PERBEDAAN KUALITAS TIDUR ANTARA PASIEN ASMA DAN PASIEN TB PARU SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PERBEDAAN KUALITAS TIDUR ANTARA PASIEN ASMA DAN PASIEN TB PARU SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ISFALIA MUFTIANI

G0009112

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

Isfalia Muftiani, G0009112, 2012. Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan Pasien TB Paru. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Asma adalah penyakit paru kronis dimana terdapat peradangan dinding bronkial yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan. TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kualitas tidur menunjukkan kemampuan individu untuk tidur sesuai dengan jumlah kebutuhannya. Pasien asma dan pasien TB paru dapat mengalami kualitas tidur yang buruk akibat gejala klinis atau faktor yang lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel dipilih dengan teknik purposive sampling . Jumlah sampel yaitu 30 pasien asma dan 30 pasien TB paru. Lokasi penelitian di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juli 2012. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale oleh pasien. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Chi Square dan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru. Pasien asma memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk 9,3 kali lebih besar daripada pasien TB paru (OR= 9,3; CI95% 2,8 s.d. 30,6). Simpulan tersebut dibuat setelah mengontrol umur, penyakit penyerta, gangguan mental, dan konsumsi zat.

Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan kualitas tidur yang signifikan antara pasien asma dan pasien TB paru dengan p < 0,001 dan Odds Ratio = 9,3

Kata kunci : Kualitas tidur, Asma, TB paru

Isfalia Muftiani, G0009112, 2012. The Difference of Sleeping Quality between Asthmatic Patients and Pulmonary Tuberculosis Patients. Thesis. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Asthma is a chronic pulmonary disease in which there is bronchial wall inflammation resulting in respiratory tract narrowing. Tuberculosis is an infectious disease due to Mycobacterium tuberculosis. Quality of sleep shows individual ability to sleep based on their needs. Asthma patients and pulmonary tuberculosis patients can suffer bad quality of sleep due to clinic symptom or another factors. This research aims to find out the difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients.

Method: This study was an analytical observational research with cross-sectional approach. The sample was taken using purposive sampling technique. The sample consisted of 30 asthmatic patients and 30 pulmonary tuberculosis patients. The research was taken place in pulmonary policlinic of Dr. Moewardi Local General Hospital. The research was conducted from May to July 2012. The data was collected using direct interview and Insomnia Rating Scale questionnaire completion by the patients. The data of research was analyzed using Chi Square test and processed using Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Result: There was a difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients. The asthmatic patients had risk of experience poor quality of sleeping 9,3 times higher than the pulmonary tuberculosis patients had (OR = 9,3 ; CI95% 2,8-30,6). The conclusion was drawn after controlling age, accompanying disease, mental disorder, and substance consumption.

Conclusion: There was a significant difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients with p < 0,001 and Odds Ratio = 9,3.

Keywords: Quality of Sleeping, Asthma, Pulmonary TB

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan

Pasien TB Paru

Isfalia Muftiani, NIM: G0009112, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari: ................., Tanggal: ...................

Pembimbing Utama

Nama : Dr. Reviono, dr., Sp.P(K) NIP : 19651030 200312 1 001

Pembimbing Pendamping

Nama :

I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ

NIP : 19731003 200501 1 001 (......................................)

Penguji Utama

Nama : Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P NIP : 19620502 198901 2 001

Penguji Pendamping Nama : Sri Haryati, Dra., M.Kes

NIP : 19610120 198601 2 001 (......................................)

Surakarta, ...............................................

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR FINASIM

NIP: 19660702 199802 2 001 NIP: 19510601 197903 1 002

Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puja dan puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan Pasien TB Paru. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Reviono, dr., Sp.P (K) selaku Pembimbing Utama yang telah menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. I.G.B. Indro .N, dr.,Sp.KJ selaku Pembimbing Pendamping yang bersedia

meluangkan untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 4. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Sri Haryati, Dra M.Kes selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 6. Nur Hafida Hikmayani, dr., MClinEpid dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.

