Tantangan Strategi Industri Pendidikan T

Tantangan Strategi Industri Pendidikan Tinggi Indonesia di Era Global: Haruskah
Indonesia Mengimplementasikan Sistem Pendidikan Jarak Jauh?

Rany Purnama Hadi, S.IP.
Magister Hubungan Internasional
Universitas Airlangga

Abstrak
Globalisasi yang yang terjadi pasca Perang Dunia II, membawa perubahan besar
dalam perkembangan teknologi dan informasi yang ditandai dengan munculnya internet.
Keberadaan internet kemudian memberikan tatangan sendiri dalam studi strategi dimana para
strategis dituntut untuk berkompetisi dalam dunia yang semakin universal atau biasa disebut
dengan apocalyptic vision of globalization. Menurut pandangan ini globalisasi menyebabkan
dunia menjadi terintegrasi dan sama rata. Meski demikian, ada pertentangan yang
dikemukakan oleh Ghemawat yang berpendapat bahwa dunia sekarang tidaklah berada pada
kondisi yang benar-benar terglobalisasi melainkan semi-globalisasi. Perbedaan masih
menjadi hal yang diperhitungkan dalam strategi pasar. Hal ini juga berlaku dalam industri
pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Dengan munculnya beberapa jaringan pendidikan
online, seperti Khan academy, commercial features of lecture series, dan beberapa situs
pendidikan online lainnya, menyebabkan banyak universitas-universitas di dunia yang kini
mulai memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi sebagai media untuk meningkatkan

kualitas lembaga pendidikan, baik sebagai upaya untuk berkompetisi dengan sesama lembaga
pendidikan (universitas), maupun dengan jaringan pendidikan online yang semakin
berkembang. Salah satu bentuk upaya strategi peningkatan mutu industri pendidikan adalah
dengan adanya virtual university atau unversitas online yang kini menjadi salah satu tren
pendidikan global. Akan tetapi, tantangan yang muncul kemudian adalah apakah seluruh
universitas harus menerapkan strategi yang sama, atau justru menciptakan standarisasi
pendidikan yang berbeda dalam persaingannya di bisnis internasional. Dalam tulisan ini
penulis akan melihat bagaimana tantangan tersebut dihadapi oleh bisnis pendidikan tinggi di
Indonesia dan apa kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia.

Keywords: Globalisasi, Strategi, Industri pendidikan, Teknologi dan Informasi, Virtual
University, Indonesia.

Pendahuluan
Globalisasi telah menjadi buzzword dalam dua dekade terakhir. Inovasi teknologi dan
kapitalisme global yang menjadi tanda dari era globalisasi meningkatkan pertukaran
pengetahuan, perdagangan, dan kapital di seluruh dunia (The Economist, 2013). Globalisasi
menciptakan sebuah integrasi di seluruh dunia dalam segala aspek temasuk dalam hal bisnis,
pasar, dan produksi. Dari sinilah selanjutnya muncul pendapat apocalyptic terhadap
globalisasi yang berpendapat bahwa globalisasi telah membuat dunia seakan-akan menjadi

flat atau seragam (Ghemawat, 2007). . Dengan semakin terintegrasinya dunia, menyebabkan
tidak ada lagi perbedaan antara produksi yang ada di negara satu dengan negara lainnya.
Dunia telah terkonstruk dalam sebuah standarisasi internasional yang menyebabkan produksi
bisnis menjadi semakin homogen. Perusahaan-perusahaan bisnis dapat menjual produk yang
sama diseluruh dunia. Sebagai contoh, bagaimana kemudian perusahaan telekomunikasi
memproduksi adroid yang kemudian diikuti oleh hampir seluruh perusahaan komunikasi di
seluruh dunia. Homogenitas dan standarisasi ini menyebabkan strategi perusahaan menjadi
seragam yang menciptakan dogma agar sukses dalam bisnis, maka perusahaan harus
mengikuti standar internasional yang ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah
aktor-aktor dalam bisnis harus mengikuti standarisasi yang ada, atau justru dituntut untuk
menciptakan sebuah inovasi atau strategi bisnis yang berbeda agar mampu bertahan dalam
persaingan global.
Permasalahan tersebut kemudian dijawab oleh Pankaj Ghemawat dimana menurut
Ghemawat, dunia saat ini tidak berada pada kondisi dimana manusia, barang, dan jasa benarbenar terintegrasi secara utuh satu dengan yang lainnya. Dunia tidaklah sepenuhnya
terinternasionalisasikan yang menyebabkan produksi menjadi homogen atau sama diseluruh
dunia, melainkan hanya berkembang menjadi lintas batas. Oleh karenanya, perbedaan
tidaklah hilang dan masih menjadi hal yang diperhitungkan dalam strategi bisnis. Ghemawat
selanjutnya mengembangkan konsep semiglobalisasi untuk menjelaskan proses yang sedang
terjadi saat ini (Ghemawat, 2007). Perusahaan-perusahaan internasional seperti McDonald,
KFC, dan perusahaan-perusahaan elektronik memang menjual produk yang beragam

