PERFORMAN ANAK BABI SILANGAN BERDASARKAN PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA JurusanProgram Studi Peternakan

PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA

Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh : Nur Wahyuningsih

H 0508072

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh : Nur Wahyuningsih

H 0508072

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

Performan Anak Babi Silangan Berdasarkan Pejantan dan Paritas Induknya.

Selama penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ketua Jurusan Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ir. YBP. Subagyo, M. S dan drh. Sunarto, M. Si selaku Pembimbing Utama dan Pembimbing Pendamping.

4. Ratih Dewanti, S. Pt., M. Sc selaku Penguji yang telah memberi bimbingan, evaluasi, dan masukannya.

5. Sigit Prastowo, S. Pt., M. Si dan Nuzul Widyas, S. Pt., M. Sc yang telah memberikan dukungan serta bantuannya.

6. Segenap staf CV. Adhi Farm yang telah membantu proses penelitian ini.

7. Keluarga tercinta, Bapak Sugiyanto, BE., Ny. Supartini, Muhammad Wahyudianto, S. S., Saleh Abdul Rasyid, S. Pd., dan Mujiono atas dukungan dan semangatnya.

8. Teman-teman Jurusan Peternakan, atas doa dan dukungannya selama ini.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Surakarta, Desember 2012

Penulis

commit to user

PERFORMAN ANAK BABI SILANGAN BERDASARKAN PEJANTAN DAN PARITAS INDUKNYA

Nur Wahyuningsih

H 0508072

RINGKASAN

Induk babi merupakan ternak yang sering menghasilkan anak dengan jumlah yang banyak dalam satu kelahiran. Jumlah anak yang dilahirkan berpengaruh pada besar kecilnya bobot lahir anak babi yang dihasilkan. Jumlah anak babi per kelahiran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah faktor kesuburan induk dan pejantan, serta perkawinan antar bangsa, umur dan paritas induk babi. Perkawinan mendorong terjadinya kontribusi genetik dari pejantan dan induk sehingga anaknya dapat mewarisi sifat tetuanya. Paritas induk berhubungan dengan umur induk saat melahirkan anak, maupun jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan (littersize) akan meningkat jika induk memiliki paritas tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pejantan dan paritas induk terhadap performan (bobot lahir) anak babi silangan, serta mengetahui paritas yang menghasilkan performan baik pada anak babi silangan. Penelitian dilakukan selama 4 bulan dan dilaksanakan di perusahaan babi milik CV. Adhi Farm, Kebakkramat, Karanganyar. Materi yang digunakan adalah babi pejantan berjumlah 3 ekor berbangsa Landrace, Duroc, dan Hampshire. Babi betina berjumlah 21 ekor berbangsa Landrace, dan anak babi dari hasil perkawinan serta data dari perusahaan. Rancangan percobaan pada penelitian ini Rancangan Tersarang (Nested Design). Peubah yang diamati dan parameter yang diestimasi meliputi bobot lahir, littersize, korelasi bobot lahir dengan littersize, dan variasi bobot lahir dalam sekelahiran. Data yang menunjukkan adanya pengaruh, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Least Significant Difference) untuk paritas yang tersarang pada pejantan dan Uji Jarak Berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) untuk paritas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pejantan dan paritas yang tersarang pada pejantan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot lahir dan littersize. Selain itu, antara bobot lahir dan littersize yang dibandingkan dari tiap paritas yang tersarang pada pejantan menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Kesetimbangan bobot lahir dan littersize anak babi silangan terdapat pada paritas

1. Korelasi antara bobot lahir dengan littersize bernilai –0,166. Variasi bobot lahir dalam sekelahiran adalah 0,019 - 0,155. Kesimpulan penelitian ini adalah pejantan dan paritas induk berpengaruh terhadap performan bobot lahir dan littersize anak babi silangan. Korelasi antara bobot lahir dengan littersize menunjukkan bahwa semakin banyak littersize, maka bobot lahir akan semakin rendah. Rendahnya nilai variasi dari bobot lahir dalam sekelahiran menunjukkan adanya banyak keseragaman.

Kata kunci : Performan, Anak Babi, Pejantan, Paritas Induk

commit to user

PERFORMANCE OF HYBIRD PIGLETS BASED ON BOARS AND SOWS PARITY

Nur Wahyuningsih

H 0508072

SUMMARY

Sow is an animal that often bears piglet in large numbers in a single birth. The number of piglets born has effect on the weight of piglets which are produced. The number of piglets per litter is influenced by several factors. These factors are the parent and male fertility factors, as well as cross nation, age and

parity sows. The marriage push be genetic contribution from boar and sow that

inheritance to piglets. Parity is related to the age of the parent stem in childbirth, and the number of piglets born. The number of littersize will increase if the mother has high parity.

The aim of this study was to determine the effect of performance of the parent parity (birth weight) of hybrid piglets, and to know the parity that produces good performance of the hybrid piglets. This research was conducted in 4 months in the company of CV. Adhi Farm in Kebakkramat, Karanganyar. The material in this study were 3 boars (Landrace, Duroc and Hampshire), 21 Landrace sows, piglets from the marriage, and the data from the company. The design of experiments in this study was nested design. The variables that were observed and the parameter that was estimated included birth weight, littersize, the correlation of littersize to the birth weight, and birth weight variation in birth. The data showed the influence, then followed by Least Significant Difference Test (Least Significant Difference) for parity nested in boar and Duncan's Multiple Range Test (DMRT) for parity.

The results showed that boar and boar parity nested exerted a highly significant (P <0.01) for birth weight and littersize. In addition, between birth weight and littersize were compared from each boar parity nested were significantly different (P<0.05). Balanced birth weight and hybrid piglets littersize were at parity 1. The correlation between weight birth and littersize were -0,166. The variation in birth weight per littersize was 0,019 to 0,155.

The conclusions of this study are the influence of the boar and parity sow has effect on birth weight of piglet’s performance of hybrids and littersize. The correlation between birth weight and littersize were the more littersize has the lower the birth weight. The lower value of the variation in birth weight showed a lot of uniformity of birth weight.

