BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Hukum Pemborong Terhadap Pemerintah dalam Kontrak Pengadaan varang/Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini negara Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan

  di berbagai bidang untuk meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yakni mencapai masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

  Salah satu bidang pembangunan itu adalah bidang ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan fisik berupa perumahan, perkantoran, pelabuhan, industri, jalan dan sebagainya. Pelaksanaan pembangunan itu dilakukan baik oleh pemerintah dan swasta yang bekerja sama dengan pemborong. Dalam proses pelaksanaan pembangunan ini tidak semuanya terlaksana dan berhasil dengan baik. Penyelesaian proyek oleh pemborong sering mengalami hambatan, baik karena kesalahan pekerja sendiri maupun oleh peristiwa tertentu yang tidak terduga sebelumnya, misalnya oleh bencana alam, bahkan ketidakmampuan pemborong juga bisa menyebabkan kerugian. Dengan demikian timbul keraguan bahwa proyek-proyek yang direncanakan tidak terlaksana sesuai dengan keinginannya.

  Dilihat dari keberhasilannya dalam memenuhi perkembangan industri, perusahaan jasa konstruksi menunjukkan peran yang strategis dalam upaya-upaya pembangunan yang sedang dilakukan terutama dalam ikut serta menegakkan asas pemerataan dalam pembangunan.

  Sejak awal pertumbuhannya sebagai perusahaan/industri maka harus disadari bahwa proses-proses konstruksi memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan produksi-produksi pabrik pada umumnya. Dalam jasa konstruksi tumpuan utamanya terletak pada kualitas dan kemampuan sumber daya manusia, para pengelola maupun tenaga kerjanya, sedangkan dalam industri pabrik tumpuan

  

  utamanya terletak pada kualitas mesin-mesinnya. Dapat dikatakan bahwa suatu bentuk perusahaan/industri jasa konstruksi secara nyata telah tumbuh dan berkembang serta mampu membias kejangkauan matra pengetahuan yang cukup luas, mulai dari rekayasa, teknologi, ekonomi sampai dengan masalah-masalah sumber daya yang saling mempengaruhi satu sama lain.

  Seperti telah dikemukakan di atas bahwa perusahaan jasa konstruksi telah berhasil tumbuh dan berkembang menjadi suatu industri yang potensial, sehingga senantiasa menyangkut seluruh aspek kepentingan hidup umat manusia.

  Pembangunan dalam bidang industri jasa konstruksi tersebut antara lain meliputi aspek kepentingan masyarakat yang berupa bangunan-bangunan :

  1. Perumahan untuk tempat tinggal.

  2. Gedung perkantoran berlantai banyak 3.

  Bangunan industri 4. Jembatan 5. Jalan 6. Kilang minyak dan sebagainya. 1 Djoko Triyanto, Hubungan Kerja Di Perusahaan Jasa Konstruksi, (Bandung: Mandar

  Berdasarkan hal-hal di atas, maka perusahaan jasa konstruksi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

  1. Konstruksi rancang bangun.

  2. Konstruksi pengadaan barang dan 3.

  Konstruksi jasa Konstruksi rancang bangun meliputi : 1. Konstruksi bangunan gedung, jembatan, jalan, bangunan air, lapangan terbang dan sebagainya.

  2. Konstruksi pemasangan peralatan-peralatan listrik dan mesin. Pemasangan peralatan-peralatan listrik meliputi : instalasi penerangan, instalasi tenaga listrik, instalasi telepon dan sebagainya. Sedangkan pemasangan peralatan- peralatan mesin meliputi : pintu-pintu air dan katup-katup, saringan-saringan, tangki-tangki bahan bakar/air/gas dan sebagainya.

  3. Konstruksi pengadaan barang.

  Konstruksi pengadaan barang yaitu konstruksi baik sebagian maupun seluruhnya yang berhubungan dengan pengadaan peralatan kerja, peralatan listrik, peralatan mesin, peralatan laboratorium dan bahan bangunan.

