PELEMBAGAAN KEKERASAN BUDAYA MELALUI SAS

1 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

dan Film

PELEMBAGAAN KEKERASAN BUDAYA
MELALUI SASTRA DAN FILM

Notasi dan Resensi Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965”

Nama Penulis:
Wijaya Herlambang
Penerbit:
Marjin Kiri
Tahun:
2013

Tebal:
333 halaman

Sa str a

2 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film

Buku karya Wijaya Herlambang mengisi kekosongan dan melengkapi
kajian peristiwa 1965 yang selama ini berfokus pada pertarungan politik yang
kompleks dengan berusaha mengungkap siapa dalang dibalik peristiwa Gerakan

30 September mulai dari kekuatan militer yang dikomandoi oleh Suharto hingga
keterlibatan intelejen CIA sebagaimana diuraikan dalam buku-buku karya Ben
Anderson, Ruth McVey, Frederick Bunnel (1966), W.F. Wertheim (1970), Harold
Crouch (1978), Peter Dale Scott (1985), John Roosa (2006), Hele Louise Hunter
(2007). Beberapa buku lainnya seperti karya Hermawan Sulistyo (2004) dan
Robert Cribb (1990) serta Freek Colombjn (2002) mengungkap kekerasan fisik
dan pembantaian massal yang dialami oleh anggota dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia. Sebagaimana dikatakan Wijaya Herlambang dalam Bab I
yang berisikan pendahuluan bukunya yang cukup panjang lebar, “Dengan
demikian, walaupun buku ini tidak bermaksud menyajikan informasi baru tentang
peristiwa seputar 1965, namun ada perspektif baru yang hendak diba ngun
dengan cara menyoroti nexus antara pertarungan kebudayaan dan politik yang
terjadi sebelum dan sesudah peristiwa 1965 pada saat komunisme mulai
disingkirkan” (hal 25). Sebagaimana diakui Wijaya bahwa kajian dalam buku ini
bahwa penulis-penulis sebelumnya telah mengkaji keterkaitan antara kebudayaan
dan politik sehingga melahirkan kekerasan kebudayaan terhadap anggota dan
keluarga Partai Komunis Indonesia seperti kajian Tony Day dan Maya Liem
(2010), Keith Foulcher (1990), Anna Greta Nilson Hoadley (2001) serta
Katharine McGregor (2007) namun ada yang membedakan dengan kajian yang
ditulis Wijaya yaitu, “…buku ini, justru membahas bagaimana produk -produk

kebudayaan, termasuk sastra, digunakan untuk melegitimasi kekerasan tersebut”
(hal 28). Pernyataan di atas menegaskan apa yang sebelumnya dikatakan
Herlambang, “Melalui produk-produk budaya seperti ideologi negara
(Pancasila), museum, monumen, hari-hari peringatan, penatara, buku-buku
pegangan siswa dan terutama film dan karya sastra, muatan ideologis narasi
utama Orde Baru ditransformasi ke dalam bentuk-bentuk seni…Dengan demikian
menjadi penting untuk dimengerti bahwa pembentukkan dan bertahannya
ideologi anti-komunis merupakan hasil dari kombinasi agresi ideologis antara
kekuatan politik dan kekuatan kebudayaan untuk melawan kaum komunis ” (hal
10-11).

3 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a


dan Film

Jika Erich Fromm dalam bukunya Akar Kekerasan (2008) lebih mengulas
alasan-alasan sosiologis dan psikologis terjadinya kekerasan dalam kehidupan
sosial kemanusiaan, maka Bab II buku karya Wijaya Herlambang berusaha
menyajikan bentuk-bentuk kekerasan melalui karya Johan Galtung mengenai
Cultural Violence yang didefinisikan, “Dengan „kekerasan budaya‟, maksud kami
adalah aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang simbolis dari keberadaan kita –
seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, pengetahuan empiris dan
pengetahuan formal (logika, matematika) – yang dapat digunakan untuk
membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural” (hal 35).
Teori lainnya yang digunakan Wijaya selain Johan Galtung adalah Louis
Althusser dimana “kekerasan budaya didefinisikan sebagai penggunaan
aparatus-aparatus negara yang dipakai sebagai instrumen propaganda untuk
menanamkan ideologi kelas yang dominan (negara) yang disebutnya dengan
istilah Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Aparatuses atau ISA)” (hal
42-43). Kekerasan budaya sendiri tidak akan dimengerti tanpa melibatkan
pengetahuan mengenai kekerasan linguistik atau penggunaan bahasa yang
memberikan citraan tertentu terhadap sebuah realitas yang dapat dimanipulasi.

