PELUANG DAN TANTANGAN dan IAIN

1

DINAMIKA PERGURUAN TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
Analisis Peluang dan Tantangan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) menghadapi Perubahan Sosial
Oleh

Fridiyanto
A.

PENDAHULUAN

1.

Konteks Kajian
Meuleman menyebut IAIN sedang “berada di persimpangan jalan” yaitu

posisi IAIN yang berada pada titik temu antara tradisi ilmu pengetahuan pribumi
dan sejumlah tradisi ilmu asing, antara negara dan masyarakat sipil, serta ilmu
pengetahuan umum dan ilmu agama. IAIN sedang berada dalam berbagai

perubahan sosial yang menuntut IAIN untuk melihat dirinya apakah juga harus
berubah atau tidak.
Saat ini IAIN berada dalam sebuah pergulatan dirinya sendiri dan diri diluar
dirinya. IAIN ada diposisi apakah mempertahankan tradisi kajian ilmu keislaman
dan berhadap-hadapan dengan modernisasi, industrialisasi dan kapitalisasi. Semua
perubahan ditatanan sosial ini membuat IAIN yang merupakan “benteng” ummat
Islam Indonesia ini harus beradapatasi dengan perubhan-perubahan.
Tradisi fakultas yang ada di IAIN biasanya terdapat lima fakultas, yaiu:
Ushuluddin, Tarbiyah, Syari’ah, Da’wah, dan Adab. 1 Pada lima fakultas-fakultas
inilah Islam dalam “makna sempit” dikaji dan dikembangkan di IAIN. Pada
awalnya fakultas-fakultas ini diharapkan mampu menjawab tantangan zaman,

1 Hingga saat ini tidak ada IAIN yang memiliki fakultas di luar fakultas yang disebutkan ini.

2

sehingga IAIN pun dimandatkan harapan sosial yang begitu besar disamping
harapan akademik.
Jika dilhat tujuan pendirian perguruan tinggi Islam setidaknya didorong oleh
tiga tujuan sebagai berikut: Pertama, untuk melakukan pengkajian dan

pengembangan ilmu-ilmu Islam secara lebih tinggi, sistematis, dan terarah;
Kedua, untuk melakukan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam; Ketiga,
untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan berbagai fungsionaris
keagamaan baik pada birokrasi negara, lembaga sosial, dan pendidikan Islam
swasta.2

Tiga mandat IAIN tersebut sering mengalami berbagai benturan,

misalnya

banyaknya

kritik

masyarakat

apakah

IAIN


akan

mampu

mempertahankan diri sebagai lembaga akademik namun disisi yang lain ingin
melakukan dakwah. Banyak pandangan masyarakat bahwa saat ini IAIN lebih
condong kepada pengembangan akademik dan sudah mulai melupakan peran
dakwahnya.
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi IAIN, mulai dari perkembangan
sains dan teknologi, dan tuntutan masyarakat akan perguruan tinggi Islam yang
link and match membuat IAIN terus melakukan berbagai ijtihad, salah satunya
adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan menjadi UIN. Namun
perubahan menjadi UIN ini tidaklah berjalan dengan baik, karena terdapat
pandangan yang akan menghilangkan Islam sebagai core bussiness sebagaimana
yang dilakukan masa IAIN akan hilang dan tidak diminati. IAIN terus menyikapi
perubahan, saat ini Berdasarkan website Diktis terbaru, terdapat 11 Universitas
Islam Negeri, 25 Institut Agama Islam Negeri, dan 19 Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri. Namun tidak tertutup kemungkinan atu persatu IAIN akan hilang.
Berdasarkan konteks masalah di atas, dapat dilihat bahwa IAIN sebagai
perguruan tinggi agama Islam negeri memiliki banyak peluang sekaligus

tantangan. Perlu kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi Islam yang merespon
berbagai perubahan di era saat ini. Sehingga IAIN bisa merespon kebutuhan
2 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta:
Kencana), hlm.170.

3

masyarakat. Makalah ini akan fokus membahas bagaimana IAIN menyikapi
perubahan sosial. Kajian dilakukan berdasaran data-data empiris dan teoritis serta
juga melakukan refleksi refleksi untuk memproyeksikan peluang dan tantangan
IAIN di masa mendatang.
2. Fokus Kajian
Berdasarkan konteks di atas, maka dalam makalah ini akan membahas
beberapa masalah, di antaranya:
a. Apa kritik masyarakat terhadap IAIN?
b. Bagaimana harapan masyarakat terhadap IAIN?
c. Apa pilihan alternatif untuk membenahi dan meningkatkan kualitas
IAIN?
d. Saran-saran, langkah operasional dan jawaban IAIN terhadap kritik
masyarakat.

e. Kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan untuk pencerahan IAIN.
B. PEMBAHASAN

1. Kritik Masyarakat terhadap IAIN
Poin-poin berikut adalah beberapa kritik masyarakat terhadap IAIN yang
paling sering muncul kepermukaan.
a. Alumni IAIN masih dianggap Sarjana “Kelas Dua”
Bukan hal yang aneh, ketika dalam pasar kerja, alumni IAIN sering dianggap
menjadi Warga Kelas 2. Selagi masih ada universitas negeri, dunia kerja lebih
memilih alumni dari universitas negeri. Berikutnya dunia kerja melirik universitas
swasta yang dianggap berkualitas, kemudian dunia kerja memantau alumnialumni universitas swasta yang walau tidaklah terlampau berkualitas. Posisi
alumni IAIN berada di kelas dua, atau yang paling terakhir, itu pun kalau tersedia
lowongan atau formasi yang dibutuhkan perusahaan atau instansi. Masyarakat
masih memandang rendah alumni IAIN. Dalam banyak catatan para ahli seperti
yang dikemukakan Azyumardi Azra, bahwa di IAIN memang merupakan
kampusnya rakyat desa. Salah satu indikator sederhana dan kasat mata menurut

4

Azra adalah, masih sedikitnya mahasiswa yang menggunakan kendaraan mobil

yang mencerminkan status soial dan ekonomi. Penilaan Azra ini tidaklah
berlebihan, karena pada faktanya IAIN di setiap Provinsi pada umumnya
merupakan tempat berkumpulnya masyarakat asli dalam satu provinsi, misalnya
di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi biasanya akan berkumpul para mahasiswa
yang berasal dari desa-desa yang ada di setiap kabupaten yang ada di Jambi.
begitu juga yang terjadi pada IAIN di provinsi lain, misalnya di IAIN Sumatera
Utara (sekarang UIN SU) hampir dapat dikatakan bahwa mahasiswanya berasal
dari kawasan Mandailing Natal. Hingga kemudian sering dikenal sindiran bahwa
IAIN merupakan kampusnya orang desa. Namun sebenarnya disinilah letak
keunggulan IAIN yang telah memberikan kontribusi besar terhadap modernisasi
masyarakat desa.
b. Sarjana IAIN dianggap hanya siap bekerja di Departemen Agama
(Kementrian Agama)
Azyumardi Azra pernah mengkritik bahwa IAIN masih berfungsi sebagai
wadah pembinaan “calon pegawai” dan “guru.” IAIN lebih berfungsi sebagai
training center daripada center of learning and research. IAIN belum berperan
penuh sebagai pusat penelitian dan pengembangan pembaharuan dan pemikiran
Islam.3 Kritik Azra ini bukanlah tanpa dasar, karena pada awalnya IAIN memang
didirikan sebagai pusat pelatihan pegawai Departemen Agama. Sebagaimana yang
dicantumkan dalam tujuan pendirian ADIA (embrio IAIN Jakarta) berikut.