7. Yang tercinta kedua orang tua saya, Ayahanda HS.Iskandar dan Ibunda Alifah Majid, serta kakak-kakak saya, dan seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.

8. Partner skripsi saya yang terbaik, Elsa Adila Ramadhian yang setia memberikan saya semangat, bantuan dan mendampingi berjuang bersama saya dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat saya Sarah, Yenny, Fika dan angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia. 10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, September 2012

Isfalia Muftiani

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asma adalah penyakit paru kronis dimana terdapat peradangan dinding bronkial yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan (Lemanske dan Busse, 2003). Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian yang dilakukan pada anak umur 13-14 tahun pada tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2% (Depkes, 2009).

Data kunjungan pasien di Poliklinik Paru Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2007 didapatkan angka kunjungan pasien yang menderita asma sebanyak 180 orang. Data tersebut sebanyak 65% (117 orang) adalah laki-laki dan sebanyak 35% (63 orang) adalah perempuan (Maryono, 2009).

Dalam salah satu laporan di Journal of Allergy and Clinical Immunology dinyatakan bahwa dari 3.207 pasien asma yang diteliti, 44-51% mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir. Bahkan 28,3% pasien mengaku terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam seminggu. Pasien asma yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau olahraga sebanyak 52,7%, aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup 37,1%, pemilihan karier 37,9%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh 36,5% Dalam salah satu laporan di Journal of Allergy and Clinical Immunology dinyatakan bahwa dari 3.207 pasien asma yang diteliti, 44-51% mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir. Bahkan 28,3% pasien mengaku terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam seminggu. Pasien asma yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau olahraga sebanyak 52,7%, aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup 37,1%, pemilihan karier 37,9%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh 36,5%

Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tidur sesuai dengan kebutuhannya. Kualitas tidur yang buruk dapat menimbulkan rasa kantuk berlebih pada siang hari. Pembatasan tidur empat malam berturut-turut menyebabkan rasa kantuk di siang hari, gangguan kognitif, dan defisit atensi dan memori (Bender dan Leung, 2005).

Majde dan Krueger (2005) menyatakan bahwa hubungan asma dan tidur masih belum jelas apakah disebabkan oleh gejala asma, sehingga memperburuk kualitas tidur, ataupun kualitas tidur yang buruk mempengaruhi gejala asma. Namun menurut Stores et al., (1998) menyatakan bahwa gejala asma dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk (Hanson, 2007).

Masih belum jelas apakah TB paru mempengaruhi tidur atau tidak. Namun efek medikasi dari isoniazid dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat yang bermanifestasi pada kelelahan, euforia, insomnia, dan sakit kepala (Rajpal, 2000).

kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian itu menunjukkan pasien asma tidak terkontrol mengalami kulitas tidur lebih buruk daripada pasien asma terkontrol (Wardhani, 2010).

Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru.

B. Perumusan masalah

Apakah ada perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru ?

C. Tujuan Penelitian :

Untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru.

D. Manfaat Penelitian :

1. Manfaat Teoritis Mendapatkan bukti ilmiah tentang perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru.

2. Manfaat Aplikatif Mendorong pihak klinisi untuk memperhatikan penatalaksanaan dalam menangani gangguan tidur pada pasien asma maupun pasien TB paru sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Asma

a. Definisi Asma Menurut Global Initiative for Asthma (GINA, 2011) asma adalah suatu kelainan inflamasi kronis dengan hiperreaktivitas saluran pernapasan terhadap berbagai rangsang, dengan adanya sel inflamator yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit.

b. Epidemiologi Asma Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun dari hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner International Study on Asthma and Allergy in Children (ISAAC) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar) menunjukkan prevalensi pada anak SD (6-12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,4% , sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995 dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6% (Depkes, 2009).

