FFM, RMR yang normal sampai tinggi dan nilai FM, protein, mineral, glikogen yang normal menunjukkan status nutrisi baik, bila parameter-parameter tersebut rendah, maka status gizi menjadi tidak baik (Saxena and Sharma, 2008) . Pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler, Malnutrisi dan penurunan FFM adalah faktor resiko signifikan dalam kenaikan angka mortalitas pasien yang menjalani hemodialisis (Abad et al., 2011). Penelitian membuktikan perubahan BCM berhubungan erat dengan asupan energi dan protein. Sehingga pengukuran FFM dan BCM oleh BIA dapat membantu mendeteksi kondisi malnutrisi pasien (Maggiore et al., 1996; Donadio et al., 2005). Pengukuran status nutrisi melalui parameter BIA masih kontroversi oleh karena masih terdapat hubungan yang tidak signifikan antara parameter tersebut dengan albumin, creatinine dan SGA maupun pengukuran dengan DEXA (Chertow et al., 1995; Kyle et al., 2004b, Oliveira et al., 2010).

  Oleh karena itu, Konsensus KDOQI dan Eropa tentang status nutrisi pada pasien hemodialisis menyimpulkan bahwa perkiraan komposisi tubuh berdasarkan parameter BIA masih belum dapat percaya untuk penggunaannya secara rutin (Locatelli et al., 2002).