“Untuk mempertinggi mutu tenaga guru jang berwenang untuk mengadjarkan
agama pada sekolah2 Landjutan Atas maka mulai 1 Mei 1957 (tahun adjaran
1957/58) dengan penetapan Mentri Agama tanggal 1 Djanuari 1957 No.1 telah
dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama (A.D.I.A) dengan 2 djurusan
Bahasa/Sastera Arab, jang sekarang telah mentjapai tingkatan tahun kedua
dengan 80 orang mahasiswa. Siswa2 tersebut. Diambil dari guru2 lulusan
S.G.H.A dan P.G.A.A jang telah berpraktek sekurangnja 2 tahun dan lulus
udjian masuk....”4

3 Karel Steenbrink,Pesantren, hlm. 167.
4 D.P. Sati Alimin (red.), Almanak Djawatan Pendidikan Agama 1959, (Djakarta: Penerbit Sinta
1958) diterbitkan oleh Djawatan Pendidikan Agama Kementrian Agama RI,hlm.146.

5

Kutipan di atas mempertegas bahwa pada awalnya IAIN memang
dipersiapkan sebagai pusat pelatihan pegawai departemen agama. Namun dalam
perkembangannya spirit training center ini terus berlangsung hingga IAIN
semakin berkembang ke seluruh Indonesia.
Marjinalisasi alumni IAIN menjadi warga kelas dua ini telah membuat mental

alumni IAIN menjadi inferior, tidak percaya diri dan semakin khawatir
menghadapi realitas kembali ke masyarakat setelah menjadi Sarjana IAIN.
Inferioritas alumni IAIN ini terus berlangsung bertahun-tahun. Sampai-sampai di
masyarakat sudah menjadi branding dan hanya mengetahui bahwa alumni IAIN
adalah tukang dakwah dan tukang do’a, walau pun misalnya Sarjana IAIN
tersebut adalah alumni Fakultas Tarbiyah Jurusan Tadris di Program Studi Bahasa
Inggris. Alumni IAIN semakin berat menghadapi persaingan dengan universitas
yang semakin berkembang dan canggih. Bahkan bisa dikatakan alumni IAIN
seperti tidak bisa keluar dari kerja-kerja yang berada di bawah Departemen
Agama, misalnya Pesantren, Madrasah, Kantor Urusan Agama.
c. Sarjana IAIN Tidak Menguasai Ilmu Agama (Islam)
Salah satu kritik masyarakat terhadap alumni IAIN adalah tidak begitu banyak
alumni IAIN yang benar-benar mampu dihandalkan dalam memasyarakatkan
(mendakwahkan) Islam sebagaimana yang menjadi kebutuhan kongkrit di
masyarakat. Salah satu penyebab degradasi kemampuan ilmu keislaman ini salah
satu faktornya adalah proses penyeleksian yang tidak ketat dan sesuai minat
mahasiswa. Saat ini banyak mahasiswa IAIN yang tidak memiliki kecakapan
bahasa Arab dan dasar-dasar kajian keislaman yang masuk di Fakultas Syari’ah,
Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Dakwah yang sebenarnya menuntut
mahasiswa telah memiliki dasar yang mungkin dipelajari di pesantren.

IAIN pada dasarnya memiliki permasalahan internal, diantaranya: Raw input,
tenaga pengajar, output, proses belajar mengajar, dan Kurikulum.5 IAIN memiliki
5 Haidar Putra Daulay, IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidikan
Islam, dalam Syahrin Harahap (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi (Yogyakarta: Suka
Press dan Ar-Ruzz,2005), hlm. 119.

6

permasalahan dalam hal mahasiswa yang memilih kuliah di IAIN, terutama bagi
mahasiswa yang berasal dari SMA yang tidak memiliki kemampuan Bahasa
Arab6, sementara Bahasa Arab adalah ilmu alat terpenting untuk mengkaji
khasanah Islam. Fenomena degradasi peran Bahasa Arab, hingga saat ini masih
menjadi masalah di seluruh IAIN ataupun UIN.
Karena lemahnya raw input alumni IAIN membuat terjadi penurunan kualitas
alumni IAIN khususnya sebagaimana yang dibutuhkan masyarakat seperti: khotib,
penceramah, Imam, dan berbagai praktik ibadah yang membutuhkan seorang ahli
yang tidak bisa diharapkan dari alumni IAIN. Hal ini membuat masyarakat
menjadi menurun kepercayaannya kepada IAIN bahwa merupakan sebuah
lembaga yang paling punya otoritas dalam mempersiapkan ulama.
d. Stigma Liberalisme, Pluralisme, dan Sekulerisme

Semakin berkembangnya kajian Islam dalam berbagai aspek kajian, ternyata
telah membuat jarak antara pandangan publik dengan para akademisi di IAIN.
Walau masyarakat akademik di IAIN memandang bahwa kebebasan akademik
telah dijamin oleh undang-undang, namun tidak begitu yang dipahami masyarakat
yang belum siap menerima pandangan-pandangan baru para akademisi dari IAIN.
Masyarakat memandang bahwa IAIN tidak bisa lagi dihandalkan sebagai lembaga
akademik kum lembaga dakwah, karena menurut publik bahwa saat ini IAIN telah
terkontaminasi oleh liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme yang merupakan ciri
khas Barat.
Banyaknya karya-karya yang dikeluarkan oleh para pemikir di IAIN, sebut
saja misalnya Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, benar-benar
6 Johan Meuleman mengatakan bahwa ketidakmampuan calon mahasiswa dalam ilmu alat,
khususnya Bahasa Arab, membuat mahasiswa yang ingin studi di IAIN lebih memilih Fakultas
Tarbiyah. Fakultas Tarbiyah dianggap lebih praktis dan jauh dari mata kuliah yang sangat teoritis
dan rumit sebagaimana di fakultas-fakultas non Tarbiyah. Dengan tidak adanya tuntutan
sebagaimana di fakultas lainnya untuk cakap berbahasa Arab (terkecuali Jurusan Bahasa Arab),
membuat Fakultas Tarbiyah sangat diminati, dikarenakan praktis dan gampang dapat kerja, karena
banyaknya dibutuhkan tenaga guru. Lihat Meuleman, The Institut Agama Islam Negeri at the
Crossroads: Some Notes on the Indonesian State Institute for Islamic Studies, dalam Johan
Meulman(ed.), Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes towards Modernity and

Identity (Nw York: RoutledgeCruzon, 2002), hlm. 218.

