HUBUNGAN KECANDUAN ONLINE GAME DENGAN KECEMASAN PADA REMAJA PENGUNJUNG GAME CENTRE DI KELURAHAN JEBRES SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
HUBUNGAN KECANDUAN ONLINE GAME DENGAN KECEMASAN PADA REMAJA PENGUNJUNG GAME CENTRE DI KELURAHAN JEBRES SURAKARTA
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Asri Sukawati Putri G.0009030
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012
J. Cara Kerja ................................................................................... 38 K. Teknik Analisis Data .................................................................. 38
BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................................ 41 BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 48 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 52
A. Simpulan ..................................................................................... 52
B. Saran ........................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 53 LAMPIRAN
TMAS
: Taylor Manifest Anxiety Scale
GABA
: Gamma-Aminobutyric Acid IKK : Instrumen Keintiman Keluarga
L-MMPI
: Lie Minnesota Multhiphasic Personality Inventory
MMORPGS : Massively Multiplayer Online Role Playing Games MUD
: Multy User Dungeun
MUD’S
: Multy User Dungeuns
SPSS
: Statistic Program for Social Science
WHO
: World Health Organization
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Gambar 3.1 Rancangan Penelitian
Gambar 4.1 Garis Regresi tentang Hubungan Positif antara Kecanduan Online Game dengan Kecemasan
Tabel 4.1.
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecanduan Online Game
Tabel 4.2.
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecemasan
Tabel 4.3.
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecanduan Online Game dan Kecemasan
Tabel 4.4.
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keintiman Keluarga
Tabel 4.5
Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keintiman Keluarga dan Kecemasan
Tabel 4.6.
Hasil Analisis Regresi Logistik tentang Hubungan antara Kecanduan Online Game dengan Kecemasan pada Remaja di Kelurahan Jebres dengan Memperhitungkan Variabel Keintiman Keluarga.
Lampiran 1 Formulir Biodata dan Inform Consent Lampiran 2 Kuesioner L-MMPI Lampiran 3 Kuesioner TMAS Lampiran 4 Kuesioner Kecanduan Online Game Lampiran 5 Instrumen Keintiman Keluarga Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian Lampiran 7 Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian Lampiran 8 Data Primer Mei 2012 Lampiran 9 Lembar Analisis Statistik Lampiran 10 Tabel 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecanduan
Online Game Lampiran 11 Tabel 4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecemasan Lampiran 12 Tabel 4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecanduan
Online Game dan Kecemasan Lampiran 13 Tabel 4.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keintiman Keluarga Lampiran 14 Tabel 4.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keintiman Keluarga dan Kecemasan Lampiran 15 Tabel 4.6. Hasil Analisis Regresi Logistik Tentang Hubungan
antara Kecanduan Online Game dengan Kecemasan pada Remaja Pengunjung Game Centre di Kelurahan Jebres dengan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi di era globalisasi semakin tidak terbendung lagi. Perkembangan ini muncul sebagai jawaban atas kebutuhan manusia akan teknologi yang semakin berkembang. Internet hadir sebagai salah satu media komunikasi baru yang mempengaruhi hampir semua sisi kehidupan manusia. Seiring dengan perkembangannya internet tidak lagi memiliki fungsi sebagai perlengkapan studi dan alat bantu pekerjaan. Namun, internet turut berperan dalam cara seseorang berpikir, berkomunikasi, berelasi, berekreasi, bertingkah laku, dan mengambil keputusan (Conner, 2007).
Di sisi lain, internet dapat memberikan pengaruh negatif bagi penggunanya dan dapat menyebabkan kecanduan. Salah satu materi internet yang paling banyak menyebabkan kecanduan, terutama pada remaja, adalah online game (Elia, 2009). Young (2006), dari hasil penelitiannya, menyatakan bahwa remaja menggunakan
55 jam waktu mereka dalam seminggu untuk bersenang-senang dan 25% dari 55 jam mereka gunakan untuk bermain online game. Online game dapat didefinisikan sebagai permainan (games) yang dapat diakses oleh banyak pemain, dan dihubungkan oleh suatu jaringan, umumnya internet (Adams ,2007). Online game mempunyai arena-arena bermain yang
bersifat persistent (tetap ada meskipun pemain-pemainnya tidak selalu ikut bermain) dan real-time (waktu berlalu terus) (Chandra, 2006). Kesempurnaan teknologi grafis dalam online game menjadi daya pikat tersendiri bagi pemainnya. Dalam online game pemain tidak perlu mengikuti aturan-aturan di dunia nyata, pemain dapat mengubah dirinya menjadi sosok yang kuat sehingga selalu memenangkan pertandingan dan memilih karakter tertentu yang berbeda dengan karakter dirinya. Sehingga, pada umumnya pemain sulit meninggalkan komputer karena harus selalu bertahan dan menang (Elia, 2009).
Lamanya seseorang bermain online game dapat ditentukan dari motif-motif yang dimilikinya, seperti motif untuk mendapatkan informasi/pengetahuan (motif kognitif), motif kepuasan emosional/kesenangan (motif afektif), motif memperkuat kepercayaan dirinya (motif personal integrative), motif bersosialisasi (motif social integrative), dan juga untuk melepaskan ketegangan/lari dari masalah (motif pelepasan ketegangan) (Farzana, 2011). Semakin kuat motif yang dimiliki pemain maka semakin banyak waktu yang digunakan untuk bermain online game dan selanjutnya dapat menuju ke arah tanda-tanda kecanduan (Young, 2006).