Keywords: Performance, Piglets, Boars, Sows Parity

commit to user

A. Latar Belakang

Ternak babi merupakan salah satu komoditi ternak penghasil protein hewani yang mempunyai peranan penting dalam hal pemenuhan konsumsi daging. Menurut Sution (2010), beberapa alasan mengapa ternak babi mempunyai arti penting dalam ekonomi di antaranya, karena babi dapat menghasilkan keuntungan yang relatif cepat dari modal yang dikeluarkan. Babi dapat beranak dua kali dalam setahun dan sekali beranak dapat menghasilkan anak yang banyak. Babi juga mudah beradaptasi dengan lingkungan. Sementara di sisi lain, pakan untuk babi mudah diperoleh karena tersedia di alam sehingga babi dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat/peternak.

Babi memiliki keunggulan daripada ternak lain seperti sifat produksi dan reproduksinya. Pardosi (2004) menyatakan beberapa sifat penting pada ternak babi adalah jumlah anak yang dilahirkan per induk per kelahiran, bobot lahir, jumlah anak lepas sapih, dan bobot sapih. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perkawinan antar bangsa dan frekuensi beranak dari induk (parity) atau paritas.

Perkawinan antar bangsa merupakan perkawinan antara pejantan dan betina yang berasal dari bangsa yang berbeda. Tetua pejantan dan betina menurut Wolf et al. (1999), berpengaruh secara signifikan terhadap keturunannya (anak). Hal ini disebabkan oleh kontribusi genetik dari keduanya. Tetua betina lebih banyak menurunkan sifat reproduksi, sedangkan tetua pejantan lebih dominan menurunkan sifat produksi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pejantan yang digunakan harus mempunyai sifat genetik yang unggul agar keturunannya juga mewarisi sifat tetuanya.

Kemampuan betina dalam bereproduksi dapat mengarah ke paritas. Kata paritas berasal dari bahasa Latin, pario, yang berarti menghasilkan. Paritas didefinisikan sebagai jumlah beranak yang pernah dialami induk dalam melahirkan anak, baik dalam keadaan hidup ataupun mati, tanpa melihat

commit to user

paritas (Maimunah, 2005). Paritas induk berhubungan dengan umur induk saat melahirkan anak, maupun jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan (littersize) akan meningkat jika induk memiliki paritas tinggi. Hal ini sehubungan dengan kondisi fisiologis organ reproduksi induk yang berkembang sejalan dengan stadium kebuntingan.

Kapasitas induk dalam menampung fetus akan terbatas, sehingga littersize pun juga akan terbatas (Fenton et al., 1970). Hal ini berhubungan dengan pendistribusian nutrisi dari induk yang merata pada fetus. Kemampuan fetus dalam mencerna nutrisi dari induk akan menyebabkan perbedaan bobot lahir fetus dalam sekelahiran. Selain itu, anak babi yang dilahirkan dalam jumlah yang sedikit akan meningkatkan bobot lahir, sedangkan anak babi yang dilahirkan dalam jumlah yang banyak akan menurunkan bobot lahir.

B. Perumusan Masalah

Induk babi merupakan ternak yang sering menghasilkan anak dengan jumlah yang banyak dalam satu kelahiran. Kapasitas induk dalam menampung jumlah fetus yang dikandung berbanding lurus dengan jumlah anak yang akan dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan berpengaruh pada besar kecilnya bobot lahir anak babi yang dihasilkan. Jumlah anak babi per kelahiran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah faktor kesuburan induk dan pejantan, serta perkawinan antar bangsa, umur dan paritas induk babi.

Perkawinan antar bangsa merupakan perkawinan dari bangsa yang berbeda baik itu pejantan maupun betina. Hal tersebut mendorong terjadinya kontribusi genetik dari pejantan dan betina sehingga secara signifikan dapat mempengaruhi keturunannya (anak). Sifat reproduksi lebih banyak diturunkan dari tetua betina sedangkan sifat produksi lebih dominan dari tetua pejantan. Oleh karena itu, pengaruh pejantan sangat penting karena performan anaknya dapat mewarisi sifat tetua pejantan.

commit to user

bereproduksi, dalam hal ini adalah paritas. Paritas pertama pada induk akan menghasilkan anak babi yang lebih sedikit jika dibandingkan pada kelahiran berikutnya. Jumlah anak babi yang dilahirkan akan meningkat seiring dengan seringnya induk tersebut mengalami paritas, dan diharapkan anak babi dalam sekelahirannya menghasilkan performan yang lebih baik bila dibandingkan dengan induk yang hanya sekali mengalami paritas. Namun tiap kali paritas, induk akan menghasilkan variasi bobot lahir anak babi. Variasi bobot lahir anak babi sangat beragam karena dalam sekelahiran, induk dapat menghasilkan anak babi 6-12 ekor. Jumlah anak sekelahiran yang sedikit akan meningkatkan bobot lahir, begitu juga sebaliknya. Anak babi yang dilahirkan dalam jumlah yang banyak akan menurunkan bobot lahir.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian mengenai pengaruh pejantan dan paritas induk dalam menghasilkan performan yang baik bagi anak babi.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui pengaruh pejantan dan paritas induk terhadap performan (bobot lahir) anak babi silangan.

2. Mengetahui paritas keberapa yang menghasilkan performan baik pada anak babi silangan.

commit to user

A. Babi

Ternak babi menurut produksi dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, babi penghasil daging atau disebut tipe pork. Kedua, babi penghasil daging yang berlemak atau tipe bacon. Ketiga, tipe lard atau babi penghasil lemak (Hardjosubroto,1994). Jenis babi yang banyak dipelihara di Indonesia adalah bangsa Landrace, Duroc, Yorkshire, Hampshire yang mempunyai kualitas dan produksi daging yang tinggi serta babi hasil persilangan yang biasanya digunakan sebagai pejantan.

1. Babi Landrace

Bangsa babi Landrace merupakan babi tipe bacon yang sangat istimewa (Hardjosubroto, 1994). Babi Landrace sekarang ada beberapa tipe yaitu Denmark, Swedia, Amerika dan sebagainya. Babi Landrace banyak digunakan untuk program persilangan babi-babi di daerah tropik, terutama di Asia Tenggara. Namun, babi Landrace sangat peka terhadap sengatan sinar matahari (Reksohadiprodjo, 1984). Bangsa babi Landrace mempunyai ciri-ciri tubuh panjang besar lebar dan dalam, warna putih dengan bulu halus, kepala kecil agak panjang dengan telinga terkulai, leher panjang, bahu rata, kaki letaknya baik kuat dengan paha yang kuat (Blakely dan Bade, 1996). Sihombing (1997), menyatakan bahwa bobot badan babi American Landrace sebesar 320-410 kg pada babi jantan dewasa, dan 250- 340 kg pada induk.