1) Reaksi Imunologi

Asma merupakan suatu bentuk penyakit yang termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang melibatkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil melepas mediator vasoaktif (Bratawidjaja dan Rengganis, 2009)

Reaksi hipersensitivitas pada asma terjadi beberapa fase, yang pertama yaitu fase sensitasi. Antigen Presenting Cell (APCs) di bronkial menangkap alergen dan mengenalkannya pada CD4 sel

T yang kemudian akan berdeferensiasi masuk ke sel T dari T H 2 fenotip. Sel akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13 yang mencetus pengaktifan pada sekresi immunoglobulin limfosit

B. Limfosit B akan memproduksi IgE. IL-13 juga akan menginduksi aktifasi eosinofil dan basofil sebagaimana pelepasan kemokin dan enzim proteolitik seperti metalloproteinase. IgE kemudian akan bersirkulasi dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas tinggi (FcεRI) di sel mast dan basofil dan berikatan dengan reseptor spesifik afinitas rendah (FcεRI, CD23) pada eosinofil dan

makrofag.

Ketika terjadi paparan alergen yang kedua, akan terjadi respon bronkokonstiktif asmatikus yang terjadi dalam dua fase. Fase pertama, fungsi paru dengan cepat menurun dalam waktu 10-

20 menit pertama dan secara perlahan kembali 2 jam berikutnya .

(LTC 4 , LTD 4 ,LTE 4 ) dan PAF. Leuoktrien sisteinil akan menginduksi pelepasan protease : tryptase cleaves D3a dan bradikinin dan molekul prokursor protein yang menimbulkan kontraksi sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vaskular. Chymase di sisi lain akan mencetus sekresi mukus. Adanya induksi bronkokonstriksi dengan edema mukosa dan sekresi mukus akan

menimbulkan batuk, wheezing, dan sesak nafas. Fase kedua dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB 4 dan PAF akan menarik eosinofil. LTB 4 dan PAF dalam hal ini akan menarik Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil Cationic Protein (ECP) yang memiliki efek toksik terhadap sel epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late stage . Pada akhirnya akan menimbulkan akumulasi mukus di lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan hipertropi dari kelenjar submukosal (Burmester, 2003).

2) Reaksi Non Imunologi

a) Drug Induced Asthma (DIA)

Pasien asma yang sudah mendapatkan terapi namun masih mengalami serangan asma tanpa adanya tanda infeksi virus, paparan alergi, dan iritan, hal ini perlu dipikirkan suatu Drug Induced Asthma. Penyebabnya adalah

reaksi

farmakologis

idiosinkrasi dimana mekanismenya melalui mekanisme imunologik (IgE) dan idiosinkrasi dimana mekanismenya melalui mekanisme imunologik (IgE) dan

antibiotika (penisilin, nitrofurantoin, cefalosporin dan tetrasiklin), dan beta adrenergic blocking agent (propanolol, atenolol, metoprolol, nadolol, pindolol) (Syarifudin dan Koentjahja, 2001).

b) Exercise Induced Asthma (EIA)

Exercise Induced Asthma dijumpai pada orang yang sedang menjalani olahraga. Mekanisme EIA masih belum jelas. Namun beberapa hipotesis menyatakan bahwa saluran nafas mengalami pendinginan bila bernafas dengan udara dingin yang kering, karena udara tersebut harus dihangatkan dan dibuat sesuai dengan keadaan tubuh sebelum udara mencapai alveoli, dan untuk hal tersebut di atas, terjadi penguapan air dan pendinginan saluran nafas (Garry, 2011).

d. Patofisiologi Pasien asma yang terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dispnea. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi tetapi sulit untuk melakukan ekspirasi karena mengalami bronkospasme, edema mukosa dan hipersekresi mukus. Karena banyaknya saluran udara yang yang menyempit d. Patofisiologi Pasien asma yang terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dispnea. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi tetapi sulit untuk melakukan ekspirasi karena mengalami bronkospasme, edema mukosa dan hipersekresi mukus. Karena banyaknya saluran udara yang yang menyempit

e. Faktor risiko Menurut Depkes (2009), faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.