7

telah menggemparkan masyarakat Islam walapun disisi lain kedua tokoh pemikir
asal IAIN ini telah membuka keran modernisasi lembaga pendidikan Islam dalam
hal ini IAIN. Pandangan dua tokoh intelektual asal IAIN ini dianggap terlampau
liberal, sehingga sangat sulit untuk diterima masyarakat. Masyarakat memandang
bahwa kajian-kajian yang berkembang hampir di seluruh IAIN saat ini telah
bukan lagi mengkaji Islam secara obyektif, namun telah mengikuti arus pemikiran
Barat. Pandangan-pandangan stigma negatif mengenai IAIN saat ini membuat apa
saja yang menjadi produk IAIN mendapatkan stempel liberal bahkan sekuler,
tentu menjadi sangat ironis ketika perguruan tinggi Islam telah dianggap menjadi
pusat sekulerisasi.
Jika pada awalnya IAIN bertugas menyiapkan penafsiran ajaran Islam untuk
disampaikan ke masyarakat dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami.
Maka saat ini masyarakat merasa asing bahkan gerah terhadap kajian-kajian yang
berkembang di IAIN, yang masyarakat anggap telah jauh dari misi utama
pendirian IAIN. Sehingga dapat dikatakan bahwa Islam yang dikaji di IAIN
berbedan dengan Islam yang berkembang di masyarakat. Permasalahan ini
membuat IAIN menjadi menara gading yang hanya terlampau disibukkan dengan
dirinya sendiri, namun terasing dari permasalahan masyarakat yang kongkrit.
e. Alumni IAIN dianggap tidak Memiliki Kecakapan Kerja
Dikarenakan

IAIN

merupakan

lembaga

pendidikan

Islam

yang

mengembangkan cabang-cabang keilmuan dari: Ilmu Agama, Ilmu Sosial, dan
Humaniora maka masayarakat berpandangan bahwa sarjana IAIN tidak memiliki
kecakapan teknis dan hal-hal yang bersifat teknologi. Di era industrialisasi dan
komputerisasi ini membuat masyarakat sangat pragmatis

dalam memandang

dunia kerja. Bagi masyarakat bahwa mereka menempuh pendidikan harus mampu
sebagai bekal hidup kelak, yaitu bekal kecakapan teknis. Tidak seperti yang
dikembangkan di IAIN pada masa awal pendiriannya dan masih berlangsung saat
ini yang masih sangat fokus pada kajian sosial, filsafat dan permasalahan teologis

8

yang dianggap masyarakat tidak aplikatif di dunia kerja. Sehingga tidak jarang
masyarakat memandang bahwa sarjana IAIN tidak lebih dari seorang tukang do’a.
f. Sulitnya Alumni IAIN memperoleh Kerja
Kutipan yang diambil Karel A.Steenbrink dari M.C. Ibrahim yang terbit dalam
Abadi tanggal 17 Januari 1971 berikut masih sangat relevan untuk
menggambarkan kondisi alumni IAIN dalam memperoleh kerja yang masih
terjadi hingga saat ini.
“Suatu hal yang tragis yang dewasa ini diderita oleh anak-anak didik kalangan
Islam Indonesia, adalah belum dapat diperolehnya lapangan kehidupan di luar
keagamaan setelah mereka ini berhasil menyelesaikan pendidikannya dari
sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pesantren maupun perguruan
tingginya.”7
Apa yang disampaikan Ibrahim 44 tahun lalu, hingga saat ini (2015) masih
merupakan kegelisahan mahasiswa IAIN yang sedang studi maupun alumni IAIN.
Dalam pengalaman empiris penulis sebagai pengajar di IAIN, proyeksi pekerjaan
setelah selesai kuliah di IAIN sering membuat mahasiswa menjadi “limbung”
dalam menyelesaikan studinya. Bahkan tidak jarang motivasi belajar mereka
menurun. Dalam beberapa kasus yang penulis temui terdapat mahasiswa yang
tidak mempunyai alasan kuat untuk apa mereka studi di IAIN dan mengapa
mereka harus memilih proram studi yang sedang ditempuh.8
g. IAIN yang tidak Mencerminkan Islam
Kritik keras masyarakat terhadap IAIN adalah masih jauhnya “panggang dari
api” yaitu kelembagaan pendidikan Islam dengan aplikasi yang Islami. Kritik ini
bisa dilihat dalam berbagai sudut pandang, misalnya: kondisi kampus IAIN, dan
perilaku sivitas akademika.

7 M.C.Ibrahim dalam Abadi 17-1-1971 sebagaimana dikutip dari Karel A.Steenbrink, Pesantren,
hlm. 215.
8 Dalam beberapa wawancara yang dilakukan kepada mahasiswa IAIN, bahwa mereka kuliah
IAIN dikarenakan tidak lulus tes masuk perguruan tinggi umum. Sehingga memilih kuliah di IAIN
adalah pilihan dengan sebuah sikap “daripada menganggur”.

9

Jika dilihat dilihat dari sudut pandang kondisi kampus IAIN, hingga saat ini
IAIN masih terkesan sebagai kampus yang kumuh dan tidak mencerminkan Islam.
Tidak jarang masyarakat yang masuk ke dalam kampus IAIN mengkritik kondisikondisi toilet yang tidak terawat, kotor dan sangat jauh dari apa yang dikatakan
dalam hadits Nabi “kebersihan sebagian dari iman”. Tidak hanya kondisi toilet,
jika masyarakat masuk ke ruang-ruang kerja apakah itu tata usaha, ruang dosen,
atau pun ruang belajar, kampus IAIN belum memenuhi harapan masayarakat yang
sangat ideal. Tidak jarang ruang tata usaha, ruang dosen, dan ruang belajar sangat
tidak tertata rapi dan berantakan. Hal ini semakin mengesankan bahwa IAIN
merupakan kampus marjinal.
Sedangkan permasalahan perilaku dan moral, sivitas akademika IAIN
menyandang beban moral yang sangat berat karena menyandang nama Islam.
Olehkarena itu sedikit saja perilaku sivitas akademika apakah itu yang terjadi di
kampus atau pun di luar kampus akan menciptakan citra negatif bagi IAIN secara
kelembagaan yang berdampak secara nasional. Banyak peristiwa yang berkenaan
dengan akhlak dan moralitas yang dilakukan oleh oknum namun berdampak
secara kelembagaan, misalnya korupsi, dan perilaku amoral. Terdapat kejadiankejadian yang mengejutkan publik, misalnya pernah terjadi di IAIN Sunan Ampel
Surabaya dimana mahasiswanya membuat pernyataan yang menggemparkan
ketika masa orientasi mahasiswa, “Tuhan Membusuk.” Peristiwa ini diliput
banyak media dan menggemparkan masyarakat Indonesia yang masih sangat
relegius. Peristiwa seperti ini mencitrakan negatif IAIN secara institusional.