Istilah kecanduan online game muncul sebagai perpanjangan dari istilah kecanduan internet, yaitu penggunaan nternet yang berlebihan pada kehidupan pribadi (Hall & Parsons, 2001). Pada tahun 2002, Nicholas Yee (2002) menyatakan bahwa sebanyak 64,45% remaja laki-laki dan 47,85% remaja Istilah kecanduan online game muncul sebagai perpanjangan dari istilah kecanduan internet, yaitu penggunaan nternet yang berlebihan pada kehidupan pribadi (Hall & Parsons, 2001). Pada tahun 2002, Nicholas Yee (2002) menyatakan bahwa sebanyak 64,45% remaja laki-laki dan 47,85% remaja
Kecanduan online game pada remaja telah menjadi fenomena dunia. Beberapa negara, seperti Korea, China dan Vietnam sudah menerapkan beberapa peraturan dalam menangani fenomena ini yaitu dengan cara menerapkan jam malam bagi para gamer atau menutup beberapa situs online game (Rachmatunisa, 2010; Heriyanto, 2011). Fenomena ini juga menjadi masalah tersendiri bagi keluarga. Seorang anak yang mengalami kecanduan online game akan menarik dirinya dari lingkungan sosial, melakukan segala cara agar pemain dapat terus bermain online game , salah satu contohnya yaitu seorang remaja di Surabaya yang kedapatan menjual pil koplo untuk bermain online game (Hadi, 2009). Selain itu juga orang tua merasa anaknya berubah setelah bermain online game, anak menjadi lebih mudah marah, cenderung pendiam, dan menjadi penentang (Young, 2006)
Seorang yang sudah mengalami kecanduan online game akan lebih menyukai kehidupan virtual dalam online game dan menarik diri dari lingkungan sosialnya (Howard & Jacob, 2009; Lee, 2007). Melalui penelitiannya Hussain (dalam Achab et.al, 2011) menyatakan bahwa semakin seseorang kecanduan online game maka akan lebih merasa cemas dibandingkan merasa senang. Selain itu, Brian dan Hastings (2005) menyatakan bahwa seorang pecandu online game akan merasa cemas dan depresi jika tidak sedang memainkannya. Menurut Griffiths (2005), salah satu komponen yang dapat menyatakan bahwa seorang mengalami Seorang yang sudah mengalami kecanduan online game akan lebih menyukai kehidupan virtual dalam online game dan menarik diri dari lingkungan sosialnya (Howard & Jacob, 2009; Lee, 2007). Melalui penelitiannya Hussain (dalam Achab et.al, 2011) menyatakan bahwa semakin seseorang kecanduan online game maka akan lebih merasa cemas dibandingkan merasa senang. Selain itu, Brian dan Hastings (2005) menyatakan bahwa seorang pecandu online game akan merasa cemas dan depresi jika tidak sedang memainkannya. Menurut Griffiths (2005), salah satu komponen yang dapat menyatakan bahwa seorang mengalami
Cemas atau kecemasan adalah keadaan tegang yang berlebihan tidak pada tempatnya yang ditandai dengan perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis, 2009). Kecemasan dapat berupa perasaan gelisah yang subjektif, sejumlah perilaku (tampak khawatir dan gelisah), atau respon fisiologis yang bersumber dari otak dan tercermin dalam bentuk peningkatan denyut jantung dan ketegangan otot (Barlow, 2006). Ada banyak hal yang dapat menyebabkan kecemasan yaitu karena perasaan takut akan penolakkan interpersonal, trauma, konflik, rasa bersalah, menghindari situasi tertentu, atau bisa juga karena terhalangnya usaha seseorang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan (Stuart, 2006).
Remaja sangat rentan mengalami kecemasan. Berbagai penelitian menyatakan bahwa 5%-50% remaja dalam suatu populasi mengalami kecemasan. Hal ini karena dalam perkembangan masa remaja, terdapat banyak perubahan dalam diri dan lingkungannya. Oleh karena itu, dukungan dan bimbingan dari keluarga terutama orang tua sangat penting dalam mengarahkan perkembangan remaja (Dinkes SulSel, 2011). Dukungan sosial, terutama keluarga, akan mengurangi reaksi fisik dan emosional terhadap pemicu kecemasan atau stres (Barlow, 2006). Kurangnya kepercayaan dan kasih sayang dari keluarga cenderung membentuk Remaja sangat rentan mengalami kecemasan. Berbagai penelitian menyatakan bahwa 5%-50% remaja dalam suatu populasi mengalami kecemasan. Hal ini karena dalam perkembangan masa remaja, terdapat banyak perubahan dalam diri dan lingkungannya. Oleh karena itu, dukungan dan bimbingan dari keluarga terutama orang tua sangat penting dalam mengarahkan perkembangan remaja (Dinkes SulSel, 2011). Dukungan sosial, terutama keluarga, akan mengurangi reaksi fisik dan emosional terhadap pemicu kecemasan atau stres (Barlow, 2006). Kurangnya kepercayaan dan kasih sayang dari keluarga cenderung membentuk
Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta tersebut peneliti tertarik untuk mengatahui adakah hubungan kecanduan online game dengan kecemasan pada remaja pengunjung game centre di Wilayah Jebres, Surakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
Adakah hubungan hubungan kecanduan online game dengan kecemasan pada remaja pengunjung game centre di Kelurahan Jebres Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan kecanduan online game dengan kecemasan pada remaja pengunjung game centre di Kelurahan Jebres Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan kecanduan online game dengan kecemasan pada remaja pengunjung game centre di Kelurahan Jebres Surakarta, agar dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Remaja : Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat remaja mengerti dan memperhatikan adanya hubungan online game dengan faktor kecemasan dan kemudian mampu mengurangi jumlah remaja yang kecanduan online game.