Wijaya mendefinisikan kekerasan lingusitik dengan merujuk pada teori yang
dianut kelompok strkturalis dan formalis sebagai “penggunaan bahasa
sedemikian rupa sehingga tercipta sebuah kualitas tertentu atas teks yang
berbeda dari pengertian normal atas bahasa yang dipergunakan untuk
menggambarkan realitas dalam percakapan sehari-hari. Dengan kata lain,
kekerasan linguistik adalah proses transformasi dari bahasa sehari-hari menjadi
konstruksi linguistik yang mengasingkan realitas di mana istilah „sastra‟ menjadi
dimengerti”(hal 47). Wijaya menambahkan basis bagi teori-teori kekerasan
linguistik dimana berfungsi menjadi perantara terjadinya kekerasan kebudayaan
dengan mengutip pendapat William Gay dan Ellen Gorsevski yang
“menghubungkan terminologi „kekerasan linguistik‟ secara langsung antara
struktur bahasa d an kapasitas ideologisnya…Bahkan, Gay secara langsung
menyebut bahwa terminologi „kekerasan linguistik‟ adalah bagian dari teori
kekerasan budaya yang diajukkan Galtung; bahasa memiliki kemampuan untuk
dignakan sebagai instrumen tindak kekerasan” (hal 49-50). Wijaya
menambahkan basis teori tentang hubungan antara kekerasan budaya dengan

4 | P elemba ga a n

Keker a sa n


Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film

ideologi dengan menggunakan pendekatan sastra Marxis sebagaimana dikatakan,
“Hal penting yang ditunjukkan oleh banyak pemikir sastra Marxis adalah bahwa
sastra bukanlah semata-mata bentuk ekspresi estetik, seperti yang dipercaya baik
oleh kaum strukturalis maupun formalis namun sastra juga merupakan bentuk
praktik sosial…Dalam konteks inilah para kritikus Marxis menolak untuk melihat
realitas secara fragmentaris. Hal ini disebabkan karena melihat hubunganhubungan ekonomi (struktur) sebagai penentudari hubungan-hubungan sosial
yang pada gilirannya menentukan super-struktur, gagasan, pemikiran, sastra dan
seni yang melaluinya sejarah dapat terus berkembang” (hal 53). Wijaya pun
melibatkan pendekatan paska strukturalis atau posmodernis untuk menjelaskan
mengenai realitas ideologis dibalik ekspresi-ekspresi kebudayaan yang
melahirkan kekerasan budaya, sekalipun pendekatan posmodernis telah mengritik

pendekatan Marxis sebagaimana dikatakan, “Dengan demikian, saya
menganggap baik pendekatan Marxis maupun pandangan posmodernis sama
pentingnya bagi studi ini, terutama untuk mengamati bagaimana teks-teks sastra
dapat dimanipulasi untuk menyampaikan pandangan ideologis tertentu.
Pandangan posmodernis berguna untuk memahami bahwa pengaburan dalam
pembagian oposisi biner seringkali dimanipulasi oleh pemegang kekuasaan.
Konsep pengaburan dalam pembagian oposisi biner inilah, khususnya antara
fakta dan fiksi, yang memungkinkan para pemegang kekuasaan mengklaim bahwa
teks sastra adalah dokumen sosial atau sebaliknya: fakta seringkali diklaim
sebagai fiksi” (hal 57).
Pada Bab III Wijaya secara panjang lebar menguraikan relasi antara
ideologi Liberalisme dan Anti Komunisme yang dibangun oleh Amerika Serikat
di Indonesia melalui kerja-kerja intelejen seperti CIA yang membentuk lembaga
CCF (Congress for Cultural Freedom) dan menyelusup melalui faksi militer dan
sejumlah partai di Indonesia seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia), Masyumi dan
peran intelektual serta seniman Indonesia anti-komunis. Mengenai aktifitas dan
peran CCF serta keterkaitannya dengan CIA dijelaskan, “Salah satu organisasi
yang sangat berpengaruh, yang dibentuk oleh pemerintah AS untuk
mempromosikan liberalisme sebagai ujung tombak upaya melawan komunisme di
bidang kebudayaan adalah Congress for Cultural Freedom. CCF dibentuk di