1) Faktor Genetik : hipereaktivitas, atopi/alergi bronkus, faktor yang memodifikasi penyakit genetik, jenis kelamin, ras/etnik

2) Faktor Lingkungan :

a) Alergen dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur, dan lain-lain)

b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepungsari)

c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,

kacang, makanan laut, susu sapi, telur)

d) Obat- obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β

bloker, dan lain-lain)

e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray,

dan lain-lain)

f) Ekspresi emosi berlebih

g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

f. Diagnosis

1) Pemeriksaan Fisik

Diagnosis klinis asma sering didapat dari gejala seperti sesak, wheezing, dada terasa berat dan batuk, biasanya memburuk pada malam dan pada awal pagi hari. Tetapi gejala di atas bukanlah diagnosis pasti. Yang penting adalah serangan berulang tersebut sering dicetuskan oleh faktor seperti alergi, iritan, aktivitas fisik dan infeksi virus. Tanda klinis penting yang lain adalah bahwa gejala di atas dapat hilang secara spontan atau dengan pemberian bronkodilator dan kortikosteroid. Variabilitas gejala berdasar musim dan riwayat asma keluarga juga penyakit atopi juga membantu untuk diagnosis. Karena gejala asma sangat bervariasi dalam sehari, pemeriksaan fisik dari sistem respirasi bisa menjadi normal. Selama eksaserbasi, kontraksi otot polos saluran pernapasan, edema dan hipersekresi cenderung menutup saluran pernapasan terkecil (nonkartilagenus). Kombinasi dari hiperinflasi dan peningkatan obstruksi saluran pernapasan pada saat eksaserbasi akan meningkatkan kerja nafas secara bermakna. Hal ini yang menyebabkan tanda klinis sesak, wheezing, dan tanda- tanda hiperinflasi paru (Syarifudin dan Koentjahja, 2001).

Mengukur faal paru dengan menggunakan alat spirometri untuk menilai FEV ₁ dan FVC. Selain itu juga digunakan Peak Flow Meter untuk mengukur PEF. Variasi diurnal memakai PEF lebih dari 20% adalah diagnosis untuk asma (GINA, 2011).

3) Pemeriksaan Status Alergi

Skin test dengan memakai alergen merupakan pemeriksaan utama untuk mengetahui adanya reaksi alergi. Tes ini sangat sederhana, cepat, murah dan sangat sensitif, tetapi bila tidak dilakukan dengan baik dapat menyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu. Pengukuran IgE spesifik dalam serum mempunyai nilai yang tinggi, tetapi tidak dapat mengalahkan skin test dan relatif lebih mahal (GINA, 2011).

g. Diagnosis Banding

Diagnosis banding Asma menurut PDPI (2003) :

1) Dewasa

a) Penyakit Paru Obstruksi Kronik

b) Bronkitis kronik

c) Gagal Jantung Kongestif

d) Batuk kronik akibat lain-lain

e) Disfungsi larings

f) Obstruksi mekanis (misal tumor)

g) Emboli Paru g) Emboli Paru

b) Laringotrakeomalasia

c) Pembesaran kelenjar limfe

d) Tumor

e) Stenosis trakea

f) Bronkiolitis

h. Klasifikasi Asma Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan (PDPI, 2003).

Derajat asma

Gejala

Gejala malam

Faal paru Intermitten

<1x/minggu. - Tanpa gejala diluar serangan. - Serangan singkat.

≤ 2 kali sebulan - VEP 1 ≥80%nilai prediksi APE ≥80% nilai terbaik.

-Variabiliti APE<20%.

Persisten ringan

>1x/minggu tetapi<1x/hari.

- Serangan dapat

mengganggu aktifiti dan tidur

>2 kali sebulan - VEP 1 ≥80% nilai prediksi APE ≥80% nilai terbaik.

-Variabiliti APE 20-30%.

Persisten sedang

Harian

APE 60-80%

- Gejala setiap hari. - Serangan

mengganggu aktifiti dan tidur.

-Membutuhkan bronkodilator setiap hari.

>2 kali sebulan

- VEP 1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE>30%.