b. Bagi Orangtua : Dengan berhasilnya penelitian ini diharapkan para orangtua mampu melindungi anak remajanya dari kecemasan dan kecanduan online game.
c. Bagi Masyarakat : Dengan berkurangnya jumlah remaja yang kecanduan online game diharapkan lebih banyak remaja yang memanfaatkan waktunya untuk mengabdi pada masyarakat.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kecemasan
a. Definisi Kecemasan
Kecemasan dapat diartikan sebagai keadaan tegang yang berlebihan tidak pada tempatnya yang ditandai dengan perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis, 2009). Definisi lain mengenai kecemasan yaitu rasa khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi disertai dengan gejala somatik yang menandakan adanya aktivitas yang berlebihan dari susunan saraf pusat autonomik (Scaphiro, 2003). Sedangkan Menurut Stuart (2006) definisi kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek spesifik kecemasan dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara interpersonal dan berada dalam suatu rentang
Kecemasan merupakan suatu fenomena kompleks yang menandakan adanya dinamika kehidupan dan bagian dari proses psikis yang memberikan isyarat fisik dan mental bahwa terdapat perubahan internal dan eksternal (Roberts et al., 2010).
b. Epidemiologi Kecemasan
National Comorbidity Study menyatakan bahwa sedikitnya satu di antara empat orang yang memenuhi kriteria, mengalami kecemasan. Sebuah meta-analisis terhadap 46 studi menemukan bahwa sekitar 17% orang suatu saat pernah mengalami kecemasan (Pinel, 2009). Gangguan cemas merupakan gangguan yang banyak terjadi pada anak dan remaja.
Prevalensi yang diperoleh dari berbagai penelitian didapatkan bahwa 5%-50% remaja dalam suatu populasi mengalami kecemasan (Dinkes SulSel, 2011).
c. Etiologi Kecemasan
1) Teori Psikososial
Berdasarkan ilmu psikologis, Stuart (2006) mengemukakan bahwa penyebab kecemasan dapat dipahami melalui berbagai teori, di antaranya yaitu:
a) Teori psikoanalitis Freud: teori ini mengidentifikasi kecemasan sebagai konflik emosional yang terjdi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b) Teori interpersonal Sullifan: teori ini menjelaskan bahwa kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakkan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, individu dengan harga diri rendah rentan mengalami kecemasan yang berat.
c) Teori perilaku: teori ini menyebutkan kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk meghindari kepedihan.
d) Teori pembelajaran: teori ini meyakini bahwa individu yang terbiasa sejak kecil dihadapkan pada suatu ketakutan berlebihan akan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya.
e) Teori konflik: teori ini memandang kecemasan sebagai pertentangan antar dua kepentingan yang berlawanan. Teori ini meyakini adanya hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan yaitu konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan
2) Teori Biologis
a) Sistem saraf otonom
Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme sebagai berikut: ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan Reticular Activating System (RAS), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom (Mudjaddid, 2006).
b) Neurotransmiter
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah: (1) Norepinefrin
Pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Pada pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki kadar metabolit noradrenergik yaitu 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meninggi dalam cairan serebrospinalis dan urin (Saddock, 2010).
(2) Serotonin
Serotonin mempunyai peranan penting dalam kondisi kejiwaan seseorang seperti depresi, cemas dan gangguan obsesif-kompulsif (Dayan, 2008). Banyak penelitian mengatakan bahwa ketidakseimbangan serotonin mampu mempengaruhi
mood yang
pada
akhirnya akan menjerumuskan sesorang ke dalam keadaan depresi maupun cemas. Masalah yang terjadi mungkin produksi serotonin yang rendah atau dapat juga karena rendahnya kemampuan reseptor serotonin dalam menangkap serotonin (Bouchez, 2009).
(3) Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Peranan GABA dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepin sebagai salah satu obat gangguan kecemasan. Benzodiazepin yang bekerja meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal ( Saddock, 2010).
d. Patofisiologi Kecemasan
Kecemasan adalah respon dari persepsi terancam yang diterima oeh sistem saraf pusat akibat adanya rangsangan berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsangan tersebut dipersepsikan oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem saraf pusat yang melibatkan cortex cerebri diteruskan ke limbic system lalu ke reticular activating system
kemudian ke hypothalamus yang memberikan impuls ke kelenjar adrenal, selanjutnya memacu sistem saraf otonom (Mudjadid, 2007).
e. Jenis dan Tingkat Kecemasan
Klasifikasi gangguan kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi IV Teks Revisi (DSM-IV-TR), yaitu
1) Kecemasan menyeluruh
2) Kecemasan berhubungan dengan kondisi medis
3) Panik adalah serangan tidak terduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut intens sampai sedikit serangan selama satu tahun.
4) Panik dengan atau tanpa agoraphobia. Agoraphobia yaitu rasa takut berada sendirian di tempat umum dimana terdapat banyak orang/keramaian, berpergian ke luar rumah, atau berpergian sendirian.
5) Agoraphobia dengan atau tanpa riwayat panik
6) Spesifik phobia yaitu kecemasan yang terbatas pada adanya objek atau situasi tertentu
7) Phobia sosial yaitu rasa takut yang menetap dan kuat akan situasi yang menimbulkan rasa malu.
8) Obsesif kompulsif adalah pikiran atau sensasi berulang untuk melakukan perilaku yang disadari dan standar secara berulang.
9) Post-traumatic disorder (Sadock, 2010). Respon seseorang terhadap kecemasan tergantung dari tingkat kecemasan yang dideritanya. Peplau membagi tingkat kecemasan menjadi empat (Videbeck, 2008), yaitu:
1) Kecemasan ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
2) Kecemasan sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.