2. Harapan Masyarakat terhadap IAIN
a. IAIN Melahirkan Pemimpin-pemimpin Islam
Masyarakat Muslim sangat mengharapkan dari IAIN muncul pemimpinpemimpin Islam dan para ulama terkemuka. Menurut Azyumardi Azra IAIN telah
memberikan kontribusi menciptakan kalangan menengah atas baru dikalangan
masyarakat Islam. IAIN pada awalnya banyak menciptakan tokoh-tokoh
tradisional (pemimpin agama) namun seiring perkembangan IAIN tidak hanya

10

berhasil

mempersiapkan

pemimpin

agama,

namun

juga

telah

sukses

mempersiapkan pemimpin politik, pejabat negara. Sehingga IAIN telah banyak
berkontribusi dalam mendinamisir kehidupan soisal politik.
b. IAIN sebagai Lembaga Akademik dan Lembaga Dakwah
Harapan masyarakat Muslim sangatlah besar terhadap IAIN. Masyarakat
menginginkan IAIN menjadi lembaga yang tidak hanya sebagai lembaga
akademik namun juga harus mampu menjadi lembaga dakwah dan pusat syiar
Islam.
Kehadiran IAIN merupakan harapan ummat Islam Indonesia untuk
memajukan ajaran-ajaran Islam di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka dari
masa penjajahan yang begitu lama, ummat Islam Indonesia mengalami
keterbelakangan

dan

mengalami

disintegrasi

dalam

kehidupan

sosial

kemasyarakatan.9 Pada awal pendirian IAIN ummat Islam behadap-hadapan
dengan “cendikiawan sekuler” hasil didikan Barat yang sangat terlatih berpikiran
rasional ala Barat. Sehingga kaum intelektual didikan Barat ini menjadi terasing
dari ajaran Islam, yang notabene merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Dengan keberadaan IAIN maka masyarakat mengharapkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi selaras degan dakwah Islam.
Besarnya harapan masyarakat akan munculnya ulama-ulama baru yang
dilahirkan dari IAIN membuat masyarakat menginginkan IAIN untuk tetap dalam
khittah perjuangannya yaitu sebagai lembaga akademik dan lembaga dakwah.
Olehkarena itu masyarakat sangat menginginkan kajian Islam yang berkembang di
IAIN jangan sampai mengabaikan ilmu-ilmu dan keterampilan yang dibutuhkan
bagi serang ulama kelak ketika mereka kembali ke masyarakat.
c. Adanya Perubahan Revolusioner di IAIN
Azyumardi Azra mengemukakan dua alasan mengapa IAIN harus berubah
menjadi UIN. Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia
9 Haidar Putra Daulay, hlm. 159.

11

akademik, birokrasi, dan masyarakat secara keseluruhan. IAIN masih dikenal
dengan orientasi dakwahnya, daripada mengembangkan ilmu pengetahuan.
Kedua, kurikulum IAIN belum merespon perkembangan ipteks dan perubahan
masyarakat yang semakin kompleks. Kajian agama yang normatif kurang
mengalami interaksi dengan ilmu lain bahkan terdikotomi. 10 Azra melanjutkan
keinginan Prof. Dr. Harun Nasution dan Prof. Dr. M. Quraish Shihab untuk
berubah menjadi UIN. Hingga pada masa Azra IAIN Jakarta menjadi UIN, di
Yogyakarta masa kepemimpinan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, dan di Malang
dimasa kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo. Pada perkembangannya tiga
UIN ini telah menjadi model bagi perubahan IAIN yang ingin menjadi UIN.
Ahmad Tafsir mengemukakan enam alasan mengapa IAIN harus berubah
menjadi UIN, sebagai berikut.
a. Kita memerlukan pemikir yang mampu berpikir komprehensif.
b. Ilmu agama memerlukan ilmu umum.
c. Meningkatkan harga diri Sarjana dan Mahasiswa Muslim.
d. Menghilangkan paham dikotomi Agama-Umum
e. Memenuhi harapan masyarakat muslim
f. Memenuhi kebutuhan lapangan kerja.11
Dalam

poin

kelima,

dapat

dilihat

bagaimana

masyarakat

Muslim

menginginkan adanya perubahan kelembagaan IAIN menjadi UIN untuk dapat
mengejar ketertinggalan dari perguruan tinggi umum.

3. Pilihan Alternatif untuk Membenahi dan Meningkatkan
Daya Saing IAIN

10 Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru. Makalah, tanpa tahun tanpa tanggal
11 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan
Manusia. Bandung, 2010, hlm. 208-210.

12

Dalam pilihan alternatif ini, penulis mengemukakan tiga alternatif pilihan
untuk IAIN menghadapi tantangan dan perubahan sosial, yaitu: Perubahan
menjadi UIN, Penambahan fakultas, dan Mempertahankan IAIN.
a. Perubahan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)
Ide awal perubahan IAIN menjadi UIN dimulai ketika Prof. Dr. Harun
Nasution melihat bahwa IAIN sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan zaman.
Telah banyak terjadi perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, pola kerja, dan sebagainya. 12 Harun Nasution
berpandangan bahwa alumni IAIN di era yang serba modern menuntut sarjana
yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, inovatif, kreatif,
progresif, demokratis, ulet, jerja keras, menghargai waktu, visioner, dan dinamis. 13
Atas tuntutan zaman itulah mulai muncul gagasan perubahan IAIN menjadi
universitas, dan berbagai kegiatan seminar, studi banding ke berbagai negara.
Transformasi menjadi Universitas Islam Negeri adalah salah satu pilihan
alternatif yang paling diminati hampir di setiap IAIN/STAIN yang ada di seluruh
Indonesia. Perubahan menjadi UIN dianggap cara yang paling efektif untuk
menjawab kritik dan kebutuhan masyarakat terhadap alumni perguruan tinggi
Islam. Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam sebuah perkuliahan Manajemen
Perguruan Tinggi Islam bahwa pada saat ini tidak ada IAIN dan STAIN yang tidak
ingin berubah menjadi UIN.
Pendidikan Islam tidak sepenuhnya bisa menghindar dari perubahan. Dalam
bahasa pesantren perubahan berkelanjutan “al-muhafadhah alal qadim ash-shalih
wal alhdzu bil jadid al-ashlah.” Institusi pendidikan Islam akan terus melakukan
perubahan dan adopsi inovasi tetapi tetap mempertahankan tradisi yang baik dan
bermanfaat.14 Gagasan transformasi IAIN menjadi UIN dilatarbelakangi

12 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2005), hlm.399.
13 Abuddin Nata,Tokoh, hlm. 399.
14 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas
(Jakarta: RajaGrafindo, 2013), hlm.182.

13

ketidakpuasan terhadap perguruan tinggi Islam umumnya dan IAIN khususnya. 15
Abuddin Natta mengemukakan lima faktor mengapa IAIN menjadi UIN, sebagai
berikut: Pertama, adanya perubahan jenis pendidikan pada Madrasah Aliyah yang
telah menjadi sekolah umum; Kedua, adanya dikotomi ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum; Ketiga, perubahan menjadi UIN akan membuka peluang bagi
alumni di lapangan kerja yang lebih luas; Keempat, perubahan menjadi UIN
memberi ruang bagi alumni IAIN melakukan mobilitas vertikal, bervariasi dan
bergengsi;