diseluruh dunia. Akan tetapi, produk tersebut masih memiliki ciri khas atau perbedaan antara
satu dengan yang lainnya, bergantung pada dimana produk tersebut dipasarkan. Sebagai
contohnya, meskipun McDonald yang membuka bisnis di Korea Selatan menjual menu yang
sama dengan McDonald lain diseluruh dunia, akan tetapi mereka juga mengkombinasikan
menu mereka dengan cita rasa khas Korea Selatan seperti kimchi, pasta kedelai, dan bahan-

bahan lokal lainnya sebagai stategi bisnis mereka (Harvard Business School, 2007). Kondisi
ini menunjukkan bahwa perbedaan masih menjadi hal yang diperhitungkan dalam sebuah
strategi bisnis ditengah proses era globalisasi, untuk kurun waktu beberapa dekade
mendatang.

Globalisasi dan Strategi Bisnis
Globalisasi sendiri memiliki banyak facets yaitu politik, ekonomi, sosiologi, budaya,
finansial, produksi, dan teknologi. Dalam hal teknologi, salah satu bukti yang paling nyata
dari globalisasi adalah dengan bekrembangnya internet. Sejarah perkembangan internet
dimulai di Amerika Serikat pada awal tahun 1960an dengan dibentukkanya ARPANET oleh
para ilmuan Amerika (Cohen-Almagor, 2011). Puncaknya, pada tahun 1990an, aksesibilitas
internet mulai mengalami perkembangan yang begitu pesat. Internet menjadi sebuah
fenomena global dimana sistem operasi komputer-komputer, baik yang digunakan untuk
kepentingan personal maupun bisnis, mulai tergabung dalam jaringan universal. Kemajuan

ini terus meningkat hingga pada tahun 2000an, jumlah website yang telah diciptakan
mencapai jumlah 50 juta yang diiringi pula dengan pertumbuhan Internet Service Providers
(ISPs). Bisnis-bisnis dan perusahaan-perusahaan besar pun mulai meyadari potensi yang
diberikan oleh internet (Cohen-Almagor, 2011).
Dengan masuknya internet dalam industri bisnis, maka hal ini memberikan perubahan
pula pada strategi yang dilakukan oleh kelompok pebisnis. Industri bisnis mulai
memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh internet sebagai salah satu pendukung dalam usaha
pengembangan bisnisnya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Michael E.
Porter dalam tulisannya berjudul “Strategy and the Internet” dimana dampak hadirnya
internet dalam dunia bisnis merupakan titik awal dimana penggunaan internet dapat dapat
dimaksimalkan apabila pengguna dapat menjadikannya sebagai sebuah pelengkap dalam
menjalankan bisnisnya. Hal ini merupakan sebuah kontra-argumen yang menyatakan bahwa
internet akan meng-‘kanibal’ semua fitur-fitur dari bisnis konvensional (Porter, 2001).
Porter beranggapan bahwa kegiatan virtual tetap tidak akan mengganti/mensubstitusi
kegiatan fisik (konvensional), malah dapat memperbesar bahwa kegiatan fisik itu penting.
Beberapa korelasi dari internet dan aktifitas konvensional meningkat untuk beberapa alasan.
Pertama, memperkenalkan internet pasti berdampak pada meningkatnya permintaan akan
aktifitas fisik (konvensional) di dalam ‘value chain’, yaitu sebuah interkoneksi dari beberapa
kegiatan virtual dan fisik. Kedua, internet memberikan dampak yang sistemik yang
membutuhkan aktifitas fisik yang lebih. Seperti ketika memposting sebuah lowongan online,