2. Babi Duroc

Babi Duroc berwarna merah dan bertipe lard dengan ditandai sifatnya yang baik dalam memanfaatkan pakan. Dewasa ini babi Duroc banyak yang telah diubah menjadi tipe pork untuk memenuhi kebutuhan pasar (Hardjosubroto, 1994). Bangsa babi Duroc mempunyai ciri-ciri tubuh panjang, besar, warna merah bervariasi mulai dari merah muda sampai merah tua, punggung berbentuk busur dari leher sampai ekor, kepala

commit to user

anak (Blakely dan Bade, 1996).

3. Babi Hampshire

Babi Hampshire dikembangkan di Kentucky, Amerika Serikat. Warnanya hampir sama dengan babi Wessex Saddleback dari Inggris. Perbedaan yang terlihat adalah pada telinga. Wessex Saddleback bertelinga rebah, sedangkan Hampshire bertelinga tegak. Salah satu ciri khas babi Hampshire adalah lilit putih melingkari tubuhnya yang berwarna hitam. Warna putih juga terdapat di kedua ujung kaki depan (Sihombing, 1997). Menurut Reksohadiprodjo (1984), warna putih seperti ikat pinggang pada babi ini terletak dibagian ¼ badan muka. Selanjutnya, Sihombing (1997) menyatakan bahwa babi yang digunakan untuk bibit dengan ujung kaki belakang berwarna putih boleh dipergunakan asalkan warna putih tidak mencapai ujung paha. Selain itu, babi ini merupakan tipe pedaging (pork) yaitu bertubuh besar dan mempunyai kekuatan tulang kaki sedang. Bobot babi jantan dewasa adalah 275-385 kg, sedangkan induk 225-320 kg.

Berdasarkan informasi dari perusahaan CV. Adhi Farm bahwa standar bobot badan babi untuk menjadi indukan adalah babi dengan umur 8 bulan dengan berat mencapai 110 – 120 kg, sedangkan bobot babi dewasa bisa mencapai 250 kg. Kostaman dan Sutama (2006) menyatakan bahwa induk kambing yang berbobot badan besar mempunyai kemungkinan beranak kembar lebih tinggi daripada induk yang berbobot badan lebih kecil. Bobot badan induk mempunyai pengaruh lebih besar daripada pejantan terhadap bobot lahir anak.

B. Paritas

Paritas merupakan frekuensi atau urutan keberapa kali induk dalam melahirkan anak. Paritas pertama pada induk babi akan menghasilkan nilai yang rendah pada performan anak babi. Pada paritas kedua akan meningkat sampai pada paritas kelima. Kemudian akan menurun pada paritas keenam dan seterusnya (Thornton, 2011). Penyebab hal ini menurut Gordon (2008) ialah

commit to user

Tomaszewska et al., (1991) menyatakan bahwa hormon LH (Luteinizing Hormone) merupakan hormon yang menyebabkan ovulasi terjadi.

Toelihere (1993), menyatakan bahwa ovulasi terjadi selama berahi dan sebagian ovum dilepaskan 38 sampai 42 jam sesudah permulaan berahi. Lama berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, paritas dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara. Berahi biasanya terjadi tiga sampai delapan hari sesudah penyapihan apabila anak–anak babi dipisahkan enam sampai delapan minggu sesudah partus.

Lama proses ovulasi menurut Toelihere (1993) adalah 3,8 jam. Ovulasi pada babi induk kira–kira empat jam lebih cepat daripada babi dara sehingga babi induk mengovulasikan lebih banyak rata–rata dua ovum daripada babi dara. Paterson et al. (1980), menyatakan bahwa jumlah ovulasi rata-rata pada babi paritas pertama adalah 10,9 ± 0,14 ovum dan jumlah rata-rata anak yang lahir 8,0 ± 0,12 ekor. Berkurangnya jumlah anak yang dilahirkan daripada jumlah ovum yang dilepaskan, menurut Tomaszewska et al., (1991) disebabkan oleh kematian embrio sebelum implantasi (perlekatan) pada dinding uterus, sebagian besar disebabkan tidak normalnya kromosom yang berhubungan dengan pembuahan dan pembelahan awal dari sel yang tidak dapat dihindari atau dicegah.

Laju ovulasi menurut Sihombing (1997) akan mengalami peningkatan sampai paritas ketujuh, tetapi pada umumnya, induk babi diafkir pada paritas kelima dan keenam. Hal ini dikarenakan daya reproduksi yang mulai menurun sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah. Selain itu, menurut Toelihere (1993) bahwa tingginya angka ovulasi ternyata dapat menyebabkan kematian prenatal atau kematian embrio dini, dimana kematian ini terjadi sebelum hari ke-25 pada masa kebuntingan. Kematian prenatal kemungkinan

commit to user

yang meninggi tetapi tidak diikuti dengan perbaikan jumlah litter, serta adanya kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus akan menyebabkan kematian embrio dini.

Kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus menurut Hardjopranjoto (1995), disebabkan ada 3 yaitu, penyakit, stres, dan hormonal. Pertama, penyakit pada induk yang menimbulkan peningkatan suhu tubuh dan demam dapat menimbulkan kematian embrio. Ke-dua, faktor stres panas pada uterus disebabkan suhu kandang yang tinggi. Ke-tiga, faktor hormonal khususnya ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron. Kadar hormon estrogen yang berlebih dalam darah pada awal kebuntingan menyebabkan terjadinya kontraksi dinding uterus yang berlebihan sehingga diikuti oleh kematian embrio. Demikian juga dengan kekurangan sekresi hormon progesteron yang disebabkan adanya regresi korpus luteum pada awal kebuntingan, dapat diikuti kematian embrio dini. Hormon progesteron pada awal kebuntingan berfungsi untuk memelihara pertumbuhan mukosa uterus dan kelenjar-kelenjarnya sehingga mampu menghasilkan cairan yang merupakan bahan penting sebagai sumber pakan embio.