Kelima,

ummat

Islam

menghendaki

adanya

pelayanan

penyelenggaraan pendidikan yang profesional berkualitas tinggi dan menawarkan
banyak pilihan.
Dengan perubahan menjadi UIN harapan publik akan pendidikan tinggi Islam
yang menjadi pusat dakwah sekaligus lembaga akademi bisa diwujudkan. Selain
itu transformasi menjadi UIN akan membuka peluang kerja lebih luas di berbagai
depertemen.16
Perempatan pertama tahun 1998, gagasan mentransformasi IAIN menjadi UIN
telah disampaikan pada masa Dr. Tarmizi Taher menjadi Mentri Agama RI pada
tahun 1993. Tiga IAIN: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung mengajukan proposal
ke Departemen Agama RI.17 Dalam catatan Ahmad Harris18 menyikapi keinginan
IAIN menjadi universitas, Departemen Agama memberikan tiga opsi berikut: 1)
ingin tetap dalam bentuknya yang sekarang (apa adanya); 2) melakukan
perubahan dalam konteks Wider Mandate19; 3) melakukan perubahan langsung
menjadi UIN. Ahmad Harris menyayangkan ketiga opsi tersebut tidak menjadi
15 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 64.
16 Wisnarni, Pembaruan Sistem Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia: Telaah Konversi IAIN ke
UIN, dalam Samsul Nizar (ed.), Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.352-353.
17 Perta, Vol.II,no.1 Tahun 1998, hlm.75 sebagaimana dalam Zulfa Ahmad, Reformasi Pendidikan
Tinggi Islam melalui Reformasi Kelembagaan, dalam M.Natsir Luts, Reformulasi, hlm.171.
18 Ahmad Harris, Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN menjadi UIN (Universitas
Islam Negeri): Kasus IAIN STS Jambi, dalam M.Natsir Luts, Reformulasi, hlm.106.
19 Wider Mandate atau “Mandat yang diperluas” adalah istlah yang dikembangkan oleh
Departemen Agama dan Depertemen Pendidikan Nasional untuk menyatakan pemberian
kewenangan yang diperluas bagi IAIN/STAIN guna mengembangkan institusinya dari kondisi
yang ada (sekarang).

14

kebijakan resmi tertulis Departemen Agama sehingga tidak tertuang dalam
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Menurut Atho Mudzhar20 pada rencana perubahan IAIN menjadi UIN terdapat
dua pandangan, Pertama, kelompok pendapat yang menginginkan adanya
perubahan revolusioner yang kemudian disusul dengan program studi baru.
Kedua,

pendapat

konservatif

yang

menginginkan

perubahan

dilakukan

belakangan, yang terpenting adalah mempersiapkan perubahan tersebut,
diantaranya mempersiapkan tenaga pengajar untuk program studi baru yang
merupakan embrio, untuk selanjutnya barulah IAIN dirubah menjadi universitas.
Setelah dipelopori oleh IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta yang telah sukses
mentransformasi diri menjadi Universitas Islam Negeri.21 Selanjutnya menyusul
diantaranya: UIN Maliki Malang, UIN Syarief Kasim Pekanbaru, UIN Alauddin
Makassar. Baru-baru ini Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo meresmikan
empat IAIN menjadi UIN, diantaranya: UIN Sumatera Utara, UIN Palembang,
UIN Semarang. Sebelumnya telah lebih dahulu IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
menjadi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Perubahan IAIN menjadi UIN memiliki catatan penting yang termaktub dalam
surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama tanggal 23 Januari 2004,
sebagian kutipannya sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN
Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang,
tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam,
sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan
20 Dalam artikel berjudul Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi, dalam Komaruddin
Hidayat, Problematika, hlm. 69.
21 Perubahan IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga ditandatangani dalam Keputusan
Bersama Mentri Pendidikan dan Mentri Agama Republik Indonesia Nomor: 1/0/SKB/2004;
Nomor: ND/B.V/I/Hk.00.1/058/04 tentang Perubahan Bentuk Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di
Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004. Menurut Amin Abdullah
dalam “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola
Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif Interdisciplinary, dalam Zainal Abidin
Bagir,dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Yogyakarta: Suka Press dan Mizan,
2005), hlm,235, bahwa proses perubahan melalui proses panjang, yang dimulai dari tahun
akademik 1997/1998 bersamaan dengan IAIN Jakarta. Namun IAIN Jakarta lebih dahulu menjadi
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta dengan turunnya Keppres pada tanggal 20 Mei 2002.

15

tugas tambahan.”22 Kutipan surat Mendiknas ini merupakan penegasan, bahwa
IAIN yang telah berubah menjadi UIN tidak boleh meninggalkan mandat
utamanya dalam bidang agama Islam.
IAIN yang memiliki konsep “al-Jami’ah” yang maksudnya adalah di
dalamnya terintegrasi antara kampus dan mesjid, dar al’-ulum dan dar al-hikmah.
Dimana konsekwensinya atas visi tersebut adalah memperluas IAIN tidak hanya
sebagai “institut” dalam arti sempit, tetapi berwawasan “universitas.”23
Selanjutnya Nur Ahmad Fadhil Lubis mengatakan dalam perubahan IAIN bukan
sekedar pertukaran nama dan adanya bangunan fisik, tetapi memperluas visi dan
menghidupkan kembali jiwa serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan tinggi
Islam yang dulunya telah mengantar zaman keemasan Islam.
Perkembangan UIN bukanlah tanpa kritik, M. Atho Mudzhar mengkritik
bahwa transformasi UIN belum menampakkan hasil yang memuaskan, karena
belum menyerap ke dalam perubahan metodologi studi Islam. Program studi yang
ada di UIN saat ini masih baru tahap masuknya program studi eksakta, konsep
integrasinya tidak jelas. Selain itu pada Program Pascasarjana di UIN masih
berkutat pada pada program studi kajian keislaman, demikian pula dengan topik
tesis dan disertasi yang diangkat, tidak ada bedanya ketika masih IAIN. 24 Hingga
saat ini di UIN belum ada Program Pascasarjananya yang memiliki program
unggulan selain kajian Islam.

b. IAIN dengan Penambahan Fakultas dan Program Studi
Terdapat banyak pro dan kontra mengenai perubahan IAIN menjadi UIN.
kelompok yang resisten terhadap perubahan mengatakan bahwa dengan menjadi
22 Surat Mentri Pendidikan Nasional yang ditujukan kepada Mentri Agama Republik Indonesia
tanggal 23 Januari 2004 sebagaimana dikutip dalam M.Amin Abdullah, Desain, hlm.238.
23 Nur Ahmad Fadhil Lubis, Mengembangkan., hlm.41. Jika merujuk pernyataan yang
disampaikan Nur Ahmad Fadhil Lubis yang merupakan inisiator IAIN Sumatera Utara untuk
menjadi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara gagasan ini telah lama disampaikannya. Namun
visi intelektual tersebut baru terwujud pada tahun 2015 dengan perubahan IAIN SU menjadi UIN
SU.
24 M.Atho Mudzhar dalam Marwan Saridjo, Pendidikan, hlm. 203.