yang otomatis pengecekannya masih menggunakan metode-metode konvensional yang ekstra
karena kemungkinan terjadinya akan lebihbanyak pelamar. Ketiga, dibandingkan dengan
metode konvensional, kegiatan internet memang melengkapi dan membantu aktifitas manusia
dan kemungkinan menunjukan bahwa akan lebih dikembangkan kedepannya untuk kebaikan
penggunannya. Internet yang dimaksimalkan oleh perusahaan akan memberikan dampak
yang signifikan (Porter, 2001).
Porter berargumen bahwa setiap perusahaan tidak dapat bertahan tanpa penggunaan
internet, meskipun internet tetap tidak akan memberikan keuntungan apabila perusahaan
tersebut tidak dapat/luput untuk melihat aspek-aspek konvensional seperti, produk yang unik,
konten yang baik, bentuk fisik yang sesuai, produk yang superior, layanan yang mutakhir
serta relasi antara pembeli dan perusahaan tersebut (Porter, 2001). Dengan berbagai
keuntungan yang diberikan oleh internet tersebut, maka internet menjadi salah satu metode
pendukung yang diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan . Oleh karenanya, banyak sekali
perusahaan atau industri bisnis yang menggunakan layanan internet (online) sebagai strategi
untuk mendukung kemajuan bisnisnya, tak terkecuali dalam industri pendidikan.

Internet dan Strategi Pendidikan
Sama dengan industri-industri yang lainnya, industri pendidikan juga mendapatkan
dampak dari globalisasi yang ditunjukkan dengan perkembangan internet. Dalam kasus ini,

penulis akan lebih menyoroti terhadap bisnis pendidikan tinggi, atau pada level universitas.
Sebagai sebuah societal hub yang menghubungkan antara pengetahuan dan pembelajaran,
universitas telah memperoleh banyak manfaat dari munculnya internet sebagaimana industri
information-centric lainnya. Penyebaran pengetahuan dan pengevaluasian mahasiswa kini
dapat dilakukan dengan mudah dengan adanya inovasi teknologi seperti telegram, radio,
telepon, televisi, komputer, digital textbooks, mobile connectivity, dan lain sebagainya.
Kualifikasi sebuah universitas, kini juga tidak lagi hanya dinilai oleh masyarakat
berdasarkan kualitas universitas yang dimiliki, melainkan juga ketersediaan fasilitas dan
akses terhadap informasi yang baik. Berdasarkan data yang diperoleh oleh konsultan
pendidikan internasional ANZ, rata-rata yang mendasari mahasiswa untuk memilih
universitas selain karena kualitas universitas tersebut yang baik, juga adanya fasilitas
informasi yang canggih seperti laboratorium dengan teknologi modern serta kemudahan
akses internet untuk mencari informasi (Majalah Education Online Indonesia, 2011). Bahkan
di Indonesia sendiri, sistem informasi merupakan salah satu persyaratan akreditasi yang
menjadi standar kualifikasi sebuah universitas (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi,

2015). Dengan tingginya akreditasi yang dimiliki oleh sebuah universitas, maka semakin
besar pula daya tarik masyarakat untuk masuk kedalam universitas tersebut. Hal ini lah yang
kemudian menjadikan teknologi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing
sebuah universitas.