Berlin oleh CIA pada tahun 1950 dan digerakkan oleh agen CIA, Michael

5 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film

Josselson. Misi utama CCF adalah untuk melepaskan tautan kaum intelektual dan
seniman di seluruh dunia dari komunisme, yang dikendalikan oleh unit khusus
CIA yang dikenal dengan nama OPC ( Office of Policy Coordination/Kantor
Koordinasi Kebijakkan) yang dikpalai Frank Wisner di bawah komando direktur
CIA Allen Dulles”(hal 65-66). Dengan lihai Wijaya menelisik jaringan kerja CIA
melalui CCF baik saat pemerintahan Sukarno masih berkuasa maupun saat

pemerintahan Sukarno terguling dan digantikan Suharto. Di era Sukarno CCF
menggandeng tokoh intelektual dan kebudayaan yang berafiliasi dengan PSI dan
Masyumi untuk melakukan perlawanan terhadap ideologi kiri yang juga
digemakan kelompok kesenian LEKRA. Sejumlah nama seperti Mochtar Lubis
pemimpin redaksi Indonesia Raya (1949-1974). Sebelum Indonesia Raya muncul
jurnal kebudayaan Konfrontasi dimana para redakturnya berafiliasi dengan PSI
dan jaringan Barat seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Beb Vujk, Hazil Tanzil (hal
69-70).

Bab IV lebih mengulas sejumlah karya sastra (cerpen) yang muncul
diantara periode 1966-1970) dimana “sebagian besar cerpen-cerpen ini bercerita
tentang tragedi yang dialami anggota keluarga para simpatisan komunis atau
tentang para aktivis anti-komunis yang bersimpati kepada kerabat kaum
komunis” (hal 103). Sekalipun kisah-kisah tersebut menggambarkan keunggulan
ideologi Liberalis Humanis yang diusung Barat seperti kebebasan, kemanusiaan
melalui penggambaran tokoh-tokoh yang menolong dan membela korban-korban
kekerasan sebagai reaksi anti-komunis, “Namun demikian, seperti diuraikan John
Roosa, cerita-cerita ini menyembunyikan pesan-pesan subliminal dan
memanipulasi persepsi pembaca mengenai peristiwa kekerasan terhadap kaum
komunis 1965-1966. Roosa mengajukan argumen bahwa walaupun kelihatannya

karya-karya ini cukup menunjukkan simpati terhadap korban, namun sebenarnya
justru merupakan afirmasi terhadap peristiwa kekerasan itu. Hal ini karena para
penulis mencitrakan diri mereka sendiri sebagai kaum humanis yang berupaya
untuk mengekspos peristiwa kekerasan itu di dalam cerita -cerita mereka, namun
pada saat yang sama, mereka meletakkan „tragedi‟ dari peristiwa itu bukan pada
korbannya, namun pada para pelaku kekerasan, berdasarkan konflik psikologis di
dalam pikiran pelaku ketika mereka melakukan perbuatan itu” (hal 119).