3) Kecemasan berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak perhatian atau arahan untuk terfokus pada area lain.
4) Kecemasan berat sekali atau panik
Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Karena hilangnya kontrol maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktifitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif. Biasanya disertai disorganisasi kepribadian
f. Gejala Kecemasan
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan pada orang yang mengalami gangguan kecemasan, yaitu :
1) Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung dan marah.
2) Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
3) Takut sendirian, takut keramaian, dan banyak orang.
4) Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.
5) Gangguan konsentrasi dan daya ingat.
6) Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging, jantung berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya (Hawari, 2008).
g. Kriteria Diagnosis
Diagnosis kecemasan dapat ditegakkan bila terdapat tiga atau lebih dari gejala mudah marah, gelisah, tegang, mudah lelah, kesulitan konsentrasi atau pikiran kosong, dan gangguan pola tidur (Murtagh, 2003).
Sedangkan berdasarkan kriteria pada DSM-IV-TR, fitur-fitur kecemasan menyeluruh meliputi :
1) Kecemasan dan kekhawatiran eksesif selama enam bulan atau lebih, tentang sejumlah kejadian atau aktivitas.
2) Kesulitan dalam mengontrol kekhawatiran
3) Manunjukkan minimal tiga di antara gejala-gejala yaitu :
a) Kegelisahan atau perasaan tegang
b) Menjadi mudah lelah
c) Sulit berkonsentrasi
d) Iritabilitas
e) Ketengangan otot
4) Distress atau hendaya yang signifikan
5) Kecemasan tidak terbatas pada sebuah isu tertentu (Barlow dan Durand, 2006)
h. Penatalaksanaan
Terdapat tiga teori atau pendekatan mengenai penatalaksanaan kecemasan, yaitu :
1) Perspektif biologis. Pendekatan ini terfokus pada penggunaan obat- obatan untuk meredam symptom kecemasan. Namun, penggunaan obat dapat menyebabkan ketergantungan, sindrom putus obat, dan masalah potensial. Oleh karena itu, dikombinasikan dengan terapi cognitive behavioural.
2) Teori psikodinamika. Teori ini lebih menjajaki sumber kecemasan yang berasal dari keadaan sekarang, dan mendorong pasien mengembangkan tingkah yang adaptif.
3) Pendekatan humanistik. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami orang dan mengekspresikan bakat serta perasaannya yang sesungguhnya ( Nevid, 2005).
2. Remaja
a. Definisi Remaja Remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya a. Definisi Remaja Remaja berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya
Menurut Monks (1998), batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu: fase remaja awal (12-15 tahun), fase remaja pertengahan (15-18 tahun), fase remaja akhir (18-21 tahun) (Hurlock, 1999).
1) Ciri-ciri Perubahan Masa Remaja
Menurut Pinem (2009), ciri-ciri perubahan masa remaja adalah sebagai berikut :
a) Perubahan nonfisik Perkembangan nonfisik pada remaja dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
(1) Masa remaja awal (12-15 tahun). Pada masa ini remaja cenderung merasa ingin bebas, lebih dekat dengan teman sebaya, mulai berfikir abstrak, dan lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya.
(2) Masa remaja tengah (15-18 tahun). Pada masa ini remaja mulai mencari identitas diri, timbul keinginan untuk berkencan, berkhayal tentang aktivitas seksual, dan mempunyai rasa cinta yang mendalam.
(3) Masa remaja akhir (18-21 tahun). Pada masa ini remaja mampu berfikir abstrak, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, (3) Masa remaja akhir (18-21 tahun). Pada masa ini remaja mampu berfikir abstrak, lebih selektif dalam mencari teman sebaya,
b) Perubahan fisik pada masa remaja Perubahan fisik remaja antara lain yaitu: (1) Pada remaja laki-laki muncul tanda seks primer yaitu mimpi
basah. Muncul tanda-tanda seks sekunder yaitu tumbuhnya jakun, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, suara bertambah besar, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuh kumis di atas bibir, jambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak.
(2) Pada remaja perempuan muncul tanda seks primer yaitu terjadi haid yang pertama (menarche). Muncul tanda seks skunder yaitu pinggul melebar, pertumbuhan rahim dan vagina, tumbuh rambut di sekitar kemaluan dan ketiak, payudara membesar.
c) Perubahan Kejiwaan Perubahan kejiwaan yang dialami remaja meliputi : (1) Perubahan emosi yaitu: sensitif (mudah menangis, cemas,
tertawa dan frustasi), mudah bereaksi terhadap rangsangan dari luar, agresif sehingga mudah berkelahi.
(2) Perkembangan inteligensia yaitu: mampu berfikir abstrak dan senang memberi kritik, ingin mengetahui hal-hal yang baru sehingga muncul perilaku ingin mencoba hal yang baru.
Pada masa-masa ini dukungan dan pengawasan dari orang tua penting untuk mengarahkan remaja pada hal-hal positif. Orang tua yang suka mengeritik atau menghukum akan memberikan kesan bahwa orang tua tidak menghargai anak, akibatnya anak akan menyerap pandangan negatif itu terhadap dirinya, sehingga anak tidak memiliki rasa percaya diri. Remaja dengan kepercayaan diri yang rendah seringkali tidak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Depresi dan kecemasan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan kepercayaan diri yang rendah karena merasa tak berdaya menghadapi kesulitan dalam kehidupan. Kepercayaan bahwa dirinya berguna dan kasih sayang dari keluarga dapat membangun kepercayaan diri seorang anak. (Dinkes SulSel, 2011).