16

UIN akan memperlemah kajian Islam dan sebaliknya akan memperkuat ilmu
umum yang dminati publik.
Pilihan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan mempertahankan
IAIN namun diberikan kewenangan untuk memperluas fakultas dan programprogram studinya. Artinya, jika selama ini sikap terhadap tuntutan zaman dengan
merubah menjadi UIN maka dapat dilakukan pilihan lain yaitu IAIN tetap
bertahan namun fakultas apa saja diperbolehkan berdiri. Sehingga identitas dan
kajian Islam tetaplah menjadi corak utama IAIN sedangkan program studi umum
juga mempunyai ruang untuk menampakkan kinerja terbaiknya dengan nilai plus
Islam.
c. IAIN Tetap dipertahankan namun Ditingkatkan Kualitasnya
Alternatif

pilihan terakhir ini dilakukan untuk menjawab berbagai

kekhawatiran jika semua IAIN/STAIN suatu saat akan berubah menjadi UIN.
alternatif ini dilakukan untuk tetap mempertahankan IAIN sebagai pusat kajian
Islam sebagaimana selama ini dilakukan, hanya saja perlu dilakukan berbagai
pembenahan dari setiap aspeknya, mulai dari kurikulum, fasilitas, dosen, staf,
pembelajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, sampai pembenahan proses
penyeleksian mahasiswa pada jurusan tertentu yang menuntut calon mahasiswa
untuk telah mempersiapkan diri untuk mengkaji Islam secara mendalam.
Alternatif ini juga bisa dianggap cara terbaik untuk tetap menjadikan Islam
sebagai kajian akademik dari berbagai sudut pandang. Indonesia sebagai negara
muslim terbesar harus mampu mengkounter kajian-kajian ilmiah dari Barat yang
sangat konsern kepada kajian Islam. Terkadang kajian Islam di Barat sering tidak
berimbang, olehkarena itu, IAIN bisa tetap dipertahankan sebagai sebuah pusat
pengkajian, laboratorium untuk mengkaji Islam tidak hanya Islam sebagi doktrin.
Namun juga dapat mengimbangi banyaknya riset mengenai Islam dari Barat.
dengan telah banyaknya IAIN yang berubah menjadi UIN, maka dianggap penting
untuk tetap mempertahankan beberapa IAIN, atau membatasi STAIN yang ada
sekarang untuk berhenti berubah pada tahap IAIN saja, untuk selanjutnya dapat

17

fokus mengkaji Islam sebagai pusat kajian unggulan. Jika Islam sebagai ilmu yang
dapat ditinjau dari banyak aspek, maka tidak tertutup kemungkinan pada masa
mendatang banyak para sarjana yang ingin mempelajari Islam akan menjadikan
IAIN sebagai tujuannya. Jika saat ini dunia Islam seperti larut dalam berbagai
konflik, perang yang mengakibatkan kemunduran peradaban Islam. Maka IAIN
dapat mengambil alih kajian keislaman tersebut, hingga tidak salah kiranya jika
akhir

ini

dikampanyekan

Islam

Nusantara.

IAIN

sangat

berpeluang

mengembangkan Islam Nusantara dengan perspektif yang sangat berbeda dengan
stigma Islam sebagaimana yang dikembangkan di Timur Tengah.
Namun untuk melakukan alternatif pilihan terakhir ini tidak bisa dilakukan
separuh hati. Pemerintah dan pemangku kepentingan di IAIN harus bekerja all
out untuk membenahi IAIN. Kualitas IAIN harus dibenahi secara total, hingga
nantinya IAIN akan menjadi sebuah lembaga small but beutifull. IAIN akan
menjadi sebuah lembaga yang sangat dinamis namun prestisius dengan banyaknya
hasil penelitian mengenai Islam dan menjadi center of excellence.

4. Saran-saran dan Langkah Operasional dan Jawaban IAIN
terhadap Kritik Masyarakat
Berdasarkan kritik masyarakat terhadap keberadaan IAIN di atas, maka
penulis memberikan saran dan langkah operasional yang dapat dilakukan oleh
pemerintah atau pihak IAIN.
a. Menghilangkan Dikotomi Keilmuan di IAIN
Paradigma Ilmu Umum dan Ilmu Keislaman (akhirat) merupakan akar
masalah sulitnya terjadi perkembangan paradigma keilmuan di IAIN. IAIN perlu
memperluas paradigma keilmuannya sebagaimana berbagai konsep dengan
berbagai nama yang ditawarkan, sebut saja Interkoneksi Ilmu, Integrasi Ilmu, atau
Reintegrasi Ilmu.
Menghilangkan paradigma dikotomis ini tidak cukup lagi dengan konsepkonsep akademis dan filosofis saja. Namun juga membutuhkan langkah taktis

18

berbentuk kebijakan yang diambil ole Pemerintah. Sehingga tidak tertutup
kemungkinan bahwa integrasi ilmu suatu saat diharapkan juga terwujud menjadi
integrasi kelembagaan. Pada tahap integrasi kelembagaan inilah nntinya tidak
akan ada lagi dikotomi. Karena dalam sejarahnya dikotomi ilmu ini dilakukan
Pemerintah Kolonial Belanda atas saran Snouck Hurgronje tentang perlunya
memisahkan lembaga pendidikan Islam

dengan lembaga pendidikan umum,

sehingga dibentuk berbagai ordonansi (peraturan).
b. Meningkatkan Kualitas Dosen melalui proses seleksi
Posisi terdepan dalam mempertahankan dan membenahi kualitas dan
meningkatkan daya saing IAIN salah satu langkah operasional yang dilakukan
adalah melakukan proses seleksi dosen yang ketat. Dikarenakan banyaknya
program studi umum di IAIN maka untuk membentuk kualitas dosen seharusnya
proses perekrutan tidak hanya menguji kecakapan atau keahlian calon dosen di
ilmunya saja, tetapi juga harus mengetahui atau paling tidak peduli dengan corak
dn paradigma keilmuan di IAIN. Maka setiap calon dosen yang akan masuk di
IAIN harus memiliki kecakapan Bahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadits, Sejarah
Peradaban Islam dan Filsafat Islam. Hal ini diperlukan agar proses integrasi dan
menghapuskan dikotomi ilmu di IAIN dapat berjalan dengan baik. Misalnya
seorang calon dosen Biologi di IAIN maka seharusnya calon dosen juga
memahami bagaimana Biologi dalam Islam. Selanjutnya setelah proses seleksi
dosen yang ketat, maka pemerintah dan IAIN harus mempersiapkan secara
intensif setiap wawasan dosen yang telah lulus seleksi, terutama bagi dosen yang
non studi Islam. Seperti Ilmu Ekonomi, Ilmu Komputer, Ilmu Fisika, Ilmu Politik,
dan sebagainya yang membutuhkan sentuhan keislaman.
c. Memperkuat Riset dan Pengembangan
Pemerintah seyogyanya dapat mengeluarkan kebijakan yang pro bagi aktivitas
riset dan pengembangannya. Corak-corak penelitian di IAIN juga mulai diarahkan
tidak lagi semata-mata sebagai laporan beban kerja dosen, namun benar-benar
mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat.

19

Tanpa adanya kegiatan riset yang berkualitas, maka IAIN tidak akan mampu
mengejar ketertingalan dalam berbagai aspek keilmuan dibandingkan dengan
masyarakat Barat. Jika di dunia Barat berhasil sukses mengembangkan berbagai
ilmu melalui riset. Maka sebenarnya pemerintah akan dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan sosial politik dan kebudayaan dengan pendekatan
keilmuan yang dikembangkan di IAIN yang didukung dengan riset.
d. Meningkakan kualitas dan kualitas pengabdian masyarakat
Aktivitas pengabdian pada masyarakat menjadi jembatan pertemuan antara
masyarakat kampus dan masyarakat. Dari teoritis langsung kepada penerapan
praktis, serta dari konseptual menjadi akrab terhadap realitas. IAIN dapat
membenahi kualitas dan kuantitas aktivitas pengabdian pada masyarakat sehingga
masyarakat merasakan dampak langsung dari kegiatan sivitas IAIN. Jika aktivitas
pengabdian masyarakat berjalan dengan baik dan bekualita, maka hal ini akan
menjadi media promosi dan sosialisasi IAIN kepada masyarakat. Salah satu
aktivitas pengabdian masyarakat yang harus dibenai adalah kuliah kerja nyata.
Dalam praktiknya aktivitas pengabdian masyarakat ini menemui banyak masalah,
sehingg tidak jarang masyarakat merasa tidak banyak terbantu dengan kehadiran
mahasiswa tersebut. Hal ini karena mahasiswa tidak dilatih dan mempersiapkan
program pengabdian masyarakatnya dengan baik. Jika tahap awal pembenahan
aktivitas pengabdian masyarakat ini berkualitas, maka masyarakat akan
memandang positif mahasiswa dan alumni IAIN.