  4. Konstruksi jasa Konstruksi jasa yaitu konstruksi baik sebagian atau seluruhnya yang berhubungan dengan bantuan-bantuan, nasehat-nasehat, rancangan-rancangan,

   pemasangan peralatan-peralatan dan sebagainya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, agar pembangunan tersebut berhasil dengan baik, dalam pelaksanaan pembangunan fisik harus didukung oleh sarana dan prasarana yang baik serta peraturan-peraturan yang jelas terutama yang menyangkut hak dan kewajiban para pihak yang melaksanakan pekerjaan pembangunan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan perjanjian yang dibuat dalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan seperti yang diatur dalam Pasal 1601 b KUHPerdata.

  Menurut Pasal 1601 b KUHPerdata, perjanjian pemborongan adalah “perjanjian dengan mana pihak yang satu (si pemborong) mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain (pihak yang memborongkan) dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Dalam suatu perjanjian pemborongan itu harus ada pihak yang saling mengikatkan diri yaitu antara si pemborong dengan pihak yang memborongkan dan dalam perjanjian pemborongan itu ditentukan hak si pemborong serta kewajibannya, adanya suatu pembayaran, adanya risiko dan lain-lain. Pihak yang memborongkan atau pengembang dapat berupa badan hukum baik pemerintah maupun swasta. Si pengembang mempunyai rencana memborongkan proyek sesuai dengan surat perjanjian pengadaan barang/jasa dan apa yang tercantum dalam bestek (rencana kerja)

  Di dalam pelaksanaan berbagai pembangunan yang bersifat fisik pihak pengembang menginginkan agar suatu sarana bangunan yang dibangun tersebut dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai dengan bestek (rencana kerja) yang ada dalam kontrak serta mempunyai mutu yang baik dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama. Untuk mencapai keinginan tersebut dilakukan berbagai upaya antara lain dengan mengadakan penilaian terhadap bonafiditas calon pemborong yang akan melaksanakan pekerjaan.

  Perjanjian pengadaan barang/jasa sebagai suatu perjanjian yang mengandung risiko tinggi dan memerlukan penanganan yang baik dan untuk mendapatkan hasil yang baik dibutuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab dari masing-masing pihak, baik dari pihak pemborong maupun dari pihak yang memborongkan. Untuk itu perlu diadakan seleksi atas keadaan setiap pemborong dan apabila pemborong melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian pengadaan barang/jasa atau bestek(rencana kerja)bisa dijadikan alasan bahwa pemborong telah wanprestasi.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, sebagai pelaksana dari pembangunan suatu proyek maka tanggung jawab pemborong sangat dibutuhkan terhadap suatu pekerjaan. Untuk itu pemborong harus dapat melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan tersebut dengan baik dan tentunya juga tepat waktu.

B. Permasalahan

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan penulis kemukakan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan

  Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah ?

  3. Bagaimana tanggung jawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu dengan memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada pembaca yang berminat mengenai perjanjian kerja.

  Namun berdasarkan pokok permasalahan yang dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

  1. Untuk mengetahui pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah.

  2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah.

  3. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah : 1. Secara teoritis dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi pemikiran bagi pengembangan studi hukum khususnya mengenai perjanjian kerja borongan.

  2. Secara praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang tanggung jawab pemborong terhadap pemerintah dalam perjanjian kerja.

  Di samping itu juga, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi pemikiran pada praktisi hukum sesuai yang diinginkan oleh masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia.

  D. Keaslian Penulisan

  Menurut yang penulis ketahui, belum ada tulisan yang mengangkat mengenai Tanggung jawab Pemborong Terhadap Pemerintah Dalam Perjanjian Kerja (Studi Pada Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara). Penulisan ini diangkat karena ingin mengetahui lebih lanjut tentang tanggung jawab pemborong terhadap pemerintah dalam perjanjian kerja tersebut.

  E. Tinjauan Kepustakaan

  Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang lahirnya era reformasi adalah tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi dan hukum. Maka dengan adanya reformasi, penyelenggara negara berkeinginan untuk melakukan perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang

   tersebut.

3 Salim, H.S, Hukum Kontrak Teori & TeknikPenyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

  Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru dan penegakan hukum (law of enforcement).

  Tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru adalah untuk menggantikan peraturan yang lama yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti dengan peraturan yang baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa keadilan, dan budaya hukum masyarakat Indonesia. Pada era reformasi ini telah banyak dihasilkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keinginan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan lain-lain. Undang-undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi itu, yang paling dominan adalah undang-undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan hukum yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian.