1. Online Game
Online game dapat didefinisikan sebagai permainan (games) yang dapat diakses oleh banyak pemain, dimana mesin-mesin yang digunakan pemain dihubungkan oleh suatu jaringan, umumnya Internet (Adams ,2007). Online game mempunyai arena-arena bermain yang bersifat persistent (tetap ada meskipun pemain-pemainnya tidak selalu ikut bermain) dan real-time (waktu berlalu terus) (Chandra, 2006).
Perkembangan online game dimulai dengan munculnya Multi-User Dungeons (MUDs) pada akhir tahun tujuh puluhan (Cherny dalam Ducheneaut, 2004). Kemudian disusul dengan munculnya permainan
Massively Multiplayer Online Role-Playing Games (MMORPGs) yang merupakan turunan dari MUDs membuat ratusan ribu orang kini berinteraksi setiap hari dengan permainan komputer (Woodcock dalam Ducheneaut, 2004). Sampai saat ini MMORPGs merupakan jenis online game yang paling sering dimainkan. Jenis online game ini umumnya berfokus pada penggunaan karakter atau avatar dalam latar dunia fiksi.
MMORPGs adalah sebuah permainan internet dimana para pemain memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan beberapa ribu pemain dari seluruh dunia dapat bermain pada waktu yang bersamaan. Seorang pemain dapat mengontrol karakternya sendiri, dimana pemain harus melaksanakan berbagai tugas, menunjukkan kemampuan dan berinteraksi dengan karakter pemain lainnya (Young, 2006). Selain dua jenis game di atas terdapat beberapa jenis online games lain yaitu First Person Shooter (FPS), Real- Time Strategy, Cross-platform online , dan Browser games
Orang yang mempunyai kegemaran bermain game disebut sebagai Gamer s. Selain itu, seseorang dapat dikatakan sebagai gamers jika dia meluangkan waktu 6,5 jam sampai 39,3 jam perminggu untuk bermain game dan mengetahui banyak hal mengenai game. (Thorsen, 2007)
Dalam bermain online game seseorang didasarkan pada motif-motif tertentu. Motif diartikan sebagai kekuatan (energi) dalam diri seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, dalam hal ini adalah bermain online game.
Motif-motif tersebut yang mendorong seseorang untuk terus bermain online game . Farzana (2011), berdasarkan teori West dan Turner mengenai motivasi, membagi motif-motif yang mendasari seorang remaja dalam bermain online game sebagai berikut :
a. Motif Kognitif
Motif kognitif diartikan sebagai kebutuhan gamer untuk mendapatkan informasi, pengetahuan, eksplorasi realitas, pengertian, pemahaman tentang lingkungan sekitar. Indikator motif kognitif meliputi:
1) Bermain game untuk mencari informasi tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan.
2) Bermain game untuk mencari bimbingan yang menyangkut berbagai masalah praktis, pendapat, dan hal-hal yang berkaitan dengan penentuan pilihan.
3) Bermain game sebagai sarana belajar.
4) Bermain game sebagai sarana untuk memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan.
b. Motif Afektif
Motif afektif diartikan sebagai kebutuhan gamer yang berkaitan dengan usaha untuk memperkuat pengalaman yang bersifat keindahan, emosional, kesenangan, atau pengalaman estetika. Motif afektif Motif afektif diartikan sebagai kebutuhan gamer yang berkaitan dengan usaha untuk memperkuat pengalaman yang bersifat keindahan, emosional, kesenangan, atau pengalaman estetika. Motif afektif
1) Bermain game sebagai sarana penyaluran emosi.
2) Bermain game sebagai sarana penyaluran pada seni seperti gambar dan suara.
3) Bermain game untuk memperoleh kenikmatan jiwa estetis.
c. Motif Personal Integrative
Motif personal integrative diartikan sebagai kebutuhan gamer yang berkaitan dengan peningkatan harga diri seseorang, seperti memperkuat kredibilitas/kepercayaan, percaya diri, kesetiaan dan status seseorang. Motif ini mendorong gamer dalam bermain untuk memperkuat atau menonjolkan sesuatu yang penting dalam hidup. Indikator motif personal integrative meliputi:
1) Bermain game untuk memenuhi penunjang nilai-nilai pribadi.
2) Bermain game menemukan model perilaku.
3) Bermain game sebagai sarana mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain dalam media.
4) Bermain game sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri.
d. Motif Social Integrative
Motif social integrative diartikan sebagai kebutuhan gamer untuk bersosialisasi dengan sekelilingnya seperti peningkatan hubungan dengan keluarga, teman dan seterusnya. Motif ini mendorong gamer untuk bermain game demi kelangsungan hubungannya dengan orang lain. Indikator motif social integrative meliputi:
1) Bermain game sebagai sarana memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain.
2) Bermain game untuk mengidentifikasikan diri dengan orang lain, dan meningkatkan rasa memiliki.
3) Bermain game untuk menemukan bahan percakapan dan interaksi sosial.
4) Bermain game sebagai sarana memperoleh teman.
5) Bermain game sebagai sarana membantu menjalankan peran sosial.
6) Bermain game sebagai sarana menghubungi orang lain.
e. Motif Pelepasan Ketegangan
Motif pelepasan ketegangan diartikan sebagai kebutuhan gamer yang berkaitan dengan hasrat untuk melarikan diri dari kenyataan, melepaskan ketegangan, dan kebutuhan akan hiburan. Seorang gamer bermain game untuk melepaskan kepenatan. Indikator motif pelepasan ketegangan meliputi:
1) Bermain game untuk melepaskan diri dari permasalahan.
2) Bermain game sebagai sarana bersantai.
3) Bermain game untuk mengisi waktu.