Sihombing (1997), menyatakan bahwa periode yang efektif untuk menginseminasi adalah sekitar 24 jam, antara 24 hingga 36 jam setelah puncak berahi. Jika pengawinan dilakukan terlalu awal, sperma tiba di tuba fallopii terlalu awal dan mungkin mati sebelum ada telur yang lepas. Bila dikawinkan terlalu lambat, telur terlalu masak (lebih dari enam jam) dan akan berakibat lebih dari satu sperma masuk ke dalam satu telur untuk membuahi (polyspermy). Partodihardjo (1982), menyatakan bahwa jika terjadi polispermia maka fertilisasi bisa dianggap gagal karena dapat menghasilkan makhluk baru dengan jumlah kromosom lebih dari normalnya. Kromosom tersebut bersifat letal dan makhluk tersebut akan mati sebelum implantasi terjadi.

Menurut Sihombing (1997), Frekuensi pengawinan sebanyak dua kali pada tiap kali berahi dapat meningkatkan laju kebuntingan ternak babi karena

commit to user

terbuahi pada pengawinan yang kedua. Inseminasi yang pertama harus lengkap 12 sampai 16 jam setelah dideteksi awal siap kawin (puncak berahi) dan sekali lagi 12 sampai 14 jam kemudian. Inseminasi yang kedua harus dilakukan walaupun induk tidak memperlihatkan tanda siap kawin dan jangan menggunakan dosis yang kedua untuk menginseminasi induk lain, sebab kemungkinan dapat menyebabkan anak yang lahir sedikit, meskipun induk akan bunting. Kebuntingan terjadi apabila adanya fertilisasi yaitu bila satu sperma bersatu dengan ovum untuk membentuk zigot dan di dalam uterus terdapat pertumbuhan embrio dan fetus.

Keberhasilan pengawinan dipengaruhi oleh deteksi berahi yang tepat. Deteksi berahi pada induk sebaiknya dilakukan setiap hari, sedangkan pada babi dara dua hari sekali. Deteksi berahi dapat ditingkatkan dengan cara melihat tingkah laku induk ketika terjadi kontak langsung dengan pejantan. (Pitcher, 1997 cit Timur, 2006).

Peningkatan paritas atau keacapan melahirkan anak pada babi, ada 3 cara. Pertama, memperkecil rasio antara babi dara dan induk dengan meningkatkan manajemen babi induk. Kedua, menyapih anak babi pada umur dini untuk mengurangi waktu dari lahir sampai induk dikawinkan kembali. Ketiga, meningkatkan laju konsepsi dengan jalan inseminasi buatan disertai pengawinan betina dua kali berturut-turut (Sihombing, 1997). Sementara di sisi lain, Thornton (2011) menyatakan bahwa keputusan dalam kunci untuk memanajemen kontrol pada paritas, tertumpu pada beberapa informasi dasar tentang keadaan spesifik dari produktivitas. Produktivitas dari paritas dapat dicapai jika genotip dan sistem manajemen saling beriringan agar dapat memaksimalkan keuntungan dari sebuah “farm” dan distribusi paritas. Distribusi paritas yang ideal di suatu peternakan menurut Carroll (1999) cit Lawlor dan Lynch (2007) adalah 17% untuk paritas 1 sampai persentase menurun < 4% untuk paritas 8 ke atas.

commit to user

Bobot lahir adalah bobot badan anak babi yang ditimbang segera setelah dilahirkan. Bobot lahir ini sangat bervariasi dan dipengaruhi beberapa faktor seperti umur induk, bangsa induk, efek keindukan dari betina (Pardosi, 2004). Bobot lahir dipengaruhi juga oleh genetik (Sihombing, 1997), jenis kelamin anak (Widodo dan Hakim, 1981), littersize dan paritas (Akdag et al., 2009).

Indikasi bahwa paritas berpengaruh terhadap bobot lahir anak babi dan secara keseluruhan yaitu berupa rendahnya bobot lahir pada paritas pertama dibandingkan paritas berikutnya (Milligan et al., 2002). Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh keindukan. Pengaruh keindukan adalah kemampuan seekor induk dalam memelihara dan mengasuh anaknya. Pengaruh keindukan dapat terjadi pada masa prenatal dan postnatal. Prenatal adalah masa kehidupan embrio (di dalam uterus) dan postnatal adalah masa kehidupan anak babi setelah proses kelahiran dan ini sangat dipengaruhi oleh sifat keindukan, dan produksi susu induk (Legates, 1972). Widodo dan Hakim (1981) menambahkan bahwa faktor yang memberikan dan menjaga pertumbuhan dari fetus dalam uterus dapat mempengaruhi bobot lahir anak babi. Jumlah fetus yang dikandung oleh induk menurut Gordon (2008), sangat berdampak pada masa kebuntingan. Jumlah fetus yang sedikit di dalam uterus akan mempengaruhi bobot lahir pada anak babi, seperti jika jumlah fetus sedikit, maka perkembangan fetus di dalam uterus akan memakan waktu lama sehingga kebuntingan juga akan lama dan bobot badan anak babi akan bertambah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pamungkas et al. (2005) bahwa bobot induk kambing saat melahirkan anak berpengaruh sangat nyata terhadap bobot lahir anak, dimana semakin besar bobot induk saat melahirkan maka semakin besar pula bobot lahir anaknya. Begitu pula terhadap littersize, bobot induk saat melahirkan anak memberikan pengaruh yang nyata terhadap littersize .

Paritas menurut Milligan et al. (2002), ternyata memberikan pengaruh signifikan terhadap rata-rata kelangsungan dari kehidupan anak babi, serta

commit to user

pada paritas pertama atau paritas berikutnya. Kelangsungan kehidupan anak babi dipengaruhi oleh adanya faktor mortalitas. Sihombing (1997), menyatakan bahwa besarnya mortalitas anak babi dari lahir sampai sapih sebesar 9,400 ekor untuk jumlah anak yang lahir, sedangkan yang dapat disapih adalah 7,300 ekor. Akdag et al. (2009), menambahkan bahwa paritas tidak memberikan perbedaan nyata terhadap bobot lahir anak babi, tetapi littersize memberikan pengaruh signifikan terhadap bobot lahir. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara bobot lahir anak babi dengan littersize menunjukkan korelasi yang negatif. Menurut Warwick et al, (1984), korelasi genetik bersifat negatif akan membatasi kemajuan yang dapat dicapai untuk kedua sifat itu secara bersamaan.