Persisten berat

Kontinyu

APE 60 ≤%

- Gejala terus

menerus - Sering kambuh - Aktifiti fisik

terbatas

Sering

- VEP 1 ≤60% nilai prediksi APE ≤60% nilai terbaik - Variabiliti APE>30%

Sumber : PDPI 2003

i. Penatalaksanaan Asma Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 yaitu penatalaksanaan asma akut dan penatalaksanaan asma jangka panjang :

Serangan akut adalah episode perburukan dari asma. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan asma. Penilaian beratnya asma berdasar riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisik, dan faal paru.

Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya secara sistemik. Pada keadaan tertentu

(seperti riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari.

Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteoid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium

bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.

Pada serangan asma berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip).

Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer) (Depkes, 2009).

2) Penatalaksanaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka

Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol asma yang diberikan jangka panjang. Obat pengontrol jangka panjang

lainnya adalah Agonis β2 kerja lama inhalasi, Leukotriene modifier , dan Teof ilin. Agonis β2 kerja lama inhalasi tidak boleh

untuk jangka panjang kecuali digunakan dengan dosis rendah kortikosteroid inhalasi (NHLBI, 2011).

Dengan melaksanakan prinsip pengobatan jangka panjang yaitu edukasi, obat-obatan, dan menjaga kebugaran, diharapkan tercapai tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol.

2. Tuberkulosis

a. Definisi Tuberkulosis Penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) . Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2007).

b. Epidemiologi Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap b. Epidemiologi Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap

c. Patogenesis Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru. Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman Mycobacterium tuberculosis. Meskipun demikian, beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi sakit TB. Masa

diperkirakan sekitar 6 bulan. Dari tuberkulosis primer ini akan muncul tuberkulosis post primer , biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior (PDPI, 2006).

d. Gejala Klinis

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan

darah)

2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

3) Penurunan nafsu makan dan berat badan

4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah (Depkes, 2007).

e. Diagnosis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB e. Diagnosis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis . Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat

untuk

menunjukkan

sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC ”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.

sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit) ( Werdhani, 2009).

f. Diagnosis banding

4) Kanker paru

5) Abses paru (Crofton et al., 2002).

g. Komplikasi

1) Pleuritis dan empiema

2) Pneumothoraks spontan

3) Laringitis tuberkulosis

4) Gagal jangtung kongestif

5) Aspergilomata (Crofton et al., 2002).

h. Penatalaksanaan

1) Tahap awal (intensif)

a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2) Tahap Lanjutan

a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama

b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

3) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Tabel 2.2. Jenis, sifat, dan dosis OAT

JENIS OAT

SIFAT

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)

Harian

3 x seminggu Isoniazid (H)

Rifampicin (R)

Pyrazinamide (Z)

Bakterisid

25 (20-30)

35 (30-40) Streptomycin (S)

Bakterisid

15 (12-18)

15 (12-18) Ethambutol (E)

Bakteriostatik

15 (12-20)

30 (20-35) Sumber : Depkes 2007

a) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori Anak: 2HRZ/4HR

b) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

c) Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT (Depkes, 2007).

i. Multi Drug Resistance (MDR) Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya (Drobniewski,1998)

Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi resistensi primer, resisten inisial dan resisten sekunder. Resiten primer

Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR. Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu:

1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

2) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya 3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

5) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat

6) Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

7) Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga

menimbulkan kejemuan

8) Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB

9) Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru (PDPI, 2006).

3. Tidur

a. Definisi Tidur Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar di mana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton dan Hall, 1997).

b. Fungsi Tidur Fungsi tidur adalah memperbaiki kembali organ-organ tubuh. Kegiatan memperbaiki kembali tersebut berbeda saat Rapid Eye

Eye Movement akan mempengaruhi proses anabolik dan sintesis makromolekul ribonukleic acid (RNA). Rapid Eye Movement akan mempengaruhi pembentukan hubungan baru pada korteks dan sistem neuroendokrin yang menuju otak. Selain tidur menjadi peringatan dini keadaan patologis yang terjadi pada tubuh apabila terdapat gangguan tidur (Suzanne, 2011).

c. Fisiologi Tidur Tahap tidur dibagi menjadi tidur REM dan tidur NREM (stadium 1 sampai 4). Tahap tersebut bergantian dalam siklus yang bertahan antara

70 sampai 120 menit (Guyton dan Hall, 1997).

Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAergic dalam nukleus retikulotalamus. Gelombang delta dihasilkan dari interaksi retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan depolarisasi (Pack, 2008).

Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi gergaji. Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan dengan reseptor agonis dan dihambat dengan Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi gergaji. Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan dengan reseptor agonis dan dihambat dengan

1) Tahapan terjaga

Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8–12,5 Hz) mendominasi seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini biasanya berlangsung antara lima sampai sepuluh menit (Sleepdex, 2008).

2) Fase 1

Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang Low Voltage Mix Frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG. Pada orang normal fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai sepuluh menit kemudian memasuki fase berikutnya (Sleepdex, 2008).

3) Fase 2

Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S) atau gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak terdapat REM atau R dan kedip Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S) atau gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak terdapat REM atau R dan kedip

4) Fase 3

Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua, tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit fase 3 akan diikuti fase 4 (Sleepdex, 2008).

Seperti fase 2, tonus otot meningkat, tetapi tidak ada gerakan mata (Kaplan dan Sadock, 2000).

5) Fase 4

Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4 ini berlangsung cukup lama yaitu hampir

30 menit (Sleepdex, 2008).

6) Fase REM

Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang biasanya berlangsung 10 –15 menit (Sleepdex, 2008).

total. Dari bangun sampai tahap NREM memerlukan waktu kira- kira 90 menit sebelum periode REM pertama yang disebut sebagai REM latency (Kaplan dan Sadock, 2000)

d. Kualitas Tidur Kualitas dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Kualitas tidur seseorang dapat dianalisis melalui pemerikasaan laboratorium yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus-menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan delta (Guyton dan Hall, 1997).

Di antara faktor yang dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas tidur adalah:

1) Penyakit

Keadaan medis seperti penyakit gagal jantung, hemikrania paroksimal kronis, arthritis, fibromialgia, kejang nokturnal, refluks gastroesofagus (Kaplan dan Sadock,2000). Selain itu kelainan endokrin seperti diabetes dan hipertiroidisme, kehamilan, dan nyeri

2) Aktifitas Fisik dan Kelelahan

Seseorang yang telah melakukan aktifitas fisik dan mencapai kelelahan akan meningkatkan tidur fase REM dan NREM (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

3) Stres Psikologis

HPA aksis adalah bagian utama dari sistem neuroendokrin yang mengontrol reaksi terhadap stres, selain itu juga berperan dalam modulasi tidur. Disfungsi dari HPA aksis pada setiap tingkat ( CRH, glukokortikoid, dan mineralkortikoid) dapat menyebabkan gangguan tidur (Buckely dan Schatzberg, 2005).

4) Obat

Beberapa obat yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur antara lain anti-aritmia, Beta blocker, Kortikosteroid, Diuretik, dan Teofilin (Harvard Health Publication, 2010). Selain itu anti konvulsan dan dekongestan juga mempengaruhi gangguan tidur (Dopp dan Philips, 2008).

5) Kebiasaan Konsumsi

Konsumsi kafein umumnya menurunkan kuantitas slow- wave-sleep dan tidur REM, sehingga meningkatkan jumlah terbangun.

yang berlebihan akan meningkatkan jumlah terbangun dan menyebabkan insomnia.

Nikotin dapat menstimulasi tubuh dan perokok akan sulit tertidur selain itu akan mudah terbangun dan tidur dalam waktu singkat (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

6) Umur

Kebutuhan tidur dan kuantitas tidur terus-menerus akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Seseorang yang usianya semakin lanjut waktu tidurnya hanya 5 sampai 8 jam per hari (Lumbantobing, 2004).