Motif-motif ini berperan dalam menentukan lama seseorang bermain online game , sehingga pemain yang menujukkan motivasi yang tinggi
dalam bermain akan menggunakan waktu yang lebih lama untuk bermain game yang selanjutnya dapat menuju ke arah tanda-tanda kecanduan (Young, 2006).
2. Kecanduan Online Game
Kecanduan berasal dari bahasa Latin yaitu addicere, yang berarti untuk menjatuhkan atau memvonis (Carlson, 2005). Dahulu istilah kecanduan atau addiction hanya terbatas pada penggunaan obat-obatan psikoaktif, sehingga pada tahun 1964 World Health Organization (WHO) mengganti konsep kecanduan menjadi ketergantungan (dependence), karena istilah ketergantungan bisa digunakan secara umum tidak hanya mengacu pada penggunaan obat-obatan psikoaktif tapi juga berkaitan dengan unsur fisik dan psikis sesorang.
Schwausch dan Chung (2005) mendefinisikan kecanduan dalam dua kategori yaitu kegagalan yang berulang-ulang dalam mengontrol suatu perilaku dan berlanjutnya suatu perilaku yang berulang-ulang walaupun menimbulkan dampak yang negatif.
Istilah Online Game Addiction (kecanduan online game) dicetuskan pertama kali oleh Goldberg pada tahun 1995 sebagai perpanjangan dari Internet Addiction (kecanduan internet). Istilah Internet Addiction mulanya digunakan untuk menggambarkan penggunaan Internet yang berlebihan pada kehidupan pribadi. Sama halnya dengan penyalahgunaan obat-obatan psikoaktif, kecanduan tersebut dapat merusak fisik maupun emosional penggunanya (Goldberg, 1996).
Seseorang yang sudah mengalami kecanduan baik itu terhadap internet maupun online game akan lebih menyukai kehidupan online di dalam dunia virtual dan mulai melalaikan kehidupan di sekitarnya (Howard & Jacob, 2009: Lee, 2007). Brian dan Hastings (2005) mengungkapkan bahwa seseorang yang mengalami kecanduan online game akan merasa cemas dan depresi ketika tidak sedang memainkannya. Selain itu dari hasil penelitian Hussain (dalam Achab et al, 2011) didapatkan bahwa semakin seseorang kecanduan online game maka akan lebih merasa cemas dan menjadi mudah marah (irritable) dibandingkan merasa senang. Selain itu, dari hasil berbagai penelitian didapatkan bahwa seorang pecandu memiliki kadar serotonin yang rendah. Hal inilah yang dapat mengarahkan seorang pecandu pada kejadian cemas maupun depresi (Jairam, 2009)
Ditinjau dari waktu yang digunakkan dalam bermain game, seseorang dinyatakan mengalami kecanduan online game jika rata-rata bermain online Ditinjau dari waktu yang digunakkan dalam bermain game, seseorang dinyatakan mengalami kecanduan online game jika rata-rata bermain online
Menurut Griffiths (2005) terdapat enam komponen yang dapat menentukan apakah individu sudah digolongkan sebagai pecandu internet. Komponen itu adalah sebagai berikut:
a. Salience
Hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran sehingga individu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berpikir mengenai internet (pre-okupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh), dan tingkah laku (kemunduran dalam perilaku sosial).
b. Mood modification
Keterlibatan yang tinggi saat menggunakan internet. Dimana perasaan senang dan tenang (seperti menghilangkan stres) saat perilaku kecanduan itu muncul.
c. Tolerance
Hal ini merupakan proses dimana terjadinya peningkatan jumlah penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood. Demi mencapai kepuasan, jumlah penggunaan internet meningkat secara mencolok. Kepuasaan yang diperoleh dalam menggunakan internet secara terus-menerus dalam jumlah waktu yang sama akan menurun Hal ini merupakan proses dimana terjadinya peningkatan jumlah penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood. Demi mencapai kepuasan, jumlah penggunaan internet meningkat secara mencolok. Kepuasaan yang diperoleh dalam menggunakan internet secara terus-menerus dalam jumlah waktu yang sama akan menurun
d. Withdrawal symptoms
Hal ini merupakan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau tidak dilanjutkan dan berpengaruh pada fisik (seperti pusing, insomnia) atau psikologis seseorang (misalnya, cemas, mudah marah atau moodiness).
e. Conflict
Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dalam tugas lainnya (pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri (konflik intrafisik atau merasa kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak menghabiskan waktu bermain internet.
f. Relapse Hal ini merupakan dimana orang sebelum sembuh dari perilaku
kecanduannya sudah mengulangi kembali kebiasaannya.
Dr Kimberly Young menyusun 8 pertanyaan untuk mengidentifikasi apakah seseorang itu mengalami kecanduan online game atau tidak. Pertanyaan- pertanyaan tersebut adalah :
a. Apakah jumlah waktu yang anda gunakan dalam bermain online game terus bertambah hingga anda mencapai kepuasan?
b. Apakah anda memikirkan kapan anda akan bermain online game saat anda sedang offline?
c. Apakah anda berbohong kepada teman dan anggota keluarga untuk menyembunyikan sejauh mana aktivitas online game anda?
d. Apakah anda merasa gelisah atau marah ketika mencoba untuk mengurangi atau menghentikan perilaku bermain online game?
e. Apakah anda berusaha mengulangi usaha anda yang tidak berhasil untuk mengontrol, mengurangi, dan menghentikan bermain online game?
f. Apakah anda menggunakan game sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau mengurangi perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, kecemasan, atau depresi?
g. Apakah hubungan anda dengan orang lain terancam karena kebiasaan bermain online game anda?
h. Apakah anda terancam dalam hal pekerjaan, pendidikan, atau peluang karir karena kebiasaan online game anda?