Sihombing (1997), rerata bobot lahir anak babi bervariasi antara 1,090- 1,770 kg. Menurut Aritonang dan Silalahi (2001), bobot lahir anak dari hasil purebreed babi Duroc (D) 1,120 kg; Landrace (L) 1,180 kg; Hampshire (H) 1,100 kg; dan Yorkshire (Y) 1,220 kg. Sementara di sisi lain, bobot lahir anak dari hasil crossbreed babi DxL 1,460 kg; HxL 1,220 kg; dan YxL 1,300 kg.

D. Littersize

Jumlah anak per kelahiran adalah jumlah anak yang dilahirkan per induk per kelahiran. Babi dara yang baru dikawinkan akan menghasilkan jumlah anak per kelahiran yang lebih sedikit daripada babi induk. Selanjutnya umur induk babi mencapai dewasa reproduksi adalah pada saat umur 3 tahun atau kelahiran ke-4 dan ke-5. Pada umur 4,5 tahun sebaiknya induk tersebut diafkir karena sudah tidak efektif lagi untuk dikawinkan (Sihombing, 1997).

Jumlah anak per kelahiran akan dipengaruhi oleh umur induk, bangsa, dan paritas (Gordon, 2008), genetik, manajemen, lama laktasi, penyakit, stres, dan fertilitas pejantan (Lawlor dan Lynch, 2007). Menurut Gordon (2008), littersize ini dipengaruhi oleh kematian selama fertilisasi dan embrio, lama bunting, tatalaksana dan pakan.

commit to user

tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada littersize dalam umur yang sama (French et al.,1979). Selanjutnya, induk muda menghasilkan jumlah

anak yang sedikit daripada induk tua. Sejak kelahiran pertama, jumlah anak cenderung meningkat dan mencapai puncak pada kelahiran ketiga dan keempat, kemudian stabil hingga kelahiran ketujuh dan selanjutnya menurun

(Lawlor dan Lynch, 2007). Semakin dewasa induk menurut Tomaszewska et al. (1991), akan semakin bertambah pula bobot hidupnya yang diikuti dengan kematangan fungsi organ reproduksi, sehingga meningkatkan daya tampung uterus dan memungkinkan perkembangan fetus secara maksimal.

Aritonang dan Silalahi (2001) menyatakan bahwa littersize yang berasal dari perkawinan dari bangsa murni diperoleh hasil yang sangat nyata lebih banyak bila dibandingkan dengan perkawinan dari bangsa yang berbeda (hasil persilangan). Hasilnya berupa littersize pada bangsa murni Landrace 11,400 ekor; Yorkshire 10,400 ekor; Hampshire 9,400 ekor; dan Duroc 9,000 ekor; sedangkan hasil dari persilangan mempunyai litttersize 6,800 sampai 9,200 ekor.

Littersize merupakan hal terpenting dalam memaksimalkan jumlah produksi babi dan mengarahkan seleksi agar menunjang intensitas seleksi untuk diterapkan. Asumsi normal, bahwa produksi littersize utamanya dipercayakan pada betina, tetapi, ternyata pejantan juga memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya littersize oleh induk. Hal ini disebabkan oleh fertilitas pejantan yang digunakan dalam proses perkawinan (Rahnefeld dan Swierstra, 1970). Hal tersebut menurut Gordon (2008), bahwa littersize merupakan efek dari hasil fertilitas induk dengan pejantan serta sistem manajemen kontrol yang dilakukan baik saat perkawinan maupun saat pemeliharaan.

commit to user

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Perusahaan babi CV. Adhi Farm, Desa Sepreh, Kelurahan Kemiri, Kecamatan Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar. Penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu bulan September - Desember 2011.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah babi jantan, babi betina dan anak babi serta data yang diperoleh dari perusahaan. Pejantan yang digunakan berjumlah 3 ekor dan berasal dari bangsa yang berbeda, yaitu : Landrace (umur 3 tahun dengan bobot badan 190 kg), Duroc (umur 2 tahun dengan bobot badan 180 kg), dan Hampshire (umur 2 tahun dengan bobot badan 175 kg). Betina yang digunakan berjumlah 21 ekor berbangsa Landrace (berumur 1-5 tahun dengan bobot badan rata-rata 180 ± 15 kg). Satu ekor pejantan mengawini tujuh ekor babi betina. Kemudian keturunan hasil dari perkawinan tersebut diamati littersize dan performan bobot lahirnya.

Keterangan : L = Landrace, LS = Littersize

Gambar 1. Skema perkawinan babi

Skema Perkawinan Babi

Duroc

Hampshire

Landrace

L 8 13 LS

L 10

L 11

L 12

L 13

L 14

12 LS

12 LS

11 LS

13 LS

9 LS

L 15 10 LS L 16 L 17 L 18

L 19 L 20 L 21

11 LS

9 LS

12 LS

11 LS

14 LS

11 LS

12 LS

11 LS

11 LS

13 LS

10 LS

11 LS

10 LS

14 LS

commit to user

No. Bahan Pakan

Betina Bunting

----------------------- % ---------------------

3. MBM (Meat Bone Meal) / Tepung Tulang dan Daging

4. SBM (Soya Bean Meal) / Tepung hasil sampingan dari Kedelai

5. Pollar Putih (White Pollard) / Tepung hasil sampingan dari Gandum

Jumlah Pakan (kg/hari)

Sumber: Laporan Gudang Pakan CV Adhi Farm Bulan September - Desember 2011

Alat yang digunakan adalah timbangan merek Summa kapasitas 3 kilogram dengan kepekaan 0,1 gram, marker (spidol), alat tulis dan kamera.

C. Pelaksanaan Penelitian dan Analisis Data

1. Persiapan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observatif. Persiapan penelitian berupa penyusunan formulir antara lain, pejantan, indukan dan keturunan dari tetua tersebut. Formulir digunakan untuk mempermudah pengisian data saat pelaksanaan di lapangan.