7) Lingkungan

Seseorang yang tidur di lingkungan baru akan mempengaruhi tidur REM dan NREM (Kaplan dan Sadock, 2000).

8) Pencahayaan

Cahaya adalah faktor eksternal yang mempengaruhi pola tidur. Paparan cahaya pada malam hari akan menunda fase jam internal untuk tidur (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

e. Gangguan Tidur Menurut International Classification of Sleep Disorders (1997) gangguan tidur dibagi menjadi : e. Gangguan Tidur Menurut International Classification of Sleep Disorders (1997) gangguan tidur dibagi menjadi :

Idiopatik, narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik kepala, hipersomnia

b.) Gangguan tidur ekstrinsik

Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik, ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulan

c.) Gangguan tidur irama sirkadian

Jet-lag sindrom, perubahan jadwal kerja, sindroma fase terlambat tidur, sindrom fase tidur belum waktunya, bangun tidur tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.

2) Parasomnia a.) Gangguan aurosal

Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional b.) Gangguan antara bangun tidur

Gerak tiba-tiba, tidur berbicara, kram kaki, gangguan gerak berirama c.) Berhubungan dengan fase REM

Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus arrest

Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan, distonia paroksimal

3) Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri

a.) Gangguan mental

Psikosis, kecemasan, gangguan afektif, panik b.) Berhubungan dengan kondisi neurologi

Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multipel sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala, Huntington, post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindrom.

c.) Berhubungan dengan kondisi kesehatan

Penyakit asma, penyakit jantung, ulkus peptikus, refluks gastrointestinal, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), fibriomialgia

d.) Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi

f. Insomnia Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005).

menggunakan Insomnia Rating Scale yang telah dibakukan oleh Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta (KSPBJ). Insomnia (+) skornya adalah ≥ 10 dan insomnia (-) skornya adalah <10. Alat ukur ini dapat digunakan untuk menilai kualitas tidur, seseorang yang insomnia memiliki kualitas tidur yang buruk.

g. Penatalaksanaan

1) Non Farmakologi

Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti (depresi, obsesi, kompulsi), gangguan tidur kronik tanpa penggunaan obat hipnotik (Japardi, 2002).

2) Farmakologi

Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari Reticular Activating System (RAS) diotak. Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari (Japardi, 2002).

Benzodiazepin merupakan obat sedatif hipnotik yang menekan fase 3 dan 4 tidur dengan meningkatkan fase 2 tidur Benzodiazepin merupakan obat sedatif hipnotik yang menekan fase 3 dan 4 tidur dengan meningkatkan fase 2 tidur

Zalpelon menurunkan mula tidur, tetapi hanya sedikit berpengaruh pada waktu tidur total atau pada pola tidur itu sendiri. Penggunaan pada dosis tinggi (dua kali dosis yang dianjurkan) menyebabkan rebound insomnia (Katzung, 2002).

3. Hubungan Asma dengan Tidur

Asma sering dikaitkan dengan gangguan tidur, penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% pasien dewasa yang menderita asma mengalami gangguan tidur. Pasien asma terbangun karena bersin dan batuk pada malam hari dan pasien asma akan terbangun karena gejala asma hampir setiap malam. Gangguan tidur pada pasien asma disebabkan karena penyempitan saluran pernapasan maupun obat pengontrol asma (Fitzpatrick et al., 1991).

Regulasi sirkadian mempengaruhi patofisiologi asma (Bashir dan Ghamande, 2009). Individu normal yang sehat memiliki variasi sirkadian pada arus puncak ekspirasi maksimal yaitu mencapai puncaknya pada 4 sore dan nilai terendah pada pukul 4 pagi. Besarnya perubahan lebih tinggi pada pasien asma dibandingkan individu normal. Paru dan organ efektor Regulasi sirkadian mempengaruhi patofisiologi asma (Bashir dan Ghamande, 2009). Individu normal yang sehat memiliki variasi sirkadian pada arus puncak ekspirasi maksimal yaitu mencapai puncaknya pada 4 sore dan nilai terendah pada pukul 4 pagi. Besarnya perubahan lebih tinggi pada pasien asma dibandingkan individu normal. Paru dan organ efektor

Asma nokturnal akan mengalami penurunan FEV1 sebesar 20-40% saat pagi hari. Penurunan tersebut berhubungan dengan fase NREM dan REM, namun terlihat signifikan pada fase REM (Bashir dan Ghamande, 2009).