6 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film


Bab V mengkaji mengenai peran sejarawan Universitas Indonesia yang
dekat dengan militer Indonesia dan Amerika yaitu Nugroho Notosusanto. Melalui
tangan dingin Nugroho Notosusantolah lahir sejumlah karya tulis yang akan
menjadi sumber utama narasi Orde Baru dalam melembagakan ideologi antikomunismenya. Tulisan pertama Nugroho Notosusanto berjudul 40 Hari
Kegagalan G30S. Dalam tulisan pertamanya ini, Dia juga menarik perbedaa tegas
antara dalang dan wayang. Dia berpendapat bahwa PKI adalah dalang dan para
perwira militer yang melakukan percobaan kup adalah wayang” (hal 155). Tulisan
Nugroho Notosusanto mendapatkan kritik dari tiga orang sarjana Amerika, Ruth
McVey, Ben Anderson dan Frederick Bunnel dari Universitas Cornell. Kajian
mereka diberi judul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in
Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah Cornell Paper. Melalui artikel Joseph
Kraft di Washington Post, naskah rahasia ini akhirnya tercium oleh CIA dan
pemerintahan Indonesia. Melalui Guy Pauker sang agen CIA untuk Indonesia
maka dipanggilah Jenderal Suwarto, direktur Seskoad yang juga mertua Nugroho
Notosusanto untuk membuat versi tandingan yang lebih lengkap dan ditulis dalam
bahasa Inggris. Akhirnya Nugroho Notosusanto berhasil merampungkan risetnya
dan dibukukan dengan judul, The Coup Attempt of the September 30 th Movement
(hal 154-158). Tidak sedikit sarjana ahli yang berpandangan bahwa penjelasan
Nugroho Notosusanto tidak meyakinkan. Selain dikarenakan lemahnya buktibukti yang dihadirkan saat masih berlangsungnya Mahmilub (Mahkamah Militer
Luar Biasa) juga adanya penyiksaan dan tekanan saat interogasi. Sandaran
analisis buku Nugroho memang lebih banyak mengandalkan hasil interogasi
dalam sidang Mahmilub. Bahkan CIA pun yang memiliki pandangan yang selaras
dengan pemerintahan Suhartopun meragukan sejumlah analisis Nugroho (hal
162). Melalui buku karya Nugroho Notosusanto narasi sejarah Orde Baru
dibangun dan “Sesudah terbitnya „The Coup Attempt of the September 30 th
Movement „ pada 167, Nugroho pun melanjutkan penyebaran ideologi anti komunis melalui produk-produk kebudayaan seperti museum, monumen, diorama
dan film yang dipijakkan pada argumennya sendiri. Salah satu produk
kebudayaan paling berpengaruh yang digunaka n oleh Nugroho atas nama
pemerintah Orde Baru adalah film Pengkhianatan G30S/PKI (1981) yang

7 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film

disutradarai oleh Arifin C.Noer. Film ini nantinya juga dinovelkan oleh Arswenso
Atmowiloto pada 1986” (hal 163).

Sebagaimana telah diulas pada Bab V mengenai buku karya Nugroho
Notosusanto yang menjadi narasi utama sejarah versi Orde Baru yang juga
menjadi sandaran data bagi pembuatan film karya Arifin C. Noer dan novel karya
Arswendo Atmowiloto maka pada Bab VI Wijaya Herlambang memfokuskan
bagaimana proses pembuatan film dan novel serta analisis ideologis antikomunisme dan sejumlah bias sejarah dalam produk kebudayaan tersebut. Wijaya
Herlambang menguraikan sejumlah kasus dimana tokoh dan plot peristiwa
sengaja dipotret secara tendensius untuk menimbulkan kesan jahat dan kejam.
Aidit digambarkan sebagai perokok dalam film meskipun pengakuan Murad
Aidit, adik Aidit bahwasanya kakanya bukan perokok (hal 191), suasana rapat
Biro Khusus PKI yang digambarkan dalam film, novel dengan kondisi remangreman sebagai simbol kegiatan konspiratif (hal 192), perlakuan mesum, jorok dan
amoral kelompok milisi rakyat yang terlibat membunuh para jenderal di lubang
buaya (hal 193), penggambaran tokoh Sakirman (kakak Jenderal S. Parman) yang
diposisikan sebagai bagian dari rapat gelap PKI padahal menurut pengakuan
S.Parman pada tahun 1965 kepada perwira militer AS justru posisi Sakirman
adalah mata-mata militer yang menginfiltasi rapat-rapat PKI (hal 196). Menurut
Wijaya, “Baik film maupun novel Pengkhianatan G30S/PKI telah sukses
mempersembahkan sebuah proses legitimasi, baik atas kekerasan terhadap
orang-orang yang dituduh komunis maupun atas naiknya Soeharto ke tampuk
kekuasaan. Sebagian besar dari proses legitimasi ini direkayasa melalui alur
cerita, dialog dan bahasa dalam rentetan adegan dan struktur narasi” (hal 214).
Kajian Wijaya pada Bab VII semakin menarik dan masuk lebih dalam
menelisik peran dan jaringan lembaga-lembaga kebudayaan kontemporer paska
1965 yang mulai mengalami pergeseran dari membentuk dan mendukung rezim
Orde Baru menjadi jaringan intelektual dan kebudayaan yang mengritisi dan pada
akhirnya menjatuhkan rezim otoriter tersebut. Munculnya kritik terhadap rezim
Orde Baru baik melalui gerakan intelektual dan mahasiswa serta pergerakan
buruh tidak terlepas dari sikap represif pemerintah demi menjaga stabilitas politik
(hal 218). Wijaya pun memotret perseteruan tokoh-tokoh penandatangan Manifes