  Itu tampak dari kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum tata negara, hukum kontrak dan lainnya. Hukum kontrak kita masih menggunakan Peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di samping itu, diperkenankan untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal dalam KUHPerdata maupun di luar KUHPerdata.

  Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUHPerdata, seperti jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penangungan utang, perjanjian untung-untungan dan perdamaian. Di luar KUHPerdata, kini telah berkembang berbagai kontrak baru, seperti leasing(penyewaan), sewa beli,

  

franchise (memakai nama dagang), production sharing(kontrak bagi hasil), joint

venture (kerjasama dua pihak atau lebih dalam bidang bisnis) dan lain-lain.

  Walaupun kontrak-kontrak itu telah hidup dan berkembang dalam masyarakat, namun peraturan yang berbentuk undang-undang belum ada, yang ada yakni Peraturan Menteri. Peraturan itu hanya terbatas pada peraturan yang mengatur tentang leasing, sedangkan kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan secara khusus. Akibat dari tidak adanya kepastian hukum tenctang kontrak tersebut maka akan menimbulkan persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi para pihak yang mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak sering kali membuat kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya akan menerima kontrak tersebut karena kondisi sosial ekonomi

   mereka yang lemah.

4 Salim, H.S, Hukum Kontrak Teori & TeknikPenyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

  Selanjutnya dapat pula dikatakan bahwa perjanjian pemborongan secara umum diatur dalam Pasal 1601-1617 KUHPerdata dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh pemerintah seperti Keppres Nomor 16 Tahun 1994 sebagaimana yang telah dirubah dengan Keppres Nomor 17 Tahun 2000 diatur tentang perjanjian pemborongan secara umum.

  Dalam Pasal 1601 KUHPerdata dijelaskan bahwa didalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak terikat yaitu pihak yang memborongkan atau prinsipal dan pihak yang menerima borongan yakni pemborong atau rekanan.

  Menurut KUHPerdata perjanjian untuk melakukan pekerjaan terbagi dalam tiga macam yaitu :

  1. Pekerjaan untuk melakukan jasa tertentu.

  2. Perjanjian perburuhan 3.

  Perjanjian pemborongan pekerjaan.

  Dari pembagian di atas dapat dikatakan bahwa perjanjian pemborongan bangunan adalah tergolong ke dalam perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata.

  Menurut Subekti perjanjian pemborongan dapat pula diartikan sebagai : “Suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (yang memborong), pihak pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran harga tertentu

   sebagai borongan”. Sedangkan Sri Soedewi Maschun Sofwan memberikan pengertian perjanjian pemborongan bangunan adalah : “Perjanjian pemborongan bangunan tergolong dalam perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana diatur dalam

  Pasal 1601 b KUHPerdata ialah pihak yang satu mengikatkan diri dengan pihak

   lain untuk menghasilkan pekerjaan tertentu dengan harga tertentu”.

  Rumusan ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang diberikan oleh Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa : “Persetujuan pemborongan kerja adalah sebagai suatu persetujuan dalam mana pihak satu si pemborong berjanji guna pihak yang memborongkan akan menyelenggarakan suatu pekerjaan tertentu

   dengan suatu upah tertentu”.

  Dalam perjanjian pemborongan dimungkinkan hadirnya pihak ketiga yang tidak merupakan para pihak dalam perjanjian, akan tetapi mempunyai peranan yang cukup penting dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.

  Keterlibatan pihak ketiga ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1317 jo

  Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang keterlibatan pihak ketiga dalam perjanjian sebagai berikut : “Diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Di samping itu ada pula pihak-pihak lain yang dinamakan peserta dalam

  6 Sri Soedewi, Himpunan Karya Pemborongan Bangunan, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 17. 7 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Perjanjian Tertentu, (Bandung: Sumur, perjanjian, yaitu antara lain pihak perencana dan pengawas yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam perjanjian pemborongan.

  Dunham mengatakan, where a person has agreed to perform certain work

  (for example, to erect a building) and he in turn engages a third party to handle

all or part of that which is included in the original contract, the agreement with

such third person is called a subcontract” .