Pada pasien asma, terdapat variasi sirkadian menonjol pada resistensi jalan napas, mungkin berhubungan dengan irama sirkadian pada level histamin dan katekolamin yang meningkatkan gejala asmatik pada malam hari. Selain itu pengobatan asma dengan komponen berdasarkan teofilin, agonis adrenergik atau glukokortikoid dapat mengganggu tidur (Harrison, 2000).

Studi menunjukkan 9 penderita asma nokturnal yang terapinya menggunakan teofilin, mengurangi efisiensi tidur.(Fitzpatrick et al.,1991) Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan mengalami gangguan faal paru yang progresif dan arus puncak respirasi turun 13% selama 2 jam berbaring dan 24% selama 4 jam berbaring. Gangguan ini akan kembali normal setelah 1,5 jam. Jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi telentang untuk jangka waktu yang lama juga menyebabkan serangan asma pada malam hari, namun mekanismenya belum jelas (Popping, 1988).

Karakteristik asma tersebut memiliki reaksi tertunda terhadap alergen dan pemicu iritasi. Kebanyakan gejala ini berkembang dalam waktu 4-8 jam setelah terpapar. Karena risiko paparan ini lebih tinggi pada siang hari, reaksinya lebih mungkin terjadi pada malam hari. Sehingga reaksi yang tertunda dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya asma pada malam hari. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa alergen memegang perangan dalam patogenesis asma yang muncul malam hari (Chen dan Chai, 1982).

Pada malam hari terdapat perubahan sekresi mukus pada saluran pernapasan. Pada pasien asma perubahan tersebut dapat menyebabkan obstruksi bronkus. Selain itu retensi sekresi bronkus pada malam hari dapat menimbulkan gejala asmatik. Dari penelitian diketahui bahwa berkurangnya pembersih mukosilier ini terjadi terutama pada malam hari. Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah mengakibatkan wheezing pada malam hari (Bateman, 1978).

4. Hubungan TB Paru dengan Tidur

Masih belum jelas apakah ada hubungan TB paru dengan tidur. Salah satu obat TB antara lain Isoniazid. Isoniazid dapat mengakibatkan stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP) ataupun depresi SSP. Perubahan ini mulai dari kehilangan memori sementara sampai psikosis. Stimulasi SSP

(Rajpal et al., 2000).

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan : : Variabel yang tidak diteliti

: Variabel yang diteliti : Yang mempengaruhi

Efek medikasi

Gangguan tidur

Asma

TB Paru

Kualitas Tidur

a. Gangguan

kecemasan, panik)

b. Penyakit gagal jantung, penyakit paru, hemikrania paroksimal kronis, arthritis, fibromialgia, kejang nokturnal, refluks gastroesofagus, diabetes, hipertiroid

c. Efek dekongestan, diuretik, kafein, beta blocker , anti konvulsan, nikotin, alkohol

1. ↓kerja mukosiliar

2. ↑resistensi bronkus

3. Irama sirkadian

4. Efek Medikasi

5. Posisi Tidur

6. Perubahan suhu

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah cross sectional yaitu penelitian variabel bebas dan variabel terikatnya dinilai pada satu saat menurut keadaan pada waktu observasi (Isgiyanto, 2009).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan Mei sampai Juli 2012

C. Subjek Penelitian

1. Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah semua pasien asma dan pasien TB paru yang berada di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi.

2. Sampel Penelitian Setiap pasien asma dan pasien TB paru yang berada di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan Mei sampai Juli 2012 yang masuk dalam kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

3. Kriteria Subyek Penelitian

a. Pasien asma

1) Kriteria Inklusi

a) Berumur 19 tahun ke atas