5. Kebijakan-kebijakan
pencerahan IAIN

yang

perlu

dilakukan

untuk

Berikut kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah terhadap
IAIN:

a. Melanjutkan Perubahan IAIN menjadi UIN

20

Pemerintah perlu melanjutkan dan mempermudah transformasi IAIN yang
dianggap telah siap untuk menjadi UIN. Kendala utama perubahan menjadi UIN
diantaranya masih begitu sulitnya birokrasi menerima perubahan IAIN menjadi
UIN. Kebijakan pemerintah terhadap mudahnya transformasi IAIN akan
mempercepat arus perubahan IAIN menjadi UIN dan membuat masyarakat
semakin menjadikan UIN menjadi salah satu pilihan selain perguruan tinggi
umum sebagai tempat studi.
b. Melakukan Perubahan STAIN menjadi IAIN
Pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan untuk melakukan perubahan
seluruh STAIN menjadi IAIN. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) saat
ini sudah tidak relevan lagi, sehingga perlu ditingkatkan statusnya manjadi IAIN.
Bahkan jika memungkinkan STAIN yang telah siap menjadi UIN bisa diakselerasi
menjadi UIN, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh UIN Malik Ibrahim
Malang.
Sebagaimana yang penulis sampaikan dalam poin sebelumnya. Hendaknya
Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk merubah seluruh STAIN yang ada saat
ini menjadi IAIN. Selanjutnya STAIN yang telah berubah menjadi IAIN
dipertahankan untuk tetap menjadi IAIN dengan meningkatkan kualitas dari
berbagai aspek. Melalui kebijakan seperti ini maka akan terdapat kelompokkelompok dan pembagian tugas, yaitu adanya UIN yang ikut persaingan
pengembangan Sains dan Teknologi, sementara IAIN hasil dari perubahan STAIN
akan menjadi pusat keunggulan mengenai studi Islam, sebagaimana yang pernah
dilakukan Institut Sosial Frankfurt yang kemudian terkenal membentuk Mazhab
Frankfurt di Jerman dan menjadi pusat kajian ilmu sosial, dan humaniora. Dengan
adanya pembagian tugas seperti ini maka akan muncul beragam keunggulan dari
karakteristik IAIN masing-masing yang ada di Indonesia.

c. Meningkatkan Kapasitas Institusi IAIN

21

Pemerintah

perlu

mengeluarkan

kebijakan

yang

mengarahkan

pada

peningkatan kapasitas institusional IAIN. Banyak aspek institusional yang harus
dibenahi, salah satunya sumber daya manusia. Dosen-dosen di IAIN harus
diberikan akses luas untuk meningkatkan kapasitas dirinya, apakah itu berbentuk
studi lanjut atau mengikuti pelatihan, workshop, dan seminar-seminar. Dosendosen di IAIN harus diberikan akses untuk melihat kehidupan akademik di luar
negeri, sehingga mereka memiliki perspektif yang luas. Dengan bekal dosen yang
sudah mumpuni inilah selanjutnya secara organik IAIN akan dapat meningkatkan
kualitas institusi. Tidak hanya dosen, staf-staf administrasi juga harus
meningkatkan keahlian dan pelayananan yang mencerminkan kualitas total.
d. Mempertegas Penghapusan Dikotomi Ilmu dengan Melibatkan IAIN
dalam Proyek-Proyek Keilmuan dan Teknologi
Permasalahan utama yang dihadapi IAIN adalah begitu kronisnya stigma
bahwa IAIN hanyalah lembaga dakwah yang mengkaji Islam an sich. Tidak hanya
stigma yang dibuat masyarakat, namun pemerintah juga masih memiliki
paradigma bahwa IAIN hanya memiliki wilayah kajian keislaman, dan seperti
tidak berwenang terlibat dalam riset-riset teknologi. Jika dirujuk dalam kajian
keilmuan Islam, bahwa Islam sangatlah universal, dan Islam tidak mendikotomi
antara ilmu agama dan ilmu akhirat. Mempelajari sains dan teknologi dalam Islam
juga merupakan kewajiban umat Islam untuk mengkajinya agar dapat mendukung
setiap apa yang dibutuhkan oleh ummat.
Olehkarena itu pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mempertegas bahwa IAIN bukanlah perguruan tinggi Islam yang semata-mata
mempelajari Islam sebagai doktrin atau ajaran agama, namun IAIN juga memiliki
hak untuk mengkaji, dan memperluas riset dan teknologi. Jika kebijakan ini
dilakukan maka untuk melakukan perubahan dan meningkatkan kualitas IAIN
dalam rangka menyikapi berbagai dinamik sosial dan keilmuan sesungguhnya
IAIN tidak perlu berubah menjadi UIN. Dengan adanya kebijakan yang tidak

22

dikotomis, maka pada masa mendatang IAIN dapat menjadi pusat keunggulan
ummat Islam, tanpa harus menghilangkan identitasnya.
Salah satu langkah taktis yang dapat dilakukan adalah masuknya IAIN ke
bawah naungan Kemenristek dan Dikti. Dikotomi keilmuan bisa dihapuskan
ketika tidak ada pemisahan kelembagaan. Jika IAIN masih tetap terpisah dari blue
print pemerintah untuk mengembangkan riset dan teknologi maka IAIN akan
semakin terstigma sebagai lembaga yang hanya fokus melakukan pengkajian
Islam an sich yang minim aktivitas riset dan pengembangan teknologi.
C. PENUTUP
Berdasarkan uraian empiris, teoritis dan analisis yang penulis kemukakan di
atas, maka dapat disimpulkan:
1. Terdapat banyak kritik masyarakat terhadap ekistensi dan kinerja IAIN.
Jika disederhanakan dapat dilihat secara umum masyarakat memandang
bahwa IAIN belum mampu menjawab tantangan zaman, terutama dalam
menghadapi dunia kerja. Selain itu di IAIN, ilmu agama (Islam) tidak
secara komprehensif dikuasai oleh sarjana IAIN, sehingga alumni sering
merasa gagap ketika menghadapi berbagai praktik keagamaan dan
permasalahan keagamaan di masyarakat. Masyarakat juga mengkritik
IAIN saat ini lebih cendrung kepada lembaga akademik belaka dan
melupakan konsep pendirian awal, yaitu juga sebagai lembaga dakwah.
Konsekwensi dari condong ke lembaga akademis menurut masyarakat
IAIN menjadi lebih liberal, sekuler, dan plural karena memang
demikianlah tuntutan dunia akdemis yang bercorak Barat.
2. Masyarakat mengharapkan IAIN dapat mempersiapkan kader dan generasi
muda yang benar-benar menguasai agama Islam yang tidak hanya untuk
diri sendiri namun juga dapat bermanfaat bagi masyarakat. Tidak hanya
harapan masyarakat agar IAIN melahirkan ulama-ulama yang ahli,
masyarakat juga menuntut IAIN tidak hanya mempersiapkan ulama namun
juga mampu mengeluarkan para teknokrat dan tenaga-tenaga muda yang
dapat diserap oleh dunia kerja. Masyarakat mengharapkan adanya