Menurut Mukhamad Masrur, sebuah universitas dapat meningkatkan daya saingnya
dalam industri pendidikan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang dapat direalisasi
dengan cara pembuatan portal website yang baik sehingga memudahkan promosi institusi
kepada masayrakat, maupun dengan penggunaan search engine optimization atau SEO yang
dapat memaksimalkan pencarian situs universitas pada search engine ketika ada masyarakat
yang ingin mengetahui informasi terkait institusi melalui media internet (Masrur, 2011). Saat
ini, universitas-universitas di dunia mayoritas sudah memiliki situs atau website resmi yang
menyediakan berbagai macam data dan informasi terkait institusi, yang memudahkan
masyarakat untuk memperoleh keterangan mengenai universitas yang ingin mereka tuju.
Akan tetapi, pencapaian kualitas univesitas yang baik sebagai upaya untuk menarik
minat masyarakat bukanlah lagi menjadi satu-satunya tantangan yang dihadapi oleh sebuah
perguruan tinggi untuk dapat tetap mempertahankan eksistensinya di dalam industri
pendidikan. Kemunculan organisasi pembelajaran non-profit, situs-situs pendidikan online,
serta training centers yang menyediakan instruksi online dan credentials yang lebih cepat
dari pada brick-and-mortar institutions juga memberikan tantangan tersendiri bagi bisnis
perguruan tinggi (Anderson et al., 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pew
Research Center, adanya persaingan dari jaringan pendidikan online tersebut menuntut
banyak pimpinan universitas yang kemudian membuka atau menawarkan online course bagi
mahasiswa sehingga pelajar dapat belajar di universitas tanpa harus secara fisik hadir di
lingkungan kampus. Banyak dari universitas-universitas terkemuka di dunia yang kini tidak

lagi melakukan pelayanan pendidikan murni secara konvensional , yakni mahasiswa dituntut
untuk datang ke universitas guna melakukan kegiatan perkuliahan, melainkan melakukan
metode pembelajaran hybrid yaitu berupa online and offline instruction and interaction. Di
Amerika Serikat misalnya, pada tahun 2011, 77% dari seluruh lembaga pendidikan tinggi
yang ada menyakini bahwa dalam 10 tahun kedepan, mahasiswa yang masuk di universitas
tersebut akan memilih untuk masuk ke dalam kelas online daripada kelas konvensional
(Anderson et al., 2012). Salah satu bentuk online course yang saat ini mulai menjadi tren di
dalam industri pendidikan tinggi di dunia adalah pendirian Virtual University atau universitas
online.

Kata Virtual university atau e-university dalam konteks univesitas umumnya berkaitan
dengan off-side teaching dimana jika dipandang dari sisi bisnis merupakan sebuah produk
alternatif pendidikan yang low cost. Konsep virtual university awalnya dikemukakan oleh John
Henry Cardinal Newman, seorang dosen di University of Oxford, pada tahun 1852, dengan idenya
yang disebut virtual education dimana untuk memperoleh pendidikan tidaklah perlu adanya tempat
secara fisikal. Menurut Newman, universitas yang sebenarnya terletak pada bagaimana pemikiranpemikiran dapat bertemu, dan murid-murid dapat memiliki personal teaching and support
sebagaimana yang mereka peroleh dari pendidik tanpa harus ada tempat atau bangunan khusus untuk
memfasilitasi itu (Lefrere, 2001). Ide itulah yang kini, dengan adanya internet dan ICT (Information
and Communication Technology), dapat direalisasikan melalui virtual university. Virtual University
kemudian menyajikan sebuah metode pembelajaran jarak jauh, dimana mahasiswa tidak lagi

dikhawatirkan mengenai jarak dalam usaha untuk menuntut ilmu.
Metode pendidikan jarak jauh ini telah menjadi model pembelajaran abad ke-21. Dengan
semakin mudahnya akses informasi yang dapat dijangkau dimanapun dan kapanpun, turut
meningkatkan permintaan masyarakat untuk penyajian pelayanan pendidikan yang fleksibel. hal inilah
yang kemudian memicu perubahan dari metode pendidikan tradisional menuju pendidikan virtual
(Scott, 2015). Universitas yang pertama kali mensukseskan metode perkuliahan jarak jauh adalah
Open University di Inggris. Kini, hampir seluruh universitas universitas di dunia sudah menerapkan
virtual university. Beberapa diantaranya adalah Penn State World Campus, University of Florida
Distance Learning, UNITAR di Malaysia, University of Southern Queensland, Athabasca University
di Kanada, Kenyatta African Virtual University (AVU), University of Maryland University College,
dan University of Alabama di Birmingham (UNESCO, 2015).
Perubahan dalam hal metode pendidikan ini kemudian menjadi sebuah standarisasi
pendidikan yang tidak hanya mempengaruhi managemen pendidikan di negara-negara maju dengan
akses atas teknologi dan informasi yang sudah canggih, tetapi juga di negara berkembang, seperti
negara-negara Asia, tak terkecuali Indonesia.