Berdasarkan delapan pertanyaan di atas, seseorang dikategorikan sebagai pecandu game online jika menjawab “ya” pada lima pertanyaan atau lebih (Young, 2006).
3. L-MMPI (Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory)
L-MMPI adalah skala validitas yang berfungsi mengidentifikasi hasil yang mungkin invalid atau ketidakjujuran subjek penelitian (Azwar, 2009). Tes ini pertama-tama dikembangkan oleh Strake Hathway dan J.C McKinley pada tahun 1930-an dan dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1940.
Skala L-MMPI berisi 15 butir pertanyaan untuk dijawab responden dengan “ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI sesuai dengan perasaan dan keadaan responden, dan “tidak” bila tidak sesuai dengan perasaan dan keadaan responden (Semiun, 2010). Skor ≥ 10 menandakan subjek berusaha menampakkan diri sebaik mungkin di hadapan orang lain dan menyembunyian kekurangan dirinya. Hal ini menyebabkan responden mengisi L-MMPI dengan tidak jujur. Nilai batas skala adalah 10. Hal itu berarti responden menjawab “tidak” sebanyak ≥ 10. Dalam hal ini data responden dinyatakan invalid (Semiun, 2010).
4. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)
Kuesioner TMAS adalah instrument pengukur kecemasan. Kuesioner TMAS berisi 50 butir pertanyaan yang dapat dijawab responden dengan Kuesioner TMAS adalah instrument pengukur kecemasan. Kuesioner TMAS berisi 50 butir pertanyaan yang dapat dijawab responden dengan
Jawaban dari pernyataan-pernyataan tersebut harus memperhatikan hal- hal berikut :
a. Butir-butir pernyataan yang sesuai untuk kecemasan atau favourable , yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21,
46, 47, 48, dan 49 (35 butir)
b. Butir-butir pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan atau unfavourable , yaitu 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44, dan 50 (15 butir). (Sudiyanto, 2003)
Pernyataan favourable yang dijawab dengan jawaban “ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai 0. Sedangkan pernyataan unfavourable yang dijawab dengan “ya” diberi nilai 0 dan jawaban “tidak” diberi nilai 1. Jumlah skor TMAS < 21 dinyatakan tidak cemas dan skor TMAS ≥ 21 dinyatakan cemas (Azwar, 2009).
5. Kuesioner Kecanduan Online Game
Dr. Kimberly Young menyusun kriteria mengenai kecanduan game online . kriteria ini terdiri dari 8 pertanyaan dengan pilihan jawaban “ya” dan
“tidak”. Responden dikatakan mengalami kecanduan online game apabila menjawab “ya” pada lima pertanyaan atau lebih.
6. Instrumen Keintiman Keluarga (IKK)
IKK adalah daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui kedekatan hubungan responden dengan orangtuanya. Instrumen ini terdiri dari 12 pertanyaan dengan 5 pilihan jawaban. Derajat keintiman kelurga dinilai dari rumus :
skor tertinggi + skor terendah
Responden dikatakan memiliki derajat keintiman keluarga yang rendah jika skornya kurang dari rata-rata, dan sebaliknya responden dikatakan memiliki derajat keintiman keluarga yang tinggi jika skornya lebih dari rata- rata (Sudiyanto dkk, 1992).
B. Kerangka Pemikiran
Remaja
Motif Kognitif
Motif Personal
Integrative Motif
Afektif Motif Social
Kecanduan online game
Sailence
Mood Modification
Teori Prilaku
Teori Pembelajaran
Teori Konflik
Psikososial
Biologis
Teori Psikoanalitik
Teori Interpersonal
Sistem saraf otonom
Neurotransmiter
Kecemasan
Keintiman Keluarga
C. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah: terdapat hubungan antara kecanduan online game dengan kecemasan pada remaja pengunjung game centre di Wilayah Jebres, Surakarta.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional (Nursalam, 2008).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di sejumlah game centre di Kelurahan Jebres pada bulan Maret sampai April 2012.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah remaja pengunjung game centre di Kelurahan Jebres, dengan kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi
a. Remaja (usia 12-21 tahun) pengunjung game centre wilayah Jebres.
b. Telah memainkan online game secara berkesinambungan minimal selama tiga bulan.
c. Bersedia mengisi formulir pribadi dan kuesioner
2. Kriteria Eksklusi
a. Tidak melengkapi formulir dan kuesioner secara lengkap.
b. Skor LMMPI ≥ 10.
c. Menderita penyakit fisik berat atau gangguan jiwa berat
d. Mengalami kematian anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir
D. Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan analisis multivariat untuk mengontrol pengaruh faktor perancu (confounding factor) yang dapat menurunkan validitas penelitian. Rasio yang dianjurkan antara ukuran sampel dan jumlah variabel independen (Murti, 2010).
n : jumlah sampel
Penelitian ini menggunakan dua variabel independen yaitu kecanduan game online dan keintiman keluarga. Dengan demikian sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebesar 30 hingga 40 subyek.
E. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dimulai dengan pengisian formulir biodata dan kuesioner oleh remaja pengunjung game centre di Kelurahan Jebres, kemudian dari sampel tersebut dilakukan Purposive Sampling. Purposive Sampling merupakan pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya ( kriteria inklusi ) (Hariwijaya, 2007).