23

perubahan revolusioner terjadi di IAIN apakah itu perubahan secara
kelembagaan maupun perubahan secara substansi yang dapat dilihat dari
program studi, kurikulum, dan tenaga pengajar yang handal.
3. Terdapat tiga pilihan alternatif dalam menyikapi perguruan tinggi negeri
Islam dalam menghadapi peluang dan tantangan. Pertama, IAIN/STAIN
dapat melakukan perubahan menjadi UIN dalam rangka menyikapi
berbagai dinamika sosial dan dialektika keilmuan. Pada alternatif menjadi
UIN ini sering menjadi kontroversi karena dianggap akan memarjinalkan
kajian Islam (Tarbiyah, Syariah, Ushuluddinm Dakwah, Adab) yang
selama ini telah menjadi tradisi di IAIN. Kedua, alternatif jalan tengah
dimana pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk IAIN jika ingin
menambah fakultas dan program studi baru. Cara ini dilakukan agar IAIN
tetap terjaga namun dapat menyikapi perubahan zaman. Kedua, IAIN tetap
bertahan.

Alternatif

terakhir

ini

adalah

sebuah

sikap

untuk

mempertahankan IAIN dengan kondisi sekarang, hanya saja terus
meningkatkan kualitas dan fasilitasnya. Alternatif ini dilakukan sebagai
jawaban atas kekhawatiran akan punahnya kajian keislaman jika semua
IAIN atau STAIN ingin berubah menjadi UIN.
4. Saran dan langkah operasional untuk menyikapi kritikan masyarakat
tersebut, yaitu: Pertama, Pemerintah mengeluarkan kebijakan taktis
mengenai penghapusan dikotomi ilmu. Kedua, meningkatkan kapasitas
kelembagaan IAIN. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan sumber daya manusia, misalnya dengan memberi akses
yang gampang bagi dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi atau
mengikuti berbagai pelatihan yang dilakukan di dalam negeri atau pun luar
negeri. Ketiga, memperkuat riset dan pengembangan di IAIN sangat
penting bagi kemajuan IAIN. Pemerintah telah melakukan penyatuan Dikti
dan Kementrian Ristek menjadi Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi.
Hal ini akan semakin memarjinalkan IAIN jika pemerintah tidak memiliki
road map mengenai arah perguruan tinggi agama Islam negeri yang
selama ini berada di bawah naungan Kementrian Agama. Olehkarena itu

24

dibutuhkan politcal will Pemerintah untuk meningkatkan riset di IAIN
dengan dapat bersinergi di Kemenristek dan Dikti.
5. Tidak bisa dipungkiri masa depan dan kualitas IAIN sangat tergantung
akan kebijakan Pemerintah. Olehkarena itu pemerintah perlu mengambil
beberapa kebijakan penting dalam rangka meningkatkan daya saing IAIN,
yaitu: Pertama, perlunya melanjutkan perubahan IAIN yang telah benarbenar siap untuk menjadi UIN.

Kedua, Pemerintah perlu melakukan

langkah revolusioner salah satunya adalah merubah seluruh STAIN yang
ada di Indonesia saat ini untuk menjadi UIN. selanjutnya STAIN yang
telah berubah menjadi IAIN ini diberikan mandat untuk mempertahankan
visi dan misi IAIN dengan melakukan perubahan kualitas dari paradigma
IAIN lama. Ketiga, membangun kapasitas institusi IAIN sangatlah
penting, olehkarena itu merupakan hal mutlak untuk membenahi kualitas
sumber daya manusia yang dapat dimulai dari meningkatkan kualifikasi
seluruh dosen IAIN dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan keahlian mereka. Keempat, selama ini IAIN mengalami
banyak diskriminas dalam banyak hal, apakah itu fasilitas, dana, sampai
serapan alumni IAIN di instansi pemerintah. Hal ini terjadi karena
dikotomi ilmu tidak hanya ada dalam pikiran masyarakat namun juga
termanifestasi dalam beragam kebijakan yang diambil oleh pemerintah
untuk pendidikan Islam pada umumnya dan perguruan tinggi Islam
khususnya. Saat ini pemerintah telah membentuk lembaga baru sebagai
gabungan dari pendidikan tinggi (dikti) dan kementrian ristek menjadi
sebuah Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi. Sebuah langkah
revolusioner akan terjadi jika IAIN berada dalam naungan Kemenristek
dan Dikti atau paling tidak memiliki andil dalam mengembangkan
penelitian dan teknologi sebagaimana yang diinginkan pemerintah.

DAFTAR BACAAN

25

Alimin, D.P. Sati, Almanak Djawatan Pendidikan Agama. Cetakan I. Djakarta:
Penerbit Sinta Djakarta: Djawatan Pendidikan Agama, Kementrian Agama, 1959.
Azra, Azyumardi, (ed.), Mentri-Mentri Agama RI: Biografi Sosial Politik.
Cetakan I. Jakarta: INIS, PPIM, DEPAGRI, 1998.
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesi: Pengalaman Islam. Cetakan I.
Jakarta: Paramadina, 1999.
Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan
Demokratisasi. Jakarta: Kompas, 2002.
Azra,Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Cetakan I,
Jakarta: Logos, 1999.
Bagir, Zainal Abidin, dkk, (Ed,), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi.
Cetakan I. Yogyakarta: Suka Press dan Mizan, 2005.
Buseri, Kamrani, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah: Pemikiran Teoritis
Praktis Kontemporer. Cetakan I. Yogyakarta: UII Press,2003.
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pendidikan Islam di Indonesia.
Cetakan II. Jakarta: Kencana, 2007.
Harahap, Syahrin (ed,), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi. Cetakan I.
Yogyakarta: Tiarawacana, 1998.
Hidayat, Komaruddin, Prasetyo, Hendro (ed.), Problem dan Prospek IAIN:
Antologi Pendidikan Islam. Cetakan I. Jakarta: DEPAG RI, 2000.
Kusmana, dkk (ed), Paradigma Baru Pendidikan Islam: Rekaman Implementasi
IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007. Cetakan I. Jakarta: PIC
UIN Jakarta, 2008.
Luts, Natsir,dkk (ed.), Paradigma Baru: Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam.
Cetakan I. Jakarta: UI Press.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia. Cetakan I. Jakarta: Paramadina, 1995.
Madjid, Nurcholish, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia. Cetakan I. Jakarta: Paramadina, 1997.

26

Madjid, Nurcholish, Islam, Kerakyatan, dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran
Nurcholish Muda. Cetakan II. Bandung:Mizan, 1994.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Cetakan I. Jakarta: L

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

11 143 2