2. Rancangan percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Tersarang (Nested Design). Rancangan tersebut berfungsi untuk mengetahui adanya pengaruh paritas terhadap peubah yang diamati yaitu bobot lahir dan littersize. Model analisis :

Y ijk = µ +α i+ α(β) ij +ε ijk

commit to user

µ : Rerata dari data bobot lahir maupun littersize α i

: Pejantan i

α(β) ij

: Pejantan (paritas j) i

ε ijk

: Galat

(Astuti, 1980). Pengaruh lingkungan dalam penelitian ini, dianggap tidak ada. Semua babi berada di bawah satu manajemen sehingga faktor lingkungan seperti cuaca, kondisi kandang, dan pakan semuanya seragam. Faktor yang diteliti adalah pengaruh dari tetua. Pengaruh tetua jantan ( α i ) dan pengaruh dari betina ( β) dalam hal ini adalah paritasnya. Rancangan tersarang dipilih karena faktor-faktor yang diamati adalah pejantan dan betina (dalam hal ini paritas) yang tersarang dalam pejantan. Pejantan kawin dengan beberapa betina, sedangkan betina hanya bisa kawin dengan satu pejantan. Selanjutnya, faktor induk (baik jantan dan betina) akan dianalisis dengan anova. Apabila hasil analisis data menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT/Least Significant Difference) untuk paritas yang tersarang pada pejantan dan Uji Jarak Berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) untuk paritas.

3. Alur Penelitian Proses pengambilan data dilakukan dengan pencatatan data tetua yang diperoleh dengan melihat recording baik dari induk dan dari pejantan yang digunakan saat proses perkawinan. Recording dari induk berupa nama, bangsa, umur, paritas keberapa dan pejantan yang digunakan. Selain itu, diambil pula data dari recording pejantan berupa nama, bangsa, dan umur. Kemudian ditunggu sampai induk tersebut bunting dan beranak. Selanjutnya, saat induk melahirkan anak babi silangan. Anak babi ditimbang segera atau dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah dilakukan penanganan berupa pembersihan cairan amnion dan pemotongan plasenta. Pencatatan yang dilakukan meliputi bobot lahir dan littersize anak babi dalam sekelahiran.

commit to user

1. Bobot lahir

Bobot lahir adalah bobot badan anak babi saat lahir.

2. Littersize Littersize adalah banyaknya anak babi yang dilahirkan oleh induk per kelahiran.

3. Korelasi bobot lahir dengan littersize Korelasi bobot lahir dengan littersize merupakan hubungan antara dua sifat yang diakibatkan adanya pengaruh genetik. Korelasi ini mempunyai nilai -1 sampai +1. Warwick et al, (1984) menyatakan bahwa korelasi dapat bernilai positif, yaitu apabila suatu sifat meningkat maka sifat yang lain juga meningkat. Sebaliknya, korelasi dapat bernilai negatif, yaitu jika suatu sifat meningkat maka sifat yang lain akan menurun. Tabel 2. Nilai korelasi genetik

Koefisien Korelasi (r)

-0,3 sampai -0,1

0,1 sampai 0,3 Sedang

-0,5 sampai -0,3

0,3 sampai 0,5 Tinggi

-1,0 sampai -0,5

0,5 sampai 1,0 Sumber : Maylinda, 2010

Rumus yang digunakan dalam perhitungan korelasi menurut Hardjosubroto, (1994) adalah

)( ( )(

cov

Keterangan :

r G = korelasi genetik antara bobot lahir dengan littersize cov s = komponen peragam antar bobot lahir dengan littersize

2 (x s s s = komponen peragam bobot lahir

2 (y s s s = komponen peragam littersize

4. Variasi bobot lahir dalam sekelahiran Variasi bobot lahir dalam sekelahiran merupakan variasi dari bobot lahir anak di dalam suatu kelahiran induk dengan jumlah anak per kelahiran sama.

commit to user

Torrie (1995) adalah

Keterangan :

2 s 2 = variasi bobot lahir dalam satu littersize yang sama

= jumlah anak dalam satu induk yang sama

commit to user

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah rerata bobot lahir, variasi bobot lahir dalam sekelahiran, dan littersize anak babi silangan. Data diambil dari anak babi silangan sejumlah 240 ekor, yang berasal dari hasil persilangan antara pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire dengan betina Landrace. Kemudian hasil tersebut dianalisis berdasarkan paritas induknya. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 2 dan 3. Tabel 3. Rerata bobot lahir dan littersize anak babi silangan berdasarkan paritas

induk yang tersarang pada pejantan

Pejantan Paritas

Rerata Bobot

Lahir (kg)

Variasi Bobot Lahir

dalam sekelahiran

Littersize Anak Babi (ekor)

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada hasil pengamatan.

commit to user

induknya

Paritas

Umur Induk

(tahun)

Jumlah

Induk (ekor)

Jumlah Anak Babi

(ekor)

Rerata Bobot Lahir

(kg)

Rerata Littersize (ekor)

1 1 3 37 1,531 vw 12,351 c

2 1,5

2 22 1,612 v 11,091 e

3 2 3 33 1,508 vw 11,000 e

4 2,5

1 11 1,261 xy 11,000 e

5 3 2 22 1,363 wx 11,364 d

6 3 1 13 1,149 y 13,000 b

7 3,5

4 42 1,495 vw 10,619 f

8 4 3 39 1,334 wxy 13,154 a

9 4,5

1 11 1,513 vw 11,000 e

10 5 1 10 1,237 xy 10,000 g

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada hasil pengamatan.

A. Bobot Lahir

1. Pengaruh Pejantan

Hasil pengamatan rerata bobot lahir anak babi silangan berdasarkan pejantan disajikan dalam Tabel 3. Pejantan dari bangsa Duroc, Landrace, dan Hampshire ternyata dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot lahir. Namun, bangsa pejantan yang dibandingkan tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05) terhadap bobot lahir. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bangsa pejantan terhadap bobot lahir anak babi silangan tidak memberikan perbedaan.

Bobot lahir dipengaruhi oleh faktor genetik (Sihombing, 1997). Faktor genetik berasal dari kontribusi gen yang berasal dari tetua pejantan dan betina. Maka, pejantan dapat mempengaruhi bobot lahir anak babi silangan.