8 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film

Kebudayaan (1963) yang dibentuk untuk melakukan perlawananan terhadap
kebudayaan kiri, antara Taufik Ismail pemimpin redaksi Horison dan Goenawan
Muhamad pemimpin redaksi Tempo yang menyebabkan mereka berpisah dan
melakukan aktifitasnya masing-masing (hal 230-231). Ketika Majalah Tempo
dibredel pemerintahan Suharto, Goenawan Mohamad telah mendirikan ISAI
(Institut Studi Arus Informasi) tahun 1995 dan dimulailah fase dimana Goenawan
Mohamad dan rekan-rekannya memberikan ruang baru untuk membaca persoalan
di seputar 1965. Buku pertama yang diterbitkan ISAI adalah Bayang-Bayang PKI
dimana melalui buku ini, “Walaupun mengungkap keterlibatan beberapa anggota
PKI dalam percobaan kup 1965, buku ini juga mempertanyakan dengan tajam
keterlibatan orang-orang Orde Baru dalam peristiwa itu” (hal 231). Jika
Goenawan Mohamad menempuh jalan baru dengan mendekontruksi narasi Orde
Baru mengenai komunisme maka Taufik Ismail melakukan pendekatan pada
pemerintah dan menghasilkan buku dengan judul, Prahara Budaya: Kilas Balik
Ofensif LEKRA/PKI dimana melalui buku ini“yang bermaksud meneguhkan
kembali propaganda Orde Baru mengenai bahaya laten komunisme” (hal 233).
Hampir separuh bab ini mengulas peran kebudayaan dan politik serta jaringan
Goenawan Mohamad yang sekalipun mulai membela eksistensi kelompok kiri
namun tidak urung menuai kritik baik kalangan sastrawan seperti Taufik Ismail
maupun dari kalangan kiri dengan tudingan pelembagaan ideologi Liberalisme
baik di bidang agama, sosial dan politik. Wijaya memotret kemampuan jaringan
yang dibangun Goenawan Mohamad dengan mengatakan, “Sementara itu,
Goenawan Mohamad makin memantap imperium kebudayaannya sendiri yang di
dalamnya terkumpul beberapa institusi yang telah ia bangun sebelumnya. Selain
jurnal Kalam (1994), AJI (1994) dan ISAI (1995), Goenawan juga mendirikan
Galeri Lontar (1996), Teater Utan Kayu (1997), Radio 68H (1999), Majalah
Pantau (1999) dan Jaringan Islam Liberal atau JIL (2001) yang walaupun secara
struktural tidak beroperasi di bawah sa tu manajemen, namun semuanya
digabung dalam satu pa yung yang bernama Komunitas Utan Kayu (KUK). Pada
gilirannya KUK pun menjadi rezim kekuasaan baru di bidang kebudayaan,
intelektual dan jaringan filantropi” (hal 237). Wijaya Herlambang sendiri
memiliki penilaian terkait pergeseran pemahaman Goenawan Mohamad yang
mulai menaruh simpati dan memberi ruang bagi aktivis kiri dan mantan tapol