Tantangan terhadap Industri Pendidikan Tinggi di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk mencapai 235 juta jiwa. Dengan wilayah
yang terdiri dari 17,504 pulau, menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dari
sekian banyak penduduk Indonesia tersebut, 44,72% diantaranya adalah generasi muda yang masih

duduk dibangku pendidikan. Dalam hal sistem pendidikan tinggi, Indonesia umumnya mengadopsi
sistem pendidikan yang digunakan di Amerika dan Eropa yang mana diberikan melalui lima bentuk
institusi yaitu akademi, politeknik, perguruan tinggi, institute, dan universitas. Kebanyakan
universitas-universitas di Indonesia berada di bawah pengelolaan pihak swasta. Dari sekitar 3.500
institusi yang ada, hanya 150 diantaranya yang dioperasikan oleh pemerintah (Moeliodihardjo, 2015).

Berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat yang masuk ke uiversitas, jumlah masyarakat
yang menempuh pendidikan tinggi di Indonesia meningkat dari 18,26% di tahun 2005, menjadi
27,10% di tahun 2011. Jumlah ini masih terbilang sedang, jika dibandingkan dengan negara-negara
tetangga di ASEAN seperti Malaysia (40.2% di tahun 2009) dan Thailand (47,7% di tahun 2011) yang
dihitung berdasarkan pada Gross Enrolment Ratio (GER) (Moeliodihardjo, 2015). Meski masih belum
terbilang tinggi, akan tetapi peningkatan partisipasi masyarakat untuk mendaftar di institusi
pendidikan tinggi merupakan perkembangan yang positif dalam industri pendidikan.
Salah satu hal yang menyebabkan meningkatnya partisapasi masyarakat ini adalah adanya
perubahan kualitas dan equitas pendidikan tinggi di Indonesia melalui penerapan metode pendidikan
jarak jauh atau Distance Learning. Meski demikian, penerapan metode ini belum secara maksimal
dijalankan oleh universitas-universitas di Indonesia. Pada tahun 2012 saja, hanya Universitas Terbuka
yang mengimplementasikan metode tersebut dalam jumlah yang cukup banyak (Moeliodihardjo,
2015). Hal ini kemudian memberikan tantangan tersendiri bagi industri pendidikan tinggi di Indonesia
mengingat adanya pendirian Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015 akan menuntut adanya

internasionalisasi industri pendidikan tinggi agar mampu bersaing dengan institusi-institusi lain di
ASEAN dan di dunia. Lalu apakah kemudian Indonesia memang diharuskan untuk mengikuti standar
pendidikan tinggi dengan secara maksimal menerapkan metode pendidikan jarak jauh, atau justru
memberikan sebuah standar yang berbeda dalam industri pendidikan tinggi sebagai strategi bisnis di
kancah global?
Perdebatan mengenai perlu tidaknya pemerintah Indonesia mengikuti tren virtual university
memang masih menjadi perbincangan di masyarakat. Beberapa pihak melihat adanya kelas virtual
hanya akan menciptakan kesenjangan dimasyarakat mengingat mansyarakat indonesia tidak semuanya
memiliki dan dapat menfaatkan kecanggihan teknologi. Ditambah lagi, kendala dalam hal kemudahan
akses terhadap informasi yang masih belum dapat secara maksimal dijalankan di Indonesia. Ledakan
dan banjir informasi yang mungkin terjadi juga perlu dipertimbangkan oleh perguruan tinggi.
Mahasiswa harus diberikan pemahaman moral yang baik agar dapat mengolah jutaan informasi yang
akan diterima dengan adanya informasi virtual (Kompasiana, 2011). Berdasarkan permasalahanpermasalahan tersebut, penerapan universitas virtual di Indonesia nampaknya masih perlu
mendapatkan perhatian lebih lanjut dari pemerintah dan pihak perguruan tinggi. Bagaimanapun,
persiapan yang matang akan memberikan hasil yang maksimal dalam pengimplementasiannya.
Hingga saat ini pemerintah Indonesia sendiri memang belum sepenuhnya menerapkan
universitas virtual. Metode pembelajaran yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan
komunikasi baru dilakukan sebatas pemberdayaan e-learning dan perpustakaan digital dalam proses
pembelajaran. Meski demikian, beberapa perguruan tinggi sudah mulai melakukan beberapa
kerjasama terkait sosialisasi universitas virtual dengan universitas di luar negeri, sehingga tidak
menutup kemungkinan untuk didirikan kampus virtual di Indonesia (ITS online, 2005).