2. Pengaruh Induk dalam Paritas

Hasil pengamatan rerata bobot lahir anak babi silangan berdasarkan paritas induknya disajikan dalam Tabel 3 dan 4. Berdasarkan analisis variansi, paritas dan paritas yang tersarang pada pejantan dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot lahir. Selain

commit to user

yang tersarang pada pejantan menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Sihombing (1997), rerata bobot lahir anak babi bervariasi antara 1,090 sampai 1,770 kg. Sementara hasil penelitian diperoleh bahwa rerata bobot lahir anak babi silangan adalah 1,435 kg. Rerata bobot lahir anak babi yang baik terdapat pada paritas 1, 2, 3, 7 dan 9. Rerata bobot lahir terkecil yaitu 1,149 kg pada paritas ke-6 dan rerata terbesar 1,612 kg pada paritas ke-2 (Tabel 4).

Paritas kedua mempunyai bobot lahir anak babi silangan yang lebih besar bila dibandingkan dengan paritas pertama (Tabel 4). Menurut Thornton (2011), paritas pertama pada induk babi akan menghasilkan nilai yang rendah pada kualitas anak babi. Hal tersebut disebabkan adanya banyak faktor yang mempengaruhi. Bobot lahir anak sangat bervariasi dan dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis kelamin anak (Widodo dan Hakim, 1981), littersize dan paritas (Akdag et al., 2009). Jadi, setiap paritas induk mempunyai pengaruh yang berbeda pada besarnya bobot lahir anak babi silangan, namun beberapa pada paritas ke-2 sampai ke-4 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pada bobot lahir anak babi silangan (Tabel 3). Hal tersebut disebabkan karena faktor maternal effect (faktor keindukan). Faktor keindukan ada dua yaitu prenatal (di dalam uterus) dan postnatal (kehidupan anak babi setelah proses kelahiran). Penurunan bobot lahir di sini disebabkan oleh maternal effect pada saat prenatal. Menurut Widodo dan Hakim (1981), semua faktor yang memberikan dan menjaga pertumbuhan dari fetus dalam uterus dapat mempengaruhi bobot lahir anak babi. Selain itu, jumlah fetus yang dikandung oleh induk sangat berdampak pada masa kebuntingan. Jika jumlah fetus sedikit, maka perkembangan fetus di dalam uterus akan memakan waktu lama sehingga kebuntingan juga akan lama dan bobot badan anak babi akan bertambah (Gordon, 2008).

commit to user

1. Pengaruh Pejantan

Hasil pengamatan rerata littersize anak babi silangan berdasarkan pejantan disajikan dalam Tabel 3. Pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire yang disilangkan dengan betina Landrace ternyata dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) dan menunjukkan perbedaan (P<0,01) terhadap littersize. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bangsa pejantan terhadap littersize anak babi silangan memberikan perbedaan.

Littersize menurut Gordon (2008), merupakan efek dari hasil fertilitas induk dengan pejantan serta sistem manajemen kontrol yang dilakukan baik saat perkawinan maupun saat pemeliharaan. Data pada paritas ke-3 yang disilangkan dengan pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire , ternyata dihasilkan littersize yang sama. Sementara di sisi lain, pada paritas ke-7 dan ke-8 dihasilkan littersize yang berbeda (Tabel 3). Hal ini dijelaskan oleh Rahnefeld dan Swierstra (1970), bahwa asumsi normal, produksi littersize utamanya dipercayakan pada betina, tetapi ternyata pejantan juga memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya littersize oleh induk. Hal ini disebabkan oleh fertilitas pejantan yang digunakan dalam proses pengawinan.

2. Pengaruh Induk dalam Paritas

Hasil pengamatan rerata littersize anak babi silangan berdasarkan paritas induknya disajikan dalam Tabel 3 dan 4. Berdasarkan análisis variansi, paritas dan paritas yang tersarang pada pejantan dapat memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap littersize. Selain itu, antara littersize yang dibandingkan dari tiap paritas dan tiap paritas yang tersarang pada pejantan menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01). Rerata littersize anak babi sekelahiran adalah 11,600. Rerata littersize anak babi sekelahiran yang baik terdapat pada paritas 1, 6, dan 8. Rerata littersize tertinggi terletak di paritas ke-8 yaitu 13,154 ekor, dan yang terendah yaitu

10 ekor paritas ke-10. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari jumlah induk

commit to user

pada paritas ke-3 cenderung stabil dengan hasil 11 ekor anak per kelahiran (Tabel 3). Menurut Lawlor dan Lynch, (2007), bahwa sejak kelahiran pertama, jumlah anak cenderung meningkat dan mencapai puncak pada kelahiran ketiga dan keempat, lalu stabil hingga kelahiran ketujuh dan selanjutnya menurun. Penyebabnya menurut Sihombing (1997) adalah ovulasi pada babi induk mengovulasikan lebih banyak rata–rata dua ovum daripada babi dara. Laju ovulasi akan meningkat terus hingga paritas ketujuh tetapi pada umumnya induk babi diafkir pada paritas kelima dan keenam. Hal ini dikarenakan daya reproduksi yang mulai menurun sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah . Selain itu, menurut Tomaszewska et al. (1991), semakin dewasa induk, semakin bertambah bobot hidupnya yang diikuti dengan kematangan fungsi organ reproduksi, sehingga meningkatkan daya tampung uterus dan memungkinkan perkembangan fetus secara maksimal.

Jumlah anak per kelahiran akan dipengaruhi oleh umur induk, bangsa, dan paritas (Gordon, 2008). Menurut French et al.,(1979), littersize akan meningkat diikuti dengan umur, tetapi pada paritas tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada littersize dalam umur yang sama. Hal tersebut juga menunjukkan hasil yang sama yaitu jika paritas meningkat, maka littersize tidak selalu diimbangi adanya peningkatan (Tabel 4).