9 | P elemba ga a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film

untuk mengaktualisasikan diri mereka melalui jaringan yang dibangun Goenawan
dengan mengatakan, “Dengan kata lain, dengan mengakomodasi kepentingan
para mantan tahanan politik dan mencitrakan diri sebagai „kiri‟, KUK berusaha
mengaburkan jaringan yang mereka bangun dengan para pendonor asing,
khususnya AS. Hal ini dilakukan untuk menghindari pertanyaan berikut:
bagaimana mungkin KUK yang „kiri‟ itu menjadi agen terpenting dar i
liberalisme Barat? Hal ini hanya mungkin bila kita melihat KUK sebagai
kelompok faux-leftist dan jika kita kembali kepada argumen Chomksy tentang
„ilusi-ilusi‟ dari konsep kebebasan” (hal 253). Wijaya Herlambang pun
memberikan kritik terhadap serangan-serangan yang dilakukan lawan Goenawan
Mohammad seperti Saut Situmorang dan Wowok Hesti Prabowo pemimpin
buletin Boemiputra yang kerap mengekspos konspirasi liberal aktifitas
kebudayaan KUK dengan mengatakan, “Namun yang luput dari usaha mereka
mendekonstruksi budaya anti-komunis Orde Baru adalah bahwa tidak pernah ada
karya sastra yang ditulis oleh para aktivis kebudayaan ini untuk mendobrak
narasi utama Orde Baru. Salah satu dari sedikit karya sastra yang secara
fundamental mendekonstruksi narasi resmi itu ternyata justru datang dari luar
kelompok-kelompok kebudayaan tersebut. Karya itu berjudul September (2006),
ditulis oleh Noorca M. Massardi yang sangat sensitif dalam melihat bagaimana
sejarah Orde Baru, yang dibangun melalui berbagai produk kebudayaan,
khususnya film dan novel Pengkhianatan G30S/PKI, merupakan sesuatu yang
penuh dengan fitnah dan kekerasan” (hal 263).
Bab VIII karya Wijaya Herlambang dicurahkan sepenuhnya dalam
mengulas karya sastra berupa novel yang diterbitkan tahun 2006 berjudul
September karya Moorca M. Massardi. Di masa Orde Baru telah bermunculan
karya sastra yang bertema 1965 seperti Mencoba Menjadi Tidak Menyerah (1980)
karya Yudhistira ANM Massardi, saudara kembar Noorca lalu Ronggeng Dukuh
Paruk (1980) karya Ahmad Tohari. Paska Orde Baru pun telah bermunculan
karya sastra sejenis dengan judul, Layang-Layang Itu Tidak Lagi Mengepak
Tinggi (1999) karya Martin Aleida, Tapol (2002) karya Ngarto Februana, The
Forgotten Massacre: Persahabatan dan Cinta di Tengah Tragedi G30S PKI
(2009) karya Peer Holm Jorgensen (hal 205-206). Namun menurut Wijaya,
“…walaupun karya-karya ini mengungkapkan akibat langsung dan konsekwensi

10 | P e l e m b a g a a n

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a

dan Film

peristiwa 1965 yng dialami oleh tokoh-tokoh ceritanya, karya-karya itu sendiri
bukanlah gambaran dari peristiwa 1965 yang sebenarnya. Semua karya tersebut,
dengan caranya masing-masing, mengritisi peran brutal militer dalam
menghabisi komunis atau yang dituduh komunis. Sebaliknya karya Noorca
adalah „rekonstruksi‟ dari peristiwa percobaan kup 1965 itu sendiri. Ia tidak
menggambarkan akibat dari brutalitas militer, tetapi justru mengontruksikan
sebuah versi alternatif dari peristiwa di seputar kup 1965” (hal 265-266).

Peter L. Berger dalam bukunya The Social Contruction of Reality
(diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Tafsir Sosial Atas Kenyataan ) mengulas
perihal peranan dialektika eksternalisasi dan obyektifikasi serta internalisasi
dalam pembentukan struktur sosial masyarakat. Masyarakat bukan hanya
kenyataan sosial (social reality) melainkan produk sosial (social contruction).
Masyarakat di bawah pemerintahan rezim Orde Baru pun mewakili produk sosial
tertentu hasil konstruksi rezim Orde Baru lalui aparatus ideologis maupun
aparatus represifnya (meminjam istilah Althuser) yang menjadikan ideologi antikomunisme dan liberalisme humanisme sebagai narasi utama sejarah. Melalui
buku karya Wijaya Herlambang, kita mendapatkan sebuah contoh kongkrit
bagaimana sejarah dan kebudayaan dikontruksikan sejak tahun 1965 oleh sebuah
rezim melalui agen intelektual dan agen kebudayaan sehingga membentuk
kenyataan sosial hari ini. Realitas sosial hari ini tidak terlepas dari konstruksi
sosial di masa lalu. Untuk memahami realitas sosial masa kini diperlukan
pemahaman mengenai konstruksi sosial di masa lalu. Jika realitas sosial masa kini
tidak terlepas dari konstruksi sosial masa lalu, konsekwensi logisnya kitapun bisa
melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi untuk membentuk realitas sosial yang
baru. Semoga!

Naskah ini diposting di:
http://teguhhindarto.blogspot.co.id/2015/11/pelembagaan-kekerasan-budayamelalui.html

11 | P e l e m b a g a a n
dan Film

Keker a sa n

Buda ya

Mela lui

Sa str a