Pembentukan universitas virtual sebagai usaha internasionalisasi industri pendidikan,
sejatinya bukanlah satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh Indonesia dalam bersaing dengan
industri global. Usaha untuk menginternasionalisasikan industri pendidikan seharusnya dengan
meningkatkan mutu dan kualitas lembaga pendidikan sehingga mampu menarik minat konsumen
untuk menempuh pendidikan di institusi-institusi di Indonesia. Peningkatakan mutu dan kualitas ini
tidak hanya dalam hal akses atas informasi, melainkan juga kualitas sumber daya manusia dan
produksi dari pendidikan itu sendiri. Program pendidikan yang ditawarkan, material pembelajaran,
konten kurikulum, dan diversifikasi di kalangan pelajar dan tenaga pendidik juga patut
diperhitungkan. Managemen dan regulasi yang mudah bagi mahasiswa baik nasional maupun asing
untuk menempuh pendidikan tentu akan memberikan pengaruh yang positif dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, industri pendidikan dapat berkembang menjadi lebih baik.

Kesimpulan
Globalisasi tidak selamanya menuntut keseragaman dan universalitas dalam strategi bisnis.
Inovasi baru dan perbedaan dalam pembuatan strategi juga layak untuk diperhitungkan dalam
persaingan global. Di sektor pendidikan tinggi, kemajuan teknologi dan informasi menciptakan
sebuah standarisasi internasional di bidang pendidikan dengan munculnya metode pendidikan jarak
jauh yang ditunjukkan melalui pendirian universitas virtual. Melalui universitas virtual ini, jarak dan
waktu tidak lagi menjadi hambatan untuk menempuh atau memperoleh pendidikan dimanapun dan
kapanpun. Tantangan dalam global melalui universitas virtual ini kemudian tidak hanya
mempengaruhi industri pendidikan di negara-negara maju, tetapi juga di negara berkembang seperti
Indonesia. Di Indonesia, penerapan universitas virtual masih menuai perdebatan dan pro kontra terkait
dengan efektifitas dari pelaksanaannya. Belum maksimalnya akses atas informasi serta kesenjangan
teknologi dikalangan masyarakat menjadi hambatan pelaksanaan dari universitas virtual. Meski
demikian, proses internasionalisasi pendidikan tinggi tetap menjadi kewajiban yang harus dilakukan
pemerintah Indonesia agar dapat bertahan dalam persaingan global. Cara yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan kualitas dan mutu universitas serta sumber daya manusia yang terlibat di
dalamnya, sehingga pendidikan tinggi di Indonesia mampu menghasilkan produk yang bermutu dan
mampu bersaing dikancah global.

Referensi
Buku:

Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 2015. Buku V Pedoman Penilaian Portofolio
Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi. Portofolio. Jakarta: Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Ghemawat, P., 2007. Semiglobalization and Strategy. In Redefining Global Strategy:
Crossing Border in a World Where Differences Still Matter. Boston: Harvard
Business School Press. pp.9-32.
Jurnal:

Anderson, J.Q., Boyles, J.L., Rainie & Lee, 2012. The Future Impact of the Internet on higher
education: Experts expect more-efficient collaborative environments and new grading
schemes; they worry about massive online courses, the shift away from on-campus
life. Pew Research Center, pp.1-43.
Cohen-Almagor, R., 2011. Internet History. International Journal of Technoethics, 2(2),
pp.45-64.
Masrur, M., 2011. Langkah-langkah Strategis dalam Peningkatan Daya Saing Universitas
Menggunakan Teknologi Informasi. Teknologi, 1(2), pp.81-88.
Porter, M.E., 2001. Strategy and the Internet. Harvard Business Review, pp.63-78.
Stein, H., 2000. A Model of Virtual University. Turkish Online Journal of Distance
Education, 1(Number 2), pp.1-4.
Szoka, B. & Marcus, A., 2010. The Next Digital Decade: Essays on the Future of the
Internet. Washington,D.C.: TechFreedom.

Conference Proceding:

Charmonman, S., 2005. University-Level eLearning in ASEAN. In International Conference
on eLearning for Knowledge-Based Society. Bangkok, 2005. College of Internet
Distance Education, University of Thailand.
Holm-Nielsen, L.B., 2001. Challenges for Higher Education System. In International
Conference on Higher Education Reform. Jakarta, 2001. The World Bank.
Report:

Harvard Business School, 2007. Introduction to Global Strategy. Module Note. Boston:
Harvard Business School.
Islamic Development Bank, 2013. Increasing the Potential of Higher Education in Indonesia.
ISDB Success Story Series, May. pp.1-4.

Moeliodihardjo, B.Y., 2015. Higher Education Sector in Indonesia. Country report. Jakarta:
British Council University of Indonesia.
Scott, C.L., 2015. THE FUTURES OF LEARNING 1: WHY MUST LEARNING CONTENT.
Working Papers. UNESCO.
Website:

Ghemawat, P., 2007. The Globalist: It's a Semiglobalist World. [Online] Available at:
http://www.theglobalist.com/semiglobalized-world/ [Accessed 1 January 2015].
Global Business Guide, 2012. Education: Indonesia’s Higher Education Act 2012. [Online]
Available

at:

http://www.gbgindonesia.com/en/education/article/2012/indonesia_s_higher_educatio
n_act_2012.php [Accessed 3 January 2015].
Global Strategy, 2014. Global Strategy: How does globalization relate to strategy, especially
in large companies? [Online] Available at: http://www.global-strategy.net/how-doesglobalization-relate-to-strategy [Accessed 17 Desember 2015].
Irandoust, S., 2014. The Jakarta Post: High time for internationalization of Indonesian
higher

learning.

[Online]

Available

at:

http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/11/high-time-internationalizationindonesian-higher-learning.htm [Accessed 3 January 2015].
ITS online, 2005. ITS Online: Jawa Timur Sudah Punya Embrio Virtual University. [Online]
Available at: http://old.its.ac.id/berita.php?nomer=2227 [Accessed 17 Desember
2015].
Kompasiana, 2011. "Virtual University", Fatamorgana Pendidikan? [Online] Available at:
http://www.kompasiana.com/budihermana/virtual-university-fatamorganapendidikan_5500e689a33311351951034c [Accessed 18 December 2015].
Lefrere, P., 2001. Portland Press: Virtual University? Educational Environments of the
Future.

[Online]

Available

http://www.portlandpress.com/pp/books/online/vu/vu_ch2.htm

at:
[Accessed

17

Desember 2015].
Majalah Education Online Indonesia, 2011. Majalah Education: Lebih Memilih Kuliah di
Luar Negeri? [Online] Available at: http://mjeducation.com/mengapa-orang-lebihmemilih-kuliah-di-luar-negeri/ [Accessed 17 Desember 2015].

Sadiman, A.S., 2004. SEAMEO Library: Challenges in Education in Southeast Asia. [Online]
Available

at:

http://www.seameo.org/vl/library/dlwelcome/publications/paper/india04.htm

-->

[Accessed 3 January 2015].
The Economist, 2013. Economic History: When did globalisation start? [Online] Available
at:

http://www.economist.com/blogs/freeexchange/2013/09/economic-history-1

[Accessed 17 December 2015].
UNESCO,

2015.

UNESCO:

Virtual

University.

http://www.unesco.org/iiep/virtualuniversity/home.php
2015].

[Online]

Available

[Accessed

18

at:

December