  Yang artinya bila seseorang yang telah menyetujui untuk melakukan suatu pekerjaan (sebagai contoh, untuk membangun suatu bangunan) dan sebaliknya dia meminta pihak ketiga untuk menangani seluruhnya atau sebagian dari pekerjaan pembangunan tersebut yang termasuk di dalam kontrak, perjanjian dengan pihak ketiga ini disebut perjanjian dengan sub kontraktor.

  Pada dasarnya mengelola pekerjaan sub kontraktor adalah sama dengan mengelola pekerjaan kontraktor utama. Hanya saja beberapa hal menuntut perhatian yang lebih besar karena hal-hal sebagai berikut : 1.

  Volume pekerjaan tidak terlalu besar.

  2. Spesialisasi pada jenis pekerjaan tertentu.

  3. Tidak melengkapi diri dengan prosedur atau sistem pengendalian yang lengkap.

  Volume pekerjaan sub kontraktor umumnya tidak terlalu besar, demikian juga biaya dan laba yang akan diterima, sehingga bila ada pengeluaran tambahan, misalnya harus mengadakan pekerjaan ulang untuk perbaikan (rework) akan sulit ditolerir. Untuk mencegah hal ini, penjabaran lingkup kerja hendaknya sejelas 8 Dunham, et.al, Contract, Specifications, and Law For Engineers, (New York: McGraw mungkin dan sebelum penandatanganan kontrak, kedua belah pihak harus sudah mencapai suatu pengertian yang sama mengenai masalah tersebut.

  Pada umumnya sub kontraktor tidak melengkapi diri dengan sistem pengendalian (prosedur maupun perangkat) selengkap dan secanggih seperti yang dimiliki oleh kontraktor utama, meskipun demikian banyak pendapat menyatakan bahwa bila menjumpai hal tersebut sebaiknya jangan mengubah atau membongkar apa yang telah dimiliki sub kontraktor untuk disamakan dengan sistem yang digunakan kontraktor utama, tetapi cukup dengan mengadakan penyesuaian.

  Membongkar prosedur atau cara kerja yang sudah mengakar dapat menyebabkan kebingungan karena tidak terbiasa sehingga efisiensi yang diharapkan justru tidak tercapai. Oleh karena itu agar pengembang atau kontraktor dapat mengendalikan pekerjan sub kontraktor dengan efektif maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah : 1.

  Adanya Pasal-Pasal kontrak yang jelas yang berkaitan dengan definisi lingkup kerja. Kontrak ini akan dapat dipakai sebagai patokan pengendalian.

  2. Digunakan metode pengukuran hasil kerja dan kinerja, yang sejauh mungkin dinyatakan dalam besaran kuantitatif.

  3. Prosedur yang mengatur change order(perubahan kontrak)dan back charge (penagihan biaya)dengan implementasi yang ketat.

  4. Laporan berkala yang menunjukkan analisis prakiraan dan kecenderungan

   kapan pekerjaan terselesaikan dan berapa besar biaya penyelesaian.

9 Henny Saida Flora, Karakter Hukum Perjanjian Pemborongan Realestat di Kotamadya

  Selanjutnya, pemerintah dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum bertugas untuk membantu tugas dari kepala daerah untuk melaksanakan tugas di bidang perumahan dan pemukiman, jalan dan jembatan, irigasi serta peralatan dan alat- alat berat.

  Adapun fungsi dari Dinas Pekerjaan Umum tersebut adalah untuk membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugas bidang perumahan dan pemukiman, jalan dan jembatan, irigasi serta peralatan dan alat-alat berat. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kepala Dinas menyelenggarakan fungsi :

  1. Penyiapan konsep kebijakan daerah dan pelaksanaan kewenangan daerah serta pelaksanaan tugas-tugas dinas di bidang pekerjaan umum.

  2. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jangka menengah dan tahunan di bidang pekerjaan umum sesuai ketentuan yang ditetapkan.

  3. Penyelenggaraan koordinasi dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk pengembangan kapasitas pekerjaan umum.

  4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan kepala daerah sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.

  5. Pemberian masukan yang perlu kepada kepala daerah sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.

  6. Pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya

   kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Selanjutnya, sesuai dengan visi Dinas Pekerjaan Umum yakni terwujudnya infrastruktur jalan/jembatan, sumber daya air, perumahan dan pemukiman yang baik serta misinya yakni : 1.