Peneliti menggunakan tes L-MMPI untuk menghindari penghitungan hasil yang invalid karena ketidakjujuran responden dalam pengisian kuesioner. Tes L- MMPI terdiri dari 15 soal dengan jawaban “ya” atau “tidak” atau “tidak
n= 15 hingga 20 subyek per variabel independen
menjawab” dengan nilai batas skala adalah 10, artinya bila nilai responden ≥10 maka jawaban tersebut dikatakan invalid
F. Identifikasi Variabel
Variabel bebas : Remaja pecandu game online Variabel terikat : Kecemasan Variabel perancu : Keintiman keluarga
G. Definisi Operasional
1. Variabel bebas : Remaja pecandu online game Remaja pecandu online game adalah remaja yang memenuhi kriteria kecanduan online game beradasarkan kuesioner dari Dr Kimberly Young (Young, 2006). Angka kecanduan diukur dengan skor 1-8. Variabel ini mempunyai skala interval.
2. Variabel terikat : Kecemasan Kecemasan diukur dengan kuesioner TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) . Responden dikatakan cemas jika skor TMAS ≥ 21 dan tidak cemas
jika skor TMAS < 21 (Azwar, 2009). Variabel ini mempunyai skala nominal.
3. Variabel Perancu:Keintiman keluarga Keintiman keluarga diukur dengan Instrumen Keintiman Keluarga (IKK). Keintiman keluarga tinggi jika skornya lebih dari nilai rata-rata dan keintiman keluarga rendah jika skornya di bawah nilai rata-rata (Sudiyanto dkk, 1992).
Variabel ini mempunyai skala ordinal.
H. Instrumen Penelitian
Instrument yang dibutuhkan antara lain:
1. Biodata dan Informed Consent
2. Kuesioner L-MMPI
3. Kuesioner Kecanduan Online Game
4. Kuesioner TMAS
5. Kuesioner IKK
I. Rancangan Penelitian
Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian
Analisis data
Remaja Pengunjung Game Centre
Wilayah Jebres
Purposive sampling
Formulir biodata, kuisoner L-MMPI
Kuesioner Kecanduan
Online Game
TMAS
Instrumen Keintiman Keluarga
J. Cara Kerja
1 Peneliti mencari responden di sejumlah Game Centre yang berada di Wilayah Jebres dan meminta ijin untuk penelitian.
2 Peneliti meminta responden untuk bersedia mengisi data dan kuesioner untuk penelitian (dengan informed consent)
3 Responden mengisi formulir biodata, kuesioner L-MMPI, kuesioner TMAS, kuesioner online game addiction dan IKK
4 Memilih Responden yang memenuhi kriteria inklusi untuk dijadikan sampel penelitian.
5 Melakukan uji statistik dari hasil kuesioner kecanduan online game, TMAS dan IKK.
6 Menganalisis hasil uji statistik untuk mengetahui adakah hubungan antara skala kecanduan online game dengan kecemasan pada remaja di Kelurahan Jebres, Surakarta.
K. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multivariat yaitu model analisis regresi logistik ganda menggunakan program Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 17.0 for windows. Analisis regresi logistik adalah salah satu bentuk analisis data dengan menggunakan teknik regresi yang dapat diaplikasikan ketika ingin mengetahui hubungan antara variabel terikat (kecemasan) dengan satu atau lebih variabel bebas (kecanduan Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multivariat yaitu model analisis regresi logistik ganda menggunakan program Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 17.0 for windows. Analisis regresi logistik adalah salah satu bentuk analisis data dengan menggunakan teknik regresi yang dapat diaplikasikan ketika ingin mengetahui hubungan antara variabel terikat (kecemasan) dengan satu atau lebih variabel bebas (kecanduan
Persamaan model analisis regresi linear berganda adalah:
Keterangan:
= probabilitas untuk terjadinya kecemasan
1-p
= probabilitas untuk tidak terjadinya kecemasan x 1 = kecanduan game online( skor: 1-8) x 2 = keintiman keluarga ( 0: Ya, 1: Tidak)
b 1 = koefisien regresi online game
b 2 = koefisien regresi keintiman keluarga.
a = konstan adalah perkiraan besarnya rata-rata variabel p ketika nilai variabel x 1 = 0. Dengan kata lain, meskipun tanpa pengaruh suatu variabel independen, variabel p sudah memiliki suatu nilai tertentu yang konstan sifatnya.
Analisis regresi logistik ganda ini merupakan alat statistik yang sangat kuat untuk menganalisis hubungan antara paparan (kecanduan online game) dan efek (kecemasan) dengan mengendalikan pengaruh sejumlah faktor perancu potensial (keintiman keluarga). Dengan menggunakan analisis regresi
雘 =a+b 1 x 1 +b 2 x 2
logistik berganda diharapkan penelitian akan lebih valid karena telah mengendalikan variabel perancu (Murti, 2010).
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah remaja pemain online game (gamer) usia 12-21 tahun, yang keseluruhannya berjenis kelamin laki-laki, yang bermain di game centre di Wilayah Kelurahan Jebres, Surakarta. Penelitian telah dilakukan pada tanggal 20 Maret-5 Mei 2012 di seluruh game centre di Kelurahan Jebres yang berjumlah 5 game centre. Pada penelitian ini didapatkan 42 gamer sebagai sampel. Dari total sampel yang didapat yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 35 gamer, dan sebanyak 7 gamer tergolong dalam kriteria eksklusi. Sebanyak 35 responden gamer yang memenuhi kriteria inklusi tersebut seluruhnya digunakan sebagai subjek penelitian.
Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan tingkat kecanduan online game
No Skor
Kuesioner
Kecanduan
Kecanduan Online Game Frekuensi
1. 0-4
Kecanduan Rendah
2. 5-8
Kecanduan Tinggi
Jumlah
35 Sumber : Data Primer Mei 2012