C. Kesetimbangan Bobot Lahir dengan Littersize Berdasarkan Paritas

Rerata bobot lahir anak babi dan littersize yang baik terdapat pada paritas 1, 2, 3, 7, 9 dan paritas 1, 6, 8 (Tabel 4). Jadi rerata yang baik berdasarkan kesetimbangan bobot lahir dan littersize anak babi silangan terdapat pada paritas 1. Hal ini menunjukkan bahwa pada paritas 1 atau babi dara dapat memberikan hasil yang baik pada bobot lahir maupun littersize anak babi silangan jika dibandingkan dengan paritas seterusnya atau babi induk.

commit to user

mengungguli paritas seterusnya kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keberhasilan pengawinan dipengaruhi oleh deteksi berahi yang tepat. Pitcher (1997) cit Timur (2006) menyatakan bahwa deteksi berahi pada induk sebaiknya dilakukan setiap hari, sedangkan pada babi dara dua hari sekali. Deteksi berahi dapat ditingkatkan dengan cara melihat tingkah laku induk ketika terjadi kontak langsung dengan pejantan.

Pengawinan pada babi betina (baik itu babi dara maupun babi induk) yang dilakukan berdasarkan puncak berahi pada babi dara, dapat menimbulkan perbedaan pada performan anak yang dilahirkan oleh babi dara maupun babi induk. Pengawinan yang dilakukan tidak tepat pada waktunya berahi, seperti pengawinan terlalu dini atau saat berahi yang terlewatkan dapat menyebabkan kegagalan pembuahan (fertilisasi) sehingga persentase kebuntingan rendah. Menurut (Sihombing, 1997) jika pengawinan dilakukan terlalu awal, sperma tiba di tuba fallopii terlalu awal dan mungkin mati sebelum ada telur yang lepas. Bila dikawinkan terlalu lambat, telur terlalu masak (lebih dari enam jam) dan akan berakibat lebih dari satu sperma masuk ke dalam satu telur untuk membuahi (polyspermy). Partodihardjo (1982) menyatakan bahwa jika terjadi polispermia maka fertilisasi bisa dianggap gagal karena dapat menghasilkan makhluk baru dengan jumlah kromosom lebih dari normalnya. Kromosom tersebut bersifat letal dan makhluk tersebut akan mati sebelum implantasi terjadi.

Selain itu, kematian embrio dapat disebabkan oleh tidak setimbangnya jumlah ovum yang dikeluarkan dari ovarium dengan ovum yang dapat dibuahi. Banyaknya ovum yang diovulasikan pada babi induk lebih tinggi daripada babi dara sehingga babi induk cenderung lebih banyak mengalami kematian embrio. Kematian embrio dini dan ketidakseimbangan lingkungan di dalam uterus induk dapat menyebabkan berkurangnya jumlah anak yang dilahirkan. Tomaszewska et al., (1991) menyatakan bahwa kematian embrio dini disebabkan oleh kematian embrio sebelum implantasi (perlekatan) pada dinding uterus, sebagian besar disebabkan tidak normalnya kromosom yang

commit to user

dapat dihindari atau dicegah. Sementara di sisi lain, Toelihere (1993) menyatakan bahwa kematian prenatal atau kematian embrio dini kemungkinan akan naik seiring dengan umur dan paritas. Penyebabnya ialah angka ovulasi yang meninggi tetapi tidak diikuti dengan perbaikan jumlah litter, serta adanya kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus akan menyebabkan kematian embrio dini. Kondisi lingkungan yang kurang baik di dalam uterus menurut Hardjopranjoto (1995), disebabkan ada 3 yaitu, penyakit, stres, hormonal. Pertama, penyakit pada induk yang menimbulkan peningkatan suhu tubuh dan demam dapat menimbulkan kematian embrio. Ke-dua, faktor stres panas pada uterus disebabkan suhu kandang yang tinggi. Ke-tiga, faktor hormonal khususnya ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron.

Thornton (2011) menyatakan bahwa keputusan dalam kunci untuk memanajemen kontrol pada paritas, tertumpu pada beberapa informasi dasar tentang keadaan spesifik dari produktivitas. Produktivitas dari paritas dapat dicapai jika genotip dan sistem manajemen saling beriringan agar dapat memaksimalkan keuntungan dari sebuah “farm” dan distribusi paritas.

D. Korelasi Bobot Lahir dengan Littersize

Gambar 2. Diagram garis hubungan bobot lahir dengan littersize

commit to user

silangan bernilai –0,166. Nilai tersebut menunjukkan tingkat keeratan yang rendah dari bobot lahir dengan littersize. Nilai korelasi rendah (nilai ± 0,1) berarti jika dilakukan seleksi terhadap littersize maka akan memberikan respon peningkatan yang lemah terhadap bobot lahir.

Menurut Akdag, et al. (2009), paritas tidak memberikan perbedaan nyata terhadap bobot lahir anak babi, tetapi littersize memberikan pengaruh signifikan terhadap bobot lahir. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara bobot lahir anak babi dengan littersize menunjukkan korelasi yang negatif. Nilai korelasi bersifat negatif menunjukkan adanya hubungan yang berkebalikan dari keduanya. Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anak sekelahiran (littersize), maka bobot lahir akan semakin rendah, begitu juga sebaliknya. Menurut Warwick et al. (1984), korelasi genetik bersifat negatif akan membatasi kemajuan yang dapat dicapai untuk kedua sifat itu secara bersamaan. Jadi, hubungan antara littersize dan bobot lahir pada hasil penelitian sebesar 16,6% dipengaruhi oleh faktor genetik dan 83,4% dipengaruhi lingkungan.

E. Variasi Bobot Lahir dalam Sekelahiran

1. Pengaruh Pejantan

Hasil pengamatan variasi bobot lahir anak babi silangan berdasarkan pejantan disajikan dalam Tabel 3. Pejantan Duroc, Landrace, dan Hampshire yang disilangkan dengan betina Landrace ternyata memberikan tingkat variasi yang sangat rendah terhadap bobot lahir sebab mendekati nilai nol. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh bangsa pejantan terhadap variasi bobot lahir anak babi silangan tidak memberikan variasi.

2. Pengaruh Induk dalam Paritas

Hasil pengamatan variasi bobot lahir dalam jumlah anak babi sekelahiran disajikan dalam Tabel 3. Variasi bobot lahir dalam jumlah anak babi sekelahiran bervariasi yaitu 0,019 - 0,155 yang berarti tingkat variasi

commit to user