  Melaksanakan pekerjaan konstruksi jalan/jembatan secara berkualitas dan berkuantitas, agar terjamin ketahanan dan kekuatan untuk dapat memenuhi standard pelayanan.

2. Melaksanakan pemeliharaan jalan/jembatan dan jaringan irigasi secara rutin dan periodik.

  3. Melaksanakan pengendalian dan penanggulangan bencana alam yang mempengaruhi keadaan sumber daya air, seperti banjir, tanah longsor, abrasi/reklamasi pantai dan kekeringan dalam rangka mempertahankan fungsi daerah pertanian, industri, pemukiman dan daerah penting serta strategis

   lainnya.

F. Metodologi Penelitian

  Metodologi penelitian merupakan suatu cara yang dilakukan untuk memperoleh gambaran data keterangan dari suatu obyek yang diteliti.

  Adapun metodologi penelitian yang dipergunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah dengan menetapkan :

  1. Sifat Penelitian.

  Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan- peraturan yang berkaitan dengan perjanjian kerja. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

2. Bahan Penelitian

  Bahan dalam skripsi ini diambil dari data-data sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer

  Bahan hukum ini mencakup ketentuan-ketentuan tentang pengadaan barang/jasa yang ditelusuri dalam perundang-undangan, Peraturan Pemerintah dan yurisprudensi b. Bahan hukum sekunder

  Dengan bahan ini ditingkatkan pemahaman peraturan-peraturan yang ditemukan dalam bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder diperoleh dari kepustakaan, artikel yang ada hubungannya dengan pengadaan barang/jasa.

  c.

  Bahan hukum tertier Bahan ini berisi keterangan tentang hal-hal yang kurang atau belum dipahami mengenai data hukum primer dan data hukum sekunder. Bahan tertier ditemukan dalam Kamus Hukum, kamus, brosur-brosur tentang pengadaan barang/jasa.

  3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara : a.

  Library research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari literatur, catatan kuliah serta majalah-majalah ilmiah yang ada kaitannya dengan skripsi ini dan digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil dan fakta penelitian.

  b.

  Field research (penelitian lapangan) yaitu dengan melakukan pendekatan langsung pada sumbernya untuk memperoleh data dalam praktek dengan pengumpulan bahan-bahan yang ada pada Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan.

4. Teknik Analisis Data

  Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan skripsi ini terdiri dari lima Bab yang terbagi pula atas beberapa sub-sub Bab, maksudnya adalah untuk mempermudah dalam menguraikan pengertian masalah sampai kepada kesimpulan dan saran-saran

  Secara garis besar gambaran skripsi ini adalah sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Merupakan Bab yang memberikan ilustrasi dan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

  BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Dalam Bab ini diuraikan tentang hakekat dan filosofi pengadaan barang/jasa pemerintah, prinsip-prinsip hukum pengadaan barang/jasa pemerintah serta aturan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintahdalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.

  BAB III BENTUK-BENTUK KONTRAK DALAM PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Bab ini menguraikan tentang kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ditinjau dari hukum perjanjian, mengikatnya perjanjian kontrak pengadaan barang/jasapemerintah, bentuk- bentuk kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah serta wanprestasi dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah

  BAB IV TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMBORONG TERHADAP PEMERINTAH DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Pada Bab ini diuraikan tentang Hak dan Kewajiban Pemborong, Tugas-tugas Pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum) yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa, faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah serta tanggung jawab pemborong terhadap pelanggaran kontrakpengadaan barang/jasa pemerintah

  BAB V PENUTUP Merupakan bagian akhir yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang diidentifikasikan.

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Pemborong Terhadap Pemerintah dalam Kontrak Pengadaan varang/Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)

4 71 82

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peran Pemerintah dalam Pembangunan Kawasan Industri Ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Antara Budaya Kerja Dan Disiplin Kerja Dengan Kepuasan Kerja Pada Karyawan Bagian Umum Pemerintah Kota Tegal

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kabanjahe)

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

0 2 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Terhadap Kontrak Pengadaan Alat-alat Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Batam Atas Tanah Hasil Reklamasi (Studi Pada HPL Yang Dikelola Pemerintah Kota Batam)

0 1 30

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Pelaksanaan Good Governance Terhadap Efektivitas Kerja pada Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Binjai

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada BUMD di Kota Medan

0 0 23